Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global di Indonesia Dikirim oleh prasetya1 pada 02 Februari 2009 | Komentar : 0 | Dilihat : 6124 Seminar Nasional Pemanasan Global Indonesia memiliki andil besar dalam pemanasan global dengan menjadi bagian dari masalah sebagai sumber Gas Rumah Kaca (GRK) terbesar. Tercatat, Indonesia menduduki ranking ketiga sumber GRK di dunia setelah Amerika dan China. Demikian disampaikan pembicara dari The International Council for Research in Agroforestry (ICRAF), Dr. Meine Van Noordwijk dalam Seminar Nasional Pemanasan Global bertajuk "Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia". Kegiatan ini diselenggarakan di gedung Widyaloka UB pada Sabtu (31/1) dan diikuti dosen, mahasiswa, peneliti dan aktivis lingkungan. Lebih jauh, Van Noordwijk menyatakan bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam mendefinisikan hutan dari berbagai pihak yang peduli dengan masalah perubahan iklim. Penyamaan persepsi ini menurutnya penting, karena untuk kasus di Indonesia saja, banyak yang disebut hutan tetapi tidak ada pohon dan banyak pohon yang justru berada di luar hutan. "Penyamaan definisi terkait hutan ini menurut kami penting sebagai pemahaman awal yang akan menjadi referensi pada Konferensi Perubahan Iklim mendatang di Copenhagen, Denmark sebagai pengganti Kyoto Protocol yang akan habis masa berlakunya pada 2012", ujar Van Noordwijk kepada PRASETYA Online. Berbagai kasus konversi hutan di Indonesia menurutnya memiliki andil besar dalam pemanasan global, ditambah lagi tidak adanya kesamaan visi antara Departmen Kehutanan dan Departemen Pertanian. "Harus ada integrasi visi antara kedua departemen tersebut sehingga tidak terjadi overlap dalam pemanfaatan landscape", terang Van Noordwijk yang menjabat sebagai Global Science Advisor ICRAF untuk wilayah Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Terkait isu lingkungan hidup, ia ingin membawa isu hutan ini ke Copenhagen. Keberadaan lahan gambut tropis di Indonesia menjadi perhatian khusus ICRAF, terlebih lagi berkaitan dengan proyek pengalihan lahan gambut sejuta hektar yang gagal di era Soeharto. "Lahan gambut belum terdefinisikan sebagai hutan. Dalam konferensi Copenhagen nantinya kami akan berusaha mengintegrasikan lahan gambut ke dalam hutan", ujarnya. Lahan gambut tropis di Indonesia ini, disebutkannya menyumbang lebih banyak emisi. Berturut-turut dari penyumbang emisi yang tertinggi untuk lahan gambut adalah Lampung, Riau, Kalimantaan Selatan dan Jambi. Di Indonesia, Van Noordwijk menegaskan, solusi terkait pemanasan global harus melalui kebijakan yang terintegrasi sehingga tidak terjadi overlap antara mitigasi dan adaptasi. "Mitigasi adalah upaya untuk mengurangi emisi sedangkan adaptasi adalah upaya untuk mengurangi dampak emisi", tegasnya. Pemanasan Global dan Dunia Pertanian Dalam seminar nasional ini, dikumpulkan seluruh pakar Universitas Brawijaya yang memiliki kepedulian dan keterkaitan dengan masalah pemanasan global. Turut hadir pula dalam kesempatan tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian (Balitbang Deptan), Dr. Sumardjo Gatot Irianto. Dalam paparannya, ia menyatakan bahwa variabilitas dan perubahan iklim merupakan sebuah keniscayaan yang saat ini dipercepat dengan aktivitas manusia. Sektor pertanian, menurutnya, di samping ikut menjadi penyebab juga merupakan korban yang paling rentan terkait dengan perubahan iklim terutama dalam Ketahanan Pangan Nasional. Sejauh ini, diterangkannya, Departemen Pertanian telah menyiapkan berbagai strategi, kebijakan dan rencana aksi untuk menghadapi perubahan iklim, termasuk identifikasi dan pengembangan teknologi. Beberapa inovasi sistem dan pendekatan usaha tani adaptif yang sudah dikembangkan adalah pengembangan PTT, SRI dan IP 400 untuk padi di samping inovasi teknologi dan alat bantu seperti varietas unggul yang rendah emisi, super genjah, tahan salinitas, dan lain-lain. Selain itu, pihaknya juga tengah mengupayakan teknologi pembukaan lahan, pemupukan dan pengelolaan tanah dan air yang efisien dan ramah lingkungan. Titik tumpu seluruh inovasi mitigasi dan adaptasi ini menurutnya adalah kepedulian seluruh masyarakat, kesepahaman aparat dan pemahaman petani/masyarakat terhadap dampak pemanasan global. Pemanasan Global dan Dunia Kesehatan Sementara itu, untuk dampak pemanasan global di dunia kesehatan disampaikan oleh Dr. dr. Endang Sriwahyuni MS dengan tajuk "Pengaruh Radiasi Sinar Ultraviolet dan Pemanasan Global terhadap Kesehatan Manusia". Menurutnya kegiatan manusia menghasilkan bahan pencemar udara yang menyebabkan penipisan ozon sehingga mengakibatkan radiasi ultraviolet yang berlebihan disamping pemanasan global. Salah satu dampak serius radiasi ultraviolet menurutnya adalah peningkatan penderita kanker kulit, penyakit katarak, infeksi serta menurunnya imunitas tubuh. Selain itu, pemanasan global juga menurutnya akan menyebabkan out break dari penyakit-penyakit demam berdarah, malaria, encephalitis dan kolera. "Dari data WHO disebutkan bahwa saat ini sebanyak 20 juta orang buta karena katarak dan 20% di antaranya disebabkan karena ultraviolet", tambahnya. Untuk mata, Dr. Endang menjelaskan, paparan UV tergantung pada daya pantul tanah, tingkat kecerahan langit, aktivasi refleks kedip serta penggunaan pelindung mata. Hukum Lingkungan Dari aspek hukum, Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya SH MH memaparkan materi bertajuk "Pembangunan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim dan Pemanasan Global: Perspektif Hukum dan Kebijakan". Dalam paparannya, guru besar FHUB ini mengkritisi karakter hukum dan kebijakan pemerintah yang eksploitatif, sentralistik, sektoral disamping terbatasnya ruang partisipasi publik. Korban dari hal ini, menurutnya adalah kerusakan ekologi yang menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor, dan udara yang tercemar disamping konflik pengelolaan sumber daya alam dan kemiskinan. Untuk itu, secara khusus ia memberikan masukan agar pembangunan yang dijalankan lebih menyeimbangkan dimensi proses dan target. "Jika lebih memprioritaskan proses dikhawatirkan target tidak tercapai, dan jika hanya memprioritaskan target maka hasilnya adalah pembangunan mengabaikan proses, termasuk di dalamnya merusak lingkungan", ujar Nurjaya. Beberapa masukan lain juga disampaikan, seperti menata ulang paradigma nasional, mereformasi hukum dan kebijakan pemerintah, meningkatkan kemitraan dan peran stakeholders serta menjaga keseimbangan kepentingan ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Dalam acara yang dibuka oleh Rektor UB, Prof. Dr. Ir Yogi Sugito ini, dilangsungkan presentasi dari para pakar di lingkungan UB yang dibagi dalam dua sesi, meliputi analisis dampak perubahan iklim terhadap lingkungan, serta analisis dampak perubahan iklim terhadap aspek sosial dan budaya. Berikut para pemateri lain beserta judul makalahnya. Dr. Fahmuddin Agus: "Cadangan karbon, emisi GRK dan konservasi pada lahan gambut"; Prof. Dr. Harnen Sulistyo: "Dampak perubahan iklim terhadap keberlanjutan transportasi"; Prof. Dr. Ir Siti Chuzaemi MS: "Trade off antara produksi ternak dan emisi gas rumah kaca"; Ir Didik Suprayogo MSc PhD: "Dampak perubahan iklim terhadap fungsi hidrologi DAS"; Ir Sukoso MSc PhD: "Dampak perubahan iklim terhadap perikanan dan kelautan"; Prof. Dr. Sutiman Bambang Sumitro: "Dampak perubahan iklim terhadap keragaman hayati dan usaha konservasi keragaman hayati"; Dr. Suyanto: "Pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan untuk perbaikan fungsi DAS; Prof. Dr. Ir H Darsono Wisadirana MS: "Tatanan sosial masyarakat di era pemanasan global"; dan Prof. Dr. Ir Bustanul Arifin MSc: "Dampak pemanasan global terhadap perekonomian pemerintah daerah". [nok]