BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya

advertisement
BEPS Dalam Kerangka Kerja Sama G20 Dan Implementasinya Kepada Indonesia
Ditulis oleh Nanang Zainal Arifin
1. Pendahuluan
Isu Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) telah menarik perhatian banyak negara di
dunia akhir-akhir ini. Begitu pula dengan negara-negara anggota G20 yang telah
membahas isu ini secara intensif pada tahun 2014 di bawah Presidensi Australia. Hal ini
dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negaranegara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta
dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global.
Perbedaan tarif pajak yang dianut negara-negara di dunia, mendorong kesempatan
melakukan
tax
arbitrage
yang
pada
umumnya
dimanfaatkan
oleh
perusahaan
multinasional (MNCs) dalam perencanaan pajaknya. oleh karenanya banyak negara
berpotensi kehilangan pendapatan pajak yang substansial dikarenakan tergerusnya basis
penerimaan pajak atau karena perpindahan keuntungan (profit shifting) ke negara lain
yang menerapkan tarif pajak lebih rendah. Dalam jangka panjang, praktek ini dapat
menganggu kesinambungan fiskal suatu negara dalam rangka membiayai pembangunan
ekonomi negaranya.
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh BEPS tersebut menjadi semakin jelas dengan
ditemukannya bukti bahwa banyak perusahaan multinasional (MNCs) yang dengan
sengaja menghindari kewajiban pajaknya dengan cara mengalihkan keuntungan
perusahaan ke negara lain yang menerapkan tarif pajak lebih rendah atau tarif pajaknya
nol. Praktek seperti ini telah menimbulkan persepsi bahwa BEPS telah mengakibatkan
pemerintah kehilangan banyak penghasilannya yang bersumber dari penerimaan pajak
perusahaan.
G20 bekerjasama dengan OECD telah mengambil langkah-langkah konkrit untuk
mengatasi masalah yang disebabkan oleh BEPS tersebut. Isu BEPS juga telah menjadi
salah satu agenda prioritas G20 yang harus diselesaikan tidak hanya pada saat Presidensi
Rusia tahun 2013, namun pembahasan isu ini berlanjut pada saat Presidensi Australia
tahun 2014. Secara spesifik, G20 telah meminta OECD untuk melakukan kajian secara
komprehensif
bekerjasama
dengan
beberapa
negara
partner
guna
mengatasi
permasalahan yang diakibatkan oleh BEPS tersebut.
1
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
2. Definisi BEPS
Base erosion and profit shifting (BEPS) merupakan istilah yang digunakan oleh negaranegara anggota G-8, G-20 dan OECD untuk menjelaskan praktek usaha yang dilakukan
oleh banyak perusahaan Multinasional (MNCs) untuk memindahkan keuntungan usahanya
melalui skema transfer pricing ke negara yang menerapkan tarif pajak rendah/nol (Wells
dan Lowell, 2013, hal.3). Secara umum, selain melalui transfer pricing, praktek BEPS juga
dapat terjadi karena adanya praktek hybrid mismatches yaitu pemberlakuan transaksi yang
berbeda oleh setiap negara untuk menghindari pajak dan pemberian special purpose
entities (SPE) yang telah memberi keleluasaan kepada MNCs untuk mengalihkan
keuntungan usahanya ke negara lain (Love, P 2013). Praktek semacam ini dapat
menciptakan kompetisi yang tidak sehat diantara pelaku usaha, menciptakan ketidakadilan
kepada wajib pajak untuk mematuhi kebijakan perpajakan yang sama, dan juga mengarah
kepada alokasi sumber daya yang tidak efisien. Lebih jauh, praktek BEPS akan
berdampak pada hilangnya pendapatan potensial yang diterima setiap negara karena
keuntungan suatu perusahaan akan ditransfer ke negara lain yang mengenakan kebijakan
tarif pajak rendah. Dengan demikian praktek BEPS oleh MNCs akan menjadi tantangan
serius bagi setiap negara dan dapat merugikan bagi negara-negara yang menerapkan tarif
pajak normal atau tinggi.
3. Penyebab dan Dampak Masalah BEPS
Selama beberapa dekade, negara berkembang telah menjadi korban atas penerapan
sistem perpajakan internasional yang tidak adil, fair dan tidak efektif. Namun, ketika
masalah yang ditimbulkan oleh BEPS mulai merugikan negara maju karena sebagian
besar negara tersebut menerapkan tarif pajak normal/tinggi, pemimpin negara G20 dan
OECD mulai membahasnya lebih serius untuk mencari solusinya. Terkait hal ini, OECD
telah menyampaikan laporannya mengenai BEPS yang mencakup analisis yang
komprehensif terhadap penyebab utama dan konsekuensi yang mungkin muncul yang
diakibatkan oleh BEPS. Berikut disampaikan beberapa penyebab dan konsekuensi
potensial yang dapat terjadi sebagai akibat masalah BEPS, sebagai berikut.
Penyebab isu BEPS:
a. Praktek profit shifting yang dilakukan oleh MNCs untuk meminimalkan pembayaran
pajak mereka dan memaksimalkan profit mereka merupakan penyebab utama BEPS.
b. Regulasi perpajakan global konvensional (yang disusun 80 tahun lalu) sudah tidak
dapat mengatur perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks.
2
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
c. Sistem perpajakan yang berlaku saat ini (konvensional) memudahkan dan mendorong
MNCs untuk melakukan praktek pengurangan kewajiban pajaknya.
d. Penyalahgunaan penghindaran pajak oleh MNCs telah memberikan keunggulan
kompetitif bagi mereka, meskipun hal ini mendorong munculnya masalah keadilan dan
kepatuhan pajak.
e. Saat ini telah berkembang praktek di mana MNCs tidak membayar kewajiban pajaknya
di negara di mana mereka beroperasi dan mendapatkan keuntungan usaha.
f.
Penyelesaian secara sepihak dan parsial tidak akan berhasil mengatasi masalah
BEPS. Hanya dengan pendekatan yang komprehensif dan multilateral, dengan
melibatkan semua negara dapat menyelesaikan masalah ini.
Dampak yang ditimbulkan oleh BEPS:
a. Menyebabkan risiko serius bagi penerimaan pajak suatu negara, kedaulatan dan
keadilan perpajakan baik bagi negara maju maupun negara berkembang, khususnya
bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi.
b. Mendorong berkembangnya praktek profit shifting ke negara low-tax jurisdiction oleh
MNCs. Perbedaan tarif pajak menimbulkan kesempatan melakukan tax arbitrage, yang
pada umumnya dimanfaatkan oleh MNCs dalam tax planning-nya.
Mendorong meningkatnya praktek tax dispute dan tax arbritage apabila tidak
diselesaikan secara tepat dan cepat. Apabila wajib pajak dalam negeri memandang
bahwa MNCs dapat dengan mudah menghindari kewajiban pajaknya, maka hal ini
akan menggangu kepatuhan wajib pajak lainnya.
4. Perdebatan seputar isu BEPS
Meskipun sudah banyak dorongan khususnya dari negara-negara anggota G20 dan OECD
untuk menyelesaikan praktek BEPS oleh MNCs yang merugikan, namun perdebatan
mengenai seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh praktek profit shifting oleh MNCs
terhadap perekonomian negara lain masih menjadi pertanyaan.
Sebuah artikel dalam harian The Russia Corporate World mengangkat isu mengenai pros
and cons for assets deoffshorization for business. Perdebatan yang mewarnai artikel ini
adalah tidak ada dampak langsung yang sama kepada semua negara atas praktek BEPS
oleh MNCs. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan praktek shifting yang dilakukan
oleh MNCs di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat dengan Rusia
dan negara-negara pecahan Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara Barat yang merupakan
pendukung utama proyek BEPS paling terkena dampak yang signifikan atas praktek profit
3
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
shifting oleh MNCs yang beroperasi di negaranya. Disamping itu, MNCs yang beroperasi di
negara-negara Barat banyak yang mendirikan anak perusahaannya di negara lain yang
menerapkan tarif pajak rendah. Namun, praktek yang sama tidak sepenuhnya terjadi di
Rusia dan negara Eropa Timur. MNCs Rusia sebagian besar melakukan praktek
pengalihan aset dan properti yang mereka miliki ke negara lain dengan tujuan untuk
perlindungan properti dan aset mereka, bukan pengalihan profit mereka. Selanjutnya,
mereka bahkan menempatkan induk perusahaannya di negara lain, bukanlah anak
perusahaan sebagaimana yang dilakukan oleh MNCs di negara-negara Barat. Terkait
perbedaan praktek MNCs ini, terdapat anggapan bahwa dukungan Amerika terhadap
proyek BEPS merupakan upaya Amerika Serikat untuk memaksakan kebijakan perpajakan
dalam negerinya ke semua negara di dunia.
Perbankan European Union (EU) mempunyai pandangan yang berbeda dalam upaya
untuk menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan dengan profit shifting-nya. EU
berpandangan bahwa masalah profit shifting oleh MNCs tidak perlu diselesaikan dengan
membuat sistem perpajakan internasional yang baru, namun cukup diatasi dengan
melakukan penguatan regulasi dan pengawasan untuk mengatur operasi MNCs di dalam
negeri. Saat ini, EU telah membuat regulasi yang mengatur operasi MNCs, di mana setiap
perusahaan yang terdaftar di EU akan mempunyai satu akun bank dan selanjutnya akan
dikenakan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di EU.
House of Lord di United of Kingdom (UK) mempunyai pandangan berbeda dalam
menyelesaikan praktek MNCs yang merugikan negara yang ditempati. UK lebih memilih
pendekatan unilateral dengan memperkuat regulasi perpajakan nasionalnya dalam
mengatur praktek MNCs yang merugikan tersebut dan tetap mempertahankan sistem
perpajakan internasional yang berlaku saat ini. Pendekatan ini berbeda dengan apa yang
dilakukan oleh OECD dengan proyek BEPS-nya. OECD berpandangan sistem perpajakan
saat ini sudah tidak cocok lagi dengan kondisi dan lingkungan usaha yang semakin
kompleks sehingga perlu dilakukan modernisasi. Disamping itu, OECD juga memilih
pendekatan multilateral untuk menyelesaikan isu BEPS dengan melibatkan banyak negara
dalam pelaksanaannya.
5. Justifikasi Pentingnya Memerangi BEPS
Isu BEPS sangat penting untuk diatasi, tidak hanya karena berpotensi mengganggu
penerimaan pajak suatu negara, tetapi juga dapat menciptakan kompetisi yang tidak
seimbang di dalam perekonomian global yang akan mengarah pada instabilitas sektor
4
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
keuangan global. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bahwa upaya-upaya yang
dilakukan untuk mengatasi BEPS telah memiliki justifikasi yang kuat. Berikut beberapa
justifikasi pentingnya memerangi BEPS.
a. Saat ini banyak negara di dunia termasuk negara anggota G20 dan European Union
(EU) memberlakukan tarif pajak normal/tinggi (non-low tax jurisdiction). Hal ini
menyebabkan negara-negara tersebut paling rentan terkena dampak dari praktek
BEPS yang dilakukan oleh MNCs, sehingga memiliki kepentingan yang kuat untuk
mencegah dan mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh BEPS. Sesuai dengan data
website mengenai corporate tax worldwide guidance, dapat dilihat besaran tarif pajak
korporasi untuk semua negara anggota G20 sebagaimana tabel di bawah.
G20 Tax Comparison
No.
5
Country
Corporate Income
Capitals Gain
Branch
Tax Rate (%)
Tax Rate (%)
Tax Rate (%)
1
Argentina
35
35
35
2
Australia
20
30
30
3
Brazil
15
15
15
4
Canada
15
7.5
15
5
China
25
25
25
6
France
33 1/3
0/15/33 1/3
33 1/3
7
Germany
15
15
15
8
Indonesia
25
-
-
9
India
30
20
40
10
Italy
27.5
1.37/27.5
27.5
11
Japan
25.5
25.5
25.5
12
Republic of Korea
22
22
22
13
Mexico
30
30
30
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
14
Russia
5/20
5/20
5/20
15
Saudi Arabia
30 to 85
20
-
16
South Africa
28
18.65
28
17
Turkey
20
20
20
18
United Kingdom
24
24
24
19
United States
35
35
35
20
European Union
24
24
24
Sumber : Data diolah dari http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-TaxGuide-Country-list
b. Kemajuan teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs dan sistem ekonomi digital yang
berlaku saat ini sangat memungkinkan banyak MNCs memiliki kemampuan untuk
melakukan profit shifting ke negara yang menerapkan tarif pajak lebih rendah untuk
memaksimalkan keuntungan perusahaannya. Namun, hal ini menimbulkan kerugian
bagi negara yang menjadi lokasi usaha karena tergerusnya penerimaan negara dari
pendapatan pajak korporasi tersebut (potential loss of revenues for home countries).
Berdasarkan data empiris yang dirilis oleh OECD di bawah disebutkan bahwa negaranegara anggota OECD terkena dampak yang cukup signifikan atas praktek profit
shifting yang dilakukan oleh MNCs. Ketika negara-negara kecil yang memberlakukan
tarif pajak rendah menikmati masuknya foreign direct investment (FDI) yang cukup
signifikan sebesar ribuan persen dari total GDP negara tersebut. Adapun negaranegara anggota OECD hanya menikmati masuknya FDI sebesar 36% dari total GDP
negara tersebut.
6
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
c. Berdasarkan laporan OECD mengenai BEPS tahun 2013 (hal. 61), OECD telah
melakukan review atas berbagai kajian terkait isu BEPS dan ditemukan bukti bahwa
terdapat hubungan tidak langsung antara pengenaan tarif pajak rendah dengan profit
shifting yang dilakukan oleh MNCs. Disamping itu, juga ditemukan fakta bahwa
terdapat beberapa negara yang sengaja menerapkan rejim perpajakan dengan tingkat
pajak yang rendah (low-tax jurisdiction), dan mengambil manfaat tersendiri dari hal
tersebut. Hal ini telah menciptakan unfairness dalam tataran sistem perpajakan global,
terutama bagi negara-negara yang menerapkan sistem perpajakan secara normal.
d. Terdapat dukungan yang kuat oleh negara anggota G20 dan OECD untuk segera
mengambil langkah konkrit dalam mengatasi BEPS. G20 juga mendapat dukungan dari
banyak negara agar diciptakan standar perpajakan baru yang memungkinkan
diberlakukan tarif pajak yang sama (setara) kepada seluruh pembayar pajak, termasuk
melalui penguatan komitmen ekonomi dan komitmen politik. Hal ini akan bermanfaat
mengurangi ketidakefisienan alokasi sumber daya di dunia. Indonesia secara khusus
akan secara aktif mendukung pembahasan isu transparansi dan mekanisme
pertukaran informasi pajak secara global, namun hendaknya dapat diperkuat dengan
implementasi dari hasil kesepakatan yang sudah ada selama ini.
e. Sistem perpajakan internasional yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai dan tidak
mampu untuk mengatur operasi MNCs di seluruh dunia, terlebih dengan adanya
tantangan usaha yang lebih kompleks dan meningkatnya praktek ekonomi digital saat
ini. Disamping itu, isu penguatan regulasi dan pengawasan lintas batas negara untuk
operasi MNCs juga masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, proyek BEPS yang
diprakarsai oleh OECD merupakan salah satu upaya untuk menciptakan sistem
perpajakan internasional yang lebih tepat dan cocok untuk diterapkan dalam kondisi
perekenomian global di abad ke-21 ini.
6. Kerja sama Internasional untuk Mengatasi BEPS
a.
Pertemuan G20 tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral pada bulan Juli
2013 telah mengesahkan Global Action Plan yang disusun oleh OECD dalam rangka
mengatasi isu BEPS secara komprehensif. Implementasi rencana aksi ini akan
mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan di dalam regulasi perpajakan
internasional sejak tahun 1920, seperti:

Peraturan
perpajakan
internasional
akan
dikembangkan
untuk
mengatasi
kesenjangan sistem perpajakan antar negara yang berbeda, namun tetap
7
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
menghormati kedaulatan setiap negara untuk merancang aturan perpajakannya
sendiri.

Peraturan perjanjian pajak dan transfer pricing yang berlaku saat ini akan ditinjau
ulang untuk memperbaiki kekurangan yang ada dan untuk menyelaraskannya
dengan substansi dan penciptaan nilai.

Penciptaan iklim yang lebih transparan melalui pelaporan oleh perusahaanperusahaan (MNCs) kepada pemerintah atas alokasi keuntungan perusahaan
mereka di seluruh dunia.

Semua rencana aksi BEPS ini diharapkan dapat diimplementasikan dalam kurun
waktu 18 sampai dengan 24 bulan mendatang.
b.
Pelaksanaan Proyek BEPS oleh OECD

Proyek BEPS yang dilaksanakan oleh OECD dan G20 telah menjadi prioritas
utama agenda perpajakan yang dibahas di G20, sebagai jawaban atas berbagai
bukti di berbagai bidang bahwa implementasi perpajakan kontemporer telah banyak
merugikan dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan.

Proyek BEPS ini ditujukan untuk mengimplementasi rencana aksi OECD untuk
mengatasi masalah BEPS untuk 2 tahun ke depan. Saat ini telah berhasil
dirumuskan 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah dengan berbagai
instrument kebijakan yang diperukan untuk mengatasi masalah BEPS dan secara
tidak langsung membantu meningkatkan koherensi dalam implementasi sistem
perpajakan internasional.

Pada tahun 2014, OECD akan menyelesaikan output untuk 7 rencana aksi yang
telah dikaji yaitu mengenai digital economy, hybrid mismatch, transfer pricing,
harmful tax practices, preventing treaty abuse dan developing a multilateral
instrument. 8 rencana aksi sisanya dijadwalkan akan selesai dibahas pada akhir
tahun 2015.

Tujuan utama proyek BEPS adalah untuk menguji tantangan yang dihadapi oleh
digital economy yang diakibatkan oleh ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini.
Laporan dari proyek ini khususnya mengenai opsi kebijakan yang diperlukan dalam
mengatasi isu digital economy diharapkan selesai pada bulan September 2014.
Laporan ini akan memberikan kontribusi signifikan bagi penyelesaian ke-6 rencana
aksi lainnya yang jatuh tempo pada tahun 2014. Final outcomes yang diharapkan
melalui proyek BEPS adalah terciptanya sistem perpajakan internasional yang
sesuai untuk abad ke-21, peningkatan integritas sistem perpajakan, penghindaran
8
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
terhadap aktivitas yang merugikan, penciptaan level of the playing field untuk
semua bisnis, dan meningkatkan kepastian bisnis melalui pengurangan terhadap
ketidakcocokan sistem perpajakan yang berlaku serta memperkenalkan standar
perpajakan internasional baru yang disepakati secara global.
c. Direktur CTPA-OECD, Pascal Saint Amans, mengirimkan email kepada Kepala PKPNBKF yang intinya menginformasikan rencana OECD untuk membentuk perjanjian
deklarasi pemberian dukungan bagi studi BEPS yang dilakukan OECD, serta
mengundang Pemerintah Indonesia untuk turut serta menandatangani deklarasi
tersebut pada kesempatan pertemuan tingkat Menteri yang akan diselenggarakan
pada tanggal 29-30 Mei 2013. Berdasarkan persetujuan lisan dari Menteri Keuangan,
Kepala PKPN telah memberikan jawaban yang intinya memberikan dukungan terhadap
penelitian OECD terkait BEPS tersebut.
d. Indonesia mendukung pelaksanaan proyek BEPS dan bersedia menjadi Associate
Member. Namun secara administrasi, bergabungnya Indonesia dalam proyek BEPS
memiliki konsekuensi kewajiban kontribusi iuran sekitar €51,000 per tahun. Untuk
tahun 2013 ini, Kementerian Keuangan belum mengalokasikan pembayaran iuran
tersebut, dan anggarannya baru diusulkan pada tahun 2014. Pada tanggal 2
September 2013, Badan Kebijakan Fiskal secara resmi telah menjawab surat
undangan OECD kepada Indonesia untuk menjadi Associate Member of BEPS dan
menyatakan kesiapan Indonesia untuk berpartisipasi dalam proyek BEPS tersebut,
termasuk kesiapan pembayaran kontribusinya pada tahun 2014.
7. Perkembangan Pembahasan isu BEPS di G20/OECD
Pembahasan isu BEPS di G20 terus mengalami progres yang menggembirakan. Hampir
dalam setiap pertemuan G20, OECD menyampaikan update informasi mengenai
perkembangan proses pembahasan isu ini. Sesuai dengan position paper untuk isu BEPS
yang telah disusun oleh PKPPIM, BKF untuk pertemuan G20 Finance and Central Bank
Deputies pada tanggal 15-16 Desember 2013 di Canberra, Australia, berikut kami
sampaikan perkembangan pembahasan isu tersebut, sebagai berikut.

Pembahasan isu international tax system kembali mengemuka di G20 ketika pada
pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di
Mexico tanggal 5-6 November 2012, sebagian besar Menteri Keuangan menunjukkan
perhatian yang besar atas penyelesaian masalah base erosion and profit shifting
(BEPS). Para menteri keuangan juga menyambut baik kerja OECD terkait isu ini dan
9
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
meminta untuk menyampaikan laporannya pada pertemuan MGM selanjutnya di
Moscow pada tanggal 15-16 Februari 2013.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM)
di Moscow, Rusia pada tanggal 15-16 Februari 2013, OECD telah menyampaikan
laporannya mengenai “Adressing Base Erosion and Profit Shifting”, yang telah dirilis
pada tanggal 12 Februari 2013 secara garis besar membahas mengenai jenis-jenis
aktivitas tax planning wajib pajak yang umumnya menjadi penyebab utama BPES dan
identifikasi hal-hal yang mempengaruhinya, diantaranya: (i) Tidak samanya tarif pajak
yang menyebabkan arbitrasi dalam implementasinya; (2) keseimbangan sumbersumber pajak; (3) pembiayaan diantara kelompok yang sama; (4) isu transfer pricing;
(5) efektifitas aturan anti-penghindaran pajak; dan (6) dukungan rejim tertentu.

Dalam laporan OECD tersebut juga disampaikan bahwa perlunya dukungan politis dari
negara anggota dan non-negara anggota OECD untuk mengatasi isu BEPS ini. Hal ini
dikarenakan penyelesaian isu BEPS tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja,
melainkan diperlukan koordinasi internasional yang lebih baik, terutama mengenai
transparansi dan pertukaran informasi di bidang perpajakan. OECD juga menghimbau
agar dilakukan upaya pencegahan yang bersifat komprehensif dan internasional dalam
mengatasi BEPS dimaksud.

Deputy Prime Minister Treasurer of Australia (Wayne Swan) melalui surat tanggal 13
Februari 2013 kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia meminta dukungan dari
Pemerintah Indonesia terhadap upaya-upaya memperkuat Global Financial System,
dengan turut berpartisipasi dalam penyusunan comprehensive global action plan untuk
meningkatkan sustainabilitas dan integritas sistem perpajakan global.

Pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 (G20 MGM) di
Washington DC pada tanggal 18-19 April 2013 yang menyepakati untuk mengangkat
isu ini sebagai salah satu agenda utama G20 ke depan, khususnya terkait isu base
erosion and profit shifting (BEPS). Pertemuan ini juga menyepakati bahwa masih
banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah penghindaran pajak
internasional, terutama yang dilakukan melalui pemberian fasilitas bebas pajak (tax
haven). G20 MGM juga menyambut baik laporan Global Forum, OECD mengenai
efektivitas pertukaran informasi dan mengapresiasi kemajuan yang telah dicapai oleh
banyak negara.

Pada pertemuan G20 MGM (tingkat Menteri Keuangan) bulan Juli 2013 akan meminta
OECD menyampaikan proposalnya yang lebih komprehensif mengenai isu BEPS.
10
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014

Untuk KTT G20 di St. Petersburg pada bulan September 2013, G20 MGM mendorong
semua
negara
untuk
menandatangani
atau
menyatakan
minatnya
untuk
menandatangani kesepakatan “the Multilateral Convention on Mutual Administrative
Assistance in Tax Matters, dan meminta OECD melaporkan perkembangannya.
Selanjutnya G20 MGM juga menyambut baik telah dilaksanakannya pertukaran
informasi di bidang perpajakan secara otomatis dan berharap hal ini dapat diterapkan
juga kepada semua pihak yang telah mengikatkan diri dalam perjanjian/treaty sesuai
dengan standar yang berlaku.

Pada pertemuan Sherpa Ke-3 di St. Petersburg tanggal 11-12 Mei 2013, sebagain
besar Sherpa G20 mendukung diangkatnya isu perpajakan khususnya BEPS sebagai
agenda G20. Dalam hal ini, Sherpas mengharapkan pembahasan kongkrit terkait
masalah ini dalam kesempatan pertemuan Finance Deputies dan Finance Ministers
mendatang. Beberapa negara anggota menyatakan bahwa pembahasan isu pajak
merupakan langkah penting bagi G20, dan pesan yang tegas dari Leaders akan
menjadi dukungan politik yang cukup kuat serta sinyal positif kepada pasar. Sementara
OECD menyampaikan perkembangan pelaksanaan komitmen G20 terkait isu
transparansi dan pertukaran informasi perpajakan melalui Global Tax Forum.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada
tanggal 19-20 Juli 2013, G20 MGM telah mengesahkan rencana aksi yang
komprehensif untuk mengatasi BEPS yang telah disampaikan oleh OECD. Selanjutnya,
MGM juga menyambut baik pendirian proyek BEPS yang digagas oleh G20 dan OECD
dan mengajak semua negara yang tertarik terhadap masalah BEPS untuk menjadi
anggota.

Pada pertemuan G20 Summit di Saint Petersburg pada tanggal 5-6 September 2013
para pemimpin negara G20 menegaskan kembali komitmen untuk mengatasi isu BEPS
dan kerjasama dalam pertukaran informasi perpajakan secara otomotis, serta
menyepakati pertukaran informasi ini sebagai standar global yang baru di bidang
perpajakan.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 1011 Oktober 2013, G20 MGM sepakat untuk terus mengawal implementasi agenda
perpajakan yang terlalu ambisi dan menunggu laporan rutin dari Global Forum dan the
OECD, khususnya mengenai pembuatan standar baru untuk pertukaran informasi
secara otomatis dan implementasi rencana aksi BEPS.
11
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014

Pada tanggal 22-23 November 2013 telah diselenggarakan pertemuan “6th Meeting of
Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes” di
Jakarta. Pertemuan ini membahas 2 agenda utama yaitu:

Cara
untuk lebih mempromosikan pertukaran informasi perpajakan guna
memastikan bahwa semua orang, di semua negara dapat membayar bagiannya
secara adil.

Penyusunan kriteria untuk merilis peringkat kepatuhan terhadap lebih dari 50
negara, yang dapat ditinjau dari segi ketersediaan, akses dan pertukaran
informasinya.
Pada pertemuan ini juga dilakukan penandatanganan nota kesepahaman mengenai
Konvensi Multilateral tentang Bantuan Administratif Timbal Balik dalam Masalah Pajak.
 Pada pertemuan G20 tingkat Deputi Keuangan dan Bank Sentral tanggal 15-16
Desember 2013 di Canberra, Australia, para Deputies telah bertukar pandangan
mengenai agenda international tax yang penting untuk dilanjutkan pembahasannya
pada pertemuan G20 di bawah presidensi Australia tahun 2014. Disamping itu, juga
turut dibahas mengenai mekanisme kerja sama antara DWG dan finance track dalam
membahas agenda perpajakan, isu-isu apa yang dapat diselesaikan di DWG dan
bagaimana cara terbaik untuk membantu negara berkembang dalam mengembangkan
kapasitasnya mengenai administrasi perpajakan.

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 2123 Februari 2014 di Sydney, Australia, G20 kembali mendukung rencana aksi global
terhadap BEPS berdasar prinsip perpajakan yang sehat. G20 berpendapat bahwa
keuntungan harus dikenakan pajak di mana aktivitas ekonomi dilakukan serta
mengharapkan perkembangan soal BEPS sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

Pada G20 International Tax Symposium di Tokyo, Jepang tanggal 9-10 Mei 2014 isu
BEPS kembali dibahas dengan fokus pada negara-negara berkembang, khususnya di
wilayah Asia-Pasifik. Simposium ini juga membahas tentang tantangan pada ekonomi
digital dan pengaruhnya pada sistem pajak internasional.

Pada tanggal 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh deliverables dari rencana
aksi yang direncanakan selesai pada tahun 2014.
12
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014

Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 2021 September 2014 di Cairns, Australia, G20 kembali menyatakan dukungannya
terhadap penyelesaian proyek BEPS yang direncanakan sekesai pada akhir tahun
2015.
Pembahasan terkini pada pertemuan G20 Summit tanggal 15-16 November 2014 di Brisbane,
Australia, G20 kembali menegaskan bahwa keuntungan harus dikenai pajak di mana kegiatan
ekonomi dilakukan dan nilai tambah diciptakan. G20 juga menyambut baik perkembangan
signifikan pada isu BEPS dan berkomitmen akan menyelesaikannya pada akhir 2015.
8. Rencana Aksi BEPS, Update dan Tindaklanjutnya
Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) ditujukan untuk mengatasi
kekhawatiran banyak negara terhadap masalah berkurangnya pendapatan negara dari
pajak yang diakibatkan perencanaan pajak agresif yang dilakukan secara terstruktur oleh
MNCs. Kerugian negara dimungkinkan menjadi lebih besar lagi mengingat kemajuan
teknologi informasi yang dimiliki oleh MNCs semakin canggih dan berlangsungnya praktek
perekonomian digital saat ini. Praktek perekonomian digital mempunyai karakteristik
adanya ketergantungan transaksi pada aset tidak berwujud, penggunaan secara besarbesaran data terutama data pribadi, dan kesulitan dalam menentukan yurisdiksi/negara di
mana penciptaan nilai terjadi.
Pada pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 tanggal 19-20
Juli 2013, telah disahkan rencana aksi OECD yang komprehensif untuk mengatasi BEPS.
Selanjutnya, MGM juga menyambut baik pelaksanaan proyek BEPS yang digagas oleh
G20 dan OECD, serta mengajak semua negara yang memiliki keprihatinan yang tinggi
terhadap masalah BEPS untuk menjadi anggota. Secara Secara umum rencana aksi
BEPS membahas 4 prinsip utama, yaitu:
a. Membangun koherensi pajak penghasilan perusahaan secara internasional melalui
penetralan dampak tarif pajak yang berbeda, memperkuat regulasi pengawasan
terhadap perusahaan asing, membatasi berkurangnya penerimaan pajak, dan melawan
praktek-praktek perpajakan yang merugikan secara lebih efektif.
b. Meningkatkan manfaat atas penerapan standar perpajakan internasional, seperti
mencegah
penyalahgunaan
perjanjian
perpajakan
internasional,
menghindari
pemalsuan status Permanent Establisment (PE), memperbaiki regulasi mengenai
13
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
transfer pricing atas barang tak berwujud, atas risiko dan area yang berisiko tinggi
lainnya.
c. Menjamin transparansi yang sejalan dengan upaya memperkuat kepastian hukum dan
prediktabilitas.
d. Mempercepat proses implementasi rencana aksi BEPS beserta langkah-langkah nyata
yang akan diambil.
Pada 16 September 2014, OECD telah merilis tujuh rencana aksi BEPS yang jatuh tempo
di tahun 2014, sebagai berikut.
Action 1 : Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy

Ekonomi digital adalah proses yang dihasilkan teknologi informasi & komunikasi dan
masih akan terus berkembang sehingga dibutuhkan langkah lebih lanjut di masa
depan untuk mengevaluasi dampaknya pada sistem pajak.

Ekonomi digital memiliki beberapa elemen kunci yang relevan dari kacamata
perpajakan, seperti mobilitas, ketergantungan pada data & network effects. Ekonomi
digital juga berperan besar dalam operasi global MNE.

Walau ekonomi digital tidak menciptakan risiko BEPS baru, beberapa elemen
kuncinya mempertajam risiko BEPS yang telah ada. Ke depan, isu-isu yang secara
spesifik mengarah ke ekonomi digital wajib dievaluasi, seperti penggunaan barang tak
berwujud dan penggunaan data.

Ekonomi digital juga menimbulkan tantangan perpajakan yang lebih luas bagi para
pembuat kebijakan terkait hubungan antar MNE, data dan karakteristik perusahaan
serta pengumpulan PPN.

Langkah ke depan yang akan diambil terkait ekonomi digital antara lain isu pengenaan
pajak, khususnya PPN di transaksi digital serta memantau efek dari deliverables pada
ekonomi digital jika ada langkah tambahan yang diperlukan.
Action 2 : Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements

Penerapan aturan perpajakan yang berbeda antar negara dapat menimbulkan
penangguhan pajak ganda dan sering kali sulit untuk menentukan negara mana yang
mengalami kerugian pajak.

Laporan action plan memberikan dua macam rekomendasi untuk isu ini, yaitu
rekomendasi untuk peraturan dalam negeri dan rekomendasi untuk isu-isu P3B.

Rekomendasi peraturan dalam negeri berisi rekomendasi untuk pengaturan yang
menghasilkan deduction/ no inclusion (D/NI) outcomes dan double deduction (DD)
outcomes.
14
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014

Rekomendasi
untuk
isu-isu
P3B
berisi
rekomendasi
untuk
entitas
berkewarganegaraan ganda, ketentuan P3B bagi entitas transparan dan interaksi
antara peraturan dalam negeri dan P3B.
Action 5 : Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account
Transparency and Substance

OECD telah lama menjajaki isu ini, dimulai dari laporan Harmful Tax Competition: An
Emerging Global Issue di tahun 1998. Action Plan ini dimaksudkan untuk
memperbarui laporan-laporan tersebut untuk disesuaikan dengan keadaan masa ini.

Perubahan laporan diprioritaskan pada dua hal, yaitu pengumpulan informasi
mengenai kegiatan ekonomi di rezim pajak khusus dan peningkatan transparansi.

Review untuk menentukan apakah suatu rejim termasuk harmful atau tidak telah
dilakukan ke seluruh member OECD. Langkah selanjutnya yang akan dilakukan
adalah memperluas lingkup deliverables ini ke negara-negara lain di luar OECD.
Action 6 : Preventing the Granting of Treaty Benefit in Inappropriate Circumstances

Action Plan ini difokuskan pada tiga hal, yaitu penyusunan rekomendasi mengenai
aturan domestik untuk mencegah penyalahgunaan aturan P3B, penjelasan bahwa
P3B tidak dimaksudkan untuk penghindaran pajak berganda, dan identifikasi
pertimbangan yang harus dilakukan oleh suatu negara sebelum melakukan perjanjian
P3B dengan negara lain.

Rekomendasi
mengenai
aturan
domestik
mencakup
dua
hal,
yaitu
kasus
pemanfaatan loophole di P3B dan kasus penggunaan P3B untuk mengakali peraturan
domestik.

Beberapa perubahan untuk OECD Model Tax Convention mengenai action plan ini
telah diusulkan di deliverables.
Action 8 : Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles

Action Plan ini dimaksudkan untuk memperbarui OECD Transfer Pricing Guidelines
for Multinational Enterprises and Tax Administrations, khususnya pada transfer pricing
barang tidak berwujud (intangibles).

Perubahan yang dilakukan antara lain penjelasan definisi barang tak berwujud,
petunjuk untuk mengidentifikasi transaksi barang tak berwujud, dan penentuan
kondisi wajar dan lazim untuk transaksi barang tak berwujud.
15
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Action 13 : Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country
Reporting
 Deliverables berisi revisi mengenai standar untuk dokumentasi transfer pricing serta
template country-by-country untuk pelaporan pendapatan, pajak, dan aktivitas
ekonomi lainnya yang relevan.
 Standar ini berisi country-by-country report, master file dan local file yang akan
mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan posisi transfer pricing yang
konsisten serta menyediakan informasi bagi otoritas pajak untuk mengukur risiko
transfer pricing. Standar ini juga dapat menentukan di mana sumber daya untuk
audit dapat diturunkan secara efektif.
Action 15 : Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties

Instrumen multilateral diperlukan karena sistem bilateral dirasa masih memberi
kesempatan untuk praktek penghindaran pajak dan dinilai terlalu menghabiskan
waktu karena jumlahnya terlalu banyak.

Deliverables menilai bahwa instrumen multilateral memiliki banyak manfaat serta
sisi negatifnya dapat dihindari serta memungkinkan untuk dijalankan karena
mekanisme hukum telah tersedia untuk mencapai instrument seimbang yang
membahas tantangan teknis & politis.

Ke depannya, OECD merencanakan akan mengadakan konferensi internasional
untuk membahas instrument multilateral di 2015. Selain itu, action plan on BEPS
yang berhubungan dengan P3B harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
komponen substantif instrument multilateral dapat diselesaikan.
Selanjutnya, ringkasan untuk 8 (delapan) rencana aksi BEPS yang akan diselesaikan
pada tahun 2015 adalah sebagai berikut.
Action 3: Strengthen controlled foreign company
Memperkuat pengawasan terhadap perusahaan asing (Controlled Foreign Companies).
Salah satu sumber kekhawatiran yang disebabkan oleh BEPS adalah kemungkinan
terjadinya pengalihan penghasilan melalui lembaga asing yang terbentuk untuk
menghindar dari kewajiban perpajakan.
Action 4: Limit base erosion via interest deductions and other financial payments
Membatasi tergerusnya pendapatan melalui pemotongan bunga dan pembayaran
transaksi keuangan lainnya.
16
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Action 7: Prevent the artificial avoidance of permanent establishment status
Mencegah pemalsuan atas status permanent establishment (PE). Berdasarkan standar
internasional, suatu negara mungkin tidak mengenakan pajak atas keuntungan
perusahaan asing kecuali perusahaan itu memiliki status PE di negara tersebut.
Action 9: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation:
risks and capital
Memastikan bahwa hasil transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai untuk
risiko dan permodalan.
Action 10: Assure that transfer pricing outcomes are in line with value creation:
other high-risk transactions
Memastikan bahwa hasil dari transfer pricing adalah sejalan dengan penciptaan nilai
untuk transaksi lainnya yang berisiko tinggi.
Action 11: Establish methodologies to collect and analyze data on BEPS and the
actions to address it
Mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang
BEPS dan tindakan/upaya untuk mengatasinya.
Action 12: Require taxpayers to disclose their aggressive tax planning
arrangements
Mewajibkan wajib pajak untuk menyampaikan perencanaan pajaknya yang agresif.
Perbaikan pengungkapan rencana perpajakan dapat membantu pemerintah (Ditjen
Pajak) dan pengambil keputusan di bidang perpajakan untuk mengidentifikasi daerah
yang berisiko, dan juga berfungsi sebagai pencegah keterlibatan di dalam perencanaan
pajak yang agresif.
Action 14: Make dispute resolution mechanisms more effective
Membuat mekanisme penyelesaian perselisihan menjadi lebih efektif. Aksi untuk
melawan praktek BEPS harus dilengkapi dengan tindakan untuk menjamin kepastian
dan prediktabilitas yang diperlukan untuk meningkatkan investasi.
17
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Pembahasan rencana aksi BEPS yang dilakukan oleh OECD telah dilaporkan pada saat
pertemuan G20 Finance and Central Bank Deputies di Canberra, Australia pada tanggal 15-16
Desember 2013. Pada pertemuan G20 Deputies tersebut, OECD telah menyampaikan update
program kerja untuk menyelesaikan rencana aksi BEPS. Program kerja OECD dibagi di dalam
2 tahap penyelesaian yaitu 7 rencana aksi telah menghasilkan output pada akhir bulan
September 2014 dan sisanya 8 rencana aksi ditargetkan menghasilkan output pada tahun
2015. Output yang akan dihasilkan oleh proyek BEPS pada tahun 2014 dan 2015 adalah
sebagai berikut.
a. Output untuk 7 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2014
No.
Action Plan
Expected Outputs
1.
Addresses the tax challenges of the digital
economy
Report identifying issues raised by the digital
economy and possible actions to address
them
2.
Neutralize the effects of hybrid mismatch
schemes (debt-equity instruments and entities)


Changes to the OECD Model Tax
Convention
Recommendations regarding the design
of domestic rules
5.
Counter harmful tax practices more effectively,
taking into account transparency and
substance
Finalize review of member country regimes
6.
Prevent treaty abuse


Changes to the OECD Model Tax
Convention
Recommendations regarding the design
of domestic rules
8.
Assure that transfer pricing outcomes are in
line with value creation: intangibles
Changes to Transfer Pricing Guidelines and
possibly to the OECD Model Tax Convention
13.
Re-examine transfer pricing documentation
Changes to Transfer Pricing Guidelines and
recommendations regarding the design of
domestic rules
15.
Develop a multilateral instrument
Report identifying relevant public
international law and tanx issues
18
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
b.
Output untuk 8 rencana aksi BEPS yang jatuh tempo pada tahun 2015
No.
3.
Action Plan
Strengthen controlled foreign company
Expected Outputs
Recommendations regarding the design of
domestic rules
4.
7.
9.
Limit base erosion via interest deductions and
Recommendations regarding the design of
other financial payments
domestic rules
Prevent the artificial avoidance of permanent
Changes to the OECD Model Tax
establishment status
Convention
Assure that transfer pricing outcomes are in
Changes to the Transfer Pricing Guidelines
line with value creation: risks and capital
and possibly to the OECD Model Tax
Convention
10.
11.
Assure that transfer pricing outcomes are in
Changes to the Transfer Pricing Guidelines
line with value creation: other high-risk
and possibly to the OECD Model Tax
transactions
Convention
Establish methodologies to collect and analyze
Recommendations regarding data to be
data on BEPS and the actions to address it
collected and methodologies to analyze
them
12.
14.
Require taxpayers to disclose their aggressive
Recommendations regarding the design of
tax planning arrangements
domestic rules
Make dispute resolution mechanisms more
Changes to the OECD Model Tax
effective
Convention
Sumber: issues Note, session 7, International tax, pertemuan G20 Deputies, 15-16 Desember 2013,
Canberra, Australia
9. BEPS dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia
Indonesia memandang bahwa BEPS dapat menyebabkan risiko tinggi terhadap
penerimaan negara dari pajak, kedaulatan pajak, dan kepercayaan terhadap keutuhan
sistem perpajakan yang dimiliki oleh setiap negara. BEPS telah menyebabkan pemerintah
kehilangan penerimaan yang signifikan dari pajak korporasi yang disebabkan perencanaan
pajak yang dilakukan oleh MNCs yang mendorong mereka mengalihkan keuntungan
perusahaannya ke negara lain yang memberikan fasilitas perpajakan lebih menguntungkan
atau yang menerapkan tarif pajak rendah.
19
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Lebih jauh, otoritas pajak juga mengindikasikan adanya dorongan yang kuat untuk
menyelesaikan masalah yang diakibatkan BEPS. Mereka juga menyampaikan bahwa
sistem perpajakan tidak rusak total akibat BEPS, dan otoritas perpajakan di Indonesia
mendukung dilakukannya kajian mengenai bagaimana melakukan pembagian pajak yang
adil antar negara. Namun demikian, otoritas pajak mengingatkan bahwa setiap negara
harus berhati-hati apabila akan meninggalkan sistem perpajakan yang berlaku saat ini.
Sebaliknya, juga tidak setuju apabila MNCs membayar kewajiban pajaknya lebih rendah
dari yang dibayar oleh perusahaan domestik.
Menurut Wattimury (2013, hal. 22) terdapat beberapa pandangan dari otoritas pajak di
Indonesia, sebagai berikut:
a. Ada 2 hal yang berada pada saat yang bersamaan yaitu BEPS dan kompetisi
perpajakan antar negara. Kompetisi ini yang menyebabkan adanya BEPS.
b. Prinsip utama yang perlu dipahami adalah otoritas perpajakan tidak berpikir bahwa
tujuan dari proyek BEPS adalah untuk meningkatkan sumber pendapatan pajak suatu
negara.
c. Pemerintah perlu mendapat bantuan teknis dari OECD untuk memahami dan
melaksanakan rencana aksi BEPS.
d. Pemerintah perlu menyusun peraturan perpajakan yang komprehensif dan meminta
wajib pajak untuk mematuhinya. Tidak perlu memikirkan apakah wajib pajak akan
melaksanakan regulasi tersebut atau tidak.
Masih menurut laporan yang disusun oleh Watimury (2013, hal. 22-23), OECD
menganggap BEPS bukanlah masalah yang diciptakan oleh satu atau beberapa
perusahaan tertentu, namun merupakan akibat dari peraturan perpajakan yang ada.
Berikut disampaikan beberapa kebijakan dalam negeri Indonesia yang mendorong
aktivitas BEPS oleh MNCs, sebagai berikut:
a. Kebijakan Transfer Pricing
Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia memberi wewenang kepada
Direktorat Jenderal Pajak untuk membuat penyesuaian transfer pricing lebih awal,
meskipun hal ini sulit dilakukan dalam prakteknya. Ketentuan transfer pricing pertama
kali diperkenalkan pada tahun 2008 ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) yang mewajibkan wajib pajak untuk mengelola dokumentasi
mengenai transfer pricing. Namun, kelemahan regulasi ini adalah tidak adanya
pedoman yang jelas mengenai kriteria dokumentasi yang dipersyaratkan serta tidak
adanya hukuman bagi perusahaan yang melanggar. Disamping itu, masalah utama
20
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
kebijakan transfer pricing di Indonesia adalah tidak adanya Unit Investigasi Khusus
pada Direktorat Jenderal Pajak dan pertanyaan mengenai transfer pricing paling
sering muncul pada saat dilakukan audit pajak rutin.
b. Tax Haven Country
Meskipun Indonesia tidak termasuk negara tax haven yang menerapkan tarif pajak
rendah atau membebaskan sebagian jenis pajaknya, namun pemerintah Indonesia
kesulitan dalam mengatasi BEPS. Pada tahun 2009, otoritas pajak pernah berencana
menempatkan petugas pajaknya di negara yang tergolong tax haven country untuk
menghukum perusahaan domestik yang membandel dengan menghindari kewajiban
pajaknya secara rutin.
Pada tahun 2011, Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran No.
29/PJ/2011 (SE-29) tanggal 4 April 2011 mengenai rencana dan strategi pelaksanaan
audit perpajakan. Pada waktu lampau, Indonesia pernah membuat daftar hitam
negara-negara yang menerapkan tax haven.
c. Thin Capitalization
Thin capitalization adalah pinjaman (loan) berupa uang atau modal dari pemegang
saham atau orang yang memiliki hubungan khusus dengan peminjam. Beberapa
modus pemberian pinjaman dalam praktek thin capitalization adalah:

Direct loan, dimana investor juga bertindak selaku wajib pajak asing.

Back to backloan, di mana investor harus mengalihkan dananya melalui pihak
ketiga.

Loan parallel, di mana investor asing harus bermitra dengan perusahaan
domestik, yang juga memiliki anak perusahaan di negara investor.
Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan karena rugi maka kreditor diijinkan
untuk
memotong
kewajiban
pajaknya.
Tetapi
apabila
perusahaan
dapat
mendistribusikan pinjaman dari pembayaran nasabahnya, maka kreditor tidak
mendapat insentif apa-apa, kecuali menerima pengembalian modalnya tanpa
dipotong pajak.
d. Treaty Shopping
Banyak negara telah menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk mengurangi
dampak dari pengenaan pajak berganda. Kebanyakan praktek treaty shoping
dimaksudkan untuk menikmati pemberian fasilitas tarif pajak rendah sebagaimana
21
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
dijamin di dalam perjanjian dan biasanya dilakukan melalui pendirian FDI di
Indonesia.
e. Controlled Foreign Corporation (CFC)
Wajib pajak dalam negeri cenderung membayar lebih rendah kewajiban pajaknya atas
keuntungan investasi anak perusahaannya di luar negeri dan kelebihan itu harus
didistribusikan kepada para pemegang saham. Model CFC yang lazim dilaksanakan
adalah dengan memanfaatkan hubungan khusus dengan pemegang saham
mayoritas, sehingga perusahaan asing dapat dikontrol dengan tidak membagikan
deviden atau menahannya.
10. Posisi Indonesia di G20 terkait isu BEPS
Dalam setiap pertemuan G20 yang dihadiri oleh delegasi Indonesia, Kementerian
Keuangan selalu menyusun posisi Indonesia atas agenda BEPS. Pada pertemuan G20
terkini yaitu pertemuan G20 Deputi Keuangan dan Bank Sentral terkini yang dilaksanakan
di Canberra, Australia pada tanggal 15-16 Desember 2013, delegasi Indonesia telah
menyusun posisi Indonesia dalam pembahasan isu BEPS, sebagai berikut.

Indonesia mendukung dilanjutkannya pembahasan agenda addressing Base Erosion
and Profit Sharing (BEPS) dan agenda pertukaran informasi perpajakan dalam rangka
meningkatkan kesinambungan dan integritas sistem perpajakan global.

Indonesia akan mengimplementasi BEPS action plan secara komprehensif, utamanya
dalam aksi untuk melawan praktek perpajakan yang merugikan lebih efektif,
penyalahgunaan
perjanjian
dan kewajiban wajib
pajak
untuk
menyampaikan
perencanaan pajaknya yang agresif.

Agar manfaat proyek BEPS ini dapat maksimal dirasakan oleh kalangan bisnis dan
masyarakat luas, maka diperlukan pemahaman yang baik oleh tax regulators di setiap
negara dan dilakukan program outreach yang intensif untuk kalangan bisnis dan
masyarakat umum.

Kerjasama global dalam mengatasi BEPS harus didasarkan pada skema voluntary
basis, di mana dalam pelaksanaannya harus menyesuaikan dengan kondisi/regulasi di
masing-masing negara.
22
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
11. Beberapa ketentuan di Indonesia yang telah sejalan dengan rencana aksi BEPS
Terkait dengan kesiapan Indonesia dalam implementasi rencana aksi BEPS ini, Pusat
Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal telah memberikan
masukan mengenai beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia yang telah sejalan
dengan rencana aksi BEPS, sebagai berikut.
1. Dalam action-1, Tim proyek BEPS OECD baru ingin mengidentifikasi isu internasional
terkait digital economy. Terkait hal ini, UU PPh di Indonesia telah memiliki pengaturan
terkait digital economy.
2. Terkait dengan action-2 dan 3, Indonesia telah memiliki ketentuan tentang CFC Rule
dalam PMK 256/PMK.03/2008 dan Per DJP nomor: PER - 59/PJ/2010.
3. Terkait dengan action-4, Indonesia sedang menyusun ketentuan mengenai Thin
Capitalization (DER / Debt to Equity Ratio).
4. Terkait dengan action-5, review hingga Sept 2014 ditargetkan hanya bagi negara
anggota OECD, sehingga tidak termasuk Indonesia (Indonesia belum anggota OECD).
Selain itu, pemberian fasilitas perpajakan di Indonesia ditujukan untuk menarik
Real/Direct Investment (seperti Tax Holiday, Tax Allowance) sehingga sebenarnya
telah sekaligus memperhatikan/mencegah harmful tax practice.
5. Terkait action-6, kebijakan P3B Indonesia terkini telah mengadopsi prinsip anti-treaty
abuse. Klausul anti-treaty abuse telah terdapat dalam beberapa P3B Indonesia dengan
negara mitra. Selain itu, ketentuan domestik Indonesia juga telah memberikan
pengaturan mengenai anti-treaty abuse.
6. Terkait dengan action 8,9,10,12,13, dan 14, Indonesia telah
memiliki ketentuan
mengenai Transfer Pricing, Transfer Pricing Documentation, Advance Pricing
Agreement (APA), Mutual Agreement Procedure (MAP), dan Pertukaran Informasi
(Exchange of Information).
7. Terkait dengan action-15, Indonesia telah menandatangani Convention on Mutual
Assistance in Tax Matters yang bersifat multilateral.
Indonesia menunggu penyelesaian usulan multilateral instrument terkait P3B dari tim
BEPS.
23
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
12. Rekomendasi
a. Upaya untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh BEPS adalah penting
untuk segera dilakukan dalam rangka mendukung terciptanya stabilitas keuangan
global. Pada presidensi Australia tahun 2014, agenda BEPS ini menjadi salah satu
agenda utama G20. Namun demikian, perkembangan pembahasan agenda ini perlu
dimonitor secara hati-hati dan cermat agar pelaksanaan proyek ini dapat tepat sasaran,
tepat waktu dan tidak berdampak negatif bagi negara-negara di dunia. Selanjutnya,
perlu terus mengusulkan kepada G20/OECD agar regulasi/standar perpajakan yang
baru untuk mengatasi BEPS ini dapat bersifat fleksibel dan tidak merugikan dalam
implementasinya nanti, dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan infrastruktur
keuangan yang ada di masing-masing negara.
b. Regulator perpajakan di Indonesia seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat
Kebijakan Penerimaan Negara, BKF, serta didukung oleh Pusat Kebijakan Perubahan
Iklim dan Multilateral, BKF yang terlibat aktif dalam pertemuan G20 perlu bekerjasama
secara aktif dalam rangka mengikuti dan menindaklanjuti pembahasan isu BEPS yang
dilakukan oleh G20 dan OECD, khususnya untuk komitmen implementasi rencana aksi
BEPS yang telah selesai pada tahun 2014. Koordinasi dan komunikasi yang lebih baik
dan erat ini akan sangat membantu dalam menyuarakan kepentingan Indonesia dalam
proses pembahasan isu tersebut Disamping itu, adanya koordinasi yang baik juga akan
memudahkan dalam proses implementasi regulasi/standar perpajakan yang baru
nantinya. Sesuai dengan informasi pegawai magang di OECD, OECD bermaksud
melakukan peer review kepada non-OECD member pada tahun 2015. Namun, hal ini
masih menjadi perdebatan mengenai kriteria pelaksanaan peer review tersebut, di
mana negara emerging menginginkan kriteria yang berbeda dengan negara OECD
serta diberikan waktu yang cukup untuk melakukan Outreach pada regulator
perpajakan di negara masing-masing (Cahyadi, A 2013).
c. Indonesia perlu terlibat aktif dalam pembahasan proyek BEPS yang saat ini sedang
dilaksanakan oleh OECD. Peran aktif Indonesia dalam proyek tersebut sangat penting
dalam rangka menjaga kepentingan Indonesia khususnya dan kepentingan negara
emerging umumnya. Karena masalah BEPS ini hanya dapat diselesaikan dengan
keterlibatan semua negara, maka keterlibatan Indonesia juga dapat dimanfaatkan
untuk meminimalkan potensi risiko yang kemungkinan muncul sebagai konsekuensi
dari diberlakukannya regulasi atau standar perpajakan internasional yang baru yang
akan dikeluarkan oleh G20/OECD. Apabila diperlukan kiranya dapat dipertimbangkan
24
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
untuk meminta bantuan teknis dari OECD untuk meningkatkan pemahaman pegawai
pajak dan Unit terkait lainnya atas resolusi yang dihasilkan untuk mengatasi isu BEPS.
d. Wakil Indonesia yang akan ditugaskan dalam proyek BEPS perlu bertindak kritis dan
pro-aktif atas kemungkinan melebarnya pembahasan agenda perpajakan yang
dilakukan oleh OECD, diluar agenda BEPS dan agenda perpajakan lainnya yang telah
disetujui oleh G20. Usulan pembahasan agenda baru yang belum pernah dibicarakan
sebelumnya dikawatirkan dapat mengganggu target penyelesaian proyek BEPS pada
tahun 2015 dan juga berpotensi menimbulkan risiko bagi kepentingan nasional dalam
proses implementasi nantinya.
25
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Daftar Pustaka
1. Arifin, N.Z, 2013, Position paper mengenai BEPS untuk pertemuan G20 finance and
central bank deputies, 15-16 Desember 2013, Canberra, Australia
2. Australia Presidency, 2013, Issues note, session 7 on international tax, G20 finance and
central bank deputies meeting 15-16 December 2013, Canberra, Australia
3. Cahyadi, A 2013, Laporan magang di OECD: keikutsertaan dalam forum on harmful tax
practices, 16-18 Desember 2013, Jakarta
4. Http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/Worldwide-Corporate-Tax-Guide-Country-list
5. Idrisova, A 2013, The pros and cons of calls for assets deoffshorization for business, The
Russia corporate world, Vol.9, Russia
6. Love, P 2013, What is BEPS and how can you stop it?, OECD insights, Paris
7. OECD, February 2013, Addressing Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing,
Paris
8. OECD, 2013, OECD Secretary General Report to the G20 Finance Ministers and Central
Bank Governors, Moscow, Russia
9. OECD, 2013, OECD Action Plan on Base Erosion and Profit Shifting, OECD Publishing,
Paris
10. OECD, 2014, Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy, OECD/ G20 Base
Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
11. OECD, 2014, Countering Harmful Tax Practices More Effectively, Taking into Account
Transparency and Substance, G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD
Publishing, Paris
12. OECD, 2014, Developing a Multilateral Instrument to Modify Bilateral Tax Treaties, OECD/
G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
26
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
13. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Aspects of Intangibles, OECD/ G20 Base
Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
14. OECD, 2014, Guidance on Transfer Pricing Documentation and Country-by-Country
Reporting, OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
15. OECD, 2014, Neutralising the Effects of Hybrid Mismatch Arrangements, OECD/ G20 Base
Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
16. OECD, 2014, Preventing the Granting of Treaty Benefits in Inappropriate Circumstances,
OECD/ G20 Base Erosion and Profit Shifting Project, OECD Publishing, Paris
17. Pusat Kebijakan Penerimaan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal, 2014, Masukan
terhadap G20 Compliance Report, Jakarta.
18. Wattimury, D 2013, The linkage: convergence IFRS, BEPS issue in G20 Summit and
Indonesia positioning, MoU Fiscal Policy Agency and University of Indonesia, Jakarta
19. Wells, B and Lowell, C, 2013, Tax base erosion: reformation of section 482’S arm length
standard, The University of Houston Law Center, Amerika
27
| Nanang Zainal Arifin, Kepala Sub Bidang Sektor Keuangan, Bidang Forum G20, PKPPIM,
BKF, 2014
Download