BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wijana di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wijana di dalam bukunya Pengantar Semantik Bahasa Indonesia
(2010:27-28) mengemukakan bahwa secara semantis kata tidak hanya memiliki
makna untuk kata itu sendiri, baik berupa denotasi maupun konotasi. Dalam
hubungannya dengan unsur yang lain di dalam tuturan, kata-kata itu berkontribusi
bagi unsur yang disertainya. Sebagian makna dari kata itu bergantung atau
ditentukan oleh konteks pemakaiannya, yakni kata-kata yang mendahului dan
mengikutinya, misalnya, frasa nomina hand brake „rem tangan‟, her hand „tangan
dia (perempuan)‟, farm hand „buruh tani‟, dan sebagainya. Pada hand brake „rem
tangan‟, relasi makna yang terbentuk adalah „alat‟ karena brake „rem‟ adalah
produk yang dapat berfungsi dengan bantuan alat, dan hand „tangan‟ adalah salah
satu alat yang dapat digunakan untuk memfungsikan rem. Pada her hand „tangan
dia (perempuan)‟, terdapat relasi milik yaitu hand „tangan‟ sebagai referennya,
sedangkan kata her „dia (perempuan)‟ menjadi pemiliknya.
Sementara itu, farm hand „buruh tani‟ dapat memicu relasi metaforis
berdasarkan konteks pemakaiannya. Konstruksi metaforis ini awalnya dipicu oleh
pemetaan metonimis pada leksem hand, yaitu menyoroti anggota tubuh manusia
„tangan‟ untuk mengungkapkan makna „orang‟. Pemetaan metonimis ini
membentuk skema SEBAGIAN UNTUK KESELURUHAN, seperti yang
dikemukakan oleh Lakoff & Johnson (1980:38). Tipe konstruksi ini
1
2
memperlihatkan makna literal hand sebagai anggota tubuh manusia dimaksudkan
untuk mengungkapkan makna keseluruhan „orang‟.
Sementara itu, pemetaan metonimis di atas dapat memotivasi makna
metafora pada kata farm hand. Konstruksi metaforis itu melibatkan makna
personifikasi pada leksem hand, yaitu mengibaratkan anggota tubuh manusia
„tangan‟ seperti benda hidup „orang‟. Dalam kaitannya, titik acu metaforis pada
leksem hand terletak pada karakteristik tangan yang dapat bergerak dan berpindah
seperti benda hidup. Dari pandangan ini, satu hal yang dipahami adalah peran
metonimi dan metafora saling berkaitan satu sama lain. Hal ini sejalan dengan
pendapat Evans & Green (2006:318) bahwa metafora dan metonimi saling
berhubungan dalam ranah konseptual yang sama.
Dengan penjelasan di atas, konsep hand tidak langsung bertujuan untuk
mencerminkan acuan fisik tertentu, tetapi lebih pada ide tentang hand. Artinya,
konsep hand dapat diasosiasikan dengan sekumpulan jejaring makna yang saling
berkaitan dan pada tingkatan tertentu bersifat konvensional. Fenomena inilah yang
dikenal dengan polisemi.
Polisemi yang menjadi bahan kajian tesis ini merupakan hasil analisis
yang membahas perluasan makna leksem tertentu. Istilah polisemi tersebut
pertama kali dipopulerkan oleh Breal pada tahun 1887. Breal mengarahkan
polisemi sebagai fenomena penggunaan bahasa, pemerolehan bahasa, perubahan
bahasa, dan bahkan neurolinguistik avant la lettre. Konsep polisemi ini
merupakan hasil inovasi semantik, yang menghubungkan makna lama dan makna
baru secara paralel (Nerlich, 2003:60). Dalam perkembangannya, polisemi
3
diistilahkan oleh Stephem Ullmann sebagai bentuk perluasan makna yang terdiri
atas beberapa kata yang mempunyai jejaring makna yang saling berhubungan,
yang dikenal dengan “the pivot of semantic analysis” (Nerlich & Clarke, 2003:3).
Penelitian polisemi pada kesempatan ini dikaitkan dengan pendekatan linguistik
kognitif, yang memayungi teori tatabahasa dan semantik kognitif. Dalam kajian
polisemi, penelitian ini menelusuri berbagai macam makna perluasan leksem hand
yang perbedaannya dapat diruntun untuk kemudian disimpulkan bahwa
kesemuanya bersumber pada asal yang sama. Misalnya dalam beberapa kalimat
berikut:
(1)
<WPO03>
Somebody would
hand you
a book
Seseorang akanPAST tangan 2ndSG ART buku
„Seseorang akan memberimu sebuah buku‟
(2)
<UST96>
Parents also
hand out
a
few warning
notices
Orang tua jugaADV tangan keluar ART sedikit peringatan catatanPL
„Orang tua juga membagikan beberapa lembar peringatan‟
(3)
<HAY07>
All
officers
ought to hand in
their
papers every week
Semua karyawanPL harus tangan dalamPREP 3rdPLPOSS kertas setiap mingguWKTU
„Semua karyawan harus menyerahkan laporan mereka setiap minggu‟
Ketiga kalimat di atas menunjukkan bahwa makna leksem hand
tampaknya tidak hanya terkait dengan makna literalnya, namun juga terdapat
perluasan makna pada tataran gramatikal lainnya, seperti verba ditransitif (1), dan
verba frasal (2) dan (3). Hal menarik dari contoh sitiran di atas adalah perubahan
gramatikal nomina hand ke verba. Perubahan ini masih memicu tindakan fisik
yang menjelaskan makna literal leksem hand sebagai anggota badan manusia.
Menariknya, tindakan fisik yang menguraikan makna literal leksem hand itu
4
mengacu konsep „pergerakan‟ pada tangan. Konsep makna literal hand inilah
yang mendasari konstruksi metonimis pada verba denominal hand.
Kovecses (2010: 244) menegaskan bahwa motivasi yang mendasari
leksem hand sebagai metonimi karena banyak aktivitas manusia dilakukan dengan
tangan, sehingga leksem hand dipandang sebagai instrumen yang membentuk
skema metonimis INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN DALAM SEBUAH
AKTIVITAS MENUNJUKKAN AKTIVITAS TERSEBUT. Pandangan ini
mencerminkan bahwa makna perluasan leksem hand melibatkan pemetaan
metonimi yang terletak pada peran hand sebagai instrumen untuk melakukan
suatu aktivitas.
Akan tetapi, tidak semua leksem hand dapat dikatakan sebagai bagian dari
pemetaan metonimis. Berikut ini dikemukakan beberapa data perluasan makna,
yang menyoroti tindakan fisik sebagai acuan interpretasi makna idiomatis:
(1)
<HOU00>
They hold hands to
solve
their
problems
3rdPL pegang tangan PREP menyelesaikan merekaPOSS masalahPL
„Mereka berpegangan tangan untuk menyelesaikan masalah-masalahnya‟
(2)
<ELB06>
Dwayne wanted
to
wash his
hands of
the whole thing
3rdSG inginPAST PREP cuci diaPOSS tangan PREP DET semua hal
„Dwayne ingin cuci tangan dari semua hal itu‟
(3)
<EIE08>
Pete would
raise a
hand against Ender!
3rdSG akanPAST kepal ART tangan melawan Ender
„Pete akan memukul Ender!‟
Ketiga kalimat di atas menunjukkan bahwa leksem hand menjadi salah
satu komponen idiomatis yang secara literal menyoroti makna fisik leksem
tersebut, yaitu aggota badan manusia. Makna leksem hand tersebut secara
konvensional mengungkapkan makna lain, yang bergeser dari makna literalnya.
5
Jika dilihat pada contoh (5), kata hold hands menunjukkan tindakan berpegangan
tangan, yang dilakukan antara orang yang satu dengan orang lain. Hal itu tidak
dimaknai secara literal, tetapi lebih kepada makna konvensional, yaitu makna
„kompak‟. Berbeda dengan contoh (5), contoh (6) wash POSS hands „mencuci
tangan‟ dimaksudkan untuk mengungkapkan makna konvensional „lepas dari
tanggung jawab‟, dan contoh (7) raise a hand against (somebody) „mengepalkan
tangan‟ dimaksudkan untuk mengungkapkan makna „memukul seseorang (hit
someone) (CALD, 2008)‟.
Dengan kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa keproduktifan ranah
hand menunjukkan bahwa leksem hand memiliki berbagai macam makna dalam
konstruksinya. Jika dikaitkan dengan pendapat Evans & Green (2006: 45); Lee
(2001:5), pengalaman badaniah dan persepsi seseorang ikut terlibat dalam
kognisinya
sehingga
konstruksi
gramatikal
dan
semantis
dapat
saling
mempengaruhi satu sama lain pada perluasan makna leksem hand.
Dasar pemikiran di atas menjadi salah satu alasan kenapa ranah anggota
tubuh manusia menjadi salah satu objek dalam penelitian ini. Di dalam situasi
tertentu, keproduktifan ranah anggota tubuh manusia ini tidak hanya terlihat pada
leksem hand saja, tetapi Deignan (1997) pernah menelusuri keproduktifan ranah
shoulder dan heart, dan hal ini memperlihatkan pergeseran pemakaian kedua
leksem tersebut.
Terkait dengan objek penelitian ini, perluasan makna leksem hand pernah
disinggung oleh Kovecses (2010: 240-247) dalam bukunya yang berjudul
Metaphor A Practical Introduction, yang mengulas tentang metonimi dan
6
metafora leksem hand. Dalam buku ini, uraian perluasan makna leksem hand
tersebut hanya diuraikan secara umum guna memperlihatkan beberapa contoh
yang mengungkapkan makna metonimis dan metafora leksem hand. Penelitian itu
tidak menyinggung aspek gramatikal pemakaian suatu leksem dan keterkaitan
makna literal dengan makna perluasan leksem hand. Jadi, penelitian perluasan
makna leksem hand pada tesis ini diharapkan dapat mengisi celah pada kajian
Kovecses (2010).
Pada penelitian ini, makna perluasan akan dipetakan dari makna fisik
menuju makna non fisik (dikutip dari kata physical and nonphysical entities oleh
Evans &Tyler, 2003:123-124). Pemetaan skematis ini mengungkapkan bagaimana
makna polisemi tertata dalam kategorisasi jejaring semantis sehingga pemetaan
jejaring semantis ini memungkinkan adanya tali penghubung antara makna literal
hand dengan makna perluasannya. Penelitian ini juga mengaitkan konstruksi
gramatikal leksem hand dan makna literalnya. Makna literal pada penelitian ini
akan ditelusuri berdasarkan empat kriteria yang dikemukakan oleh Tyler & Evans
(dalam Evans & Green, 2006: 344-345) dalam menganalisis leksem over, antara
lain 1) melibatkan makna etimologi leksem hand (earliest attested meaning of
hand); 2)
dominasi dalam jejaring semantis (predominance in the semantic
network); 3) hubungan makna hand dengan kata lain (relations of hand to other
word); 4) kemudahan dalam menentukan makna perluasan leksem hand (ease of
predicting sense extension).
Untuk menjawab setiap permasalahan di atas, peneliti menelusuri sumber
data yang ditemukan pada korpus dan kamus. Kedua sumber data ini memberikan
7
kemudahan bagi peneliti untuk mengumpulkan data kebahasaan yang alamiah.
Data dalam korpus diperoleh melalui internet berupa program konkordansi COCA
(Corpus of Contemporary American English). Hal ini dapat membantu peneliti
untuk mempelajari sebuah kata atau bentuk-bentuk kata dengan melihat sejumlah
sitiran dari kata tersebut dalam konteks linguistiknya (Deignan, 2005:78).
Sementara itu, data dalam kamus diperoleh dari kamus-kamus berupa Cambridge
Advanced Learner’s Dictonary 3rd Edition (CALD 3, 2008), The Contemporary
English-Indonesian Dictionary (CEID, 2006), dan kamus online Free Dictionary
(situs: www.thefreedictionary.com). Kamus ini bertujuan untuk melengkapi data
terkait leksem hand yang tidak ditemukan dalam korpus. Dengan demikian, alur
penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan perluasan makna leksem hand
secara skematis guna mempermudah pemahaman pemakaian leksem hand dalam
kalimat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran yang telah dipaparkan di atas, pokok-pokok
permasalahan yang menarik perhatian dalam penelitian ini dapat dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut:
(1) Bagaimanakah konstruksi gramatikal leksem hand?
(2) Bagaimanakah makna literal dan makna perluasan leksem hand?
(3) Bagaimanakah keterkaitan antara makna perluasan hand dengan makna
literalnya dalam jejaring semantis?
8
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji perluasan makna leksem hand yang terdapat dalam
korpus dan kamus dengan menitikberatkan pada bentuk gramatikal, makna, dan
skematisasi, guna menunjukkan perluasan makna secara konseptual, khususnya
yang berhubungan dengan pemetaan konsep terhadap hal-hal yang dialami,
dipikirkan, dan dirasakan. Penelitian ini mengaitkan kajian korpus berupa
perspektif isi dengan memusatkan perhatian pada penggunaan ungkapan metonimi
dan metafora. Oleh karena itu, analisis yang dilakukan didasarkan pada
pendekatan kognitif dengan menerapkan teori metonimi dan metafora secara
konseptual. Analisis ini ditujukan pada ungkapan berupa perluasan makna yang
berada dalam konteks linguistik, yaitu kata atau frase yang bersanding dengan
ungkapan lain yang menjadikan ungkapan itu metonimis, metaforis, dan
idiomatis. Tetapi, konteks non linguistik juga dilibatkan dalam penelitian ini,
yaitu konteks yang mengacu pada fenomena mental penutur serta pengalaman
yang berwujud schema „skema‟, yaitu: struktur pengalaman yang berada pada
kognisi yang membentuk frames „bingkai‟, dan referent „referen‟. Skema yang
berbentuk bingkai mengacu pada pengalaman yang tersimpan dalam manah dan
referen yang mengacu pada entitas atau substansi yang diacu oleh ungkapan yang
dianalisis.
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok-pokok dan ruang lingkup permasalahan di atas,
terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, antara lain:
(1) Mendeskripsikan bentuk pemakaian gramatikal leksem hand
9
(2) Mendeskripsikan makna literal dan makna perluasan leksem hand
(3) Mendeskripsikan keterkaitan antara makna perluasan hand dengan makna
literalnya dalam jejaring semantis.
1.5 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan konsep
pada ilmu bahasa, khususnya teori linguistik kognitif yang meliputi dua aspek
kajian bahasa yaitu tatabahasa kognitif dan semantik kognitif. Penelitian ini
diharapkan dapat membantu pembelajar linguistik untuk memahami konstruksi
gramatikal leksem hand dalam kalimat, dan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi khususnya terkait dengan pemahaman terhadap evolusi
bahasa, yaitu pemahaman bahwa perkembangan bahasa sejalan dengan
perkembangan pengetahuan manusia.
Secara praktis, pemetaan skematis leksem hand dalam penelitian ini
diharapkan dapat membantu setiap pemakai dan pembelajar bahasa Inggris untuk
memahami kaitan makna literal leksem hand dengan makna lain, sehingga
mempermudah pemakai dan pembelajar bahasa Inggris untuk berinteraksi dengan
pemakai bahasa Inggris lainnya.
1.6 Tinjauan Pustaka
Masalah perluasan makna (polisemi) pernah diteliti oleh beberapa ahli
linguistik, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Jeong (1998) pada
disertasinya, yang berjudul “A Cognitive Semantic Analysis of Manipulative
Motion Verbs in Korean with Reference to English”. Penelitian ini
dikelompokkan sebagai penelitian lintas bahasa, yaitu penelitian yang melibatkan
10
dua atau lebih bahasa yang diperbandingkan. Jeong (1998) meninjau verba
gerakan dinamis Korea kkulta, tangkita, dan milta, yang dibandingkan dengan
leksem bahasa Inggris pull (meN-tarik) dan push (meN-dorong). Hal yang
menarik dari penelitian ini adalah dua leksem Korea kkulta dan tangkita hanya
mempunyai satu padanan makna dalam bahasa Inggris pull „menarik‟. Kedua
leksem tersebut ternyata dapat dibedakan berdasarkan bentuk dasar kognitiffungsional. Berikut ini contoh yang dikemukakan oleh Jeong (1998) terkait
perbedaan pemakaian leksem kkulta dan tangkita:
(1) Ku haksayng-I chayksang-ul kkul-ess-ta
„The student pulled the desk‟
(Siswa menarik meja itu)
(2) ??ku mal-I paicwul-ul tangki-ess-ta
„the horse pulled the rope‟
(Kuda menarik tali itu)
Berdasarkan kalimat di atas, Jeong (1998) mengungkapkan bahwa kalimat
(1) menggambarkan objek chayksang-I „desk‟ begeser pada subjek kuhaksayng-I
„the student‟. Berbeda dengan tangkita subjek dibatasi pada agen, dan letak objek
mempunyai jarak dengan subjek. Kalimat (2) bukan berarti kuda menarik tali,
tetapi ada peran agen yang menarik tali yang melilit leher kuda. Dalam hal ini,
agen menarik tali pada kuda itu tapi bukan berarti kuda itu begeser atau
berpindah.
Penelitian polisemi juga dilakukan oleh Wijaya (2011) dan Pasaribu
(2013) pada lingkup kajian linguistik kognitif. Wijaya (2011) meninjau gugusan
makna dari nomina head sebagai objek penelitian. Dalam pembahasannya, Wijaya
(2011) menemukan 13 tipe makna, dari total 18 tipe makna figuratif, yang
menunjukkan makna literal head diperluas secara mandiri dalam konstruksinya.
11
Akan tetapi, penelitian Wijaya (2011) hanya memusatkan penelitiannya pada
perluasan makna leksem head tanpa menyajikan makna literal sebagai bentuk
tolok ukurnya. Hal ini yang menjadi celah bagi penelitian Pasaribu (2013) untuk
mengkaji leksem cut dengan mengaitkan makna literal sebagai tolok ukur dalam
perluasan makna leksem cut. Pasaribu (2013) menemukan makna perluasan cut
berjumlah 15 tipe. Masing-masing makna itu meliputi referen kongkret dan
abstrak. Penelitian ini juga menemukan bahwa verba cut terdapat konstruksi
transitif dan intransitif. Kedua ulasan ini lebih banyak melihat polisemi sebagai
bentuk perluasan makna dalam tataran kognitif sehingga cenderung menguraikan
penyimpangan aspek-aspek semantik kebahasaan, seperti metafora dan idiom.
Dua penelitian ini menjadi dasar pemikiran untuk mengkaji leksem hand sebagai
objek penelitian.
Secara khusus, penelitian ini menyerupai penelitian yang dilakukan oleh
Wijaya (2011), yaitu menyangkut leksem anggota badan manusia. Akan tetapi,
wujud penelitian yang dikemukakan oleh Wijaya (2011) tidak hanya dibatasi pada
perluasan makna leksem head tanpa melibatkan peran makna literal saja, tetapi
penelitian ini juga dikatakan tidak menyinggung perluasan konvertif leksem head
dalam kajiannya (Wijaya, 2011: 2-3). Hal ini yang menjadi pemicu untuk
mengkaji lebih mendalam tentang leksem anggota badan manusia, yang
menekankan pada perluasan makna leksem hand.
Berikutnya, penelitian terdekat terkait perluasan makna leksem hand
pernah disinggung oleh Kovecses (2010) pada sub bab pembahasan, utamanya
terkait dengan metonimi dan metafora leksem hand. Kajian tersebut hanya sebatas
12
menguraikan perluasan makna leksem hand berdasarkan sistem metafora dan
metonimi secara konseptual. Keterbatasan ini yang memicu penulis untuk
mengkaji lebih mendalam terkait perluasan makna leksem hand, yaitu tidak hanya
dilihat dari bentuk perluasan makna leksem hand, tetapi juga melibatkan
konstruksi gramatikal dan jejaring semantis sebagai struktur kajiannya.
Polisemi sebenarnya bukanlah sekedar penyimpangan aspek semantis
bahasa, tetapi penyimpangan kaidah pragmatik juga perlu diperhatikan.
Kenyataan ini dikemukakan oleh Falkum (2011) dalam penelitian disertasinya,
berjudul „The Semantics and Pragmatics of Polysemy: A Relevance- Theoretic
Account‟. Lingkup kerja penelitian ini mengaitkan kerangka berfikir Sperber dan
Wilson, yaitu makna baru untuk leksem tertentu dikonstruksi melalui konsep ad
hoc yaitu konsep khusus yang menyesuaikan makna kata pada tujuan yang
berbeda. Konsep ini mengaitkan peran makna denotasi dengan bentuk kontekstual
yang meliputi penyesuaian saling berhubungan “mutual parallel adjustment”.
Kajian penelitian ini sebenarnya tidak terkait dengan penelitian perluasan makna
leksem hand, tetapi kajian ini menjadi gambaran bahwa perluasan makna leksem
tertentu dapat disesuaikan dengan konteks kalimat
Semua pemaparan di atas akhirnya membawa penulis pada kesimpulan
bahwa penelitian polisemi secara kognitif masih sangat diperlukan bila ingin
memahami polisemi sebagai salah satu aspek penggunaan bahasa yang layak
diperhatikan.
13
1.7 Landasan Teori
1.7.1 Linguistik Kognitif
Seperti telah dibahas pada sub bab (1.1) di atas bahwa konsep perluasan
makna (polisemi) yang berkembang dewasa ini bertumpu pada salah satu teori
utama, yaitu teori linguistik kognitif (LK). LK merupakan aliran linguistik yang
muncul pertama kali pada tahun 70-an. Dalam lingkup kajiannya, LK meninjau
bahasa dari sudut pandang kognitif manusia, yang dapat digunakan oleh seseorang
untuk merefleksikan apa yang ada dalam manahnya.
Teori LK mengemukakan bahwa tatabahasa memiliki kaitan yang erat
dengan semantik, yang didasari pada sistem kognitif manusia. Evans & Green
(2006: 49) menyebut kedua gugusan teoritis tersebut sebagai dua sisi mata uang
yang sama (two sides of the same coin). Artinya, tatabahasa dan semantik saling
melengkapi satu sama lain. Leksem up (1) membentuk konstruksi gramatikal yang
benar dalam kalimat, tetapi makna yang muncul pada leksem itu tidak dapat
diartikan secara literal. Hal ini hanya bisa ditunjukkan berdasarkan konsep
pemahaman pikiran manusia. Perluasan makna leksem Picasso (2) juga tidak
hanya dimaknai secara literal, tetapi suatu entitas konseptual memberikan ruang
terhadap entitas lain yang masih berdekatan dengan entitas sebelumnya.
Kelompok kata yang dirangkai dengan susunan tertentu blew his stack (3) juga
membentuk perluasan makna yang tidak dapat dimaknai secara parsial, tetapi
lebih mengarah pada makna keseluruhan, yang bersifat konvensional.
(1) I
am feeling up
1SG COP merasa atas
„Saya sedang merasa senang‟
(Lakoff & Johnson, 1980: 15)
14
(2) She loves
Picasso
3SG menyukai Nama
„Dia menyukai (salah satu karya dari) Picasso‟
(Kovecses, 2010: 172)
(3) He blew
his stack
and talked
wildly
3SG meniup POSS timbunan KONJ berbicara dengan kasar
„Dia tidak bisa menahan amarah dan berbicara kasar‟
(Kovecses, 2010: 172)
Bentuk perluasan makna yang dikemukakan pada contoh di atas
mencerminkan perilaku polisemi sebagai makna yang tidak muncul begitu saja,
melainkan ada yang memotivasi dan melatarbelakanginya. Lakoff & Johnson
(1980: 15) mengelompokkan konstruksi (1) sebagai bagian dari metafora, yaitu
BAHAGIA ADALAH NAIK (up). Kelompok metafora ini dikategorikan sebagai
metafora orientasional yang menggambarkan keadaan seseorang melalui
pengalaman badaniah manusia.
Sementara itu, konstruksi (2) merupakan
karaketristik metonimi yang menghubungkan ranah PRODUKSI dengan nama
pencipta. Kovecses (2010:172) memaparkan bahwa nama pelukis Picasso
dimaksudkan pada entitas yang lain, yaitu „salah satu lukisan Picasso‟ atau hasil
karya Picasso.
Selanjutnya, konstruksi (3) mencerminkan fenomena idiom yang tidak
dapat dimaknai dari makna unsur-unsurnya. Fenomena idiom ini dikenal sebagai
kombinasi makna yang bersifat opaque (tidak jelas), yang tidak mempunyai
hubungan makna antara kata yang satu dengan pasangan kata lainnya. Jika katakata dalam blew his stack dirangkai menjadi satu frasa dan diacu pada makna
literal, maka bentuk frasa itu tidak dapat berterima dalam konstruksi semantis
sekalipun konstruksi sintaksis bentuk frasa itu sudah memenuhi kaidah yang
benar.
15
Berdasarkan pemaparan di atas, pemakaian non literal pada konstruksi
kalimat menunjukkan karakteristik polisemi sebagai bentuk bahasa dengan makna
yang berbeda-beda. Makna yang berbeda-beda itu muncul karena luasnya
pemakaian sehingga memungkinkan dilihat benang merah penghubungnya.
Benang merah itulah yang menuntun untuk sampai pada kesimpulan, bahwa
aneka makna yang ditemukan itu bersumber pada satu makna literal yang sama
pada mulanya (Wijana, 2010: 163). Ken-ichi (2003: 211) memetakan benang
merah penghubung makna literal dan makna perluasan seperti gambar (1.1)
berikut:
Gambar 1.1 Skema Polisemi
(di adaptasi dari Figure 10 pada Ken-ichi, 2003: 211)
Luasnya pemakaian bahasa menyebabkan makna sebuah kata mengalami
pergeseran. Pergeseran makna yang belum begitu jauh akan memungkinkan
peneliti bahasa mengenali hubungan makna atau persamaan makna konsep yang
baru dengan makna literal. Oleh karena itu, garis panah putus-putus di atas
mencerminkan kedekatan antara makna literal dengan makna perluasan yang
membentuk polisemi. Sebaliknya, pergeseran makna yang sudah begitu jauh
mengakibatkan kata-kata yang berpolisemi akan menjadi pasangan yang
berhomonimi.
16
1.7.2 Pengertian Polisemi
Kata polisemi berasal dari bahasa Yunani „polysemeion‟ yang merupakan
gabungan dari leksem polys berarti „banyak‟ dan semeion berarti „tanda, sinyal‟
(Ullmann, 1977). Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sebuah kata yang
memiliki makna yang berbeda-beda. Kridalaksana (2008: 197) mendefinisikan
bahwa polisemi adalah pemakaian bentuk bahasa seperti kata, frase, dan
sebagainya dengan makna yang berbeda-beda. Pandangan ini menggambarkan
bahwa polisemi tidak hanya berhubungan dengan suatu kata yang mengandung
seperangkat makna yang berbeda, tetapi suatu kata yang memiliki bentuk yang
berbeda juga mempengaruhi perbedaan makna. Dapat dikatakan bahwa bentuk
polisemi memiliki ketentuan-ketentuan tertentu dala konstruksinya.
Bentuk leksem yang berpolisemi tidak sekedar mengacu pada makna
perluasan leksem tertentu saja, tetapi polisemi pada leksem tertentu bisa berarti
memiliki tingkatan perluasan makna. Ken-ichi (2003: 206) menegaskan bahwa
polisemi mengaitkan hubungan metafora, metonimi, dan sinekdok sebagai acuan
perluasan maknanya. Ketiga komponen tersebut merupakan ciri fundamental
bahasa dalam rangka mengembangkan kemampuan kosakatanya tanpa harus
membuat bentuk baru untuk mengungkapkan konsep baru yang belum ada
sebelumnya. Terkait dengan hal itu, pandangan umum tentang polisemi
dikemukakan oleh Ullmann (1977) dalam bukunya Semantics: An Introduction to
the Science of Meaning. Ullmann (1977:168) membicarakan tentang peranan
polisemi sebagai pembendung laju pertambahan kosakata di dalam pengembangan
bahasa, yang dipengaruhi oleh lima faktor, antara lain: (1) pergeseran pemakaian
17
(shift in application); (2) spesialisasi di dalam lingkungan sosial (specialization in
social milliew); (3) bahasa figuratif (figurative language); (4) penafsiran kembali
pasangan berhomonimi (homonym reinterpreted); (5) pengaruh bahasa asing
(foreign influence). Kelima faktor yang dikemukakan oleh Ullmann (1977) ini
menjadi dasar pemikiran Sudira et al (1992) untuk meninjau polisemi dalam
bahasa Jawa. Hasil penelitian ini dapat dikemukakan pada tabel (1.1) berikut ini:
Tabel 1.1: Representasi Polisemi dalam Bahasa Jawa
Contoh Perubahan Makna dalam Bahasa Jawa
Leksem
Makna
Perubahan Makna
Jawa
Literal
Ranah
binatang
„masih
dapat
Urip
„hidup‟
bergerak‟; ranah permainan kartu
„dapat berjalan‟
Ranah sosial kendaraan „buku pedoman
Layang
‘surat‟
pemilik kenderaan atau BPKB‟
No.
Faktor-Faktor
munculnya Polisemi
1
Pergeseran Penerapan
2
Spesialisasi di dalam lingkungan social
3
Bahasa figurative Jawa
Silit
„dubur‟
4
Penafsiran kembali
pasangan homonimi
Waja
„baja‟
5
Pengaruh bahasa lain
Sorot
„sinar
yang
menyorot‟
„bagian bawah dari suatu benda‟ mis:
silit ketel „bagian bawah panci‟
Berhomonimi dengan waja „gigi‟.
Keduanya
mencerminkan
bentuk
semantis „keras‟
Setelah masuknya kata film bioskop
dari bahasa inggris, konsep sorot
menunjuk konsep film
Beberapa aspek penting dari karya Sudira et al (1992) yang dapat diacu
untuk penelitian ini adalah (1) perubahan makna sebagai konsekuensi dari
perubahan sifat dan konsep fenomena yang ditunjukkan butir leksikal; (2)
perubahan makna sebagai akibat perluasan dan penyempitan lingkup denotasi
butir leksikal; (3) perluasan makna sebagai akibat perubahan konotasi.
Untuk menguji sebuah leksem dapat dikatakan homonimi atau polisemi,
banyak cara yang dilakukan oleh para linguis untuk membedakan keduanya.
Palmer (1976:68) mengemukakan salah satu cara untuk membedakan antara
18
polisemi dan homonimi adalah penelurusan secara etimologis. Misalnya bentuk
pupil yang bermakna murid atau mahasiswa yang tidak langsung berhubungan
dengan pupil of the eye yang bermakna biji mata, tetapi secara historis dianggap
berasal dari bentuk yang sama. Disini kita berhadapan dengan polisemi. Dalam
perkembangannya, bentuk pupil bisa saja berkategori yang lain yang
mengakibatkan bentuk tersebut tidak bersifat polisemis, tetapi bentuk yang
homonimi. Cara lain dapat dilakukan dengan mencari makna leksem tersebut.
Misalnya, kata tangan yang biasanya dihubungkan dengan bagian anggota badan.
Tetapi dalam perkembangannya, terdapat urutan kata tangan kursi, dan urutan
kata kaki tangan musuh. Di sini kita berhadapan dengan metafora yang
menyebabkan kata tangan bermakna ganda.
Dari berbagai contoh di atas, dapat dikatakan bahwa polisemi adalah kata
yang mengandung makna lebih dari satu atau ganda. Karena kegandaan makna
seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna kata
yang didengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna kata yang didengar
atau dibacanya. Untuk menghindarkan kesalahpahaman tersebut tentu kita harus
melihat konteks kalimat.
1.7.3 Konteks
Secara umum, konteks dimaknai sebagai situasi yang ada hubungannya
dengan suatu peristiwa; bagian suatu kalimat yang dapat menambah kejelasan
makna. Evans & Green (2006:352-355) menjelaskan bahwa pengaruh konteks
dalam polisemi erat kaitannya dengan istilah subsense, facet, dan ways of seeing.
Subsenses adalah makna kata yang muncul, yang dimotivasi oleh penggunaan
19
konteks, yang disesuaikan dengan situasi secara konvensional. Berikut ini adalah
contoh penggunaan subsenses kata knife dalam konteks kalimat „seorang anak
yang sedang terlibat pembicaraan dengan ibunya di dapur. Anak tersebut memiliki
pisau lipat (penknife) di tangannya, tetapi bukan pisau pada umumnya‟
(1) Ibu : I want to cut meats on the table. Haven’t you got knife, Billy?
Saya mau memotong daging yang ada di atas meja itu. Kamu pegang pisau, Billy?
Billy : No
Tidak
Dalam konteks kalimat tersebut seorang ibu membutuhkan pisau pada
umumnya yang digunakan untuk memotong daging, tetapi Billy hanya memegang
pisau lipat, sehingga ketika ibu menanyakan kalau Billy punya pisau, Billy pun
menjawab „tidak‟.Hal ini dipengaruhi objek lain yang memicu keadaan tersebut
berbeda dengan yang diharapkan. Seorang ibu butuh pisau daging, tetapi apa yang
dimiliki oleh Billy tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh ibu. Atas dasar
inilah konteks yang menyertai kalimat tersebut disamarkan oleh unsur lain yang
menyertai objek tertentu. Hal inilah yang diistilahkan oleh Evans & Green
(2006:355) sebagai vagueness „ketidakjelasan‟, yang merupakan bagian dari
konteks subsenses.
Terkait dengan facet, konteks kalimat disesuaikan dengan struktur bagiankeseluruhan dari sebuah entitas dan terdapat dalam konteks kalimat. Makna facet
bergantung pada konteks kalimat yang menyertainya. Misalnya pada contoh
kalimat berikut ini:
(3) You
should
hand Picasso
2ndSG seharusnya tangan Picasso
„Kamu seharusnya memberikan Picasso‟
(4) Picasso makes
interesting painting
Picasso membuat menarik lukisan
„Picasso membuat lukisan yang menarik‟
20
Leksem Picasso dalam kedua sitiran di atas bisa mempunyai makna
pemakaian produk Picasso dan pembuat produk. Dalam konteks ini, makna
dipengaruhi oleh kata-kata yang mengisi slot kanan dan slot kiri dari kata kunci.
Misalnya dengan adanya verba hand memicu arti bahwa Picasso yang dimaksud
dalam kalimat (2) adalah produk yang dibuat oleh seorang seniman Picasso,
bukan entitas manusia, sedangkan konteks kalimat (3) memperlihatkan bahwa
Picasso yang dimaksud adalah mengacu pada nama seorang seniman yang
membuat lukisan. Konteks kalimat ini secara tidak langsung mengikutsertakan
konteks pengalaman (knowledge context). Konteks ini erat kaitannya dengan
pengetahuan ensiklopedis manusia berdasarkan pengalaman badaniah. Setiap
individu manusia tentunya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang berbedabeda berdasarkan konstruksi maknanya.
1.7.4 Konstruksi Gramatikal
Konstruksi gramatikal leksem tertentu dalam sebuah kalimat dapat
mempengaruhi peran fungsional semantis secara menyeluruh. Mekanisme kognitif
alamiah yang dimiliki manusia menjadi faktor perubahan makna pada leksem
tertentu. Hal inilah yang menimbulkan munculnya gaya bahasa, seperti metonimi,
metafora, dan idiom sebagai cerminan perluasan makna (polisemi) pada leksem
tertentu.
Fungsi-fungsi unsur kalimat ditentukan berdasarkan arti. Subjek (S)
dijelaskan sebagai hal atau sesuatu yang menjadi pokok pembicaraan dan predikat
(P) dijelaskan sebagai unsur kalimat yang membicarakan subjek, objek (O)
dijelaskan sebagai unsur kalimat yang menderita akibat perbuatan predikat, dan
21
keterangan (KET) dijelaskan sebagai unsur kalimat yang member keterangan pada
predikat.
Sementara itu, Ramlan (2005:16) menjelaskan bahwa sebuah kata
ditentukan berdasarkan arti sebagai kumpulan huruf yang mengadung pengertian.
Beliau mengungkapkan bahwa secara tradisional kata-kata digolongkan menjadi
10 golongan. Penggolongan ini didasarkan pada arti hingga kata benda (nomina)
dijelaskan sebagai kata yang menyatakan benda atau yang dibendakan, kata kerja
(verba) sebagai kata yang menyatakan suatu perbuatan, kata sifat (adjektiva)
sebagai kata yang menyatakan suatu sifat atau keadaan, kata bilangan (numeral)
sebagai kata yang menyatakan jumlah atau urutan, dan seterusnya.
Terkait dengan leksem hand sebagai objek penelitian, konstruksi
gramatikal dasar yang menyertai leksem hand membentuk nomina non-agentif
yang tidak bertindak apa-apa (statis). Konstruksi nomina ini dapat bergeser
menjadi kelas gramatikal lain seperti verba dan adjektiva tergantung pada konteks
pemakaian leksem hand dalam kalimat. Ketika hand bergeser ke kelas kata verba,
leksem hand dapat berubah peran menjadi verba ditransitif, yang bersinonimi
dengan verba to give, yang bermakna „memberikan‟. Atas dasar inilah dapat
dipahami bahwa makna sebuah kata dapat dipengaruhi oleh konstruksi yang
menyertainya.
1.7.5 Sistem Konsep dalam Perluasan Makna
Perluasan makna dalam penelitian ini dipahami sebagai sistem konsep
yang menggambarkan kegiatan sehari-hari yang mengungkapkan apa yang kita
rasakan, apa yang kita pikirkan, dan apa yang kita lakukan. Kenyataan ini
22
menjadi bukti adanya pemetaan skematis yang terjadi dalam manah yang
menggambarkan suatu ranah konsep ke ranah konsep yang lain. Atas dasar
pandangan ini, peneliti memahami bahwa perluasan makna diwujudkan dalam
suatu konstruksi yang terdiri atas konsep ranah target dan konsep ranah sumber
yang dijadikan dasar dalam menjelaskan konsep ranah target. Selain dua konsep
tersebut, ada konsep ground yang menunjukkan pemaduan atau kesamaan antara
kedua konsep tersebut. Berkaitan dengan itu, Kovecses (2010) pun menjelaskan
bahwa ada tiga komponen dasar dalam perluasan makna, yaitu ranah sumber,
ranah target, dan hubungan antara keduanya.
Hubungan antara ranah sumber dan ranah target bersifat satu arah yang
dapat direpresentasikan oleh konstruksi klausa sederhana dengan menggunakan
kopula seperti adalah dalam bahasa Indonesia, dan become dalam bahasa inggris.
Konsep ranah target sebagai subjek dan ranah sumber sebagai pelengkap.
Sementara itu, ground merupakan konsep yang menunjukkan kesamaan yang
dapat menghubungkan antara konsep ranah target dengan konsep ranah sumber.
Hal itu biasanya ditunjukkan dengan blend „pemaduan‟ antara komponen makna
ranah target dengan komponen makna ranah sumber, serta konseptualisasi yang
terjadi yang dapat diungkapkan dengan menggunakan inferensi. Sistem konsep
dalam perluasan makna ini dapat dipahami melalui konsep metonimi dan
metafora, dan idiom.
1.7.5.1 Metonimi
Sutedi (2003:3) menguraikan bahwa bentuk hubungan yang ada dalam
metonimi yaitu, adanya kedekatan atau keterkaitan. Maksud berdekatan atau
23
berkaitan ada dua macam yaitu secara ruang dan secara waktu. Metonimi dapat
digunakan untuk mengumpamakan suatu hal (A) dengan hal lain (B), karena
kedekatan itulah, maka adanya keterkaitan baik secara ruang maupun secara
waktu. Dengan demikian, metonimi memicu kedekatan ruang dan waktu sebagai
landasan dalam konsep kognitifnya. Beberapa contoh berikut bisa dijelaskan
dengan kedua konsep berdekatan tersebut:
1) Panci mendidih.
2) Ia membereskan rak buku.
(Sutedi, 2003:7)
Dua contoh di atas merupakan contoh metonimi bentuk: wadah (tempat)
digunakan untuk menyatakan isi (benda). Seperti kita ketahui, bahwa yang
mendidih bukanlah panci melainkan air di dalam panci tersebut. Kemudian, yang
dibereskan bukan rak bukunya, melainkan buku-buku yang ada pada rak tersebut.
Antara air dan panci, atau buku dan rak buku, berdekatan secara ruang.
1) A : Gimana dengan ceramahnya Prof. Yamada?
B : (Menguap melulu)
2) Dia bulan depan akan naik ring lagi
Kedua contoh tersebut sering dikategorikan ke dalam bentuk: sebab (cara)
digunakan untuk menyatakan akibat (tujuan), atau sebaliknya. Pada contoh (1)
kalimat yang dikemukakan B merupakan akibat dari perkuliahan yang tidak
menarik, sehingga membuatnya ngantuk dan menguap. Pada contoh (2), naik ring
merupakan suatu cara, sedangkan yang menjadi tujuannya adalah bertanding
tinju. Kedua hal dalam kedua contoh tadi, merupakan peristiwa yang berdekatan
secara waktu. Jadi, kegiatan mendengarkan ceramah yang membosankan dan
24
menguap; naik ring dan bertanding tinju waktunya berdekatan. Dengan demikian,
metonimi dapat menjadi pangkal dari polisemi ketika suatu penggunaan
metonimis tertentu telah terpatri secara konvensional.
1.7.5.2 Metafora
Berbeda dengan konsep metonimi, Sutedi (2003:5) mendefinisikan bahwa
metafora adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan sesuatu hal
(misalnya A) dengan hal yang lain (misalnya B), karena adanya kemiripan atau
kesamaannya. Lakoff & Johnson (1980:153) menggambarkan bahwa metafora
bisa dinyatakan dalam bentuk “….(A)….is….(B)…”, sedangkan dalam bahasa
Indonesia bisa dipadankan dengan “…(A)….adalah…(B)…”. Tentunya hal ini
bukan merupakan suatu ungkapan yang menyatakan pasti, bahwa A adalah 100%
B. Hal ini justru hanya perumpamaan saja, sebagai pembeda dengan gaya bahasa
simile yang biasanya digunakan kata seperti, bagaikan, dan sebagainya.
Metafora berasal dari bahasa Yunani metapherein yang berarti
transference „pemindahan‟, yang digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu yang
tidak memiliki acuan secara literal (McGlone, 2007: 109). Punter (2007: 12)
mengungkapkan bahwa metafora pertama kali diprakarsai oleh Aristoteles melalui
karyanya Poetic. Yang membedakan antara ungkapan metaforis dan ungkapan
literal adalah muatan yang ada dalam ungkapan metaforis yang menuntun orang
untuk memahami lebih dibandingkan dengan memahami ungkapan literal
(Neisser, 2003: 31).
Berkaitan dengan pembagian jenis metafora, Lakoff & Johnson (1980:
264) mengelompokkan metafora ke dalam tiga jenis yaitu metafora orientasional,
25
metafora ontologis, dan metafora struktural. Menurut keduanya, pembagian itu
semu, semua metafora adalah struktural karena memetakan struktur ke struktur;
semua metafora adalah ontologis karena mereka menciptkan entitas ranah target;
dan banyak metafora yang orientasional karena mereka memetakan image-schema
yang orientasional.
1) Metafora Ontologis
Lakoff & Johnson (1980: 25-26) menjelaskan bahwa metafora ontologis
menyajikan tujuan yang berbeda-beda, dan ragam jenis metafora dihasilkan dari
jenis tujuan yang disajikan. Konstruksi metafora konseptual ini dicontohkan pada
pemetaan INFLASI ADALAH SEBUAH ENTITAS. Misalnya dalam kalimatkalimat: 1) inflation is lowering our standard of living (inflasi menurunkan
standar kehidupan); 2) if there’s much more inflation, we’ll never survive (jika
ada banyak inflasi, kita tidak akan pernah bertahan hidup). Pada kedua kalimat
tersebut, inflasi dipandang sebagai sebuah entitas yang mengantarkan kita untuk
mengacu pada makna inflasi itu sendiri, kuantitas inflasi, identifikasi aspek inflasi
itu. Metafora ontologis seperti ini mengaitkan makna inflasi secara rasional
dengan pengalaman badaniah manusia untuk mengekspreskan hal yang abstrak.
Metafora ontologis adalah metafora yang melihat kejadian, aktivitas
emosi, dan ide sebagai entitas dan substansi. Metafora ini mengonseptualisasikan
pikiran, pengalaman, dan proses- hal abstrak lainnya- ke sesuatu yang memiliki
sifat fisik. Dengan kata lain, metafora ontologis menganggap nomina abstrak
sebagai nomina kongkret.
26
2) Metafora Orientasional
Lakoff & Johnson (1980: 14) menjelaskan bahwa metafora orientasional
berbeda dengan metafora ontologis. Dalam metafora orientasional, sebagian besar
ekspresi tidak dapat dilihat sebagai metafora. Salah satu alasanya adalah benda
non-fisik dipandang sebagai entitas atau substansi yang berhubungan dengan
orientasi ruang, seperti naik-turun, dalam-luar, depan-belakang, dan lain-lain.
Orientasi ruang ini muncul dengan didasarkan pada pengalaman fisik manusia
dalam mengatur orientasi arah dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang terdapat
pada “UP-DOWN”. Berdasarkan metafora orientasional, temporal dalam pikiran
penutur akan terlihat sebagai garis lurus. Penutur dianggap sebagai pusat deiksis,
dengan menganggap masa depan sebagai depan dan masa lalu sebagai belakang.
3) Metafora Struktural
Metafora struktural adalah sebuah konsep yang dibentuk secara metaforis
dengan menggunakan konsep yang lain. Metafora struktural ini didasarkan pada
dua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah target. Metafora struktural ini berdasar
pada korelasi sistematis dalam pengalaman sehari-hari (Lakoff & Johnson,
1980:14). Untuk menjelaskan kesamaan atau kemiripan dalam metafora, Lakoff &
Johnson (1980) seperti pada ungkapan time is money (waktu adalah uang)
menunjukkan bahwa kata time bias digati dengan kata money pada beberapa
contoh berikut ini:
TIME IS MONEY
a. You‟re wasting my time.
b. This gadget will save you hours.
c. I don‟t have the time to give you.
27
d. How do you spend your time these day?
e. The flat tire cost me an hour. (Lakoff & Johnson, 1980:7-8)
Dalam konstruksi kalimat di atas dijelaskan oleh Lakoff & Johnson (1980)
bahwa antara time dan money mempunyai kesamaan atau kemiripan. Kesamaan
antara waktu dan uang merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia
dan sulit untuk meraihnya. Dari contoh ini metafora struktural menampilkan satu
konsep yang secara metaforis terstruktur yang merujuk ke bentuk yang lain. Cara
yang digunakan adalah memetakan konsep antara elemen-elemen dalam A dan
elemen-elemen dari B.
1.7.5.3 Idiom
Langlotz (2006:2) mengemukakan bahwa idiom dilukiskan secara
konvensional sebagai unit multikata yang tidak jelas secara semantis dan tetap
struktural. Lebih lanjut, mengutip pendapat Langlotz (2006:5), “an idiom is an
institutionalized construction that is composed of two or more lexical items and
has the composite structure of a phrase or semi-clause, which may feature
constructional idiosyncracy‟. Pendapat ini menggambarkan bahwa idiom adalah
konstruksi institusional yang terdiri atas dua atau lebih bentuk leksikal dan
mempunyai struktur komposit dari frase atau semi-klausa. Pendapat ini secara
tidak langsung dapat dikaitkan dengan pengelompokkan idiom, seperti yang
dikemukakan oleh Cruse (1986). Beliau mengelompokkan idiom ke dalam dua
jenis, yaitu idiom asintaktik (juga dikenal dengan idiom transparan) (transparent
idiom) dan idiom penuh (opaque idiom) (1986:37-40). Senada dengan Cruse,
Palmer (1976:99) membedakan antara idiom sebagian dan idiom penuh.
28
Berdasarkan pengelompokkan idiom di atas, idiom sebagian (transparent
idiom), yaitu satu unsur pembentuknya masih memiliki kaitan dengan makna
literalnya, dan yang lainnya bersifat konvensional. Langlotz (2006:123) menamai
kelompok idiom ini dengan idiom metonimis berbasis tindakan (action-based
metonymic idioms), yaitu tindakan atau kejadian literal konvensional idiom
tersebut digunakan secara metonimis sebagai titik acu untuk sampai pada
interpretasi idiomatisnya. Tipe idiom seperti ini sering ditemukan dengan leksem
anggota badan manusia yang menjadi salah satu komponen pembentuknya, seperti
cry on someone’s shoulder, a shoulder to lean on (Deignan, 1997:242); hold
someone’s hand, with open arms (Langlotz, 2006:123). Makna idiomatis ini
dimotivasi oleh pemetaan metaforis, yang dapat diatribusikan berdasarkan
struktur semantis internal. Kemampuan menganalisis idiom ini bergatung pada
pengetahuan terhadap konsep metafora. Dengan demikian, ada beberapa sitiran
yang dikelompokkan sebagai bagian dari metonimi dan metafora tentunya
merupakan bagian dari idiom sebagian. Berbeda dengan idiom sebagian, idiom
penuh tidak bisa dikaitkan sama sekali dengan makna literalnya. Makna idiom ini
bersifat konvensional. Dengan kata lain, konstruksi idiom ini hanya bisa
dipersepsikan berdasarkan pandangan masyarakat secara konvensional.
1.7.6 Jejaring Semantis Perluasan Makna: Makna Literal dan Skema
Untuk mengelompokkan makna perluasan
leksem tertentu, Langacker
(2003) menunjukkan dua bentuk kognitif, yaitu bentuk literal (prototype model)
dan bentuk skema (schema model). Kedua bentuk kognitif ini membentuk
kesatuan yang disebut jejaring semantis.
29
Gambar 1.3. Jejaring Semantis Leksem Ring
(di salin dari Figure 1 pada Langacker, 1986: 3)
Pada contoh di atas, leksem nomina ring mengacu pada objek lingkaran.
Hubungan elaborasi terlihat pada arah panah utuh, misalnya garis utuh yang
menghubungkan antara circular object dengan circular piece of jewelry. Ketika
terdapat ketidakcocokkan secara spesifik perincian semantik oleh Y terkait X, Y
dapat dikelompokkan sebagai bagian dasar kemiripan. Jadi, X sebagai makna
literalnya dan Y sebagai perluasan.
Pemahaman dasar terhadap jejaring semantis di atas adalah hakikat
jejaring semantis dari suatu kategori yang lebih dinamis dan dapat berkelanjutan.
Sama halnya yang diungkapkan oleh Lee (1998:61) bahwa jejaring semantis suatu
leksem tidak bersifat statis sehingga dapat berkembang, baik secara skematis dan
spesifik.
1.8 Metode Penelitian
Penelitian ini dapat dikelompokkan sebagai penelitian deskriptif karena
tujuan akhirnya adalah untuk menggambarkan hubungan-hubungan di antara
berbagai domain (ranah). Gambaran terhadap setiap domain tersebut dapat
dipetakan melalui jejaring semantis sebagai langkah akhir untuk memperlihatkan
30
perluasan makna leksem hand disertai dengan wujud kongkret dan abstrak sebagai
benang merah penghubung. Untuk mencapai tujuan itu, metode analisis kualitatif
digunakan untuk menerangjelaskan bentuk lingual, makna literal dan makna
perluasan, dan keterkaitan antara makna literal dan makna perluasan.
Pemetaan skematis perluasan makna leksem hand melibatkan data korpus
yang digunakan melalui program aplikasi konkordansi. Evans (2007: 42-43)
mendefinisikan bahwa program aplikasi konkordansi adalah salah satu program
yang merefleksikan multivalensi kata dalam konteks linguistik. Program ini
digunakan untuk membantu penulis dalam mengumpulkan data berupa sejumlah
sitiran dari kata yang ditemukan dalam berbagai sumber atau media yang tersedia
dalam program tersebut.
1.8.1 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk korpus bahasa
Inggris melalui program konkordansi COCA (Corpus of Contemporary American
English) yang bersumber pada situs: http://corpus.byu/edu/coca. Program ini
dibuat oleh seorang linguis korpus dari Brigham Young University, Prof. Mark
Davies. Data diambil sebanyak enam kali penelusuran dalam konkordansi, yang
dimulai pada tanggal 12 September 2013, 13 September 2013, 14 Oktober 2013,
16 Oktober 2013, 5 November 2013, dan 6 November 2013.
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu luas, penelitian ini dibatasi
pada dua domain yaitu surat kabar dan fiksi. Hal ini didasarkan pada hasil
penelusuran awal pencarian data yang dilakukan pada tanggal 10 September 2013,
yaitu jumlah frekuensi terbanyak dalam penelusuran sitiran leksem hand,
31
berorientasi pada teks fiksi (15.783) dan suratkabar (10.186). Data tambahan
diperoleh dari kamus CALD (Cambridge Advanced English Language
Dictionary) (2008), CEID (The Contemporary English-Indonesian Dictionary)
(2006), dan Free Dictionary (situs: www. thefreedictionary. com). Kamus-kamus
ini diharapkan dapat melengkapi data yang tidak ditemukan dalam korpus,
sehingga variasi perluasan makna leksem hand dapat dipetakan secara skematis
1.8.2 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti yang
ditunjukkan pada subbab 1.1, menunjukkan bahwa penelitian ini mengarah pada
penelitian pustaka atau penelitian data sekunder. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-partcipant observation dengan
taking notes (Crowley, 2007:116 dan 141). Data dikumpulkan dengan
penyimakan terhadap wacana yang ditemukan dalam korpus COCA untuk
mendapatkan ungkapan perluasan makna leksem hand. Berikut ini adalah tahapan
dalam menggali data dari situs COCA dengan kata kunci hand*:
(1)
Masuk ke situs COCA (Corpus of Contemporary American English) yang
bersumber pada situs (http://corpus.byu/edu/coca), seperti gambar (1.4)
berikut ini:
Tekan ENTER pada bagian
bawah tampilan depan COCA
untuk masuk ke laman berikutnya
Gambar 1.4 Tampilan Depan COCA
(2)
Pada tampilan berikutnya, kotak penelusuran akan muncul dengan tampilan
pengisian data seperti gambar (1.5). Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk
32
menampilkan korpus sitiran leksem hand pada tampilan itu adalah sebagai
berikut:
a. Pilih KWIC sebagai alternatif
konkordansi leksem yang diacu
b. Masukkan kata kunci hand*.
Tanda (*) disebut dengan wild
card,
untuk menghasilkan
variasi leksem hand, seperti
hand, handed, handing, dll
c. Pilih fiction dan newspaper
sebagai objek penelusuran teks
d. Terakhir, tekan [SEARCH] dan
nantikan hasilnya, yang akan
terlihat seperti tampilan berikut
nya
Gambar 1.5 Tampilan Penelusuran Leksem hand
(3)
Keluaran hasil penelusuran hand* melalui COCA sudah secara otomatis
berbentuk tabel dengan sistem konkordansi, yaitu sistem KWIC dengan kata
kunci (node) berada di tengah sitiran, yang diapit oleh konteks di samping
kiri dan kanan kata kunci.
33
Gambar 1.6 Tampilan Hasil Penelusuran Leksem hand
1.8.3 Metode Analisis Data
Bentuk kajian linguistik kognitif yang diterapkan pada penelitian ini
dianalisis secara kualitatif, yang diawali dari analisis bentuk-bentuk lingual
menuju maknanya (diistilahkan oleh Deignan (1997:153) sebagai analisis bottomup). Data yang telah tersaji dalam korpus dan kamus dianalisis melalui beberapa
tahapan berikut ini:
1. Data leksem hand yang telah dikumpulkan dari korpus dan kamus
diklasifikasikan berdasarkan sitirannya yang bermakna literal dan figuratif.
Untuk mempermudah pengklasifikasian data dalam korpus dan kamus
dilakukan pemberian kode terhadap sumber data. Dalam korpus, pemberian
kode dilakukan dengan mengambil tiga huruf dan tahun dalam korpus,
misalnya: sumber data Mov. Reservation Road 2007 diberi kode <MRR07>,
diambil dari huruf depan dan dua angka belakang tahun, atau data Wash Post
2003 diberi kode <WAP03>. Dalam kamus, data yang diperoleh diberi kode
dengan menambahkan tanda asterisk atau bintang (*) di depan judul kamus,
34
misalnya: <*CALD08>. Kode-kode seperti ini mempermudah peneliti untuk
menganalisis data dari korpus dan kamus.
2. Data yang tersaji dianalisis dengan menggunakan metode padan yang
dikemukakan oleh Sudaryanto (1993). Dalam hal ini, objek sasaran penelitian
itu identitasnya ditentukan berdasarkan kesepadanan, keselarasan, kesesuaian,
kecocokan, atau kesamaan. Metode padan yang digunakan ini, alat
penentunya adalah bahasa Inggris. Bentuk metode padan ini dilakukan secara
interlinear, antar baris, dengan kosakata bahasa sasaran (BSa) berada tepat di
bawah bahasa sumber (BSu).
a.
<TWW08>
Baldwin wanted only to wash his
hands of
the whole fiasco
Baldwin mauPAST hanya mencuci POSS tangan PREP DETsemua kegagalan
„Baldwin mau cuci tangannya dari semua kegagalan itu‟ (mau lepas tanggung jawab dari)
b.
<CALD08>
Hand me
down the box!
Tangan 1stSG PREP DET kotak
„Teruskan kepada saya kotak itu‟
Kedua sitiran di atas tampaknya secara jelas memperlihatkan bahwa
BSu yang diacu adalah bahasa Inggris. Untuk mempermudah pemahaman
terhadap makna setiap kalimat tersebut, maka peneliti menerjemahkan secara
interlinear di bawah dari BSu, misalnya kata hand me down yang bermakna
„teruskan kepada saya‟, tetap mengacu pada makna interlinear „tangan-1stSG
(penanda orang pertama tunggal)-PREP (preposisi down „bawah‟)‟. Makna ini
tepat berada di bawah BSu, dan kemudian diikuti oleh makna kontekstual di
bawah dari makna interlinear.
3. Pada bab II, untuk mengetahui konstruksi gramatikal leksem hand, peneliti
menggunakan metode agih sebagai metode analisisnya, yang alat penentunya
35
bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:15).
Mahsun (2000:81-82) menyebut metode ini dengan istilah metode padan
intralingual. Peneliti menggunakan teknik-teknik analisis, dua diantaranya
adalah teknik perluas dan balik. Teknik-teknik ini digunakan untuk
mengetahui perluasan leksem hand, misalnya, peran leksem handy sebagai
adjektiva yang tidak hanya berfungsi secara atributif, tetapi juga berfungsi
sebagai pelengkap-predikat, untuk menunjukkan bahwa target yang dijelaskan
(atributif: handy job) ataupun yang menjelaskan subjek (predikat: the job is
handy) yang mengungkapkan makna „kemampuan, keterampilan‟ seseorang.
4. Pada bab III, ditemukan sitiran leksem hand dalam ekspresi hold hands „saling
berpegangan
tangan‟.
Tampak
bahwa
sitiran
ini
berpotensi
untuk
mengungkapkan makna non-literal, atau tetap beracuan literal karena (i)
ekspresi mengacu pada tindakan literal „saling berpegangan tangan‟, (ii) tidak
ada makna metaforis dan metonimis yang dapat diberikan kepada kata hand.
Namun, ekspresi ini juga dapat berkonotasi dengan makna idiomatis ke makna
„kompak/sepakat‟. Ekspresi ini tetap dikelompokkan sebagai makna figuratif
sekalipun didasari oleh konstruksi literal leksem hand. Oleh karena itu, untuk
memaknai ekspresi itu, peneliti mempertimbangkan konteks kalimat yang
menyertai ekspresi tersebut. Atas dasar inilah, metode analisis yang digunakan
pada bab III ini mengaitkan metode padan ekstralingual yang dikemukakan
oleh Mahsun (2000: 83-84). Sudaryanto (1993:13-15) menyebut metode
tersebut dengan istilah metode padan, yang menghubungkan masalah bahasa
dengan hal yang berada di luar bahasa, seperti referen, bahasa (langue) lain,
36
dan mitra wicara. Pada konstruksi idiomatis lainnya, penulis menggunakan
kamus idiom bahasa Inggris untuk membantu penulis dalam menganalisis
makna idiomatis dari kata-kata tertentu.
5. Pada bab IV, makna literal dan makna perluasan leksem hand dipetakan
secara skematis melalui jejaring semantis, yang menitikberatkan titik acu
penganalisisan pada bentuk kemiripan kerabat yang berkorespondensi dan
memungkinkan adanya keterkaitan antara keduanya. Keterkaitan ini
membentuk kluster „kelompok‟ (istilah cluster, yang dikemukakan oleh
Kamakura, 2011: 94) untuk memvisualisasikan makna literal dan perluasan
leksem hand.
1.8.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis yang digunakan dalam penelitian ini disajikan melalui dua
cara, yaitu: (a) perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa, termasuk
penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan (b) perumusan dengan
menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang (Mahsun, 2000:84; Sudaryanto,
1993:145). Kedua cara tersebut, masing-masing disebut metode informal dan
metode formal. Beberapa tanda atau lambang yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain: (a) tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk
lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu, (b) tanda garis
miring (//) digunakan untuk menunjukkan satuan di dalamnya adalah fonem.
37
1.9 Sistematika Penulisan
Bentuk sistematika penulisan pada penelitian ini dikelompokkan menjadi
lima bab, termasuk Bab I pendahuluan. Empat bab lainnya antara lain: Bab II
menyajikan tentang pemaparan konstruksi gramatikal leksem hand yang
ditemukan dalam korpus dan kamus. Bab III memaparkan makna literal dan
makna perluasan leksem hand. Bab IV menjelaskan keterkaitan antara makna
literal dan makna perluasan melalui jejaring semantis. Bab V menyajikan
kesimpulan dan saran.
Download