Perlu Tekad Baja Untuk Jaminan Sosial Hasbullah Thabrany1 Belum lama ini terjadi kerusuhan akibat terlalu besarnya minat menjadi pegawai negeri di Departemen Keuangan. Dari segi prosedur, seleksi tersebut merupakan kemajuan besar yang pada umumnya tanpa seleksi. Banyak instansi pemerintah yang menerima pegawai dengan diamdiam dan membagikan formasi baru kepada orang dalam. Akibatnya orang yang kualitasnya tidak memadai yang menjadi pegawai dan menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Kualitas Amendemen keempat UUD 45 telah mengamanatkan upaya Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat. Presiden telah membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Akankah sistem tersebut terselenggara dalam waktu dekat? yang rendah, ditambah dengan sistem penggajian yang mengharuskan pegawai mencari penghasilan tambahan dengan berbagai cara, telah menciptakan pemerintahan yang tidak bersih. Orang-orang yang berkualitas dan penuh percaya diri mencari pekerjaan sendiri atau bekerja di perusahaan swasta yang persaingannya lebih sehat. Di luar itu masih berjuta-juta orang yang mendambakan diri untuk menjadi pegawai pemerintah. Padahal gaji pegawai pemerintah adalah gaji ‘pura-pura’, yang tidak bisa menutupi kebutuhan hidup standar. Jangan heran kerja mereka juga ‘pura-pura’ dan hasilnya juga ‘pura-pura’. Secara hipotetis minat menjadi pegawai negeri dikaitkan dengan (1) rasa aman, gaji kecil tapi tidak bisa diPHK, (2) dapat bekerja dengan santai, (3) banyak kesempatan mendapatkan penghasilan tambahan, (4) adanya jaminan pensiun dan asuransi kesehatan (Askes). Pendek kata, kondisi pegawai yang ideal (kecuali gajinya yang pura-pura) ada pada sistem kepegawaian pemerintah. Ada kepastian masa depan. Inilah hakikat jaminan sosial. Kita harus berani mengacungkan jempol kepada para anggota DPR/MPR yang telah sukses mengamendir UUD dengan tambahan pasal 34 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat…”. Sebelumnya dalam pidato yang disampaikan pada tanggal 1 Agustus lalu, Presiden telah menyampaikan bahwa sebuah 1 Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah dibentuk. Negara-negara maju dan bahkan negara berkembang tetangga kita seperti Filipina dan Muangtai telah memiliki sistem jaminan sosial (social security) yang cukup handal. Kita pun sebenarnya telah memiliki sistem tersebut yang dikenal dengan Jamsostek, tabungan pensiun pegawai negeri, dan Askes pegawai negeri. Hanya saja sistem kita masih terpecah-pecah dan masih banyak memiliki kendala operasional. Manfaat Jaminan Sosial Semua negara maju telah memiliki sebuah sistem jaminan sosial (jamsos) yang didanai dari pajak, penerimaan negara bukan pajak, atau asuransi sosial. Negara-negara Inggris dan Australia mendanai sistem jamsosnya dengan iuran yang dipungut bersamaan dengan pajak penghasilan. Negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah memberikan jaminan sosial yang bersumber dari penerimaan bukan pajak. Kebanyakan negara di dunia menggunakan sistem asuransi sosial untuk membiayai jaminan sosialnya. Secara garis besar, jaminan sosial dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu yang bersifat jangka panjang seperti jaminan hari tua, pensiun, sementara putus kerja, dan kematian serta jaminan yang bersifat jangka pendek seperti jaminan kesehatan dan kecelakaan diri. Pendanaan jaminan sosial berbentuk asuransi sosial dapat dipaksakan kepada setiap penduduk atau pemberi kerja. Pemaksaan pembayaran iuran, seperti halnya pembayaran pajak, dilakukan karena mekanisme pasar (tidak ada pemaksaan) gagal memenuhi tujuan jaminan sosial. Asuransi komersial hanya bisa memberikan jaminan kepada yang mau dan mampu membeli saja. Itulah sebabnya sampai saat ini pegawai swasta tidak memiliki jaminan pensiun, karena tidak ada paksaan. Jamsostek hanya memberikan jaminan hari tua untuk waktu terbatas. Akibatnya banyak orang berupaya dengan berbagai cara untuk menjadi pegawai negeri. Di negara maju, orang tidak takut berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, sebab dimanapun dia bekerja dia akan mendapat asuransi kesehatan dan jaminan pensiun. Orang tidak perlu sikut-sikutan atau sogok-sogokan untuk bisa menjadi pegawai negeri. Apabila kita telah memiliki sebuah sistem jaminan sosial nasional seperti itu, maka pemerintah dapat lebih selektif memilih pegawai negeri yang lebih mampu mengemban fungsi publik. Suatu sistem jaminan sosial pada hakikatnya juga merupakan suatu mekanisme pengumpulan dana modal jangka pendek dan jangka panjang yang luar biasa besarnya. Jika sebuah sistem jaminan sosial menetapkan iuran pekerja dan pemberi kerja sebesar 20% dari upah dan seluruh produksi bernilai Rp 1.000 triliun setahun, maka tiap tahun akan terkumpul dana jaminan sosial sebesar Rp 200 triliun, yang dapat dijadikan modal untuk menggerakkan roda ekonomi. Sayang, nilai dana yang terkumpul dari sistem jaminan sosial yang ada kini belum mencapai satu persen dari PDB kita setahun. Padahal di negara maju jumlahnya bisa mencapai diatas 20%, di Jerman misalnya pembiayaan jaminan sosial mencapai 34,4% produk domestik bruto di tahun 1997. Tekad Presiden Megawati dan dukungan MPR dalam amandemen UUD45 memang sangat beralasan. Banyak negara yang juga mengembangkan sistem jaminan sosial mereka setelah mengalami keterpurukan ekonomi. Jaminan sosial, khususnya dalam jaminan pelayanan kesehatan ibu hamil dan anak, akan menjamin bayi dan anak balita mendapatkan gizi dan pelayanan kesehatan yang memadai yang memungkinkan otak anak tersebut tumbuh sehat dan mencapai tingkat optimal. Pertumbuhan otak yang optimal, yang berhenti pada usia lima tahun, akan menjamin terbentuknya penduduk dengan potensi intelektual yang mampu bersaing di dunia. Dengan pembekalan kecerdasan emosional, spritual, dan pendidikan yang memadai kualitasnya, maka kualitas manusia Indonesia masa depan akan dapat diandalkan dan tidak diusir dari negeri jiran. Namun demikian, hasilnya baru dapat dinikmati satu generasi ke depan. Disinilah sulitnya. Kebanyakan orang tidak sanggup memahami hasil jangka panjang sehingga seringkali tidak mendukung program jaminan sosial. Apabila jaminan sosial telah berjalan dengan baik maka pembiayaan subsidi APBN untuk berbagai masalah sosial akan relatif kecil. Anggaran pemerintah dapat lebih difokuskan untuk pembiayaan sektor-sektor publik yang dapat memacu laju pertumbuhan ekonomi dan penegakkan pemerintahan yang bersih. Dalam bidang kesehatan, jaminan sosial kesehatan (jamsoskes) dapat menciptakan pemerataan distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan di berbagai daerah. Tujuan jaminan sosial yang merespons terhadap kebutuhan (needs), bukan demand akan memfasilitasi pemerataan. Uang jaminan akan mengalir ke daerah. Jumlah dokter yang kini memadati Jabotabek, sekitar 25% dokter ada di Jabotabek untuk melayani 8% penduduk, dan fasilitas kesehatan lain akan ikut menyebar ke daerah. Hal ini akan mendorong berkembangnya pelayanan kesehatan di daerah. Tenaga kerja yang menghadapi pensiun atau yang mencari kerja yang aman, juga tidak perlu berebut ke kota besar jika jaminan hari tua dan pensiunnya dapat dijamin di daerah. Para pensiunan akan lebih senang tinggal di kota kecil. Tinggal di kota kecil relatif lebih murah dan lebih tenang, sehingga hal ini akan mendorong migrasi balik ke kota kecil. Dengan demikian, jaminan sosial akan mempercepat terjadinya keseimbangan pembangunan di pusat dan daerah. Tantangan yang dihadapi Program jaminan sosial jelas mempunyai manfaat bagi perorangan, masyarakat, dan negara yang sangat besar. Namun, apakah program tersebut dapat segera dijalankan? Tantangan di depan mata masih sangat besar. Manajemen jaminan sosial yang ada sekarang tidak memberikan citra baik akibat tidak adekuatnya premi dan jaminan yang diberikan. Hal ini menimbulkan pesimisme berbagai pihak akan keberhasilan proggram jaminan sosial nasional. Berbagai kelompok di jajaran pemerintah, perusahaan BUMN, dan perusahaan swasta tidak ingin konsep dan eksistensinya terganggu dan karenanya kurang mendukung program jaminan sosial. Banyak diantara mereka yang berusaha mempertahankan apa yang mereka lakukan sekarang. Suatu program jaminan sosial nasional, mau tidak mau, harus merestruktirisasi berbagai program kesejahteraan tenaga kerja atau asuransi yang ada. Ada resistensi yang besar dalam upaya restrukturisasi ini. Status badan penyelenggara jaminan sosial sekarang yang berbentuk PT (Persero) dan misi BUMN yang dipacu untuk menghimpun dana APBN telah menimbulkan konflik serius. Penyelenggaraan program jaminan sosial bukanlah upaya untuk memenuhi pundi anggaran pemerintah. Kesalahan struktural ini juga telah menimbulkan tudingan monopoli, bahkan oleh pejabat pemerintah yang tidak mengerti hakikat jaminan sosial. Mereka lupa bahwa jaminan sosial lahir karena kegagalan pasar. Tidak tepatnya manajemen jaminan sosial telah menimbulkan tuntutan pelepasan program Jamsostek ke mekanisme pasar yang sudah pasti gagalnya. Banyak pihak tidak menyadari hal ini. Otonomi daerah juga telah mengirim sinyal yang keliru yang menyebabkan pemerintah daerah menuntut kewenangan sendiri untuk mengatur dan mengelola jaminan sosial. Yang dilihat banyak pihak hanyalah terkumpulnya dana yang besar, yang menjadi ajang perebutan, tanpa melihat misi dan tujuan utama suatu sistem jaminan sosial. Banyak pejabat yang juga tidak mengerti esensi sistem jaminan sosial yang memahami bahwa jaminan sosial akan membebani APBN. Oleh karenanya langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mendidik aparatnya sendiri tentang apa, mengapa, dan bagaimana suatu sistem jaminan sosial berfungsi. Di pihak lain, para pengusaha yang ingin mengeruk untung besar selalu menakut-nakuti pejabat bahwa jaminan sosial akan membebani perusahaan, dapat menurunkan daya saing dan menutup lapangan pekerjaan. Mengapa perusahaan yang sama yang membayar gaji lebih tinggi dan membayar iuran jaminan sosial yang juga lebih tinggi di Korea, Taiwan, Muangtai, dan Malaysia bisa bersaing di pasar internasional? Mengapa jaminan sosial di Indonesia dapat mengancam? Banyak pejabat dan wakil rakyat yang begitu cepat percaya dengan argumen pengusaha yang tidak didukung fakta tersebut. Tekad mulia Presiden dan wakil rakyat, harus diuji dengan kondisi yang masih sangat sulit. Tekad tersebut harus diikuti dengan keberanian berindak yang mungkin tidak populer sekarang, tetapi mempunyai daya ungkit ekonomi dan sosial yang besar di kemudian hari. Apakah kita punya nyali untuk berubah?