kajian pembangunan transportasi dan perubahan iklim

advertisement
KAJIAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI DAN PERUBAHAN
IKLIM DALAM MENDUKUNG KONEKTIVITAS DAN
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Transportasi memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi dan
pembangunan sosial bagi kesejahteraan masyarakat. Transportasi juga menjadi salah satu
urat nadi pembangunan yang diperlukan bagi pengembangan suatu wilayah. Dengan
demikian, pembangunan transportasi mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional. Peningkatan pertumbuhan ekonomi memberikan konsekuensi
bagi pertumbuhan kebutuhan mobilitas manusia maupun barang, sehingga perlu
didukung dengan peningkatan kapasitas sarana dan prasarana transportasi. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia memerlukan pembangunan transportasi yang juga memiliki
peran utama dalam pemerataan pembangunan serta sistem distribusi nasional, baik di
masing-masing pulau, antar pulau dan wilayah Indonesia.
Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025) maupun
MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia),
pembangunan sistem transportasi nasional menjadi andalan utama dalam memperkuat
konektivitas dalam menghubungkan antar dan intra koridor ekonomi di tingkat nasional dan internasional. Untuk mencapai tujuan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi, peningkatan konektivitas, dan peningkatan daya saing sektor transportasi nasional,
maka diperlukan proses transformasi ekonomi yang tidak secara bussines as usual (non BAU), yang perlu didukung dengan peningkatan
kapasitas SDM, peningkatan fungsi iptek dan inovasi, serta peningkatan fungsi kelembagaan dan sosial budaya yang kondusif.
Pembangunan sektor transportasi diarahkan sebagai penunjang atau ship follows the trade untuk mendukung penguatan potensi
pertumbuhan ekonomi wilayah, maupun menguatkan peran pembangunan sektor transportasi yang berperan sebagai pendorong atau
ship promote the trade untuk menghubungkan daerah yang relatif kurang berkembang dengan daerah yang lebih berkembang sehingga
pemerataan pembangunan antar wilayah dapat dicapai.
embangunan transportasi tidak hanya dilihat sebagai
pembangunan secara fisik namun juga harus berperan dalam
mewujudkan pemerataan pembangunan dan keseimbangan
lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem
transportasi berkelanjutan, yang mampu menyediakan akses
terhadap kebutuhan dasar masyarakat. Sistem transportasi
dapat dikatakan berkelanjutan apabila mampu memenuhi unsur
keselamatan, keamanan dan tanpa menurunkan kualitas
kesehatan manusia dan ekosistem, dan dibangun berdasarkan
asas pembangunan rendah karbon, termasuk mengurangi
dampak negatif terhadap lingkungan akibat polusi dan emisi
yang dihasilkan sektor transportasi.
Berdasarkan pada sumber-sumber emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) di Indonesia, 5,1% sumber emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) nya berasal dari sektor transportasi (KLH, 2010).
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup tahun 2005, pada beberapa kota besar/metropolitan di
Jawa (termasuk Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya),
kendaraan bermotor merupakan sumber utama polusi udara
termasuk sumber emisi GRK sektor transportasi. Bila tidak ada
perubahan kebijakan, maka trend permintaan di sektor
transportasi akan berdampak pada peningkatan trend
konsentrasi pencemaran di udara maupun peningkatan emisi
GRK.
Perpres no 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK (Rencana
Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca) menargetkan
penurunan GRK sebesar 26% atas usaha domestik dan
peningkatan penurunan GRK sampai dengan 41% dengan
bantuan internasional. Penurunan tersebut salah satunya
berasal dari sektor transportasi dan energi dengan target
penurunan sebesar 0,038 giga ton CO2 ekuivalen (untuk target
penurunan emisi 26%) dan 0,056 giga ton CO2 ekuivalen (untuk
target penurunan emisi dari 26% ke 41%).
Untuk menurunkan emisi GRK , salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah melalui strategi mitigasi, dimana strategi
tersebut diharapkan untuk dilakukan oleh masing-masing
negara sesuai dengan prinsip-prinsip Common But Differentiated
Responsibility (CBDR) dan respective capabilities. Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang yang secara sukarela
menurunkan emisi GRK melalui NAMAs (Nationally Appropriate
Mitigation Actions), baik yang melalui domestically supported,
internationally supported, maupun offset mechanism dalam
UNFCCC.
Penurunan emisi GRK merupakan upaya untuk
meminimasi dampak pemanasan global. Dampak pemanasan
global yang dapat mempengaruhi kinerja sektor transportasi
antara lain: banjir, longsor, cuaca ekstrim / badai, kenaikan
muka air laut, dan lainnya. Untuk merespon dampak-dampak
yang telah ditimbulkan oleh pemanasan global dan perubahan
iklim, diperlukan strategi adaptasi sektor transportasi. Oleh
sebab itu, kemampuan dan kapasitas melakukan mitigasi dan
beradaptasi dengan iklim saat ini merupakan kunci untuk
kebutuhan peningkatan ketahanan terhadap dampak perubahan
iklim di masa mendatang. Kemampuan mitigasi dan beradaptasi
diperlukan untuk mewujudkan sistem transportasi yang andal
dan berkelanjutan.
Kajian ini bertujuan untuk mengintegrasikan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan melalui penanganan
perubahan iklim (mitigasi dan adaptasi) ke dalam kebijakan
pembangunan transportasi, sehingga dapat mewujudkan
transportasi yang andal (efisien, tepat, cepat, aman, nyaman, dan
terjangkau) dalam mendukung konektivitas dan pengembangan
wilayah. Rekomendasi kebijakan yang dihasilkan dari kajian ini
difokuskan pada setiap subsektor transportasi, baik udara, laut,
penyeberangan, jalan dan kereta api. Selain itu, rekomendasi
mencakup isu lintas sektor, termasuk energi, pengembangan
wilayah, kelembagaan, SDM dan iptek, serta pembiayaan.
Berdasarkan hasil kajian, dapat disimpulkan bahwa
dalam mengintegrasikan isu-isu strategis antara kebijakan
pengembangan sistem transportasi nasional, pemgembangan
wilayah, dan perubahan iklim, diperlukan: (1) Strategi mitigasi
dalam pembangunan sektor transportasi dan pengembangan
sistem transportasi nasional dilakukan diantaranya melalui
strategi improve, shifting, maupun strategi avoid; (2) Upaya
adaptasi perubahan iklim dalam pengembangan sektor
transportasi, dapat dilakukan melalui protection (pembuatan
konstruksi baru sebagai bangunan pelindung), retrofiting
(perbaikan dan perkuatan bangunan yang telah ada), redesign
(merancang dan membangun bangunan baru), dan relocation
(memindahkan ke lokasi baru); (3) Strategi terkait perubahan
pola pikir dan perilaku budaya melalui peningkatan kapasitas
sumber daya manusia (capacity building) dan upaya-upaya
untuk meningkatkan kesadaran, perubahan perilaku, dan
manajemen permintaan; (4) Peningkatan koordinasi lintas
sektoral dan wilayah, dan tahapan perencanaan, pelaksanaan
dan pengendalian pembangunan antar sektoral dan wilayah; (5)
Integrasi pembangunan sektor transportasi, baik intra dan antar
moda agar efisien dan andal serta rendah karbon; (6)
Peningkatan koordinasi kebijakan transportasi, pengembangan
wilayah dan perencanaan, pelaksanaan, serta pengendalian
penataan ruang; (7) Peningkatan kapasitas SDM dan Iptek serta
dukungan pengembangan ilmu untuk peningkatan pemahaman
(knowledge) dan inovasi, sistem data dan informasi yang
diperlukan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi sesuai
dengan standar nasional dan internasional; (8) Peningkatan
kapasitas prasarana dan sarana transportasi yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan secara seimbang (terkait botteleneck
antara supply dan demand), disertai peningkatan pengelolaan
kebutuhan
permintaan
(demand
management)
agar
pertumbuhan pembangunan tidak menyebabkan ketimpangan
terhadap kualitas dan penurunan daya dukung lingkungannya;
(9) Menjaga dan meningkatkan keandalan sistem transportasi
agar efisien dan ramah lingkungan, yang perlu didukung
penataan kembali pola ruang, strategi pembangunan antar
sektor dan wilayah, serta strategi manajemen perubahan di
segala aspek; (10) Mengintegrasikan kebijakan dan program
pembangunan lintas sektor dan wilayah kedalam RPJMN dan
RPJPN kedepan, yang didukung sistem insentif dan disinsentif
yang telah memperhitungkan aspek perubahan iklim dan
penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development).
Selain itu, diperlukan juga kerangka regulasidan
kelembagaan dalam pengembangan sistem transportasi yang
andal dan berkelanjutan, terutama dalam kaitannya terhadap
pengembangan wilayah dan perubahan iklim, antara lain
melalui: (1) Dukungan kebijakan peraturan perundangundangan yang dapat mengintegrasikan tatanan dan hirarki
peraturan yang tidak bersifat ego-sektoral, termasuk penataan
dan kerangka regulasi di masing-masing moda transportasi,
komitmen Internasional terkait perubahan iklim, serta berbagai
kerangka regulasi yang terkait penataan ruang dan lahan, dan
peraturan-peraturan
lainnya;
(2)
Penunjukan
dan
mempersiapkan suatu K/L yang kuat dan inovatif sehingga
dapat berperan sebagai koordinator dan menjadi agent of
change dalam pelaksanaan manajemen perubahan yang
diperlukan agar terwujud pembangunan sektor transportasi
yang andal, efisien serta rendah karbon melalui prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan; (3) Dukungan mekanisme
sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan monitoring
evaluasi, yang didukung dengan proses bisnis yang jelas, agar
dapat dilakukan pengendalian, “tracking” dilakukannya MRV
atau pengukuran terhadap capaian target (dengan indikator
yang jelas didukung dengan sistem, dana dan informasi) yang
dapat diarahkan untuk pencapaian target yang jelas dan terukur
serta terverifikasi, sesuai dengan standar nasional dan
internasional; (4) Penetapan metodologi dan sistem MRV sesuai
dengan standar nasional dan internasional, penetapan baseline
di sektor transportasi, serta penetapan kriteria dan
mekanismenya untuk memilih kegiatan prioritas dan program
mana yang akan dimasukan dalam kategori penurunan GRK
sebesar 0% - 26% yang akan dimasukan dalam voluntary NAMAs
dan yang masuk dalam kategori dari 26% ke 41% agar RANGRK dapat ditransformasi menjadi NAMAs yang bisa dilakukan
MRV dan diakui secara internasional supported NAMAs atau
yang melalui mekanisme offset (pasar) di sektor transportasi
maupun sektor lainnya dalam RAN GRK, baik yang dibiayai dari
pemerintah (pusat/daerah) ataupun swasta dan kerja sama
pemerintah dan swasta (di dalam negeri dan dengan dukungan
internasional); (5) Kebijakan energi di sektor transportasi
melalui strategi kebijakan lintas sektor dan dukungan pricing
policy yang dapat meningkatkan pemanfaatan bahan bakar di
sektor transportasi khususnya dan sektor energi pada
umumnya, antara lain dengan mendorong penggunaan energi
baru dan terbarukan.
Download