HAKEKAT FALSAFAH HUKUM ISLAM UNTUK PEMBANGUNAN HUKUM Y. SONAFIST Fak. Hukum Islam STAIN Kerinci Abstract: The strength of Islamic Law system, among after thing, is God system which appointed to guide mankind toward peace in this world and here after Islamic Law has double objectivies that is both spritual and social welfore.While the philosophy of islamic law answers the questions such as what is the nature of Islamic law? what is the nature of justice in Islamic law? what is the goal of Islamic law? why people should obey to Islamic law? and so on. However the important thing is if philosiphy is connected with Islamic law, it could not be separated from the revelations and the prophet tradition.So, philosophy of Islamic law is also defined as philosophy wich analyzes Islamic law methodology cally system cally in order to get a basic explanation. Key Words: New Understanding, Philosophy, Islamic Law A. PENDAHULUAN Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi yang dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena hukum Islam terkait langsung dengan masyarakat mulai sejak lahir sampai meninggal dunia. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila hukum Islam diajarkan di bangku Taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Berdasarkan fungsi hukum Islam yang begitu penting, maka muncullah serangkaian penelitian dan pengembangan hukum Islam. Penelitian itu dimaksudkan untuk melihat sejauh mana produk-produk hukum Islam tersebut masih sejalan dengan tuntutan zaman. sedang pengembangan dimaksudkan untuk merespon dan menjawab secara kongkret berbagai masalah yang timbul di masyarakat. Hal ini dinilai penting untuk dilakukan agar keberadaan hukum Islam itu tetap akrab dan fungsional dalam memandu dan membimbing perjalanan umat. Salah satu dari pengembangan hukum Islam itu adalah filsafat hukum Islam. Filsafat Hukum Islam menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar. Dengan demikian filsafat hukum Islam mempunyai dua tugas, yaitu: tugas kritis dan tugas konstruktif. Filsafat hukum Islam akan menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti apa hakikat hukum Islam itu? apa itu keadilan? apa tujuan hukum Islam? mengapa orang harus taat kepada hukum Islam? dan lain sebagainya. Untuk itu yang perlu diketahui lebih lanjut adalah apa hakikat filsafat hukum Islam itu? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan sistimatika sebagai berikut: setelah pendahuluan akan dikemukakan masalah keunggulan sistem hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk melihat keunggulan sistem hukum Islam bila dibandingkan dengan hukum buatan manusia. Kemudian diuraikan tentang apa yang dimaksud dengan filsafat hukum Islam. Hal ini dimaksudkan untuk diketahui istilah di sekitarnya dan hakikat filsafat hukum Islam. Akhir tulisan ini dikemukakan penutup sebagai pengantar diskusi dan sekaligus sebagai jawaban pertanyaan di atas. B. KEUNGGULAN SISTEM HUKUM ISLAM Sebelum menjelaskan tentang keunggulan sitem hukum Islam perlu dijelaskan terlebih dahulu istilah di sekitar hukum Islam, yaitu, kata syari'ah dan kata fikih, di samping hukum Islam itu sendiri. Kata syari'ah secara bahasa berarti "jalan tempat keluamya air untuk minum".1 Kata ini kemudian dikonotasikan oleh bangsa Arab dengan jalan lurus yang harus diturut.2 Sedangkan secara istilah para ulama berbeda pendapat. Syaikh Mahmud Syaltut memberikan pengertian syari'ah sebagai hukum-hukum dan tata aturan yang digariskan Allah agar manusia dapat mempedominya dalam hubungan dengan Tuhannya, hubungannya dengan sesama manusia, hubungannya dengan 1 Muhammad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri' al-Islamy, jilid VIII (Beirut: Dar alShadir, tt), hlm. 10 2 Manna' al-Qaththan, Al-Tasyri' wa al-Fiqh al-lslam, (Up. Muasasahal-Risalah, t.t.), hlm. 14 2 alam dan hubungannya dengan kehidupan.3 Sedang Qatadah menjelaskan syari'ah itu mencakup kewajiban, sangsi hukum, perintah dan larangan. Ia tidak memasukkan akidah, hikmah-hikmah dan masalah-masalah agama yang lain.4 Di sisi lain Faruq Nabhan mendefinisikan syari'ah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hambanya, baik menyangkut masalah akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.5 Dari pengertian syari'ah di atas terdapat dua pengertian. Pertama, syari'ah dipahami sebagai ketentuan Allah yang terkait dengan hukum dan aturan, sehingga syari'ah hanya meyangkut teks-teks hukum (ayat-ayat hukum dan hadis hukum). Kedua, syari'ah dipahami sebagai semua ketentuan Allah baik menyangkut masalah akidah, hukum dan akhlak. Penulis cenderung pada pengertian pertama, sehingga syari'ah dipahami sebagai sumber hukum yang tidak berubah sepanjang masa. Adapun kata fikih secara bahasa berarti "mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik".6 Sedangkan secara istilah, menurut Abu Zahrah adalah mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat Amaliyah (perbuatan) yang dikaji dari dalil-dalil secara terperinci.7 Menurut al-Amidi fikih adalah ilmu tentang seperangkat hukum syara' yang bersifat Furu'iyyah (cabang) yang didapat melalui penalaran dan istidlal.8 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fikih itu berbeda dengan syari'ah, karena fikih merupakan interpretasi dari syari'ah. Oleh karena itu fikih terkait dengan pemikiran manusia (mujtahid) yang tentunya tidak terlepas dari pengaruh situasi dan kondisi yang melingkupinya. Dengan kata lain fikih adalah dugaan kuat (dhanni) yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya 3 31 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm. 4 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Bagian Pertama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 8 5 Ibid., hlm. 7 6 Abu al-Hasan Ahrnad Paris bin Zakaria, Muqjam Maqayis al-lughah, jilid II, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970), hlm. 442 7 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Beirut; Dar al-Fikr, 1958), hlm. 56 8 Saifuddin al-Amidi , Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Muassasah al-Halabi, t.t), hlm. 56 3 memahami hukum Allah (syari'ah) ysng secara explisit (tertulis dengan jelas) dalam al-Qur'an dan al-sunnah. Sedangkan kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term "Islamic Law" dari literatur Barat. Dalam al-Qur'an hanya ditemukankata syari'ah, fiqh, hukum Allah dan yang seakar dengannya.9 Secara istilah hukum Islam dipahami oleh Hasbi ash-Shiddieqy sebagai koleksi daya upaya ahli fikih dalam menerapakan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.10 Sedang Muslehuddin memahami hukum Islam sebagai sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu dan mengikat bagi anggotanya.11 Senada dengan Muslehuddin, Amir Syarifuddin memahaminya sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat semua umat yang beragama Islam.12 Dari pengertian di atas terdapat dua formulasi, pertama, Hasbi menganggap bahwa hukum Islam itu sama dengan fikih. Kedua, Muslehuddin dan Amir Syarrfuddin memahami hukum Islam itu lebih dari fikih, karena hukum Islam adalah hukum positif yang mengikat umat Islam. Oleh sebab itu hukum Islam memadukan antara "apa hukum itu dan bagaimana hukum itu seharusnya", atau antara hukum ideal dan positif (hukum yang berlaku). Untuk itu hukum Islam dapat digambarkan sebagai hukum positif dalam bentuk ideal. Penulis lebih cenderung pada pendapat yang kedua, sehingga kompilasi hukum Islam di Indonesia misalnya dapat dianggap sebagai hukum Islam. Dari ketiga istilah di atas, yang dapat menerima perubahan adalah fikih dan hukum Islam, sedang syari'ah tidak menerima perubahan karena ia merupakan wewenang Tuhan semata, tanpa ada intervensi akal pikiran manusia, Adapun pada fikih intervensi akal pikiran manusia itu sangat jelas, sehingga situasi dan kondisi yang melingkupi seorang mujtahid tentu berpengaruh. Begitu juga pada hukum 9 Fathurrahman Djamil, Op. Cit., hlm. 11 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 44 11 Fathurrahman Djamil, Op. Cit., hlm. 12 12 Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam Falsafah Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara dan Depag ed, 1992), hlm. 14 10 4 Islam, bahkan dipengaruhi juga keadaan nyata dalam suatu negara atau bangsa, di samping penguasanya. Dengan demikian tentunya sistem hukum Islam mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan sistem hukum buatan manusia. Keunggulan sistem hukum Islam itu antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut: Hukum Islam adalah sitem ketuhanan yang dinobatkan untuk menuntun umat manusia menuju jalan damai di dunia dan di akherat. Urusan dunia dipandang oleh penentu hukum (Syari’) dari kerangka kepentingan alam lain yang lebih baik dan abadi. Untuk itu hukum Islam merupakan pernyataan dan usaha Tuhan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang.13 Dengan demikian perintah dan keadilan merupakan tujuan mendasar bagi hukum Islam, sementara hukum positif buatan manusia di dunia modern hanya membicarakan perintah, tanpa keadilan di dalamnya, sehingga hukum itu menjadi kejam.14 Keunggulan lain dari hukum Islam adalah memiliki sasaran ganda berupa keuntungan spritual dan kesejateraan sosial.15 Karena itu kebijaksanaannya untuk mendorong orang agar taat pada hukum Islam dengan memberi pahala, di samping memberikan waktu untuk bertaubat dalam kehidupan seseorang. Di sisi lain sistem hukum modern mementingkan pemenuhan syarat-syarat perintah, yang karenanya kadang-kadang tidak dapat dilaksanakan sehingga ditinggalkan. Sejarah mengajarkan bahwa manusia tidak akan senang menghadapi hukum yang cenderung menjadi sewenang-wenang. Hukum Islam bukanlah hukum seorang tiruan, tetapi hukum Islam adalah hukum Tuhan yang mempunyai sifat yang Maha Penyayang. Sifat Tuhan itu tercermin dalam hukumNya. Untuk menjamin perintah dalam masyarakat, hukum Islam memberikan dua tanggungjawab kepada manusia. Tanggungjawab dalam hubungannya dengan Tuhan dan tanggungjawab dalam hubungannya dengan masyarakat yang berakibat 13 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientaslis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 77 14 Ibid. 15 Ibid., hlm. 83 5 kewajiban-kewajiban hukum lebih diutamakan daripada hak atau kewajiban moral mengikat individu. Tentunya takut akan siksaan pada hari akherat berhasil memberikan pencegahan terhadap kejahatan lebih efektif daripada undang-undang yang bersifat menghukum dengan bentuk yang paling berat sekalipun, karena iman adalah nyata bukan formalitas. Sungguh al-Qur'an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang takut kepada Allah. Sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang menjalani kehidupan dengan bersih, suci dan terhormat adalah orang-orang yang takut kepada Allah. C. Filsafat Hukum Islam Untuk memahami hakikat fllsafat hukum Islam perlu dipahami perbedaan antara 'Illat (alasan logis) dengan hikmah hukum dan fllsafat, begitu juga antara fllsafat hukum dan fllsafat hukum Islam. Perbedaan 'Illat (alasan logis) dengan hikmah hukum terletak pada apakah alasan itu kongkrit dan dapat dipastikan kebeadaannya atau tidak. 'illat menurut bahasa berarti sesuatu yang dapat merubah keadaan, misalnya penyakit disebut 'illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit itu.16 Sedang menurut istilah, Wahbah al-Zuhaily mengemukakan pengertian sebagai berikut: Suatu sifat yang kongkrit dan dapat dipastikan keberadaannya pada setiap pelakunya dan menurut sifatnya sejalan dengan tujuan pembentukan suatu hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan meraih kemanfaatan dan menolak kemudharatan dari umat manusia.17 Misalnya ijab dan kabul dalam masalah jual beli adalah sifat kongkrit yang menggambarkan adanya rela sama rela. Hal ini dapat dipastikan keberadaannya serta tidal: berbeda pelaksanaannya antara seorang pelaku dengan pelaku yang lain, juga sesuai dengan tujuan syariat. Dengan adanya ijab dan kabul akan dirasakan kemaslahatannya, yaitu perpindahan milik kepada si pembeli dan penjual menikmati harganya. 16 Al Gazaly, Al-Mustafa min iIlm al-Ushul, Juz II. (Mesir, al-Muthb’ah Mustafa Muhammad, 1357 H), hlm. 96 17 Wahbah al-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, juz. I (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986), hlm. 648 6 Adapun cara untuk mengetahui 'illat pada al-Qur'an dan al-Sunnah itu antara lain :18 a. Melalui dalil-dalil al-Qur'an dan al-Sunnah baik secara tegas atau tidak. Contoh 'illat yang disebutkan secara tegas pada surat al-Hasyar ayat 7: Apa saja harta rampasan (fa'i} yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-crang kaya saja di antara kamu .....". Ayat tersebut secara tegas menyebutkan bahwa 'illat mengapa harta rarnpasan itu harus di bagi-bagikan antara kelompok-kelornpok tersebut adalah agar harta kekayaan jangan hanya beredar ditangan orangorang kaya. Dari 'illat ini diqiyaskan pembagian harta kekayaan harus merata dan tidak boleh hanya menumpuk di tangan orang-orang kaya saja. Adapun contoh dari hadis Rasulullah Saw. adalah hadis riwayat al-Nasa'i: "Saya melarang kalian menyimpan daging korban, karena banyak orang dari perkampungan badwi datang membutuhkannya. Maka sekarang diperbolehkan memakan, menyimpan dan menyedekahkannya. Hadis tersebut menjelaskan bahwa 'illat dari adanya larangan menyimpan daging korban adalah karena banyak orang-orang Islam dari perkampungan datang membutuhkannya. Namun beberapa waktu kemudian, setelah 'illat-nya tidak ada lagi, yaitu orang-orang perkampungan yang membutuhkannya, maka Rasulullah membolehkan menyimpan dan memakannya.19 Adapun contoh 'illat yang diketahui dengan dalil yang tidak tegas adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 222: "Janganlah kalian mendekati isteri-isteri pada waktu mereka dalam keadaan haid sampai mereka suci'. Redaksi ayat tersebut mengandung pengertian bahwa yang menjadi 'illat bagi haramnya mendekati isteri adalah karena keadaan haidnya dan 'illat halal 18 19 Abd al-Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al Fiqh, (Kuwait: al-Nasyir, 1977), hlm. 75-77 Wahbah al-Zuhaily, Op. Cit., hlm. 663 7 mendekatinya adalah suci. Kesimpulan tersebut bukan secara langsung ditunjukkan ayat di atas, namun terkandung di dalamnya.20 b. Mengetahui 'illat dengan ijma'. Contohnya, kesepakatan para ulama fiqh bahwa keadaan kecil seseorang menjadi 'illat bagi perlu adanya pembimbing untuk mengendalikan harta anak itu sampai dewasa. Hal ini dapat diqiyaskan kepada hak perwalian anak perempuan yang masih kecil dalam masalah perkawinan.21 c. Mengetahui 'illat dengan jalan ijtihad dan hasilnya dikenal dengan 'illat mustanbathah. Di antara cara-cara berijtihad untuk menemukan 'illat adalah dengan cara al-Sibru yva al-taqsim. Al-sibru berarti menyeleksi beberapa sifat yang lebih cocok untuk dijadikan 'illat bagi suatu rumusan hukum. Sedangkan al-taqsim berarti menarik dan inengumpulkan berbagai bentuk sifat yang dikandung oleh suatu rumusan hukum syara' yang kemudian diseleksi dengan cara al-sibru.22 Contohnya bahwa keharaman khamar ditetapkan dengan ayat al-Qur'an. Kemudian kita mencari ‘illat mengapa khamar itu diharamkan. Pertama kali mengumpulkan (al-tagsim) semua sifat yang terdapat dalam khamar, seperti keadaan cair, terbuat dari anggur, berwarna merah dan memabukkan. Setelah itu kita menyeleksi (al-sibru) sifat yang cocok sebagai 'illat keharaman khamar, sehingga akhirnya kita menyimpulkan bahwa memabukkan adalah 'illat yang lebih cocok. Sedangkan hikmah menurut Abd Wahhab Khalaf adalah kemaslahatan yang dimaksudkan oleh Syari' (Allah dan Rasul) dalam menetapkan hukum. Kemaslahatan itu berupa manfaat atau mencegah kerusakan atau menghilangkan kesulitan.23 Contohnya, diperbolehkan berbuka puasa bagi musafir dan orang sakit karena mengandung hikmah yakni menghilangkan kesulitan (masaqqat). Di sisi lain menurut Ibn Sina, hikmali adalah usaha penyempumaan diri manusia dengan membentuk konsep-konsep tentang segala sesuatu pengujian hakikat-hakikatnya 20 Ibid., hlm. 669-670 Ibid. 22 Ibid., hlm. 671 23 Abd Wahhab Khalaf, Mushadir al-Tasyri’ al-Islamy, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), 21 hlm. 47 8 (baik secara teoritis rnaupun praktis empiris) sesuai dengan kadar kemampuan manusia.24 Sedang menurut Rasyid Ridha, hikmah adalah pengetahuan tentang hakikat dan manfaat sesuatu. Hakikat sesuatu itu meiijadi pendorong untuk melakukan suatu perbuatan yang benar dan baik, Hikmah dalam pengertian ini disebut dengan filsafat praktis, seperti ilmu jiwa, akhlak, rahasia-rahasia penciptaan dan hukum-hukum kemasyarakatan.25 Pertanyaan yang muncul, bolehkah mengangkat hikmah sebagai landasan penetapan suatu hukum? Wahbah al-Zuhaily 26 dalam menjawab pertanyaan itu menyatakan baliwa hikmah seringkali bersifat samar (tak mudah diidentifikasi secara kongkrit), di samping tidak bersifat mundhabith (tidak dapat diukur dan tidak permanen), sehingga hikmah yang seperti ini tidak dapat disamakan dengan 'illat. Akan tetapi apabila hikmah itu jelas dan mundhabith, maka dapat disamakan dengan 'illat, sehingga dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan fllsafat berasal dari bahasa Yunani philoshopia yang berarti cinta kebijaksanaan. Kata philoshopia ini diserap ke dalam bahasa Arab menjadi falsafat atau falsafah.27 Dalam kamus bahasa Indonesia karya Wjs. Porwadarminto digunakan kata falsafat atau falsafah dan filsafat. Secara istilah, menurut Harun Nasution adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan.28 Dari pengertian hikmah yang dikemukakan oleh Ibn Sina dan Rasyid Ridha dapat disimpulkan bahwa hikmah dan filsafat itu sama. Apabila intisari filsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; mengetahui apa (mahiyah), bagaimana dan nilai-nilai dari sesuatu itu. Sedang intisari hikmah menurut pengertian Ibn Sina dan Rasyid Ridha adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu, maka antara hikmah dan fllsafat dapat disamakan. Tetapi apabila 24 Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 21 Muhammad Rasyid Ridha, Al-Wahy al-Muhammadi, (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1979), hlm. 245-249 26 Wahbah al-Zuhaily, Op. Cit., hlm. 651 27 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung), hlm. 1-2 28 Harun Nasution, Falsafah Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 3 25 9 pengertian hikmah menurut Abd Wahab Khalaf pada intinya adalah untuk memahami wahyu secara mendalam dengan akal pikiran, maka hikmah terkandung di dalamnya makna ilahiyah, yakni nilai-nilai dan pegetahuan tentang hukum-hukum Tuhan, sehingga hikmah tidak dapat disamakan dengan fllsafat. Karena fllsafat betitik tolak dari akal pikiran semata-mata. Dengan demikian, hikmah dipahami sebagai term khas dari Islam. Dari uraian tentang ‘Illah (alasan logis), hikmah dan filsafat sebenamya dapat dipahami apa itu filsafat hukum Islam. Namun untuk lebih jelas, akan dikemukakan pengertian fllsafat hukum terlebih dahulu. Istilah fllsafat hukum lazim dipergunakan di lingkungan Fakultas hukum di Indonesia. Pada zaman Hindia Belanda dahulu istilah yang dipergunakan Rechthoge School adalah Wijsbergeerte Van Rech seperti yang terekam dalam kurikulum 1933. Istilah ini sama dengan istilah Recht Phiksifie yang banyak dipergunakan para penulis hukum Belanda.29 Menurut Utrech, filsafat hukum mengangkat persoalan-persoalan adanya hukum dan tujuan berlakunya hukum dan keadilan. Oleh karena itu filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah hukum itu? apa sebabnya kita mentaati hukum? apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk menilai baik buruknya hukum itu? Jadi obyek filsafat hukum adalah hal yang ada di luar jangkauan ilmu-ilmu hukum.30 Oleh karena itu dapat dimengerti mengapa para pakar hukum di Indonesia mendefinisikan filsafat hukum sebagai perenungan dan perumusan nilai-nilai. Seperti penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman; antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaharuan.31 Pengertian filsafat hukum seperti di atas itu dipandang sama dengan pengertian filsafat hukum Islam oleh Juhaya S. Praja. Oleh karena itu tugas filsafat hukum Islam seperti tugas filsafat hukum, yaitu tugas kritis dan 29 Lili Rasyidi, Dasar-Dasar Filsafat Islam, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1982), hlm. 24. 31 31 Juhaya S. Praja, Op. Cit., hlm. 15 30 10 konstruktif.32 Tugas kritis filsafat hukum Islam adalah mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah mapan di dalam hukum Islam. Sedang tugas konstruktif filsafat hukum Islam adalah mempersatukan cabang-cabang hukum Islam dalam kesatuan sistem hukum Islam, sehingga nampak antara satu cabang hukum Islam dengan lainnya tidak terpisahkan. Dengan demikian, filsafat hukum Islam menjawab pertanyaan seperti, apa hakikat hukum Islam itu? apa hakikat keadilan dalam hukum Islam itu? apa tujuan hukum Islam? mengapa orang harus taat kepada hukum Islam? dan lain sebagainya. Namun yang perlu dicatat apabila filsafat dihubungkan dengan hukum Islam tentunya tidak bisa terlepas dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul. Untuk itu filsafat hukum Islam juga didefinisikan sebagai filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis, sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar. Dengan kata lain menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. D. SIMPULAN Sebagai jawaban dari pertanyaan pada makalah tentang hakikat fllsafat hukum Islam dapat disimpulkan dua pendapat sebagai bahan diskusi. Pertama, fllsafat hukum Islam adakalanya dianggap identik dengan Hikmat al-Tasyri'. Sebagai konsekuensi penyamaan ini filsafat hukum Islam tidak dapat terlepas dari Syari'ah, yaitu teks-teks yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai sumber hukum. Oleh karena itu filsafat hukum Islam dipandang sebagai pemikiran filsafati yang disirami oleh petunjuk Allah dan Rasul, sehingga filsafat hukum Islam dipandang sebagai kekhasan dari Islam. Di sisi lain filsafat hukum Islam dianggap berbeda dengan hikmat alTasyri', maka filsafat hukum Islam sebagai pemikiran filsafati yang bertitik tolak dari akal pikiran semata. Hal ini dapat dipahami dari arti filsafat sebagai berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat dengan tradisi, dogma dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar persoalan. 32 Ibid. 11 Sebagai konsekuensi dari pendapat ini filsafat hukum Islam disamakan dengan fllsafat hukum, sehingga fllsafat hukum Islam lidak terikat dengan petunjuk Allah dan Rasul. Penulis lebih cenderung pada pendapat yang pertama, karena filsafat hukum Islam pada tujuan akhirnya adalah untuk lebih memantapkan pemahaman dan pelaksanaan hukum Islam. Wallaku A 'lam bi al-Shawab. BIBLIOGRAFI Abd al-Wahhab Khalaf. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Kuwait: al-Nasyir, 1977. Abd Wahhab Khalaf. Mashadir al-Tasyri' al-lslamy. Kuwait: Dar al-Qalam, 1972. Abu al-Hasan Ahmad Paris bin Zakaria. Mu'jam Maqayis al-Lughah. jilid. II Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970. Al-Ghazaly. Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul. juz II. Mesir, al-Mathba'ah Musthafa Muhammad, 1357 H Amir Syarifuddin. Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam Falsafah Hukum Islam). Jakarta: Bumi Aksara dan Depag ed, 1992 Fathurrahman Djamil. Filsafat Hukum Islam. Bagian Pertama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 Harun Nasution. Falsafah Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 1987 Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995 Lili Rasyidi. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, 1982. M. Hasbi Ash-Shiddieqy. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Manna' al-Qaththan. Al-Tasyri' wa al-Fiqh fi al-Islam. t.tp. Muasasah al-Risalah, t.t. Muhammad Faruq Nabhan. Al-Madkhal li al-Tasyri' al-lslamy. jilid VIII. Beirut: Dar al-Shadir, t.t. Muhammad Abu Zahrah. Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1958 Muhammad Muslehuddin. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, terjemahan Yudian Wahyudi Asmia. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997 Muhammad Rasyid Ridha. Al-Wahy al-Muhammadi. Beirut: al-Maktab al-lslamy, 1979. Saifuddin al-Amidi. Al-Hikam fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Muassasah al-Halabi, t.t. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1982. Wahbah al-Zuhaily. Ushul al-Fiqh al-lslamy. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986 12