BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan hak bagi setiap orang, sebagaimana diatur dalam Pasal
28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan
ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Setiap pasien berhak untuk memperoleh mutu pelayanan medis, informasi, maupun
edukasi mengenai kesehatan dirinya. Setiap pasien juga berhak untuk menentukan
nasibnya sendiri terkait tindakan dan pengobatan, baik yang telah maupun yang
akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani Sri Sugiarsi dan
Rohmadi mengenai “Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Hak dan Kewajiban
Pasien atas Informasi Medis Pasien Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Karanganyar”, ditemukan bahwa tingkat pengetahuan pasien
mengenai hak-haknya dalam menerima pelayanan kesehatan masih kurang.3 Pasien
perlu mengetahui bahwasannya dokter dan pasien memiliki kedudukan yang
sederajat sehingga dokter dan pasien dapat mengadakan perjanjian terapeutik yang
objeknya berupa upaya penyembuhan.
3
Sebelum
upaya
penyembuhan
Yani Sri Sugiarsi, dan Rohmadi, Tingkat Pengetahuan Pasien tentang Hak dan Kewajiban
Pasien atas Informasi Medis Pasien Rawat Inap Kelas III Di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Karanganyar, Rekam Medis, Vol. 2 No.2, Februari 2008, diakses dari
http://ejurnal.stikesmhk.ac.id/index.php/rm/article/view/38 tanggal 14 Agustus 2016 pada
pukul 15.00 WIB.
2
dilakukan, maka diperlukan adanya persetujuan dari pasien yang disebut dengan
informed consent. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/MENKES/PER/III/2008
tentang
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran,
persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien. Dokter atau tenaga kesehatan wajib memberikan penjelasan
mengenai segala hal yang berkaitan dengan kesehatan pasien seperti penyakit yang
dideritanya, obat, alternatif pengobatan serta tindakan yang dapat dilakukan oleh
dokter berikut risiko yang dapat muncul di kemudian hari.
Persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) tersebut berlaku bagi
semua orang tanpa kecuali. Semua pasien memiliki hak yang sama, pun tak
terkecuali bagi orang dengan gangguan jiwa atau yang biasa disingkat dengan
ODGJ. Contoh kasus mengenai informed consent yang pernah terjadi ialah kasus
Bolam v. Friern Hospital Management Committee di Inggris pada tahun 1957.
Kasus Bolam merupakan kasus yang sangat terkenal hingga melahirkan apa yang
disebut dengan Bolam Test atau standar Bolam. Kasus ini mengenai seorang pasien
yang menderita sakit mental dan bermaksud untuk melakukan terapi
electroconvulsive. Pasien merasa tidak tenang karena tidak diberikan obat
penenang, sehingga akibatnya pasien menderita pergeseran penghubung tulang
pinggul dan retak pinggul.4 Dalam memutuskan kasus ini, hakim berpegang pada
4
Munir Fuady, 2005, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter), Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 86.
3
pendapat para profesional yang dianggap ahli. Menurut Bolam Test, seorang dokter
tidak dapat dikatakan melakukan kelalaian jika dia telah melakukan tugasnya sesuai
dengan praktek kedokteran yang layak, yang telah diterima maupun dipandang
layak oleh badan kedokteran yang bertanggung jawab dan ahli dalam bidang
tersebut. Kasus Bolam ini bukan semata-mata berkenaan dengan kewajiban
informed consent, melainkan mengenai standar kelalaian seorang dokter serta
kewajibannya dalam memberikan informasi dan meminta persetujuan pasien.5
Kasus lain mengenai informed consent yaitu mengenai putusan Central
Medisch Tuchtcollege Belanda tanggal 28 Oktober 1982. Seorang Dokter ahli
penyakit kulit yang mengobati pasiennya, seorang penderita kanker. Dokter
tersebut tidak memberikan informasi mengenai kondisi pasien yang sebenarnya
serta tidak memberikan alternatif terhadap tindakan terapeutik yang dilakukannya.
Terhadap kasus tersebut, Central Medisch Tuchtcollege Belanda menjatuhkan
sanksi disiplin kepada dokter tersebut berupa pencabutan izin praktek.6
Kedua kasus di atas merupakan contoh bahwa seorang dokter tidak dapat
mengambil tindakan sendiri tanpa persetujuan pasien, sehingga dokter harus
melakukan komunikasi dengan pasien agar pasien dapat memberikan pilihan
maupun keputusannya. Dokter harus menghormati apapun yang menjadi pilihan
pasien, dan tidak dapat memaksakan kehendaknya, sekalipun pasien yang
bersangkutan merupakan pasien dengan gangguan kejiwaan.
5
6
Ibid., hlm. 87.
Loc. Cit.
4
Tidak adanya informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek
dokter, khususnya apabila terjadi kerugian terhadap tubuh pasien. Kerugian
tersebut, dapat terjadi dalam bentuk-bentuk sebagai berikut : 1) Kerugian cacat
tubuh/mental; 2) Kerugian materi (pengeluaran biaya) yang sebenarnya tidak perlu;
3) Kerugian karena rasa sakit; 4) Hilangnya kesempatan berusaha karena cacat atau
disibuki oleh pengobatan; 5) Meninggalnya pasien; 6) Merusak kepercayaan dan
agamanya.7
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa, disebutkan bahwa orang dengan gangguan jiwa merupakan orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang
bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan
fungsi orang sebagai manusia. Kondisi pasien yang demikian menjadi persoalan
ketika pasien tersebut dinyatakan cakap dan berkompeten untuk melakukan
persetujuan tindakan kedokteran, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat
(3) dan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Jiwa.
Ketentuan Pasal 20 ayat (3) menyatakan bahwa penatalaksanaan kondisi
kejiwaan pada orang dengan gangguan jiwa, dapat dilakukan dengan cara rawat
jalan atau rawat inap. Selanjutnya, dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan
bahwa penatalaksanaan kondisi kejiwaan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
yang dilakukan secara rawat inap dan dilakukan atas hasil pemeriksaan psikiatrik
7
Ibid., hlm. 70.
5
oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan/atau dokter yang berwenang, dilakukan
dengan persetujuan tindakan medis secara tertulis. Persetujuan tindakan tertulis
tersebut dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa yang bersangkutan.
Bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) UndangUndang Kesehatan Jiwa, orang dengan gangguan jiwa dapat melakukan perjanjian
berupa persetujuan tindakan kedokteran. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut,
maka perlu dilakukan analisis hukum dengan mengingat ketentuan Pasal 1330
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa orang yang ditaruh
dibawah pengampuan merupakan orang yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian.
J. Satrio juga menyatakan bahwa orang gila atau orang dengan gangguan
kejiwaan merupakan orang yang berada di bawah pengampuan. Dalam bukunya
yang berjudul “Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian” disebutkan
bahwa orang yang berada di bawah pengampuan (curatele) dapat terjadi atas dasar
a) gila (sakit otak), dungu (onnozelheid), mata gelap (razernij); b) lemah akal
(zwakheid van vermogens); c) pemborosan.8
Pertentangan mengenai dapat atau tidaknya orang dengan gangguan jiwa
melakukan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) secara tertulis
merupakan hal yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban para pihak, yaitu
8
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 13.
6
dokter selaku pemberi jasa kesehatan dan pasien atau penanggung jawabnya selaku
penerima jasa kesehatan.
Bagi dokter, persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) merupakan
suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam rangka memberikan informasi kepada
pasien. Kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasiennya
merupakan kewajiban hukum, yang meliputi :9
“1) kewajiban melakukan diagnosis penyakit; 2) kewajiban mengobati
penyakit; 3) kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien
dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta atau tidak; 4)
kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari pasien (tanpa paksaan atau
penekanan) terhadap tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter setelah
kepada pasien tersebut diberikan informasi yang cukup oleh dokter.”
Bagi pasien, hal ini juga berpengaruh terhadap haknya dalam memperoleh
informasi dan edukasi mengenai penyakit yang dideritanya serta tindakan medis
yang dapat dilakukan atas dirinya. Dokter selaku tenaga kesehatan harus dapat
memastikan bahwa pasien tersebut berkompeten untuk melakukan persetujuan,
karena segala risiko yang terjadi atas tindakan medis yang dilakukan atas
persetujuan pasien, menjadi tanggung jawab pasien itu sendiri.
Dapat atau tidaknya seorang pasien dengan gangguan kejiwaan melakukan
persetujuan, juga mempengaruhi kewajiban wali atau penanggung jawab pasien,
karena wali merupakan orang yang bertanggung jawab atas diri pasien, sehingga
dalam hal ini dokter mempunyai peranan penting dalam menentukan siapa
9
Munir Fuady, op. cit., hlm. 48.
7
dianggap dokter mampu untuk memberikan persetujuan tindakan kedokteran
(informed consent).
Pelaksanaan informed consent dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
tidak hanya memperhatikan kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan,
namun juga berpedoman pada ketentuan hukum positif Indonesia, seperti Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran, Kode Etik Kedokteran Indonesia dan peraturan lain terkait
persetujuan tindakan kedokteran. Pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran
(informed consent), juga dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip bioetika
dalam bidang kesehatan.
Menurut International Association of Bioethics yang dikutip oleh Samsi
Jacobalis dalam bukunya yang berjudul “Pengantar tentang Perkembangan Ilmu
Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika”, bahwa yang dimaksud dengan bioetika
adalah studi tentang isu-isu etis, sosial, hukum, dan isu-isu lain yang timbul dalam
pelayanan kesehatan dan ilmu-ilmu biologi.10 Disamping itu menurut F.J.E
Basterra, bioetika bukan hanya berurusan dengan hubungan dokter-pasien dari
sudut pandangan moral, tetapi juga ikut peduli dengan profesi-profesi terkait,
seperti kesehatan mental.11
Prinsip bioetika tersebut meliputi 1) prinsip autonomy, 2) prinsip beneficence,
3) prinsip non-maleficence, dan 4) prinsip justice. Keempat prinsip bioetika ini
10
Samsi Jacobalis, 2005, Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan
Bioetika, Sagung Seto bekerjasama dengan Universitas Tarumanagara, Jakarta, hlm. 186.
11
Loc. Cit.
8
memiliki peran dan arti tersendiri. Prinsip autonomy, berkaitan dengan kewajiban
tenaga kesehatan untuk mendorong hak otonomi dari pasien. Pasien diberi
kebebasan untuk menentukan keputusan melalui edukasi atau pemberian informasi
terkait masalah kesehatannya sehingga diharapkan pasien dapat menentukan secara
bijak mengenai tindakan yang akan diberikan terhadapnya. Prinsip beneficence,
yaitu dengan segala kemampuan dan keahliannya, tenaga kesehatan memberikan
kebermanfaatan bagi pasien. Prinsip non-maleficence, yang berarti bahwa tenaga
kesehatan dalam memberikan kesehatan senantiasa dengan niat untuk membantu
pasien mengatasi masalah kesehatannya, dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera
fisik dan psikologis pada pasien. Prinsip justice, yang berarti bahwa perlakuan yang
sama dan adil terhadap orang lain dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip moral,
legal, dan kemanusiaan.12
Terkadang, dalam pelaksanaan upaya kesehatan terjadi konflik antara
penerapan keempat prinsip tersebut. Misalnya, pada prinsip beneficence dan prinsip
autonomy, terkait prinsip mana yang sebaiknya didahulukan penerapannya dalam
upaya penyembuhan pasien. Prinsip beneficence, merupakan prinsip yang
menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus dapat selalu memberikan manfaat dan
kebaikan kepada pasiennya. Sebagai contoh, dalam hal terjadi kegawat daruratan
dimana pasien berada dalam kondisi kritis tidak sadarkan diri, tanpa didampingi
oleh keluarga, maka dokter dapat segera memberikan tindakan medis atau life
12
Yulia Fauziyah dan Cecep Triwibowo, 2013, Bioteknologi Kesehatan dalam Perspektif Etika dan
Hukum, Nuha Medika, Yogyakarta, hlm. 12-16.
9
support untuk menolong pasien. Dalam hal ini dokter mengesampingkan prinsip
autonomy, dan mengutamakan prinsip beneficence.
Contoh lain dari penerapan prinsip bioetika adalah kasus yang terjadi pada
Emily, seorang anak berumur dua belas tahun yang menderita penyakit tumor
selaput otak (meningoblastoma), kemudian ia dioperasi dan diberi radiasi
(penyinaran).
Ketika
penyakit
Emily
kambuh,
para
tenaga
kesehatan
mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan berupa cis-platinum, sebuah
obat yang masih dalam tahap eksperimental. Ketika kedua orang tua Emily
dihubungi, kedua orang tuanya menyatakan bahwa mereka menyerahkan
sepenuhnya tindakan yang akan ditempuh kepada tenaga medis sehingga hal ini
membuat para dokter dan perawat bingung. Mereka menganjurkan agar orang tua
Emily tidak melakukan pengobatan ini, karena beberapa staf medis menganggap
bahwa pengobatan tersebut akan menimbulkan lebih banyak penderitaan daripada
pertolongan bagi pasien. Namun karena penyakit Emily semakin parah, kemudian
ayah Emily meminta agar dilakukan pernapasan buatan dan kemoterapi sampai
terapi tersebut bisa berhasil. Namun, terapi percobaan tersebut membuat Emily
semakin sakit dan pada akhirnya meninggal dunia.13 Dalam kasus ini, suatu tujuan
dasar di bidang kedokteran, yaitu meringankan penderitaan, tersingkir dalam
konflik dengan tujuan lain dari bidang kedokteran, yaitu mempertahankan
kehidupan. Hal inilah yang menyebabkan para dokter bertanya kepada dirinya
sendiri apakah tindakan medis yang diberikan sudah tepat meskipun terjadi
13
G. Maertens et.al, 1990, Bioetika Refleksi Atas Masalah Etika Biomedis, Gramedia, Jakarta, hlm.
37-38.
10
pertentangan dalam tujuan kedokteran, yaitu berusaha mempertahankan hidup
seseorang atau berusaha untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan yang dialami
oleh pasien.14
Dalam menghadapi pertentangan tersebut, prinsip bioetika menjadi landasan
bagi dokter untuk menentukan sikap terkait tindakan medis yang akan diambil
dalam rangka melakukan upaya kesehatan bagi pasien. Prinsip bioetika juga dapat
menjadi indikator untuk melihat terpenuhi atau tidaknya hak-hak pasien, terutama
bagi pasien penderita gangguan jiwa, karena pasien penderita gangguan jiwa juga
memiliki hak yang sama dengan pasien lain pada umumnya, terlebih ketika pasien
gangguan jiwa dianggap mampu untuk melaksanakan perjanjian, yaitu persetujuan
tindakan kedokteran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal
21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk memaparkan lebih jauh
dalam suatu penulisan hukum dengan mengambil judul “PENERAPAN PRINSIP
BIOETIKA
DALAM
PERSETUJUAN
TINDAKAN
KEDOKTERAN
TERHADAP PASIEN GANGGUAN KEJIWAAN DI RUMAH SAKIT JIWA
PROF. DR. SOEROJO MAGELANG.”
14
Loc. Cit.
11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan
tindakan kedokteran (informed consent) antara dokter dengan pasien di Rumah
Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang?
2.
Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pasien gangguan jiwa terkait
ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan ketentuan Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka hal-hal yang menjadi tujuan
dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.
Tujuan Objektif
Tujuan objektif dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan prinsip bioetika dalam
pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) antara
dokter dengan pasien di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi
pasien gangguan jiwa terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1)
12
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa dan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.
Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data yang
diperlukan sebagai bahan untuk penulisan hukum sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan penulis, terdapat
beberapa judul mengenai hukum kesehatan diantaranya sebagai berikut :
1.
Teodota Retno Prisilia Progo, pada tahun 2013, dengan judul “Pelaksanaan
Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Kota
Samarinda”, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.15
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan.
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pokok
permasalahan yang diteliti, yaitu penelitian terdahulu membahas mengenai
pelaksanaan perjanjian terapeutik dan perlindungan hukum bagi para pasien,
dengan hasil penelitian bahwa dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik di
Rumah Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam Provinsi Kalimantan Timur sudah
dilaksanakan, hanya saja untuk memberikan persetujuan terhadap tindakan
15
Teodota Retno Prisilia Progo, 2013, “Pelaksanaan Perjanjian Terapeutik di Rumah Sakit Jiwa
Atma Husada Mahakam Kota Samarinda”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
13
kedokteran yang dilakukan pasien tidak dapat diberikan secara langsung tetapi
melalui pihak keluarga terdekat atau pihak yang bertanggung jawab terhadap
pasien. Selanjutnya, dalam hasil penelitian dipaparkan bahwa perlindungan
hukum terhadap pasien belum cukup diperhatikan dengan baik, karena terdapat
beberapa pasien yang mengalami kekerasan dari pasien lain dan terdapat pasien
yang melakukan tindakan bunuh diri karena kurangnya kontrol pengawasan
dari pihak rumah sakit, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis
membahas tentang penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan
tindakan kedokteran (informed consent) dan bentuk perlindungan hukum
pasien terkait ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dengan ketentuan Pasal
1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perbedaan penelitian berikutnya
terletak pada lokasi penelitian yaitu penelitian terdahulu berlokasi di Rumah
Sakit Jiwa Atma Husada Mahakam di Samarinda, sedangkan penulis
melakukan penelitian di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo di Magelang.
2.
Samgar Siahaan, pada tahun 2012, dengan judul “Perlindungan Hukum HakHak Pasien Penderita Gangguan Jiwa terhadap Tindakan Kedokteran yang
Menggunakan Informed Consent di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta”,
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.16 Permasalahan yang
diangkat pada penelitian sebelumnya adalah perlindungan hukum terhadap hak
menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi pada pasien penderita
16
Samgar Siahaan, 2012, “Perlindungan Hukum Hak-Hak Pasien Penderita Gangguan Jiwa terhadap
Tindakan Kedokteran yang Menggunakan Informed Consent di Rumah Sakit Grhasia Pakem
Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
gangguan
jiwa
dengan
adanya
tindakan
kedokteran
dan
bentuk
pertanggungjawaban pihak rumah sakit dalam hal terjadi kerugian yang
dialami oleh pasien penderita gangguan jiwa, dengan hasil penelitian berupa
sudah dilaksanakannya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap hak
menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi pada pasien penderita
gangguan jiwa dengan adanya tindakan kedokteran dan pertanggungjawaban
yang diberikan oleh pihak rumah sakit berupa pertanggungjawaban hukum,
moral, dan etik, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis membahas
mengenai penerapan prinsip bioetika dalam pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran (informed consent) dan bentuk perlindungan hukum pasien terkait
ketentuan Pasal 20 ayat (3), Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dengan ketentuan Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Pada penelitian sebelumnya lokasi penelitian
dilakukan di Rumah Sakit Grhasia Pakem Yogyakarta, sedangkan penelitian
ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo di Magelang.
Oleh karena itu penulis menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan belum
pernah diteliti sebelumnya dan diharapkan penelitian ini dapat menambah atau
melengkapi penelitian yang telah ada.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Manfaat Akademik
15
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya penerapan ilmu hukum dalam
aspek kesehatan.
b. Dapat memberikan acuan atau referensi bagi penulisan selanjutnya yang
terkait dengan penulisan hukum ini.
2.
Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang nyata dan
memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan mengenai
pelaksanaan dan bentuk perlindungan hukum bagi pasien gangguan jiwa
terkait penerapan prinsip bioetika dalam persetujuan tindakan kedokteran
(informed consent) terhadap pasien gangguan kejiwaan.
b. Dapat memberikan masukan dan kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak
dan instansi yang terlibat dalam persetujuan tindakan kedokteran (informed
consent) mengenai penerapan prinsip bioetika dan pelaksanaannya,
sehingga kedepannya diharapkan menjadi lebih baik, sistematik dan
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Download