Pengaruh Aplikasi Limbah Cair Kelapa Sawit terhadap

advertisement
27
PERAN PUGAM DALAM PENANGGULANGAN
KENDALA FISIK LAHAN DAN MITIGASI GAS RUMAH
KACA DALAM SISTEM USAHATANI LAHAN GAMBUT
I G.M. Subiksa
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12, Bogor 16114
Abstrak. Lahan gambut di Indonesia telah banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian
yang menguntungkan, baik untuk tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan.
Namun disisi lain, pemanfaatan lahan gambut juga memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan karena menghasilkan emisi karbon yang cukup besar. Upaya mitigasi emisi
karbon dari lahan gambut sangat penting, namun upaya adaptasi dengan penerapan
teknologi budidaya ramah lingkungan tampaknya menjadi solusi yang lebih bijak. Pugam,
pupuk yang khusus diformulasi untuk lahan gambut, telah dicoba dalam penelitian
demonstrasi plot ICCTF yang cukup luas di 4 propinsi yaitu Jambi, Riau, Kalteng dan
Kalsel. Pugam-A dan Pugam-T diaplikasikan pada tanaman perkebunan yaitu kelapa
sawit dan karet serta tanaman sela tanaman pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tanaman kelapa sawit menunjukkan perbaikan yang diindikasikan dari parameter
pertumbuhan tanaman. Regenerasi pelepah daun kelapa sawit terjadi lebih cepat dengan
aplikasi Pugam-A. Tandan buah juga terhindar dari steril, sehingga buah sawit muda
(buah pasir) terbentuk cukup banyak, sementara perlakuan kontrol buahnya tidak
terbentuk. Pugam yang diaplikasikan pada tanaman sela pangan juga menunjukkan
perbaikan pertumbuhan dan hasil jagung. Bahan aktif Pugam yang mengandung kation
polivalen diduga berperan mengurangi kelarutan asam-asam fenolat yang menghambat
pertumbuhan akar tanaman jagung. Aplikasi Pugam pada piringan dan tanaman sela,
menghasilkan emisi GRK yang lebih rendah antara 20 – 30%. Hal ini disebabkan karena
Pugam mengandung bahan aktif yang mampu melakukan proses kompleksasi asam-asam
organik monomer menjadi senyawa komplek yang lebih tahan terhadap dekomposisi.
Berkurangnya emisi menunjukkan gambut menjadi lebih stabil sehingga lahan gambut
bisa dimafaatkan secara berkelanjutan.
Katakunci: pugam, lahan gambut, emisi karbon, kation polivalen, usahatani berkelanjutan
Absract. Peat land in Indonesia has been used for profitable farming, both for food crops,
horticulture as well as estate crops. On the other hand, the utilization of peat land also
has a negative impact to the environment because of it produces substantial carbon
emissions. Mitigation of carbon emissions from peat lands is very important, however,
adaptation efforts trough environmental friendly farming technology seems to be a wise
effort. Pugam, a fertilizer specially formulated for peat-land, have been tried in
demonstration plots of ICCTF in four provinces of Jambi, Riau, Central Kalimantan and
South Kalimantan. Pugam-A and Pugam-T were applied to oil palm and rubber estate
crop as well as inter row food crops such as corn and peanut. The results revealed that oil
palm showed better growth performance. Leaf frond establishment occurred more rapidly
with the application of Pugam-A. Fruit bunches are also likely avoided from the sterile
pollens, then oil palm fruit formed normally, meanwhile the control treatment the fruit is
333
I.G.M. Subiksa
not established. Corn also grows well and it has better yield. Pugam contain polyvalent
cations as active ingredient and it’s seems to contribute reducing the solubility of
phenolic acids, a substance that can inhibit the root establishment. Pugam application on
peat soil within the crop circle and inter row crops, resulting in lower GHG emissions
until 20-30%. This is because of Pugam contain active ingredients that could promote the
formation process of complex compounds that are more resistant to decomposition. The
lower carbon emissions on peat will more stable of peat from decomposition then the peat
land could be utilized as sustainable farming.
Keywords: pugam, peat land, carbon emission, polyvalent cations, sustainable farming.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, yaitu sekitar 14,9 juta ha yang
tersebar di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Sebagian dari lahan ini telah dimanfaatkan
secara turun temurun untuk usaha pertanian, khususnya karet dan tanaman hortikultura.
Pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber perekonomian masyarakat adalah
keniscayaan. Hasil investigasi menunjukkan bahwa ketergantungan penduduk terhadap
lahan gambut seperti di Riau dan Kalimantan Barat sangat tinggi (Subiksa et al. 2009).
Laju pemanfaatan lahan gambut untuk komoditas kelapa sawit cenderung semakin
meningkat karena komoditas ini menjanjikan keuntungan ekonomi lebih besar
dibandingkan komoditas lain. Hal ini kemudian menjadi kontroversi antara pandangan
dari aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, lahan gambut adalah
potensi sumberdaya lahan yang dapat dikembangkan untuk pertanian tanaman pangan,
hortikultura maupun perkebunan. Sedangkan dari aspek lingkungan, lahan gambut
merupakan ekosistem yang memiliki fungsi sangat vital sebagai pengatur hidrologi, iklim
global, biodiversity flora dan fauna yang spesifik dan tempat pemijahan dan nursery bagi
ikan tertentu (Agus dan Subiksa, 2008).
Kawasan gambut juga merupakan penyimpan cadangan karbon sangat besar.
menyatakan bahwa cadangan karbon di lahan gambut Sumatera sekitar 22,3 giga ton
(Wahyunto et al. 2003), Kalimantan 11,3 Gt (Wahyunto et al. 2004) dan Papua sekitar 3,6
Gt (Wahyunto dan Subagjo et al. 2007). Oleh karenanya ekosistem ini harus dilindungi
dari kerusakan yang berpengaruh besar terhadap lingkungan dan iklim global. Bila terjadi
perubahan penggunaan lahan, maka keseimbangan tersebut akan berbalik dan
menghasilkan emisi karbon yang besar. Hooijer et al. (2006) menunjukkan bahwa laju
emisi CO2 akan meningkat 9,1 t ha-1 setiap penurunan 10 cm permukaan air tanah.
Perkebunan kelapa sawit dipercaya memiliki tingkat emisi tertinggi (56 t ha-1 th-1) diantara
tanaman perkebunan karena membutuhkan setidaknya 60 cm kedalaman saluran drainase.
Secara inheren, gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan
tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya. Sifatnya yang masam,
334
Peran Pugam dalam penanggulangan kendala
miskin hara serta kandungan asam organik fenolat yang tinggi menyebabkan pertumbuhan
tanaman terganggu. Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah
dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan
menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Selanjutnya rangkuman hasil-hasil
penelitian tersebut, diwujudkan menjadi produk amelioran dan pupuk yang khusus
diformulasi untuk lahan gambut yang diberi nama Pugam. Dari beberapa seri formula
Pugam yang telah diuji di laboratorium, rumah kaca dan skala plot di lapangan, ada 2
formula yang menunjukkan hasil yang konsisten yaitu Pugan A dan Pugam T.
Uji verifikasi teknologi Pugam dilakukan dalam skala demplot yang luas di 4
lokasi yaitu Kalsel, Kalteng, Jambi dan Riau dengan variasi karakteristik gambut dan pola
pemafaatan lahan. Tujuan dari pelaksanaan demplot adalah untuk mengembangkan
teknologi pengelolaan lahan gambut dengan produktivitas tinggi dan berkelanjutan serta
meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi emisi gas rumah kaca. Pendekatan utama
dalam kegiatan ini adalah adaptasi dan mitigasi secara simultan.
Pugam adalah salah satu teknologi pengelolaan lahan unggulan lahan gambut yang
mensinergikan proses adaptasi dan mitigasi dalam satu produk inovatif. Selain
meningkatkan produktivitas lahan, Pugam diharapkan mampu meminimalkan emisi
karbon. Pugam A dan Pugam T adalah amelioran kaya dengan kation polivalen yang
khusus diformulasi untuk meningkatkan stabilitas gambut dan efisiensi pemupukan.
Pugam juga diperkaya dengan unsur hara P, sehingga pemupukan dengan sumber P
lainnya ditiadakan.
KARAKTERISTIK PUGAM
Pugam adalah pupuk dan pembenah tanah yang khusus diformulasi untuk lahan gambut.
Pugam terdiri dari beberapa varian formula yang telah diteliti efektivitasnya dalam
memperbaiki kondisi lahan gambut dan kemampuannya dalam mereduksi emisi gas
rumah kaca. Pugam dibuat dalam bentuk granul dengan ukuran diameter granul 1 – 3 mm.
Bentuk granul akan memudahkan pengguna untuk aplikasi di lapangan. Pugam A
berwarna kelabu, dengan kadar air relatif konstan karena tidak higroskopis. Pugam T
berwarna merah kekuningan dan agak higroskopis sehingga kadar airnya akan sedikit
meningkat bila disimpan tanpa pembungkus yang baik. Pugam juga mengandung hara
sekunder Ca dan Mg dalam jumlah cukup signifikan masing-masing 28,7% dan 28,20%
CaO dan 8,16% dan 5,26% MgO. Pugam A mengandung Si yang tinggi sedangkan Pugam
T rendah. Selain hara makro, formula Pugam juga mengandung unsur hara mikro seperti
Fe, Cu dan Zn, serta kation polivallen lainnya yaitu Al dalam jumlah yang cukup besar.
335
I.G.M. Subiksa
PERAN PUGAM DALAM SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN
Pugam Sebagai Amelioran
Kendala utama yang dihadapi adalah reaksi tanah yang sangat masam karena
akumulasi asam-asam fenolat yang beracun bagi tanaman. Purwanto et al. (2005) dalam
Purwanto (2011) menunjukkan bahwa proporsi karbon aromatik gambut tropis mencapai
32,3% - 49,8%. Proses degradasi senyawa ini akan menghasilkan asam-asam organik
golongan fenolat yang bisa menghambat perkembangan akar tanaman, sehingga
produktivitas tanaman rendah.
Pugam sebagai amelioran sangat efektif menekan kelarutan asam-asam fenolat. Hal
ini disebabkan karena Pugam mengandung bahan aktif kation polivalen seperti Fe, Al, Cu
dan Zn yang mampu mengikat asam-asam fenolat monomer menjadi senyawa komplek
khelat yang tidak beracun (Stevenson, 1994; Rachim, 1995; Saragih, 1996; Sabiham et al.
1997). Kation polivalen cenderung membentuk ikatan polidentat yaitu menempati 2 atau
lebih tapak jerapan dalam satu senyawa organik pada gugus fungsional karboksil,
hidroksil dan karbonil. Kation Fe dan Al mampu menumbuhkan muatan positif yang
mampu mengikat hara fosfat agar tidak hilang tercuci. Pugam bersifat basa dan
mengandung cation Ca dan Mg yang tinggi sehingga bila diaplikasikan pada tanah gambut
yang masam akan mengurangi tingkat kemasamannya.
Pugam Sebagai Pupuk
Pugam mengandung unsur hara penting yaitu P, Ca, Mg, Si, dan unsur mikro (Fe,
Mn, Cu, Zn dan B) cukup signifikan. Status hara lahan gambut yang sangat rendah, sangat
membutuhkan suplai hara dari luar melalui pemupukan. Pugam bisa digolongkan sebagai
pupuk fosfat lepas lambat yang sangat cocok untuk lahan gambut yang tapak jerapannya
sangat sedikit bermuatan positif. Pemberian Pugam bisa menambah tapak jerapan positif
yang baru dari kation polivalen, khususnya Fe dan Al. Kandungan Ca dan Mg akan
memperkaya basa-basa yang diperlukan oleh tanaman dan stabilisasi tanah gambut.
Silikat (Si) sangat diperlukan karena secara inheren lahan gambut miskin silikat. Silikat
penting untuk memperkokoh batang tanaman agar tidak mudah diserang hama dan
penyakit (Ma dan Takahashi, 2002). Kandungan unsur mikro dalam Pugam, sudah cukup
memenuhi kebutuhan unsur mikro tanaman pada lahan gambut dengan tingkat defisiensi
ringan sampai sedang.
336
Peran Pugam dalam penanggulangan kendala
PUGAM SEBAGAI PENEKAN EMISI GRK
Besarnya emisi karbon ditentukan oleh sistem pengelolaan dan komoditas pertanian yang
dikembangkan. Hooijer et al. (2006) menunjukkan bahwa laju emisi CO2 akan meningkat
9,1 t ha-1 setiap penurunan 10 cm permukaan air tanah. Perkebunan kelapa sawit dipercaya
memiliki tingkat emisi tertinggi (56 t ha-1 th-1) diantara tanaman perkebunan karena
membutuhkan setidaknya 60 cm kedalaman saluran drainase. Sebaliknya sistem sawah
dengan drainase minimal, akan menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan
dengan tanaman kelapa sawit.
Pugam berperan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui proses
kompleksasi asam-asam organik, baik alifatik maupun aromatik. Sebagian besar emisi
karbon berasal dari gugus C alifatik karena hancurnya ikatan karbon oleh aktivitas
mikroba menghasilkan gas CO2 dan CH4. Bahan aktif pugam adalah kation polivalen yaitu
Fe, Al, Cu dan Zn yang bisa membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik. Kation
polivalen akan menjadi inti koordinasi dan mengikat beberapa asam organik monomer
membentuk senyawa komplek.
HASIL DEMPLOT PEMANFAATAN PUGAM
Pugam sebagai amelioran dan sebagai pupuk, berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tanaman karet di lokasi demplot desa Jabiren Kalimantan Tengah. Penambahan kumulatif
lingkar batang dan lebar tajuk tanaman karet meningkat lebih cepat bila menggunakan
Pugam A dan Pugam T dibandingkan dengan menggunakan amelioran pupuk kandang
dan tanah mineral. Pemberian Pugam, selain dosisnya lebih rendah dibanding amelioran
lain, juga tidak perlu menambahkan pupuk fosfat. Karena bentuknya granul, pugam bisa
diaplikasikan lebih mudah.
Gambar 1. Penambahan kumulatif lingkar batang (kiri) dan lebar tajuk (kanan) tanaman
karet selama 6 bulan di desa Jabiren Kalimantan Tengah.
337
I.G.M. Subiksa
Gambar 2. Penambahan kumulatif pelepah daun dan perkembangan diameter tajuk kelapa
sawit selama 8 bulan.
Di lokasi demplot Jambi, tanaman kelapa sawit juga menunjukkan respon yang
baik terhadap pemberian Pugam. Jumlah kumulatif penambahan jumlah daun selama 7
bulan menunjukkan bahwa pemberian amelioran Pugam-A dan Pukan menunjukkan
penambahan jumlah pelepah kumulatif tertinggi yaitu masing-masing sebanyak 22
pelepah dan 19,75 pelepah dalam 7 bulan atau sekitar 3 pelepah daun keluar tiap bulannya
(Tabel 1). Dibandingkan dengan perlakuan kontrol, pelepah kelapa sawit meningkat
40.75% pada perlakuan Pugam A. Sedangkan kompos tankos dan tanah mineral
menunjukkan angka terendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Tren
yang sama juga diamati pada parameter jumlah tandan buah. Meskipun tandan buah bisa
berkembang dengan baik, namun tandan buah pada perlakuan kontrol tidak berhasil
membentuk buah. Ada indikasi bahwa polen bunga jantan steril yang terkait dengan
defisiensi unsur mikro, khususnya Cu dan Zn. Dengan ameliorasi menggunakan Pugam
dan amelioran lain, kendala tersebut bisa dikurangi sehingga penyerbukan oleh bunga
jantan lebih berhasil dan tandan buah berhasil dipanen. Secara kumulatif perlakuan
ameliorasi menggunakan Pugam-A menghasilkan tandan buah segar (TBS) tertinggi
dibandingkan perlakuan amelioran lainnya.
Tabel 1. Pengaruh Pugam dan amelioran lain terhadap beberapa parameter tanaman
kelapa sawit selama 7 bulan berturut-turut
Perlakuan
Kontrol
Pugam A
Pugam T
Pukan
Tankos
Sumber: ICCTF, 2011a
338
Penambahan
pelepah daun
kumulatif
Penambahan
lebar tajuk
kanopi (cm)
Jumlah tandan
buah
Tandan buah
yang dipanen
(kg)
15,63
22,00
16,50
19,75
11,00
62,4
61,5
89,8
84,4
77,5
5,54
8,82
7,34
5,41
7,15
0
25,31
23,60
23,73
22,15
Peran Pugam dalam penanggulangan kendala
Pengaruh Pugam terhadap Tanaman Sela
Di lokasi demplot desa Jabiren Kalteng, tanaman jagung yang ditanam sebagai
tanaman sela pertumbuhannya tidak optimal karena kondisi naungan tanaman pokok. Di
antara perlakuan amelioran, Pugam A, Pugam T dan Pukan masih bisa menunjukkan
penampilan yang lebih baik dibandingkan kontrol dan tanah mineral. Dengan amelioran
Pugam tanaman jagung masih mampu menghasilkan biji walaupun sangat rendah.
Sedangkan perlakuan kontrol dan tanah mineral tidak berhasil membentuk tongkol.
Di lokasi demplot Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa tanaman padi sawah di
tabukan memberikan respon yang baik terhadap pemberian amelioran. Selain Pukan,
pemberian amelioran Pugam A maupun Pugam T mampu meningkatkan hasil padi sawah
varietas Inpara 3 lebih tinggi dibanding dengan abu sekam dan tanah mineral. Hasil panen
total biomassa dan gabah kering giling varietas Inpara 3 pada MT II juga diperoleh pada
perlakuan pemberian amelioran pupuk kandang ayam seperti halnya pada MT I dengan
varietas Inpara 4.
Di lokasi demplot Jambi menunjukkan bahwa tanaman jagung varietas Sukmaraga
ditanam sebagai tanaman sela diantara tanaman kelapa sawit, menunjukkan perbaikan
pertumbuhan yang signifikan dengan pemberian Pugam. Sejalan dengan pertumbuhannya
yang meningkat hasil jagung ubinan juga meningkat cukup signifikan. Hasil pipilan
jagung kering dari perlakuan Pukan dan Pugam-T masing-masing adalah 3.006 kg/ha dan
2.444 kg/ha, atau meningkat sebesar 281% dan 210% dibandingkan dengan perlakuan
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa amelioran berperan sangat penting dalam
memperbaiki kondisi lahan sehingga perakaran tanaman bisa berkembang lebih baik.
Kacang tanah yang ditanam setelah tanaman jagung masih menunjukkan residu amelioran
sebelumnya.
Tabel 2. Pengaruh pemberian amelioran terhadap komponen hasil padi sawah
Perlakuan
Kontrol
Pugam A
Pugam T
Pukan Ayam
Tnh Mineral
Abu sekam
MT-1 (Inpara-4)
Jumlah malai
Bobot gabah
per rumpun
(t GKG / ha)
17,4
1,68
16,8
1,90
20,0
2,56
19,7
3,46
18,4
2,50
16,4
3,26
MT-2 (Inpara-3)
Jumlah malai
Bobot gabah
per rumpun
(t GKG/ha)
9,6
1,67
12,9
2,31
13,1
2,50
14,6
3,20
9,6
1,50
10,4
1,87
Sumber: ICCTF, 2011a
339
I.G.M. Subiksa
Gambar 3 . Produksi jagung pipilan (kiri) dan tinggi tanaman kacang tanah (kanan)
Tabel 3. Pengaruh perlakuan amelioran terhadap panjang tongkol, diameter tongkol dan
hasil jagung pipilan
Perlakuan
Kontrol
Pugam A
Pugam T
Pu Kan
Tankos
Tanah Mineral
Panjang Tongkol (cm)
Diameter Tongkol
(cm)
Hasil pipilan jagung
(kg/ha)
14,30
14,30
15,93
17,99
15,40
13,73
3,47
3,67
4,23
4,32
4,13
3,75
789
2.006
2.444
3.006
2.031
2.112
Sumber: ICCTF, 2011a
Pengaruh Pugam terhadap Emisi Gas Rumah Kaca
Upaya untuk mengurangi laju emisi CO2 dari lahan perkebunan di gambut harus
dilakukan dengan tindakan multi strata. Proses kebakaran dan dekomposisi menghasilkan
kontribusi emisi CO2 yang tertinggi. Mitigasi laju emisi GRK dapat diupayakan melalui
pengendalian muka air tanah, penggunaan amelioran, kebijakan tidak membakar dan
kebijakan moratorium pemanfaatan lahan. Keempat upaya tersebut dapat membelokkan
turun arah trend laju emisi CO2 sehingga langkah ini dapat dijadikan sebagai acuan upaya
mitigasi emisi GRK.
340
Peran Pugam dalam penanggulangan kendala
Tabel 4. Pengaruh Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO2 dan CH4 pada
lahan gambut yang disawahkan di Kalimantan Selatan.
Perlakuan
Kontrol
Abu Sekam
Pukan
Pugam A
Pugam T
Tanah Mineral
Gas CO2
Emisi
Penurunan
(t ha-1 musim-1)
(%)
20,6
18,6
9,4
14,3
30,4
14,4
29,7
19,2
6,5
15,8
23,2
Gas CH4
Emisi
Penurunan
(kg ha-1 musim-1)
(%)
620,9
289,8
53,3
294,6
52,5
300,4
51,6
272,7
56,1
373,1
39,9
Sumber: ICCTF, 2011b
Hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4 di lokasi demplot Kalsel menunjukkan
bahwa emisi kedua gas rumah kaca ini berkurang cukup signifikan dengan pemberian
amelioran. Emisi gas CO2 menurun 29,7% dengan pemberian Pugam A, sedangkan
pemberian Pugam T hanya mampu menurunkan 6,5%. Sebaliknya untuk emisi gas CH4,
Pugam T mampu menurunkan lebih tinggi dibandingkan dengan Pugam A. Persentase
penurunan gas CH4 cukup tinggi yaitu 51,6% untuk Pugam A dan 56,1% untuk Pugam T.
Pengamatan tingkat emisi GRK pada piringan tanaman perkebunan sangat
menentukan karena proses dekomposisi gambut di bagian piringan biasanya berjalan lebih
cepat karena faktor pengelolaan seperti pemupukan dan aktifitas perakaran yang lebih
tinggi. Laporan ICCTF (2011b) menyebutkan tingkat emisi CO 2 di piringan tanaman karet
di Kalteng turun sebesar masing-masing 22,3% dan 24% dengan pemberian Pugam A dan
Pugam T. Hal ini menunjukkan bahwa proses kompleksasi di area tersebut berjalan
dengan baik setelah pemberian Pugam.
Dari hasil demplot di Riau, ICCTF (2011b) menunjukkan bahwa pemberian Pugam
T mengurangi emisi sangat signifikan hingga 42,8%, sementara dengan Pugam A hanya
menurunkan 7,1%. Amelioran lain seperti tanah mineral juga mampu mengurangi emisi
sampai 44,7%, sementara itu pupuk kandang dan kompos tankos justru meningkatkan
emisi.
Di lokasi demplot Jambi, dilaporkan bahwa emisi CO2 di piringan tanaman sawit
jauh lebih rendah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya yang berkisar 2,4 – 3,9 t ha-1.
Semua amelioran kecuali Pukan meningkatkan emisi CO2 secara signifikan. Kalau dilihat
dari karakteristik gambut lapisan atas di Jambi memiliki kadar abu lebih tinggi
dibandingkan dengan kadar abu dari 2 lokasi lainnya. Artinya bahwa kandungan mineral
gambut di Jambi relatif lebih tinggi sehingga penambahan mineral dari luar tidak
berdampak.
341
I.G.M. Subiksa
Tabel 5. Pengaruh amelioran Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO 2 pada
piringan tanaman perkebunan di lahan gambut Kalteng, Riau dan Jambi.
Kalteng
Perlakuan
Emisi
(t ha-1)
7,7
5,3
6,0
5,8
7,1
4,7
Kontrol
Pukan
Pugam A
Pugam T
Tanah Mineral
Tankos
Luar Petak
Riau
% turun
Emisi
(t ha-1)
30,6
22,3
24,0
8,0
-
10,5
11,2
9,8
6,0
5,8
11,5
13,4
Jambi
% turun
Emisi
(t ha-1)
% turun
-6,9
7,1
42,8
44,7
-9,6
-
2,6
2,4
3,6
3,9
2,8
3,1
3,4
6,1
-41,6
-52,0
-10,6
-19,7
-
Sumber: ICCTF, 2011b
ICCTF (2011b) melaporkan bahwa tingkat emisi CO 2 di area tanaman sela
menunjukkan bahwa trend yang hampir sama dengan di area piringan tanaman tahunan.
Di lokasi demplot Kalteng menunjukkan bahwa Pugam A mampu mengurangi emisi
cukup besar yaitu 29%. Sementara itu Pugam-T tidak berbeda signifikan dengan
perlakuan kontrol. Amelioran lain yang cukup berdampak adalah amelioran tanah mineral.
Tingkat emisi di area tanaman sela lebih tinggi dibandingkan pada piringan tanaman
pokok. Hal ini terjadi karena proporsi luasan tanaman sela lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi piringan tanaman pokok. Di lokasi demplot Riau, Amelioran yang
berperan aktif menurunkan emisi adalah Pugam T dan tanah mineral. Di lokasi demplot
Jambi, pemberian Pugam A maupun Pugam T justru meningkatkan emisi secara
signifikan.
Tabel 6. Pengaruh amelioran Pugam dan amelioran lainnya terhadap emisi CO 2 pada
tanaman sela di lahan gambut Kalteng, Riau dan Jambi.
Perlakuan
Kalteng
Emisi
% turun
(t ha-1)
Kontrol
Pukan
Pugam A
Pugam T
Tanah Mineral
Tankos
Luar Petak
16,2
13,9
11,5
15,7
12,1
14,5
29,0
3,4
25,8
19,7
Riau
Jambi
Emisi
(t ha-1)
% turun
16,5
18,5
17,4
14,1
13,0
18,3
27,4
-12,8
-5,8
14,6
21,3
-11,4
Emisi
(t ha-1)
5,5
4,5
8,0
9,0
4,2
7,2
% turun
18,4
-45,5
-64,7
23,0
-30,8
Sumber: ICCTF, 2011b
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
342
Pugam berperan sebagai amelioran dengan bahan aktif kation polivalen yang mampu
melakukan proses kompleksasi asam-asam organik beracun. Proses ini secara tidak
langsung akan meningkatkan stabilitas gambut dan mengurangi emisi GRK.
Peran Pugam dalam penanggulangan kendala
2.
Pugam berperan sebagai pupuk fosfat lepas lambat yang diperkaya dengan hara
sekunder, silikat dan unsur mikro untuk menanggulangi defisiensi hara dan
meningkatkan efisiensi pupuk.
3.
Pugam sebagai amelioran dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karet dan
kelapa sawit serta pertumbuhan dan produksi tanaman sela cukup signifikan tanpa
memberikan pupuk fosfat tambahan dan diduga mampu mencegah sterilitas polen
kelapa sawit,
4.
Peran Pugam dalam menekan emisi gas rumah kaca belum konsisten, namun secara
umum di beberapa tempat, Pugam dapat menekan laju emisi gas rumah kaca, baik di
piringan tanaman tahunan maupun di area tanaman sela. Pengaruh Pugam akan
berkurang bila gambut secara inheren sudah kaya mineral seperti di lokasi Jambi.
5.
Pemanfaatan Pugam dalam usahatani di lahan gambut adalah bentuk teknologi yang
mensinergikan upaya adaptasi dan mitigasi GRK sehingga tujuan ekonomi tercapai
namun emisi tetap dapat ditekan seminimal mungkin.
6.
Karena gambut memiliki daya sangga kemasaman sangat tinggi, disarankan
pengukuran GRK dapat dilakukan dalam waktu yang tepat secara time series untuk
mengetahui peran pugam secara detail masa aktifnya.
7.
Komposisi asam-asam fenolat sebelum dan sesudah aplikasi pugam sebaiknya
dianalisa di laboratorium untuk mengetahui lebih detail peran pugam dalam
mengurangi emisi dan meningkatkan produktivitas lahan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk pertanian dan aspek
lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAFT)
Bogor, Indonesia.
Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943
(2006).
ICCTF, 2011a. Penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan untuk meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi gas rumah
kaca: Laporan Akhir bidang Agronomi dan Pemupukan.
ICCTF, 2011b. Penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut
berkelanjutan untuk meningkatkan sequestrasi karbon dan mitigasi gas rumah
kaca: Laporan Akhir Bidang Emisi Gas Rumah Kaca.
Ma, Jiang Feng and E. Takahashi, 2002. Soil, Fertilizer and Silicon Research in Japan, 1st
Edition. Elsevier Science, Tokyo Japan.
343
I.G.M. Subiksa
Mario, M.D. 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah gambut dengan
pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh bahan berkadar besi tinggi. Disertasi
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Purwanto, B.H, 2011. Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Paper disampaikan dalam
workshop teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di lahan gambut, Solo 8
Desember 2011.
Rachim, A. 1995. Penggunaan kation-kation polivalen dalam kaitannya dengan
ketersediaan fosfat untuk meningkatkan produksi jagung pada tanah gambut.
Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sabiham, S., TB. Prasetyo dan S. Dohong. 1997. Phenolic acid in Indonesian peat. In
Rieley and Page (Eds). Pp. 289-292. Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peat and Peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.
Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang disawahkan dengan
pemberian bahan amelioran tanah mineral berkadar besi tinggi. Disertasi Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saragih, E.S., 1996. Pengendalian asam-asam organik meracun dengan penambatan Fe
(III) pada tanah gambut Jambi, Sumatera. Tesis S2, Program Pascasarjana, Institut
Prtanian Bogor.
Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry. Genesis, Composition, and Reactions. John
Wiley and Sons. Inc. New York. 443 p.
Subiksa, I G.M., Ai Dariah dan F. Agus. 2009. Sistem pengelolaan lahan eksisting di
Kalimantan Barat serta implikasinya terhadap siak kimia tanah gambut dan emisi
GRK. Laporan Penelitian Kerjasama Balai Penelitian tanah dengan Kementrian
Ristek.
Subiksa, I G.M., Husein Suganda dan Joko Purnomo. 2009. Pengembangan formula
pupuk untuk lahan gambut sebagai penyedia hara dan menekan emisi gas rumah
kaca (GRK). Laporan Penelitian Kerja Sama antara balai Penelitian tanah dengan
Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
Wahyunto, and Subagjo H. 2007. Map of peat land distribution area and carbon content in
Papua. Wetland International Indonesia Program and Wildlife Habitat Canada
(WHC).
Wahyunto, Sofyan R., Suparto and Subagyo H. 2004. Map of peat land distribution area
and carbon content in Kalimantan. Wetland International Indonesia Program and
Wildlife Habitat Canada (WHC).
Wahyunto, Sofyan R., and Subagyo H., 2003. Map of peat land distribution area and
carbon content in Sumatera. Wetland International Indonesia Program and Wildlife
Habitat Canada (WHC).
344
Download