Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Coping Stress 2.1.1 Definisi coping stress Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai berikut: “Constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and/or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the resources of the person.”(p. 141) Berdasarkan pengertian di atas, coping diartikan sebagai tingkah laku dan cara pandang yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan internal dan/atau eksternal spesifik yang dinilai membebani atau melebihi dari sumber daya dari seseorang. Definisi yang dijelaskan oleh Lazarus dan Folkman (1984) memberikan batasan mengenai coping, yaitu pertama bahwa coping tidak berorientasi pada trait melainkan berorientasi pada proses. Orientasi proses ini didasarkan dengan pernyataan “perubahan secara konstan dan tuntutan dan konflik yang spesifik”. Kedua adalah definisi tersebut menekankan perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang. Maka dari itu, segala bentuk tingkah laku maupun ataupun pemikiran yang tidak membutuhkan usaha tidak termasuk sebagai coping. Ketiga adalah pernyataan bahwa coping merupakan “usaha untuk mengatur” yang memperjelas bahwa segala tindakan dan pemikiran seseorang dalam menghadapi situasi yang dinilai melebihi sumber daya dinilai sebagai coping, terlepas dari hasil baik atau buruknya usaha coping tersebut. Terakhir, dengan menggunakan kata “manage”, coping dihindarkan untuk disamakan dengan “mastery” atau penguasaan. Dalam hal ini “manage” dapat diartikan sebagai mengurangi, menghindari, menoleransi, dan menerima kondisi yang mengakibatkan stress maupun mencoba untuk menguasai lingkungannya. Definisi diatas sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Safarino & Smith (2010) bahwa coping adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu proses perubahan perilaku yang secara konstan berubah untuk mangatur antara tuntutan situasi yang berlebihan dengan sumber daya yang dimiliki oleh seseorang. 2.1.2 Jenis coping stress Dalam menghadapi masalah ataupun kondisi yang mengakibatkan stress, setiap individu dapat melakukan coping yang berbeda-beda berdasarkan pada kondisi yang dihadapi. Lazarus dan Folkman (1984) membagi jenis coping berdasarkan pada kegunaannya. Jenis coping tersebut adalah: a. Problem-focused coping merupakan jenis coping melalui usaha yang menggunakan tindakan langsung untuk menyelesaikan atau mengurangi masalah yang mengakibatkan stress (Lazarus dan Folkman, 1984). Problem-focused coping mirip dengan strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah. Usaha yang dilakukan lebih diarahkan pada mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan manfaat dari solusi alternatif, memilih satu dari solusi alternatif yang ada, dan menjalankan solusi tersebut. Dalam problem-focused coping ini terdapat dua orientasi dalam mengatasi masalah yaitu orientasi pada lingkungan dan orientasi pada diri sendiri. Orientasi pada lingkungan merupakan usaha dengan strategi mengubah tekanan lingkungan, hambatan, sumber, perosedur, dan lainnya. Orientasi pada diri sendiri diarahkan dengan usaha perubahan motivasi atau kognitif seperti mengurangi keterlibatan ego, mengembangkan standar perilaku baru, atau belajar keterampilan dan prosedur baru (Lazarus dan Folkman, 1984). b. Emotion-focused coping merupakan coping melalui usaha dengan cara mengontrol atau mengurangi emosi dan perasaan negatif yang muncul dari permasalahan yang mengakibatkan stress (Lazarus dan Folkman, 1984). Emotion-focused coping mengarahkan proses kognitif untuk mengurangi tekanan emosional dengan menggunakan strategi menghindari, meminimalisasi, menjauhi dan perhatian selektif terhadap kejadian negatif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu biasanya menggunakan emotion-focused coping untuk mempertahankan harapan dan optimisme, untuk menyangkal fakta dan implikasi dari masalah yang ada, menolak untuk mengakui yang terburuk, untuk bertindak seolah-olah apa yang terjadi tidak menjadi masalah, dan lainnya. 2.1.3 Faktor yang mempengaruhi coping stress Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi coping yaitu faktor individu dan faktor situasi. Faktor individu yang mempengaruhi coping meliputi: a. Komitmen Definisi komitmen dalam faktor ini mengandung komponen kognitf yang mengarahkan pada pilihan, nilai, dan/atau tujuan. Komitmen juga menyatakan sesuatu yang penting dan berarti untuk individu. Komitmen dapat mengarahkan individu untuk melakukan tindakan tertentu dalam menghadapi keadaan stress. Selain itu, komitmen juga menentukan tingkat kerentanan terhadap stress. Semakin tinggi komitmen individu dalam area tertentu, maka akan semakin tinggi pula kerentanan individu dalam menghadapi stress dalam area tersebut. b. Keyakinan Keyakinan adalah konfigurasi kognitif dari budaya dan pembentukan pribadi. Keyakinan menentukan fakta yang diyakini dan pemahaman makna dari fakta yang ada.Terdapat dua kategori keyakinan, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan kontrol personal dan keyakinan eksistensial. Keyakinan tentang kontrol personal merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan yang ia miliki dalam menghadapi permasalahnya. Keyakinan eksistensial merupakan keyakinan atau kepercayaan pada Tuhan, takdir, atau yang berhubungan dengan alam. Keyakinan digunakan individu untuk mengevaluasi apa yang sedang terjadi. Faktor situasi yang mempengaruhi coping meliputi: a. Kebaruan atau novelty Individu yang menghadapi suatu keadaan yang baru dan tidak memiliki pengalaman keadaan yang sama sebelumnya, maka individu cenderung tidak siap dalam melakukan coping. b. Predictability Jika keadaan yang akan muncul dapat diprediksi sebelumnya atau memiliki tanda-tanda muncul yang akan mengancam, maka individu dapat mempersiapkan diri dan akan lebih kuat dalam menghadapi keadaan tersebut c. Event uncertainity Faktor ini mempengaruhi coping ketika terjadi ketidakpastian atas munculnya suatu keadaan. Ketika terjadi ketidakpastian keadaan, individu akan lebih cepat merasa stress yang akan berdampak pada proses coping yang tidak diantisipasi sebelumnya. 2.1.4 Sumber coping stress Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan coping seseorang individu bergantung pada sumber daya tersedia yang dapat digunakan atau juga terdapat sumber daya yang menghambat individu dalam melakukan coping. Sumber daya tersebut, yaitu sebagai berikut: a. Kesehatan dan energi Sumber ini merupakan sumber yang paling relevan diantara semua sumber daya yang ada dalam menghadapi stress. Orang yang sakit dan kelelahan akan mengerahkan energi yang lebih sedikit untuk melakukan coping dibandingkan dengan orang yang sehat. Physical well-being memainkan peranan penting dalam menghadapi masalah dan dalam kejadian stress dituntut mobilasasi yang tinggi. b. Keyakinan positif Memandang secara positif pada diri sendiri dapat dijadikan sebagi sumber psikologis yang penting untuk melakukan coping. Keyakinan dapat dijadikan sebagai dasar dari pengharapan dan hal tersebut akan menjadi penopang dalam menghadapi kondisi yang sulit. Ada beberapa keyakinan yang dapat menghambat coping. Contohnya adalah ketika seseorang yakin bahwa ia mendapat hukuman dari Tuhan, maka mereka akan menerima keadaan tersebut dan tidak berbuat apa apa untuk mengatasi permasalahannya. c. Kemampuan penyelesaian masalah Kemampuan ini meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisis situasi dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah agar dapat menguraikan langkah-langkah alternatif, mempertimbangkan langkahlangkah yang akan dilakukan, memilih dan mengimplementasikan langkah yang akan diterapkan. Secara umum, kemampuan ini ditunjukkan dalam tindakan yang spesifik seperti menghadapi permasalahan tentang moral, situasi yang mendadak, dll. Kemampuan ini bersumber dari pengalaman, pengetahuan, kemampuan kognitif, dan kapasitas untuk mengontrol diri individu. d. Kemampuan sosial Kemampuan sosial merupakan sumber yang penting dalam coping karena peran fungsi sosial dalam adaptasi individu. Kemampuan ini ditujukan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan orang lain dalam cara yang efektif dan tepat secara sosial, kemampuan sosial juga memfasilitasi untuk berkoordinasi dengan orang lain untuk menyelesaikan masalah, meningkatkan kemungkinan untuk saling mendukung, dan memberikan individu kontrol yang lebih dalam interaksi sosial. e. Dukungan sosial Memiliki dukungan dari orang lain secara emosional, informasional dan/atau dukungan secara nyata akan menjadi sumber coping berguna dalam menghadapi situasi stress. f. Kemampuan materi Kemampuan ini merujuk pada uang dan barang & jasa yang dapat dibeli oleh uang. Individu yang memiliki sumber ekonomi yang lebih akan memiliki pilihan coping yang lebih banyak dalam segala kondisi stress. 2.2 Resiliensi 2.2.1 Definisi resiliensi Newman (2005) dalam APA’s Resilience Initiative mendefinisikan resiliensi sebagai berikut: “Resilience is the human ability to adapt in the face of tragedy, trauma, adversity, hardship, and ongoing significant life stressor.” Berdasarkan penjelasan di atas, dapat didefinisikan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, dan stressor dalam hidup yang bersifat signifikan. Definisi lainnya dikemukakan oleh Hermann et al. (2011), yakni resiliensi dipahami sebagai adaptasi positif atau kemampuan untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali kesehatan mentalnya setelah mengalami kesulitan. Herman et al. (2011) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang proses yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia dan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Connor dan Davidson (2003) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan suatu perwujudan kualitas personal dari individu untuk dapat bangkit dan berkembang ketika menghadapi kesulitan. Connor dan Davison (2003) melakukan analisa faktor yang terkait dengan resiliensi yaitu kompetensi pribadi dan keuletan, toleransi pada pengaruh negatif dan stress, penerimaan positif pada perubahan dan hubungan yang aman, kontrol, dan pengaruh spiritual. Berdasarkan penjelasan tersebut, resiliensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan invidu untuk beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi pengalaman hidup yang sulit ataupun traumatis dan dapat bangkit kembali dari pengalaman sulit tersebut. 2.2.2 Faktor resiliensi Menurut Jackson dan Watkin (2004), terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi untuk mengembangkan kemampuan resiliensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Emotion regulation (regulasi emosi) adalah kemampuan untuk mengatur perasaan atau emosi internal individu agar dapat tetap bertahan dengan efektif walaupun berada di bawah tekanan. Orang yang resilien biasanya mengembangkan kemampuan yang membantu mereka untuk dapat mengontrol emosi, perhatian/fokus, dan perilaku mereka. b. Impulse control adalah kemampuan untuk mengatur ekspresi perilaku yang mucul dari impuls emosi dan pikiran, hal ini juga termasuk dengan kemampuan untuk menunda munculnya perasaan senang. Faktor impulse control ini berkorelasi dengan faktor emotion regulation. c. Causal analysis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi secara akurat dari penyebab suatu kesulitan. Individu yang resilien mampu untuk keluar dari cara pemikiran yang biasa dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan hingga solusi yang memungkinkan. d. Self-efficacy adalah perasaan bahwa keberadaan individu di dunia “efektif”, kepercayaan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah dan menjadi sukses atau berhasil. Individu yang resilien percaya pada diri sendiri dan yang pada akhirnya dapat membangun percaya diri orang lain pada diri individu tersebut, serta menempatkan diri mereka pada baris yang lebih memiliki kesempatan dan sukses. e. Realistic optimism adalah kemampuan untuk tetap positif terhadap masa depan dan tetap realistis terhadap rencana masa depan tersebut. Faktor ini berhubungan dengan self-esteem, tetapi lebih memiliki hubungan sebab akibat dengan self-efficacy dan akurasi. f. Empati adalah kemampuan untuk membaca isyarat dari perilaku orang lain untuk memahami keadaan psikologis dan emosional mereka hingga dapat membangun hubungan yang lebih baik. Individu resilien dapat membaca isyarat non-verbal dari orang lain untuk membantu membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain dan cenderung untuk lebih sesuai dengan keadaan emosional mereka sendiri. g. Reaching out adalah kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupannya dan dapat menghadapi tantangan baru & kesempatan. Perilaku ini dapat terhambat jika seseorang yang pemalu, perfectionist, dan self-handicapping. 2.3 Psychological Well-being 2.3.1 Definisi psychological well-being Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan dalam hidup, dan mengembangkan dirinya (Ryff, 1989). Psychological well-being merupakan well-being yang menerapkan pendekatan eudamonik yang diajukan oleh Aristoteles (Ryff, 1989). Pendekatan eudamonik merupakan pendekatan yang menekankan pada realisasi diri dan tingkat aktualisasi kemampuan individu (Ryan dan Deci, 2001). Dalam memahami psychological well-being terdapat tiga kajian teori yang dapat menjelaskan konsep tersebut. Kajian teori pertama adalah teori psikologi perkembangan, teori ini menjelaskan gambaran well-being yang berkembang sesuai dengan teori perkembangan psikososial Erikson, teori formulasi basic life tendencies oleh Buhler, dan deskripsi perubahan kepribadian oleh Neugarten. Kajian teori kedua adalah teori psikologi klinis, teori ini menjelaskan well-being yang berkaitan dengan konsep aktualisasi diri oleh Masslow, fully functioning person oleh Rogers, konsep individu oleh Jung, dan konsep kedewasaan oleh Allport. Kajian teori ketiga dijelaskan dari kesehatan mental, teori ini menjelaskan bahwa well-being adalah suatu keadaan absennya illness dari individu dan berkaitan dengan formula kriteria positif kesehatan mental oleh Jahoda, serta fungsi later life oleh Birren. Psychological well-being tidak hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan negatif namun melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan hambatan sepanjang hidup (Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002). Individu yang memiliki psychological wellbeing yang baik akan mampu menghadapi kejadian-kejadian yang terjadi di luar dirinya dan mengarahkan perilakunya sendiri untuk dapat mengembangkan potensi dirinya. 2.3.2 Dimensi psychological well-being Psychological well-being terdiri dari enam dimensi pendukung, yang masing-masing dimensi menjelaskan fungsi individu secara penuh dan positif dalam menghadapi hambatan-hambatan yang dialami individu (Ryff, 1989). Dimensi-dimensi tersebut meliputi: a. Autonomy Dimensi ini menggambarkan individu yang memiliki sikap mandiri, memiliki prinsip internal dan mampu menolak tekanan sosial yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik akan mampu mengatur tingkah laku diri sendiri, mengevaluasi diri sendiri, mandiri, dan menolak tekanan sosial dari luar. Sebaliknya individu yang tidak memiliki tingkat otonomi yang baik akan bergantung pada orang lain, cenderung bersikap konformitas terhadap tekanan sosial, meminta evaluasi dari orang lain. b. Environmental mastery Dimensi ini menggambarkan kemampuan individu untuk memilih, mengatur, atau menciptakan lingkungan kompleks agar sesuai dengan individu. Individu yang mampu mengatur lingkungan akan mampu untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi individu, serta memanfaatkan secara maksimal sumber yang ada di lingkungan. Individu yang tidak dapat mengatur lingkungan akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah lingkungannya, dan tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan. c. Personal growth Dimensi ini menggambarkan kemampuan potensial individu dalam mengembangkan dirinya dan keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki tingkat pengembangan diri yang baik akan memiliki perasaan untuk terus berkembang, merasa dirinya harus selalu bertumbuh, menyadari potensi yang dimiliki, dan mampu melihat peningkatan dirinya dari waktu ke waktu. Individu yang memiliki tingkat pengembangan diri yang kurang akan memiliki perasaan jenuh dengan hidupnya, tidak mampu mengembangkan sikap yang baru, tidak memiliki peningkatan diri, merasa dirinya terhambat dan tidak dapat berkembang. d. Positive relations with others Dimensi ini menekankan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya, empati, dan keintiman dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki hubungan dengan orang lain ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain. e. Purpose in Life Dimensi ini menekankan pada pentingnya memiliki tujuan dan arah dalam hidup, serta percaya bahwa dalam hidup memiliki tujuan dan makna tersendiri. Individu yang memilliki tujuan dalam hidup maka akan memiliki target atau cita-cita dalam hidupnya dan kejadian yang terjadi dalam hidupnya memiliki makna tertentu. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan dalam hidup tidak akan memiliki target atau cita-cita dalam hidupnya dan tidak merasa kejadian dalam hidupnya memiliki makna tertentu. f. Self acceptance Dimensi ini merupakan karakteristik utama dari kesehatan mental, aktualisasi diri, dan kematangan individu. Penerimaan diri berarti bersikap positif terhadap diri sendiri, terhadap kejadian yang telah berlalu, dan dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri, sedangkan individu yang tidak memiliki penerimaan diri yang baik akan merasa tidak puas pada dirinya sendiri dan merasa terganggu dengan kekurangan yang dimiliki. 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi psychological well-being Faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu, meliputi: a. Usia Ryff (1989) dalam penelitiannya menemukakan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Beberapa dimensi pada psychological well-being seperti autonomy, self acceptance, environmental mastery, positive relation of others akan meningkat sejalan dengan perkembangan usia. b. Jenis kelamin Ryff (1989); Ryff dan Singer (2002), menyatakan perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh pada psychological well-being seseorang dimana wanita cenderung memiliki psychologicall well-being lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan aktifitas sosial yang dilakukan.Wanita cenderung lebih memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik dari pada laki-laki. c. Tingkat pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wing (1999), menyatakan tingkat pendidikan, salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan memiliki tingkat psychological well-being yang lebih baik pula. d. Status sosial ekonomi Ryff (1989), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well-being. Tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat psychological well-being juga lebih baik. Ryan dan Deci (2001), menemukan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat (Pinquart & Sorenson, 2000). e. Dukungan sosial Lingkungan individu terutama keluarga sangat berpengaruh pada psychological well-being seseorang. Dukungan sosial dari keluarga terdekat atau dari lingkungannya, menjadikan seseorang lebih bisa menerima, hubungan baik lebih terjaga dan hal ini dapat berpengaruh pada peningkatan psychological well-being seseorang. An dan Cooney (2006), menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain memiliki peran yang penting pada psychological well-being. 2.4 Remaja 2.4.1 Pertumbuhan remaja Remaja merupakan transisi tahap perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, perkembangan itu meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Tahap remaja dimulia pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada 18 sampai 21 tahun. Masa remaja terbagi menjadi dua tahap yaitu early adolescence dan late adolescence. Tahap early adolescence merupakan tahap perkembangan saat memasuki sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas dan remaja mengalami perubahan pubertas. Tahap late adolescence merupakan tahap tahap para remaja mulai tertarik dengan bidang kerja, berkencan, dan pencarian jati diri (Santrock, 2012). Berikut adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja: 1. Perubahan fisik Perubahan fisik pada remaja dipengaruhi oleh hormon yang ditandai dengan masa pubertas. Perubahan fisik remaja dibagi menjadi dua karakteristik yaitu primary sex characteristic dan secondary sex characteristic. Primary sex characteristic ditandai dengan perubahan hormon yang menyebabkan remaja wanita mengalami ovulasi dan menstruasi, serta pada remaja pria akan memproduksi sperma. Primary sex characteristic mengindikasikan bahwa remaja telah memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Secondary sex characteristic pada remaja wanita ditandai dengan pembesaran pada bagian payudara dan pinggang. Pada remaja pria ditandai dengan pertumbuhan testis dan penis, pelebaran pada bagian bahu, rendahnya suara. Selain kedua karakteristik tersebut, baik remaja pria ataupun wanita akan mengalami peningkatan pesat pada tinggi dan berat badan. 2. Perubahan kognitif Perubahan kognitif pada remaja akan dibahas melalui teori Piaget (Santrock, 2012). Dalam teori Piaget, individu yang berusia antara 11 sampai 15 tahun sedang berada dalam tahap formal operasional. Tahap ini dikarakteristikkan dengan kemampuan untuk menggunakan konsep abstrak dan logis. Selain hal tersebut, terdapat juga sosial kognisi pada remaja. Sosial kognisi adalah cara individu mengkonseptualisasikan lingkungan sosialnya, seperti cara individu berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Sosial kognisi pada remaja dikenal sebagai adolescent egocentrism. Adolescent egocentrism adalah kesadaran yang tinggi akan diri sendiri yang direfleksikan pada kepercayaan remaja bahwa orang lain tertarik pada diri mereka seperti diri mereka tertarik pada diri sendiri, dan pada keunikan yang mereka miliki. Adolescent egocentrism terdiri dari dua, yaitu imaginary audience dan personal fable. Imaginary audience merupakan egosentrisme remaja yang merasa selalu diperhatikan. Personal fable merupakan egosentisme remaja yang merasa memiliki keunikkan tersendiri sehingga tidak ada orang lain yang dapat memahami dirinya dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. 3. Perubahan social-emosional Menurut teori Erickson, individu usia 11-18 tahun sedang dalam tahap perkembangan identity vs identity confusion. Dalam tahap ini para remaja menghadapi krisis untuk menemukan jati dirinya. Dalam menemukan jati dirinya, para remaja akan mengeksplorasi peran-peran baru dalam lingkungan sosialnya. Jika para remaja berhasil mengeksplorasi jati dirinya maka mereka berhasil melewati krisi ini dan mendapatkan identity, sedangkan jika para remaja gagal dalam menemukan jati dirinya maka mereka akan mengalami identity confusion. Menurut Lahey (2010), terdapat tiga permasalahan yang akan mempengaruhi emosi remaja, yaitu konflik antara orang tua dan anak, perubahan mood yang tiba-tiba dan perilaku yang berbahaya. 2.4.2 Kenakalan remaja Dalam masa remaja terdapat beberapa masalah atau gangguan yang dialami oleh remaja, salah satunya adalah kenakalan remaja. Kenakalan remaja adalah perilaku yang dianggap melanggar norma sosial hingga melanggar hukum (Santrock, 2012). Kenakalan remaja dibagi dalam dua jenis yaitu status offsenses dan index offsenses. Status offsenses adalah tindakan-tindakan yang tidak terlalu serius seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras yang melanggar ketentuan usia, pelacuran, dan ketidakmampuan mengendalikan diri sehingga menimbulkan perkelahian. Index offenses merupakan tindakan kriminal baik yang dilakukan remaja maupun orang dewasa. Tindakan-tindakan itu meliputi perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Penyebab dari kenakalan remaja adalah sebagai berikut: a. Pencarian jati diri Sesuai dengan teori Erik Erikson, tahap perkembangan remaja sedang menghadapi krisis identity vs identity confusion. Menurut Erikson, remaja yang memiliki keterbatasan pilihan dalam memilih peran sosial yang dapat diterima oleh masyarakat atau remaja merasa tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan tuntutan lingkungan cenderung akan memilih identitas yang negatif. Remaja yang memiliki identitas negatif ini akan mendapat gambaran kenakalan remaja dari teman-temannya. b. Pola asuh Faktor pola asuh memiliki peran dalam membentuk kenakalan pada remaja. Remaja yang diasuh dengan pola asuh pemaksaan yang tinggi dan pola asuh positif yang rendah akan berdampak pada berkembangnya perilaku antisosial pada remaja. Perilaku antisosial ini akan berhubungan dengan perilaku negatif seperti kenakalan remaja. c. Hubungan saudara dan pengaruh teman Remaja yang memiliki kakak atau saudara yang berhubungan dengan kenakalan remaja lebih cenderung akan terpengaruh dengan kenakalan remaja. Selain memiliki saudara yang berhubungan dengan kenakalan, remaja yang mengalami penolakan dari teman atau memiliki teman yang melakukan penyimpangan akan cenderung melakukan kenakalan remaja. d. Faktor lingkungan Remaja yang tinggal di lingkungan perkotaan, tingkat mobilitas yang tinggi, dan tingkat kriminalitas yang tinggi akan cenderung melakukan tindak kenakalan yang bersifat kriminalitas. e. Pendidikan Remaja yang melakukan tindak kenakalan cenderung memiliki pendidikan yang rendah dan juga nilai yang rendah. 2.5 Kerangka Berpikir Psychological Well-being Andik Gambar Error! No text of specified style in document..1 Kerangka Berpikir Para Andik yang berada di dalam Lapas akan mengalami berbagai masalah seperti perkelahian dengan sesama Andik ataupun masalah lainnya. Permasalahan-permasalahan yang dirasakan oleh para Andik tersebut akan menyebabkan stress pada diri mereka. Stress yang dialami oleh para individu akan mengancam kesehatan mental mereka termasuk psychological well-being mereka (Lazarus & Folkman, 1984). Jika individu tidak ingin mengancam perkembangan psychological well-being-nya, maka individu perlu untuk melakukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialaminya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan stress adalah coping stress. Dalam penelitian yang dilakukan Jonker et al. (2009), coping stress dapat menjadi prediktor yang penting dalam psychological wellbeing seseorang. Hal tersebut menjelaskan bahwa dengan melakukan coping stress seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan beban stress yang dialaminya, sehingga akan berdampak baik pada psychological well-being individu. Perbedaan strategi coping yang digunakan oleh individu akan berdampak berbeda-beda pada masing-masing dimensi psychological well-being (Tomas et al., 2012). Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa strategi problem-focused coping lebih digunakan untuk mengembangkan psychological well-being ketika situasi lingkungan dapat diubah. Dengan melakukan problemfocused coping, individu dapat mengubah, menyelesaikan, atau menghilangkan situasi atau keadaan dari masalah yang dihadapinya, sehingga akan berdampak baik pada kesejahteraan psikologis atau psychological well-being individu. Namun berdasarkan hasil penelitian pada Andik Lapas di Blitar (Scholichatun, 2011), para Andik Lapas cenderung menggunakan emotion-focused coping karena terbatasnya pilihan yang mereka milik. Penelitian lain yang dilakukan Karlsen (2004), menunjukkan adanya hubungan positif dan kuat antara emotion-focused coping dengan gejala kecemasan dan depresi, yang juga berhubungan negatif dengan psychological well-being. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peranan strategi coping terhadap psychological wellbeing Andik Lapas. Selain strategi coping, kemampuan resiliensi juga berpengaruh pada psychological well-being individu. Kemampuan resiliensi digunakan oleh individu untuk dapat bertahan mengalami masa sulit yang dihadapi, sehingga individu dapat bertahan menghadapi permasalahan yang akan berpengaruh pada berkembangnya psychological well-being individu. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Christopher (2000) yang menyatakan bahwa semakin tinggi derajat resiliensi akan berpengaruh pada tingkat kepuasan hidup yang lebih baik yang menjadi prediktor kuat untuk psychological well-being. Resiliensi dapat membantu para Andik Lapas untuk bertahan dalam situasi sulit di Lapas sehingga hal itu dapat berdampak baik dengan psychological well-being para Andik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tomas et al. (2012) menemukan bahwa kemampuan resiliensi dapat memprediksi secara signifikan dan sebagian besar dari dimensi psychological well-being. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki peranan penting dalam menjaga psychological well-being. Individu yang dapat melakukan coping stress untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialami dan mampu untuk bertahan dalam permasalahan dengan kemampuan resiliensinya, maka individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya untuk mengembangkan psychological well-being. Keadaan tersebut dapat juga dilakukan oleh para Andik Lapas untuk melakukan coping dan resiliensi pada permasalahan yang dihadapi Lapas agar dapat mengarahkan perilakunya untuk mengembangkan psychological well-being. 2.6 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H01: Problem-focused coping tidak berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. Ha1: Problem-focused coping berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H02: Emotion-focused coping tidak berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. Ha2: Emotion-focused coping berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H03: Resiliensi tidak berperan secara signifikan terhadap psychological wellbeing pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. Ha3: Resiliensi berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang.