BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wijana di dalam bukunya Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (2010:27-28) mengemukakan bahwa secara semantis kata tidak hanya memiliki makna untuk kata itu sendiri, baik berupa denotasi maupun konotasi. Dalam hubungannya dengan unsur yang lain di dalam tuturan, kata-kata itu berkontribusi bagi unsur yang disertainya. Sebagian makna dari kata itu bergantung atau ditentukan oleh konteks pemakaiannya, yakni kata-kata yang mendahului dan mengikutinya, misalnya, frasa nomina hand brake „rem tangan‟, her hand „tangan dia (perempuan)‟, farm hand „buruh tani‟, dan sebagainya. Pada hand brake „rem tangan‟, relasi makna yang terbentuk adalah „alat‟ karena brake „rem‟ adalah produk yang dapat berfungsi dengan bantuan alat, dan hand „tangan‟ adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk memfungsikan rem. Pada her hand „tangan dia (perempuan)‟, terdapat relasi milik yaitu hand „tangan‟ sebagai referennya, sedangkan kata her „dia (perempuan)‟ menjadi pemiliknya. Sementara itu, farm hand „buruh tani‟ dapat memicu relasi metaforis berdasarkan konteks pemakaiannya. Konstruksi metaforis ini awalnya dipicu oleh pemetaan metonimis pada leksem hand, yaitu menyoroti anggota tubuh manusia „tangan‟ untuk mengungkapkan makna „orang‟. Pemetaan metonimis ini membentuk skema SEBAGIAN UNTUK KESELURUHAN, seperti yang dikemukakan oleh Lakoff & Johnson (1980:38). Tipe konstruksi ini 1 2 memperlihatkan makna literal hand sebagai anggota tubuh manusia dimaksudkan untuk mengungkapkan makna keseluruhan „orang‟. Sementara itu, pemetaan metonimis di atas dapat memotivasi makna metafora pada kata farm hand. Konstruksi metaforis itu melibatkan makna personifikasi pada leksem hand, yaitu mengibaratkan anggota tubuh manusia „tangan‟ seperti benda hidup „orang‟. Dalam kaitannya, titik acu metaforis pada leksem hand terletak pada karakteristik tangan yang dapat bergerak dan berpindah seperti benda hidup. Dari pandangan ini, satu hal yang dipahami adalah peran metonimi dan metafora saling berkaitan satu sama lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Evans & Green (2006:318) bahwa metafora dan metonimi saling berhubungan dalam ranah konseptual yang sama. Dengan penjelasan di atas, konsep hand tidak langsung bertujuan untuk mencerminkan acuan fisik tertentu, tetapi lebih pada ide tentang hand. Artinya, konsep hand dapat diasosiasikan dengan sekumpulan jejaring makna yang saling berkaitan dan pada tingkatan tertentu bersifat konvensional. Fenomena inilah yang dikenal dengan polisemi. Polisemi yang menjadi bahan kajian tesis ini merupakan hasil analisis yang membahas perluasan makna leksem tertentu. Istilah polisemi tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Breal pada tahun 1887. Breal mengarahkan polisemi sebagai fenomena penggunaan bahasa, pemerolehan bahasa, perubahan bahasa, dan bahkan neurolinguistik avant la lettre. Konsep polisemi ini merupakan hasil inovasi semantik, yang menghubungkan makna lama dan makna baru secara paralel (Nerlich, 2003:60). Dalam perkembangannya, polisemi 3 diistilahkan oleh Stephem Ullmann sebagai bentuk perluasan makna yang terdiri atas beberapa kata yang mempunyai jejaring makna yang saling berhubungan, yang dikenal dengan “the pivot of semantic analysis” (Nerlich & Clarke, 2003:3). Penelitian polisemi pada kesempatan ini dikaitkan dengan pendekatan linguistik kognitif, yang memayungi teori tatabahasa dan semantik kognitif. Dalam kajian polisemi, penelitian ini menelusuri berbagai macam makna perluasan leksem hand yang perbedaannya dapat diruntun untuk kemudian disimpulkan bahwa kesemuanya bersumber pada asal yang sama. Misalnya dalam beberapa kalimat berikut: (1) <WPO03> Somebody would hand you a book Seseorang akanPAST tangan 2ndSG ART buku „Seseorang akan memberimu sebuah buku‟ (2) <UST96> Parents also hand out a few warning notices Orang tua jugaADV tangan keluar ART sedikit peringatan catatanPL „Orang tua juga membagikan beberapa lembar peringatan‟ (3) <HAY07> All officers ought to hand in their papers every week Semua karyawanPL harus tangan dalamPREP 3rdPLPOSS kertas setiap mingguWKTU „Semua karyawan harus menyerahkan laporan mereka setiap minggu‟ Ketiga kalimat di atas menunjukkan bahwa makna leksem hand tampaknya tidak hanya terkait dengan makna literalnya, namun juga terdapat perluasan makna pada tataran gramatikal lainnya, seperti verba ditransitif (1), dan verba frasal (2) dan (3). Hal menarik dari contoh sitiran di atas adalah perubahan gramatikal nomina hand ke verba. Perubahan ini masih memicu tindakan fisik yang menjelaskan makna literal leksem hand sebagai anggota badan manusia. Menariknya, tindakan fisik yang menguraikan makna literal leksem hand itu 4 mengacu konsep „pergerakan‟ pada tangan. Konsep makna literal hand inilah yang mendasari konstruksi metonimis pada verba denominal hand. Kovecses (2010: 244) menegaskan bahwa motivasi yang mendasari leksem hand sebagai metonimi karena banyak aktivitas manusia dilakukan dengan tangan, sehingga leksem hand dipandang sebagai instrumen yang membentuk skema metonimis INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN DALAM SEBUAH AKTIVITAS MENUNJUKKAN AKTIVITAS TERSEBUT. Pandangan ini mencerminkan bahwa makna perluasan leksem hand melibatkan pemetaan metonimi yang terletak pada peran hand sebagai instrumen untuk melakukan suatu aktivitas. Akan tetapi, tidak semua leksem hand dapat dikatakan sebagai bagian dari pemetaan metonimis. Berikut ini dikemukakan beberapa data perluasan makna, yang menyoroti tindakan fisik sebagai acuan interpretasi makna idiomatis: (1) <HOU00> They hold hands to solve their problems 3rdPL pegang tangan PREP menyelesaikan merekaPOSS masalahPL „Mereka berpegangan tangan untuk menyelesaikan masalah-masalahnya‟ (2) <ELB06> Dwayne wanted to wash his hands of the whole thing 3rdSG inginPAST PREP cuci diaPOSS tangan PREP DET semua hal „Dwayne ingin cuci tangan dari semua hal itu‟ (3) <EIE08> Pete would raise a hand against Ender! 3rdSG akanPAST kepal ART tangan melawan Ender „Pete akan memukul Ender!‟ Ketiga kalimat di atas menunjukkan bahwa leksem hand menjadi salah satu komponen idiomatis yang secara literal menyoroti makna fisik leksem tersebut, yaitu aggota badan manusia. Makna leksem hand tersebut secara konvensional mengungkapkan makna lain, yang bergeser dari makna literalnya. 5 Jika dilihat pada contoh (5), kata hold hands menunjukkan tindakan berpegangan tangan, yang dilakukan antara orang yang satu dengan orang lain. Hal itu tidak dimaknai secara literal, tetapi lebih kepada makna konvensional, yaitu makna „kompak‟. Berbeda dengan contoh (5), contoh (6) wash POSS hands „mencuci tangan‟ dimaksudkan untuk mengungkapkan makna konvensional „lepas dari tanggung jawab‟, dan contoh (7) raise a hand against (somebody) „mengepalkan tangan‟ dimaksudkan untuk mengungkapkan makna „memukul seseorang (hit someone) (CALD, 2008)‟. Dengan kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa keproduktifan ranah hand menunjukkan bahwa leksem hand memiliki berbagai macam makna dalam konstruksinya. Jika dikaitkan dengan pendapat Evans & Green (2006: 45); Lee (2001:5), pengalaman badaniah dan persepsi seseorang ikut terlibat dalam kognisinya sehingga konstruksi gramatikal dan semantis dapat saling mempengaruhi satu sama lain pada perluasan makna leksem hand. Dasar pemikiran di atas menjadi salah satu alasan kenapa ranah anggota tubuh manusia menjadi salah satu objek dalam penelitian ini. Di dalam situasi tertentu, keproduktifan ranah anggota tubuh manusia ini tidak hanya terlihat pada leksem hand saja, tetapi Deignan (1997) pernah menelusuri keproduktifan ranah shoulder dan heart, dan hal ini memperlihatkan pergeseran pemakaian kedua leksem tersebut. Terkait dengan objek penelitian ini, perluasan makna leksem hand pernah disinggung oleh Kovecses (2010: 240-247) dalam bukunya yang berjudul Metaphor A Practical Introduction, yang mengulas tentang metonimi dan 6 metafora leksem hand. Dalam buku ini, uraian perluasan makna leksem hand tersebut hanya diuraikan secara umum guna memperlihatkan beberapa contoh yang mengungkapkan makna metonimis dan metafora leksem hand. Penelitian itu tidak menyinggung aspek gramatikal pemakaian suatu leksem dan keterkaitan makna literal dengan makna perluasan leksem hand. Jadi, penelitian perluasan makna leksem hand pada tesis ini diharapkan dapat mengisi celah pada kajian Kovecses (2010). Pada penelitian ini, makna perluasan akan dipetakan dari makna fisik menuju makna non fisik (dikutip dari kata physical and nonphysical entities oleh Evans &Tyler, 2003:123-124). Pemetaan skematis ini mengungkapkan bagaimana makna polisemi tertata dalam kategorisasi jejaring semantis sehingga pemetaan jejaring semantis ini memungkinkan adanya tali penghubung antara makna literal hand dengan makna perluasannya. Penelitian ini juga mengaitkan konstruksi gramatikal leksem hand dan makna literalnya. Makna literal pada penelitian ini akan ditelusuri berdasarkan empat kriteria yang dikemukakan oleh Tyler & Evans (dalam Evans & Green, 2006: 344-345) dalam menganalisis leksem over, antara lain 1) melibatkan makna etimologi leksem hand (earliest attested meaning of hand); 2) dominasi dalam jejaring semantis (predominance in the semantic network); 3) hubungan makna hand dengan kata lain (relations of hand to other word); 4) kemudahan dalam menentukan makna perluasan leksem hand (ease of predicting sense extension). Untuk menjawab setiap permasalahan di atas, peneliti menelusuri sumber data yang ditemukan pada korpus dan kamus. Kedua sumber data ini memberikan 7 kemudahan bagi peneliti untuk mengumpulkan data kebahasaan yang alamiah. Data dalam korpus diperoleh melalui internet berupa program konkordansi COCA (Corpus of Contemporary American English). Hal ini dapat membantu peneliti untuk mempelajari sebuah kata atau bentuk-bentuk kata dengan melihat sejumlah sitiran dari kata tersebut dalam konteks linguistiknya (Deignan, 2005:78). Sementara itu, data dalam kamus diperoleh dari kamus-kamus berupa Cambridge Advanced Learner’s Dictonary 3rd Edition (CALD 3, 2008), The Contemporary English-Indonesian Dictionary (CEID, 2006), dan kamus online Free Dictionary (situs: www.thefreedictionary.com). Kamus ini bertujuan untuk melengkapi data terkait leksem hand yang tidak ditemukan dalam korpus. Dengan demikian, alur penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan perluasan makna leksem hand secara skematis guna mempermudah pemahaman pemakaian leksem hand dalam kalimat. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran yang telah dipaparkan di atas, pokok-pokok permasalahan yang menarik perhatian dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Bagaimanakah konstruksi gramatikal leksem hand? (2) Bagaimanakah makna literal dan makna perluasan leksem hand? (3) Bagaimanakah keterkaitan antara makna perluasan hand dengan makna literalnya dalam jejaring semantis? 8 1.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji perluasan makna leksem hand yang terdapat dalam korpus dan kamus dengan menitikberatkan pada bentuk gramatikal, makna, dan skematisasi, guna menunjukkan perluasan makna secara konseptual, khususnya yang berhubungan dengan pemetaan konsep terhadap hal-hal yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan. Penelitian ini mengaitkan kajian korpus berupa perspektif isi dengan memusatkan perhatian pada penggunaan ungkapan metonimi dan metafora. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan didasarkan pada pendekatan kognitif dengan menerapkan teori metonimi dan metafora secara konseptual. Analisis ini ditujukan pada ungkapan berupa perluasan makna yang berada dalam konteks linguistik, yaitu kata atau frase yang bersanding dengan ungkapan lain yang menjadikan ungkapan itu metonimis, metaforis, dan idiomatis. Tetapi, konteks non linguistik juga dilibatkan dalam penelitian ini, yaitu konteks yang mengacu pada fenomena mental penutur serta pengalaman yang berwujud schema „skema‟, yaitu: struktur pengalaman yang berada pada kognisi yang membentuk frames „bingkai‟, dan referent „referen‟. Skema yang berbentuk bingkai mengacu pada pengalaman yang tersimpan dalam manah dan referen yang mengacu pada entitas atau substansi yang diacu oleh ungkapan yang dianalisis. 1.4 Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok-pokok dan ruang lingkup permasalahan di atas, terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain: (1) Mendeskripsikan bentuk pemakaian gramatikal leksem hand 9 (2) Mendeskripsikan makna literal dan makna perluasan leksem hand (3) Mendeskripsikan keterkaitan antara makna perluasan hand dengan makna literalnya dalam jejaring semantis. 1.5 Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan konsep pada ilmu bahasa, khususnya teori linguistik kognitif yang meliputi dua aspek kajian bahasa yaitu tatabahasa kognitif dan semantik kognitif. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembelajar linguistik untuk memahami konstruksi gramatikal leksem hand dalam kalimat, dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya terkait dengan pemahaman terhadap evolusi bahasa, yaitu pemahaman bahwa perkembangan bahasa sejalan dengan perkembangan pengetahuan manusia. Secara praktis, pemetaan skematis leksem hand dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu setiap pemakai dan pembelajar bahasa Inggris untuk memahami kaitan makna literal leksem hand dengan makna lain, sehingga mempermudah pemakai dan pembelajar bahasa Inggris untuk berinteraksi dengan pemakai bahasa Inggris lainnya. 1.6 Tinjauan Pustaka Masalah perluasan makna (polisemi) pernah diteliti oleh beberapa ahli linguistik, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Jeong (1998) pada disertasinya, yang berjudul “A Cognitive Semantic Analysis of Manipulative Motion Verbs in Korean with Reference to English”. Penelitian ini dikelompokkan sebagai penelitian lintas bahasa, yaitu penelitian yang melibatkan 10 dua atau lebih bahasa yang diperbandingkan. Jeong (1998) meninjau verba gerakan dinamis Korea kkulta, tangkita, dan milta, yang dibandingkan dengan leksem bahasa Inggris pull (meN-tarik) dan push (meN-dorong). Hal yang menarik dari penelitian ini adalah dua leksem Korea kkulta dan tangkita hanya mempunyai satu padanan makna dalam bahasa Inggris pull „menarik‟. Kedua leksem tersebut ternyata dapat dibedakan berdasarkan bentuk dasar kognitiffungsional. Berikut ini contoh yang dikemukakan oleh Jeong (1998) terkait perbedaan pemakaian leksem kkulta dan tangkita: (1) Ku haksayng-I chayksang-ul kkul-ess-ta „The student pulled the desk‟ (Siswa menarik meja itu) (2) ??ku mal-I paicwul-ul tangki-ess-ta „the horse pulled the rope‟ (Kuda menarik tali itu) Berdasarkan kalimat di atas, Jeong (1998) mengungkapkan bahwa kalimat (1) menggambarkan objek chayksang-I „desk‟ begeser pada subjek kuhaksayng-I „the student‟. Berbeda dengan tangkita subjek dibatasi pada agen, dan letak objek mempunyai jarak dengan subjek. Kalimat (2) bukan berarti kuda menarik tali, tetapi ada peran agen yang menarik tali yang melilit leher kuda. Dalam hal ini, agen menarik tali pada kuda itu tapi bukan berarti kuda itu begeser atau berpindah. Penelitian polisemi juga dilakukan oleh Wijaya (2011) dan Pasaribu (2013) pada lingkup kajian linguistik kognitif. Wijaya (2011) meninjau gugusan makna dari nomina head sebagai objek penelitian. Dalam pembahasannya, Wijaya (2011) menemukan 13 tipe makna, dari total 18 tipe makna figuratif, yang menunjukkan makna literal head diperluas secara mandiri dalam konstruksinya. 11 Akan tetapi, penelitian Wijaya (2011) hanya memusatkan penelitiannya pada perluasan makna leksem head tanpa menyajikan makna literal sebagai bentuk tolok ukurnya. Hal ini yang menjadi celah bagi penelitian Pasaribu (2013) untuk mengkaji leksem cut dengan mengaitkan makna literal sebagai tolok ukur dalam perluasan makna leksem cut. Pasaribu (2013) menemukan makna perluasan cut berjumlah 15 tipe. Masing-masing makna itu meliputi referen kongkret dan abstrak. Penelitian ini juga menemukan bahwa verba cut terdapat konstruksi transitif dan intransitif. Kedua ulasan ini lebih banyak melihat polisemi sebagai bentuk perluasan makna dalam tataran kognitif sehingga cenderung menguraikan penyimpangan aspek-aspek semantik kebahasaan, seperti metafora dan idiom. Dua penelitian ini menjadi dasar pemikiran untuk mengkaji leksem hand sebagai objek penelitian. Secara khusus, penelitian ini menyerupai penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2011), yaitu menyangkut leksem anggota badan manusia. Akan tetapi, wujud penelitian yang dikemukakan oleh Wijaya (2011) tidak hanya dibatasi pada perluasan makna leksem head tanpa melibatkan peran makna literal saja, tetapi penelitian ini juga dikatakan tidak menyinggung perluasan konvertif leksem head dalam kajiannya (Wijaya, 2011: 2-3). Hal ini yang menjadi pemicu untuk mengkaji lebih mendalam tentang leksem anggota badan manusia, yang menekankan pada perluasan makna leksem hand. Berikutnya, penelitian terdekat terkait perluasan makna leksem hand pernah disinggung oleh Kovecses (2010) pada sub bab pembahasan, utamanya terkait dengan metonimi dan metafora leksem hand. Kajian tersebut hanya sebatas 12 menguraikan perluasan makna leksem hand berdasarkan sistem metafora dan metonimi secara konseptual. Keterbatasan ini yang memicu penulis untuk mengkaji lebih mendalam terkait perluasan makna leksem hand, yaitu tidak hanya dilihat dari bentuk perluasan makna leksem hand, tetapi juga melibatkan konstruksi gramatikal dan jejaring semantis sebagai struktur kajiannya. Polisemi sebenarnya bukanlah sekedar penyimpangan aspek semantis bahasa, tetapi penyimpangan kaidah pragmatik juga perlu diperhatikan. Kenyataan ini dikemukakan oleh Falkum (2011) dalam penelitian disertasinya, berjudul „The Semantics and Pragmatics of Polysemy: A Relevance- Theoretic Account‟. Lingkup kerja penelitian ini mengaitkan kerangka berfikir Sperber dan Wilson, yaitu makna baru untuk leksem tertentu dikonstruksi melalui konsep ad hoc yaitu konsep khusus yang menyesuaikan makna kata pada tujuan yang berbeda. Konsep ini mengaitkan peran makna denotasi dengan bentuk kontekstual yang meliputi penyesuaian saling berhubungan “mutual parallel adjustment”. Kajian penelitian ini sebenarnya tidak terkait dengan penelitian perluasan makna leksem hand, tetapi kajian ini menjadi gambaran bahwa perluasan makna leksem tertentu dapat disesuaikan dengan konteks kalimat Semua pemaparan di atas akhirnya membawa penulis pada kesimpulan bahwa penelitian polisemi secara kognitif masih sangat diperlukan bila ingin memahami polisemi sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa yang layak diperhatikan. 13 1.7 Landasan Teori 1.7.1 Linguistik Kognitif Seperti telah dibahas pada sub bab (1.1) di atas bahwa konsep perluasan makna (polisemi) yang berkembang dewasa ini bertumpu pada salah satu teori utama, yaitu teori linguistik kognitif (LK). LK merupakan aliran linguistik yang muncul pertama kali pada tahun 70-an. Dalam lingkup kajiannya, LK meninjau bahasa dari sudut pandang kognitif manusia, yang dapat digunakan oleh seseorang untuk merefleksikan apa yang ada dalam manahnya. Teori LK mengemukakan bahwa tatabahasa memiliki kaitan yang erat dengan semantik, yang didasari pada sistem kognitif manusia. Evans & Green (2006: 49) menyebut kedua gugusan teoritis tersebut sebagai dua sisi mata uang yang sama (two sides of the same coin). Artinya, tatabahasa dan semantik saling melengkapi satu sama lain. Leksem up (1) membentuk konstruksi gramatikal yang benar dalam kalimat, tetapi makna yang muncul pada leksem itu tidak dapat diartikan secara literal. Hal ini hanya bisa ditunjukkan berdasarkan konsep pemahaman pikiran manusia. Perluasan makna leksem Picasso (2) juga tidak hanya dimaknai secara literal, tetapi suatu entitas konseptual memberikan ruang terhadap entitas lain yang masih berdekatan dengan entitas sebelumnya. Kelompok kata yang dirangkai dengan susunan tertentu blew his stack (3) juga membentuk perluasan makna yang tidak dapat dimaknai secara parsial, tetapi lebih mengarah pada makna keseluruhan, yang bersifat konvensional. (1) I am feeling up 1SG COP merasa atas „Saya sedang merasa senang‟ (Lakoff & Johnson, 1980: 15) 14 (2) She loves Picasso 3SG menyukai Nama „Dia menyukai (salah satu karya dari) Picasso‟ (Kovecses, 2010: 172) (3) He blew his stack and talked wildly 3SG meniup POSS timbunan KONJ berbicara dengan kasar „Dia tidak bisa menahan amarah dan berbicara kasar‟ (Kovecses, 2010: 172) Bentuk perluasan makna yang dikemukakan pada contoh di atas mencerminkan perilaku polisemi sebagai makna yang tidak muncul begitu saja, melainkan ada yang memotivasi dan melatarbelakanginya. Lakoff & Johnson (1980: 15) mengelompokkan konstruksi (1) sebagai bagian dari metafora, yaitu BAHAGIA ADALAH NAIK (up). Kelompok metafora ini dikategorikan sebagai metafora orientasional yang menggambarkan keadaan seseorang melalui pengalaman badaniah manusia. Sementara itu, konstruksi (2) merupakan karaketristik metonimi yang menghubungkan ranah PRODUKSI dengan nama pencipta. Kovecses (2010:172) memaparkan bahwa nama pelukis Picasso dimaksudkan pada entitas yang lain, yaitu „salah satu lukisan Picasso‟ atau hasil karya Picasso. Selanjutnya, konstruksi (3) mencerminkan fenomena idiom yang tidak dapat dimaknai dari makna unsur-unsurnya. Fenomena idiom ini dikenal sebagai kombinasi makna yang bersifat opaque (tidak jelas), yang tidak mempunyai hubungan makna antara kata yang satu dengan pasangan kata lainnya. Jika katakata dalam blew his stack dirangkai menjadi satu frasa dan diacu pada makna literal, maka bentuk frasa itu tidak dapat berterima dalam konstruksi semantis sekalipun konstruksi sintaksis bentuk frasa itu sudah memenuhi kaidah yang benar. 15 Berdasarkan pemaparan di atas, pemakaian non literal pada konstruksi kalimat menunjukkan karakteristik polisemi sebagai bentuk bahasa dengan makna yang berbeda-beda. Makna yang berbeda-beda itu muncul karena luasnya pemakaian sehingga memungkinkan dilihat benang merah penghubungnya. Benang merah itulah yang menuntun untuk sampai pada kesimpulan, bahwa aneka makna yang ditemukan itu bersumber pada satu makna literal yang sama pada mulanya (Wijana, 2010: 163). Ken-ichi (2003: 211) memetakan benang merah penghubung makna literal dan makna perluasan seperti gambar (1.1) berikut: Gambar 1.1 Skema Polisemi (di adaptasi dari Figure 10 pada Ken-ichi, 2003: 211) Luasnya pemakaian bahasa menyebabkan makna sebuah kata mengalami pergeseran. Pergeseran makna yang belum begitu jauh akan memungkinkan peneliti bahasa mengenali hubungan makna atau persamaan makna konsep yang baru dengan makna literal. Oleh karena itu, garis panah putus-putus di atas mencerminkan kedekatan antara makna literal dengan makna perluasan yang membentuk polisemi. Sebaliknya, pergeseran makna yang sudah begitu jauh mengakibatkan kata-kata yang berpolisemi akan menjadi pasangan yang berhomonimi. 16 1.7.2 Pengertian Polisemi Kata polisemi berasal dari bahasa Yunani „polysemeion‟ yang merupakan gabungan dari leksem polys berarti „banyak‟ dan semeion berarti „tanda, sinyal‟ (Ullmann, 1977). Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sebuah kata yang memiliki makna yang berbeda-beda. Kridalaksana (2008: 197) mendefinisikan bahwa polisemi adalah pemakaian bentuk bahasa seperti kata, frase, dan sebagainya dengan makna yang berbeda-beda. Pandangan ini menggambarkan bahwa polisemi tidak hanya berhubungan dengan suatu kata yang mengandung seperangkat makna yang berbeda, tetapi suatu kata yang memiliki bentuk yang berbeda juga mempengaruhi perbedaan makna. Dapat dikatakan bahwa bentuk polisemi memiliki ketentuan-ketentuan tertentu dala konstruksinya. Bentuk leksem yang berpolisemi tidak sekedar mengacu pada makna perluasan leksem tertentu saja, tetapi polisemi pada leksem tertentu bisa berarti memiliki tingkatan perluasan makna. Ken-ichi (2003: 206) menegaskan bahwa polisemi mengaitkan hubungan metafora, metonimi, dan sinekdok sebagai acuan perluasan maknanya. Ketiga komponen tersebut merupakan ciri fundamental bahasa dalam rangka mengembangkan kemampuan kosakatanya tanpa harus membuat bentuk baru untuk mengungkapkan konsep baru yang belum ada sebelumnya. Terkait dengan hal itu, pandangan umum tentang polisemi dikemukakan oleh Ullmann (1977) dalam bukunya Semantics: An Introduction to the Science of Meaning. Ullmann (1977:168) membicarakan tentang peranan polisemi sebagai pembendung laju pertambahan kosakata di dalam pengembangan bahasa, yang dipengaruhi oleh lima faktor, antara lain: (1) pergeseran pemakaian 17 (shift in application); (2) spesialisasi di dalam lingkungan sosial (specialization in social milliew); (3) bahasa figuratif (figurative language); (4) penafsiran kembali pasangan berhomonimi (homonym reinterpreted); (5) pengaruh bahasa asing (foreign influence). Kelima faktor yang dikemukakan oleh Ullmann (1977) ini menjadi dasar pemikiran Sudira et al (1992) untuk meninjau polisemi dalam bahasa Jawa. Hasil penelitian ini dapat dikemukakan pada tabel (1.1) berikut ini: Tabel 1.1: Representasi Polisemi dalam Bahasa Jawa Contoh Perubahan Makna dalam Bahasa Jawa Leksem Makna Perubahan Makna Jawa Literal Ranah binatang „masih dapat Urip „hidup‟ bergerak‟; ranah permainan kartu „dapat berjalan‟ Ranah sosial kendaraan „buku pedoman Layang ‘surat‟ pemilik kenderaan atau BPKB‟ No. Faktor-Faktor munculnya Polisemi 1 Pergeseran Penerapan 2 Spesialisasi di dalam lingkungan social 3 Bahasa figurative Jawa Silit „dubur‟ 4 Penafsiran kembali pasangan homonimi Waja „baja‟ 5 Pengaruh bahasa lain Sorot „sinar yang menyorot‟ „bagian bawah dari suatu benda‟ mis: silit ketel „bagian bawah panci‟ Berhomonimi dengan waja „gigi‟. Keduanya mencerminkan bentuk semantis „keras‟ Setelah masuknya kata film bioskop dari bahasa inggris, konsep sorot menunjuk konsep film Beberapa aspek penting dari karya Sudira et al (1992) yang dapat diacu untuk penelitian ini adalah (1) perubahan makna sebagai konsekuensi dari perubahan sifat dan konsep fenomena yang ditunjukkan butir leksikal; (2) perubahan makna sebagai akibat perluasan dan penyempitan lingkup denotasi butir leksikal; (3) perluasan makna sebagai akibat perubahan konotasi. Untuk menguji sebuah leksem dapat dikatakan homonimi atau polisemi, banyak cara yang dilakukan oleh para linguis untuk membedakan keduanya. Palmer (1976:68) mengemukakan salah satu cara untuk membedakan antara 18 polisemi dan homonimi adalah penelurusan secara etimologis. Misalnya bentuk pupil yang bermakna murid atau mahasiswa yang tidak langsung berhubungan dengan pupil of the eye yang bermakna biji mata, tetapi secara historis dianggap berasal dari bentuk yang sama. Disini kita berhadapan dengan polisemi. Dalam perkembangannya, bentuk pupil bisa saja berkategori yang lain yang mengakibatkan bentuk tersebut tidak bersifat polisemis, tetapi bentuk yang homonimi. Cara lain dapat dilakukan dengan mencari makna leksem tersebut. Misalnya, kata tangan yang biasanya dihubungkan dengan bagian anggota badan. Tetapi dalam perkembangannya, terdapat urutan kata tangan kursi, dan urutan kata kaki tangan musuh. Di sini kita berhadapan dengan metafora yang menyebabkan kata tangan bermakna ganda. Dari berbagai contoh di atas, dapat dikatakan bahwa polisemi adalah kata yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Karena kegandaan makna seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna kata yang didengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna kata yang didengar atau dibacanya. Untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut tentu kita harus melihat konteks kalimat. 1.7.3 Konteks Secara umum, konteks dimaknai sebagai situasi yang ada hubungannya dengan suatu peristiwa; bagian suatu kalimat yang dapat menambah kejelasan makna. Evans & Green (2006:352-355) menjelaskan bahwa pengaruh konteks dalam polisemi erat kaitannya dengan istilah subsense, facet, dan ways of seeing. Subsenses adalah makna kata yang muncul, yang dimotivasi oleh penggunaan 19 konteks, yang disesuaikan dengan situasi secara konvensional. Berikut ini adalah contoh penggunaan subsenses kata knife dalam konteks kalimat „seorang anak yang sedang terlibat pembicaraan dengan ibunya di dapur. Anak tersebut memiliki pisau lipat (penknife) di tangannya, tetapi bukan pisau pada umumnya‟ (1) Ibu : I want to cut meats on the table. Haven’t you got knife, Billy? Saya mau memotong daging yang ada di atas meja itu. Kamu pegang pisau, Billy? Billy : No Tidak Dalam konteks kalimat tersebut seorang ibu membutuhkan pisau pada umumnya yang digunakan untuk memotong daging, tetapi Billy hanya memegang pisau lipat, sehingga ketika ibu menanyakan kalau Billy punya pisau, Billy pun menjawab „tidak‟.Hal ini dipengaruhi objek lain yang memicu keadaan tersebut berbeda dengan yang diharapkan. Seorang ibu butuh pisau daging, tetapi apa yang dimiliki oleh Billy tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh ibu. Atas dasar inilah konteks yang menyertai kalimat tersebut disamarkan oleh unsur lain yang menyertai objek tertentu. Hal inilah yang diistilahkan oleh Evans & Green (2006:355) sebagai vagueness „ketidakjelasan‟, yang merupakan bagian dari konteks subsenses. Terkait dengan facet, konteks kalimat disesuaikan dengan struktur bagiankeseluruhan dari sebuah entitas dan terdapat dalam konteks kalimat. Makna facet bergantung pada konteks kalimat yang menyertainya. Misalnya pada contoh kalimat berikut ini: (3) You should hand Picasso 2ndSG seharusnya tangan Picasso „Kamu seharusnya memberikan Picasso‟ (4) Picasso makes interesting painting Picasso membuat menarik lukisan „Picasso membuat lukisan yang menarik‟ 20 Leksem Picasso dalam kedua sitiran di atas bisa mempunyai makna pemakaian produk Picasso dan pembuat produk. Dalam konteks ini, makna dipengaruhi oleh kata-kata yang mengisi slot kanan dan slot kiri dari kata kunci. Misalnya dengan adanya verba hand memicu arti bahwa Picasso yang dimaksud dalam kalimat (2) adalah produk yang dibuat oleh seorang seniman Picasso, bukan entitas manusia, sedangkan konteks kalimat (3) memperlihatkan bahwa Picasso yang dimaksud adalah mengacu pada nama seorang seniman yang membuat lukisan. Konteks kalimat ini secara tidak langsung mengikutsertakan konteks pengalaman (knowledge context). Konteks ini erat kaitannya dengan pengetahuan ensiklopedis manusia berdasarkan pengalaman badaniah. Setiap individu manusia tentunya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berbedabeda berdasarkan konstruksi maknanya. 1.7.4 Konstruksi Gramatikal Konstruksi gramatikal leksem tertentu dalam sebuah kalimat dapat mempengaruhi peran fungsional semantis secara menyeluruh. Mekanisme kognitif alamiah yang dimiliki manusia menjadi faktor perubahan makna pada leksem tertentu. Hal inilah yang menimbulkan munculnya gaya bahasa, seperti metonimi, metafora, dan idiom sebagai cerminan perluasan makna (polisemi) pada leksem tertentu. Fungsi-fungsi unsur kalimat ditentukan berdasarkan arti. Subjek (S) dijelaskan sebagai hal atau sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan dan predikat (P) dijelaskan sebagai unsur kalimat yang membicarakan subjek, objek (O) dijelaskan sebagai unsur kalimat yang menderita akibat perbuatan predikat, dan 21 keterangan (KET) dijelaskan sebagai unsur kalimat yang member keterangan pada predikat. Sementara itu, Ramlan (2005:16) menjelaskan bahwa sebuah kata ditentukan berdasarkan arti sebagai kumpulan huruf yang mengadung pengertian. Beliau mengungkapkan bahwa secara tradisional kata-kata digolongkan menjadi 10 golongan. Penggolongan ini didasarkan pada arti hingga kata benda (nomina) dijelaskan sebagai kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan, kata kerja (verba) sebagai kata yang menyatakan suatu perbuatan, kata sifat (adjektiva) sebagai kata yang menyatakan suatu sifat atau keadaan, kata bilangan (numeral) sebagai kata yang menyatakan jumlah atau urutan, dan seterusnya. Terkait dengan leksem hand sebagai objek penelitian, konstruksi gramatikal dasar yang menyertai leksem hand membentuk nomina non-agentif yang tidak bertindak apa-apa (statis). Konstruksi nomina ini dapat bergeser menjadi kelas gramatikal lain seperti verba dan adjektiva tergantung pada konteks pemakaian leksem hand dalam kalimat. Ketika hand bergeser ke kelas kata verba, leksem hand dapat berubah peran menjadi verba ditransitif, yang bersinonimi dengan verba to give, yang bermakna „memberikan‟. Atas dasar inilah dapat dipahami bahwa makna sebuah kata dapat dipengaruhi oleh konstruksi yang menyertainya. 1.7.5 Sistem Konsep dalam Perluasan Makna Perluasan makna dalam penelitian ini dipahami sebagai sistem konsep yang menggambarkan kegiatan sehari-hari yang mengungkapkan apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita lakukan. Kenyataan ini 22 menjadi bukti adanya pemetaan skematis yang terjadi dalam manah yang menggambarkan suatu ranah konsep ke ranah konsep yang lain. Atas dasar pandangan ini, peneliti memahami bahwa perluasan makna diwujudkan dalam suatu konstruksi yang terdiri atas konsep ranah target dan konsep ranah sumber yang dijadikan dasar dalam menjelaskan konsep ranah target. Selain dua konsep tersebut, ada konsep ground yang menunjukkan pemaduan atau kesamaan antara kedua konsep tersebut. Berkaitan dengan itu, Kovecses (2010) pun menjelaskan bahwa ada tiga komponen dasar dalam perluasan makna, yaitu ranah sumber, ranah target, dan hubungan antara keduanya. Hubungan antara ranah sumber dan ranah target bersifat satu arah yang dapat direpresentasikan oleh konstruksi klausa sederhana dengan menggunakan kopula seperti adalah dalam bahasa Indonesia, dan become dalam bahasa inggris. Konsep ranah target sebagai subjek dan ranah sumber sebagai pelengkap. Sementara itu, ground merupakan konsep yang menunjukkan kesamaan yang dapat menghubungkan antara konsep ranah target dengan konsep ranah sumber. Hal itu biasanya ditunjukkan dengan blend „pemaduan‟ antara komponen makna ranah target dengan komponen makna ranah sumber, serta konseptualisasi yang terjadi yang dapat diungkapkan dengan menggunakan inferensi. Sistem konsep dalam perluasan makna ini dapat dipahami melalui konsep metonimi dan metafora, dan idiom. 1.7.5.1 Metonimi Sutedi (2003:3) menguraikan bahwa bentuk hubungan yang ada dalam metonimi yaitu, adanya kedekatan atau keterkaitan. Maksud berdekatan atau 23 berkaitan ada dua macam yaitu secara ruang dan secara waktu. Metonimi dapat digunakan untuk mengumpamakan suatu hal (A) dengan hal lain (B), karena kedekatan itulah, maka adanya keterkaitan baik secara ruang maupun secara waktu. Dengan demikian, metonimi memicu kedekatan ruang dan waktu sebagai landasan dalam konsep kognitifnya. Beberapa contoh berikut bisa dijelaskan dengan kedua konsep berdekatan tersebut: 1) Panci mendidih. 2) Ia membereskan rak buku. (Sutedi, 2003:7) Dua contoh di atas merupakan contoh metonimi bentuk: wadah (tempat) digunakan untuk menyatakan isi (benda). Seperti kita ketahui, bahwa yang mendidih bukanlah panci melainkan air di dalam panci tersebut. Kemudian, yang dibereskan bukan rak bukunya, melainkan buku-buku yang ada pada rak tersebut. Antara air dan panci, atau buku dan rak buku, berdekatan secara ruang. 1) A : Gimana dengan ceramahnya Prof. Yamada? B : (Menguap melulu) 2) Dia bulan depan akan naik ring lagi Kedua contoh tersebut sering dikategorikan ke dalam bentuk: sebab (cara) digunakan untuk menyatakan akibat (tujuan), atau sebaliknya. Pada contoh (1) kalimat yang dikemukakan B merupakan akibat dari perkuliahan yang tidak menarik, sehingga membuatnya ngantuk dan menguap. Pada contoh (2), naik ring merupakan suatu cara, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah bertanding tinju. Kedua hal dalam kedua contoh tadi, merupakan peristiwa yang berdekatan secara waktu. Jadi, kegiatan mendengarkan ceramah yang membosankan dan 24 menguap; naik ring dan bertanding tinju waktunya berdekatan. Dengan demikian, metonimi dapat menjadi pangkal dari polisemi ketika suatu penggunaan metonimis tertentu telah terpatri secara konvensional. 1.7.5.2 Metafora Berbeda dengan konsep metonimi, Sutedi (2003:5) mendefinisikan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan sesuatu hal (misalnya A) dengan hal yang lain (misalnya B), karena adanya kemiripan atau kesamaannya. Lakoff & Johnson (1980:153) menggambarkan bahwa metafora bisa dinyatakan dalam bentuk “….(A)….is….(B)…”, sedangkan dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan dengan “…(A)….adalah…(B)…”. Tentunya hal ini bukan merupakan suatu ungkapan yang menyatakan pasti, bahwa A adalah 100% B. Hal ini justru hanya perumpamaan saja, sebagai pembeda dengan gaya bahasa simile yang biasanya digunakan kata seperti, bagaikan, dan sebagainya. Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein yang berarti transference „pemindahan‟, yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang tidak memiliki acuan secara literal (McGlone, 2007: 109). Punter (2007: 12) mengungkapkan bahwa metafora pertama kali diprakarsai oleh Aristoteles melalui karyanya Poetic. Yang membedakan antara ungkapan metaforis dan ungkapan literal adalah muatan yang ada dalam ungkapan metaforis yang menuntun orang untuk memahami lebih dibandingkan dengan memahami ungkapan literal (Neisser, 2003: 31). Berkaitan dengan pembagian jenis metafora, Lakoff & Johnson (1980: 264) mengelompokkan metafora ke dalam tiga jenis yaitu metafora orientasional, 25 metafora ontologis, dan metafora struktural. Menurut keduanya, pembagian itu semu, semua metafora adalah struktural karena memetakan struktur ke struktur; semua metafora adalah ontologis karena mereka menciptkan entitas ranah target; dan banyak metafora yang orientasional karena mereka memetakan image-schema yang orientasional. 1) Metafora Ontologis Lakoff & Johnson (1980: 25-26) menjelaskan bahwa metafora ontologis menyajikan tujuan yang berbeda-beda, dan ragam jenis metafora dihasilkan dari jenis tujuan yang disajikan. Konstruksi metafora konseptual ini dicontohkan pada pemetaan INFLASI ADALAH SEBUAH ENTITAS. Misalnya dalam kalimatkalimat: 1) inflation is lowering our standard of living (inflasi menurunkan standar kehidupan); 2) if there’s much more inflation, we’ll never survive (jika ada banyak inflasi, kita tidak akan pernah bertahan hidup). Pada kedua kalimat tersebut, inflasi dipandang sebagai sebuah entitas yang mengantarkan kita untuk mengacu pada makna inflasi itu sendiri, kuantitas inflasi, identifikasi aspek inflasi itu. Metafora ontologis seperti ini mengaitkan makna inflasi secara rasional dengan pengalaman badaniah manusia untuk mengekspreskan hal yang abstrak. Metafora ontologis adalah metafora yang melihat kejadian, aktivitas emosi, dan ide sebagai entitas dan substansi. Metafora ini mengonseptualisasikan pikiran, pengalaman, dan proses- hal abstrak lainnya- ke sesuatu yang memiliki sifat fisik. Dengan kata lain, metafora ontologis menganggap nomina abstrak sebagai nomina kongkret. 26 2) Metafora Orientasional Lakoff & Johnson (1980: 14) menjelaskan bahwa metafora orientasional berbeda dengan metafora ontologis. Dalam metafora orientasional, sebagian besar ekspresi tidak dapat dilihat sebagai metafora. Salah satu alasanya adalah benda non-fisik dipandang sebagai entitas atau substansi yang berhubungan dengan orientasi ruang, seperti naik-turun, dalam-luar, depan-belakang, dan lain-lain. Orientasi ruang ini muncul dengan didasarkan pada pengalaman fisik manusia dalam mengatur orientasi arah dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang terdapat pada “UP-DOWN”. Berdasarkan metafora orientasional, temporal dalam pikiran penutur akan terlihat sebagai garis lurus. Penutur dianggap sebagai pusat deiksis, dengan menganggap masa depan sebagai depan dan masa lalu sebagai belakang. 3) Metafora Struktural Metafora struktural adalah sebuah konsep yang dibentuk secara metaforis dengan menggunakan konsep yang lain. Metafora struktural ini didasarkan pada dua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah target. Metafora struktural ini berdasar pada korelasi sistematis dalam pengalaman sehari-hari (Lakoff & Johnson, 1980:14). Untuk menjelaskan kesamaan atau kemiripan dalam metafora, Lakoff & Johnson (1980) seperti pada ungkapan time is money (waktu adalah uang) menunjukkan bahwa kata time bias digati dengan kata money pada beberapa contoh berikut ini: TIME IS MONEY a. You‟re wasting my time. b. This gadget will save you hours. c. I don‟t have the time to give you. 27 d. How do you spend your time these day? e. The flat tire cost me an hour. (Lakoff & Johnson, 1980:7-8) Dalam konstruksi kalimat di atas dijelaskan oleh Lakoff & Johnson (1980) bahwa antara time dan money mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kesamaan antara waktu dan uang merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia dan sulit untuk meraihnya. Dari contoh ini metafora struktural menampilkan satu konsep yang secara metaforis terstruktur yang merujuk ke bentuk yang lain. Cara yang digunakan adalah memetakan konsep antara elemen-elemen dalam A dan elemen-elemen dari B. 1.7.5.3 Idiom Langlotz (2006:2) mengemukakan bahwa idiom dilukiskan secara konvensional sebagai unit multikata yang tidak jelas secara semantis dan tetap struktural. Lebih lanjut, mengutip pendapat Langlotz (2006:5), “an idiom is an institutionalized construction that is composed of two or more lexical items and has the composite structure of a phrase or semi-clause, which may feature constructional idiosyncracy‟. Pendapat ini menggambarkan bahwa idiom adalah konstruksi institusional yang terdiri atas dua atau lebih bentuk leksikal dan mempunyai struktur komposit dari frase atau semi-klausa. Pendapat ini secara tidak langsung dapat dikaitkan dengan pengelompokkan idiom, seperti yang dikemukakan oleh Cruse (1986). Beliau mengelompokkan idiom ke dalam dua jenis, yaitu idiom asintaktik (juga dikenal dengan idiom transparan) (transparent idiom) dan idiom penuh (opaque idiom) (1986:37-40). Senada dengan Cruse, Palmer (1976:99) membedakan antara idiom sebagian dan idiom penuh. 28 Berdasarkan pengelompokkan idiom di atas, idiom sebagian (transparent idiom), yaitu satu unsur pembentuknya masih memiliki kaitan dengan makna literalnya, dan yang lainnya bersifat konvensional. Langlotz (2006:123) menamai kelompok idiom ini dengan idiom metonimis berbasis tindakan (action-based metonymic idioms), yaitu tindakan atau kejadian literal konvensional idiom tersebut digunakan secara metonimis sebagai titik acu untuk sampai pada interpretasi idiomatisnya. Tipe idiom seperti ini sering ditemukan dengan leksem anggota badan manusia yang menjadi salah satu komponen pembentuknya, seperti cry on someone’s shoulder, a shoulder to lean on (Deignan, 1997:242); hold someone’s hand, with open arms (Langlotz, 2006:123). Makna idiomatis ini dimotivasi oleh pemetaan metaforis, yang dapat diatribusikan berdasarkan struktur semantis internal. Kemampuan menganalisis idiom ini bergatung pada pengetahuan terhadap konsep metafora. Dengan demikian, ada beberapa sitiran yang dikelompokkan sebagai bagian dari metonimi dan metafora tentunya merupakan bagian dari idiom sebagian. Berbeda dengan idiom sebagian, idiom penuh tidak bisa dikaitkan sama sekali dengan makna literalnya. Makna idiom ini bersifat konvensional. Dengan kata lain, konstruksi idiom ini hanya bisa dipersepsikan berdasarkan pandangan masyarakat secara konvensional. 1.7.6 Jejaring Semantis Perluasan Makna: Makna Literal dan Skema Untuk mengelompokkan makna perluasan leksem tertentu, Langacker (2003) menunjukkan dua bentuk kognitif, yaitu bentuk literal (prototype model) dan bentuk skema (schema model). Kedua bentuk kognitif ini membentuk kesatuan yang disebut jejaring semantis. 29 Gambar 1.3. Jejaring Semantis Leksem Ring (di salin dari Figure 1 pada Langacker, 1986: 3) Pada contoh di atas, leksem nomina ring mengacu pada objek lingkaran. Hubungan elaborasi terlihat pada arah panah utuh, misalnya garis utuh yang menghubungkan antara circular object dengan circular piece of jewelry. Ketika terdapat ketidakcocokkan secara spesifik perincian semantik oleh Y terkait X, Y dapat dikelompokkan sebagai bagian dasar kemiripan. Jadi, X sebagai makna literalnya dan Y sebagai perluasan. Pemahaman dasar terhadap jejaring semantis di atas adalah hakikat jejaring semantis dari suatu kategori yang lebih dinamis dan dapat berkelanjutan. Sama halnya yang diungkapkan oleh Lee (1998:61) bahwa jejaring semantis suatu leksem tidak bersifat statis sehingga dapat berkembang, baik secara skematis dan spesifik. 1.8 Metode Penelitian Penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai penelitian deskriptif karena tujuan akhirnya adalah untuk menggambarkan hubungan-hubungan di antara berbagai domain (ranah). Gambaran terhadap setiap domain tersebut dapat dipetakan melalui jejaring semantis sebagai langkah akhir untuk memperlihatkan 30 perluasan makna leksem hand disertai dengan wujud kongkret dan abstrak sebagai benang merah penghubung. Untuk mencapai tujuan itu, metode analisis kualitatif digunakan untuk menerangjelaskan bentuk lingual, makna literal dan makna perluasan, dan keterkaitan antara makna literal dan makna perluasan. Pemetaan skematis perluasan makna leksem hand melibatkan data korpus yang digunakan melalui program aplikasi konkordansi. Evans (2007: 42-43) mendefinisikan bahwa program aplikasi konkordansi adalah salah satu program yang merefleksikan multivalensi kata dalam konteks linguistik. Program ini digunakan untuk membantu penulis dalam mengumpulkan data berupa sejumlah sitiran dari kata yang ditemukan dalam berbagai sumber atau media yang tersedia dalam program tersebut. 1.8.1 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk korpus bahasa Inggris melalui program konkordansi COCA (Corpus of Contemporary American English) yang bersumber pada situs: http://corpus.byu/edu/coca. Program ini dibuat oleh seorang linguis korpus dari Brigham Young University, Prof. Mark Davies. Data diambil sebanyak enam kali penelusuran dalam konkordansi, yang dimulai pada tanggal 12 September 2013, 13 September 2013, 14 Oktober 2013, 16 Oktober 2013, 5 November 2013, dan 6 November 2013. Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, penelitian ini dibatasi pada dua domain yaitu surat kabar dan fiksi. Hal ini didasarkan pada hasil penelusuran awal pencarian data yang dilakukan pada tanggal 10 September 2013, yaitu jumlah frekuensi terbanyak dalam penelusuran sitiran leksem hand, 31 berorientasi pada teks fiksi (15.783) dan suratkabar (10.186). Data tambahan diperoleh dari kamus CALD (Cambridge Advanced English Language Dictionary) (2008), CEID (The Contemporary English-Indonesian Dictionary) (2006), dan Free Dictionary (situs: www. thefreedictionary. com). Kamus-kamus ini diharapkan dapat melengkapi data yang tidak ditemukan dalam korpus, sehingga variasi perluasan makna leksem hand dapat dipetakan secara skematis 1.8.2 Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti yang ditunjukkan pada subbab 1.1, menunjukkan bahwa penelitian ini mengarah pada penelitian pustaka atau penelitian data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-partcipant observation dengan taking notes (Crowley, 2007:116 dan 141). Data dikumpulkan dengan penyimakan terhadap wacana yang ditemukan dalam korpus COCA untuk mendapatkan ungkapan perluasan makna leksem hand. Berikut ini adalah tahapan dalam menggali data dari situs COCA dengan kata kunci hand*: (1) Masuk ke situs COCA (Corpus of Contemporary American English) yang bersumber pada situs (http://corpus.byu/edu/coca), seperti gambar (1.4) berikut ini: Tekan ENTER pada bagian bawah tampilan depan COCA untuk masuk ke laman berikutnya Gambar 1.4 Tampilan Depan COCA (2) Pada tampilan berikutnya, kotak penelusuran akan muncul dengan tampilan pengisian data seperti gambar (1.5). Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk 32 menampilkan korpus sitiran leksem hand pada tampilan itu adalah sebagai berikut: a. Pilih KWIC sebagai alternatif konkordansi leksem yang diacu b. Masukkan kata kunci hand*. Tanda (*) disebut dengan wild card, untuk menghasilkan variasi leksem hand, seperti hand, handed, handing, dll c. Pilih fiction dan newspaper sebagai objek penelusuran teks d. Terakhir, tekan [SEARCH] dan nantikan hasilnya, yang akan terlihat seperti tampilan berikut nya Gambar 1.5 Tampilan Penelusuran Leksem hand (3) Keluaran hasil penelusuran hand* melalui COCA sudah secara otomatis berbentuk tabel dengan sistem konkordansi, yaitu sistem KWIC dengan kata kunci (node) berada di tengah sitiran, yang diapit oleh konteks di samping kiri dan kanan kata kunci. 33 Gambar 1.6 Tampilan Hasil Penelusuran Leksem hand 1.8.3 Metode Analisis Data Bentuk kajian linguistik kognitif yang diterapkan pada penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yang diawali dari analisis bentuk-bentuk lingual menuju maknanya (diistilahkan oleh Deignan (1997:153) sebagai analisis bottomup). Data yang telah tersaji dalam korpus dan kamus dianalisis melalui beberapa tahapan berikut ini: 1. Data leksem hand yang telah dikumpulkan dari korpus dan kamus diklasifikasikan berdasarkan sitirannya yang bermakna literal dan figuratif. Untuk mempermudah pengklasifikasian data dalam korpus dan kamus dilakukan pemberian kode terhadap sumber data. Dalam korpus, pemberian kode dilakukan dengan mengambil tiga huruf dan tahun dalam korpus, misalnya: sumber data Mov. Reservation Road 2007 diberi kode <MRR07>, diambil dari huruf depan dan dua angka belakang tahun, atau data Wash Post 2003 diberi kode <WAP03>. Dalam kamus, data yang diperoleh diberi kode dengan menambahkan tanda asterisk atau bintang (*) di depan judul kamus, 34 misalnya: <*CALD08>. Kode-kode seperti ini mempermudah peneliti untuk menganalisis data dari korpus dan kamus. 2. Data yang tersaji dianalisis dengan menggunakan metode padan yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993). Dalam hal ini, objek sasaran penelitian itu identitasnya ditentukan berdasarkan kesepadanan, keselarasan, kesesuaian, kecocokan, atau kesamaan. Metode padan yang digunakan ini, alat penentunya adalah bahasa Inggris. Bentuk metode padan ini dilakukan secara interlinear, antar baris, dengan kosakata bahasa sasaran (BSa) berada tepat di bawah bahasa sumber (BSu). a. <TWW08> Baldwin wanted only to wash his hands of the whole fiasco Baldwin mauPAST hanya mencuci POSS tangan PREP DETsemua kegagalan „Baldwin mau cuci tangannya dari semua kegagalan itu‟ (mau lepas tanggung jawab dari) b. <CALD08> Hand me down the box! Tangan 1stSG PREP DET kotak „Teruskan kepada saya kotak itu‟ Kedua sitiran di atas tampaknya secara jelas memperlihatkan bahwa BSu yang diacu adalah bahasa Inggris. Untuk mempermudah pemahaman terhadap makna setiap kalimat tersebut, maka peneliti menerjemahkan secara interlinear di bawah dari BSu, misalnya kata hand me down yang bermakna „teruskan kepada saya‟, tetap mengacu pada makna interlinear „tangan-1stSG (penanda orang pertama tunggal)-PREP (preposisi down „bawah‟)‟. Makna ini tepat berada di bawah BSu, dan kemudian diikuti oleh makna kontekstual di bawah dari makna interlinear. 3. Pada bab II, untuk mengetahui konstruksi gramatikal leksem hand, peneliti menggunakan metode agih sebagai metode analisisnya, yang alat penentunya 35 bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15). Mahsun (2000:81-82) menyebut metode ini dengan istilah metode padan intralingual. Peneliti menggunakan teknik-teknik analisis, dua diantaranya adalah teknik perluas dan balik. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengetahui perluasan leksem hand, misalnya, peran leksem handy sebagai adjektiva yang tidak hanya berfungsi secara atributif, tetapi juga berfungsi sebagai pelengkap-predikat, untuk menunjukkan bahwa target yang dijelaskan (atributif: handy job) ataupun yang menjelaskan subjek (predikat: the job is handy) yang mengungkapkan makna „kemampuan, keterampilan‟ seseorang. 4. Pada bab III, ditemukan sitiran leksem hand dalam ekspresi hold hands „saling berpegangan tangan‟. Tampak bahwa sitiran ini berpotensi untuk mengungkapkan makna non-literal, atau tetap beracuan literal karena (i) ekspresi mengacu pada tindakan literal „saling berpegangan tangan‟, (ii) tidak ada makna metaforis dan metonimis yang dapat diberikan kepada kata hand. Namun, ekspresi ini juga dapat berkonotasi dengan makna idiomatis ke makna „kompak/sepakat‟. Ekspresi ini tetap dikelompokkan sebagai makna figuratif sekalipun didasari oleh konstruksi literal leksem hand. Oleh karena itu, untuk memaknai ekspresi itu, peneliti mempertimbangkan konteks kalimat yang menyertai ekspresi tersebut. Atas dasar inilah, metode analisis yang digunakan pada bab III ini mengaitkan metode padan ekstralingual yang dikemukakan oleh Mahsun (2000: 83-84). Sudaryanto (1993:13-15) menyebut metode tersebut dengan istilah metode padan, yang menghubungkan masalah bahasa dengan hal yang berada di luar bahasa, seperti referen, bahasa (langue) lain, 36 dan mitra wicara. Pada konstruksi idiomatis lainnya, penulis menggunakan kamus idiom bahasa Inggris untuk membantu penulis dalam menganalisis makna idiomatis dari kata-kata tertentu. 5. Pada bab IV, makna literal dan makna perluasan leksem hand dipetakan secara skematis melalui jejaring semantis, yang menitikberatkan titik acu penganalisisan pada bentuk kemiripan kerabat yang berkorespondensi dan memungkinkan adanya keterkaitan antara keduanya. Keterkaitan ini membentuk kluster „kelompok‟ (istilah cluster, yang dikemukakan oleh Kamakura, 2011: 94) untuk memvisualisasikan makna literal dan perluasan leksem hand. 1.8.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan melalui dua cara, yaitu: (a) perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan (b) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 2000:84; Sudaryanto, 1993:145). Kedua cara tersebut, masing-masing disebut metode informal dan metode formal. Beberapa tanda atau lambang yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (a) tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu, (b) tanda garis miring (//) digunakan untuk menunjukkan satuan di dalamnya adalah fonem. 37 1.9 Sistematika Penulisan Bentuk sistematika penulisan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi lima bab, termasuk Bab I pendahuluan. Empat bab lainnya antara lain: Bab II menyajikan tentang pemaparan konstruksi gramatikal leksem hand yang ditemukan dalam korpus dan kamus. Bab III memaparkan makna literal dan makna perluasan leksem hand. Bab IV menjelaskan keterkaitan antara makna literal dan makna perluasan melalui jejaring semantis. Bab V menyajikan kesimpulan dan saran.