Tantangan Ketahanan Fiskal yang Berkelanjutan Oleh Eri Hariyanto

advertisement
Tantangan Ketahanan Fiskal yang Berkelanjutan
Oleh Eri Hariyanto, pegawai Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan RI*
Tantangan Fiscal Sustainability
Dalam beberapa teori keuangan negara, ketahanan fiskal yang keberlanjutan (fiscal sustainability)
dimaknai sebagai suatu kondisi dimana pemerintah mampu membuat kebijakan fiskal yang dapat
menstabilkan kondisi perekonomian melalui solvabilitas keuangan jangka panjang (Balassone dan
Franco, 2000). Solvabilitas mengacu pada kemampuan pemerintah untuk memenuhi kewajiban dalam
menjalankan fungsi distribusi, alokasi, dan stabilisasi (trilogi Musgrave).
Bangunan ketahanan fiskal yang berkelanjutan agar memiliki solvabilitas jangka panjang ditopang oleh
tiga pilar utama yaitu: pertama, penerimaan negara yang optimal. Untuk mewujudkannya, pemerintah
melaksanakan beberapa langkah strategis diantaranya: mendorong terjadinya perubahan basis
penerimaan negara yang berasal sumber daya alam (bahan baku) menuju industrialisasi yang
menciptakan barang jadi atau setengah jadi dan meningkatkan penerimaan negara dari industri jasa.
Langkah strategis lainnya adalah penguatan penerimaan sektor pajak dengan cara memperluas basis
pajak (tax ratio), memperkuat institusi pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta mencegah
kebocoran.
Pilar kedua dari fiscal sustainability adalah belanja pemerintah yang berkualitas. Seperti diketahui
bahwa pengaruh belanja pemerintah dalam komponen pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di
Indonesia masih cukup besar yaitu sekitar 20%. Atas dasar hal tersebut, maka pengeluaran pemerintah
memegang peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu belanja
pemerintah diarahkan kepada belanja yang dapat meningkatkan produktivitas seperti pembangunan
infrastruktur. Selain itu, mengingat pertumbuhan ekonomi juga masih ditopang oleh konsumsi
masyarakat, maka belanja pemerintah juga diarahkan untuk memberdayakan masyarakat agar memiliki
daya beli yang baik. Pemerintah daerah selaku pengelola dana alokasi dari pemerintah pusat ke daerah
saat ini juga didorong untuk memanfaatkan dananya sebaik mungkin, sehingga menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi di daerah.
Pilar ketiga yang tidak kalah penting adalah pengelolaan pembiayaan yang berkelanjutan, yang berarti
bahwa pemerintah dalam jangka panjang tetap dapat mengadakan utang tanpa terkendala oleh beban
utang di masa lalu.
Agar pembiayaan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka pemerintah
berupaya untuk melakukan diversifikasi sumber-sumber pembiayaan agar diperoleh pembiayaan yang
efisien dan risiko yang terkendali. Selain itu, agar utang pemerintah memberi dampak positif bagi
perekonomian, maka utang pemerintah diarahkan untuk pembiayaan produktif seperti pembiayaan
infrastruktur.
Bila ditelaah lebih jauh, beberapa kondisi di bawah ini dapat menjadi tantangan bagi ketahanan fiskal
yang berkelanjutan:
1.
Volatilitas ekonomi global
Dalam sistem ekonomi terbuka, ketahanan fiskal yang berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal. Kekuatan pengaruh eksternal tersebut ditentukan oleh seberapa besar porsi
relasi ekonomi dengan pihak lain terutama di bidang perdagangan antar negara (ekspor-impor) dan
pasar keuangan. Semakin besar keterkaitan dengan faktor eksternal, maka akan semakin besar
pengaruhnya terhadap ketahanan fiskal. Krisis 1997-1998 telah membuktikan hal tersebut, saat itu
Indonesia memiliki keterkaitan yang sangat besar terhadap pasar keuangan global. Utang swasta
dan pemerintah yang didominasi dalam mata uang asing telah menjadi pemicu krisis ketahanan
fiskal karena penurunan nilai mata uang rupiah yang sangat tajam.
Perekonomian global yang sedang mengalami penurunan tensi dapat menjadi salah satu pemicu
turunnya solvabilitas pemerintah karena lambatnya arus penerimaan negara dari sektor pajak
maupun non pajak. Dari data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa realisasi
pendapatan negara sampai dengan akhir semester I tahun 2016 baru mencapai 35,5%. Dari target
pendapatan negara sebesar Rp1.762 triliun baru terealisasi Rp637 triliun. Tidak dipungkiri bahwa
perlambatan ekonomi dunia memengaruhi target pendapatan negara. Turunnya harga komoditas di
pasar global juga turut memengaruhi turunnya penerimaan negara yang bersumber dari ekspor
sumber daya alam.
2.
Penambahan defisit APBN
Kondisi perekonomian global setidaknya dalam dua tahun terakhir telah membawa perubahan jenis
defisit yang diterapkan pemerintah dari defisit struktural yang bermanfaat sebagai stimulus
perekonomian, menuju ke defisit siklikal yang mengharuskan pemerintah menyusun kembali
strategi agar dapat melanjutkan ketahanan fiskal. Salah satu strategi fiskal yang ditempuh adalah
dengan menyesuaikan tingkat defisit APBN setelah memperhatikan realisasi pendapatan dan
belanja negara. Dampak penyesuaian defisit APBN adalah adanya penambahan utang baru dan
penambahan kewajiban di masa yang akan datang termasuk bunga utang. Idealnya penambahan
utang baru harus diiringi dengan pemanfaatan yang optimal pada sisi pengeluaran negara sehingga
menjadi stimulus yang menciptakan penerimaan negara. Belajar dari tahun 2015, terdapat
kenyataan bahwa sisi pembiayaan meningkat tetapi tidak diiringi dengan realisasi belanja yang
optimal sehingga peningkatan pembiayaan kurang memberikan dampak pada pertumbuhan
ekonomi yang mendorong peningkatan pendapatan negara. Akibatnya pendapatan negara tidak
dapat menutup pengeluaran negara, belum termasuk bunga utang yang juga berada pada sisi
pengeluaran pemerintah (above the line). Untuk membayar bunga utang tersebut pemerintah harus
menggunakan pendanaan yang berasal dari utang. Dalam kondisi ini APBN mengalami defisit
keseimbangan primer (deficit primary balance). Kondisi ini tentu akan menjadi tantangan bagi
ketahanan fiskal di masa depan, karena utang tidak digunakan untuk investasi.
Ketahanan Fiskal yang Berkelanjutan
Dalam kondisi ekonomi yang sedang gloomy saat ini, pemerintah telah melakukan beberapa langkah
tepat dengan menyesuaikan beberapa target APBN. Penyesuaian tersebut diantaranya adalah
mengubah target penerimaan negara agar lebih realistis, meningkatkan kualitas belanja pemerintah
agar lebih efisien, dan menyesuaikan target pertumbuhan ekonomi agar tetap ekspansif namun
terkendali. Selain perubahan di atas, dalam APBN-P 2016 pemerintah juga melakukan perubahan target
defisit fiskal yang disesuaikan dengan realisasi penerimaan negara sampai akhir tahun. Penyesuaian
yang dilakukan oleh pemerintah tidak lain untuk menjaga agar ketahanan fiskal dapat terjaga dan
pemerintah dapat menjalankan tugasnya tanpa kendala solvabilitas.
Untuk menjaga agar ketahanan fiskal dapat berlangsung secara berkesinambungan, pemerintah
diharapkan menjaga arah kebijakan yang telah dilaksanakan selama ini dan mempertajam kebijakannya
dengan langkah-langkah diantaranya:
1. Menjaga pertumbuhan ekonomi dengan belanja negara yang optimal
Pemerintah saat ini tentu tidak dapat mengandalkan kondisi perekonomian global untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Dengan potensi domestik yang cukup baik, diantaranya jumlah penduduk
yang cukup besar, pemerintah dapat menjaga pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan
konsumsi. Seperti diketahui bahwa saat ini konsumsi merupakan salah satu kontributor produk
domestik bruto yang sangat besar yaitu 60%. Untuk menjaga tingkat konsumsi masyarakat,
pemerintah dapat menggunakan instrumen APBN untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih
banyak. Salah satu bentuk pengeluaran negara yang dapat mendorong terciptanya lapangan kerja
adalah pembangunan infrastruktur. Dengan meningkatnya lapangan kerja, akan mendorong
konsumsi masyarakat dan secara tidak langsung akan menambah pendapatan negara dari sektor
pajak. Optimalisasi belanja negara yang dilakukan pemerintah memang dikhawatirkan akan
mereduksi pertumbuhan ekonomi. Namun dengan optimalisasi yang selektif dan mengarahkan
belanja negara pada investasi jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur justru akan
memberi dorongan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi belanja negara yang
dilakukan oleh pemerintah diharapkan dapat menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka panjang.
2. Melanjutkan upaya optimalisasi pendapatan negara
Pemerintah saat ini telah melakukan berbagai upaya yang sangat baik untuk meningkatkan
pendapatan negara. Upaya optimalisasi penerimaan pajak melalui program Amnesti Pajak saat ini
memang belum seperti yang diharapkan. Namun masih tersedia waktu untuk mengajak semua pihak
menyukseskan program ini. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk terus mengusahakan agar tax
ratio Indonesia terus meningkat. Optimalisasi lainnya adalah mengupayakan peningkatan kontribusi
BUMN terhadap penerimaan negara yang berasal dari deviden. Selain itu pemerintah dapat pula
meningkatkan penerimaan yang berasal dari aset yang dimiliki berupa Barang Milik Negara (BMN),
misalnya dengan mengelolanya secara lebih produktif.
3. Menjaga defisit APBN
Langkah pemerintah untuk menjaga tingkat defisit dan total utang per PDB saat ini telah dijalankan
dengan sangat baik. Sehingga tingkat defisit terjaga di bawah 3% per tahun dan total utang jauh di
bawah batas tertinggi yaitu 60% PDB. Upaya pemerintah dalam menjaga defisit APBN perlu terus
didukung dengan upaya optimalisasi pengeluaran, misalnya dengan menunda pengeluaran yang
tidak menyebabkan pemerintah berada dalam posisi gagal bayar (default) atau mengurangi
pengeluaran yang tidak prioritas. Langkah pelebaran defisit APBN diupayakan sebagai kebijakan
terakhir untuk menjaga solvabilitas pemerintah.
*
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
Download