"PEMANTAPAN IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN KESETARAAN GENDER, PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK" Oleh: Hendy Fitriandoyo, SP / Fungsional Perencana Madya 1. Pendahuluan Tahun 2014 merupakan tahun terakhir pelaksanaan tugas Kabinet Persatuan jilid 2 karena itulah pada pelaksanaan kegiatan Rakornas PP dan PA ini, difokuskan pada mengevaluasi capaian pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam kurun waktu RPJMN/D 2010-2013. Hasil capaian program dan kegiatan dapat memetakan kapasitas kelembagaan, sumberdaya dan organisasi PP dan PA di daerah. Dalam lima tahun kedepan bisa mendapatkan kesepakatan dalam pelaksanaan mekanisme koordinasi, sinkronisasi dan pengintegrasian kebijakan pembangunan yang berkeadilan Gender dan Peduli Hak Anak di Kementerian/Lembaga dan Daerah. Banyak yang telah dicapai sampai saat ini, akan tetapi masih panjang perjuangan pembangunan pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak anak yang harus terus diperjuangkan, baik yang berada di Kementerian, Lembaga atau di Daerah tetap punya semangat untuk terus berjuang bebaskan perempuan dan anak dari tindak kekerasan, perempuan dan anak mendapatkan akses terhadap program dan kegiatan, serta memperoleh manfaat dari pembangunan. Kemajuan terkait pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang telah dicapai dan memberikan dampak pada peningkatan capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) tahun 2012 sebesar 68,52 yang sebelumnya sebesar 676,80 pada tahun 2011, dan capaian IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) tahun 2011 sebesar 69,14 meningkat menjadi 70,07 pada tahun 2012. Capaian keberhasilan tidak terlepas dari koordinasi dan advokasi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga untuk mempercepat pencapaian sasaran dan target di bidang pembangunan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Banyak upaya yang telah dilakukan pada tingkat pusat maupun daerah, seperti kebijakan Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri dalam mendukung pelaksanaan anggaran responsif gender serta berbagai MoU antara Kemen PPPA dengan K/L lainnya. Namun dalam pelaksanaan dari berbagai komitmen tersebut masih ditemui tantangan baru yang disebabkanoleh kualitas SDM pelaksana, keterbatasan anggaran, serta mekanisme kelembagaan yang belum mendukung. Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam perjalananya akan dapat dipastikan banyak faktor yang ikut mempengaruhi sukses/tidaknya dalam memcapai sasaran tersebut, maka hasil identifikasi capaian pelaksanaan pembangunan pemberdayaan 1 perempuan dan perlindungan anak, dengan memetakan implementasi kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan dan menyusun mekanisme dan prosedur koordinasi baik pusat dan daerah selama 4 tahun terakhir dan tantangan apa yang masih dihadapi untuk dijadikan fokus intervensi pada lima tahun mendatang. 2. Kondisi Umum dan Permasalahan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2.1. Kondisi Umum Kondisi umum pembangunan Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) pada setiap bidang pembangunan dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Bidang Pendidikan, pada periode 2004-2012 terjadi peningkatan angka melek huruf (AMH) perempuan mencapai 4 persen sementara laki-laki 1,5 persen walaupun pada 2012 masih terdapat 4,22 persen laki-laki dan 9,33 persen perempuan berusia 15 tahun ke atas yang masih buta huruf.Terdapat 81,53 persen anak (5-17 tahun) yang masih bersekolah dan 6,32 persen yang tidak bersekolah dan 12,25 persen yang belum pernah sekolah. (2) Di Bidang Ekonomi, persentase perempuan yang bekerja sebesar 47,91 persen dibandingkan laki-laki sebesar 79,57 sedangkan perempuan yang mengurus rumah tangga 36,97 persen dibandingkan laki-laki hanya 1,63 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya laki-laki harus bekerja di ruang publik sementara pekerjaan domestik mayoritas dilakukan oleh perempuan. Demikian pula dengan upah pekerja laki-laki (Rp. 1,552 juta) lebih tinggi daripada upah yang diterima oleh pekerja perempuan (Rp. 1,249 juta). (3) Di Bidang politik dan pengambil keputusan, terjadi peningkatan jumlah perempuan terpilih menjadi wakil rakyat periode 2009-2014, hal ini mengindikasi meningkatnya pemahaman masyarakat tentang peran perempuan di dunia politik yang penting dan perlu didukung, walaupun belum mencapai 30 persen, yang ditunjukkan dengan data anggota MPR perempuan sebesar 20 persen (138 orang), DPR sebesar 18 persen (101 orang) dan DPD sebesar 28 persen sedangkan di partai politik PKB merupakan yang paling tinggi (25 persen) dan PKS terendah (3,51 persen). Posisi Menteri perempuan terdapat di 4 (empat) kementerian yaitu Kementerian pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Kepala Bappenas), Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. sedangkan perempuan yang menduduki jabatan eselon I hanya 16,41 persen dan eselon II 12,84 persen. (4) Di Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan Dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah ditetapkannya berbagai peraturan perundangan seperti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik; Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Keputusan MK No. 46 tahun 2010 tentang anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan 2 (5) 2.2. perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan daerah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Kebijakan terbaru yang baru dikeluakan adalah Peraturan Presidn RI nomor 18 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, dimana Menko Kesra sebagai ketua Tim Koordinasi Pusat dan kami sendiri sebagai Ketua Harian. Langkah selanjutnya akan Kemenko Kesra akan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan serta Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Di Bidang Perlindungan Anak Belum sepenuhnya hak sipil anak terpenuhi (baru 72 persen anak yang memiliki akte) dan hal ini berdampak pada ketidak jelasan identitas anak yang menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap layanan dasar pendidikan, kesehatan dan rawan menjadi korban trafiking dan kejahatan lainnya. Partisipasi anak dalam PAUD tidak terlalu berbeda antara anak laki-laki (15,65 persen) dan anak perempuan (16,51 persen) dan provinsi dengan PAUD tertinggi adalah Jawa Timur (38,11 persen) dan terendah Papua Barat (4,21 persen). Kondisi Perlindungan Anak Anak dan keluarga merupakan satu lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, data menunjukkan terdapat 2,34 persen anak yang tinggal hanya dengan bapak saja dan 6,33 persen yang tinggal dengan ibu saja dan 86,36 yang tinggal dengan ke dua orang tuanya. Anak-anak yang tidak tinggal dengan kedua orang tuanya lebih rentan mengalami tindak kekerasan termasuk permasalahan psikologis. Permasalahan lain adalah masih terdapat 1,67 persen anak (10-17 tahun) yang berstatus kawin atau cerai, fenomena kawin usia anak ini menunjukkan lemahnya edukasi kepada orang tua tentang pentingnya penundaan usia perkawinan. Angka putus sekolah SD anak laki-laki (1,87 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (1,11 persen) yang disebabkan oleh faktor kemiskinantidak ada biaya untuk sekolah, faktor geografis yang menyebabkan akses sulit menuju sekolah dan faktor sosial budaya dengan anggapan bahwa anak perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi dan faktor disabilitas (terutama di perkotaan). Berdasarkan hasil Susenas 2012 anak yang menjadi korban kejahatan mencapai 346,6 ribu dan 5 provinsi tertinggi kasusnya adalah Kalimantan Timur, Jawa Barat, Aceh, Riau dan Sulawesi Utara. Sedangkan anak pelaku tindak pidana berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan tahun 2012 sebanyak 5.358 anak dengan provinsi tertinggi anak pelaku pidana di Sumatera Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Banten. Dan berdasarkan hasil survei kekerasan terhadap anak pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak laki-laki (40,3 persen) dua kali lebih tinggi daripada anak perempuan (21,3 persen), fakta ini menunjukkan bahwa faktor pengasuhan dan budaya sangat besar pengaruhnya terhadap kekerasan anak. Untuk anak yang bekerja berdasarkan kelompok umur 10-12 tahun terdapat 2,32 persen yang mayoritas adalah anak laki3 laki (11,04 persen) padahal pada kelompok umur tersebut anak tidak diperbolehkan bekerja meskipun untuk pekerjaan ringan sekalipun. Terdapat 3 provinsi tertinggi untuk anak bekerja yaitu Papua, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara. 3. Arah Kebijakan dan Strategi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2015-2019 3.1 Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesetaraan Gender Tahun 2015-2019, adalah: 1. peningkatan pemahaman dan komitmen terkait dengan pentingnya pengintegrasian perspektif gender dalam berbagai tahapan, proses, dan bidang pembangunan, baik di tingkat nasional, maupun di daerah, antara lain: a) Pendidikan: Peningkatan partisipasi sekolah anak didik pada keluarga miskin, penyandang disabilitas/berkebutuhan khusus, dan anak di daerah terpencil dan dan komunitas adat terpencil; b) Kesehatan: Percepatan penurunan AKI dan AKBa dari perspektif gender; serta penurunan kasus HIV/AIDS serta dampaknya terhadap perempuan dan anak; c) Ketenagakerjaan: Peningkatan kualitas pekerja perempuan, baik di sektor formal dan informal termasuk pekerja migran (TKI), serta perlindungannya; d) Politik: Peningkatan keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan dan/atau politik di Legislastif, Eksekutif, dan Yudikatif; e) Ekonomi: Peningkatan pemahaman dan informasi terutama bagi perempuan berkaitan dengan hak-haknya, akses, partisipasi serta penguasaan terhadap sumberdaya pembangunan. f) Lingkungan hidup: Perumusan kebijakan pengelolaan SDA-LH yang responsif gender; serta persiapan dan penanganan bencana alam yang responsif gender; yang didukung oleh g) Hukum: Penegakan hukum/peraturan perundang-undangan, yang mendukung keadilan dan kesetaraan Gender. 2. Meningkatkan perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, yang dilakukan melalui Strategi: a. penegakan hukum dan harmonisasi peraturan perundangundangan terkait dengan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan termasuk diskriminasi dan TPPO; b. peningkatan kapasitas kelembagaan layanan korban kekerasan termasuk koordinasi pelaksanaannya, dan pelembagaan ketersediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data kekerasan. 3. Meningkatkan efektivitas kelembagaan PUG termasuk Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender (PPRG), yang dilakukan melalui Strategi: a. peningkatan pemahaman konsep gender, termasuk payung hukum PUG dan PPRG; b. pelembagaan ketersediaan, pemutakhiran, dan pemanfaatan data terpilah dalam melakukan analisis perencanaan; 4 c. d. peningkatan kapasitas SDM di tingkat K/L dan Pemprov; serta penguataan lembaga dan jaringan PUG. 3.2. Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Perlindungan Anak Tahun 2015, adalah: 1. Peningkatan akses semua anak terhadap pelayanan yang berkualitas dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup, melalui: a. peningkatan pemerataan ketersediaan dan kualitas layanan; b. penyediaan layanan inklusif atau khusus untuk anak dengan kondisi khusus; c. peningkatan kemampuan keluarga dalam pengasuhan anak; dan d. peningkatan kerjasama pemerintah dan masyarakat. 2. Peningkatan perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya melalui penguatan sistem perlindungan anak; 3. Peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak melalui: a. harmonisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait perlindungan anak serta mengintegrasikan partisipasi anak dalam penyusunan kebijakan dan melengkapi peraturan pelaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; b. peningkatan koordinasi antar Kementerian/lembaga/SKPD dan antara pusat dengan daerah; c. peningkatan ketersediaan dan kualitas data/informasi perlindungan anak; d. peningkatan kapasitas K/L/SKPD terkait, dan e. peningkatan efektivitas monev dan pengawasan perlindungan anak. 4. Hasil Pelaksanaan Kegiatan (Capaian Pembangunan Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) 4.1. Pelembagaan PUG dan Implementasinya a. Tingkat Pusat 1) Komitmen Politik & Kepemimpinan 64% sudah menerbitkan Peraturan pelaksanaan PUG dari 45 K/L yang dikirim Formulir Monev. 2) Kerangka Kebijakan: a) 17 K/L (46%) telah mengintegrasikan issue Gender dalam dokumen Renstra; b) 19 K/L (51%) telah mengintegrasikan issue Gender dalam Dokumen Renja. 3) Struktur dan Mekanisme: a) 22 K/L (60%) sudah membentuk pokja; b) 15 K/L (41%) yang menempatkan keanggotaan Pokja PUG berada pada level Es. II, III, IV; c) Untuk implementasi PUG, 19 K/L (51%) sudah menyusun Rencana Kerja Tahunan; d) 5 4) 5) 6) 7) b. Pokja PUG di 19 K/L (51%) telah melakukan pertemuan membahas pelaksanaan PUG di masing-2 instansi. Sumber Daya Pelaksanaan PUG: a) 13 K/L (35%) memiliki SDM yang sudah mengikuti TOT PUG & PPRG; b) 20 K/L (54%) sudah mengalokasikan anggaran untuk Capacity building PUG dan PPRG. Sistem Informasi dan Data Terpilah: a) 18 K/L (49%) telah memiliki data terpilah berdasarkan jenis kelamin. Alat Analisis: a) 25 K/L (68%) yang telah menggunakan analisis Gender; b) 9 K/L (24%) telah gunakan analisis Gender dalam Perencanaan dan Penganggaran; c) 21 K/L (57%) sudah memiliki Panduan PPRG; d) 23 K/L (62%) yang menyusun “Gender Budget Statement” untuk Program/Kegiatan Prioritas. Partisipasi Masyarakat Madani: a) 19 K/L (51%) yang melibatkan Lembaga Masyarakat dalam proses pelaksanaan PUG. Tingkat Daerah 1) Komitmen Politik dan Kepemimpinan: 25 Propinsi (76%) sudah menerbitkan peraturan sebagai dasar pelaksanaan PUG 2) Kerangka Kebijakan: a) 26 Propinsi (79%) sudah mengintegrasikan issue Gender dalam RPJMD; b) 24 Propinsi (73%) sudah mengintegrasikan issue Gender dalam Renstra SKPD 3) Struktur dan Mekanisme: a) 22 K/L (60%) sudah membentuk pokja; b) 15 K/L (41%) sudah menempatkan keanggotaan Pokja PUG berada pada level Es. II, III, IV; c) Untuk implementasi PUG, 19 K/L (51%) sudah menyusun Rencana Kerja Tahunan; d) Pokja PUG di 19 K/L (51%) telah melakukan pertemuan untuk membahas pelaksanaan PUG di masing-masing instansi. 4) Sumber Daya Pelaksanaan PUG: a) 25 Propinsi (76%) memiliki SDM untuk pelaksanaan PUG; b) 23 Propinsi (69%) menyediakan dukungan anggaran untuk sosialisasi dan Capacity Building. 5) Sistem Informasi dan Data Terpilah: a) 22 Propinsi (67%) telah menyusun profil gender, Statistik Gender dan Data Terpilah berdasarkan jenis kelamin; b) 15 Propinsi (45%) telah membentuk forum data. 6) Alat Analisis: a) 22 Propinsi (67%) telah menggunakan alat analisis gender dalam perencanaan dan penganggaran; b) 20 Propinsi (61%) memiliki 3 SKPD atau lebih yang melakukan analisis gender dalam menyusun program dan kegiatan; c) 25 Propinsi (76%) telah menggunakan analisis gender dalam PPRG. 7) Partisipasi Masyarakat Madani: a) 24 Propinsi (73%) telah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan PUG. 6 4.2. Tantangan Pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga Pusat dan Daerah 1) Komitmen Politik dan Kepemimpinan, sebagian K/L dan sebagian daerah masih perlu di tingkatkan; 2) Kerangka Kebijakan integrasi issue gender dalam Renstra dan Renja di Pusat dan Daerah perlu ditingkatkan di sebagian K/L dan Propinsi. 3) Sebagian Pokja PUG belum menyusun Rencana Kerja Tahunan dan melakukan pertemuan rutin, baik di K/L maupun Daerah. 4) Keterbatasan sumberdaya untuk melaksanakan PUG di sebagian K/L dan Daerah 5) Ketidaktersediaan data terpilah pada sebagian K/L dan Daerah untuk penggunaan analisis gender 6) Kurangnya pelibatan masyarakat di dalam pelaksanaan PUG di sebagian K/L dan Daerah 7) Forum data masih belum terbentuk di semua propinsi 4.3. Issue Gender Dalam Menghadapi Bencana Alam dan Perubahan Iklim 1) Perempuan rentan terhadap dampak bencana alam dan perubahan iklim karena perannya dalam keluarga 2) Rendahnya akses perempuan terhadap teknologi dan transportasi sehingga menambah beban perempuan 3) Upaya adaptasi maupun mitigasi cenderung memperlakukan perempuan sebagai korban padahal di banyak kasus perempuan sebagai agen perubahan 4) Kurangnya akses perempuan terhadap informasi, partisipasi dan pengambilan keputusan terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim 4.4. Langkah ke Depan 1. Pemantapan Komitmen 2. Pengembangan iklim sosial budaya yang kondusif 3. Penguatan mekanisme koordinasi, sinkronisasi, harmonisasi 4. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi untuk pemberdayaan perempuan, kesetaraan gender dan perlindungan anak 5. Pengintegrasian data terpilah dan statistik gender dan anak ke dalam kelembagaan yang menangan data di masing-masing instansi 6. Peningkatan monitoring, evaluasi, pengawaan, pelaksanaan, kebijakan dan rencana aksi 5. Hasil Pembahasan Pengarusutamaan Gender 5.1. Pemahaman Gender Pandangan bahwa relasi gender merupakan persoalan individu dan sifatnya spesifik terhadap budaya tertentu, menghambat upaya pengarusutamaan gender di tingkat nasional dan lokal. Masih ada kekurang-pahaman yang mendasar tentang manfaat dan pentingnya pengarusutamaan gender. Istilah „gender‟ tidak mudah 7 diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan sering disalah-artikan sebagai istilah yang merujuk pada perempuan saja atau sebagai konsep yang diimpor dari Barat. Upaya pengarusutamaan gender baik di sektor pemerintah maupun non-pemerintah terfokus hanya pada peningkatan partisipasi perempuan dan tidak terfokus secara luas pada persoalan hak asasi manusia, kemajuan dan pemberdayaan, dan disparitas peluang ekonomi antara perempuan dan laki-laki. Pengarusutamaan gender dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan belum dipahami dengan baik. Asesmen tentang Analisis Gender dalam Pembangunan mengungkap kurangnya keahlian gender dan kapasitas untuk mengumpulkan data dengan tepat, sehingga menghambat upaya pengarusutamaan gender di sebagian besar lembaga Indonesia. Data terpilah jarang digunakan dalam penyusunan kebijakan, dan kualitas pelaporan jelek. Pemberian penghargaan untuk mendorong upaya pengarusutamaan gender di tingkat lokal cukup berhasil untuk menunjukkan pentingnya insentif dalam mendorong praktik yang baik. Penghargaan Anugerah Paharita Ekapraya (APE) diberikan sebagai pengakuan dan apresiasi kepada pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan kementerian sektoral yang telah menerapkan kesetaraan gender melalui penganggaran yang responsif gender (ARG). Inisiatif yang diprakarsai oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ini berhasil meningkatkan kepatuhan institusional terhadap persyaratan pengarusutamaan gender dan penyerahan laporan perkembangannya. 5.2. Kerangka Hukum dan Kebijakan Kerangka hukum dan kebijakan Indonesia tentang pengarusutamaan gender menjadi landasan kuat bagi peningkatan kesetaraan gender dan pengurangan diskriminasi, namun tidak diimplementasikan secara konsisten di seluruh Indonesia. Pengarusutamaan gender diamanatkan melalui Instruksi Presiden/INPRES Pengarusutamaan Gender No. 9/2000, yang mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah, untuk mengarusutamakan gender ke dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program. Menurut INPRES tersebut, Kementrian dan lembaga ditingkat nasional dan lokal harus mengatasi persoalan ketidak-setaraan gender dan menghapuskan dikriminasi gender. Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepmendagri No. 15/2008 berisi pedoman untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat propinsi dan kabupaten. UUD Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional menunjukkan komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan dikeluarkannya berbagai undang-undang lokal yang efektif. Selain itu, kebijakan pengarusutamaan gender diintegrasikan dalam proses prencanaan dan penyusunan anggaran, juga data terpilah, indikator dan target, untuk pertama kalinya dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Peraturanperaturan ini, terutama yang menyangkut instruksi pengarusutamaan gender telah sanggup membangun momentum bagi program dan inisiatif kesetaraan gender, namun kekuatannya dibatasi oleh klasifikasi INPRES No. 9/2000 yang hanya berupa 8 “instruksi” dan bukan undangundang, sehingga pelaksanaannya ditingkat lokal menjadi berbeda. 5.3. Kementerian/Lembaga Mendukung Pengarusutamaan Gender Pemerintah telah membentuk sejumlah lembaga untuk mendukung pelaksanaan pengarusutamaan gender. Inpres No.9/2000 menunjuk KPPPA untuk memimpin advokasi kesetaraan gender. KPPPA juga diharapkan dapat memberikan dukungan teknis dalam pengarusutamaan gender. Selama ini KPPPA cukup instrumental mendorong penggunaan alat analisis Gender Analytical Pathway-GAP, yang dikembangkan bersama Bappenas. Namun, UU Kementerian menempatkan KPPPA pada kategori bawah dalam sistem kementrian sehingga memiliki otoritas terbatas. Anggaran dan sumberdaya yang diterimanya terbatas. Untuk dapat memenuhi tugasnya memimpin pengarusutamaan gender di semua jajaran pemerintahan maka perlu untuk meningkatkan anggaran, sumber daya dan wewenang KPPPA. Gender Focal Point regional dari masing-masing kementerian mendorong pengarusutamaan gender dan melaksanakan program untuk meningkatkan kesadaran kesetaraan gender dari semua pegawai pemerintah di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Unit pemberdayaan perempuan juga telah dibentuk tetapi struktur masing-masing propinsi berbeda, ada yang sebagai divisi, unit atau badan. Instrumen pengarusutamaan gender sudah mulai dimasukkan kedalam proses perencanaan dan penganggaran pemerintah pusat dan daerah. Seperti halnya konsep pembangunan berkelanjutan dan tatakelola pemerintah yang baik, maka RPJM 2010-2014 juga mengharuskan dilakukannya pengarusutamaan gender dalam semua kebijakan dan program. Pedoman Umum tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Lokal, yang dikeluarkan oleh Kemendagri tahun 2010 mengharuskan semua lembaga pemerintah untuk menggunakan analisa gender dalam proses penganggaran. Ketentuan ini diuraikan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.119/2009. Tahun 2011, Pernyataan Anggaran Gender (Gender Budget Statement) yang disebut dalam PMK ini akan diperluas mencakup sektor-sektor lainnya dan pada tahun 2012 akan diperluas ke tingkat regional. Uji coba yang dilakukan di 7 kementerian menunjukkan hasil yang positif, termasuk Program Peningkatan Ketahanan Pangan dari Kementerian Pertanian dan Program Pencapaian Kesehatan Perorangan dan Kesehatan Publik dari Kementrian Kesehatan, (KPPPA, 2010). Lembaga lain juga telah secara formal membangun komitmen terhadap pengarusutamaan gender. Sejumlah pemerintah lokal telah mulai menggunakan analisis gender dalam menyusun anggaran mereka. Pemerintah lokal di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera kini bekerjasama dengan organisasi masyarakat sipil untuk melakukan analisis gender di beberapa sektor, seperti kesehatan dan pendidikan, dengan melihat bagaimana anggaran untuk sektor-sektor tersebut dapat mengurangi kesenjangan gender yang ada. Adanya keharusan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam proses Musrenbang ditingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota, yang diatur dalam Surat Edaran Bersama tahunan yang diterbitkan 9 oleh Menteri Bappenas dan Kemendagri, menyediakan lebih banyak peluang untuk memasukkan kepentingan perempuan dalam proses perencanaan pembangunan. 5. Saran dan Tindak Lanjut Memperhatikan berbagai kondisi dan untuk memperbaiki kualitas hidup perempuan, anak dan keluarga di Indonesia, maka sasaran pembangunan lima (5) tahun ke depan harus difokuskan untuk: 1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi yang didukung oleh pembangunan bidang hukum; 2. Meningkatnya akses dan kualitas layanan hidup, tumbuh, kembang anak, termasuk anak dari keluarga miskin, ABK (anak berkebutuhan khusus), ADD (anak dengan disabilitas), anak di lapas, anak di panti, anak korban kekerasan. 3. Meningkatkan perlindungan perempuan dan anak terhadap berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya yang ditandai dengan meningkatnya kapasitas koordinasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan perempuan dan anak terhadap berbagai tindak kekerasan termasuk tindak pidana perdagangan orang, penanganan ABH berbasis restorative justice, menurunnya kasus KtA, pekerja anak, perkawinan usia anak; 4. Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dan kelembagaan pemenuhan hak anak yang ditandai dengan terwujudnya perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan pembangunan yang responsif gender dan peduli anak di tingkat nasional dan daerah, tersedianya data terpilah, sinergi antar perundang-undangan terkait perlindungan anak dan perempuan, dan koordinasi harmonis antar K/L/SKPD dan antara nasional dan daerah. < 000 > 10