BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia Ditulis oleh Nanang Zainal Arifin 1. Pendahuluan Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menarik perhatian banyak negara di dunia akhir-akhir ini. Begitu pula dengan negara-negara anggota G20 yang telah membahas isu ini secara intensif pada tahun 2014 di bawah Presidensi Australia. Hal ini dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negaranegara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global. Perbedaan tarif pajak yang dianut negara-negara di dunia, mendorong kesempatan melakukan tax arbitrage yang pada umumnya dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional (MNCs) dalam perencanaan pajaknya. oleh karenanya banyak negara berpotensi kehilangan pendapatan pajak yang substansial dikarenakan tergerusnya basis penerimaan pajak atau karena perpindahan keuntungan (profit shifting) ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat menganggu kesinambungan fiskal suatu negara dalam rangka membiayai pembangunan ekonomi negaranya. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh BEPS tersebut menjadi semakin jelas dengan ditemukannya bukti bahwa banyak perusahaan multinasional (MNCs) yang dengan sengaja menghindari kewajiban pajaknya dengan cara mengalihkan keuntungan perusahaan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah atau tarif pajaknya nol. Praktek seperti ini telah menimbulkan persepsi bahwa BEPS telah mengakibatkan pemerintah kehilangan banyak penghasilannya yang bersumber dari penerimaan pajak perusahaan. G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh BEPS tersebut. Isu BEPS juga telah menjadi salah satu agenda prioritas G20 yang harus diselesaikan tidak hanya pada saat Presidensi Rusia tahun 2013, namun pembahasan isu ini berlanjut pada saat Presidensi Australia tahun 2014. Secara spesifik, G20 telah meminta OECD untuk melakukan kajian secara komprehensif bekerjasama dengan beberapa negara partner guna mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut. 1 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 2. Definisi BEPS Base erosion and profit shifting (BEPS) merupakan istilah yang digunakan oleh negaranegara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan oleh banyak perusahaan Multinasional (MNCs) untuk memindahkan keuntungan usahanya melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells dan Lowell, 2013, hal.3). Secara umum, selain melalui transfer pricing, praktek BEPS juga dapat terjadi karena adanya praktek hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan keuntungan usahanya ke negara lain (Love, P 2013). Praktek semacam ini dapat menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan yang sama, dan juga mengarah kepada alokasi sumber daya yang tidak efisien. Lebih jauh, praktek BEPS akan berdampak pada hilangnya pendapatan potensial yang diterima setiap negara karena keuntungan suatu perusahaan akan ditransfer ke negara lain yang mengenakan kebijakan tarif pajak rendah. Dengan demikian praktek BEPS oleh MNCs akan menjadi tantangan serius bagi setiap negara dan dapat merugikan bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal atau tinggi. 3. Penyebab dan Dampak Masalah BEPS Selama beberapa dekade, negara berkembang telah menjadi korban atas penerapan sistem perpajakan internasional yang tidak adil, fair dan tidak efektif. Namun, ketika masalah yang ditimbulkan oleh BEPS mulai merugikan negara maju karena sebagian besar negara tersebut menerapkan tarif pajak normal/tinggi, pemimpin negara G20 dan OECD mulai membahasnya lebih serius untuk mencari solusinya. Terkait hal ini, OECD telah menyampaikan laporannya mengenai BEPS yang mencakup analisis yang komprehensif terhadap penyebab utama dan konsekuensi yang mungkin muncul yang diakibatkan oleh BEPS. Berikut disampaikan beberapa penyebab dan konsekuensi potensial yang dapat terjadi sebagai akibat masalah BEPS, sebagai berikut. Penyebab isu BEPS: a. Praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka dan memaksimalkan profit mereka merupakan penyebab utama BEPS. b. Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks. 2 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 c. Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong MNCs untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya. d. Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh MNCs telah memberikan keunggulan kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan kepatuhan pajak. e. Saat ini telah berkembang praktek di mana MNCs tidak membayar kewajiban pajaknya di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha. f. Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini. Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS: a. Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi. b. Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax jurisdiction oleh MNCs. Perbedaan tarif pajak menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang pada umumnya dimanfaatkan oleh MNCs dalam tax planning-nya. Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang bahwa MNCs dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini akan menggangu kepatuhan wajib pajak lainnya. 4. Perdebatan seputar isu BEPS Meskipun sudah banyak dorongan khususnya dari negara-negara anggota G20 dan OECD untuk menyelesaikan praktek BEPS oleh MNCs yang merugikan, namun perdebatan mengenai seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh praktek profit shifting oleh MNCs terhadap perekonomian negara lain masih menjadi pertanyaan. Sebuah artikel dalam harian The Russia Corporate World mengangkat isu mengenai pros and cons for assets deoffshorization for business. Perdebatan yang mewarnai artikel ini adalah tidak ada dampak langsung yang sama kepada semua negara atas praktek BEPS oleh MNCs. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan praktek shifting yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan Rusia dan negara-negara pecahan Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara Barat yang merupakan pendukung utama proyek BEPS paling terkena dampak yang signifikan atas praktek profit 3 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 shifting oleh MNCs yang beroperasi di negaranya. Disamping itu, MNCs yang beroperasi di negara-negara Barat banyak yang mendirikan anak perusahaannya di negara lain yang menerapkan tarif pajak rendah. Namun, praktek yang sama tidak sepenuhnya terjadi di Rusia dan negara Eropa Timur. MNCs Rusia sebagian besar melakukan praktek pengalihan aset dan properti yang mereka miliki ke negara lain dengan tujuan untuk perlindungan properti dan aset mereka, bukan pengalihan profit mereka. Selanjutnya, mereka bahkan menempatkan induk perusahaannya di negara lain, bukanlah anak perusahaan sebagaimana yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara Barat. Terkait perbedaan praktek MNCs ini, terdapat anggapan bahwa dukungan Amerika terhadap proyek BEPS merupakan upaya Amerika Serikat untuk memaksakan kebijakan perpajakan dalam negerinya ke semua negara di dunia. Perbankan European Union (EU) mempunyai pandangan yang berbeda dalam upaya untuk menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan dengan profit shifting-nya. EU berpandangan bahwa masalah profit shifting oleh MNCs tidak perlu diselesaikan dengan membuat sistem perpajakan internasional yang baru, namun cukup diatasi dengan melakukan penguatan regulasi dan pengawasan untuk mengatur operasi MNCs di dalam negeri. Saat ini, EU telah membuat regulasi yang mengatur operasi MNCs, di mana setiap perusahaan yang terdaftar di EU akan mempunyai satu akun bank dan selanjutnya akan dikenakan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di EU. House of Lord di United of Kingdom (UK) mempunyai pandangan berbeda dalam menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan negara yang ditempati. UK lebih memilih pendekatan unilateral dengan memperkuat regulasi perpajakan nasionalnya dalam mengatur praktek MNCs yang merugikan tersebut dan tetap mempertahankan sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini. Pendekatan ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh OECD dengan proyek BEPS-nya. OECD berpandangan sistem perpajakan saat ini sudah tidak cocok lagi dengan kondisi dan lingkungan usaha yang semakin kompleks sehingga perlu dilakukan modernisasi. Disamping itu, OECD juga memilih pendekatan multilateral untuk menyelesaikan isu BEPS dengan melibatkan banyak negara dalam pelaksanaannya. 5. Justifikasi Pentingnya Memerangi BEPS Isu BEPS sangat penting untuk diatasi, tidak hanya karena berpotensi mengganggu penerimaan pajak suatu negara, tetapi juga dapat menciptakan kompetisi yang tidak seimbang di dalam perekonomian global yang akan mengarah pada instabilitas sektor 4 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 keuangan global. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bahwa upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi BEPS telah memiliki justifikasi yang kuat. Berikut beberapa justifikasi pentingnya memerangi BEPS. a. Saat ini banyak negara di dunia termasuk negara anggota G20 dan European Union (EU) memberlakukan tarif pajak normal/tinggi (non-low tax jurisdiction). Hal ini menyebabkan negara-negara tersebut paling rentan terkena dampak dari praktek BEPS yang dilakukan oleh MNCs, sehingga memiliki kepentingan yang kuat untuk mencegah dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh BEPS. Sesuai dengan data website mengenai corporate tax worldwide guidance, dapat dilihat besaran tarif pajak korporasi untuk semua negara anggota G20 sebagaimana tabel di bawah. G20 Tax Comparison No. 5 Country Corporate Income Capitals Gain Branch Tax Rate (%) Tax Rate (%) Tax Rate (%) 1 Argentina 35 35 35 2 Australia 20 30 30 3 Brazil 15 15 15 4 Canada 15 7.5 15 5 China 25 25 25 6 France 33 1/3 0/15/33 1/3 33 1/3 7 Germany 15 15 15 8 Indonesia 25 - - 9 India 30 20 40 10 Italy 27.5 1.37/27.5 27.5 11 Japan 25.5 25.5 25.5 12 Republic of Korea 22 22 22 13 Mexico 30 30 30 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 14 Russia 5/20 5/20 5/20 15 Saudi Arabia 30 to 85 20 - 16 South Africa 28 18.65 28 17 Turkey 20 20 20 18 United Kingdom 24 24 24 19 United States 35 35 35 20 European Union 24 24 24 Sumber : Data diolah dari http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-TaxGuide-Country-list b. Kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs dan sistem ekonomi digital yang berlaku saat ini sangat memungkinkan banyak MNCs memiliki kemampuan untuk melakukan profit shifting ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah untuk memaksimalkan keuntungan perusahaannya. Namun, hal ini menimbulkan kerugian bagi negara yang menjadi lokasi usaha karena tergerusnya penerimaan negara dari pendapatan pajak korporasi tersebut (potential loss of revenues for home countries). Berdasarkan data empiris yang dirilis oleh OECD di bawah disebutkan bahwa negaranegara anggota OECD terkena dampak yang cukup signifikan atas praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs. Ketika negara-negara kecil yang memberlakukan tarif pajak rendah menikmati masuknya foreign direct investment (FDI) yang cukup signifikan sebesar ribuan persen dari total GDP negara tersebut. Adapun negaranegara anggota OECD hanya menikmati masuknya FDI sebesar 36% dari total GDP negara tersebut. 6 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 c. Berdasarkan laporan OECD mengenai BEPS tahun 2013 (hal. 61), OECD telah melakukan review atas berbagai kajian terkait isu BEPS dan ditemukan bukti bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara pengenaan tarif pajak rendah dengan profit shifting yang dilakukan oleh MNCs. Disamping itu, juga ditemukan fakta bahwa terdapat beberapa negara yang sengaja menerapkan rejim perpajakan dengan tingkat pajak yang rendah (low-tax jurisdiction), dan mengambil manfaat tersendiri dari hal tersebut. Hal ini telah menciptakan unfairness dalam tataran sistem perpajakan global, terutama bagi negara-negara yang menerapkan sistem perpajakan secara normal. d. Terdapat dukungan yang kuat oleh negara anggota G20 dan OECD untuk segera mengambil langkah konkrit dalam mengatasi BEPS. G20 juga mendapat dukungan dari banyak negara agar diciptakan standar perpajakan baru yang memungkinkan diberlakukan tarif pajak yang sama (setara) kepada seluruh pembayar pajak, termasuk melalui penguatan komitmen ekonomi dan komitmen politik. Hal ini akan bermanfaat mengurangi ketidakefisienan alokasi sumber daya di dunia. Indonesia secara khusus akan secara aktif mendukung pembahasan isu transparansi dan mekanisme pertukaran informasi pajak secara global, namun hendaknya dapat diperkuat dengan implementasi dari hasil kesepakatan yang sudah ada selama ini. e. Sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dan tidak mampu untuk mengatur operasi MNCs di seluruh dunia, terlebih dengan adanya tantangan usaha yang lebih kompleks dan meningkatnya praktek ekonomi digital saat ini. Disamping itu, isu penguatan regulasi dan pengawasan lintas batas negara untuk operasi MNCs juga masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, proyek BEPS yang diprakarsai oleh OECD merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih tepat dan cocok untuk diterapkan dalam kondisi perekenomian global di abad ke-21 ini. 6. Kerja sama Internasional untuk Mengatasi BEPS a. Pertemuan G20 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pada bulan Juli 2013 telah mengesahkan Global Action Plan yang disusun oleh OECD dalam rangka mengatasi isu BEPS secara komprehensif. Implementasi rencana aksi ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan di dalam regulasi perpajakan internasional sejak tahun 1920, seperti: Peraturan perpajakan internasional akan dikembangkan untuk mengatasi kesenjangan sistem perpajakan antar negara yang berbeda, namun tetap 7 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 menghormati kedaulatan setiap negara untuk merancang aturan perpajakannya sendiri. Peraturan perjanjian pajak dan transfer pricing yang berlaku saat ini akan ditinjau ulang untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan untuk menyelaraskannya dengan substansi dan penciptaan nilai. Penciptaan iklim yang lebih transparan melalui pelaporan oleh perusahaanperusahaan (MNCs) kepada pemerintah atas alokasi keuntungan perusahaan mereka di seluruh dunia. Semua rencana aksi BEPS ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam kurun waktu 18 sampai dengan 24 bulan mendatang. b. Pelaksanaan Proyek BEPS oleh OECD Proyek BEPS yang dilaksanakan oleh OECD dan G20 telah menjadi prioritas utama agenda perpajakan yang dibahas di G20, sebagai jawaban atas berbagai bukti di berbagai bidang bahwa implementasi perpajakan kontemporer telah banyak merugikan dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan. Proyek BEPS ini ditujukan untuk mengimplementasi rencana aksi OECD untuk mengatasi masalah BEPS untuk 2 tahun ke depan. Saat ini telah berhasil dirumuskan 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah dengan berbagai instrument kebijakan yang diperukan untuk mengatasi masalah BEPS dan secara tidak langsung membantu meningkatkan koherensi dalam implementasi sistem perpajakan internasional. Pada tahun 2014, OECD akan menyelesaikan output untuk 7 rencana aksi yang telah dikaji yaitu mengenai digital economy, hybrid mismatch, transfer pricing, harmful tax practices, preventing treaty abuse dan developing a multilateral instrument. 8 rencana aksi sisanya dijadwalkan akan selesai dibahas pada akhir tahun 2015. Tujuan utama proyek BEPS adalah untuk menguji tantangan yang dihadapi oleh digital economy yang diakibatkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini. Laporan dari proyek ini khususnya mengenai opsi kebijakan yang diperlukan dalam mengatasi isu digital economy diharapkan selesai pada bulan September 2014. Laporan ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi penyelesaian ke-6 rencana aksi lainnya yang jatuh tempo pada tahun 2014. Final outcomes yang diharapkan melalui proyek BEPS adalah terciptanya sistem perpajakan internasional yang sesuai untuk abad ke-21, peningkatan integritas sistem perpajakan, penghindaran 8 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 terhadap aktivitas yang merugikan, penciptaan level of the playing field untuk semua bisnis, dan meningkatkan kepastian bisnis melalui pengurangan terhadap ketidakcocokan sistem perpajakan yang berlaku serta memperkenalkan standar perpajakan internasional baru yang disepakati secara global. c. Direktur CTPA-OECD, Pascal Saint Amans, mengirimkan email kepada Kepala PKPNBKF yang intinya menginformasikan rencana OECD untuk membentuk perjanjian deklarasi pemberian dukungan bagi studi BEPS yang dilakukan OECD, serta mengundang Pemerintah Indonesia untuk turut serta menandatangani deklarasi tersebut pada kesempatan pertemuan tingkat Menteri yang akan diselenggarakan pada tanggal 29-30 Mei 2013. Berdasarkan persetujuan lisan dari Menteri Keuangan, Kepala PKPN telah memberikan jawaban yang intinya memberikan dukungan terhadap penelitian OECD terkait BEPS tersebut. d. Indonesia mendukung pelaksanaan proyek BEPS dan bersedia menjadi Associate Member. Namun secara administrasi, bergabungnya Indonesia dalam proyek BEPS memiliki konsekuensi kewajiban kontribusi iuran sekitar €51,000 per tahun. Untuk tahun 2013 ini, Kementerian Keuangan belum mengalokasikan pembayaran iuran tersebut, dan anggarannya baru diusulkan pada tahun 2014. Pada tanggal 2 September 2013, Badan Kebijakan Fiskal secara resmi telah menjawab surat undangan OECD kepada Indonesia untuk menjadi Associate Member of BEPS dan menyatakan kesiapan Indonesia untuk berpartisipasi dalam proyek BEPS tersebut, termasuk kesiapan pembayaran kontribusinya pada tahun 2014. 7. Perkembangan Pembahasan isu BEPS di G20/OECD Pembahasan isu BEPS di G20 terus mengalami progres yang menggembirakan. Hampir dalam setiap pertemuan G20, OECD menyampaikan update informasi mengenai perkembangan proses pembahasan isu ini. Sesuai dengan position paper untuk isu BEPS yang telah disusun oleh PKPPIM, BKF untuk pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies pada tanggal 15-16 Desember 2013 di Canberra, Australia, berikut kami sampaikan perkembangan pembahasan isu tersebut, sebagai berikut. Pembahasan isu international tax system kembali mengemuka di G20 ketika pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Mexico tanggal 5-6 November 2012, sebagian besar Menteri Keuangan menunjukkan perhatian yang besar atas penyelesaian masalah base erosion and profit shifting (BEPS). Para menteri keuangan juga menyambut baik kerja OECD terkait isu ini dan 9 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 meminta untuk menyampaikan laporannya pada pertemuan MGM selanjutnya di Moscow pada tanggal 15-16 Februari 2013. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Moscow, Rusia pada tanggal 15-16 Februari 2013, OECD telah menyampaikan laporannya mengenai “Adressing Base Erosion and Profit Shifting”, yang telah dirilis pada tanggal 12 Februari 2013 secara garis besar membahas mengenai jenis-jenis aktivitas tax planning wajib pajak yang umumnya menjadi penyebab utama BPES dan identifikasi hal-hal yang mempengaruhinya, diantaranya: (i) Tidak samanya tarif pajak yang menyebabkan arbitrasi dalam implementasinya; (2) keseimbangan sumbersumber pajak; (3) pembiayaan diantara kelompok yang sama; (4) isu transfer pricing; (5) efektifitas aturan anti-penghindaran pajak; dan (6) dukungan rejim tertentu. Dalam laporan OECD tersebut juga disampaikan bahwa perlunya dukungan politis dari negara anggota dan non-negara anggota OECD untuk mengatasi isu BEPS ini. Hal ini dikarenakan penyelesaian isu BEPS tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja, melainkan diperlukan koordinasi internasional yang lebih baik, terutama mengenai transparansi dan pertukaran informasi di bidang perpajakan. OECD juga menghimbau agar dilakukan upaya pencegahan yang bersifat komprehensif dan internasional dalam mengatasi BEPS dimaksud. Deputy Prime Minister Treasurer of Australia (Wayne Swan) melalui surat tanggal 13 Februari 2013 kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia meminta dukungan dari Pemerintah Indonesia terhadap upaya-upaya memperkuat Global Financial System, dengan turut berpartisipasi dalam penyusunan comprehensive global action plan untuk meningkatkan sustainabilitas dan integritas sistem perpajakan global. Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di Washington DC pada tanggal 18-19 April 2013 yang menyepakati untuk mengangkat isu ini sebagai salah satu agenda utama G20 ke depan, khususnya terkait isu base erosion and profit shifting (BEPS). Pertemuan ini juga menyepakati bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak internasional, terutama yang dilakukan melalui pemberian fasilitas bebas pajak (tax haven). G20 MGM juga menyambut baik laporan Global Forum, OECD mengenai efektivitas pertukaran informasi dan mengapresiasi kemajuan yang telah dicapai oleh banyak negara. Pada pertemuan G20 MGM (tingkat Menteri Keuangan) bulan Juli 2013 akan meminta OECD menyampaikan proposalnya yang lebih komprehensif mengenai isu BEPS. 10 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Untuk KTT G20 di St. Petersburg pada bulan September 2013, G20 MGM mendorong semua negara untuk menandatangani atau menyatakan minatnya untuk menandatangani kesepakatan “the Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters, dan meminta OECD melaporkan perkembangannya. Selanjutnya G20 MGM juga menyambut baik telah dilaksanakannya pertukaran informasi di bidang perpajakan secara otomatis dan berharap hal ini dapat diterapkan juga kepada semua pihak yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian/treaty sesuai dengan standar yang berlaku. Pada pertemuan Sherpa Ke-3 di St. Petersburg tanggal 11-12 Mei 2013, sebagain besar Sherpa G20 mendukung diangkatnya isu perpajakan khususnya BEPS sebagai agenda G20. Dalam hal ini, Sherpas mengharapkan pembahasan kongkrit terkait masalah ini dalam kesempatan pertemuan Finance Deputies dan Finance Ministers mendatang. Beberapa negara anggota menyatakan bahwa pembahasan isu pajak merupakan langkah penting bagi G20, dan pesan yang tegas dari Leaders akan menjadi dukungan politik yang cukup kuat serta sinyal positif kepada pasar. Sementara OECD menyampaikan perkembangan pelaksanaan komitmen G20 terkait isu transparansi dan pertukaran informasi perpajakan melalui Global Tax Forum. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada tanggal 19-20 Juli 2013, G20 MGM telah mengesahkan rencana aksi yang komprehensif untuk mengatasi BEPS yang telah disampaikan oleh OECD. Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pendirian proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD dan mengajak semua negara yang tertarik terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Pada pertemuan G20 Summit di Saint Petersburg pada tanggal 5-6 September 2013 para pemimpin negara G20 menegaskan kembali komitmen untuk mengatasi isu BEPS dan kerjasama dalam pertukaran informasi perpajakan secara otomotis, serta menyepakati pertukaran informasi ini sebagai standar global yang baru di bidang perpajakan. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 1011 Oktober 2013, G20 MGM sepakat untuk terus mengawal implementasi agenda perpajakan yang terlalu ambisi dan menunggu laporan rutin dari Global Forum dan the OECD, khususnya mengenai pembuatan standar baru untuk pertukaran informasi secara otomatis dan implementasi rencana aksi BEPS. 11 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Pada tanggal 22-23 November 2013 telah diselenggarakan pertemuan “6th Meeting of Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes” di Jakarta. Pertemuan ini membahas 2 agenda utama yaitu: Cara untuk lebih mempromosikan pertukaran informasi perpajakan guna memastikan bahwa semua orang, di semua negara dapat membayar bagiannya secara adil. Penyusunan kriteria untuk merilis peringkat kepatuhan terhadap lebih dari 50 negara, yang dapat ditinjau dari segi ketersediaan, akses dan pertukaran informasinya. Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai Konvensi Multilateral tentang Bantuan Administratif Timbal Balik dalam Masalah Pajak. Pada pertemuan G20 tingkat Deputi Keuangan dan Bank Sentral tanggal 15-16 Desember 2013 di Canberra, Australia, para Deputies telah bertukar pandangan mengenai agenda international tax yang penting untuk dilanjutkan pembahasannya pada pertemuan G20 di bawah presidensi Australia tahun 2014. Disamping itu, juga turut dibahas mengenai mekanisme kerja sama antara DWG dan finance track dalam membahas agenda perpajakan, isu-isu apa yang dapat diselesaikan di DWG dan bagaimana cara terbaik untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan kapasitasnya mengenai administrasi perpajakan. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 2123 Februari 2014 di Sydney, Australia, G20 kembali mendukung rencana aksi global terhadap BEPS berdasar prinsip perpajakan yang sehat. G20 berpendapat bahwa keuntungan harus dikenakan pajak di mana aktivitas ekonomi dilakukan serta mengharapkan perkembangan soal BEPS sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Pada G20 International Tax Symposium di Tokyo, Jepang tanggal 9-10 Mei 2014 isu BEPS kembali dibahas dengan fokus pada negara-negara berkembang, khususnya di wilayah Asia-Pasifik. Simposium ini juga membahas tentang tantangan pada ekonomi digital dan pengaruhnya pada sistem pajak internasional. Pada tanggal 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh deliverables dari rencana aksi yang direncanakan selesai pada tahun 2014. 12 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 2021 September 2014 di Cairns, Australia, G20 kembali menyatakan dukungannya terhadap penyelesaian proyek BEPS yang direncanakan sekesai pada akhir tahun 2015. Pembahasan terkini pada pertemuan G20 Summit tanggal 15-16 November 2014 di Brisbane, Australia, G20 kembali menegaskan bahwa keuntungan harus dikenai pajak di mana kegiatan ekonomi dilakukan dan nilai tambah diciptakan. G20 juga menyambut baik perkembangan signifikan pada isu BEPS dan berkomitmen akan menyelesaikannya pada akhir 2015. 8. Rencana Aksi BEPS, Update dan Tindaklanjutnya Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ditujukan untuk mengatasi kekhawatiran banyak negara terhadap masalah berkurangnya pendapatan negara dari pajak yang diakibatkan perencanaan pajak agresif yang dilakukan secara terstruktur oleh MNCs. Kerugian negara dimungkinkan menjadi lebih besar lagi mengingat kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs semakin canggih dan berlangsungnya praktek perekonomian digital saat ini. Praktek perekonomian digital mempunyai karakteristik adanya ketergantungan transaksi pada aset tidak berwujud, penggunaan secara besarbesaran data terutama data pribadi, dan kesulitan dalam menentukan yurisdiksi/negara di mana penciptaan nilai terjadi. Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 19-20 Juli 2013, telah disahkan rencana aksi OECD yang komprehensif untuk mengatasi BEPS. Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pelaksanaan proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD, serta mengajak semua negara yang memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Secara Secara umum rencana aksi BEPS membahas 4 prinsip utama, yaitu: a. Membangun koherensi pajak penghasilan perusahaan secara internasional melalui penetralan dampak tarif pajak yang berbeda, memperkuat regulasi pengawasan terhadap perusahaan asing, membatasi berkurangnya penerimaan pajak, dan melawan praktek-praktek perpajakan yang merugikan secara lebih efektif. b. Meningkatkan manfaat atas penerapan standar perpajakan internasional, seperti mencegah penyalahgunaan perjanjian perpajakan internasional, menghindari pemalsuan status Permanent Establisment (PE), memperbaiki regulasi mengenai 13 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 transfer pricing atas barang tak berwujud, atas risiko dan area yang berisiko tinggi lainnya. c. Menjamin transparansi yang sejalan dengan upaya memperkuat kepastian hukum dan prediktabilitas. d. Mempercepat proses implementasi rencana aksi BEPS beserta langkah-langkah nyata yang akan diambil. Pada 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh rencana aksi BEPS yang jatuh tempo di tahun 2014, sebagai berikut. Action 1 : Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy Ekonomi digital adalah proses yang dihasilkan teknologi informasi & komunikasi dan masih akan terus berkembang sehingga dibutuhkan langkah lebih lanjut di masa depan untuk mengevaluasi dampaknya pada sistem pajak. Ekonomi digital memiliki beberapa elemen kunci yang relevan dari kacamata perpajakan, seperti mobilitas, ketergantungan pada data & network effects. Ekonomi digital juga berperan besar dalam operasi global MNE. Walau ekonomi digital tidak menciptakan risiko BEPS baru, beberapa elemen kuncinya mempertajam risiko BEPS yang telah ada. Ke depan, isu-isu yang secara spesifik mengarah ke ekonomi digital wajib dievaluasi, seperti penggunaan barang tak berwujud dan penggunaan data. Ekonomi digital juga menimbulkan tantangan perpajakan yang lebih luas bagi para pembuat kebijakan terkait hubungan antar MNE, data dan karakteristik perusahaan serta pengumpulan PPN. Langkah ke depan yang akan diambil terkait ekonomi digital antara lain isu pengenaan pajak, khususnya PPN di transaksi digital serta memantau efek dari deliverables pada ekonomi digital jika ada langkah tambahan yang diperlukan. Action 2 : Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements Penerapan aturan perpajakan yang berbeda antar negara dapat menimbulkan penangguhan pajak ganda dan sering kali sulit untuk menentukan negara mana yang mengalami kerugian pajak. Laporan action plan memberikan dua macam rekomendasi untuk isu ini, yaitu rekomendasi untuk peraturan dalam negeri dan rekomendasi untuk isu-isu P3B. Rekomendasi peraturan dalam negeri berisi rekomendasi untuk pengaturan yang menghasilkan deduction/ no inclusion (D/NI) outcomes dan double deduction (DD) outcomes. 14 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Rekomendasi untuk isu-isu P3B berisi rekomendasi untuk entitas berkewarganegaraan ganda, ketentuan P3B bagi entitas transparan dan interaksi antara peraturan dalam negeri dan P3B. Action 5 : Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance OECD telah lama menjajaki isu ini, dimulai dari laporan Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue di tahun 1998. Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui laporan-laporan tersebut untuk disesuaikan dengan keadaan masa ini. Perubahan laporan diprioritaskan pada dua hal, yaitu pengumpulan informasi mengenai kegiatan ekonomi di rezim pajak khusus dan peningkatan transparansi. Review untuk menentukan apakah suatu rejim termasuk harmful atau tidak telah dilakukan ke seluruh member OECD. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah memperluas lingkup deliverables ini ke negara-negara lain di luar OECD. Action 6 : Preventing the Granting of Treaty Benefit in Inappropriate Circumstances Action Plan ini difokuskan pada tiga hal, yaitu penyusunan rekomendasi mengenai aturan domestik untuk mencegah penyalahgunaan aturan P3B, penjelasan bahwa P3B tidak dimaksudkan untuk penghindaran pajak berganda, dan identifikasi pertimbangan yang harus dilakukan oleh suatu negara sebelum melakukan perjanjian P3B dengan negara lain. Rekomendasi mengenai aturan domestik mencakup dua hal, yaitu kasus pemanfaatan loophole di P3B dan kasus penggunaan P3B untuk mengakali peraturan domestik. Beberapa perubahan untuk OECD Model Tax Convention mengenai action plan ini telah diusulkan di deliverables. Action 8 : Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, khususnya pada transfer pricing barang tidak berwujud (intangibles). Perubahan yang dilakukan antara lain penjelasan definisi barang tak berwujud, petunjuk untuk mengidentifikasi transaksi barang tak berwujud, dan penentuan kondisi wajar dan lazim untuk transaksi barang tak berwujud. 15 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Action 13 : Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country Reporting Deliverables berisi revisi mengenai standar untuk dokumentasi transfer pricing serta template country-by-country untuk pelaporan pendapatan, pajak, dan aktivitas ekonomi lainnya yang relevan. Standar ini berisi country-by-country report, master file dan local file yang akan mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan posisi transfer pricing yang konsisten serta menyediakan informasi bagi otoritas pajak untuk mengukur risiko transfer pricing. Standar ini juga dapat menentukan di mana sumber daya untuk audit dapat diturunkan secara efektif. Action 15 : Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties Instrumen multilateral diperlukan karena sistem bilateral dirasa masih memberi kesempatan untuk praktek penghindaran pajak dan dinilai terlalu menghabiskan waktu karena jumlahnya terlalu banyak. Deliverables menilai bahwa instrumen multilateral memiliki banyak manfaat serta sisi negatifnya dapat dihindari serta memungkinkan untuk dijalankan karena mekanisme hukum telah tersedia untuk mencapai instrument seimbang yang membahas tantangan teknis & politis. Ke depannya, OECD merencanakan akan mengadakan konferensi internasional untuk membahas instrument multilateral di 2015. Selain itu, action plan on BEPS yang berhubungan dengan P3B harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum komponen substantif instrument multilateral dapat diselesaikan. Selanjutnya, ringkasan untuk 8 (delapan) rencana aksi BEPS yang akan diselesaikan pada tahun 2015 adalah sebagai berikut. Action 3: Strengthen controlled foreign company Memperkuat pengawasan terhadap perusahaan asing (Controlled Foreign Companies). Salah satu sumber kekhawatiran yang disebabkan oleh BEPS adalah kemungkinan terjadinya pengalihan penghasilan melalui lembaga asing yang terbentuk untuk menghindar dari kewajiban perpajakan. Action 4: Limit base erosion via interest deductions and other financial payments Membatasi tergerusnya pendapatan melalui pemotongan bunga dan pembayaran transaksi keuangan lainnya. 16 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Action 7: Prevent the artificial avoidance of permanent establishment status Mencegah pemalsuan atas status permanent establishment (PE). Berdasarkan standar internasional, suatu negara mungkin tidak mengenakan pajak atas keuntungan perusahaan asing kecuali perusahaan itu memiliki status PE di negara tersebut. Action 9: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: risks and capital Memastikan bahwa hasil transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk risiko dan permodalan. Action 10: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: other high-risk transactions Memastikan bahwa hasil dari transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk transaksi lainnya yang berisiko tinggi. Action 11: Establish methodologies to collect and analyze data on BEPS and the actions to address it Mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang BEPS dan tindakan/upaya untuk mengatasinya. Action 12: Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements Mewajibkan wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif. Perbaikan pengungkapan rencana perpajakan dapat membantu pemerintah (Ditjen Pajak) dan pengambil keputusan di bidang perpajakan untuk mengidentifikasi daerah yang berisiko, dan juga berfungsi sebagai pencegah keterlibatan di dalam perencanaan pajak yang agresif. Action 14: Make dispute resolution mechanisms more effective Membuat mekanisme penyelesaian perselisihan menjadi lebih efektif. Aksi untuk melawan praktek BEPS harus dilengkapi dengan tindakan untuk menjamin kepastian dan prediktabilitas yang diperlukan untuk meningkatkan investasi. 17 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Pembahasan rencana aksi BEPS yang dilakukan oleh OECD telah dilaporkan pada saat pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies di Canberra, Australia pada tanggal 15-16 Desember 2013. Pada pertemuan G20 Deputies tersebut, OECD telah menyampaikan update program kerja untuk menyelesaikan rencana aksi BEPS. Program kerja OECD dibagi di dalam 2 tahap penyelesaian yaitu 7 rencana aksi telah menghasilkan output pada akhir bulan September 2014 dan sisanya 8 rencana aksi ditargetkan menghasilkan output pada tahun 2015. Output yang akan dihasilkan oleh proyek BEPS pada tahun 2014 dan 2015 adalah sebagai berikut. a. Output untuk 7 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2014 No. Action Plan Expected Outputs 1. Addresses the tax challenges of the digital economy Report identifying issues raised by the digital economy and possible actions to address them 2. Neutralize the effects of hybrid mismatch schemes (debt-equity instruments and entities) Changes to the OECD Model Tax Convention Recommendations regarding the design of domestic rules 5. Counter harmful tax practices more effectively, taking into account transparency and substance Finalize review of member country regimes 6. Prevent treaty abuse Changes to the OECD Model Tax Convention Recommendations regarding the design of domestic rules 8. Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation: intangibles Changes to Transfer Pricing Guidelines and possibly to the OECD Model Tax Convention 13. Re-examine transfer pricing documentation Changes to Transfer Pricing Guidelines and recommendations regarding the design of domestic rules 15. Develop a multilateral instrument Report identifying relevant public international law and tanx issues 18 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 b. Output untuk 8 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2015 No. 3. Action Plan Strengthen controlled foreign company Expected Outputs Recommendations regarding the design of domestic rules 4. 7. 9. Limit base erosion via interest deductions and Recommendations regarding the design of other financial payments domestic rules Prevent the artificial avoidance of permanent Changes to the OECD Model Tax establishment status Convention Assure that transfer pricing outcomes are in Changes to the Transfer Pricing Guidelines line with value creation: risks and capital and possibly to the OECD Model Tax Convention 10. 11. Assure that transfer pricing outcomes are in Changes to the Transfer Pricing Guidelines line with value creation: other high-risk and possibly to the OECD Model Tax transactions Convention Establish methodologies to collect and analyze Recommendations regarding data to be data on BEPS and the actions to address it collected and methodologies to analyze them 12. 14. Require taxpayers to disclose their aggressive Recommendations regarding the design of tax planning arrangements domestic rules Make dispute resolution mechanisms more Changes to the OECD Model Tax effective Convention Sumber: issues Note, session 7, International tax, pertemuan G20 Deputies, 15-16 Desember 2013, Canberra, Australia 9. BEPS dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia Indonesia memandang bahwa BEPS dapat menyebabkan risiko tinggi terhadap penerimaan negara dari pajak, kedaulatan pajak, dan kepercayaan terhadap keutuhan sistem perpajakan yang dimiliki oleh setiap negara. BEPS telah menyebabkan pemerintah kehilangan penerimaan yang signifikan dari pajak korporasi yang disebabkan perencanaan pajak yang dilakukan oleh MNCs yang mendorong mereka mengalihkan keuntungan perusahaannya ke negara lain yang memberikan fasilitas perpajakan lebih menguntungkan atau yang menerapkan tarif pajak rendah. 19 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Lebih jauh, otoritas pajak juga mengindikasikan adanya dorongan yang kuat untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan BEPS. Mereka juga menyampaikan bahwa sistem perpajakan tidak rusak total akibat BEPS, dan otoritas perpajakan di Indonesia mendukung dilakukannya kajian mengenai bagaimana melakukan pembagian pajak yang adil antar negara. Namun demikian, otoritas pajak mengingatkan bahwa setiap negara harus berhati-hati apabila akan meninggalkan sistem perpajakan yang berlaku saat ini. Sebaliknya, juga tidak setuju apabila MNCs membayar kewajiban pajaknya lebih rendah dari yang dibayar oleh perusahaan domestik. Menurut Wattimury (2013, hal. 22) terdapat beberapa pandangan dari otoritas pajak di Indonesia, sebagai berikut: a. Ada 2 hal yang berada pada saat yang bersamaan yaitu BEPS dan kompetisi perpajakan antar negara. Kompetisi ini yang menyebabkan adanya BEPS. b. Prinsip utama yang perlu dipahami adalah otoritas perpajakan tidak berpikir bahwa tujuan dari proyek BEPS adalah untuk meningkatkan sumber pendapatan pajak suatu negara. c. Pemerintah perlu mendapat bantuan teknis dari OECD untuk memahami dan melaksanakan rencana aksi BEPS. d. Pemerintah perlu menyusun peraturan perpajakan yang komprehensif dan meminta wajib pajak untuk mematuhinya. Tidak perlu memikirkan apakah wajib pajak akan melaksanakan regulasi tersebut atau tidak. Masih menurut laporan yang disusun oleh Watimury (2013, hal. 22-23), OECD menganggap BEPS bukanlah masalah yang diciptakan oleh satu atau beberapa perusahaan tertentu, namun merupakan akibat dari peraturan perpajakan yang ada. Berikut disampaikan beberapa kebijakan dalam negeri Indonesia yang mendorong aktivitas BEPS oleh MNCs, sebagai berikut: a. Kebijakan Transfer Pricing Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia memberi wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat penyesuaian transfer pricing lebih awal, meskipun hal ini sulit dilakukan dalam prakteknya. Ketentuan transfer pricing pertama kali diperkenalkan pada tahun 2008 ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mewajibkan wajib pajak untuk mengelola dokumentasi mengenai transfer pricing. Namun, kelemahan regulasi ini adalah tidak adanya pedoman yang jelas mengenai kriteria dokumentasi yang dipersyaratkan serta tidak adanya hukuman bagi perusahaan yang melanggar. Disamping itu, masalah utama 20 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 kebijakan transfer pricing di Indonesia adalah tidak adanya Unit Investigasi Khusus pada Direktorat Jenderal Pajak dan pertanyaan mengenai transfer pricing paling sering muncul pada saat dilakukan audit pajak rutin. b. Tax Haven Country Meskipun Indonesia tidak termasuk negara tax haven yang menerapkan tarif pajak rendah atau membebaskan sebagian jenis pajaknya, namun pemerintah Indonesia kesulitan dalam mengatasi BEPS. Pada tahun 2009, otoritas pajak pernah berencana menempatkan petugas pajaknya di negara yang tergolong tax haven country untuk menghukum perusahaan domestik yang membandel dengan menghindari kewajiban pajaknya secara rutin. Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran No. 29/PJ/2011 (SE-29) tanggal 4 April 2011 mengenai rencana dan strategi pelaksanaan audit perpajakan. Pada waktu lampau, Indonesia pernah membuat daftar hitam negara-negara yang menerapkan tax haven. c. Thin Capitalization Thin capitalization adalah pinjaman (loan) berupa uang atau modal dari pemegang saham atau orang yang memiliki hubungan khusus dengan peminjam. Beberapa modus pemberian pinjaman dalam praktek thin capitalization adalah: Direct loan, dimana investor juga bertindak selaku wajib pajak asing. Back to backloan, di mana investor harus mengalihkan dananya melalui pihak ketiga. Loan parallel, di mana investor asing harus bermitra dengan perusahaan domestik, yang juga memiliki anak perusahaan di negara investor. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan karena rugi maka kreditor diijinkan untuk memotong kewajiban pajaknya. Tetapi apabila perusahaan dapat mendistribusikan pinjaman dari pembayaran nasabahnya, maka kreditor tidak mendapat insentif apa-apa, kecuali menerima pengembalian modalnya tanpa dipotong pajak. d. Treaty Shopping Banyak negara telah menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk mengurangi dampak dari pengenaan pajak berganda. Kebanyakan praktek treaty shoping dimaksudkan untuk menikmati pemberian fasilitas tarif pajak rendah sebagaimana 21 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 dijamin di dalam perjanjian dan biasanya dilakukan melalui pendirian FDI di Indonesia. e. Controlled Foreign Corporation (CFC) Wajib pajak dalam negeri cenderung membayar lebih rendah kewajiban pajaknya atas keuntungan investasi anak perusahaannya di luar negeri dan kelebihan itu harus didistribusikan kepada para pemegang saham. Model CFC yang lazim dilaksanakan adalah dengan memanfaatkan hubungan khusus dengan pemegang saham mayoritas, sehingga perusahaan asing dapat dikontrol dengan tidak membagikan deviden atau menahannya. 10. Posisi Indonesia di G20 terkait isu BEPS Dalam setiap pertemuan G20 yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Kementerian Keuangan selalu menyusun posisi Indonesia atas agenda BEPS. Pada pertemuan G20 terkini yaitu pertemuan G20 Deputi Keuangan dan Bank Sentral terkini yang dilaksanakan di Canberra, Australia pada tanggal 15-16 Desember 2013, delegasi Indonesia telah menyusun posisi Indonesia dalam pembahasan isu BEPS, sebagai berikut. Indonesia mendukung dilanjutkannya pembahasan agenda addressing Base Erosion and Profit Sharing (BEPS) dan agenda pertukaran informasi perpajakan dalam rangka meningkatkan kesinambungan dan integritas sistem perpajakan global. Indonesia akan mengimplementasi BEPS action plan secara komprehensif, utamanya dalam aksi untuk melawan praktek perpajakan yang merugikan lebih efektif, penyalahgunaan perjanjian dan kewajiban wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif. Agar manfaat proyek BEPS ini dapat maksimal dirasakan oleh kalangan bisnis dan masyarakat luas, maka diperlukan pemahaman yang baik oleh tax regulators di setiap negara dan dilakukan program outreach yang intensif untuk kalangan bisnis dan masyarakat umum. Kerjasama global dalam mengatasi BEPS harus didasarkan pada skema voluntary basis, di mana dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan kondisi/regulasi di masing-masing negara. 22 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 11. Beberapa ketentuan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS Terkait dengan kesiapan Indonesia dalam implementasi rencana aksi BEPS ini, Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal telah memberikan masukan mengenai beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS, sebagai berikut. 1. Dalam action-1, Tim proyek BEPS OECD baru ingin mengidentifikasi isu internasional terkait digital economy. Terkait hal ini, UU PPh di Indonesia telah memiliki pengaturan terkait digital economy. 2. Terkait dengan action-2 dan 3, Indonesia telah memiliki ketentuan tentang CFC Rule dalam PMK 256/PMK.03/2008 dan Per DJP nomor: PER - 59/PJ/2010. 3. Terkait dengan action-4, Indonesia sedang menyusun ketentuan mengenai Thin Capitalization (DER / Debt to Equity Ratio). 4. Terkait dengan action-5, review hingga Sept 2014 ditargetkan hanya bagi negara anggota OECD, sehingga tidak termasuk Indonesia (Indonesia belum anggota OECD). Selain itu, pemberian fasilitas perpajakan di Indonesia ditujukan untuk menarik Real/Direct Investment (seperti Tax Holiday, Tax Allowance) sehingga sebenarnya telah sekaligus memperhatikan/mencegah harmful tax practice. 5. Terkait action-6, kebijakan P3B Indonesia terkini telah mengadopsi prinsip anti-treaty abuse. Klausul anti-treaty abuse telah terdapat dalam beberapa P3B Indonesia dengan negara mitra. Selain itu, ketentuan domestik Indonesia juga telah memberikan pengaturan mengenai anti-treaty abuse. 6. Terkait dengan action 8,9,10,12,13, dan 14, Indonesia telah memiliki ketentuan mengenai Transfer Pricing, Transfer Pricing Documentation, Advance Pricing Agreement (APA), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Pertukaran Informasi (Exchange of Information). 7. Terkait dengan action-15, Indonesia telah menandatangani Convention on Mutual Assistance in Tax Matters yang bersifat multilateral. Indonesia menunggu penyelesaian usulan multilateral instrument terkait P3B dari tim BEPS. 23 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 12. Rekomendasi a. Upaya untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh BEPS adalah penting untuk segera dilakukan dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas keuangan global. Pada presidensi Australia tahun 2014, agenda BEPS ini menjadi salah satu agenda utama G20. Namun demikian, perkembangan pembahasan agenda ini perlu dimonitor secara hati-hati dan cermat agar pelaksanaan proyek ini dapat tepat sasaran, tepat waktu dan tidak berdampak negatif bagi negara-negara di dunia. Selanjutnya, perlu terus mengusulkan kepada G20/OECD agar regulasi/standar perpajakan yang baru untuk mengatasi BEPS ini dapat bersifat fleksibel dan tidak merugikan dalam implementasinya nanti, dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan infrastruktur keuangan yang ada di masing-masing negara. b. Regulator perpajakan di Indonesia seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat Kebijakan Penerimaan Negara, BKF, serta didukung oleh Pusat Kebijakan Perubahan Iklim dan Multilateral, BKF yang terlibat aktif dalam pertemuan G20 perlu bekerjasama secara aktif dalam rangka mengikuti dan menindaklanjuti pembahasan isu BEPS yang dilakukan oleh G20 dan OECD, khususnya untuk komitmen implementasi rencana aksi BEPS yang telah selesai pada tahun 2014. Koordinasi dan komunikasi yang lebih baik dan erat ini akan sangat membantu dalam menyuarakan kepentingan Indonesia dalam proses pembahasan isu tersebut Disamping itu, adanya koordinasi yang baik juga akan memudahkan dalam proses implementasi regulasi/standar perpajakan yang baru nantinya. Sesuai dengan informasi pegawai magang di OECD, OECD bermaksud melakukan peer review kepada non-OECD member pada tahun 2015. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan mengenai kriteria pelaksanaan peer review tersebut, di mana negara emerging menginginkan kriteria yang berbeda dengan negara OECD serta diberikan waktu yang cukup untuk melakukan Outreach pada regulator perpajakan di negara masing-masing (Cahyadi, A 2013). c. Indonesia perlu terlibat aktif dalam pembahasan proyek BEPS yang saat ini sedang dilaksanakan oleh OECD. Peran aktif Indonesia dalam proyek tersebut sangat penting dalam rangka menjaga kepentingan Indonesia khususnya dan kepentingan negara emerging umumnya. Karena masalah BEPS ini hanya dapat diselesaikan dengan keterlibatan semua negara, maka keterlibatan Indonesia juga dapat dimanfaatkan untuk meminimalkan potensi risiko yang kemungkinan muncul sebagai konsekuensi dari diberlakukannya regulasi atau standar perpajakan internasional yang baru yang akan dikeluarkan oleh G20/OECD. Apabila diperlukan kiranya dapat dipertimbangkan 24 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 untuk meminta bantuan teknis dari OECD untuk meningkatkan pemahaman pegawai pajak dan Unit terkait lainnya atas resolusi yang dihasilkan untuk mengatasi isu BEPS. d. Wakil Indonesia yang akan ditugaskan dalam proyek BEPS perlu bertindak kritis dan pro-aktif atas kemungkinan melebarnya pembahasan agenda perpajakan yang dilakukan oleh OECD, diluar agenda BEPS dan agenda perpajakan lainnya yang telah disetujui oleh G20. Usulan pembahasan agenda baru yang belum pernah dibicarakan sebelumnya dikawatirkan dapat mengganggu target penyelesaian proyek BEPS pada tahun 2015 dan juga berpotensi menimbulkan risiko bagi kepentingan nasional dalam proses implementasi nantinya. 25 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 Daftar Pustaka 1. Arifin, N.Z, 2013, Position paper mengenai BEPS untuk pertemuan G20 finance and central bank deputies, 15-16 Desember 2013, Canberra, Australia 2. Australia Presidency, 2013, Issues note, session 7 on international tax, G20 finance and central bank deputies meeting 15-16 December 2013, Canberra, Australia 3. Cahyadi, A 2013, Laporan magang di OECD: keikutsertaan dalam forum on harmful tax practices, 16-18 Desember 2013, Jakarta 4. Http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-Tax-Guide-Country-list 5. Idrisova, A 2013, The pros and cons of calls for assets deoffshorization for business, The Russia corporate world, Vol.9, Russia 6. Love, P 2013, What is BEPS and how can you stop it?, OECD insights, Paris 7. OECD, February 2013, Addressing Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing, Paris 8. OECD, 2013, OECD Secretary General Report to the G20 Finance Ministers and Central Bank Governors, Moscow, Russia 9. OECD, 2013, OECD Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing, Paris 10. OECD, 2014, Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 11. OECD, 2014, Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account Transparency and Substance, G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 12. OECD, 2014, Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 26 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014 13. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 14. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country Reporting, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 15. OECD, 2014, Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 16. OECD, 2014, Preventing the Granting of Treaty Benefits in Inappropriate Circumstances, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris 17. Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal, 2014, Masukan terhadap G20 Compliance Report, Jakarta. 18. Wattimury, D 2013, The linkage: convergence IFRS, BEPS issue in G20 Summit and Indonesia positioning, MoU Fiscal Policy Agency and University of Indonesia, Jakarta 19. Wells, B and Lowell, C, 2013, Tax base erosion: reformation of section 482’S arm length standard, The University of Houston Law Center, Amerika 27 | Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM, BKF, 2014