1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setiap pasien berhak untuk memperoleh mutu pelayanan medis, informasi, maupun edukasi mengenai kesehatan dirinya. Setiap pasien juga berhak untuk menentukan nasibnya sendiri terkait tindakan dan pengobatan, baik yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani Sri Sugiarsi dan Rohmadi mengenai “Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Hak dan Kewajiban Pasien atas Informasi Medis Pasien Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karanganyar”, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan pasien mengenai hak-haknya dalam menerima pelayanan kesehatan masih kurang.3 Pasien perlu mengetahui bahwasannya dokter dan pasien memiliki kedudukan yang sederajat sehingga dokter dan pasien dapat mengadakan perjanjian terapeutik yang objeknya berupa upaya penyembuhan. 3 Sebelum upaya penyembuhan Yani Sri Sugiarsi, dan Rohmadi, Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Hak dan Kewajiban Pasien atas Informasi Medis Pasien Rawat Inap Kelas III Di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Karanganyar, Rekam Medis, Vol. 2 No.2, Februari 2008, diakses dari http://ejurnal.stikesmhk.ac.id/index.php/rm/article/view/38 tanggal 14 Agustus 2016 pada pukul 15.00 WIB. 2 dilakukan, maka diperlukan adanya persetujuan dari pasien yang disebut dengan informed consent. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dokter atau tenaga kesehatan wajib memberikan penjelasan mengenai segala hal yang berkaitan dengan kesehatan pasien seperti penyakit yang dideritanya, obat, alternatif pengobatan serta tindakan yang dapat dilakukan oleh dokter berikut risiko yang dapat muncul di kemudian hari. Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) tersebut berlaku bagi semua orang tanpa kecuali. Semua pasien memiliki hak yang sama, pun tak terkecuali bagi orang dengan gangguan jiwa atau yang biasa disingkat dengan ODGJ. Contoh kasus mengenai informed consent yang pernah terjadi ialah kasus Bolam v. Friern Hospital Management Committee di Inggris pada tahun 1957. Kasus Bolam merupakan kasus yang sangat terkenal hingga melahirkan apa yang disebut dengan Bolam Test atau standar Bolam. Kasus ini mengenai seorang pasien yang menderita sakit mental dan bermaksud untuk melakukan terapi electroconvulsive. Pasien merasa tidak tenang karena tidak diberikan obat penenang, sehingga akibatnya pasien menderita pergeseran penghubung tulang pinggul dan retak pinggul.4 Dalam memutuskan kasus ini, hakim berpegang pada 4 Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 86. 3 pendapat para profesional yang dianggap ahli. Menurut Bolam Test, seorang dokter tidak dapat dikatakan melakukan kelalaian jika dia telah melakukan tugasnya sesuai dengan praktek kedokteran yang layak, yang telah diterima maupun dipandang layak oleh badan kedokteran yang bertanggung jawab dan ahli dalam bidang tersebut. Kasus Bolam ini bukan semata-mata berkenaan dengan kewajiban informed consent, melainkan mengenai standar kelalaian seorang dokter serta kewajibannya dalam memberikan informasi dan meminta persetujuan pasien.5 Kasus lain mengenai informed consent yaitu mengenai putusan Central Medisch Tuchtcollege Belanda tanggal 28 Oktober 1982. Seorang Dokter ahli penyakit kulit yang mengobati pasiennya, seorang penderita kanker. Dokter tersebut tidak memberikan informasi mengenai kondisi pasien yang sebenarnya serta tidak memberikan alternatif terhadap tindakan terapeutik yang dilakukannya. Terhadap kasus tersebut, Central Medisch Tuchtcollege Belanda menjatuhkan sanksi disiplin kepada dokter tersebut berupa pencabutan izin praktek.6 Kedua kasus di atas merupakan contoh bahwa seorang dokter tidak dapat mengambil tindakan sendiri tanpa persetujuan pasien, sehingga dokter harus melakukan komunikasi dengan pasien agar pasien dapat memberikan pilihan maupun keputusannya. Dokter harus menghormati apapun yang menjadi pilihan pasien, dan tidak dapat memaksakan kehendaknya, sekalipun pasien yang bersangkutan merupakan pasien dengan gangguan kejiwaan. 5 6 Ibid., hlm. 87. Loc. Cit. 4 Tidak adanya informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya apabila terjadi kerugian terhadap tubuh pasien. Kerugian tersebut, dapat terjadi dalam bentuk-bentuk sebagai berikut : 1) Kerugian cacat tubuh/mental; 2) Kerugian materi (pengeluaran biaya) yang sebenarnya tidak perlu; 3) Kerugian karena rasa sakit; 4) Hilangnya kesempatan berusaha karena cacat atau disibuki oleh pengobatan; 5) Meninggalnya pasien; 6) Merusak kepercayaan dan agamanya.7 Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, disebutkan bahwa orang dengan gangguan jiwa merupakan orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Kondisi pasien yang demikian menjadi persoalan ketika pasien tersebut dinyatakan cakap dan berkompeten untuk melakukan persetujuan tindakan kedokteran, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Ketentuan Pasal 20 ayat (3) menyatakan bahwa penatalaksanaan kondisi kejiwaan pada orang dengan gangguan jiwa, dapat dilakukan dengan cara rawat jalan atau rawat inap. Selanjutnya, dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa penatalaksanaan kondisi kejiwaan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dilakukan secara rawat inap dan dilakukan atas hasil pemeriksaan psikiatrik 7 Ibid., hlm. 70. 5 oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan/atau dokter yang berwenang, dilakukan dengan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Persetujuan tindakan tertulis tersebut dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa yang bersangkutan. Bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UndangUndang Kesehatan Jiwa, orang dengan gangguan jiwa dapat melakukan perjanjian berupa persetujuan tindakan kedokteran. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka perlu dilakukan analisis hukum dengan mengingat ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa orang yang ditaruh dibawah pengampuan merupakan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian. J. Satrio juga menyatakan bahwa orang gila atau orang dengan gangguan kejiwaan merupakan orang yang berada di bawah pengampuan. Dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian” disebutkan bahwa orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) dapat terjadi atas dasar a) gila (sakit otak), dungu (onnozelheid), mata gelap (razernij); b) lemah akal (zwakheid van vermogens); c) pemborosan.8 Pertentangan mengenai dapat atau tidaknya orang dengan gangguan jiwa melakukan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) secara tertulis merupakan hal yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban para pihak, yaitu 8 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 13. 6 dokter selaku pemberi jasa kesehatan dan pasien atau penanggung jawabnya selaku penerima jasa kesehatan. Bagi dokter, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka memberikan informasi kepada pasien. Kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasiennya merupakan kewajiban hukum, yang meliputi :9 “1) kewajiban melakukan diagnosis penyakit; 2) kewajiban mengobati penyakit; 3) kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta atau tidak; 4) kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari pasien (tanpa paksaan atau penekanan) terhadap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter setelah kepada pasien tersebut diberikan informasi yang cukup oleh dokter.” Bagi pasien, hal ini juga berpengaruh terhadap haknya dalam memperoleh informasi dan edukasi mengenai penyakit yang dideritanya serta tindakan medis yang dapat dilakukan atas dirinya. Dokter selaku tenaga kesehatan harus dapat memastikan bahwa pasien tersebut berkompeten untuk melakukan persetujuan, karena segala risiko yang terjadi atas tindakan medis yang dilakukan atas persetujuan pasien, menjadi tanggung jawab pasien itu sendiri. Dapat atau tidaknya seorang pasien dengan gangguan kejiwaan melakukan persetujuan, juga mempengaruhi kewajiban wali atau penanggung jawab pasien, karena wali merupakan orang yang bertanggung jawab atas diri pasien, sehingga dalam hal ini dokter mempunyai peranan penting dalam menentukan siapa 9 Munir Fuady, op. cit., hlm. 48. 7 dianggap dokter mampu untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent). Pelaksanaan informed consent dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan tidak hanya memperhatikan kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan, namun juga berpedoman pada ketentuan hukum positif Indonesia, seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan peraturan lain terkait persetujuan tindakan kedokteran. Pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent), juga dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip bioetika dalam bidang kesehatan. Menurut International Association of Bioethics yang dikutip oleh Samsi Jacobalis dalam bukunya yang berjudul “Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika”, bahwa yang dimaksud dengan bioetika adalah studi tentang isu-isu etis, sosial, hukum, dan isu-isu lain yang timbul dalam pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi.10 Disamping itu menurut F.J.E Basterra, bioetika bukan hanya berurusan dengan hubungan dokter-pasien dari sudut pandangan moral, tetapi juga ikut peduli dengan profesi-profesi terkait, seperti kesehatan mental.11 Prinsip bioetika tersebut meliputi 1) prinsip autonomy, 2) prinsip beneficence, 3) prinsip non-maleficence, dan 4) prinsip justice. Keempat prinsip bioetika ini 10 Samsi Jacobalis, 2005, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, Sagung Seto bekerjasama dengan Universitas Tarumanagara, Jakarta, hlm. 186. 11 Loc. Cit. 8 memiliki peran dan arti tersendiri. Prinsip autonomy, berkaitan dengan kewajiban tenaga kesehatan untuk mendorong hak otonomi dari pasien. Pasien diberi kebebasan untuk menentukan keputusan melalui edukasi atau pemberian informasi terkait masalah kesehatannya sehingga diharapkan pasien dapat menentukan secara bijak mengenai tindakan yang akan diberikan terhadapnya. Prinsip beneficence, yaitu dengan segala kemampuan dan keahliannya, tenaga kesehatan memberikan kebermanfaatan bagi pasien. Prinsip non-maleficence, yang berarti bahwa tenaga kesehatan dalam memberikan kesehatan senantiasa dengan niat untuk membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya, dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada pasien. Prinsip justice, yang berarti bahwa perlakuan yang sama dan adil terhadap orang lain dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral, legal, dan kemanusiaan.12 Terkadang, dalam pelaksanaan upaya kesehatan terjadi konflik antara penerapan keempat prinsip tersebut. Misalnya, pada prinsip beneficence dan prinsip autonomy, terkait prinsip mana yang sebaiknya didahulukan penerapannya dalam upaya penyembuhan pasien. Prinsip beneficence, merupakan prinsip yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus dapat selalu memberikan manfaat dan kebaikan kepada pasiennya. Sebagai contoh, dalam hal terjadi kegawat daruratan dimana pasien berada dalam kondisi kritis tidak sadarkan diri, tanpa didampingi oleh keluarga, maka dokter dapat segera memberikan tindakan medis atau life 12 Yulia Fauziyah dan Cecep Triwibowo, 2013, Bioteknologi Kesehatan dalam Perspektif Etika dan Hukum, Nuha Medika, Yogyakarta, hlm. 12-16. 9 support untuk menolong pasien. Dalam hal ini dokter mengesampingkan prinsip autonomy, dan mengutamakan prinsip beneficence. Contoh lain dari penerapan prinsip bioetika adalah kasus yang terjadi pada Emily, seorang anak berumur dua belas tahun yang menderita penyakit tumor selaput otak (meningoblastoma), kemudian ia dioperasi dan diberi radiasi (penyinaran). Ketika penyakit Emily kambuh, para tenaga kesehatan mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan berupa cis-platinum, sebuah obat yang masih dalam tahap eksperimental. Ketika kedua orang tua Emily dihubungi, kedua orang tuanya menyatakan bahwa mereka menyerahkan sepenuhnya tindakan yang akan ditempuh kepada tenaga medis sehingga hal ini membuat para dokter dan perawat bingung. Mereka menganjurkan agar orang tua Emily tidak melakukan pengobatan ini, karena beberapa staf medis menganggap bahwa pengobatan tersebut akan menimbulkan lebih banyak penderitaan daripada pertolongan bagi pasien. Namun karena penyakit Emily semakin parah, kemudian ayah Emily meminta agar dilakukan pernapasan buatan dan kemoterapi sampai terapi tersebut bisa berhasil. Namun, terapi percobaan tersebut membuat Emily semakin sakit dan pada akhirnya meninggal dunia.13 Dalam kasus ini, suatu tujuan dasar di bidang kedokteran, yaitu meringankan penderitaan, tersingkir dalam konflik dengan tujuan lain dari bidang kedokteran, yaitu mempertahankan kehidupan. Hal inilah yang menyebabkan para dokter bertanya kepada dirinya sendiri apakah tindakan medis yang diberikan sudah tepat meskipun terjadi 13 G. Maertens et.al, 1990, Bioetika Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis, Gramedia, Jakarta, hlm. 37-38. 10 pertentangan dalam tujuan kedokteran, yaitu berusaha mempertahankan hidup seseorang atau berusaha untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh pasien.14 Dalam menghadapi pertentangan tersebut, prinsip bioetika menjadi landasan bagi dokter untuk menentukan sikap terkait tindakan medis yang akan diambil dalam rangka melakukan upaya kesehatan bagi pasien. Prinsip bioetika juga dapat menjadi indikator untuk melihat terpenuhi atau tidaknya hak-hak pasien, terutama bagi pasien penderita gangguan jiwa, karena pasien penderita gangguan jiwa juga memiliki hak yang sama dengan pasien lain pada umumnya, terlebih ketika pasien gangguan jiwa dianggap mampu untuk melaksanakan perjanjian, yaitu persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk memaparkan lebih jauh dalam suatu penulisan hukum dengan mengambil judul “PENERAPAN PRINSIP BIOETIKA DALAM PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN TERHADAP PASIEN GANGGUAN KEJIWAAN DI RUMAH SAKIT JIWA PROF. DR. SOEROJO MAGELANG.” 14 Loc. Cit. 11 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) antara dokter dengan pasien di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pasien gangguan jiwa terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hal-hal yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) antara dokter dengan pasien di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang. b. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi pasien gangguan jiwa terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) 12 dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang diperlukan sebagai bahan untuk penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, terdapat beberapa judul mengenai hukum kesehatan diantaranya sebagai berikut : 1. Teodota Retno Prisilia Progo, pada tahun 2013, dengan judul “Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Kota Samarinda”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.15 Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pokok permasalahan yang diteliti, yaitu penelitian terdahulu membahas mengenai pelaksanaan perjanjian terapeutik dan perlindungan hukum bagi para pasien, dengan hasil penelitian bahwa dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Provinsi Kalimantan Timur sudah dilaksanakan, hanya saja untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan 15 Teodota Retno Prisilia Progo, 2013, “Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Kota Samarinda”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 13 kedokteran yang dilakukan pasien tidak dapat diberikan secara langsung tetapi melalui pihak keluarga terdekat atau pihak yang bertanggung jawab terhadap pasien. Selanjutnya, dalam hasil penelitian dipaparkan bahwa perlindungan hukum terhadap pasien belum cukup diperhatikan dengan baik, karena terdapat beberapa pasien yang mengalami kekerasan dari pasien lain dan terdapat pasien yang melakukan tindakan bunuh diri karena kurangnya kontrol pengawasan dari pihak rumah sakit, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis membahas tentang penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) dan bentuk perlindungan hukum pasien terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dengan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perbedaan penelitian berikutnya terletak pada lokasi penelitian yaitu penelitian terdahulu berlokasi di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam di Samarinda, sedangkan penulis melakukan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo di Magelang. 2. Samgar Siahaan, pada tahun 2012, dengan judul “Perlindungan Hukum HakHak Pasien Penderita Gangguan Jiwa terhadap Tindakan Kedokteran yang Menggunakan Informed Consent di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.16 Permasalahan yang diangkat pada penelitian sebelumnya adalah perlindungan hukum terhadap hak menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi pada pasien penderita 16 Samgar Siahaan, 2012, “Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Penderita Gangguan Jiwa terhadap Tindakan Kedokteran yang Menggunakan Informed Consent di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 14 gangguan jiwa dengan adanya tindakan kedokteran dan bentuk pertanggungjawaban pihak rumah sakit dalam hal terjadi kerugian yang dialami oleh pasien penderita gangguan jiwa, dengan hasil penelitian berupa sudah dilaksanakannya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi pada pasien penderita gangguan jiwa dengan adanya tindakan kedokteran dan pertanggungjawaban yang diberikan oleh pihak rumah sakit berupa pertanggungjawaban hukum, moral, dan etik, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis membahas mengenai penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) dan bentuk perlindungan hukum pasien terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dengan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada penelitian sebelumnya lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta, sedangkan penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo di Magelang. Oleh karena itu penulis menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan belum pernah diteliti sebelumnya dan diharapkan penelitian ini dapat menambah atau melengkapi penelitian yang telah ada. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Akademik 15 a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya penerapan ilmu hukum dalam aspek kesehatan. b. Dapat memberikan acuan atau referensi bagi penulisan selanjutnya yang terkait dengan penulisan hukum ini. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang nyata dan memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan mengenai pelaksanaan dan bentuk perlindungan hukum bagi pasien gangguan jiwa terkait penerapan prinsip bioetika dalam persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) terhadap pasien gangguan kejiwaan. b. Dapat memberikan masukan dan kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak dan instansi yang terlibat dalam persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) mengenai penerapan prinsip bioetika dan pelaksanaannya, sehingga kedepannya diharapkan menjadi lebih baik, sistematik dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.