Unduh / PDF - Masyarakat Linguistik Indonesia

advertisement
MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
Didirikan pada tahun 1975, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI)
merupakan organisasi profesi yang bertujuan
mengembangkan studi ilmiah mengenai bahasa.
PENGURUS MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
Ketua
: Katharina Endriati Sukamto, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Wakil Ketua : Fairul Zabadi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Sekretaris : Ifan Iskandar, Universitas Negeri Jakarta
Bendahara : Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
DEWAN EDITOR
Utama
: Bambang Kaswanti Purwo, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Pendamping : Lanny Hidajat, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Anggota
: Bernd Nothofer, Universitas Frankfurt, Jerman; Ellen Rafferty, University
of Wisconsin, Amerika Serikat; Bernard Comrie, Max Planck Institute; Timothy
Andrew McKinnon, Max Planck Institute; E. Aminudin Aziz, Universitas Pendidikan
Indonesia; Siti Wachidah, Universitas Negeri Jakarta; Katharina Endriati Sukamto,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; I Wayan Arka, Universitas Udayana; A.
Effendi Kadarisman, Universitas Negeri Malang; Bahren Umar Siregar, Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya; Hasan Basri, Universitas Tadulako; Yassir Nasanius,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Dwi Noverini Djenar, Sydney University,
Australia; Mahyuni, Universitas Mataram; Patrisius Istiarto Djiwandono, Universitas
Ma Chung; Yanti, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya; Totok Suhardijanto,
Universitas Indonesia.
JURNAL LINGUISTIK INDONESIA
Linguistik Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 1982 dan sejak tahun 2000
diterbitkan tiap bulan Februari dan Agustus. Linguistik Indonesia telah terakreditasi
berdasarkan SK Dirjen Dikti No. 040/P/2014, 18 Februari 2014. Jurnal ilmiah ini
dibagikan secara cuma-cuma kepada para anggota MLI yang keanggotaannya umumnya
melalui Cabang MLI di pelbagai Perguruan Tinggi, tetapi dapat juga secara
perseorangan atau institusional. Iuran per tahun adalah Rp 200.000,00 (anggota dalam
negeri) dan US$30 (anggota luar negeri). Keanggotaan institusional dalam negeri adalah
Rp 250.000,00 dan luar negeri US$50 per tahun.
Naskah dan resensi yang panduannya dapat dilihat di www.mlindonesia.org
dikirim ke Redaksi dengan mengikuti format Pedoman Penulisan Naskah di bagian
belakang sampul jurnal.
ALAMAT
Masyarakat Linguistik Indonesia
d.a. Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
JI. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930, Indonesia
posel: [email protected]; [email protected]
Tel./Faks.: +62 21 571 9560
FORMAT PENULISAN NASKAH
Naskah diketik dengan menggunakan MS Word dikirimkan ke Redaksi melalui e-mail
[email protected] atau dalam bentuk disket dan satu printout. Panjang naskah, termasuk daftar
pustaka, adalah minimal 15 halaman dan maksimal 30 halaman, dengan spasi 1.15 dan jenis
huruf Times New Roman 11 point. Naskah disertai dengan abstrak sekitar 150 kata dan kata
kunci (keywords) maksimal tiga kata. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa: bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, diletakkan setelah judul naskah dan afiliasi penulis.
Gaya penulisan kutipan hendaknya mengikuti format APA (American Psychological
Association) versi 6 (petunjuk dasar mengenai cara menulis kutipan menurut format APA dapat
dipelajari pada tautan berikut ini: https://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/02/). Untuk
kutipan pendek, yaitu kurang dari 40 kata, hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis. Kutipan
pendek langsung diawali dan diakhiri dengan tanda petik; kutipan pendek tidak langsung tidak perlu
menggunakan tanda petik. Untuk kutipan panjang, yaitu lebih dari 40 kata, kutipan diawali di baris
baru dengan indent ½ inch dari margin kiri, yaitu dalam tempat yang sama pada paragraf baru.
Margin kiri seluruh kutipan mengikuti margin kiri pada awal kutipan. Margin kanan kutipan sama
dengan margin kanan paragraf yang lain. Spasi dan ukuran tulisan kutipan tidak berubah. Setiap
kutipan harus disertai dengan sumber kutipan berupa nama belakang penulis dan tahun penerbitan,
misalnya (Radford, 1997). Untuk kutipan langsung—baik panjang maupun pendek—sumber kutipan
juga harus dilengkapi dengan keterangan nomor halaman, misalnya (Radford, 1997, p. 215). Catatan
ditulis pada akhir naskah (endnote), tidak pada bagian bawah halaman (footnote).
Setiap sumber kutipan, baik artikel maupun buku tanpa dipilah-pilah jenisnya,
diurutkan menurut abjad berdasarkan nama akhir, tanpa diberi nomor urut. Sesuai dengan format
APA 6, daftar sumber kutipan ditulis sebagai berikut:
 Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5) kurung buka, (6)
tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul buku cetak miring, (10) titik, (11) kota
penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik, seperti pada contoh
berikut:
Levinson, S.C. (2003). Space in language and cognition. Cambridge: Cambridge University
Press.
Malt, B., & Wolff, P. (2010). Words and the mind. Oxford,UK: Oxford University Press.
 Untuk artikel dalam jurnal: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5)
kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) judul artikel, (10) titik, (11)
nama jurnal cetak miring, (10) koma, (11) volume cetak miring, (12) nomor issue dalam kurung
cetak tegak (kalau ada), (13) halaman, dan (14) titik, seperti pada contoh berikut:
Gentner, D., & Christie, S. (2010). Mutual bootstrapping between language and analogical
processing. Language and Cognition, 2(2), 261–283.
Li, P., & Gleitman, L. (2002). Turning the tables: Language and spatial reasoning. Cognition,
83(3), 265–294.
 Untuk artikel dalam buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama pertama, (4) titik, (5)
kurung buka, (6) tahun penerbitan, (7) kurung tutup, (8) titik, (9) berilah kata “Dalam” untuk
artikel dalam Bahasa Indonesia atau “In” (untuk artikel dalam Bahasa Inggris), (10) inisial
nama pertama editor, (11) titik, (12) nama akhir editor disusul (ed.), atau (eds.) jika lebih dari
satu, (13) koma, (14) judul buku cetak miring, (15) kurung buka, (16) halaman, (17) kurung
tutup, (10) titik, (11) kota penerbitan, (12) titik dua (colon), (13) nama penerbit, dan (14) titik,
seperti pada contoh berikut:
Dryer, M.S. (2007). Noun phrase structure. Dalam T. Shopen (ed.), Complex Constructions,
Language Typology and Syntactic Description (II) (hlm. 151–205). Cambridge: Cambridge
University Press.
Gleitman, L., & Papafragou, A. (2005). Language and thought. Dalam K.J. Holyoak, & R.G.
Morrison (Eds.), Cambridge handbook of thinking and reasoning (hlm. 117-142). Cambridge:
Cambridge University Press.
 Jika ada lebih dari satu artikel oleh pengarang yang sama, nama pengarangnya ditulis ulang,
dimulai dengan tahun terbitan yang lebih dulu, mengikuti contoh ini:
Swain, M. (1985). Communicative competence: Some roles of comprehensible input and
comprehensible output in its development. In S.M. Gass, & C.G. Madden (eds.), Input in
second language acquisition (pp. 235–253). Cambridge, MA: Newbury House.
Swain, M. (2000). The output hypothesis and beyond: Mediating acquisition through
collaborative dialogue. In J.P. Lantold (ed.), Sociocultural theory and second language
learning (pp. 97–114). Oxford, England: Oxford University Press.
Daftar Isi
Personal Pronouns of Dhao in Eastern Indonesia
Jermy I. Balukh ................................................................................. 101
”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks Agama
Hara Mayuko..................................................................................... 121
Javanese and Problems in the Analysis of Adversative Passive
Ika Nurhayani.................................................................................... 135
Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui Membaca
Pemahaman Mahasiswa
Pranowo, Antonius Herujiyanto ....................................................... 153
Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia:
Kajian Akronim, Blending, dan Kliping
M. Zaim ............................................................................................. 173
Resensi:
Christopher Joseph Jenks
Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation of
Communication Data
Diresensi oleh Agustian Sutrisno ............................................................... 193
Jelajah Linguistik:
Pengelolaan Data Digital dalam Rangkaian Metodologi Penelitian
Linguistik
Faizah Sari ................................................................................................. 197
Bincang antara Kita dari Dunia Maya:
Apa Arti “Free Test” ........................................................................ 201
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 101-120
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
PERSONAL PRONOUNS OF DHAO IN EASTERN INDONESIA1
Jermy I. Balukh*
Leiden University Centre for Linguistics, STIBA Cakrawala Nusantara
[email protected]
Abstract
This paper describes the properties of personal pronouns in Dhao, a language spoken by
about 3000 people mainly on the island of Ndao in East Nusa Tenggara (NTT). Dhao is
genetically classified into Sumba-Hawu subgroup of Central Malayo-Polynesian (CMP)
branch of Austronesian languages. The focus of this paper is to describe the pronominal
system of Dhao, highlighting different types of pronouns and their syntactic distribution.
Dhao has three sets of morphologically independent personal pronouns and one set of
bound form (affixes). The three sets can occur as independent clausal arguments, except
for the clitics nga ‘1PL-ex’ and two variants of 3SG clitics which differ in syntactic
distribution. As for the bound forms, the affixes are cross-referenced with NPs or full
pronouns in subject positions. Personal pronouns also co-occur with other constituents
as identifying expressions.
Keywords: personal pronoun, clitics, argument, Dhao
Abstrak
Makalah ini membahas properti pronomina persona dalam Bahasa Dhao, sebuah bahasa
yang digunakan oleh sekitar 3000 orang terutama di Pulau Ndao, Nusa Tenggara Timur
(NTT). Secara genetis, Dhao diklasifikasikan ke dalam kelompok Sumba-Hawu dari subrumpun Central Malayo Polynesian, Austronesia. Fokus makalah ini adalah untuk
mendeskripsikan sistem pronomina bahasa Dhao dengan menyoroti tipe-tipe pronomina
yang berbeda dan distribusi sintaksisnya. Bahasa Dhao memiliki tiga perangkat morfem
mandiri dan satu perangkat bentuk terikat (afiks). Ketiga perangkat morfem mandiri
dapat menempati argumen klausa secara independen, kecuali klitika nga ‘1PL-ex’ dan
dua varian klitika 3SG yang berbeda dalam hal distribusi sintaksis. Adapun bentuk
terikat afiks merujuk-silang dengan frasa nomina atau pronomina bebas pada posisi
subjek. Pronomina persona juga hadir bersama konstituen lain sebagai pengidentifikasi.
Kata kunci: pronomina persona, klitika, argumen, Dhao
INTRODUCTION2
Dhao is a language spoken by about 3000 people, mainly in Ndao, a tiny island west of Rote in
East Nusa Tenggara Province (NTT). Due to migration throughout the province, a few Dhao
speakers also live on the islands of Rote, Timor, and Flores. Dhao belongs to the Central
Malayo-Polynesian (CMP) branch of Austronesian languages which is genetically subclassified
into the Sumba-Hawu group, and thus is similar to languages spoken on the islands of Sumba
and Sawu (Blust, 2008, 2009, 2013; Donohue & Grimes, 2008). While Dhao is genetically
similar to Hawu (spoken in Sawu), it has no direct contact with Hawu. Instead, it is in contact
with Rote because of its geographic proximity and because Dhao falls under the same
administration as Rote (Balukh, 2013). Dhao is also said to have been influenced for a long time
by Rote due to socio-cultural contact (Fox, 1987).
Jermy I. Balukh
Dhao was previously considered a dialect of Hawu by Jonker (1903). More recently,
Walker (1982) and Grimes (2010) have argued that Dhao is a separate language from Hawu,
though they show many lexical and phonological similarities. One salient difference between
the two languages is that, in Hawu, the basic word order is VS(O), while Dhao has SV(O) word
order. Another important difference between these languages is that Dhao has a more complex
pronominal system than Hawu. Hawu only has full personal pronouns, while Dhao has full and
reduced pronouns, as well as clitics pronouns and affixes. Dhao’s full pronouns are similar to
those found in Hawu, but the clitics and affixes are similar to those found in the neighboring
language of Rote, and some other languages in the Timor area. These linguistic observations
have led Balukh (2013) to support Fox’s (1987) anthropological claim that Dhao is intermediate
between Sawu and Rote.
This paper examines the morphosyntactic behaviour of personal pronouns of Dhao and
their use in argument positions. Other related points, such as the phonological constraints on the
pronouns and other constituents appearing as identifying expressions, are also discussed in brief
to support the proposed analysis. Before describing personal pronouns, it is important to briefly
introduce the basic clause structure and the distribution of the noun phrase (NP) in Dhao. Oneplace predicates can be either verbal or non-verbal and they have the order subject–predicate
(SP). Moreover, two-place predicates are always verbal and have fixed subject-predicate-object
(SPO) order. As illustrated in (1) and (2) below, the changes in word order are not possible.
(1) nèngu pa-kajape
èsu ana ne'e
3SG CAUS-to.hang navel child PROX.SG
‘She hangs the umbilical cord of the baby’
(2) ?èsu ana ne'e
pa-kajape
navel child PROX.SG CAUS-to.hang
‘The navel of the baby hangs her’
(NP VP NP)
nèngu (NP VP NP)
3SG
In argument position, NPs can be modified by demonstratives (such as èèna ‘DIST.SG’
and ne’e ‘PROX.SG’), numerals or quantifiers, and can occur in prepositional phrases. As
mentioned above, Dhao employs non-verbal predicates, such as the nominal predicate dhèu
dedha liru ‘a person living on the sky’ as in example (3). Therefore, NPs and VPs can only be
syntactically distinguished by their position in a sentence. For instance, the word lii ‘to say’ in
example (4) is a noun and is the head of the object NP lii èèna ‘that voice’ but it is a verb in
example (5) as it describes an action lii ‘to say’ that takes arguments.
(3) ina
nèngu dhèu dedha liru
mother 3SG person above sky
‘His mother is a person living on the sky’
(4) ja’a tadèngi lii
èèna
1SG hear
voice DIST.SG
‘I heard that voice’
(5) nèngu lii
boe dènge ina
=na
3SG to.say not with mother 3SG
‘He does not say (anything) to his mother’
102
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
The discussion of personal pronouns of Dhao in this paper is organized as follows. The
next section presents pronominal paradigms followed by the discussion on the distribution of
pronouns in argument positions and other syntactic functions. This paper closes off with a
summary and a conclusion.
PERSONAL PRONOUN PARADIGMS
Dhao has four sets of personal pronouns; three of which are morphologically independent (full
pronouns, reduced pronouns and clitic pronouns), while one is bound (affixes). These affixes are
in turn considered cross-reference affixes. All full forms are bisyllabic, except ‘2SG’, and have
monosyllabic counterparts that are labeled here as reduced forms. Clitic pronouns are
monosyllabic. The paradigms for these pronouns are shown in Table 1 below.
Table 1. Dhao Personal Pronoun Paradigms
Affixes
Pron.
Full
Reduced Clitics
Pref. Suf.
ja’a
ja
ku
kU-ku
1SG
3
4
1PL-ex ji’i
ji
(nga)
ngA - -’a
First
1PL-in èdhi
(ti)
ti
tA-ti
2SG
èu
mu
mU-mu
Second
2PL
miu
(mi)
mi
mI-mi
3SG
nèngu nu
na / ne nA-’e
Third
3PL
rèngu ru
ra
rA-si
The table shows that the pronouns are distinguished into two categories: person and
number. Dhao has first, second, and third persons, and singular and plural number. The plural
form for first person is distinguished between exclusive and inclusive. Gender and case are not
distinguished in Dhao. The reduced forms occur only in rapid speech. Pronouns are amongst the
most frequently used words in many languages, making them particularly susceptible to
phonological reduction (Dixon, 2010a:192). There are two types of phonological reduction. In
the first type, the initial syllable remains, while the final syllable is reduced: this applies to
‘1SG’, ‘1PL-ex’, and ‘2PL’. In the second type, the tonic sounds are reduced: this applies to
‘1PL-in’, ‘3SG’, and ‘3PL’. The sound orthographically symbolized as è is a schwa /ə/ that, in
Dhao phonology, lacks syllable weight, i.e. it neither occupies the syllable nucleus nor the root
final position, although Dhao exhibits an open syllabic system in word. Whenever the schwa /ə/
occurs, the following consonant is geminated, for instance èna [ən:a] ‘six’ and kètu [kət:u]
‘head’. In root final position, it is always followed by high vowels, /i/ and /u/, for example bèi
[bəi] ‘grandmother’ and rèu [rəu] ‘leaf’.
The table also shows that there is a clear phonological relationship between full
pronouns and their reduced pronoun counterparts. Clitic pronouns and their corresponding
affixes5 also exhibit very similar phonological forms. However, clitic pronouns and affixes are
clearly different from full/reduced pronouns, suggesting that they are not derived from the same
source historically. One explanation for this is that Dhao borrowed the clitic forms from
neighboring languages through contact. Jonker (1903) claims that the clitics are historically
borrowed from Rote.
103
Jermy I. Balukh
Syntactically, clitics and affixes behave differently. While clitics can be true arguments,
like full pronouns, affixes can only be referential elements. Therefore, instead of pronominal
affixes, I use the term “cross-reference affixes.”
PRONOUNS AND ARGUMENT POSITION
Personal pronouns in Dhao can substitute full NPs as clausal arguments, either as subject (S),
object (O), or as the complement of a preposition. The following subsections provide a
discussion of full pronouns and their distribution in argument positions.
Full Pronouns as S of Intransitive Predicates
Intransitive constructions in Dhao can take verbal and non-verbal predicates which have only
one core argument. With such predicates, additional arguments are marked, for example with a
preposition. The S argument of intransitive predicates may involve different semantic roles,
depending on the meaning or semantic properties of the verb; S may be an agent or patient.
Examples (6) through (8) below show that full pronouns can occur in the S argument position of
intransitive verbs. In (6) and (7) the semantic role of S is agent, while in (8), S is a patient. In (6)
an additional argument is marked with the preposition ngèti ‘from’, which is optional in the
clause.
(6) ja'a mai
(ngèti Sahu)
1SG come from Sawu
‘I came from Sawu’
(7) bèli
èèna
èdhi la-ti
tomorrow DIST.SG 1PL go-1PL
‘In the following day, we left’
(8) nèngu madhe
3SG die
‘S/he died’
The S argument in Dhao is canonically pre-verbal, but for a few verbs, which have a patient S
argument, it is possible for this argument to appear in post-verbal position. This is in line with
the clause structure for transitive constructions wherein O occurs in the post-verbal position.
One such example is presented in (9). The verb madhe ‘die’ is an intransitive verb that
syntactically requires a single patient core argument. In the case of this verb, and others like it,
we observe a split in the alignment properties of the verb, since the intransitive S argument
looks like a transitive O argument in terms of syntactic position (cf. Dixon, 2010a:140).
(9) madhe ja'a, bèi
e
die
1SG grandmother PRT
‘I would be in difficulty, grandmother’ (Lit: I die, grandmother)
As already mentioned, Dhao allows non-verbal predicates. The non-verbal predicates in
Dhao express attributes, location, and existence, and, in terms of syntactic category, can be
headed by a noun, adjective, adverb, numeral, or preposition (Payne, 1997:111-125). The S
argument for intransitive non-verbal predicates must come before the predicate. The non-verbal
subject and predicate are juxtaposed because Dhao does not have any specific marker to link
104
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
them. Examples (10) through (12) are non-verbal predicates which occur with a full pronoun as
S arguments.
(10) rèngu [dhèu Lodho]NP
3PL
person Lodho
‘They are people of Lodho clan’
(11) nèngu [ètu suu haa]PP
3SG LOC tip west
‘S/he is at the west side’
(12) nèngu [kapai]Adj
3SG big
‘S/he is big’
Full Pronouns as Arguments of Transitive Predicates
In Dhao, transitive verbs can appear as ‘single’ or serial verbs. The arguments of transitive
verbs have fixed positions: S is pre-verbal and O is post-verbal. The examples in (13) and (14)
present full pronouns as S and NPs as O. In (15), full pronouns function as O and NPs as S.
Pronouns in both S and O positions are shown in example (16).
(13) ja'a puu hua
1SG pick fruit
‘I picked the fruit’
(14) èdhi t-inu
èi
di
mèra
1PL 1PL-drink water only just
‘We only drink water’
(15) busa n-a'a
aa'i èu
dog 3SG-eat all
2SG
‘The dog kills you’ (Lit: the dog eats the whole of your body)
(16) èu
pa-madhe
2SG CAUS-die
‘You kill me’
ja'a
1SG
Transitive constructions consisting of serial verbs are presented in (17) and (18). Serial
verbs in Dhao include two verbs that occupy one functional slot in a clause (Aikhenvald,
2006:4). In (17), both verbs ngee ‘think’ and -èdhi ‘see’ are intransitive. Example (18) involves
the intransitive verb la- ‘go’ and the transitive verb karèi ‘ask’. In both cases, the serial verb
requires two arguments, S and O. The prefix k- is attached to the verb –èdhi ‘see’ as in (17). In
(18), the suffix –si is attached to the verb la- ‘go’. These affixes are co-indexed with the full
pronouns in the subject position.
èci ka
ne'e
(17) ja’ai ngee ki-èdhi sa-saba
1SG think 1SG-see DUP-work one PRT PROX.SG
‘I remember I work here’
105
Jermy I. Balukh
(18) rèngui la-sii karèi ana bhèni dhèu dua dara dhasi
3PL
go-3PL ask child girl person two inside sea
‘They proposed to two girls from sea’
In ditransitive constructions, both objects can appear as bare NPs. As shown in (19), the
full pronoun ja’a ‘1SG’ functions as the direct object of the verb hia ‘give’ and is immediately
followed by the indirect object. In (19), the verb hia ‘give’ is immediately followed by the
indirect object NP doi ca nguru riho ‘ten thousand rupiahs’. The full pronoun ja’a ‘1SG’ occurs
in a peripheral position, marked by the preposition asa ‘to’.
(19) a. Rini hia ja'a doi
ca nguru riho
Rini give 1SG money a ten
thousand
‘Rini gives me ten thousand’
b. Rini hia doi
ca nguru riho
asa ja'a
Rini give money a ten
thousand to 1SG
‘Rini gives ten thousand for me’
Reduced Pronouns
Unlike full pronouns, reduced pronouns are only found in non sentence-final positions. As
shown in (20) and (21), the reduced pronouns occur in sentence initial position as a subject. The
reduced forms like ja ‘1SG’ in (20) and nu ‘3SG’ in (21) cannot occur as O arguments in
sentence final position. However, the reduced pronoun nu ‘3SG’ does occur as an O argument
in non-final position, as shown in (22).
(20) a. ja lolo dua bèla
1SG roll two sheet
‘I roll two sheets of yarn’
b. èu
ne’e
aka
2SG PROX.SG
trick
‘You fooled me’
ja'a/*ja
1SG
(21) a. nu ètu suu haa
3SG prep tip west
‘She was at the west part’
b. èu
ne’e
aka nèngu / *nu
2SG PROX.SG trick 3SG
‘You fooled him’
(22) anai [dhu bantu nu] sèrai
kako hari la-sii
child REL help 3SG DIST.PL walk again go-3PL
‘The children who helped him already left’
Clitic Pronouns
Like reduced pronouns, all clitic pronouns cannot occur in sentence final positions. With the
exception of ‘1PL.ex’ and ‘3SG’, they can replace their corresponding full pronouns in any
other argument position. As shown in (23), the clitic ra ‘3PL’ appears in S position, the same as
its full pronoun counterpart rèngu ‘3PL’. Likewise, in (24) and (25), the S argument positions
106
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
are filled with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ and its clitic counterpart ti respectively. In O
position, clitics are restricted to non-final positions. Therefore, the clitic ra ‘3PL’ is acceptable
in (26a), but not in (26b). The full pronouns are preferred in final position.
(23) a. rèngu mai heka
3PL
come no.more
‘They did not come anymore’
b. ra
mai heka
3PL
come no.more
‘They did not come anymore’
(24) èdhi tao rèu sabha
1PL.in make leaf water.container
‘We took palm leaves’
(25) ti= abhu doi
dhari ho
hèli èi
mènyi rai
1PL get
money rope so.that buy water oil
land
‘We can make some money to buy some kerosene or …’
do…
or
(26) a. ja’a pa-kajape
=ra ètu kolo aj’u
1SG CAUS-hook 3PL LOC top tree
‘I hook them on the tree’
b. ja’a pa-kajape
*=ra/rèngu
1SG CAUS-hook 3PL
‘I hook them’
The two forms of the clitic ‘3SG’ have distinct syntactic functions. The variant na
preferably occurs in S position, while ne can only occur in O position. As illustrated in (27), it is
the clitics na ‘3SG’, not ne, that is acceptable in S position. While only ne is acceptable as O in
(28a), either na or ne is acceptable in (28b).
(27) na/*ne= puu
hua
3SG
pick
fruit
‘He is picking fruit’
(28) a. ja’a game =ne/*na
1SG hit
3SG
‘I hit him/her’
b. ja’a game na/ne pake hadhu
1SG hit
3SG use stone
‘I hit him using stone’
Walker (1982) and Grimes (2010, 2012) list nga ‘1PL.ex’ in the pronoun inventory of
Dhao, but they did not demonstrate any supporting examples. In my data, it did not occur as an
independent pronoun. Example (29) illustrates the use of the full pronoun ji'i ‘1PL.ex’ in S
position. Walker’s and Grimes’ pronoun inventory suggests that the clitic counterpart nga fills
the same position in (29), yet it is ill-formed. Similarly, in (30), while it is grammatical for the
clitic ra ‘3PL’ to occupy an S position, it is not for the clitic ‘nga ‘1PL.ex’. As such, the clitic
nga does not appear to exist in Dhao.
107
Jermy I. Balukh
(29) a. ji’i
heka tutu kadèna ka èèna
1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG
‘We just cut the fire wood’
b. *nga heka tutu kadèna ka èèna
1PL.ex just cut firewood PRT DIST.SG
c. dhèu aae èèna
piara
ji'i /*nga
person big DIST.SG look.after(IND) 1PL.ex
‘The king took care of us’
(30) a. ra la-si
3PL go-3PL
‘They go’
b. *nga
la-’a
1PL-ex go-1PL.ex
‘We go’
Cross-reference Affixes
In the case of inflection, Dhao has eight vowel initial verbs that obligatorily take prefixes. Only
one verb, which is la- ‘go’, takes suffixes. The affixes in turn “agree” with S arguments. They
are called cross-reference affixes here because the affix and the verb already constitute a
complete clause. Furthermore, the dependent NP requires the affix on the verbal head, whereas
the head and the marker can occur without the dependent NP (Bloomfield, 1933:193;
Haspelmath, 2013). This phenomenon is not unique in Dhao, since the languages in the
neighboring areas also have similar phenomena, such as Kambera in Sumba (Klamer, 1998),
Rote (Balukh, 2005), and Tetun (Van Klinken, 1999). The eight vowel initial verbs that require
prefixes are listed in Table 2 below.
Table 2. Dhao Verb Inflection with Prefixes
-a’a
-are
-e’a
-èdhi
-èti
-o’o
Pron. Pref.
‘eat’ ‘take’ ‘know’ ‘see’ ‘bring’ ‘want’
1SG
kUku’a
kore
ke’a
kèdhi
kèti
ko’o
2SG
mU- mu’a more me’a
mèdhi mèti
mo’o
3SG
nAna’a nare
ne’a
nèdhi nèti
no’o
1PL-in tAta’a
tare
te’a
tèdhi
tèti
to’o
1PL-ex ngA- nga’a ngare nge’a
ngèdhi ngèti
ngo’o
2PL
mImi’a mere me’a
mèdhi mèti
mo’o
3PL
rAra’a
rare
re’a
rèdhi
rèti
ro’o
-inu
‘drink’
kinu
minu
ninu
tinu
nginu
minu
rinu
-èd’u
‘hold’
kèd’u
mèd’u
nèd’u
tèd’u
ngèd’u
mèd’u
rèd’u
As shown in Table 2, there are two types of inflected verbs. The first type is labeled as irregular
that includes the verbs –a’a ‘eat’ and –are ‘take’. The second type is regular and includes the
other six verbs. In the case of the irregular inflected verbs, the vowel within the prefix
assimilates with the initial vowel of the verb root. In contrast, in the regular verbs, the vowel in
the prefix is deleted, only the consonant is retained.
The illustrations of the cross-references are given in (31) and (32). As illustrated in (31),
the same verb root -a’a ‘eat’ takes different prefixes -- k- and r- respectively – according to the
S argument with which they are co-indexed. Another evidence is given in (32). With a control
108
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
verb neo ‘want’, the prefix k- is also co-indexed with the full pronoun ja’a ‘1SG’ in the matrix
clause. It indicates that both clauses share the same subject, that is ja’a ‘1SG’.
tarae-sina
(31) a. ja'ai ki-u'a
1SG 1SG-eat corn
‘I eat corn’
b. rèngui ri-a'a
tarae-sina
3PL
3PL-eat corn
‘They eat corn’
(32) ja'ai neo ki-u'a
katuka
1SG want 1SG.eat rice.cake
‘I wanted to eat the rice cakes’
se’e
PROX.PL
When the full NP or pronoun has been made clear in the previous discourse or clause, it
is absent in S position. A construction as such is judged grammatical, since the prefix itself on
the verb already provides information about the subject referent. As shown in (33), the prefix nsignals that the S argument must be a 3SG referent. Likewise, in (34), the prefix r- gives
information that the S argument must be a 3PL referent.
(33) n-o'o
boe bhèni
aae èèna
conge
3SG-want NEG woman big DIST.SG
open
‘(S/he) didn’t want the queen to open the door’
èmu
house
(34) r-inu
sèna ka
ana madha baku
sakaa
3PL-drink so.that PRT child eye
NEG.PROH. sleepy
‘(They) drink in order not to be sleepy’
As mentioned previously, cross-reference suffixes are applied only to one verb, that is
la- ‘go’.6 The paradigm is shown in Table 3 below.
Table 3. Dhao Inflectional Suffix
Pronoun
Suffix
la- ‘go’
1SG
-ku
la-ku
2SG
-mu
la-mu
3SG
-’e
la-’e
1PL-in
-ti
la-ti
1PL-ex
-’a
la-’a
2PL
-mi
la-mi
3PL
-si
la-si
The suffix “agrees” with the subject of the verb. It is proven by the fact the suffix is co-indexed
with both full pronoun and full NP appearing as the clausal subject before the inflected verb. In
(35), for example, the suffix –ku is attached to the verb la- ‘go’ and it is co-indexed with the full
pronoun ja’a ‘1SG’. Another example is also shown in (36) with the suffix –ti which is coreferential with the full pronoun èdhi ‘1PL.in’ in clause-initial position. The imperative sentence
in (37) and prohibitive sentence in (38) demonstrate that the co-referential NPs or full pronouns
are absent. The suffixes themselves are already enough to indicate the subject referents. The
subject of imperative sentences is in general unexpressed (Aikhenvald, 2010:145). However, in
109
Jermy I. Balukh
this regard the information of the subject is made available by the suffixes and therefore, the
person and number of the subject are obviously seen by the presence of the suffixes. Example
(39) contains subordinate clauses where the suffix –ku represents the subject of the subordinate
clause and it is indexed to the subject of the matrix clause, which is the full pronoun ja’a ‘1SG’.
(35) ja'ai la-kui èmu, aku
nèngu
1SG go-1SG house according.to 3SG
‘He said, 'I went home'’
(36) èdhii la-tii
dhasi
1PL.in go-1PL.in sea
‘We went to the beach’
(37) la-mi pare
ku a'ju
go-2PL slaughter tag wood
‘Please (you all) go to cut the wood’
(38) baku
la-ti
ku
PROH.NEG go-1PL.in tag
‘Please don't go’
babha
(39) ja'ai neo la-kui
1SG want go-1SG gong
‘I wanted to play gong’
The clitics are in complementary distribution with full pronouns in that either one of
them appears as the subject referent. The affixes are obligatory elements in this case. As
illustrated in (40), either a clitic or full pronoun occurs as the S argument of the clauses and
therefore (40) is not acceptable. Another example is given in (41) where the suffix is obligatory
and S argument is denoted by either a full pronoun or a clitic, not both.
(40) a. ra= r-èti
dènge babha
3PL 3PL-bring with gong
‘They brought gongs’
b. rèngu r-èti
dènge babha
3pl
3pl.bring with gong
‘They brought gongs’
c. *rèngu ra= r-èti
dènge
3PL
3PL 3PL.bring
with
babha
gong
(41) a. mai èdhi/ti la-ti
pèci
eele asa dara dhasi
come 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea
‘Let us go to throw (something) into the sea’
b. *mai èdhi ti
la-ti
pèci
eele asa dara dhasi
come 1PL.in 1PL.in go-1PL.in throw PRT to inside sea
‘Let us go to throw (something) into the sea’
110
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Prepositional Complements
Dhao allows only full pronouns to occur as complements of prepositions. Clitics never occur in
this position. As complements, pronouns appear after prepositions. The prepositions that permit
personal pronouns are presented in (42) below.
(42) Prepositions
ètu
‘LOC’
mi
‘unto’
ma
‘toward’
ngèti
‘from’
asa
‘to’
dènge
‘with’
sèmi
‘as, like’
As illustrated in (43), the full pronoun èu ‘2SG’ follows the locative preposition ètu ‘LOC’. The
same full pronoun is replaced by the corresponding clitics mu in (43), but it becomes
ungrammatical. The same is also true when the pronouns follow the prepositions mi and ma in
(44) and (45). These examples give evidence that prepositions require full pronouns only.
(43) a. ja'a lèka
mèdha èèna
1SG believe goods DIS.TSG
‘I entrust this thing to you’
b. *ja'a lèka
mèdha èèna
1SG believe goods DIS.TSG
‘I entrust this thing to you’
ètu èu
LOC 2SG
ètu mu
LOC 2SG
(44) da-dui
ne’e
ja'a kahero mi
èu/*mu
DUP-carry PROX.SG 1SG strike unto 2SG
‘This stick I hit unto you’
(45) èu
neo ngaa dhu ja'a tao ma
èu/*mu
2SG want what REL 1SG make toward 2SG
‘You want what I am doing toward you’
Personal Pronouns as Possessors
This section does not discuss in detail the types of possessive construction attested in Dhao,7 but
rather focuses on the position of personal pronouns in possessive constructions within an NP.
Possessive constructions that countain a pronoun in Dhao can be expressed through NP
structures in which the possessor is a pronoun or clitic pronoun. The possessor occurs to the
right of the possessed NP. There is no dedicated possessive marker. This construction is an NPinternal possessive construction (Dixon, 2010a). There is no distinction between alienable and
inalienable possession in this case.8 In such a construction, the reduced pronouns are rarely
used, unless they are in non-sentence final positions. A typical possessive construction that
countains a full NP is given in (46). In this example, the first noun ngara ‘name’ is the
possessum and the second noun rai ‘land’ is the possessor. There is no marker at all. While all
full pronouns can be possessors in any position, most clitics occur only in subject position.
Examples (47a) and (47b) show full clitic pronouns as possessors in subject position. As
111
Jermy I. Balukh
illustrated in (48b), only 3SG clitic can occur as a possessor within the NP in object position.
There must be a pragmatic reason for this, which is beyond the scope of the present paper.
(46) [ngara rai] dhu miu pea ne'e…
name land REL 2PL stay PROX.SG
‘The name of the place where you are living …’
(47) a. [ma-muri ji'i]
dhoka hua
DUP-live 1PL.ex only fruit
‘Our life only depends on fruits’
b. [ma-muri ku] dhoka hua a'ju
DUP-live 1SG only fruit wood
‘My life only depends on fruits’
a'ju di
wood only
di
only
(48) a. ja’a pua
nèngu dame dara [èmu ja’a/*ku/*ti]
1SG ask
3SG paint inside house 1SG/1PL.in/
‘I asked him to paint the inside part of my house’
b. ja’a pua
nèngu dame dara [èmu na]
1SG ask
3SG paint inside house 3SG
‘I asked him to paint the inside part of his house’
In cases where the possessum is clear from the previous discourse, it can be substituted
by unu ‘own’. Within this type of NP, clitic possessors are possible. For example, (49a) explains
a situation where a group of people went fishing and brought back all the fish that they caught,
leaving nothing behind for others. The unexpressed ‘fish’ is interpreted as the possession, which
is, since it is clear from previous discourse, substituted by the word unu ‘own’. It is seen in
(49b) that the possessum i’a ‘fish’ is in the same position as unu ‘own’ and it is acceptable. The
co-occurrence of the possessum i’a ‘fish’ and unu ‘own’ as in (49c) violates the construction.
(49) a. dhèu
se'e
r-are
aa'i [unu =ra] ka...
person PROX.PL 3PL-take all own 3PL PRT
‘The people brought all (the fish) that they had, then…’
b. dhèu
se'e
r-are
aa'i [i’a =ra] ka...
person PROX.PL 3PL-take all
fish 3PL PRT
‘The people brought all the fish that they had, then…’
c. *dhèu se'e
r-are
aa'i [i’a unu =ra] ka...
person PROX.PL 3PL-take all
fish own 3PL PRT
PRONOUNS AND OTHER CONSTITUENTS
Pronouns with Demonstratives
Like full NPs, full pronouns in Dhao are allowed to take demonstratives as modifiers. These
demonstratives in turn are used by the speaker for evaluating or appraising oneself. The
demonstratives follow the full pronouns, both in S and O positions. Other sets of personal
pronouns cannot take modifiers. It is cross-linguistically common that the modification of
pronouns exhibits a constraint on space and number (cf. Bhat, 2004:37–57; Dixon, 2010:198–
223). Thus, the pronoun ja’a ‘1SG’ and èu ‘2SG’ can only be modified by the proximal singular
demonstrative ne’e ‘PROX.SG’, whereas nèngu ‘3SG’ can take all singular demonstratives. For
112
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
plural pronouns, only rèngu ‘3PL’ can be modified by any plural demonstrative, while the other
three pronouns, ji’i ‘1PL.ex’, èdhi ‘1PL.in’ and miu ‘2PL’ can only be modified by the proximal
plural se’e ‘PROX.PL’. As illustrated in (50), the second singular pronoun is modified by
proximal singular demonstrative; while, in (51) and (52), the third singular pronoun can be
modified by both proximal and remote singular demonstratives. Furthermore, the first plural
pronoun in (53) takes a proximal demonstrative, whereas the third plural pronoun in (54) takes a
remote demonstrative.
(50) [èu ne’e]
pa-j'èra
ja'a sèmi ngaa
2SG PROX.SG CAUS-suffer 1SG like what
‘You make me in a big trouble’
(51) nèngu ne’e
dhèu hiu ètu
ne'e
3SG
PROX.SG person new LOC PROX.SG
‘S/He is a new comer here’
(52) ja’a pa-èi
[nèngu nèi]
1SG CAUS-water 3SG REM.SG
‘I soldered it’
(53) [èdhi
se’e]
dhèu
a'a
ari
1PL.in PROX.PL person older.sibling younger.sibling
‘We are brothers and sisters’
(54) [rèngu sèi]
dhèu limuri
3PL
REM.PL person latest
‘They are young people’
Unlike full pronouns, clitics cannot take demonstratives as modifiers. As shown in
(55a), the full pronoun nèngu ‘3SG’ is modified by the demonstrative ne’e ‘PROX.SG’. If the
full pronoun is replaced with the clitic na ‘’3SG’, as in (55b), the sentence is judged
ungrammatical. The sentence is grammatical only if the clitic na ‘3SG’ is not modified by ne’e,
as shown in (55c). One possible explanation for this condition is that clitics are prosodically
dependent elements (cf. Dixon, 2010:20-27). Further research is required to verify this
assumption, which is beyond the scope of this paper.
(55) a. nèngu ne’e
ka dhu mai
meda
èèna
3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG
‘He was the one who came yesterday’
b. *na= ne’e
ka
dhu mai meda
èèna
3SG PROX.SG PRT REL come yesterday DIST.SG
c. na= ca’e hari asa kolo ana aj’u
3SG climb again to top child wood
‘He climbs again to the top of the tree’
Pronouns with Numerals/Quantifiers
In Dhao, pronouns can co-occur with numerals and quantifiers. Numerals are used to specify the
exact number of referents that pronouns have left unspecified. Only plural pronouns take
numerals. They do not directly modify pronouns, but rather provide additional information with
113
Jermy I. Balukh
regard to the identity of their referents. The pronoun-numeral construction must be interpreted
as referring to a selection of the persons that belong to a particular group, instead of referring to
the whole group (Bhat, 2004:55). Meanwhile, quantifiers are used to refer to the whole group.
Example (56a) shows a typical noun phrase where the noun dhèu ‘person’ functions as the head
and is modified by the numeral dua ‘two’ followed by the plural demonstrative se’e
‘PROX.PL’. When the noun head is absent, the numeral becomes the head, indicating the
number of referents, leaving the type of referent (animate or inanimate) unspecified, as in (56b).
In (56c), deleting the numeral makes the number of the referent unspecified. With numeral, the
relevant demonstrative (either singular or plural) is obligatory, otherwise the construction is
ungrammatical, as in (56d).
(56) a. dhèu dua se’e
ètu èmu
person two PROX.PL LOC house
‘These two people are in the house’
b. dua se’e
ètu èmu
two PROX.PL LOC house
‘These two (people) are in the house’
c. dhèu
se’e
ètu èmu
person PROX.PL LOC house
‘These two (people) are in the house’
d. *dhèu dua ètu èmu
person two LOC house
‘These two (people) are in the house’
When numerals co-occur with pronouns, the clitic version of the pronoun is obligatorily
present. The clitic is a necessary extra nominal modifier in this specific construction with no
independent semantic contribution. In pronoun-numeral constructions, only the third plural
person rèngu ‘3PL’ is acceptable with both the relevant demonstrative, resembling a full NP
construction, as in (56) above, and the clitic counterpart. For instance, (57a) shows that the clitic
ra ‘3PL’ appears after the numeral dua ‘two’, whereas (57b) applies a plural demonstrative sèi
‘REM.PL’ in the same position as the clitic. The full pronoun rèngu ‘3PL’ can be deleted, as
indicated between brackets, without affecting the meaning of the subject referent. Either a clitic
or a demonstrative is obligatory, otherwise the construction is ungrammatical, as shown in
(57c).
(57) a. (rèngu) dua ra= pa-raga
3PL
two 3PL RECIP-meet
‘The two of them met?’
b. (rèngu) dua sèi
pa-raga
3PL
two REM.PL RECIP-meet
‘The two of them met?’
c. *rèngu dua pa-raga
3PL
two RECIP-meet
Other pronouns do not allow demonstratives in pronoun-numeral constructions, but
only the corresponding clitics. As demonstrated in (58a) , the full pronoun èdhi ‘1PL.in’
requires its corresponding clitic ti to follow the numeral dua ‘two’. When the proximal plural
114
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
demonstrative se’e in (58b) appears in the position of a clitic, the sentence is judged
ungrammatical. Another evidence comes from the pronoun-numeral construction in object
position as illustrated in (59) where only clitics applies, not demonstrative.
(58) a. (èdhi) dua ti=
t-a'a
1PL.in two 1PL.in 1PL.in-eat
‘We two of us eat (together)?’
b. *(èdhi) dua se’e
t-a'a
1PL.in two PROX.PL 1PL.in-eat
‘We two of us eat (together)?’
(59) rèngu pua èdhi
telu =ti/*se’e
3PL
ask 1PL.in three 1PL.in/PROX.PL
‘They asked three of us’
Contrastively, both the clitic and the demonstrative are acceptable when the identifying
element is a quantifier, aa’i ‘all’, as shown in (60). Like pronoun-numeral construction,
pronouns are optional in this construction. With the quantifier, only plural pronouns apply.
Since the clitic already provides information about the referent, the absence of pronouns does
not violate to the construction. Other quantifying expressions use ciki ‘a few’ and pèri ‘how
many’. They have a different grammatical constraint in that they require a human classifier dhèu
‘person’,9 as illustrated in (61) and (62) below.
(60) ja'a mengajak (èdhi) aa'i =ti/se’e
1SG urge(IND) 1PL.in all 1PL.in/PROX.SG
‘I am asking all of us’
(61) (ji’i)
dhèu ciki ood’e di dhu la-’a
1PL.ex person a.few INT only REL go-1PL.ex
‘Only a very few of us go’
(62) (ji’i) dhèu pèri
di
ètu èmu
1PL.ex person how,many only LOC house
‘Some of us are at home’
Pronouns with Relative Clauses
Like modifying NPs, relative clauses follow pronouns. The relative clauses in Dhao are marked
with dhu ‘REL’, as exemplified in (63) . Such a relative clause specifies the context of the
referent of the pronoun èu ‘2SG’, that is the one who does not want to be a king. Clitics never
take relative clauses, thus a clitic as exemplified in (64) is unacceptable. It is only acceptable
when clitics co-occur with a numeral, as shown in (65).
(63) èu
[dhu neo boe j'aj'i
dhèu
aae na]REL
mai kalua
2SG REL want not become person great COMPL come exit(IND)
asa li'u
mai
to outside come
‘You, who do not want to be a king, go out and come here’
115
Jermy I. Balukh
(64) rèngu/*ra dhu padhae lii
r-èdhi boe
3PL
REL speak
voice 3PL-see not
‘They who have not had conversation’
(65) ja'a ngee na
dua
ra dhu mahu
1SG think COMPL two
3PL REL drunk
‘I think that two of them are the drunk ones’
Pronouns with NPs
In situations in which the speakers intend to provide information regarding the identity of the
referents, they will use full NPs in addition to the personal pronouns. This construction is
employed by speakers to prevent contextual ambiguity in the situation in which, when the
speaker has an assumption that the addressee might not be able to identify the referent other
than the speaker him/herself (Bhat, 2004:45). In Dhao, third person pronouns require NPs to
precede them in a topical position, whereas other pronouns require NPs to follow them in an
appositional position. The third singular pronoun is illustrated in (66a) and (67), and the third
plural pronoun is given in (68). In those sentences the NPs and the full pronouns refer to the
same referent. The NP-pronoun order is fixed; therefore (66b) is unacceptable.
(66) a. [Pesa.Kèli] nèngu ètu talora
Pesa Kèli
3SG LOC middle
‘Pesa Kèli, he was in the middle part’
b. *nèngu [Pesa.Kèli] ètu talora
3SG Pesa Kèli LOC middle
(67) [oka ne’e]
nèngu kapai
garden PROX.SG 3SG big
‘This garden, it is big’
(68) [mone èci dènge bhèni èci] rèngu padhai lii
male one with female one 3PL
speak voice
‘A man and a woman, they are talking’
Two examples of other pronouns are exemplified as follows. In (69), the speaker uses
the full pronoun ji’i ‘1PL.ex’ with the noun phrase dhèu Dhao ne’e ‘Dhaonese here’ as an
identifying expression for the sake of disambiguation of the subject ji’i ‘1PL.ex’. Likewise,
example (70a) employs the noun phrase ana sakola ‘school children’ to specify the individuals
intended by the speaker as miu ‘2PL’. Unlike third person pronouns, these pronouns do not
allow the NPs to precede them; therefore (70b) is unacceptable.
(69) ji'i
dhèu Dhao ne’e
parlu
boe tenge
èi
1PL.ex person Dhao PROX.SG need(IND) not look.for water
‘We, Dhaonese here, do not need to look for water’
(70) a. miu ana sakola
mai ka
2PL child school(IND) come PRT
‘You, school children, come here’
b. *ana sakola
miu mai ka
child school(IND) 2PL come PRT
116
ne’e
PROX.SG
ne’e
PROX.SG
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
SUMMARY
As has been discussed in the preceding sections, personal pronouns in Dhao function as the
heads of NPs, which in turn fill the grammatical functions of subject, object, prepositional
complements, and possessor within an NP possessor construction. Personal pronouns belong to
two distinct paradigms, based on their phonological relationship: the first consisting of full
pronouns and reduced pronouns, and the second consisting of clitic pronouns and crossreference affixes. Each group has two distinct types of syntactic behavior. Full pronouns can fill
in any argument position without any constraints, while reduced pronouns are limited to S and
non-sentence final position. This is also the case for clitics and affixes. While clitics occur in
any position, except nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics, affixes only occur as S arguments.
The above-mentioned description has explicitly confirmed that the pronominal system
of Dhao has morphological and syntactic strategy; the affixes are attached only to selected verbs
that require inflection. Clitic pronouns exhibit a more ‘flexible’ distribution, since they
constitute separate syntactic words. Clitic pronouns constitute independent syntactic words, but
not independent phonological words (Dixon, 2010a:212). The use of personal pronouns of Dhao
in different syntactic roles can be summarized in Table 4 below.
Table 4. Summary of Personal Pronouns in Different Syntactic Roles
Forms
S
A
P
Poss.
Full Pron.
√
√
√
√
Reduced
Pron.
√
nu ‘3SG’
ru ‘3PL’
√
*nga ‘1PL.ex’
*ne ‘3SG’
na ‘3SG’
√
√
√
nu ‘3SG’
ru ‘3PL’
√
*nga ‘1PL.ex’
*ne ‘3SG’
na ‘3SG’
√
-
√
?
?
√
*nga ‘1PL.ex’
ne ‘3SG’
*na ‘3SG’
-
√
√
*nga ‘1PL.ex’
*ne ‘3SG’
na ‘3SG’
-
Pron.
Clitics
Prefixes
Suffixes
It has also been described that personal pronouns can co-occur with other constituents,
such as demonstratives, relative clauses, NPs, and numerals/quantifiers. When applying
demonstratives, they have constraints on number and space. Only third persons can occur with
all types of demonstratives, while others can only occur with proximal demonstratives. All full
pronouns can be modified by relative clauses. In this case, the relative clauses restrict the
context of the referents in argument position. When co-occurring with other NPs and
numerals/quantifiers, only plural pronouns apply. Except for 3SG, singular pronouns do not take
NPs in this kind of construction. This is perhaps because the singular pronouns have already
implied definiteness; therefore, they do not require additional information as identifying element
to refer to the referent. The summary of the co-occurrence of personal pronouns and other
constituents is presented in Table 5 below.
117
Jermy I. Balukh
Table 5. Summary of Personal Pronouns and Other Constituents
Pron.
DEM
REL
NP
NUM
Full
1SG
2SG
3SG
1PL-in
1PL-ex
2PL
3PL
ja’a
èu
nèngu
èdhi
ji’i
miu
rèngu
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
CONCLUSION
This paper has shown that Dhao has three sets of morphologically independent personal
pronouns and one set of bound form (affixes). In argument positions, full pronouns and clitics
are in complementary distribution. While full pronouns can occur in any argument position, the
reduced pronouns can only occur in non-sentence final positions. Furthermore, clitics except for
nga ‘1PL.ex’ and 3SG clitics can occupy any argument position. Affixes exclusively co-refer to
subjects, whether they are present or not. Only full pronouns are employed as prepositional
complements. Both full pronouns and clitics can occur as possessors in NP constructions. In
argument positions, pronouns can also co-occur with other elements that function as additional
information for identifying the referents. In this case, pronouns are followed by demonstratives,
relative clauses, and numerals/quantifiers. These constituents function as identifying
expressions to restrict the context in which the pronouns are employed. Identifying NPs have
constraints: plural pronominal subjects require identifying NPs to follow, whereas third
pronominal subjects allow them to precede.
NOTES
* The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier
version of this paper.
1
The earlier version of this paper was presented in the International Congress of Linguistic Society of
Indonesia, February 18-22, 2014 at Sheraton Hotel Bandar Lampung.
2
Some consonants used in this paper that are orthographically different from IPA symbols are transcribed
as follows: b’ /ɓ/, d’ /ɗ/, j’ /ʄ/, bh /b͡ β/, dh /ɖ͡ʐ/, ng /ŋ/ ny /ɲ/, ’ /ʔ/ and vowel è /ə/.
3
This clitics pronoun is never attested in any argument position .
4
It is phonemically an open mid unrounded vowel /ʌ/.
5
The clitics and affixes are in fact the reflexes from proto-AN pronouns (Ross, 2006) that are retained in
Dhao and some neighboring languages, such as Kambera (Klamer, 1998) and Rote (Balukh, 2005; Jonker,
1915) (but not in Hawu (Walker, 1982)). The capital symbols of the prefixes represent abstract vowels
that will account for the phonological conditions of irregular inflected verbs (see Table 2, see also
Grimes, 2010:267; 2012:30). Another different form comes from the suffix -si ‘3pl’ which is most
probably grammaticalized from Dhao’s remote plural demonstrative sèi ‘Rem.pl’ (Ross, 2006:536). In
addition to that, the pronoun rèngu ‘3pl’ in Dhao can also refer to a non-human entity indicating plurality,
while its clitics counterpart ra ‘3pl’ is not attested as a plural marker in Dhao.
6
Grimes (2010:267) calls the cross-reference suffixes.
7
Dhao has three strategies for possessive constructions; one is the NP structure, and the other two are
predicative unu ‘own’ and dènge ‘with’. The word unu ‘own’ can be nominal and verbal but dènge ‘with’
can only be verbal for this regard.
8
While NP-internal possessive constructions apply to both types, predicative possessive constructions can
only apply to alienable possession.
9
The discussion of grammatical properties of classifiers is beyond this topic.
118
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
REFERENCES
Aikhenvald, A.Y. (2006). Serial verb constructions in typological perspective. In A.Y.
Aikhenvald & R.M.W. Dixon (Eds.), Serial verb constructions: A cross-linguistic
typology (pp. 1-68). Oxford, U.K.; New York: Oxford University Press.
Aikhenvald, A.Y. (2010). Imperatives and commands. Oxford: Oxford University Press.
Balukh, J.I. (2005). Mekanisme perubahan valensi dalam bahasa Rote (Unpublished Master
Thesis). Linguistic Department, University of Udayana, Denpasar.
Balukh, J.I. (2013). Two grammars, one surface form: A preliminary study on Dhao. Presented
at the EuroSEAS Conference, July 2-5, 2013, Lisbon, Portugal.
Bhat, D.N. (2004). Pronouns. Oxford [England]; New York: Oxford University Press.
Bloomfield, L. (1933). Language. New York: Holt and Company.
Blust, R. (2008). Is there a Bima-Sumba subgroup? Oceanic Linguistics, 47(1), 45–113.
Blust, R. (2009). The position of the languages of Eastern Indonesia: A reply to Donohue and
Grimes. Oceanic Linguistics, 48 (June 2009)(2), 36–77.
Blust, R. (2013). The Austronesian languages. Canberra: Asia-Pacific Linguistics.
Dixon, R.M.W. (2010). Basic linguistic theory: Grammatical topics (Vol. 2). Oxford, New
York: Oxford University Press. Retrieved from http://site.ebrary.com/id/10674477.
Donohue, M., & Grimes, C.E. (2008). Yet more on the position of the languages of Eastern
Indonesia and East Timor. Oceanic Linguistics, 47 (June 2008)(1), 114–158.
Fox, J.J. (1987). Between Savu and Rote: The transformation of social categories on the island
of Ndao. In D.C. Laycock & W. Winter (Eds.), A world of language (pp. 195–203).
Canberra: Pasific Linguistics.
Grimes, C.E. (2010). Hawu and Dhao in eastern Indonesia. In M. Klamer & M. Ewing (Eds.),
East Nusantara, typological and areal analyses (pp. 251–280). Canberra: Pasific
Linguistics.
Grimes, C.E. (2012). Panduan menulis bahasa Ndao (Lii Dhao). Kupang: Unit Bahasa dan
Budaya.
Haspelmath, M. (2013). Argument indexing: a conceptual framework for the syntactic status of
bound person forms. In Languages across boundaries: Studies in memory of Anna
Siewierska (pp. 197–226). De Gruyter Mouton.
Jonker, J.C.G. (1903). Iets Over de Taal van Dao. In Album-Kern; Opstellen geschreven ter eere
van Dr. H. Kern (pp. 85–89). Leiden: E.J. Brill.
Jonker, J.C.G. (1915). Rottineesche spraakkunst. Leiden: Brill.
Klamer, M.A.F. (1998). A grammar of Kambera. Berlin: Mouton de Gruyter.
Payne, T.E. (1997). Describing morphosyntax: A Guide for field linguists. United Kingdom:
Cambridge University Press.
119
Jermy I. Balukh
Ross, M.D. (2006). Reconstructing case marking and personal pronoun system of Proto
Austronesian. In H.Y. Chang, L.M. Huang, & D. Ho (Eds.), Streams converging into an
ocean: Festschrift in honor of Professor Paul Jen-Kuei Li on his 70th birthday (pp. 521–
563). Taipei: Institute of Linguistics, Academia Sinica.
Van Klinken, C.L. (1999). A grammar of the Fehan dialect of Tetun: An Austronesian language
of West Timor. Canberra: Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian
Studies, The Australian National University.
Walker, A.T. (1982). A Grammar of Sawu. Jakarta: Badan Penyelenggara Seri NUSA,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
120
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 121-133
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
“BENTUK HORMAT” DIALEK BAHASA BALI AGA DALAM
KONTEKS AGAMA1
Hara Mayuko2
Osaka University
[email protected]
Abstrak
Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga
(BA). Dialek BD mempunyai bentuk hormat (Sor Singgih Basa, Unda Usuk Basa) yang
sistematis berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan latar belakang
percakapan, terutama perbedaan kasta antarpartisipan, sedangkan dalam masyarakat
BA tidak terdapat perbedaan pengelompokan status sosial (kasta). Dengan demikian,
pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk hormat. Namun, ucapan
pada waktu berdoa (mesapayang) yang berisi kata-kata ‘alus’ bentuknya sama atau
mirip dengan Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, dan Kruna Alus Sor dari dialek BD.
Makalah ini dimaksudkan untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang digunakan
di desa Pedawa berdasarkan analisis ucapan doa waktu upacara, dan mengasumsikan
kemungkinan interferensi dan peminjaman dari dialek BD ke dialek BA melalui ranah
agama dan upacara.
Kata kunci: bentuk hormat, dialek Bali Aga, dialek Bali Dataran
Abstract
Balinese language has two major dialects, Lowland Balinese dialect (BD dialect) and
Mountain Balinese dialect (BA dialect). BD dialect has a systematic form of respect (Sor
Singgih Basa, Unda Usuk Basa) which is based, mainly, on the differences of caste
between speakers in the society. In the BA community, however, there is no difference of
social status groupings. Thus, in principle BA dialect does not have the system and use of
honorifics. However, speeches at prayers contain the honorific words which are the same
as or similar to Kruna Alus, Kruna Alus Singgih, Kruna Alus Sor of BD dialect. This
paper describes the “honorifics” of BA dialect used in the Pedawa village based on
analysis of speeches at prayers, and points the possibility of interference and borrowing
from BD dialect to BA dialect through religious domain.
Keywords: honorifics, Mountain Balinese Dialect, Lowland Balinese Dialect
PENDAHULUAN
Bahasa Bali mempunyai dua dialek utama, dialek Bali Dataran (BD) dan dialek Bali Aga (BA)
(Denes, 1982; Bawa, 1983; Clynes, 1995). Dialek BD umumnya digunakan di daerah dataran
Pulau Bali termasuk daerah perkotaan seperti Denpasar dan jumlah penuturnya cukup banyak.
Sebaliknya dialek BA kebanyakan digunakan di daerah pegunungan yang belum begitu
berkembang dan jumlah penuturnya jauh lebih sedikit dibandingkan penutur dialek BD.3
Dialek BD dan BA dapat dibedakan dari segi (i) variasi kosakata, (ii) fonologi
(distribusi bunyi vokal [a] dan [ə] di akhir kata), dan (iii) bentuk hormat (honorific system) serta
kosakatanya (Bawa, 1983). Tentu juga selain perbedaan dialek, antara masyarakat BD dan BA,
Hara Mayuko
adat-istiadat budaya dan agama juga ada banyak perbedaan lain. Makalah ini berfokus pada segi
(iii) dan kaitannya dengan budaya dan agama.
SISTEM KASTA DAN BENTUK HORMAT
Dialek BD mempunyai bentuk hormat (sor singgih basa, unda usuk basa, anggah-ungguhing
basa4) sistematis yang mengatur dan mengubah ragam tingkat hormat dengan menggantikan
kata dari pasangan padanan bentuk hormat, berdasarkan beberapa faktor yang berkaitan dengan
latar belakang percakapan, terutama berdasarkan perbedaan kasta antarpartisipan dalam
masyarakat yang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu dalam
masyarakat BA tidak terdapat perbedaan status sosial (dari pandangan masyarakat BD tidak ada
sistem pengelompokan sosial yang umum dikenal sebagai kasta).
Seperti ditunjukkan pada figur berikut, leksikon dialek BD secara garis besar terdiri dari
“leksikon netral” dan “leksikon bentuk hormat”. Leksikon netral terdiri dari “kata netral”5.
Leksikon bentuk hormat terdiri dari “leksikon biasa” dan “leksikon alus”. Leksikon biasa terdiri
dari “kata biasa” (kruna biasa), sementara leksikon alus dibagi lagi menjadi “kata alus” (kruna
alus), “kata alus singgih” (kruna alus singgih), dan “kata alus sor” (kruna alus sor). Kata biasa
mempunyai satu atau dua padanan dari leksikon alus dan membentuk “pasangan padanan
bentuk hormat” (Sakiyama dan Shibata, 1992), yaitu kata biasa-kata alus (mis. ibi-dibi
‘kemarin’), kata biasa-kata alus singgih (mis. gelem-sungkan ‘sakit’), dan kata biasa-kata alus
singgih-kata alus sor (mis. ia-dane-ipun ‘dia’). Dalam hal ini kata netral tidak mempunyai
padanan dan dapat dipakai untuk semua tingkat kehalusan (mis. panes ‘panas’).
Figur 1. Struktur Leksikon Dialek BD dan BA
——: leksikon dialek BD
------: leksikon dialek BA
Kalimat dalam dialek BD yang berarti “kemarin dia sakit panas” bisa bervariasi tergantung
tingkat kehalusannya seperti berikut.
122
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(1)
Ibi
biasa
ia
biasa
(2)
Dibi
alus
dane
sungkan
panes
alus singgih alus singgih netral
(3)
Dibi
alus
ipun
alus sor
(4)
Ibi
biasa
dane
sungkan
panes
alus singgih alus singgih netral
gelem
biasa
gelem
biasa
panes
netral
panes
netral
Kalimat (1) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan yang sederajat atau yang berstatus
lebih rendah. Pihak ketiga yang sedang dibicarakan juga sederajat dengan si pembicara atau
berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), jadi kata yang dipilih semuanya kata biasa.
Kalimat (2) bisa muncul dalam percakapan dengan yang berstatus lebih tinggi dan pihak
ketiga yang sedang dibicarakan juga lebih tinggi daripada si pembicara (terutama berdasarkan
kasta). Kata alus (dibi) dipilih untuk membuat kalimatnya sendiri lebih halus dengan
mencerminkan perbedaan tingkat status antarpartisipan. Ini secara tidak langsung bisa
menunjukkan rasa hormat atau sungkan kepada pihak yang diajak berbicara. Oleh karena
fungsinya yang demikian, kata alus kebanyakan berupa kata gramatikal seperti preposisi,
adverbia, dan konjungsi. Kata alus singgih berfungsi untuk menunjukkan kehormatan kepada
partisipan yang diajak berbicara atau partisipan yang sedang dibicarakan. Kata alus singgih yang
dipakai pada kalimat ini (dane, sungkan) menunjukkan kehormatan kepada si pihak ketiga yang
sedang dibicarakan. Seperti terlihat dari dua kata ini, kata alus singgih bukan hanya pronomina
persona saja, tetapi ada juga verba, ajektiva, dan nomina yang bermakna aktivitas, sifat, bagian
tubuh, milik partisipan, dan sebagainya.
Kalimat (3) juga muncul dalam percakapan antara si pembicara yang berstatus lebih
rendah daripada yang diajak berbicara, tetapi pihak ketiga yang sedang dibicarakan lebih rendah
daripada partisipan yang diajak berbicara (terutama berdasarkan kasta). Kata alus (dibi)
berfungsi sama dengan kalimat (2), yaitu membuat kalimatnya halus agar secara tidak langsung
menunjukkan kehormatan kepada yang diajak berbicara. Kata alus sor berfungsi untuk
merendahkan si pembicara sendiri atau pihak ketiga yang dibicarakan yang berstatus lebih
rendah daripada lawan bicara, sehingga bisa diketahui rasa kehormatan kepada lawan bicara
yang berstatus lebih tinggi. Seperti halnya kata alus singgih, kata alus sor juga kebanyakan
bermakna aktivitas, sifat, bagian tubuh, dan milik partisipannya. Kata alus sor yang dipakai
pada kalimat ini (ipun) merendahkan pihak ketiga yang sedang dibicarakan, sehingga bisa
diketahui adanya rasa hormat kepada pihak yang diajak berbicara. Kata biasa (gelem) yang
dipakai pada kalimat ini dipakai sebagai fungsi kata alus sor, yaitu untuk merendahkan pihak
ketiga yang dibicarakan. Kata biasa yang menjadi bagian dari pasangan kata biasa-kata alus
singgih memiliki dua fungsi, yaitu fungsi kata biasa dan fungsi kata alus sor.
Kalimat (4) bisa muncul dalam percakapan dengan partisipan sederajat atau yang
berstatus lebih rendah (terutama berdasarkan kasta), maka dipilih kata biasa (ibi) seperti kalimat
(1). Pihak ketiga yang dibicarakan berstatus lebih tinggi daripada si pembicara, maka dipilih
kata alus singgih (dane, sungkan) seperti kalimat (2). Di keempat kalimat yang bervariasi dari
segi tingkat kehalusan terdapat satu kata netral (panes). Kata ini tidak mempunyai padanan
bentuk hormat, sehingga bisa dipakai dalam keempat contoh kalimat di atas yang berbeda
tingkat kehalusannya.
123
Hara Mayuko
Sementara itu, leksikon dialek BA hanya terdiri dari leksikon yang bersifat netral saja
dan tidak mempunyai padanan kata, sehingga tidak membentuk pasangan tersebut. Dalam dialek
BA, contoh kalimat dialek BD yang disebut di atas diwujudkan dengan satu kalimat saja seperti
berikut.
(5)
Ibi
ia
gelem
panes
Empat kata yang membentuk kalimat ini terdapat juga dalam kalimat (1). Hanya saja bunyi
vokal di akhir kata dari pronomina persona ketiga ia ‘dia’ berlainan antara dialek BD dan BA:
kalimat (1) [ə], kalimat (5) [a], seperti disebut di bagian atas. Bukan hanya panes, tiga kata yang
lain juga tidak mempunyai padanan kata bentuk hormat dalam leksikon dialek BA dan tidak
mempunyai konotasi seperti halus atau biasa. Sementara itu dalam dialek BD tiga kata selain
panes digolongkan sebagai kata biasa yang merupakan bagian pasangan padanan bentuk hormat.
Perlu dicatat bahwa pronomina persona dialek BA memiliki kata berkonotasi halus yang
tidak bisa digolongkan sebagai kata netral, yaitu pronomina persona pertama nira dan
pronomina persona kedua dane (Hara, 2015). Baik pronomina pertama maupun pronomina
kedua dialek BA, masing-masingnya memiliki dua kata yang boleh dikatakan membentuk
pasangan padanan bentuk hormat seperti dialek BD (aku-nira, ko-dane). Kata nira berfungsi
seperti kata alus sor dialek BD, yakni merendahkan diri dan kata dane seperti kata alus singgih
dialek BD, yakni memuliakan partisipan yang lain, tetapi pemakaian nira dan dane terbatas di
hadapan partisipan tertentu atau pada waktu tertentu saja. Kata nira dipakai dalam keluarga saja,
oleh orang yang menjadi keluarga melalui perkawinan, kepada anggota keluarga yang
berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah; artinya generasi lebih atas daripada suami atau
istrinya sendiri. Misalnya, menantu menyebut diri sendiri sebagai nira waktu berbicara dengan
mertua untuk menunjukkan kehormatan dengan merendahkan diri. Kalau tidak ada hubungan
demikian, pronomina pertama yang satu lagi, aku yang digunakan. Pronomina persona kedua,
dane dipakai kepada (1) pemimpin upacara keagamaan termasuk balian desa dan (2) enam
orang berjabatan teratas desa (pengulu/ulu desa)6. Kecuali untuk balian desa, kata dane dipakai
hanya pada saat peran bersangkutan dimainkan saja, seperti waktu upacara dan rapat.7 Kedua
kata ini (nira, dane) terdapat juga dalam kosakata dialek BD, namun maknanya berbeda dengan
dialek BA (mengenai kata dane dialek BD lihat contoh kalimat 2 dan 4). Kosakata selain
pronomina pertama dan kedua ini bisa digolongkan sebagai kata yang bersifat netral seperti
contoh kalimat (5) di atas.
Dengan demikian, pada prinsipnya dialek BA tidak mengenal pemakaian bentuk
hormat, seperti telah disebut dalam Bawa (1983) dan Clynes (1995), dan sebagainya. Seperti
ditunjukkan dengan garis putus-putus pada Figur 1, leksikon dialek BA sebagian besar sama
dengan leksikon netral dan biasa dari leksikon dialek BD (mis. ibi, ia, gelem, panes), dan
sebagian kecil hanya terlihat dalam dialek BA.8
DIALEK BALI AGA DI DESA PEDAWA
Di antara penelitian-penelitian sebelumnya yang mendeskripsikan distribusi geografik daerah
dialek BA, ada tiga karya utama, yaitu Denes (1982), Bawa (1983), dan Foley (1983). Ketiga
karya tersebut memiliki perbedaan dari segi garis isoglos. Denes (1982) menganggap daerah BA
terletak di daerah utara Kabupaten Tabanan sampai Kabupaten Buleleng (sebutan sementara
daerah barat) dengan memperhatikan pentingnya variasi afiks. Bawa (1983) mengatakan bahwa
daerah BA berdistribusi di daerah barat, Kabupaten Bangli (yaitu daerah tengah), dan
Kabupaten Karangasem (yaitu daerah timur) dengan mempertimbangkan ciri fonologi. Menurut
124
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Foley (1983), daerah dialek BA terletak di daerah barat, sebagian dari sebelah utara daerah
tengah, serta daerah timur tanpa menjelaskan alasannya. Penelitian ini diadakan di Desa
Pedawa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, yang terletak di daerah barat menurut
keterangan di atas.
Letak Desa Pedawa berdampingan dengan empat desa Bali Aga yang lain, yaitu Desa
Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, dan Banyuseri. Menurut orang Pedawa, bahasa atau dialek yang
digunakan di desa-desa itu mempunyai banyak perbedaan dibandingkan dengan bahasa yang
digunakan di Desa Pedawa walaupun lokasinya dekat. Kendati demikian mereka masih bisa
berkomunikasi dengan penutur dari empat desa tersebut dengan memakai bahasa atau dialek
masing-masing. Selain itu, juga dikatakan bahwa bahasa atau dialek yang dipakai di Desa
Banyuseri sudah dipengaruhi dialek BD dan lebih dekat dengan dialek BD, bukan dialek BA
lagi. Orang Pedawa juga menyatakan bahwa mereka pernah bisa berkomunikasi dengan orang
BA yang tinggal lebih jauh, seperti di Kintamani dan Tenganan, dengan memakai bahasanya
masing-masing. Oleh karena jarak dialektik dan persamaan antara beberapa dialek BA yang
terdapat di daerah-daerah yang berbeda (daerah barat, daerah tengah, dan daerah timur) belum
jelas, dialek BA yang akan dibahas dalam makalah ini dibatasi pada dialek BA yang digunakan
di Desa Pedawa saja.
Dialek BA tidak mempunyai sistem bentuk hormat. Namun, setelah penulis memantau
ranah-ranah bahasa (domain) di Desa Pedawa, bahasa atau ragam dalam ranah agama berbeda
dari ranah-ranah yang lain. Perbedaan itu terutama terdapat pada ucapan waktu berdoa
(mesapayang, nyapayang) yang berisi kata-kata alus yang bentuknya sama atau mirip dengan
kata alus singgih dan kata alus sor dari dialek BD. Menurut penutur asli, ucapan dalam berdoa
dilakukan dengan dialek BA, tetapi diakui juga tidak sama dengan ranah lain, seperti ranah
keluarga dan teman. Contoh di bawah adalah petikan dari ucapan doa kepada leluhur yang akan
disebut pada bagian “Cara Pengambilan Data”.
...Nah, ditu kocap ngenah yen manut nang dedukun asana ampura asana dane
nyerewadi nang pianak buka I xxx (nama orang), I xxx (nama orang) ngidih
bebaktian ane buka Suci, nah ne jani kedagingan danene ane madan pinunase
ane madan Suci jani dane, nguningang cen patut inggian katur ane patut Ida
Betara9 ane sungsunga dini jajar kemirianga dane...
‘...Nah, kalau menuruti perkataan dukun, mohon maaf, katanya kelihatan ada
leluhur yang menjelma di anak si xxx, yaitu si xxx dan Anda (leluhur) minta
persembahan banten Suci. Nah, sekarang dipenuhi permintaan Anda, telah
dibuatkan banten Suci tersebut, sekarang Anda yang harus mempersembahkan
banten Suci tersebut kepada Tuhan/dewa yang dipuja di sini, disanggah jajaran…’
Kata yang berlatar belakang abu-abu adalah kata yang sama atau sangat mirip dengan leksikon
alus (kata alus, kata alus singgih, kata alus sor) dialek BD kecuali perbedaan bunyi vokal akhir
kata antara [a] dan [ə]. Secara khusus kocap ‘katanya’, manut ‘menurut’, ampura ‘maaf’,
kedagingan ‘dipenuhi’ (mungkin salah ucap kedagingin), inggian ‘ya, yaitu’ tergolong sebagai
kata alus dialek BD. Pinunase ‘permintaannya’, katur ‘dihaturkan’, dan nguningang
‘memberitahu’ tergolong sebagai kata alus sor dialek BD. Kata yang bercetak tebal adalah kata
atau ungkapan yang khusus terdapat dalam dialek BA dari segi bentuk dan makna. Kata dane
juga terlihat dalam leksikon alus dialek BD sebagai kata alus singgih yang berfungsi pronomina
persona ketiga (‘beliau’) (lihat contoh kalimat 2), tetapi dalam dialek BA dane berfungsi
sebagai pronomina persona kedua seperti disebut di atas, dan di contoh atas dimaksudkan
125
Hara Mayuko
leluhur yang ditujukan ucapan doa. Yang tersisa adalah kata yang terdapat dalam kedua dialek,
yaitu kata yang tergolong sebagai leksikon biasa dan leksikon netral dialek BD dari segi bentuk
dan makna, kecuali perbedaan bunyi vokal akhir kata tersebut di atas. Kata-kata dalam huruf
tebal di atas tidak dipakai dalam percakapan biasa, tetapi dalam ucapan doa sering muncul
seperti contoh ini. Dengan demikian, dalam pengertian ini dialek BA bisa dikatakan memiliki
“bentuk hormat” walaupun tidak bersistem dan hanya terbatas pada ranah tertentu.
Tujuan makalah ini adalah untuk memerikan “bentuk hormat” dialek BA yang
digunakan di Desa Pedawa. Khususnya topik yang akan dibahas adalah:
1) Pengucapan doa yang bagaimana muncul dalam kata-kata alus?
2) Kata-kata alus apa saja yang termasuk dalam kelompok ini bila ditilik dari segi makna dan
kelas kata?
3) Apa persamaan dan perbedaan antara “bentuk hormat” dialek BA dengan dialek BD?
CARA PENGAMBILAN DATA
Di setiap upacara pasti ada proses mengucapkan doa (nyapayang, mesapayang). Aktivitas tersebut
secara garis besar ditujukan kepada tiga pihak, yaitu dewa-dewa, butakala, dan leluhur. Pada
dasarnya dalam satu upacara terdapat ketiga macam pengucapan doa walaupun jenis upacara dan
tujuan utama doa itu berlainan. Apabila doa ditujukan kepada pihak yang sama (misalnya
dewa-dewa), maka inti ucapan hampir sama satu sama lain dan perbedaan bisa dianggap bervariasi
saja. Oleh karena itu, tiga jenis doa dipilih sebagai kasus untuk menganalisis ranah agama
berdasarkan pihak yang dituju, yaitu (i) doa kepada dewa-dewa, (ii) doa kepada butakala, dan (iii)
doa kepada leluhur. Melakukan aktivitas mengucapkan doa pada umumnya disebut nyapayang
dan mesapayang; tetapi, menurut penutur asli dialek Pedawa, untuk khusus jenis (iii) lebih banyak
dipakai istilah ngucapin tua-tua daripada nyapayang dan mesapayang.
Data untuk jenis (i) dan (iii) diucapkan oleh seorang pemimpin upacara keagamaan desa
(balian desa10) pada upacara melukat untuk seorang anak di kuil keluarga besar (sanggah
kemulan), pada bulan September tahun 2012. Upacara melukat adalah upacara untuk
membebaskan nasib buruk waktu ada gangguan atau kelainan yang sudah lama dan tidak dapat
hilang seperti sakit. Untuk kasus ini, salah satu alasan untuk melaksanakan upacara karena ada
suatu permintaan dari leluhur yang menjelma di anak sakit itu, yaitu ingin memberikan
persembahan kepada dewa. Keluarga besar yang bersangkutan mengadakan upacara tersebut
untuk memenuhi permintaan tersebut demi keselamatan anak mereka dengan mengundang
pemimpin upacara keagamaan desa (balian desa). Dalam upacara itu balian desa berdoa kepada
dewa-dewa dan selanjutnya kepada leluhur. Isi dari ucapan berdoa kepada dewa-dewa, jenis (i),
adalah pemberitahuan pelaksanaan upacara dan latar belakangnya serta permohonan bantuan
dan doa restu agar pelaksanaan upacara tersebut berhasil serta keadaan anak itu akan membaik.
Terkait dengan ucapan berdoa kepada leluhur, jenis (iii), isinya mirip, tetapi tujuan atau latar
belakang pelaksanaan upacara berkaitan dengan leluhur, sehingga terdapat banyak hal yang ada
hubungannya dengan leluhur. Data untuk jenis (ii) direkam pada upacara menyiram pekarangan
rumah (ngeyain karang), pada bulan Maret tahun 2013. Upacara ini merupakan pembersihan
pekarangan rumah (natah) untuk menenangkan roh-roh halus di bawah tanah dengan memberi
korban daging ayam agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Upacara untuk kasus ini
dilaksanakan oleh pemimpin upacara keagamaan (permas11). Untuk upacara ini, keluarga juga
berada di tempat upacara; bahkan tetangga yang tinggal di satu pekarangan juga ikut hadir. Isi
dari ucapan doa adalah pemberitahuan tentang pelaksanaan upacara tersebut dan permintaan
pihak manusia kepada butakala agar tidak mengganggu kehidupannya.
126
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Tiga contoh doa upacara yang direkam ini dicatat bersama informan dari Desa Pedawa
yang pernah tinggal di daerah BD. Peneliti mencatat sambil menanyakan arti kata dan kalimat,
perbedaan dengan dialek BD, dan penggunaan di ranah-ranah yang lain dan sebagainya. Di
samping informan tersebut, beberapa pertanyaan juga diajukan kepada pemimpin upacara
sendiri yang mengucapkan doa tersebut dan keluarga yang mengadakan upacara jika konfirmasi
diperlukan. Selanjutnya, hasil teks tersebut dianalisis dan dibandingkan dari segi frekuensi
pemunculan kata setiap dialek atau tingkat hormat, yaitu kata biasa atau netral dialek BD yang
sama dengan dialek BA (leksikon biasa dan leksikon netral di dalam Figur 1), kata-kata bersifat
halus dialek BD seperti kata alus, kata alus singgih, kata alus sor (leksikon alus), dan kata yang
khusus muncul di dialek BA, serta dari segi bidang makna, kelas kata, pengaruh dialek BD, dan
sebagainya.
Perlu dicatat bahwa kebiasaan mengucapkan doa dalam BA berbeda dengan yang
terdapat di BD. Kalau di daerah BD, ucapan doa waktu upacara biasanya dilakukan dengan
mantra, yaitu ucapan yang mengandung kekuatan sakti, berirama, serta sering muncul
pengulangan ucapan. Dari segi bahasa, umumnya banyak mengandung unsur bahasa Sansekerta,
sehingga hanya bisa dilakukan oleh pendeta (pedanda, pemangku) saja.12 Sebaliknya, di daerah
BA ucapan doa tidak memakai mantra dan pada dasarnya bisa dilakukan oleh orang yang
mempunyai kemampuan untuk itu sesuai tingkat dan jenis upacara.
PERBANDINGAN TIGA TEKS UCAPAN DOA
Jumlah Kata Berdasarkan Perbedaan Tingkat Kehalusan
Untuk mengetahui seberapa banyak kata dari leksikon alus dialek BD muncul di ranah dialek
BA, ketiga jenis teks ucapan doa di atas dihitung jumlah katanya berdasarkan perbedaan dialek
dan tingkat kehalusan. Perhitungan dilakukan berdasarkan satuan kata. Unsur artikel atau
pronomina (demonstratif, persona) seperti -(n)e, -ne, -(n)ipun, atau ‘-nya’, yang berfungsi
sebagai modifier untuk membentuk frasa dengan nomina yang muncul di depannya juga
dihitung sebagai kata (misalnya, pinunase ‘permintaannya’). Aspek fonologi juga diamati
karena aspek tersebut merupakan salah satu unsur utama yang membedakan dialek BD dan BA.
Hasil perhitungan tertera pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Jumlah Kata Leksikon Alus dalam Tiga Jenis Ucapan Doa
Tujuan Doa
kata jumlah
Kata netral BD13
Leksikon alus BD
Kata alus
Kata alus singgih
Kata alus sor
Kata biasa BD=BA
Kata BA khusus
Kata nama diri
Total
Bunyi [ə] _#
Bunyi [a] _#
Total
\
Dewa
jenis kata
1
188 (64%)
140
19
29
82 (28%)
7 (2%)
17 (6%)
295 (100%)
token
1
992 (72%)
713
109
170
321 (23%)
30 (2%)
43 (3%)
1387 (100%)
172 (84%)
32 (16%)
204 (100%)
Butakala
jenis kata
0
45 (51%)
28
13
4
36 (40%)
7 (8%)
1 (1%)
89 (100%)
token
0
172 (67%)
89
67
17
71 (28%)
12 (5%)
2
257 (100%)
33 (97%)
1 (3%)
34 (100%)
Leluhur
jenis kata
0
28 (16%)
23
0
5
118 (68%)
16 (9%)
12 (7%)
174 (100%)
token
0
47 (9%)
41
0
6
362 (72%)
66 (13%)
28 (6%)
503 (100%)
0
73 (100%)
73 (100%)
Angka-angka yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa baik dari perhitungan jenis
kata maupun dari token, kebanyakan unsur yang muncul di ucapan doa kepada dewa dan
127
Hara Mayuko
butakala adalah kata-kata dari leksikon alus dialek BD (di bawah ini ditulis sebagai “kata
leksikon alus BD”); sedangkan kata biasa atau netral dialek BD dari leksikon biasa dan netral
dialek BD yang sama dengan dialek BA (“kata biasa BD=BA”) dan kata yang muncul khusus di
dialek BA (“kata BA khusus”) sangat sedikit. Sebaliknya di ucapan doa kepada leluhur sangat
sedikit unsur kata leksikon alus BD dan kebanyakan unsur berasal dari kata biasa BD=BA dan
kata BA khusus.
Perincian leksikon alus BD yang muncul di setiap ucapan doa juga ditunjukkan pada
Tabel 1 di atas. Di ketiga jenis teks ucapan doa jumlah kata alus paling banyak. Kenyataan ini
sesuai dengan persentase perincian leksikon alus BD. Di ucapan doa kepada leluhur kata alus
singgih tidak terlihat, tetapi ini bisa dianggap tidak aneh karena seluruh jumlah kata dari
leksikon alus BD pada ucapan doa kepada leluhur memang sedikit.
Dari segi fonologi, seperti telah disebutkan pada bagian “Sistem Kasta dan Bentuk
Hormat”, terdapat perbedaan fonologis antara dialek BD dan BA pada perwujudan bunyi vokal
[a] dan [ə] di akhir kata, yaitu di dialek BD hanya muncul [ə], sedangkan di dialek BA hanya
muncul [a]. Seperti terlihat pada baris bawah Tabel 1, jumlah token untuk kata-kata yang
berakhir dengan bunyi [ə] jauh lebih banyak daripada yang berakhir dengan bunyi [a] dalam
ucapan doa kepada dewa dan butakala.14 Tentu saja kata-kata dari leksikon alus BD yang
berakhir dengan [ə] diucapkan demikian (misalnya, punikə ‘itu’). Kata-kata biasa BD=BA yang
berakhir dengan [a] dalam dialek BA juga diucapkan sebagai [ə] seolah-olah dialek BD
(misalnya, sranə ‘bahan’). Nama orang dan kata yang khusus di dialek BA yang berakhir
dengan [a] juga diucapkan dengan [ə] (misalnya, Surə [nama orang]). Jadi ucapan doa dua jenis
ini bisa dikatakan cenderung memakai kata dari leksikon alus BD dan mengikuti pengucapan
dialek BD. Sementara itu, teks ucapan doa kepada leluhur memberi kesan mengikuti dialek BA.
Pada teks ucapan doa kepada leluhur ini, terdapat enam kata dari leksikon alus BD yang
seharusnya diucapkan sebagai [ə] kalau dalam dialek BD, tetapi semua kata tersebut terwujud
sebagai [a] (misalnya, prasida ‘dapat’). Berdasarkan hal ini bisa dikatakan bahwa yang
menentukan pemunculan bunyi vokal [a] atau [ə] di akhir kata adalah jenis ucapan, bukan kata,
karena tidak ada kata yang bunyi vokal akhirnya selalu terwujud sebagai salah satu dari kedua
bunyi tersebut.
Dengan demikian, dari segi bentuk kata termasuk fonologi, ucapan doa kepada dewa
dan butakala bisa dikatakan cenderung diucapkan dalam dialek BD dengan ragam tingkat halus,
sedangkan ucapan doa kepada leluhur diucapkan dalam dialek BA. Namun, pada satuan frasa
atau kalimat, dalam ketiga teks ini ditemukan ungkapan atau ekspresi yang hanya muncul dalam
dialek BA dan tidak umum dalam dialek BD.15 Ini berarti bukan hanya ucapan doa kepada
leluhur, tetapi ucapan doa kepada dewa dan butakala juga setidaknya menunjukkan adanya ciri
khas dari dialek BA.
Kelas Kata dan Kategori Kosakata
Jika kata-kata yang muncul pada tiga contoh ucapan doa ditilik dari segi kelas kata atau kategori
kata, terlihat juga perbedaan antara ucapan doa kepada dewa dan butakala di satu sisi, dan
ucapan doa kepada leluhur di sisi lain (lihat Tabel 2). Dalam ucapan doa kepada dewa dan
butakala, pronomina (persona dan demonstratif), preposisi, konjungsi, adverbia, dan verba
bantu kebanyakan merupakan kata dari leksikon alus BD saja, sedangkan kata penuh seperti
verba, nomina, ajektiva terdiri baik dari kata leksikon alus BD maupun kata biasa BD=BA.
Sebaliknya, dalam ucapan doa kepada leluhur, pronomina (persona, demonstratif), dan unsur
128
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
gramatikal seperti preposisi dan konjungsi kebanyakan berasal dari kata biasa BD=BA dan kata
BA khusus.
Tabel 2. Unsur Gramatikal dan Leksikal dalam Tiga Jenis Ucapan Doa
Tujuan Doa
Dewa
Butakala
Leluhur
kata unsur
gramatikal leksikal
gramatikal leksikal
gramatikal leksikal
Kata netral BD
1
0
0
0
0
0
Leksikon alus BD
57 (81%)
131 (63%)
20 (83%)
25 (39%)
4 (7%)
24 (22%)
Kata biasa BD=BA 11 (16%)
71 (34%)
4 (17%)
32 (50%)
41 (73%)
77 (73%)
Kata BA khusus
1
6 (3%)
0
7 (11%)
11 (20%)
5 (5%)
Total jenis
70 (100%) 208 (100%) 24 (100%) 64 (100%) 56 (100%) 106 (100%)
Catatan: Nama diri diabaikan sebagai perhitungan. Pronomina digolongkan ke unsur gramatikal16.
\
Contoh-contoh pronomina persona diberikan di Tabel 3. Kata-kata dalam kelas ini sangat
penting untuk menentukan tingkat hormat sebuah kalimat atau wacana. Dalam ketiga jenis
ucapan doa dalam penelitian ini, semua pronomina persona pertama mengacu pada pihak
manusia yang mengadakan upacara masing-masing. Namun, karena pihak yang diajak berbicara
berbeda, bentuk pronomina persona pertama yang digunakan dalam ketiga doa tersebut berbeda.
Dalam ucapan kepada dewa dan butakala dipakai kata alus sor BD, titiang ‘saya’; sedangkan
dalam ucapan kepada leluhur dipakai kata BA khusus, aku ‘saya’.17
Oleh karena pihak yang dituju dari ketiga jenis ucapan doa yang dipelajari berbeda,
pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya dalam ketiga doa ini juga berbeda satu sama
lain. Dalam ucapan doa kepada dewa, bentuk sapaan yang bervariasi digunakan, seperti cokor
dewə/cokor i dewə, idə gede kemulan sakti/i gede sakti kemulan. Kedua sapaan ini ditujukan
kepada dewa yang sama. Kata-kata dari sapaan ini semua ada dalam kosakata dialek BD, tetapi
tidak umum dipakai sebagai bentuk sapaan dalam dialek BD.18 Dalam ucapan doa kepada
butakala, dipakai kata pronomina persona kedua, jero waktu memanggil butakala. Kata ini
terlihat juga dalam kosakata dialek BD. Dalam ucapan doa kepada leluhur, ada tiga jenis
pronomina persona kedua dan bentuk sapaannya, yaitu, ko, dane, dan dane yang kompiang.
Kata ko merupakan pronomina persona kedua yang biasa dipakai dalam percakapan dialek BA,
dan dalam ucapan ini dipakai untuk “leluhur bawah”, yaitu arwah orang yang belum lama
meninggal dan masih dikenal waktu hidup oleh keturunan yang mengadakan upacara.19 Dane
atau dane yang kompiang ditujukan untuk “leluhur atas”, yaitu arwah orang yang sudah lama
meninggal dan tidak dikenal oleh keturunannya. Dalam percakapan BA biasa, seperti telah
disebut di atas, dane dipakai sebagai pronomina persona kedua dan bentuk sapaan kepada orang
yang terbatas (pemimpin upacara keagamaan dan enam orang yang berjabatan teratas desa,
pengulu/ulu desa)20. Lain halnya dengan dane yang kompiang yang khusus ditujukan kepada
leluhur saja dan tidak pernah digunakan untuk manusia.
Untuk pronomina persona ketiga, dalam ucapan doa kepada dewa, pihak persona ketiga
adalah manusia sehingga dipakai kata alus sor, ipun, yang bermakna merendahkan di hadapan
dewa. Dalam ucapan doa kepada butakala ada dua pihak persona ketiga, yaitu dewa dan
manusia. Untuk menyebut dewa, dipilih kata alus singgih, idə; sedangkan untuk menyebut
manusia kata yang muncul bukan pronomina melainkan istilah untuk manusia, yaitu lampuan
tuane, yang khusus muncul hanya dalam ucapan doa BA. Dalam ucapan doa kepada leluhur,
pihak persona ketiga ada dua, yaitu dewa dan manusia. Untuk menyebut dewa dipilih istilah
“ida betara”. Dari segi bentuk (selain bunyi vokal di akhir kata) dan makna, istilah ini bisa
dianggap sama antara dialek BA dan BD. Untuk menyebut manusia dipakai ia. Kata ini adalah
129
Hara Mayuko
pronomina persona ketiga yang biasa dipakai dalam percakapan BA sehari-hari. Bentuk ia ini
unsur cognate yang serupa dialek BD, tetapi bunyi vokal di akhir katanya berlainan (dialek BA
[a], dialek BD [ə]) seperti telah disebut di atas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala,
pronomina persona atau bentuk sapaan pada umumnya muncul dalam bentuk kata alus sor dan
alus singgih dialek BD, walaupun ada juga yang khusus muncul dalam dialek BA. Sementara
dalam ucapan doa kepada leluhur, semua pronomina dan bentuk sapaan muncul dalam bentuk
kata dialek BA dan kata BD=BA.
1st
2nd
3rd
Tabel 3. Pronomina Persona dan Bentuk Sapaan
Ucapan kepada Dewa
Ucapan kepada Butakala Ucapan kepada Leluhur
titiang (alus sor)
titiang (alus sor)
aku (BA)
cokor dewə/cokor i dewə, idə jero (alus singgih)
bawah: ko (BA)
gede kemulan sakti/i gede
atas: dane, dane yang
sakti kemulan (BA)
kompiang (BA)
manusia: ipun (alus sor),
dewa: idə (alus singgih)
dewa: ida betara (BD=BA)
lampuan tuane (BA)
manusia: lampuan tuane
manusia: ia (BA)
(BA)
Umumnya sintaksis, termasuk unsur gramatikal, berfungsi untuk menentukan kerangka kalimat,
dan pronomina persona berperan besar untuk ikut memastikan tingkat hormat atau tingkat halus
dari kalimat. Oleh karena tata urutan kata dialek BD dan BA hampir sama, perbedaan distribusi
kategori kata bisa menunjukkan bahasa atau ragam yang memastikan kerangka kalimat. Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa dalam ucapan doa kepada dewa dan butakala, dasar kerangka
kalimat adalah ragam halus dialek BD dengan unsur-unsur yang bersifat lebih gramatikal dan
fungsional serta pronomina persona yang halus. Sementara, dasar kerangka kalimat ucapan doa
kepada leluhur adalah kalimat tingkat biasa (dari pandangan BD). Ini sesuai dengan banyaknya
kata biasa BD=BA yang mencirikan dialek BA dengan kata BA khusus. Dengan demikian, di
samping bentuk kata dan fonologi, dari kelas kata juga terlihat jelas bahwa ucapan doa kepada
dewa dan butakala berdasarkan ragam halus dialek BD; sedangkan ucapan doa kepada leluhur
berdasarkan dialek BA.
KESIMPULAN
Dari penelitian teks ucapan doa dengan perhitungan jumlah pemunculan kata dari segi tingkat
halus dan jenis kelas kata, serta pemantauan aspek fonologis, dapat diperoleh gambaran bahwa
struktur leksikon dialek BA terkait bentuk hormat dan aspek sosiolinguistik seperti register
agama BA. Dalam ranah agama, yaitu komunikasi dengan “dunia sana”, dalam doa yang
ditujukan kepada siapa pun bisa dilihat kata-kata dari leksikon alus yang dianggap hampir
menuruti dialek BD, namun tingkat kehalusannya berbeda tergantung pada pihak yang dituju.
Jadi bisa dikatakan bahwa dialek BA mempunyai bentuk hormat yang terbatas dalam ucapan
doa. Temuan ini menyimpang dari yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dialek BA tidak
mengenal bentuk hormat.
Untuk menutup makalah ini, saya mencatat suatu gejala yang berkaitan dengan isi
diskusi di atas dan perlu diteliti dengan lebih dalam sebagai langkah lanjut. Di samping ranah
keagamaan, terdapat beberapa kata alus dialek BD dalam percakapan sehari-hari BA.
Kebanyakan dari kata-kata alus itu digolongkan sebagai kata yang bersifat leksikal di bidang
agama. Menurut asumsi sementara, gejala ini dikarenakan sistem tatanan masyarakat BA yang
130
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
terdiri dari satu lapisan saja. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat BA tidak perlu memakai
bentuk hormat kepada siapa pun kecuali orang yang patut digunakan pronomina persona
pertama nira dan pronomina persona kedua dane. Selain itu, pihak yang perlu diberi bentuk
hormat adalah dewa, butakala, dan roh leluhur di luar sistem pengelompokan masyarakat, yang
dianggap lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena itu, jika ada proses interferensi, antara lain
peminjaman leksikon alus dari dialek BD pada dialek BA, diprediksikan lebih cenderung akan
terjadi lewat kosakata bidang agama dan kepercayaan.
Sebagai satu studi kasus dialek BA, penelitian yang diadakan di Desa Pedawa ini bisa
membantu dialektologi bahasa Bali, dan juga sosiolinguistik bahasa Bali. Untuk langkah lanjut,
topik yang disebut di atas perlu diteliti. Di samping itu, desa-desa BA yang lain juga perlu
diteliti untuk dibandingkan dengan Desa Pedawa. Dari perbandingan tersebut dapat diketahui
persamaan dan perbedaan antar desa BA.
CATATAN
1
Tulisan ini berdasarkan makalah yang disajikan dengan judul yang sama pada Kongres Internasional
Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) yang diselenggarakan di Lampung pada tanggal 19-22
Februari 2014. Penelitian ini didukung oleh JSPS KAKENHI Grant Number 24520464.
2
Penulis berterima kasih kepada seluruh masyarakat Desa Pedawa, terutama Bapak I Wayan Sukrata
sebagai informan utama, atas bantuan yang diberikan selama penelitian di Desa Pedawa.
3
Jumlah penutur bahasa Bali diasumsikan 3.300.000 jiwa berdasarkan sensus tahun 2000 oleh Lewis et
al. (2013). Namun jumlah penutur setiap dialek belum dilaporkan selama ini. Joshua Project
mengumumkan bahwa jumlah penduduk Bali Aga adalah 55.600 jiwa dan jumlah penduduk Bali (bisa
dianggap sebagai Bali Dataran) mencapai 3.626.000 jiwa (http://www.joshuaproject.net). Jika
berdasarkan data tersebut, penutur dialek Bali Aga diasumsikan tidak melebihi 55.600 jiwa.
4
Udara Naryana (1978:5-6) menyinggung perkembangan beberapa istilah yang menyebut sistem bentuk
hormat bahasa Bali. Menurutnya, nama anggah-ungguhing basa dibakukan pada Pasamuhan Agung Basa
Bali tahun 1974. Nama unda usuk basa berasal dari bahasa Jawa dan dipakai untuk menyebut sistem
tingkat-tingkatan bahasa Jawa. Istilah ini diambil oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk
menyebut sistem bahasa yang bertingkat-tingkat seperti bahasa Sunda, Bali, Sasak, dan bahasa daerah
lainnya di Indonesia yang juga serupa. Ini terlihat pada judul laporan proyek penelitian yang dipesan oleh
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Unda Usuk Bahasa Bali (Tim Peneliti Fakultas Sastra
Universitas Udayana, 1978/1979).
5
“Kata netral” yang dimaksudkan di sini tidak ada istilah bahasa Bali. Biasanya disebut “kata biasa”
(kruna biasa) saja.
6
Dalam keluarga, pronomina persona kedua ko digunakan kepada generasi yang sama atau lebih rendah
dalam silsilah, misalnya adik dan kakak saling menyebut ko; sedangkan kepada generasi yang lebih tinggi
dipakai nama anggota keluarga sebagai persona kedua, misalnya cucu memakai kata kaki ‘kakek’ waktu
berbicara dengan kakeknya. Dengan orang di luar keluarga, pada dasarnya ko saja yang dipakai.
7
Bentuk sapaan untuk balian desa adalah ‘dane balian’. Untuk enam orang pengulu/ulu desa
masing-masing disebut ‘dane nawan’, ‘dane manis’, ‘dane paing’, ‘dane pon’, ‘dane wage’, dan ‘dane
baan’.
8
Kosakata dasar (998 kata) terdiri dari 957 kata cognate dan 41 kata yang bukan cognate (Hara, 2009).
Perlu dicatat juga bahwa ada kata cognate yang maknanya sedikit berlainan antara dialek BD dan BA
seperti diketahui di endnote 15 dan 18.
9
Ida Betara ‘Tuhan, dewa’ terlihat dalam kedua dialek. Namun, ida sebagai satu kata saja, tidak muncul
dalam percakapan dialek BA, hanya terlihat dalam dialek BD saja. Ida ‘beliau’ merupakan pronomina
persona ketiga dan sapaan yang tergolong sebagai kata alus singgih dalam dialek BD.
10
Balian desa dipilih oleh desa sebagai pemimpin upacara keagamaan desa satu-satunya yang membantu
pengulu/ulu desa (enam orang yang berjabatan teratas desa) untuk menyelenggarakan upacara desa, jadi
upacara yang diadakan oleh desa harus dituntun dan diselesaikan oleh balian desa. Selain upacara
keagamaan desa, upacara tingkat keluarga besar atau perorangan juga boleh dipimpin oleh balian desa
seperti upacara melukat untuk kasus ini.
131
Hara Mayuko
11
Permas ada beberapa orang di desa dan dalam upacara keagamaan desa ikut membantu balian desa.
Jika di luar upacara tingkat desa, tidak harus dipimpin oleh balian desa, boleh dituntun oleh pemimpin
upacara yang mampu, sesuai tingkatan dan jenis upacara. Biasanya upacara tingkat keluarga besar (dadia)
dan upacara tingkat kelompok (subak) dipimpin oleh permas. Pada upacara tingkat perorangan, walaupun
bukan balian desa atau permas, orang yang dipercayai mempunyai kemampuan boleh melakukannya.
Upacara ngeyain karang yang menjadi kasus di sini juga boleh dipimpin oleh orang yang mempunyai
kemampuan.
12
Seperti terlihat dalam Hooykaas (1977) terdapat berbagai mantra di Bali.
13
Kata partikel ‘ja’ ini hanya muncul dalam dialek BD dan tidak dipakai dalam percakapan dialek BA.
Kata ini hanya muncul satu kali saja, tidak jelas apakah itu betul-betul kata ja dialek BD atau salah ucap.
14
Kalau melihat kata-kata dalam ucapan doa yang berakhir dengan [a] atau [ə] di setiap dialek, kata
tersebut belum tentu selalu muncul sebagai [a] saja atau [ə] saja di akhir kata dalam satu teks yang sama.
Artinya dalam satu jenis kata demikian yang muncul lebih dari satu kali, bisa kadang terwujud sebagai
[a], kadang sebagai [ə].
15
Misalnya, ‘tedung payung tulung sangku’ (perlindungan dan pembersihan) terdapat dalam ucapan doa
kepada dewa. Keempat kata ini terlihat dalam kosakata dialek BD maupun BA, tetapi menurut informan,
ekspresi ini tidak ada dalam dialek BD.
16
Pronomina (persona, demonstratif) merupakan kategori yang mempunyai kedua ciri dan sifat:
gramatikal dan leksikal, tetapi dalam analisis ini terlihat bahwa unsur gramatikal lebih menonjol.
17
Untuk kasus ini pronomina persona pertama aku yang dipakai karena pemimpin upacara yang
mengucapkan doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya
pemimpin upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah
daripada suami atau istrinya, pronomina persona pertama nira yang dipakai.
18
Kamus Bahasa Bali (Kersten, 1984) yang berdasarkan dialek BD memuat ‘Cokor i Dewa’ sebagai
bentuk sapaan kepada raja. Memang bentuknya sama dengan dialek BA, tetapi pihak yang ditujukannya
lain, jadi dalam makalah ini Cokor i Dewa dianggap sebagai kata BA khusus, bukan kata alus singgih.
19
Untuk kasus ini pronomina persona kedua ko dipakai karena pemimpin upacara yang mengucapkan
doa tidak mempunyai hubungan keluarga dengan leluhur yang ditujukannya. Seandainya pemimpin
upacara mengucapkan doa kepada leluhur yang berkedudukan lebih tinggi dalam silsilah daripada suami
atau istrinya, nama anggota keluarga yang digunakan. Mengenai nama-nama anggota keluarga dan
penerapan untuk pronomina persona serta bentuk sapaannya lihat Hara (2015).
20
Lihat endnote 7.
BIBLIOGRAFI
Bawa, I.W. (1983). Bahasa Bali di daerah Propinsi Bali: Sebuah kajian geografi dialek.
Disertasi. Universitas Indonesia.
Clynes, A. (1995). “Balinese”. D. Tryon (Ed.). Comparative Austronesian dictionary: An
introduction to Austronesian studies (pp. 495-509).
Denes, I.M. (1982). Geografi dialek bahasa Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Foley, W.A. (1983). “Jawa and Bali”. S.A. Wurm dan Shiro Hattori (Eds.). Language atlas of
the Pacific Area. Part II. Japan area, Taiwan (Formosa), Philipines, Mainland and
Insular South-East Asia. Pacific Linguistics Series C-67. Australian National
University.
Hara, M. (2010). “Basic vocabulary of mountain Balinese dialect”. Asian and African
Languages and Linguistics, No. 4. Tokyo University of Foreign Studies, 259-296
(dalam bahasa Jepang).
Hara, M. (2015). “Bentuk hormat dialek bahasa Bali Aga dalam pronomina persona dan bentuk
sapaan”. Bahasa dan Budaya: Jurnal Himpunan Pengkaji Indonesia Seluruh Jepang,
21, 1-11 (dalam bahasa Jepang).
132
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Hooykaas, C. (1977). A Balinese temple festival. Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land-, en
Volkenkunde.
Joshua Project, http://www.joshuaproject.net (diakses pada bulan Desember 2013).
Kersten, S.V.D. (1984). Bahasa Bali. Ende: Nusa Indah.
Lewis, M.P., Simons, G.F., dan Fenning, C.D. (Eds.). (2013). Ethnologue: Languages of the
World, Seventeenth edition. SIL International. Online Version: http://www.ethnologue.
com (diakses pada bulan Desember 2013).
Sakiyama, S. dan Shibata, N. (1992). “Balinese”. T. Kamei, R. Kono, dan E. Chino (Eds.). The
Sanseido Encyclopedia of Linguistics. Vol. 3. Language of the World, Part Three.
Sanseido, 292-298 (dalam bahasa Jepang).
Naryana, I.B.U. (1978). Anggah-ungguhing basa Bali dan peranannya sebagai alat komunikasi
bagi masyarakat suku Bali. Jurusan Bahasa dan Sastra Bali Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
133
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 135-151
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
JAVANESE AND PROBLEMS IN THE ANALYSIS OF
ADVERSATIVE PASSIVE1
Ika Nurhayani*
Brawijaya University
[email protected]; [email protected]
Abstract
Adversative passive is one of the means that languages use to code that an event may
have detrimental effect on someone. The adversative passive differs from the standard
passive in that the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate. The adversity
semantic effect is normally encoded with an adversative passive affix attached to the
verb. Javanese has such coding with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an.
However, Javanese adversative passive is not always associated with adversity. In fact,
an event described by Javanese adversative passive may have neutral or pleasant
consequences. This proves to be problematic for the current frameworks on adversative
passives such as Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) because their frameworks
assume that an adversative passive carries an adversative semantic property encoded in
the malefactive head or with a passive morphology. Moreover, the subject of the
‘adversative passive’ in Javanese does not have to possess an object because the passive
can have a reading in which the passive subject held an object belonging to someone else
while experiencing a situation related to the object. This also poses a problem for
Pylkkänen’s (2002) because she bases her adversative passive analysis on the possessor
raising theory which requires a possesive relation between the theme and the affected
argument. I argue that Javanese ‘adversative passive’ is best described as a combination
of the prefix ke- and suffix –an (the circumfix ke-I-an) with the prefix ke- carrying the
accidental semantics property and the suffix –an as an applicative suffix adding an
affected argument to the construction.
Keywords: adversative, accidental, Javanese, passive, applicative
Abstrak
Pasif adversatif adalah perangkat yang dimiliki bahasa-bahasa di dunia untuk menandai
bahwa sebuah peristiwa menimbulkan akibat negatif pada seseorang. Adversatif pasif
berbeda dengan pasif biasa karena pembicara dalam konstruksi adversatif pasif
menganggap sebuah peristiwa tidak menyenangkan atau menguntungkan. Makna
adversatif biasanya disandikan dengan menggunakan imbuhan adversatif pasif pada
verba. Bahasa Jawa memiliki imbuhan adversatif dengan kombinasi prefiks ke- dan
sufiks –an. Walaupun demikian, konstruksi ‘pasif adversatif’ dalam bahasa Jawa tidak
selalu mengandung makna adversatif dan bahkan dapat mempunyai akibat yang netral
atau menyenangkan. Hal ini menyebabkan ‘pasif adversatif’ bahasa Jawa tidak mudah
untuk dianalisis dengan menggunakan teori-teori mengenai pasif adversatif seperti yang
diungkapkan oleh Kubo (1992) dan Pylkkänen (2002) karena teori-teori tersebut
berdasar pada asumsi bahwa pasif adversatif selalu mengandung makna yang
diwujudkan dalam sebuah inti (head) malefactive atau pemarkah pasif. Lebih jauh,
subjek adversatif pasif tidak harus selalu memiliki objek dalam sebuah konstruksi pasif
adversatif karena subjek dapat saja sedang memegang objek milik orang lain saat
Ika Nurhayani
mengalami sebuah peristiwa yang berhubungan dengan objek tersebut. Hal ini
menyulitkan pasif adversatif bahasa Jawa untuk dianalisis dengan menggunakan teori
Pylkkänen karena analisisnya mengenai pasif adversatif berlandaskan pada teori
possessor raising yang mengharuskan adanya hubungan kepemilikan sehingga subjek
pasif atau penderita yang terkena tindakan pada verba harus memiliki objek dalam
konstruksi tersebut. Dalam makalah ini penulis mengusulkan bahwa pasif adversatif
bahasa Jawa lebih baik dianalisis sebagai kombinasi prefiks ke- dan suffiks –an karena
prefiks ke- menyandikan pasif aksidental dan sufiks –an berfungsi sebagai sufiks aplikatif
yang menambahkan penderita yang terkena tindakan verba.
Kata kunci: adversatif, aksidental, bahasa Jawa, pasif, aplikatif
INTRODUCTION
In this paper, I show that current frameworks on adversative passive are problematic for
Javanese due to their semantics of the adversative passive and their analysis of the ‘possessor
raising’ construction. Malefactive or adversative is a linguistic coding of an event describing
that something is done to the detriment of somebody (Kittila, 2010:203). Human beings can
perceive an event as being fortunate or unfortunate and include their interpretation in an
utterance (Radetzky and Smith, 2010:98). Languages have options to express this interpretation.
First, they can lump both benefactive and malefactive meanings into one single construction, the
affectedness construction. Second, they can encode fortunate events into benefactive
construction in which the affected argument is called a benefactee, and unfortunate events into
malefactive or adversative construction in which the affected argument is called the malefactee
(Radetzky and Smith, 2010:98-99) .
Languages use different strategies to encode adversity or unfortunate events, among
others with (i) case, (ii) serial verb construction, (iii) adposition, (iv) applicative affix, and (v)
adversative passive (Kittila and Zuniga, 2010:7-10).
(1)
(2)
(3)
Lezgian dative case
Čna
a ᷉qe᷉qwerag
suna-di-z
We.ERG
that poor
Suna-OBL-DAT
‘What did we do to that poor Suna?’
(Haspelmath, 1993:88)
Fula malefactive marker GIVE
O
ngma la
zirii
ko
Amai
He
cut
a.m.
lies
GIVE Ama
‘He lied to Ama about her family’
(Fagerli, 2001:214)
Finnish adposition
Men-i-n
kaupunki-in
hä̈ ne-n
go-PASS-1Sg town-ILL
3sg-GEN
‘I went to town to his/her detriment’
(Kittila and Zuniga, 2010:8).
136
oi
she
’
wǔc-na
q wan?
do.what-AOR PTL
yideme
housepeople
harmikse-en
to.the.detriment-3.PSR
yele
matter
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(4)
Applicative in Kunuz Nubian
Ay-gi
ir:-g
noddi-de:s-s-a
1sg-ACC
rope:ACC
cut-BEN-PST-3PL
‘They cut the rope (to my detriment)’
(Kittila and Zuniga, 2010:6).
(5)
Japanese adversative passive marker for verb
Kinoo
ame-ni
hur-are-ta
yesterday
rain-DAT
fall-PASS-PAST
‘[We] got rained on yesterday’
(Radetzky and Smith, 2010: 114)
In (1), Lezgian uses dative case with suffix –z to mark the malefactee, Suna, while Fula
uses malefactive marker ko in (2). On the contrary, Finnish applies adposition harmikse to mark
adversity in (3) while Kunuz Nubian uses applicative suffix de:s to indicate that the action
described by the verb is done to the detriment of somebody in (4). The last one is adversative
passive as can be seen in (5) with passive suffix –are in Japanese.
Adversative passive differs from the standard passive because it has an adversative
meaning in which the speaker perceives an event as unpleasant or unfortunate (Prasithrathsint,
2006:116). It is also a valency increasing construction rather than valency decreasing
construction like the standard passive (Tsuboi, 2010).
(6)
Japanese Adversative Passive
Taro-wa
Hanako-ni
piano-o
hik-are-ta
Taro-TOP
Hanako-DAT piano-ACC
play-PASS-PAST
‘Lit. Taro was played piano by Hanako’
‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’
(Tsuboi, 2010: 420).
In (6), the subject of the passive Taro was negatively affected by the agent Hanako playing
piano nearby. In addition, the adversative passive increases the valency of the construction from
two arguments (Hanako, piano) into three arguments (Taro, Hanako, piano).
In their previous framework, Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) argue that the
adversative passive is divided into two types, the regular adversative passive as in (7) and the
‘possessor raising’ as in (8).
(7)
Japanese regular adversative passive
a. Kinoo
ame-ni
hur-are-ta
yesterday rain-DAT
fall-PASS-PST
‘[We] got rained on yesterday’
(Radetzky and Smith, 2010: 114)
b. Taro-wa Hanako-ni
piano-o
hik-are-ta
Taro-TOP Hanako-DAT piano-ACC
play-PASS-PST
‘Lit. Taro was played piano by Hanako’
‘Taro was adversely affected by Hanako playing piano’
(Tsuboi, 2010:420)
137
Ika Nurhayani
(8)
Kinyarwanda possessor raising
a. Ingurube z-a-ri-iye
ibíryo by’ábáana.
pigs
they-PST-eat-ASP
food of children
‘The pigs ate the children’s food’
b. Abáana
ba-a-ri-ir-iw-e
ibíryo n’îngurube.
Children they-PST-eat-APP-PASS-ASP food by pigs
‘The children were eaten (their) food by pigs’
(Davies and Dubinsky, 2004:133-134)
The regular adversative has an implicit subject who suffers from the event described by
the verb. In (7a), the regular adversative passive in Japanese is formed with the addition of the
passive suffix -are to the verb hur ‘to fall’. The implicit subject ‘we’ suffers from the event rain
described by the verb. In (7b), the subject Taro suffers from the event of Hanako playing piano
near him.
On the other hand, the ‘possessor raising’ has a construction in which the possessor of
the object seemingly raises as the subject of the passive. In (8), the ‘possessor raising’
construction in Kinyarwanda is formed with the addition of suffix -iw to the verb. The
possessors Abáana‘the children’ seem to raise as the subject of the passive sentence away from
the item ibiryo ‘food’ that they possessed.
I show in this paper that the adversative semantics and the possessor raising approach in
the current frameworks of adversative passive are problematic for Javanese because (i) Javanese
‘adversative passive’ does not always carry adversative semantics and (ii) the subject of
Javanese ‘adversative passive’ does not have to directly possess the object. For this purpose, I
provide supporting evidence from the well-known Japanese adversative passive. Lastly, I posit
that Javanese adversative passive is best analyzed as the result of the combination of
passivization and applicativization. The passivization with specific accidental information is
done with with prefix -ke, and the applicativization with special applicative suffix –an.
THE MORPHOLOGY OF THE ADVERSATIVE PASSIVE
In this section, I discuss the morphology of the Javanese ‘adversative passive’. The adversative
passive in Javanese is derived with (1) the prefix ke-, and (2) the circumfix ke-I-an added to the
base verb. The construction with prefix ke- is compatible with transitive verb and serves to
passivize the verb and to add an accidental information.
(9)
a. Pardi
nabrak
Amir
Pardi
ACCD-hit
Amir
‘Pardi hit Amir’
b. Amir
ke-tabrak
Pardi
Amir
ACCD-hit
Pardi
‘Amir accidentally hit Pardi’
In (9b), with the addition of prefix ke-, the theme argument Pardi raises to be the subject of the
passive and the sentence receives an accidental semantic reading.
On the other hand, the circumfix ke-I-an are compatible with both intransitive and
transitive verbs. The addition of circumfix ke-I-an to an unergative verb adds an accidental
reading but does not change the construction into passive as can be observed in (10a). On the
138
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
contrary, the circumfix ke- an attached to an unaccusative verb results in both accidental reading
and a passive construction as seen in (10b). It can also be observed that the affixation increases
the valency of the verb in (10b) with the addition of an affected argument.
(10)
a. Pardi turu
Pardi sleep
‘Pardi slept’
Pardi
ke-turu-an (keturon)
Pardi
ACCD-sleep-ACCD
‘Pardi accidentally fell asleep (he did not intend to sleep)’
b. Asu
kuwi ng-uyuh
Dog
that
ACT-urinate
‘The dog urinated’
Tanduran kuwi k-uyuh-an
asu
kuwi
Plant
that
ACCD-urinate-APPL dog
that
‘The plant was urinated on by the dog’
It should be noted that unergative verbs resists the addition of a new argument or
applicativization. It has been known that only certain languages are able to applicativize their
unergative verbs. Pylkkänen (2002) points out that a double object construction with an applied
argument for unergative verb is not possible in English. However, it is interesting to observe
that although unergative verbs in Indonesia does not undergo applicativization, the construction
still maintains the applicative suffix –an as seen in (10a). In this paper, I do not offer a further
discussion on the matter. For the moment, I treat it as an irregularity or an anomaly.
The addition of circumfix ke–an to an unaccusative verb results in both accidental
reading and a passive construction as seen in (11). In addition, the construction also displays an
increase of valency in the form of an affected argument.
(11)
Nangka
tiba
Jackfruit
fall
‘The jackfruit fell’
Pardi ke-tiba-nan
nangka
Pardi ACCD-fall-APPL
jackfruit
‘Pardi was fallen on by a jackfruit’
The combination of the circumfix ke-I-an can also be applied to a transitive verb to add
an affected argument to the construction.
(12)
Pardi ke-colong-an
duit
Pardi ACCD-steal-APPL
money
‘Pardi suffered from his money stolen (by someone).
It can be noted that the theme argument is not obligatory from the construction . Hence the
theme argument duit ‘money’ can be omitted in example (12). Therefore, one might ask whether
–an is a legit applicative suffix. However, the applicative suffix –an serves to add an affected
argument, which is Pardi in (12). Therefore, an implied theme argument in a sentence would
not hinder the ability of –an to applicativize a verb and add an affected argument.
139
Ika Nurhayani
THE SEMANTICS OF THE JAVANESE ACCIDENTAL PASSIVE
The term adversative passive originates from the perception that the subject of the sentence is
adversely affected by the action described by the verb (Prasithrathsint, 2006) as shown in (6).
However, this is not the case with Javanese since its ‘adversative passive’ can have neutral or
even pleasant consequences (Nurhayani, 2013:178).
(13)
Aku
ke-temu
Ani
neng pasar
I
ACCD-meet
Ani
at
market
‘Lit. I was accidentally found by Pardi at the market’
‘I accidentally met Ani at the market’
(14)
Aku
ke-potret
wartawan
pas
neng sekolahan
I
ACCD-take a picture journalist
when at
school
‘Lit. I was accidentally taken a picture by a journalist when I was at school (the
journalist intended to take a picture of an object but I was accidentally in the
background of the picture)’
‘A journalist accidentally took a picture of me when I was at school’
(15)
Amir ke-pilih
dadi lurah
Amir ACCD-choose become head of district
‘Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village’
(16)
Pardi ke-terima
dadi pegawai negeri
Pardi ACCD-accept become civil servant
‘Pardi was unexpectedly selected as a new civil servant’
In (13) the subject aku ‘I’ was neutrally affected by the action temu ‘to meet’ described
by the verb. Hence the subject was neither negatively nor positively affected by the action. This
is also the case with (14) in which the subject aku ‘I’ is neutrally affected by the action potret
‘take a picture’ described by the verb. On the other hand, in (15) and (16), the subjects of the
passive are positively affected by the actions described by the verbs pilih ‘to choose’ and terima
‘to accept’. In (15), the adversative passive yields a pleasant consequence in which the subject
Amir was unexpectedly chosen to be the head of the village, whereas in (16), the passive
construction also results in a pleasant consequence in which the subject Pardi was unexpectedly
selected as a new civil servant.
(17)
Aku
ke-tendhang
adhi-ku
I
ACCD-kick
younger sibling-my
‘I was accidentally kicked by my younger sibling’
(18)
Ani
ke-tiba-nan
nangka
I
ACCD-fall-an jackfruit
‘Ani was knocked down by a jackfruit’
As seen in (17), the subject aku ‘I’ was accidentally kicked by adhiku ‘my younger
sibling’. Though the agent adhiku performed the action described by the verb voluntarily, he did
not intend to affect the subject aku. In contrast, the consequences suffered by the subject in (18)
are unintentional, since the event of falling is accidental in nature and a jackfruit cannot have a
volition. Hence, it is probably more appropriate to term the construction as accidental passive.
140
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
It should also be noticed that Javanese passive has no speficic verbal marker for
adversative semantics. While the regular passive is done with prefix di-, the accidental
semantics is morphologically expressed by a verbal prefix ke-.
(19)
Aku
di-wenehi
Pardi
I
PASS-hit
Pardi
‘I was given some money by Pardi’
(20)
Aku
di-penthung
I
PASS-hit
‘I was hit by Pardi’
(21)
Aku
ke-penthung
Pardi
I
ACC-hit
Pardi
‘I was accidentally hit by Pardi’
duit
money
Pardi
Pardi
In (19) and (20), the regular passive is expressed with the prefix di- regardless of whether the
sentence has a pleasant consequence in (19) or an unpleasant consequence in (20). On the other
hand, the accidental passive semantics is expressed with the verbal prefix ke- in (21).
It immediately poses a question whether other languages also have similar adversative
semantics. I argue that this is the case with Japanese. Unlike Javanese, Japanese adversative
passive is encoded with the passive suffix –are instead of a prefix. However, similar to
Javanese, Japanese adversative can be applied to both transitive and intransitive verbs.
(22)
Japanese adversative passive with intransitive verb
Kinoo
ame-ga
fut-ta
yesterday
rain-DAT
fall-PAST
‘The rain fell yesterday (It rained yesterday)’
Kinoo
ame-ni
hur-are-ta
yesterday
rain-DAT
fall-PASS-PAST
‘[We] got rained on yesterday’
(Radetzky and Smith, 2010:114)
(23)
Japanese adversative passive with transitive verb base
Mary-ni
kodomo-o
home-ta
Mary-DAT
child-ACC
praise-PAST
‘Mary praised the child’
John-ga
Mary-ni
kodomo-o
home-rare-ta
John-NOM
Mary-DAT
child-ACC
praise-PASS-PAST
‘John was affected by his child’s being praised by Mary’
(Lee, 2006:271)
In (22), the suffix –are adds an affected argument to the unaccusative verb hur ‘to fall’ by
adding the implicit affected argument ‘we’ to the construction. In (23) the suffix -are behaves
as an applicative suffix by adding the affected argument John to the construction.
Similar to Javanese, Japanese adversative passive can have either neutral or nonadversative reading. Under inclusive reading in which John is the child’s father, the passive
results in a neutral or non-adversative reading. Only when the child is someone else’s like
Mary’s, the sentence yields an adversative reading despite the positive connotation of the verb
141
Ika Nurhayani
to praise (Lee, 2006:271). Mary might be loud or inconsiderate when praising her own child
and John who was nearby was disturbed by the act.
In addition, the adversative semantics in Japanese adversative passive also does not
have any overt verbal marker since it is pragmatically induced as seen in (24-26). Hence the
regular passive and the adversative passive are expressed with the same verbal suffix -are.
(24)
John-ga
Mary-ni
kami-o
John-NOM
Mary-DAT
hair-ACC
‘John had his hair cut by Mary’
(Lee, 2006:277)
(25)
Taroo-ga
Hanako-ni
Taro-NOM
Hanako-DAT
‘Taro was hit by Hanako’
(Lee, 2006:270)
(26)
Keiko-ga
Hanako-ni
Taroo-o
nagur-are-ta
Keiko-NOM Hanako-DAT Taro-ACC
hit-PASS-PAST
‘Keiko was adversely affected by Hanako’s hitting Taro’
(Lee, 2006:270)
kir-are-ta
cut-PASS-PAST
nagur-are-ta
hit-PASS-PAST
In (24), the passive sentence John’s hair is cut by Mary is a regular passive with a
neutral reading. However, the same suffix is also used for passive sentences with adversative
readings in (25) and (26).
Javanese ‘adversative passive’ behaves instead like an accidental passive. The
accidental semantics is encoded with prefix–ke. I start my discussion with a brief historical
review of the prefix. Old Javanese has two passive affixes, the infix –in and the prefix ka-. The
infix –in emphasizes the action described by the verb, while the prefix ka- focuses on the result
of the action (Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:78). To be precise, the prefix ka- denotes
involuntary or accidental actions, or resultative aspect (Oglobin, 2005:617).
(27)
Suffix ka- in Old Javanese
Yan
hana ka-teka-n
danda
de
If
exist ACCD-arrive-TR
punishment
by
‘If there is one who was given punishment by the king’
(Zoetmulder and Poedjawijatna, 1961:81)
sang
det
prabhu
king
In Modern Javanese, the prefix ke- serves as accidental passive prefix (Uhlenbeck,
1978:71) denoting an involuntary transition into a state or the resultative state caused by the
transition, or the state of being affected by an action described by the verb (Oglobin, 2005:612),
and has the semantic value of the event or condition which is either unexpected, unintentional,
or unavoidable, and the effect is adversative (Dardjowidjojo 1978, Uhlenbeck 1978, Subroto
1998). Nurhayani (2013) further specifies that Javanese adversative passive has a distinct
semantic property in that the subject is not adversely affected by the action, but rather certain
consequences or an action are not intended by the agent while performing the action described
by the verb.
(28)
Aku
ke-sikut
Pardi
I
ACCD-elbow Pardi
‘I was accidentally elbowed by Pardi (Pardi did not intend to elbow me).
142
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
I posit in this paper that the accidental passive also carries a reading in which the
affected argument perceives an action or an event as being unexpected or unintentional.
(29)
Pardi ke-ambruk-an
empring
Pardi ACCD-fall-APPL bamboo
‘Pardi was accidentally fallen on by a bamboo
(Pardi did not expect the bamboo to fall on him)’
It can be concluded that Javanese ‘adversative passive’ is best termed as an accidental
passive due to the accidental semantics property encoded by the prefix ke-. This semantics is
problematic for Pylkkanen’s (2002) framework since it proposes that the passive morphology in
the framework assigns a malefactive θ-role to the adversative construction. As a consequence,
the construction cannot accomodate the accidental semantics of Javanese accidental passive.
THE POSSESSOR RAISING THEORY
Next, I show that Kubo (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks on possessor raising in
adversative passive are problematic for Javanese. Kubo (1992) proposes two types of
adversative passive; the first type is a regular adversative passive with a malefactive-affected
argument, while the other is a possessor raising construction. The possessive reading is derived
by a possessor raising to the subject position and the malefactive construction is derived by a
passive morphology introducing an affected argument. In the malefactive construction, the
passive morphology is claimed to assign an external malefactive θ-role. The examples below are
in Japanese and taken from the original examples used by Kubo (1992) and Pylkkänen (2002) to
explain their frameworks.
(30)
Regular Japanese adversative passive with adversative/malefactive reading
Taroo-ga
Hanako-ni
shinkoushukyoo-o
hajime-rare-ta.
Taroo-NOM Hanako-DAT new.religion-ACC
begin-PASS-PAST
‘Taro was adversely affected by Hanako starting a new religion on him’
Kubo (1992), Pylkkänen (2000)
143
Ika Nurhayani
(31)
Japanese possesive adversity passive (possessor raising)
Hanoko-ga
dorobou-ni
yubiwa-o
to-rare-ta
Hanoko-NOM thief-DAT
ring-ACC
steal-PASS-PAST
‘Hanoko was affected by the thief stealing her ring’
Kubo (1992), Pylkkänen (2000)
In (30), the passive morphology –rare introduces a malefactive-affected argument,
Taro, to the passive construction. The malefactive θ-role is assigned by the passive
morphology. On the other hand, in (31), the possessor Hanako raises from the Spec of a lower
NP in the VP to the Spec of IP.
Pylkkänen (2002) argues that there are two types of adversative applicative, the high
adversative applicative and the low adversative applicative. She bases her arguments on her
applicative theory which proposes two different types of applicative heads: high applicatives,
which denote a relation between an event and an individual and low applicatives, which denote
a relation between two individuals (Pylkkänen, 2002:3).
(32)
high applicative
low applicative
In the low applicative, the affected argument bears a possession relation while that is
not the case for the high applicative. Hence the low applicative can be interpreted as directional
possessive relations: [him[TO-THE-POSSESSION OF[cake]]] (Pylkkänen, 2002:3). Therefore,
Pylkkänen (2002) argues that the possesor raising adversative resembles to the low applicative
144
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
by having a possessive relation between the affected and the theme argument. On the other
hand, the regular adversative resembles the high applicative because of the absence of
possessive relation between the affected argument and the theme argument.
(33)
Japanese regular adversative
(34)
Japanese possesive adversity passive
I now apply Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) analyses to Javanese and they seem
to be problematic for Javanese accidental passive. First, Javanese accidental passive does not
require an obligatory theme argument. Since there is no theme argument, it is difficult to set up
a possessive relation between the affected and the theme argument
(35)
No obligatory theme argument
a. Parto
ke-copet-an
duit
Parto
ACC-steal-APPL
money
‘Parto suffered from his money being stolen’
b. Parto
ke-copet-an.
Parto
ACC-steal-APPL
‘Parto suffered [from something] being stolen from him’
(36)
a. Ani ke-colong-an
tas
Ani ACC-steal-APPL bag
‘Ani suffered from her bag being stolen’
b. Ani ke-colong-an
Ani ACC-steal-APPL
‘Ani suffered [from something] being stolen from her’
Second, the affected argument does not have to possess the theme argument.
(37)
No direct possession between the affected and the theme argument
a. Parto ke-copet-an
kalung-e
Ani
Parto ACCD-steal-APPL necklace-POSS Ani
‘Parto suffered from Ani’s necklace stolen from him (when he was carrying it)’
145
Ika Nurhayani
b. Ani ke-colong-an
tas-e
Amir
Ani ACCD-steal-APPL bag-POSS Amir
‘Ani suffered because Amir’s bag was stolen while she was holding it’
Example (37a) shows that the affected argument need not have a possessive relation with the
theme argument. In fact, it can be argued that the possesive relation results from the pragmatic
assumptions that under normal circumstances, the affected subject would most likely possess
the theme argument. Hence, it is natural to infer that Parto is the possessor of the money if it
was stolen when he was holding it in (37a). However, this assumption can be reversed in
appropriate circumstances.
Applying Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2002) frameworks to Javanese, it can be
assumed that the possessor Ani raises as the subject of the sentence and leaves the possessed item
tas ‘bag’ behind in (37b). However, it can be seen in (37b) that Ani does not have to be the
possessor of the bag. In fact, the bag can be of Amir’s. Hence, example (37b) can result in a
reading in which Amir’s bag was stolen when Ani was holding it. It might be assumed that
because Ani was in fact holding the bag when the theft happened, she was somehow in the
‘possession of the bag’ at that moment. However, it would be nonetheless difficult to generate the
derivation for both the posessor and the person holding it with Pylkkänen’s (2002) framework.
Therefore, it is best to analyze the possessor raising construction as an applicative
construction in which an indirect affected subject is added to a transitive sentence. This is in line
with Tsuboi’s (2010) claims that adversative passive is valency increasing rather than valency
decreasing like other types of passive.
There is another problem with Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks.
They cannot explain why the possessor raising construction in their framework does not
necessarily entail malefactive semantics. In Kubo’s (1992) framework, the affected argument in
possessor raising is not introduced by the same passive morphology assigning external
Malefactive θ-role in the regular adversative passive. In Pylkkänen’s (2000) framework, only
the regular adversative passive that carries the malefactive head but not the possessor raising. If
Kubo’s (1992) and Pylkkänen’s (2000) frameworks of possessor raising are applied to
Javanese, it would be difficult to account for the accidental semantics since the frameworks do
not entail additional semantic property such as malefactive or accidental information.
THE COMBINATION OF PASSIVIZATION AND APPLICATIVIZATION
I argue in this section that Javanese adversative passive with the circumfix ke-I-an is best
analyzed as a combination of passivization and applicativization. I have also demonstrated that
Javanese ‘adversative passive’ can be encoded with (1) prefix ke- and (2) the circumfix ke-I-an.
The prefix ke- is compatible with a transitive verb base while the circumfix ke-I-an can be
attached to both intransitive and transitive verbs to add an affected argument.
We have seen that suffix ke- conveys the accidental semantics of the Javanese
adversative passive and the intuition is that the suffix -an adds another component meaning to
the passive. It is commonly assumed that the adversative passive is based on the regular passive.
Horne (1961), Poedjosoedarmo (1986), and Davies (1995) claim that the suffix –an in Javanese
adversative passive is the counterpart of the goal suffix –i in the regular passive. Davies (1995)
bases his observation on the fact that similar verbs can take both suffixes and that they have
parallel word order as seen in (38).
146
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(38)
Similar Verbs with Suffix –i and –an
a. Siti di-ciprat-i
Bambang
banyu
Siti PASS-splash-LOC
Bambang
water
‘Siti was splashed with hot water by Bambang’
b. Siti ke-ciprat-an
Bambang
banyu
Siti ACCD-splash-APPL Bambang
water
‘Siti was splashed with hot water by Bambang’
panas
hot
panas
hot
However, not all verbs in the regular passive with suffix –i can be converted into
adversative passive with suffix –an.
(39)
Verb with –i but incompatible with adversative passive
a. Ani
n-dolan-i
bayi
kuwi
Ani
ACT-play-LOC
baby that
‘Lit: Ani played in front of that baby for that baby’s amusement’
‘Ani entertained the baby’
b. Bayi
kuwi di-dolan-i
Ani
Baby
that
PASS-play-LOC
Ani
‘That baby was entertained by Ani’
c. *Bayi
kuwi ke-dolan-an
Ani
Baby
that
ACCD-play-APPL
Ani
‘That baby was accidentally entertained by Ani’
It can be seen that the verb dolan ‘to play’ takes the suffix –i but resists the suffix –an.
It appears that volitionality and unintended consequences for the affected subject play part in the
resistance. The verb dolan involves a higher degree of volition since it is normally impossible
for an agent to play accidentally. Moreover, the action to play described in (39) is intended to
affect a subject.
Further observation proves that certain unergative verbs are compatible with suffix –i
but not with suffix –an. If suffix –an is the adversative passive variant of suffix –i, then all verbs
sith suffix –i should be able to convert into adversative passive with –an. However, this is not
the case.
Table 1. Unergative Verbs with Suffix –i and Adversative Passive
Unergative
Ati ndolan
Ati play
‘Ati played’
Ati njoged
Ati dance
‘Ati danced’
Ati ndonga
Ati act-pray
‘Ati prayed’
Adi mlayu
Adi run
‘Adi ran’
Suffixation with –i
Ati n-dolan-i anak-e
Ati ACT-LOC child-POSS
‘Ati played in front of her child to
entertain the child.’
Ati n-joged-i
anak-e
Ati ACT-dance-LOC
child-POSS
‘Ati danced in front of her child to
entertain her.’
Ati n-donga-ni
Marni
Ati ACT-pray-LOC
Marni
‘Ati prayed for Marni.’
Adi mlayu-ni
Marni
Adi run-LOC
Marni
‘Adi ran toward Marni.’
147
Adversative Passive
* Ati ke-dolan-an
Ani
Ati ACCD-play-APPL
Ani
‘Ati suffered from Ani accidentally played in
front of her.’
*Anak kuwi ke-joged-an
Ati
Child that ACCD-dance-APPL Ati
‘The child suffered because Ati accidentally
danced in front of her.’
* Marni ke-donga-nan
Ati
Marni ACCD-pray-APPL
Ati
‘Marni suffered because Ati accidentally
prayed in front of her.’
* Marni ke-playu-an
Adi
Marni ACCD-run-APPL
Adi
‘Marni was accidentally run on by Adi.’
Ika Nurhayani
Hence, the claim that suffix –an is an adversative counterpart of the suffix –i is
problematic. I propose instead that suffix –an is an applicative suffix for accidental passive in
Javanese. This accords with the idea that adversative passive increases valence (Tsuboi, 2010).
As evidence, the suffix is obligatory for intransitive verbs as seen in (40) and (41).
(40)
(41)
Intransitive Verb Base: Suffix -an
Unergative
a. Tanduran-e
Pardi k-uyuh-an
Plant-poss Pardi ACCD-urinate-Appl
‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’
b. * Tanduran-e
Pardi k-uyuh
Plant-poss
Pardi ACCD-urinate
‘Pardi’s plant was urinated on by the dog’
asu kuwi
dog that
asu
dog
kuwi
that
Unaccusative
c. Pardi
ke-ambruk-an
empring
Pardi
ACCD-fall-APPL
bamboo
‘Pardi was fallen over by a bamboo’
d. * Pardi
ke-ambruk
empring
Pardi
ACCD-fall
bamboo
‘Pardi was fallen over by a bamboo
However, the suffix is not applicable for transitive verbs as seen in (42).
(42)
Transitive verb base: no suffix –an
a. Pardi
ke-pidak
kanca-ne
Pardi
ACCD-step-on
friend-POSS
‘Pardi was accidentally stepped on by his friend’
b. * Pardi
ke-pidhak-an
Ani
Pardi
ACCD-step on-APPL Ani
‘Pardi was accidentally stepped on by Ani’
c. Pardi
ke-tuthuk
kanca-ne
Pardi
ACCD-hit
friend-POSS
‘Pardi was accidentally hit by his friend’
d. * Pardi
ke-tuthuk-an
kanca-ne
Pardi
ACCD-hit-APPL
friend-POSS
‘Pardi was accidentally hit by his friend’
This proves that the suffix –an adds violence to the verb, as an applicative morpheme
should do. In an adversative passive construction, the applicative suffix introduces an affected
argument as seen in (43).
(43)
The Introduction of an Affected Argument with suffix -an
a. Parto
ke-copet-an
dompet
Parto
ACCD-steal-APPL
wallet
‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’
b. * Parto
ke-copet
dompet
Parto
ACCD-steal
wallet
‘Parto suffered from a wallet being stolen when he was holding it’
148
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
In (43a), the suffix -an is obligatory because of the presence of the indirect affected argument,
Parto. In fact, a construction without -an is ungrammatical as seen in (43b).
To sum up, the prefix ke- adds an accidental passive semantics to a verb and, therefore,
it is best to call Javanese ‘adversative passive’ as Javanese ‘accidental passive’. The accidental
reading denotes that an unintended or unexpected result by the agent or the subject of the
passive. On the other hand, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an argument to
an intransitive or transitive verb.
CONCLUSION
It can be concluded that the previous frameworks on adversative passive, notably by Kubo
(1992) and Pylkkänen (2002), cannot offer a satisfying analysis for the Javanese ‘adversative
passive’. Firstly, instead of adversative semantics, Javanese ‘adversative passive’ carries an
accidental semantics which perceives that the action or the event is unexpected or unintentional.
Hence the agents of the passive do not intend to affect the affected argument with his or her
action while the affected argument also does not expect to be affected by the event or the action
described by the verb. Moreover, the accidental semantics is encoded with the prefix ke- which
serves as a specific accidental passive prefix. The prefix works for transitive or intransitive
verbs, except for unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-I-an.
Second, the possessor raising/low applicative framework proposed by Pylkkänen (2002)
is also problematic for Javanese accidental passive because the passive shows the following
traits: (1) the theme arguments are not obligatory and (2) the subject of the passive (the affected
argument) does not have to possess the theme argument. This poses a problem for Pylkkänen’s
(2002) framework since it requires a direct possesive relation between the affected and the
theme arguments.
I argue that Javanese accidental passive is best analyzed as a combination of prefix keand suffix –an. The prefix ke- serves to passivize the construction and assign accidental
semantics. On the contrary, the suffix –an serves as an applicative suffix to add an affected
argument to an unaccusative verb or a transitive verb. The combination of prefix ke- and suffix
–an is not compatible with unergative verbs which are only compatible with the circumfix ke-Ian. An overviewof Javanese accidental passive can be seen in Table 2.
Table 2. An Overview of Javanese Accidental Passive
Types of Verbs
Unaccusative
Unergative
Transitive
Transitive
Affix
Circumfix ke-I-an
Circumfix ke-I-an
Prefix keCircumfix ke-I-an
Passivization
Yes
No
Yes
Yes
Accidental Semantics
Yes
Yes
Yes
Yes
Applicativization
Yes
No
No
Yes
Lastly, I am aware that the examples used in this research are limited to only several
verbs and I understand that more examples are needed in future studies to further confirm the
conclusion I came to in this paper. I see my work as a preliminary research toward a unified
account of the Javanese accidental passive.
149
Ika Nurhayani
NOTES
* The authors would like to thank the two anonymous reviewers for their helpful comments on the earlier
version of this paper.
1
List of Abbreviations: ACT: Active, ACC: Accusative, ACCD: Accidental, ADV: Adversative, AOR:
Aorist, APPL: Applicative, BEN: Benefactive, DAT: Dative, ERG: Ergative, ILL: Illative, OBL: Oblique,
PASS: Passive, PL: Plural, POSS: Possesive, TR: Transitive.
REFERENCES
Dardjowidjojo, S. (1978). Sentence patterns of Indonesian. Honolulu: University of Hawaii
Press.
Davies, W.D. (1995). Javanese adversatives, passives and mapping theory. Journal of
Linguistics, 31, 15-31.
Davies, W. and Dubinski, S. (2004). The grammar of raising and control: A course in syntactic
augmentation. Malden, MA: Blackwell.
Fagerli, O. (2001). Malefactive by means of GIVE. In H. Simonsen and R. Endresen (Eds.), A
cognitive approach to the verb: Morphological and constructional perspectives (pp.
203-222). Berlin, New York: Mouton de Gruyter.
Haspelmath, M. (1993). A grammar of Lezgian. Berlin, New York: Walter de Gruyter.
Horne, E.C. (1961). Beginning Javanese. New Haven: Yale University Press.
Kittila, S. (2010). On distinguishing between recipient and beneficiary in Finnish. In M-L.
Helasvou and L. Campbell, Grammar from the human perspective (pp. 129-152).
Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.
Kittila, S. and Zuniga, F. (2010). Benefactive and malefiction from a crosslinguistic perspective.
In S. Kittila & F. Zuniga (Eds.). Benefactives and malefactives: A typological
perspectives and case studies (pp. 1-28). Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.
Kubo, M. (1992). Japanese passives. Working papers of the department of languages and
cultures university of Hokkaido, 23, 231-302.
Lee, J-E. (2006). A critical review of analyses of indirect passive. Studies in Generative
Grammar, 16(2), 269-285.
Nurhayani, I. (2013). A unified account of the syntax of valence in Javanese (Doctoral
dissertation), Cornell University, Ithaca, New York.
Oglobin, A. (2005). Javanese. In A. Adelaar & N.P. Himmelman (Eds.) The Austronesian
languages of Asia and Madagascar (pp. 590-624). New York: Routledge.
Poedjosoedarmo, G.R. (1986). Role structure in Javanese. Jakarta: Badan Penerbit Seri NUSA,
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Pylkkänen, L. (2002). Deriving adversity. In Billerey and Lillehaugen (Eds). Proceedings of
WCCFL, 19, 339-410. Somerville: MA.
150
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Prasithrathsint, A. (2006). Development of the Tuuk passive marker. In Werner Abraham and L.
Leisio (Eds.). Thai passivization and typology: Form and function (pp. 115-131).
Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins B.V.
Radetzky, P. and Smith, T.Y. (2010). An areal and crosslinguistic study of benefactive and
malefactive construction. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives and
malefactives: Typological perspective and case studies (pp. 97-120). Amsterdam,
Philadephia: John Benjamins.
Subroto, E. (1998). Adversative-passive verbs in standard Javanese. In M. Janse (Ed.).
Productivity and creativity: Studies in general and descriptive linguistics in honor of
E.M. Uhlenbeck (pp. 357-368). New York: Mouton de Gruyter.
Tsuboi, E. (2010). Malefactivity in Japanese. In S. Kittila and F. Zuniga (Eds.). Benefactives
and malefactives: A typological perspectives and case studies (pp. 419-435).
Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins.
Uhlenbeck, E.M. (1978). Studies in Javanese morphology. The Hague: Martinus Nijhoff.
Zoetmulder, P.J. and Poedjawijatna, I.R. (1961). Bahasa Parwa: Tata bahasa Djawa Kuno.
Jakarta: Obor.
151
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 153-171
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
FAKTOR DAN STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA BACA
MELALUI MEMBACA PEMAHAMAN MAHASISWA
Pranowo*
Antonius Herujiyanto
Universitas Sanata Dharma Universitas Sanata Dharma
[email protected] [email protected]
Abstrak
Budaya baca adalah sikap, perilaku, dan pola pikir dalam membaca seseorang yang
sudah mengakar dan tidak lagi mudah berubah. Budaya baca masyarakat Indonesia
masih tergolong rendah. Hasil penelitian pada tahun 2009 oleh Organisasi
Pengembangan Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati
posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Di samping itu, indeks minat
baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 juga
rendah, berada pada indeks 0,001. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya ada satu
orang yang memiliki minat baca baik. Kajian ini ingin mendeskripsikan berbagai faktor
yang mempengaruhi kemampuan membaca pemahaman dan strategi membaca
pemahaman yang sesuai untuk menumbuhkan budaya baca mahasiswa. Subjek
penelitiannya adalah mahasiswa PBSI USD dan UST semester 5 tahun akademik
2015/2016 dengan data penelitian berupa hasil angket faktor kemampuan membaca
pemahaman dan model pengembangan strategi budaya baca. Hasil penelitian
menemukan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca
pemahaman, yaitu faktor internal dan faktor eksternal, dan model pengembangan
strategi membaca pemahaman yang sesuai, yaitu strategi K-W-L (Know-Want-Learnt)
dan MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review).
Kata kunci: faktor membaca, strategi membaca, membaca pemahaman, budaya baca
Abstract
A reading habit can be defined as one’s attitude, behaviour, and mind-set patterns in
reading which has been strongly rooted and unchangeable. Indonesians’ reading habit is
still low. According to the 2009 research conducted by the Economic Co-operation
Developing Organization [OPKE], the reading interest index of Indonesian people is the
lowest among that of 52 East Asian countries. Similarly according to the 2012 data from
UNESCO, the Indonesians’ reading index is 0,001, which means that there is only one
out of 1000 Indonesians who is interested in reading. This study aims to describe many
different factors affecting the reading comprehension skills and strategies which are in
line with those efforts to develop the student’s reading habit. The subjects of the research
are the fifth semester students of 2015/2016 academic year of the Department of
Language (Indonesian) of USD and UST Yogyakarta. The data are the questionnaire
results on the factors of reading comprehension competency and reading habit strategy
developing model. The findings reveal that there are two factors which affect one’s
reading comprehension competency, namely, internal and external factors, and the
appropriate reading habit strategy developing models are K-W-L (Know-Want-Learnt)
and MURDER (Mood-Understand-Recall-Digest-Expand-Review).
Keywords: reading factors, reading strategies, reading comprehension, reading habit
Pranowo, Antonius Herujiayanto
PENDAHULUAN
Membaca merupakan kebutuhan pokok mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, mahasiswa harus memiliki kemampuan membaca pemahaman (KMP) yang baik. KMP akan
baik jika mahasiswa memiliki budaya baca yang baik pula. Namun, harus disadari bahwa
banyak faktor yang ikut menentukan terbentuknya budaya baca mahasiswa. Di samping
banyaknya faktor yang menentukan budaya baca, juga ada berbagai strategi pengembangan
budaya baca.
Sebenarnya, seorang anak yang sudah mampu menyelesaikan pendidikan SMA/SMK
dan masuk ke perguruan tinggi bukanlah anak bodoh. Kegagalan mahasiswa untuk meraih
sukses studi maupun sukses hidup, salah satunya karena tidak dimilikinya budaya baca. Oleh
karena itu, perlu ditelusuri bukti empiris faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca
mahasiswa. Secara hipotetis, berbagai faktor yang menyebabkan lemahnya budaya baca
mahasiswa didominasi oleh diri mereka sendiri (faktor pembaca). Memang, kita juga tidak
boleh menutup mata bahwa faktor di luar diri mahasiswa juga ikut memberi kontribusi terhadap
lemahnya budaya baca. Namun, semua itu akan dapat diatasi apabila mahasiswa memiliki daya
juang yang tangguh untuk mengatasi berbagai faktor di luar dirinya.
Dalam literatur klasik disebutkan bahwa bahasa mempengaruhi perilaku manusia
(Sapir, 1921). Perilaku manusia dapat berubah karena bahasa. Sebagai ilustrasi, ketika
seseorang melihat rambu lalu lintas “dilarang parkir”, seseorang pasti akan tunduk pada rambu
itu untuk tidak parkir di tempat tersebut. Itulah hakikat fungsi bahasa. Dengan demikian, ketika
seseorang mampu membaca dengan baik, mereka akan mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sayangnya, kemampuan membaca masyarakat Indonesia
masih sangat memprihatinkan.
Kemampuan membaca permulaan, seperti membaca pada taraf “melek huruf” (artinya
baru bebas dari buta huruf) dan minat baca yang masih sangat rendah merupakan salah satu
indikator rendahnya kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Beberapa data penelitian
yang berkaitan dengan melek huruf, indeks minat baca, dan budaya baca menunjukkan kondisi
yang memprihatinkan. Hasil penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis
UNDP pada tahun 2002 menyebutkan bahwa data melek huruf orang Indonesia berada di posisi
110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009
(http://hdr.undp.org/sites/ default/files/reports/14/hdr2013 _en_complete.pdf).
Pada tahun 2009, berdasarkan hasil penelitian yang diumumkan Organisasi Pengembangan
Kerja Sama Ekonomi, budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52
negara di kawasan Asia Timur (http://en.unesco.org/ themes/education-21st-century). Data lain
yang juga memprihatinkan adalah masih rendahnya indeks minat baca masyarakat. Indeks minat
baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO pada tahun 2012 berada pada
indeks 0,001. Artinya, setiap 1000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca
baik (http://www. unesco.org/new/en/unesco/about-us/).
Jika angka melek huruf dan indeks minat baca masih serendah itu, bangsa Indonesia
akan sangat sulit untuk memiliki budaya baca. Apa lagi jika yang dimaksud itu adalah budaya
membaca untuk menyerap informasi dan memberi tanggapan kritis terhadap berbagai jenis
informasi dalam bacaan, masyarakat Indonesia masih membutuhkan waktu cukup lama untuk
memiliki budaya baca.
154
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Berdasarkan data di atas, sejak tahun 2002, kondisi baca masyarakat Indonesia hampir
tidak mengalami perubahan. Walaupun proses pendidikan sudah berjalan puluhan tahun dengan
biaya triliunan rupiah, para pelaku pendidikan tidak mampu membuat perubahan yang
signifikan terhadap kemampuan membaca masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ada sesuatu
yang salah dalam pendidikan kita.
Data seperti itu dapat dimaknai bahwa daya saing dan daya tawar bangsa Indonesia
sangat rendah terhadap bangsa lain. Jika tidak segera diambil langkah konkret untuk
mengatasinya, tidak ada lagi yang dapat diharapkan bangsa Indonesia untuk dapat keluar dari
kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Melihat kondisi seperti itu, perlu ada terobosan
yang bersifat inovatif dan kreatif agar terjadi perubahan secara signifikan.
Pada saat ini, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah kemampuan membaca
tingkat tinggi, yaitu kemampuan membaca pemahaman (KMP). Jika yang dimiliki hanyalah
kemampuan membaca pada taraf “melek huruf” dan “minat baca” yang rendah, pasti daya
tawar bangsa Indonesia terhadap bangsa lain akan terus rendah.
Bangsa Indonesia harus mampu membangun budaya baca masyarakat. Namun, jika
modal dasar yang dimiliki hanya seperti data di atas (minat baca rendah, kemampuan baca pada
level “melek huruf” saja masih rendah), tantangan yang dihadapi sangat berat. Oleh karena itu,
opsi yang mungkin dapat dipilih adalah menyelesaikan persoalan secara bertahap. Tahap
pertama yang harus segera dijalankan adalah membangun budaya baca mahasiswa karena (a)
aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi, setelah
mahasiswa lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa adalah membaca
untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) mengembangkan budaya baca mahasiswa
akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki tinggal “membesut” (memberi
sentuhan sedikit) dapat menjadi budaya baca.
Oleh karena mendesaknya kebutuhan, di samping pengembangan budaya baca
mahasiswa, juga harus dipilih jenis membaca yang perlu dibudayakan, yaitu membaca
pemahaman. Budaya baca yang perlu dibangun oleh bangsa Indonesia bukan sekadar budaya
baca terhadap teks-teks sederhana, tetapi juga teks yang di dalamnya mengandung informasi
yang berkaitan dengan kemajuan iptek. Jika budaya baca seperti itu dapat diwujudkan, hal
tersebut akan menjadi lompatan luar biasa bagi bangsa Indonesia karena kondisi kemampuan
membaca bangsa Indonesia akan meningkat lebih cepat.
Tahap kedua, membangun budaya baca pada level pendidikan dasar dan menengah.
Pada level ini, budaya baca perlu dikembangkan untuk memberi dasar sedini mungkin kepada
anak agar di masa mendatang tumbuh budaya baca.
Atas dasar uraian di atas, ada dua permasalahan dalam artikel ini:
a) Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca membaca
pemahaman mahasiswa?
b) Strategi membaca seperti apakah yang sesuai untuk mengembangkan budaya baca membaca
pemahaman mahasiswa?
FAKTOR MEMBACA UNTUK MEMBANGUN BUDAYA BACA
Membaca pemahaman merupakan salah satu jenis membaca intensif. Beberapa ahli menyatakan
bahwa membaca intensif mencakup membaca pemahaman, membaca kritis, membaca
155
Pranowo, Antonius Herujiayanto
interpretatif, dan membaca kreatif (Broughton, dkk. 1989 dalam Tarigan, 2008:13). Jika
pendapat Broughton di atas dicermati, seakan-akan membaca pemahaman merupakan tahap
awal sebelum mencapai tahap membaca kritis, membaca interpretatif, dan yang tertinggi sampai
pada membaca kreatif. Padahal, sebenarnya ketika seseorang melakukan kegiatan membaca
pemahaman di dalamnya terdapat membaca kritis, interpretatif, dan membaca kreatif. Dengan
demikian, membaca pemahaman di dalamnya termasuk pemahaman literal, membaca
interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif (Smith, 2006 dalam http://massofa.
wordpress.com/200811/strategi-pemelajaran-membaca//). Oleh karena itu, Burns, dkk. (2004)
mengemukakan bahwa mengevaluasi kemampuan membaca pemahaman harus sekaligus
mengevaluasi (a) kemampuan membaca literal (literal reading), (b) kemampuan membaca
interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis (critical reading), dan (d)
kemampuan membaca kreatif.
Sejalan dengan pendapat Burns (2004:80), Smith (2006) dan Hagaman, dkk. (2010:
125) beranggapan bahwa pembaca harus melakukan banyak hal berkaitan dengan teks yang
dibacanya, seperti (a) menganalisis isi teks yang dibacanya, (b) menghubungkan pengetahuan
lama dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari teks yang dibacanya, (c) membuat
kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki, (d) mengevaluasi teks yang
dibacanya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, (e) menginterpretasi maksud penulis, (f)
membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah membaca teks, (g) menciptakan pemikiran baru
atas apa yang dibacanya berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Semua itu dilakukan dalam
satu kesatuan waktu ketika mereka sedang memahami teks.
Agar mahasiswa dapat melakukan seluruh proses berpikir seperti itu, terdapat banyak
faktor yang mempengaruhi kegiatan membacanya, yaitu (a) faktor pembaca, (b) faktor tingkat
kesulitan teks yang dibaca, dan (c) jenis teks yang dibaca. Faktor pembaca mencakup banyak
hal, seperti faktor kebahasaan (kemampuan berbahasa, penguasaan kosakata dan struktur
sintaksis, serta tingkat kelancaran dalam membaca), faktor kepribadian (minat, motivasi,
keadaan emosi, kebiasaan), IQ, latar belakang sosial budaya, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki sebelumnya, sikap mental, dsb. Faktor teks yang dibaca berkaitan dengan tingkat
kesulitan teks yang dibaca. Oleh karena itu, pembaca memerlukan strategi tertentu dan tingkat
kemahiran membaca pemahaman yang tinggi. Sementara itu, faktor yang berkaitan dengan jenis
teks yang dibaca, pembaca akan dihadapkan pada berbagai genre teks (teks ilmiah, teks literer,
teks berita, dll.).
National Reading Panel (2000) mengidentifikasi bahwa faktor yang mempengaruhi
kemampuan membaca pemahaman digolongkan menjadi dua, yaitu faktor pembaca dan faktor
teks. Faktor pembaca meliputi latar belakang pengetahuan pembaca, penguasaan kosakata,
tingkat kemahiran membaca, strategi pemahaman, keterampilan pemahaman, dan motivasi
pembaca. Sementara faktor yang berhubungan dengan teks meliputi jenis teks yang dibaca,
struktur teks, dan ciri khas teks. Di samping itu, Torgesen (2006:21) menambahkan bahwa
faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca adalah faktor tujuan, yaitu tujuan untuk
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai isi teks yang dibacanya.
Atas dasar uraian di atas, pengembangan budaya baca perlu memperhatikan berbagai
faktor yang mempengaruhi KMP. Faktor internal yang perlu ditingkatkan, seperti membangun
minat yang kuat, membangun dan mempertahankan motivasi, menjaga emosi agar tetap stabil,
membangun kebiasaan, memperkaya latar belakang pengetahuan pembaca, menambah jumlah
penguasaan kosakata, dan meningkatkan kemahiran membaca. Faktor eksternal yang perlu
156
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
ditingkatkan antara lain latar belakang sosial budaya, membiasakan membaca berbagai jenis
teks, membiasakan membaca tingkat kesulitan teks yang semakin rumit, memperhatikan faktor
sosial ekonomi keluarga, dan menjaga atmosfir lingkungan agar tetap kondusif.
Kemampuan Membaca Pemahaman dan Membaca Kritis
KMP merupakan kunci utama untuk menyerap informasi secara sahih dalam dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi. KMP merupakan usaha memahami dan menyerap informasi melalui
teks. Berdasarkan taksonomi Bloom yang telah direvisi Anderson (2011:25), domain
pemahaman merupakan domain kognitif kategori 2 dari enam kategori kognitif, yaitu
mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.
Kategori pemahaman pada ranah kognitif di atas sebenarnya masih level rendah, yaitu
level 2. Namun, penerapannya dalam membaca, kategori pemahaman (baca: membaca
pemahaman), jika mengikuti pendapat Burns, dkk (2004:75) sudah cukup kompleks karena
Burns memasukkan unsur membaca kritis dan membaca kreatif. Membaca kritis merupakan
kegiatan membaca untuk menganalisis, mengevaluasi materi, dan memberi tanggapan terhadap
informasi yang terdapat dalam teks bacaan, membandingkan ide dalam tulisan dengan
pengetahuan yang dimiliki, serta memberi simpulan mengenai keakuratan, kesesuaian, dan
keefektifan bahan bacaan. Aktivitas yang dilakukan pembaca kritis, yaitu (1) memahami makna
teks, dalam arti pembaca memahami isi bacaan berdasarkan informasi yang terkandung di
dalam teks (informasi tekstual), (2) memahami maksud yang ingin disampaikan oleh penulis,
dan (3) menciptakan pemahaman baru, dalam arti pembaca membangun pengetahuan baru
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dan maksud penulis.
Menurut The IRA Dictionary (dalam Haller, 2000:17), membaca pemahaman meliputi
(a) kegiatan memahami apa yang dibaca, (b) kegiatan memahami hubungan secara hierarkis
terhadap sesuatu yang dibaca, serta (c) kegiatan penginterpretasian, pengevaluasian, serta reaksi
yang dilakukan dengan cara kreatif dan intuitif. Dengan demikian, KMP adalah suatu kegiatan
yang berusaha memahami informasi bacaan secara keseluruhan dengan mendalam, menangkap
maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan menghubungkan isi bacaan dan maksud
penulis dengan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki pembaca.
Dengan acuan teori di atas, untuk mengukur tingkat KMP dapat mengikuti pendapat
Burns, dkk. (2004:80) yaitu dengan mengukur (a) kemampuan membaca literal (literal reading),
(b) kemampuan membaca interpretatif (interpretative reading), (c) kemampuan membaca kritis
(critical reading), dan (d) kemampuan membaca kreatif (creative reading). Jika keempat
kemampuan membaca tersebut telah dimiliki dengan baik, berarti kompetensi kemampuan
membaca pemahaman mahasiswa sudah dapat dikategorikan memadai.
Dari keempat aspek KMP di atas, membaca kritis merupakan salah satu langkah
membaca pemahaman. Pembaca berusaha menyerap informasi dengan memberikan
pertimbangan kelebihan dan kekurangan suatu informasi dengan menggunakan penalaran
berdasarkan pemikiran logis untuk sampai pada kesimpulan. Kegiatan membaca kritis hanya
dapat dilakukan oleh seorang pemikir kritis. Pemikir kritis yaitu pemikir yang mampu berpikir
secara sistematis untuk menemukan kebenaran dengan mengevaluasi bukti-bukti, asumsi,
logika, dan bahasa orang lain yang mendasari pernyataan yanag diungkapkan (Elaine,
2007:125).
157
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Pembaca kritis tidak sekadar menyerap apa yang ada, tetapi ia bersama-sama penulis
berpikir tentang masalah yang dibahas. Membaca secara kritis berarti membaca secara analitis
dengan penilaian. Pembaca harus berinteraksi dengan penulis dan saling mempengaruhi
sehingga terbentuk pengertian baru (Sudarso, 2001:20). Pembaca kritis harus mampu
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan hati-hati untuk memutuskan apakah pembaca
akan menerima, menolak, atau menunda penilaian tentang suatu pernyataan (Moore, 2008:15).
Fisher (2008:125) menyatakan bahwa berpikir kritis harus selalu mempertimbangkan
secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan dengan mempertimbangkan
alasan-alasan
yang
mendukungnya
dan
kesimpulan-kesimpulan
yang
menjadi
kecenderungannya. Jenis membaca kritis penting karena berguna untuk menyeleksi jenis
informasi yang diserap agar memperoleh informasi yang terpercaya (sahih) dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika dikembalikan pada domain kognitif dari Bloom, membaca pemahaman, meskipun
masih tergolong level 2, sebenarnya sudah termasuk membaca kritis. Aktivitas pembaca sudah
mencakup seluruh kategori, yaitu (a) menerapkan konsep-konsep teoretis, (b) menganalisis
setiap pernyataan, (c) mengevaluasi pernyataan, dan (d) mencipta konsep baru berdasarkan
pernyataan yang sudah ada.
Dengan demikian, KMP membutuhkan kemampuan berpikir kritis. Dam dan Volman
(2004:21) menekankan bahwa critical thinking merupakan kompetensi wajib bagi pembaca.
Oleh karena itu, penguasaan kompetensi berpikir kritis ini harus menjadi tujuan pendidikan bagi
setiap mahasiswa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Beck & Dole (1985, dalam Burns, 1986:80) bahwa
kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan mengolah bahan bacaan untuk menemukan
makna, baik yang tersurat maupun yang tersirat melalui tahap mengenal, memahami,
menganalisis, menilai, dan mencipta. Mengolah bahan bacaan secara kritis, artinya, pembaca
tidak hanya menangkap makna yang tersurat (reading on the lines), tetapi juga menemukan
makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the
lines).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa kemampuan membaca kritis
dibutuhkan dalam KMP. Seorang pembaca kritis pada hakikatnya adalah pemikir kritis. Pemikir
kritis harus selalu mempertimbangkan secara aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah
keyakinan dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulankesimpulan yang menjadi kecenderungannya. Dengan demikian, KMP membutuhkan
kemampuan berpikir kritis, dalam arti pembaca harus mengolah bahan bacaan untuk
menemukan makna tersurat (reading on the lines), makna antarbaris (reading between the
lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines).
METODE PENELITIAN
Sumber data penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP Universitas Sanata Dharma, Universitas Tamansiswa, dan Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta semester VI tahun 2015/2016. Data penelitian berupa hasil angket faktor
yang mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa, dan hasil kajian strategi yang
digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa.
158
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Artinya, di samping
penelitian dapat menggambarkan berbagai faktor membaca secara deskriptif dengan angkaangka persepsi mahasiswa, juga didukung argumen-argumen secara kualitatif. Metode
pengumpulan datanya berupa angket dan studi dokumentasi. Angket digunakan untuk
mendapatkan gambaran mengenai faktor yang mempengaruhi terbentuknya budaya baca
mahasiswa, dan strategi yang digunakan untuk membentuk budaya baca mahasiswa.
Analisis data berupa angket dilakukan dengan langkah sebagai berikut: (1) membuat
tabulasi angket faktor yang mempengaruhi pembentukan budaya baca, (2) mengklasifikasikan
hasil angket, dan (3) menentukan frekuensi pengaruh faktor terhadap pembentukan budaya
baca. Studi dokumentasi digunakan untuk mendeskripsikan aneka kajian mengenai strategi
pengembangan budaya baca. Langkah analisis yang dilakukan adalah (1) meninjau ulang
berbagai teori kajian strategi membaca, (2) membedakan hasil kajian strategi satu dengan
strategi yang lain, dan (3) memformulasikan aneka hasil kajian menjadi satu rumusan strategi
pengembangan budaya baca yang sesuai untuk mahasiswa.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Faktor yang Mempengaruhi Budaya Baca
Ada dua faktor yang mempengaruhi budaya baca mahasiswa, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal (Tompkins, 2014). Persepsi mahasiswa terhadap setiap faktor diidentifikasi melalui
beberapa indikator. Atas dasar indikator tersebut, persepsi mahasiswa dideskripsikan dengan
menggunakan kriteria Setuju (S), tidak setuju (TS), dan tidak memiliki pilihan (TMP).
Faktor Internal
Hasil analisis faktor internal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan
sebagai berikut.
1) Faktor motivasi
Faktor motivasi mencakup motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Kedua jenis motivasi
tersebut memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca mahasiswa. Berdasarkan
aktivitas dan sikap yang dilakukan oleh mahasiswa, baik faktor motivasi intrinsik maupun
ekstrinsik diidentifikasi melalui lima indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.
Tabel 1. Faktor Motivasi
Faktor
Indikator
1. Jika diberi tugas membaca oleh dosen, saya berusaha
menyelesaikannya tepat waktu.
2. Dalam keseharian, dorongan membaca saya tidak hanya tertuju
pada bacaan-bacaan hiburan.
3. Selama perkuliahan, saya ingin mencapai prestasi setinggiFaktor
tingginya dengan cara rajin membaca.
motivasi 4. Jika akan menempuh ujian tengah semester atau akhir semester,
dorongan membaca saya sangat kuat.
5. Jika berhasil menyelesaikan tugas membaca, merasa dihargai jika
mendapat pujian dari dosen atau teman.
Rata-rata dalam %
159
Kategori dalam %
S
TS
TMP
73
12
15
43
12
45
70
6
24
88
3
9
61
12
27
67
9
24
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor motivasi terhadap terbentuknya budaya baca
memberi kontribusi sebesar 67%. Berdasarkan faktor tersebut, ada beberapa indikator yang
cukup kuat pengaruhnya terhadap pembentukan budaya baca, yaitu (1) peranan dosen dalam
perkuliahan, (2) keinginan mencapai prestasi setinggi-tingginya, (4) dorongan membaca saat
menghadapi ujian, dan (5) perlunya pujian oleh dosen atau teman atas keberhasilan yang
dicapai. Jika keempat indikator motivasi tersebut dapat dimanfaatkan secara benar, KMP
mahasiswa akan semakin baik dan dapat menumbuhkan terbentuknya budaya baca.
2) Faktor minat
Faktor minat memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan aktivitas
yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor minat dapat diidentifikasi melalui lima indikator.
Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.
Tabel 2. Faktor Minat
Faktor
Indikator
1.
2.
Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca.
Jika ada teman yang memiliki buku baru, saya ingin mengajak
untuk mendiskusikan isinya.
3. Saya lebih suka membaca sendiri sumber informasi dari pada
Faktor
mengikuti pendapat orang lain.
minat
4. Setelah membaca, saya berkeinginan mengungkapkan gagasan
hasil membaca secara tertulis dalam bentuk artikel, makalah, atau
bentuk lain.
5. Saya ingin membaca kembali bacaan yang pernah saya baca untuk
menyegarkan ingatan.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam %
S
TS
TMP
76
18
6
49
15
36
77
14
9
30
27
43
49
15
36
56,2
17,8
26
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh faktor minat terhadap pembentukan budaya baca memberikan
sumbangan sebesar 56,2%. Indikator faktor minat yang memiliki pengaruh kuat terhadap
pembentukan budaya baca, yaitu (1) minat mencari jawaban terhadap suatu masalah melalui
membaca, dan (3) minat membaca sendiri sumber informasi untuk menemukan jawaban suatu
masalah. Sebenarnya, faktor-faktor lain juga memiliki pengaruh tetapi belum nanpak secara
signifikan, seperti (2) kemauan untuk mendiskusikan isi buku yang dibacanya, (4) kemauan
mengungkapkan gagasan hasil membacanya secara tertulis, dan (5) kemauan membaca kembali
bacaan yang pernah dibacanya untuk menyegarkan ingatan juga memiliki peran penting dalam
menumbuhkan budaya baca. Namun, hal ini belum mendapat perhatian mahasiswa.
3) Faktor kebiasaan
Pengaruh faktor kebiasaan dalam pembentukan budaya baca dapat diidentifikasi melalui dua
indikator. Perhatikan tabel hasil analisis di bawah ini.
Tabel 3. Faktor Kebiasaan
Faktor
Indikator
Saya menyusun jadwal teratur untuk membaca setiap hari.
Buku-buku yang akan saya baca saya siapkan di tempat yang
mudah saya jangkau.
Rata-rata dalam %
Faktor
kebiasaan
1.
2.
160
Kategori dalam %
S
TS
TMP
21
55
24
58
33
9
39,50
44
16,50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Berdasarkan tabel pada halaman 160, faktor kebiasaan terhadap pembentukan budaya baca
memberi kontribusi sebesar 39,50%. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa,
indikator yang memiliki pengaruh terhadap terbentuknya kebiasaan adalah kesediaan
menyiapkan buku yang akan dibaca di tempat yang mudah dijangkau. Sebaliknya, indikator
faktor kebiasaan yang belum tumbuh dengan baik pada mahasiswa adalah belum memiliki
jadwal teratur untuk membaca setiap hari. Padahal keteraturan jadwal baca merupakan salah
satu wujud disiplin untuk membentuk kebiasaan. Dengan demikian, untuk menumbuhkan
kebiasaan membaca, mahasiswa masih perlu peningkatan disiplin, antara lain dengan menyusun
jadwal baca secara teratur.
4) Faktor Kondisi Emosi
Pengaruh faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui dua
indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 4. Kondisi Emosi
Faktor
Indikator
1.
Setelah selesai membaca, saya merasa bangga jika hasil
membaca yang saya lakukan dan saya presentasikan di kelas
mendapat kritik dan masukan dari dosen.
2. Saya merasa puas jika dapat menyelesaikan secara maksimal
tugas yang diberikan kepada saya.
Rata-rata dalam %
Faktor
kondisi
emosi
Kategori dalam %
S
TS TMP
85
9
6
82
15
3
83,50
12
4,50
Berdasarkan tabel di atas, sumbangan faktor kondisi emosi terhadap pembentukan budaya baca
sebesar 83,50%. Indikator faktor kondisi emosi yang memiliki pengaruh besar terhadap budaya
baca adalah (1) adanya rasa bangga jika presentasi hasil membacanya mendapat kritik dan
masukan dari dosen, dan (2) kesediaan menyelesaikan tugas secara maksimal.
5) Faktor cara membaca
Faktor cara membaca memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca. Berdasarkan
aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, cara membaca dilihat melalui enam indikator. Hasil
analisis data dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Faktor Cara Membaca
Faktor
Indikator
1. Agar memahami isi bacaan, saya merumuskan dengan bahasa
saya sendiri.
2. Dengan memahami berbagai teknik membaca, ternyata sangat
membantu mempermudah memahami isi bacaan.
3. Untuk mempermudah memahami isi bacaan, saya membuat
Faktor
skema gagasan setiap kali membaca.
Cara
Membaca 4. Agar memahami isi bacaan, saya cukup mengingat-ingat isinya
saja.
5. Sambil membaca, saya membuat ringkasan isi bacaan.
6. Untuk memahami isi bacaan, saya membuat pertanyaan
berdasarkan isi bacaan yang saya baca.
Rata-rata dalam %
161
Kategori dalam %
S
TS
TMP
82
3
15
70
6
24
58
9
33
48
34
18
45
27
15
40
40
33
55
17,83
27,17
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Faktor cara membaca memberikan pengaruh sebesar 55%. Indikator yang memiliki pengaruh
cukup besar adalah (1) membaca sambil merumuskan isi bacaan dengan bahasa sendiri, (2)
membaca dengan memahami berbagai teknik membaca, dan (3) membaca dengan membuat
skema gagasan. Sementara itu, ada tiga indikator penting cara membaca tetapi belum
berkembang pada mahasiswa untuk pembentukan budaya baca, yaitu (4) membaca sambil
mengingat-ingat isi bacaan, (5) membaca sambil membuat ringkasan isi bacaan, dan (6)
membaca sambil membuat pertanyaan tentang isi bacaan. Tiga indikator terakhir tentang faktor
cara membaca belum tumbuh pada mahasiswa. Hal ini perlu mendapat perhatian, dalam arti
perlu ditingkatkan karena belum memadai.
6) Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya
Faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memiliki pengaruh terhadap pembentukan
budaya baca. Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya dilihat melalui tujuh indikator. Hasil analisis ketujuh indikator tersebut dapat dilihat
melalui tabel berikut.
Tabel 6. Pengetahuan yang Dimiliki Sebelumnya
Faktor
Indikator
1.
2.
3.
Pengetahuan
yang
dimiliki
sebelumnya
4.
5.
6.
7.
Melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis
ketika memberi tanggapan terhadap pendapat orang lain.
Dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya
menjadi baik.
Saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui
membaca.
Jika ada pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel,
buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak sumber
aslinya agar dapat memahami secara lebih
komprehensif.
Saya tidak mudah percaya dengan pendapat orang lain
sebelum membaca sendiri sumber aslinya.
Saya ingin merujuk pada bacaan setiap berargumentasi
dengan orang lain.
Saya merasa tidak puas dengan bacaan yang telah saya
baca sebelum membandingkan dengan bacaan lain.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam %
S
TS
TMP
81
9
10
79
9
12
70
21
9
70
12
18
52
12
36
43
18
39
40
27
33
62,14
15,43
22,43
Berdasarkan hasil pada Tabel 6, faktor pengetahuan yang dimiliki sebelumnya memberikan
pengaruh terhadap pembentukan budaya baca sebesar 62,14%. Dari ketujuh indikator tersebut
terdapat lima indikator yang memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap pembentukan budaya
baca, yaitu (1) melalui membaca, saya mampu berpikir lebih kritis ketika memberi tanggapan
terhadap pendapat orang lain, (2) dengan rajin membaca, kemampuan berbicara saya menjadi
baik, (3) saya ingin mencari jawaban atas suatu masalah melalui membaca, (4) jika ada
pendapat ahli yang dikutip dalam suatu artikel, buku, atau hasil penelitian, saya ingin melacak
sumber aslinya agar dapat memahami secara lebih komprehensif, dan (5) saya tidak mudah
percaya dengan pendapat orang lain sebelum membaca sendiri sumber aslinya. Sementara itu,
indikator lain yang belum disadari pentingnya oleh mahasiswa adalah (6) kesediaan merujuk
pada bacaan setiap berargumentasi dengan orang lain dan (7) kesediaan membandingkan
162
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
dengan bacaan lain dengan bacaan yang pernah dibacanya. Padahal, kedua indikator terakhir ini
sangat penting dalam pembentukan budaya baca, terutama budaya baca untuk membaca
pemahaman. Di sisi lain, mahasiswa kurang memperlihatkan jiwa tangguh dalam menemukan
kebenaran, dan keinginan untuk selalu merujuk pada bacaan setiap berargumentasi dengan
orang lain juga belum terlihat dengan baik.
7) Faktor ketertarikan terhadap manfaat membaca
Faktor ketertarikan manfaat membaca terhadap pembentukan budaya baca diidentifikasi melalui
tiga indikator. Hasil analisis ketiga indikator tersebut dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 7. Ketertarikan terhadap Manfaat Membaca
Faktor
Indikator
Faktor
ketertarikan
terhadap bacaan
dan
kebermanfaatan
1. Meskipun tidak berkaitaan dengan bidang yang saya
pelajari, jika bacaan itu menarik, saya membacanya.
2. Sesulit apapun isi dalam bacaan, jika berkaitan dengan
bidang ilmu yang saya pelajari, saya akan berusaha
sampai dapat memahami isi bacaan.
3. Saya menyadari bahwa membaca merupakan kebutuhan
pokok bagi seorang mahasiswa jika ingin memiliki
wawasan dan pengetahuan luas.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam
%
S
TS
TMP
73
12
15
82
2
16
91
3
6
82
5,67
12,33
Atas dasar hasil analisis data di atas, ketertarikan terhadap manfaat membaca memiliki
sumbangan sangat besar terhadap pembentukan budaya baca, yaitu sebesar 82%. Sumbangan
dari ketiga indikator tersebut adalah (1) ketertarikan membaca jenis bacaan yang bukan bidang
ilmunya, (2) kesadaran untuk mengatasi kesulitan dalam bidang ilmu yang dipelajari melalui
membaca, dan (3) tumbuhnya kesadaran akan pentingnya membaca. Jika pengaruh positif
seluruh indikator pembentuk budaya baca dapat tergambar seperti itu, budaya baca mahasiswa
akan sangat mudah berkembang di kampus. Sayangnya, masih banyak indikator lain yang tidak
tergambar pengaruhnya secara positif.
8) Faktor intelegensi
Faktor intelegensi terhadap pembentukan budaya baca menurut pendapat mahasiswa tidak
begitu penting. Hal ini diidentifikasi melalui satu indikator saja. Hal ini dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 8. Faktor Intelegensi
Faktor
Faktor
intelegensi
Indikator
Tingkat intelegensi tidak begitu penting, jika tekun dan rajin
membaca pasti dapat memahami isi bacaan.
Kategori dalam %
S
TS
TMP
61
21
18
Dengan merujuk pada data tersebut, berdasarkan pendapat mahasiswa, intelegensi memiliki
pengaruh sebesar 61%. Mahasiswa mengatakan bahwa budaya baca lebih ditentukan oleh
ketekunan membaca daripada tingkat intelegensi. Tentu harus disikapi secara hati-hati. Jika
maksud sikap mahasiswa tersebut sebagai usaha memotivasi diri untuk terus belajar meskipun
163
Pranowo, Antonius Herujiayanto
IQ yang dimiliki terbatas, sikap ini dapat dipandang sebagai sikap positif. Meskipun demikian,
tidak berarti bahwa peranan IQ tidak lagi penting.
Analisis Faktor Eksternal
Hasil analisis faktor eksternal yang mempengaruhi budaya baca (Tompkins, 2014) disajikan
sebagai berikut.
1) Faktor kesulitan bahan bacaan
Kesulitan bahan bacaan menjadi salah satu faktor penting untuk membentuk budaya baca.
Berdasarkan aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswa, faktor kesulitan bahan bacaan
diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 9. Faktor Kesulitan Bacaan
Faktor
Kategori dalam %
S
TS TMP
68
10
22
Indikator
Bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang yang saya pelajari, saya
sering mengalami kesulitan untuk memahami isinya.
Meskipun berkaitan dengan bidang ilmu yang saya pelajari,
kadang-kadang saya mengalami kesulitan untuk memahami isi
bacaan.
Rata-rata dalam %
Faktor
kesulitan
bacaan
82
9
9
75
9,5
15,5
Berdasarkan tabel hasil analisis data di atas, faktor kesulitan bahan bacaan memberi sumbangan
sebesar 75%. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) kesulitan memahami isi
bacaan yang tidak berkaitan dengan bidang ilmunya, dan (2) kesulitan memahami isi bacaan
meskipun dalam bidang ilmunya. Jika demikian kondisinya, berarti tingkat kesulitan bahan
bacaan, baik dalam bidang ilmu yang dipelajari maupun yang bukan bidang ilmu yang dipelajari
sangat mempengaruhi pembentukan budaya baca mahasiswa.
Kesulitan memahami isi jenis bacaan yang tidak berkaitan dengan hidang ilmunya
memang banyak dialami oleh setiap orang. Faktor latar belakang ilmu yang tidak dimiliki oleh
mahasiswa menjadi salah satu penyebab sulitnya memahami jenis bacaan tersebut. Begitu juga,
jenis bacaan yang terlalu sulit (kosakata yang digunakan, struktur kalimat yang digunakan)
sangat wajar jika menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab sulitnya memahami isi
bacaan.
2) Faktor latar belakang sosial ekonomi keluarga
Faktor latar belakang ekonomi keluarga memiliki pengaruh terhadap pembentukan budaya baca
diidentifikasi melalui dua indikator. Hasil analisis dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 10. Latar Belakang Sosial Ekonomi Keluarga
Faktor
Indikator
Faktor latar
belakang sosial
ekonomi keluarga
Saya tidak pernah mengalami kesulitan untuk
memperoleh bahan bacaan yang saya butuhkan.
Saya merasa gelisah di saat ingin membaca tetapi tidak
tersedia bahan bacaan.
Rata-rata dalam %
164
Kategori dalam %
S
TS
TMP
33
52
15
43
39
18
38
45,50
16,50
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Faktor ekonomi keluarga berpengaruh besar terhadap pengembangan budaya baca. Indikator
tersebut semakin diperkuat dengan tidak adanya daya juang mahasiswa untuk mendapatkan
bahan bacaan. Hal ini diidentifikasi melalui dua indikator, yaitu (1) tidak pernah mengalami
kesulitan untuk memperoleh bahan bacaan yang dibutuhkan ternyata masih cukup besar, yaitu
52%, dan (2) perasaan gelisah ketika akan membaca tetapi tidak tersedia bahan bacaan yang
dibutuhkan sebesar 43%.
3) Faktor suasana lingkungan
Faktor suasana lingkungan memiliki pengaruh yang cukup terhadap pembentukan budaya baca.
Berdasarkan pengakuan mahasiswa, hasil analisis data dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 11. Faktor Suasana Lingkungan dan Waktu
Faktor
Faktor
suasana
lingkungan
Indikator
1.
2.
Saya ke perpustakaan untuk membaca jika ada masalah yang
perlu diselesaikan.
Jadwal membaca saya sering terganggu, jika tiba-tiba ada
orang yang datang bertamu.
Rata-rata dalam %
Kategori dalam %
S
TS
TMP
33
52
15
43
39
18
38
45,5
16,5
Berdasarkan hasil analisis tersebut, faktor suasana lingkungan tidak begitu penting bagi
mahasiswa dalam pembentukan budaya baca, yaitu hanya didukung oleh 38%. Namun, jika
pengakuan mahasiswa benar bahwa mereka tidak pernah mengunjungi perpustakaan meskipun
ada masalah yang harus diselesaikan, sebenarnya ada faktor lain yang lebih berpengaruh
terhadap “kemalasan” mahasiswa berkunjung ke perpustakaan. Hal ini diperkuat dengan
pengakuan bahwa “kunjungan tamu” dianggap tidak mengganggu jadwal baca. Kedua hal
tersebut menjadi konsisten bahwa sebenarnya mahasiswa belum memiliki budaya baca yang
baik karena kemalasan.
3) Faktor pengaruh budaya lisan
Pengaruh budaya lisan memiliki peranan besar terhadap pembentukan budaya baca, terutama
pengaruh bahasa lisan yang sering mempersulit pemahaman isi bacaan. Hasil analisis data dapat
dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 13. Faktor Pengaruh Budaya Lisan
Faktor
Faktor pengaruh
budaya lisan
Indikator
Masih kuatnya pengaruh bahasa lisan dalam hidup saya,
sering mempersulit pemahaman isi bacaan.
Kategori dalam %
S
TS
TMP
61
23
16
Berdasarkan hasil analisis data tersebut, pengaruh budaya lisan terutama bahasa lisan disetujui
oleh 61% mahasiswa. Meskipun hanya diidentifikasi melalui satu indikator, pengaruh budaya
lisan dapat merasuk ke seluruh aspek kehidupan mahasiswa.
4) Faktor pengaruh televisi
Televisi sebagai media audiovisual merupakan media hiburan yang paling murah dalam
keluarga. Oleh karena itu, sangat wajar jika sebagian waktu luang mahasiswa digunakan untuk
menonton televisi. Bahkan, karena jumlah saluran televisi cukup banyak, acara hiburan juga
cukup variatif. Perhatikan tabel pada halaman 166.
165
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Tabel 14. Faktor Pengaruh Televisi
Faktor
Faktor
pengaruh
televisi
Indikator
Jika acara televisi menarik, kegiatan membaca saya tinggalkan
terlebih dahulu untuk menonton acara televisi.
Kategori dalam %
S
TS
TMP
73
21
6
Berdasarkan tabel di atas, pengaruh televisi sebagai media hiburan cukup besar, yaitu 73%. Data
di atas juga menunjukkan bahwa pengaruh televisi dapat bersifat positif maupun negatif.
Pengaruh positif bagi mahasiswa ketika menonton televisi adalah diperolehnya berbagai macam
informasi yang aktual dan faktual. Namun, jika tidak selektif dalam menonton televisi,
mahasiswa dapat terjerumus pada hal-hal yang bersifat hiburan semata sehingga kehilangan
waktu untuk belajar.
Analisis Dokumen Strategi Pengembangan Budaya Baca
Untuk membangun budaya baca, mahasiswa memerlukan strategi tertentu. Strategi membaca
pemahaman pada dasarnya adalah siasat agar ketika membaca dapat memahami isi teks, mampu
mengkritisi isi teks, mampu menginterpretasi maksud penulis teks, dan mampu mencipta teks
baru berdasarkan teks yang dibacanya. Beberapa strategi membaca dapat dikaji sebagai berikut.
Pertama, strategi terstruktur dan strategi mandiri (UT, 2014). Strategi terstruktur masih
menekankan peran dosen melalui perkuliahan, yaitu (a) pemelajaran dipandu oleh dosen, (b)
terjadi tatap muka, dan (c) tersedia buku teks. Strategi mandiri menuntut aktivitas pembaca
untuk belajar secara mandiri, yaitu (a) memiliki disiplin diri, (b) mampu berinisiatif, (c)
memiliki motivasi belajar yang kuat, (d) mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar,
dan (e) biasanya tersedia modul (media cetak) maupun noncetak (audio/video, komputer/
internet, siaran radio, dan televisi). Strategi ini kurang tepat diterapkan bagi mahasiswa karena
aktivitas membaca masih membutuhkan panduan dosen.
Kedua, strategi SQ3R (Andrew, 2008) menuntut pembaca memulai kegiatan membaca
dengan (a) Survey, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur teks yang dibacanya, seperti judul buku,
nama pengarang, daftar isi, jumlah bab, topik setiap bab, indeks, daftar pustaka, (b) Question,
yaitu menyusun daftar pertanyaan yang dipikirkan oleh pembaca sebelum membaca buku,
seperti (i) apa yang dibahas oleh pengarang dalam buku, (ii) dasar teori apa yang digunakan
oleh pengarang dalam menulis buku, (iii) apa kelebihan yang dimiliki oleh buku yang akan
dibacanya, (iv) unsur kebaruan apa yang terdapat dalam buku, dan sebagainya, (c) Read, yaitu
membaca bahan. Dalam membaca bahan, pembaca harus berusaha memahami (i) arti kata sukar,
idiom, ungkapan, (ii) memahami makna tersurat, (iii) memahami makna tersirat, (iv)
menyimpulkan isi bacaan, (v) mengevaluasi bacaan baik dari aspek isi, organisasi, maupun
bahasa yang digunakan dalam bacaan, (vi) menangkap maksud penulis, dan (vii) membuat
prediksi setelah bacaan dibaca oleh pembacanya, (d) Resite, yaitu melakukan tanya jawab
mengenai isi bacaan, dan (e) Review, yaitu mengulas keseluruhan isi bacaan dengan
menggunakan rumusan bahasa sendiri. Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa
karena tahap-tahap kegiatannya masih terlalu elementer.
Ketiga, strategi PQ4R memiliki aktivitas pembaca mirip dengan SQ3R tetapi lebih
ditekankan pada kegiatan pembaca untuk membuat elaborasi isi bacaan (Thomas and Robinson,
1972). Kegiatan PQ4R mencakup (a) Preview (membaca selintas dengan cepat), (b) Question
166
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
(bertanya), (c) Read, (d) Refleksi, (e) Resite (melakukan tanya jawab), dan (f) Review
(mengulang secara menyeluruh isi bacaan menggunakan rumusan bahasa sendiri) (Trianto,
2007). Strategi ini kurang tepat diterapkan untuk mahasiswa karena tahap-tahap kegiatannya
masih masih sama dengan SQ3R.
Keempat, strategi KWL (Ogle,1986) sebagai singkatan dari What I Know (apa yang
ingin saya ketahui), What Do I Want to Learn (apa yang ingin saya pelajari), dan What I
Learned (apa yang telah saya pelajari). Renaldi (2002) menyatakan bahwa K-W-L berguna
untuk penjelajahan sebuah topik dan isi bacaan secara cepat. Keistimewaan K-W-L ialah
memungkinkan pembaca menjajaki sebuah topik melalui multiple perspective. Strategi ini
menekankan pada pentingnya latar belakang pengetahuan pembaca. Langkah pemelajaran
menggunakan KWL adalah sebagai berikut. Pertama, langkah What I Know mencakup empat
langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa menyampaikan ide-ide tentang topik bacaan yang
akan di baca, (b) mencatat ide-ide mahasiswa tentang topik yang akan dibaca, (c) mengatur
diskusi tentang ide-ide yang diajukan mahasiswa, dan (d) memberikan stimulus atau
penyelesaian contoh mengenai kategori ide. Kedua, langkah What Do I Want to Learn
mencakup dua langkah, yaitu (a) membimbing mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan yang
terkait dengan topik bacaan, dan (b) membimbing mahasiswa untuk membuat skala prioritas
tentang pertanyaan-pertanyaan yang benar-benar mereka inginkan jawabannya. Ketiga, langkah
What I Learned, dosen membimbing mahasiswa menuliskan kembali apa yang telah dibaca
dengan bahasanya sendiri. Strategi ini cocok diterapkan untuk mahasiswa karena aktivitasnya
ditekankan pada tumbuhnya kesadaran untuk mengetahui alasan “mengapa seseorang harus
belajar” dan “tahu apa yang harus dipelajari”.
Kelima, strategi MURDER (Kagan dan Kagan, 2009) merupakan salah satu strategi
membaca yang cocok untuk belajar mandiri bagi mahasiswa. MURDER merupakan singkatan
dari Mood–Understand–Recall–Digest–Expand dan Review. Mood (suasana hati) maksudnya
berusaha menciptakan suasana hati yang lebih tenang. Pembaca berusaha mengenali materi agar
timbul rasa senang pada materi yang dibacanya. Pembaca juga berusaha menciptakan suasana
senang setiap kali membaca. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memilih waktu yang tepat,
memilih lingkungan yang nyaman, dan menyesuaikan belajar dengan suasana hati masingmasing. Understand (pemahaman) maksudnya pembaca mulai membaca keseluruhan materi
kemudian memberi tanda kata atau kalimat yang tidak dimengerti artinya. Pembaca kemudian
berusaha mencari tahu melalui sumber-sumber tertentu (kamus atau bertanya kepada teman,
dosen, atau pihak lain). Recall (ulangi) maksudnya materi yang sudah dibaca diulangi berkalikali dengan membuat rangkuman dengan kata-kata sendiri. Digest (telaah) maksudnya
membaca kembali rangkuman yang dibuat dan jika belum paham mencari penjelasan lebih
lanjut pada narasumber. Expand (kembangkan) maksudnya materi yang sudah dirangkum
kemudian dicoba dikembangkan dengan cara menerapkan pada kehidupan nyata sehari-hari,
misalnya, dicoba diterapkan dalam perkuliahan sambil mencacat apa sajakah kekurangannya.
Cara lain dapat juga diterapkan, misalnya membuat daftar pertanyaan untuk dijawab sendiri.
Review (pelajari kembali) maksudnya setiap materi yang pernah dipelajari kemudian diulang
lagi berkali-kali agar dapat terserap dalam memori jangka panjang sehingga tidak lupa. Strategi
ini cocok diterapkan bagi mahasiswa yang sudah mulai banyak belajar secara mandiri karena
setiap langkah terdapat kegiatan yang mengharuskan mahasiswa melakukan pendalaman materi
yang dibacanya.
167
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Berdasarkan beberapa strategi memahami isi teks di atas, butir penting dalam setiap
strategi yang dapat dicatat adalah (a) mahasiswa harus dibimbing agar dapat belajar secara
mandiri. Mahasiswa dibiasakan berdisiplin, mampu berinisiatif, memiliki motivasi belajar yang
kuat, dan mampu mengatur waktu secara efisien untuk belajar. Semua itu dilakukan untuk
menciptakan mood agar tercipta suasana hati yang positif terhadap materi yang akan dipelajari,
(b) mahasiswa mampu menangkap berbagai informasi dengan cara mengulangi materi yang
pernah dibaca, yaitu dengan cara membuat ringkasan, menelaah dan mencari informasi yang
belum dipahami, lalu mencoba menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, mempelajari
kembali materi yang pernah dipelajari agar semakin teringat isinya, dan (c) mahasiswa
melakukan survey, mengajukan pertanyaan, bertanya jawab isi bacaan, dan mengulang secara
menyeluruh isi bacaan dengan bahasa sendiri.
Berdasarkan kajian di atas, strategi yang dibutuhkan adalah sejenis strategi K-W-L dan
MURDER yang lebih difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna tersurat dan tersirat, (b)
menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui bacaan, (c) menarik
kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin terjadi setelah
bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f) mengulas isi
bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah dibacanya
menjadi satu bacaan baru. Strategi inilah yang tepat dipergunakan untuk pemelajaran membaca
pemahaman agar budaya baca mahasiswa berkembang. Jika kedua strategi tersebut telah
dimiliki oleh mahasiswa, dan secara terus-menerus dipraktikkan dalam kegiatan belajar, secara
perlahan budaya baca akan tumbuh di kalangan mahasiswa.
PEMBAHASAN
Pembentukan budaya baca bagi mahasiswa ternyata ditentukan oleh banyak faktor. Atas dasar
hasil analisis data, ternyata dari delapan faktor terdapat tujuh faktor internal yang memberikan
kontribusi 50% ke atas terhadap pembentukan budaya baca. Dari ketujuh faktor tersebut jika
diurutkan dari faktor yang memberi kontribusi terbesar adalah (a) faktor manfaat membaca
memberikan kontribusi sebesar 82%, (b) faktor motivasi memberikan kontribusi sebesar 67%,
(c) faktor pengaruh kondisi emosi memberikan kontribusi sebesar 83,5%, (d) faktor pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya memberikan kontribusi sebesar 67%, (e) faktor intelegensi memberi
kontribusi sebesar 61%, (f) faktor minat memberikan kontribusi sebesar 56,2%, dan (g) faktor
cara membaca memberi kontribusi sebesar 55%.
Sementara itu, dari lima faktor eksternal yang memberikan kontribusi 50% ke atas
dalam pembentukan budaya baca sebanyak 3 faktor, yaitu (a) faktor kesulitan bahan bacaan
memberi kontribusi sebesar 75%, (b) faktor pengaruh televisi sebagai media hiburan memberi
kontribusi sebesar 73%, dan (c) faktor pengaruh budaya lisan memberi kontribusi sebesar 61%.
Ketujuh faktor internal dan tiga faktor eksternal tersebut jika benar-benar
dipertimbangkan dalam pemelajaran membaca pemahaman akan sangat membantu
pembentukan budaya baca mahasiswa. Namun, meskipun faktor-faktor tersebut telah
memperlihatkan kontribusinya masing-masing, jika pemelajaran membaca pemahaman tidak
diberi porsi memadai, budaya baca tidak dapat terwujud.
Begitu juga, atas dasar kajian teoretis, strategi yang cocok untuk pemelajaran membaca
pemahaman bagi mahasiswa agar dapat menumbuhkan budaya baca adalah strategi K-W-L dan
strategi MURDER. Kedua strategi tersebut memiliki kontribusi dalam pembentukan budaya
168
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
baca karena pemelajaran membaca pemahaman difokuskan pada kegiatan (a) menangkap makna
tersurat dan tersirat, (b) menangkap maksud yang ingin disampaikan oleh penulis melalui
bacaan, (c) menarik kesimpulan atas teks yang dibacanya, (d) membuat prediksi yang mungkin
terjadi setelah bacaan dibacanya, (e) mengevaluasi bacaan, baik evaluasi isi maupun bahasa, (f)
mengulas isi bacaan dengan bahasa sendiri, dan (g) mengkreasi beberapa bacaan yang telah
dibacanya menjadi satu bacaan baru.
Oleh karena itu, jika keenam fokus tersebut secara terus-menerus dipraktikkan dalam
pemelajaran membaca pemahaman, secara perlahan mahasiswa akan tumbuh budaya bacanya.
Namun, jika fokus itu dilakukan secara tidak teratur, meskipun pemelajaran membaca
pemahaman menggunakan kedua strategi tersebut, budaya baca tidak akan terbentuk.
KESIMPULAN
Atas dasar uraian di atas, dapat dipetik beberapa butir kesimpulan sebagai berikut. Pertama,
sasaran pengembangan budaya baca adalah mahasiswa dengan pertimbangan bahwa (a)
aktivitas mahasiswa setiap hari berkaitan dengan aktivitas keilmuan, (b) tidak lama lagi
mahasiswa setelah lulus akan memasuki dunia kerja yang selalu bergulat dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi, (c) meskipun belum menjadi budaya baca, aktivitas mahasiswa
adalah membaca untuk menyerap dan mengkritisi informasi, dan (d) pengembangan budaya
baca mahasiswa akan lebih mudah karena bekal minat baca yang dimiliki oleh mahasiswa relatif
lebih baik sehingga tinggal “membesut” untuk menjadi budaya baca.
Kedua, banyak faktor yang dapat membantu terbentuknya budaya baca. Faktor internal
yang perlu terus-menerus mendapat perhatian adalah manfaat membaca, memperkuat motivasi,
menjaga agar kondisi emosi tetap stabil, memperluas pengetahuan yang dimiliki sebelumnya,
memperhatikan intelegensi, terus-menerus menumbuhkan minat, dan memperhatikan cara
membaca. Sementara itu, faktor eksternal yang perlu terus diperhatikan adalah memperhatikan
faktor kesulitan bahan bacaan, menjaga pengaruh televisi yang hanya dimanfaatkan sebagai
media hiburan, dan mengurangi pengaruh budaya lisan yang masih mendominasi mahasiswa.
Ketiga, untuk membangun budaya baca diperlukan strategi membaca agar memperoleh
hasil membaca secara optimal. Strategi yang dipilih adalah strategi K-W-L dan strategi
MURDER. Jika kedua strategi tersebut dipraktikkan secara terus-menerus akan dapat
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman dan dapat mengembangkan budaya baca.
CATATAN
* Penulis berterima kasih kasih kepada mitra bebestari yang telah memberikan saran-saran untuk
perbaikan makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, L.W. dan Krathwohl, D.R. (Ed.). (2001). A taxonomy for learning, teaching, and
assessing: A revision of Bloom's Taxonomy of educational objectives. New York: David
McKay.
Andrew, B.A. (2008). Improving marketing students, reading comprehension with the SQ3R
method. Journal of Marketing Education, 30(2), 130-137.
169
Pranowo, Antonius Herujiayanto
Baier, R.J. (2005). Reading comprehension and reading strategies (5th edition). The Graduate
School University of Wisconsin-Stout. American Psychological Association.
Bloom, B.S., Engelhart, M., Furst, E., Hill, W., dan Krathwohl, D. (1956). Taxonomy of
educational objectives: The classification of educational goals. Handbook 1: Cognitive
domain. New York: Longmans, Green.
Burns, M.K., Dean, V.J., dan Foley, S. (2004). Preteaching unknown key words with
incremental rehearsal to improve reading fluency and comprehension with children
identified as reading disabled. Journal of School Psychology, 42, 303-314.
Dunn, K.E. dan Mulvenon, S.W. (2009). A critical review of research on formative assessment:
The limited scientific evidence of the impact of formative assessment in education.
Practical assessment, research & evaluation, 14(7).
Fisher, A. (2008). Berpikir kritis: Sebuah pengantar. Jakarta: Erlangga.
Hagaman, J.L., Luschen, K., dan Reid, R. (2010). The “rap” on reading comprehension”.
Teaching exceptional children, 42(4), 22-28.
Human Development Index (HDI). (2009). http://hdr.undp.org/sites/default/files/ reports/14/
hdr2013_en_complete.pdf.
Johnson, E.B. (2007). Contextual teaching and learning. Bandung: Mizan Media Utama.
Jones, R. (2007). Strategies for reading comprehension: Summarizing. Diunduh tanggal 29
Januari 2008 dari http://www.readingquest.org/strat/summarize.html.
Kagan, S. dan Kagan, M. (2009). Kagan cooperative learning. San Clemente, California:
Kagan Publishing.
Moore, C. dan Lo, L. (2008). Reading comprehension strategy: Rainbow dots. The Journal of
the International Association of Special Education, 9(1), 124-127.
Ogle, D.M. (1986). “K-W-L: A teaching model that develops active reading of expository text.
The Reading Teacher, 39(6), 564–570. doi: 10.1598/RT.39.6.11.
Pranowo. (2012). Konsep dasar CTL dalam pemelajaran bahasa Indonesia. Makalah.
Yogyakarta: PBSI, FKIP, USD.
Rahim, F. (2011). Strategi know-want to know-learned (KWL). Jakarta: Bumi Aksara.
Ridge, A. dan Skinner, C. (2010). Using the TELLS reading procedure to enhance
comprehension levels and rates in secondary students. Psychology in the Schools, 48,
46-58.
Sapir, E. (1921). Language an introduction to study of speech. New York: Brace and Co.
Soedarso. (2001). Speed reading sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: Gramedia.
Stern, H.H. (1971). Psycholinguistics and second language teaching. Dalam H.H. Stern (Ed.),
Perspectives on second langauge teaching, 47-56. Toronto: Ontario Institut for Studies
in Education.
Tarigan, H.G. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
170
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Tompkins, G.E. (2014). Reading comprehension factors. Pearson Allyn Bacon Prentice Hall.
Trianto. (2007). Model-model pemelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta:
Katalog dalam Terbitan.
UNESCO. (2009). Organisasi pengembangan kerja sama ekonomi. Diunduh dari http://
en.unesco.org/ themes/education-21st-century.
UNESCO. (2012). http://www.unesco.org/new/en/unesco/about-us/.
Universitas Terbuka. (2014). Strategi mandiri di Universitas Terbuka. Jakarta: UT.
171
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 173-192
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
PERGESERAN SISTEM PEMBENTUKAN KATA BAHASA
INDONESIA: KAJIAN AKRONIM, BLENDING, DAN KLIPING
M. Zaim*
Universitas Negeri Padang
[email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan aturan pembentukan kata dan pergeseran
pembentukan kata, khususnya pada akronim, blending, dan kliping dalam bahasa tulis
bahasa Indonesia. Data diambil dari beberapa surat kabar dan majalah yang terbit
secara nasional maupun lokal di Indonesia. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
terjadi pergeseran pembentukan kata pada akronim, blending, dan kliping. Pergeseran
terjadi pada penyerapan akronim, blending, dan kliping yang berasal dari bahasa asing.
Selain itu terjadi pula berbagai ubah bentuk pada akronim, unsur bagian kata yang
digabung pada blending, dan unsur kata yang dipenggal pada kliping.
Kata kunci: pembentukan kata, akronim, blending, kliping
Abstract
This article aims at describing word formation rules, and word formation shift on
acronym, clipping, and blending found in written language of bahasa Indonesia. Data
were taken from selected newspaper and magazines published nationally and locally in
Indonesia. The findings indicates that there are some shifts in the Indonesian word
fomation rules of bahasa Indonesia especially for acronym, blending, and clipping. The
shift occurs in the absorption of acronyms, blendings, and clippings of foreign languages.
Apart from that, there is a variety of changes to the new forms of acronyms, blendings,
and clippings.
Keywords: word formation, acronym, blending, clipping
PENDAHULUAN
Munculnya kata-kata baru bahasa Indonesia melalui proses pemendekan, seperti akronim,
blending, dan kliping, telah memberi warna pada gejala pembentukan kata bahasa Indonesia.
Warna baru yang muncul adalah kecenderungan untuk menjadikan pemendekan itu menjadi
kata yang mudah dibaca dan memberi kesan tertentu bagi pendengarnya. Gejala seperti ini
merupakan cerminan pengaruh perubahan sosial budaya masyarakat yang muncul pada perilaku
berbahasa mereka. Masyarakat yang dulu patuh dengan aturan yang ditetapkan cenderung
melakukan pemberontakan terhadap batasan-batasan yang diberikan sehingga tingkah laku
kebahasaan mereka pun keluar dari aturan kelaziman yang ada. Akronim, blending, dan kliping
sebagai proses pembentukan kata baru tidak lagi mengikuti pola dasar yang sudah baku, tetapi
cenderung mengutamakan bunyi yang bagus atau enak didengar sehingga mudah diingat oleh
pendengar.
Dengan sifat bahasa yang arbitrer, kemunculan kosakata baru dimungkinkan karena ada
setiap saat dan dapat dilakukan oleh siapa saja dari penutur bahasa tersebut. Kearbitreran bahasa
mengundang penutur yang kreatif menciptakan hal-hal yang baru. Hal ini biasanya muncul
M. Zaim
karena bermula dari keisengan penutur. Kemudian, karena enak didengar dan sesuai dengan
konteks pembicaraan, kata iseng tersebut lalu digunakan oleh penutur lain. Akhirnya, ungkapan
baru itu tersebar dan digunakan oleh kelompok tersebut dalam tulisannya maupun
percakapannya.
Perkembangan bahasa tidak terlepas dari perubahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial akan berpengaruh pada bentuk-bentuk bahasa
yang digunakan. Hal ini tidak terlepas dari sifat bahasa yang merupakan fenomena sosial. Oleh
karena itu, bahasa tidak akan statis. Perubahan-perubahan yang terjadi bukan hanya karena
ketidakpuasan akan bahasa yang ada, melainkan juga lebih cenderung untuk mencari sesuatu
yang baru yang berbeda dari apa yang ada saat itu. Kaum remaja, sebagai kelompok pengguna
bahasa generasi baru, mempunyai kreativitas tersendiri dalam berkomunikasi, baik sesama
remaja maupun dengan orang yang lebih tua atau lebih muda umurnya. Banyak istilah baru
yang muncul dalam berkomunikasi. Kadang-kadang mereka menggunakan istilah baru yang
dikembangkan dari kosakata lama yang mereka miliki. Fenomena ini perlu dicermati, terutama
untuk pengembangan ilmu bahasa (linguistik).
Zaim (2008 dan 2009) dalam tulisannya tentang pembentukan kata bahasa Indonesia di
media surat kabar menyatakan bahwa kemunculan akronim dalam headline surat kabar adalah
sebagai upaya efisiensi komunikasi. Pembentukan kata baru ini tidak hanya muncul dalam
bahasa tulis, tetapi juga dalam bahasa lisan seperti acara di televisi dan radio.
Secara teoritis, pembentukan kata merupakan kajian morfologi bahasa, yaitu kajian
unsur terkecil yang mempunyai makna. Penggabungan dari dua atau lebih unsur yang
mempunyai makna akan membentuk konstruksi baru dengan makna gabungan dua atau lebih
unsur yang ada atau makna baru yang terlepas dari makna unsur yang membentuknya. Inilah
unsur bahasa yang disebut kata (word). Ketika digunakan dalam berkomunikasi, kata itu akan
dipengaruhi oleh lingkungan pengguna bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, di dalam
sosiolinguistik ada istilah register, kata-kata yang digunakan dalam konteks penutur tertentu
yang hanya muncul dan mempunyai makna dalam konteks tersebut.
Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia diatur dalam Pedoman Umum Pembentukan
Istilah sebagai lampiran II dari Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1988; Alwi
dkk. et al., 2003; Pusat Bahasa, 2007). Di dalam buku ini dijelaskan aspek tata bahasa
peristilahan yang mencakup penggunaan kata dasar, pengimbuhan, pengulangan, dan
penggabungan. Buku lainnya, Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing cenderung hanya
menjelaskan bagaimana garis haluan penggantian kata dan ungkapan asing ke dalam bahasa
Indonesia (Sugono, 2009). Selain itu ada juga buku lain yang membahas tentang pembentukan
kata, yaitu Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia Yang Disempurnakan terbitan Pusat
Bahasa (2004) yang mengatur cara penulisan singkatan dan akronim. Jadi, penjelasan tentang
pembentukan kata bahasa Indonesia dibahas secara terpisah dalam beberapa buku terbitan Pusat
Bahasa.
Dibandingkan dengan teori pembentukan kata (word formation/lexical formation),
seperti diungkapkan oleh beberapa ahli tatabahasa (lihat McManis dkk., 1987; Katamba, 1993;
Booij, 2007; Lieber, 2009; Zaim, 2009), penjelasan tentang pembentukan kata bahasa Indonesia
belum memadai, apalagi kalau dilihat dari maraknya perkembangan pembentukan kata baru
oleh pengguna bahasa Indonesia saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang
komprehensif tentang sistem pembentukan kata bahasa Indonesia berdasarkan penggunaan
bahasa oleh penuturnya.
174
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana sistem
pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya akronim, blending, dan kliping? (2)
Bagaimana pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia tulis, khususnya pada
akronim, blending, dan kliping?
TINJAUAN PUSTAKA
Pembentukan Kata
Pembentukan kata baru dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu mengubah kata yang sudah ada
atau menciptakan kata yang betul-betul baru. Pembentukan kata yang paling lazim adalah
mengubah kata yang ada menjadi bentuk kata baru. Sangat jarang kita jumpai kata baru yang
muncul itu betul-betul baru dalam pengertian bukan pinjaman atau ubahan dari kata yang sudah
ada, baik dalam bahasa itu maupun dari bahasa lain. Pengubahan yang paling lazim dilakukan
adalah dengan afiksasi. Afiks mempunyai fungsi gramatika, yaitu mempunyai kesanggupan
mengubah kelas kata. Di samping itu, afiks juga mempunyai kesanggupan mengubah makna
kata (Sutawijaya, 1996). Dengan kata lain, apabila afiks melekat pada bentuk dasar, dia
memiliki fungsi tertentu, yaitu fungsi gramatika dan fungsi semantik. Dalam bahasa Indonesia,
selain afiksasi, pengubahan kata bisa juga dilakukan dengan reduplikasi, pemajemukan, dan
abreviasi.
Booij (2007) menyatakan bahwa secara tradisional pembentukan kata terdiri atas dua
macam, yaitu derivasi (derivation) dan pemajemukan (compounding). Menurut Booij, pengguna
bahasa juga dapat membuat kata baru (word creation atau word manufacturing) dengan cara
singkatan (blends), akronim (acronyms), alphabetisms, dan pemenggalan (clipping). Sementara
itu, McManis dkk. (1987) menyatakan bahwa ada lima jenis pembentukan kata dalam berbagai
bahasa, yaitu compounding, affixation, reduplication, morpheme internal change, dan
suppletion. Dalam bahasa Inggris, menurut McManis dkk. (1987), ada sepuluh jenis
pembentukan kata, yaitu derivation, compounding, acronyms, backformation, blending,
clipping, coinage, functional shift, morphological misanalysis, dan proper names. Lieber (2009)
menggunakan istilah “Lexeme Formation” untuk makna pembentukan kata. Menurut Lieber,
ada tujuh jenis pembentukan kata, yaitu derivation, affixation, compounding, conversion,
coinage, blending, dan backformation. Istilah “conversion” sama dengan functional shift,
menurut McManis dkk. (2007). Jenis pembentukan kata Lieber ini lebih sedikit dibanding
McManis.
Abreviasi
Dari berbagai bentuk sistem pembentukan kata di atas, abreviasi merupakan proses
pembentukan kata baru yang paling banyak digunakan oleh pengguna bahasa. Hampir setiap
hari kita menemukan abreviasi baru dalam surat kabar, majalah, dan media masa lainnya serta
percakapan lisan sehari-hari. Abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian
leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi
bertujuan untuk menghasilkan sebuah bentuk yang lebih singkat dari bentuk aslinya. Dalam
bahasa Indonesia abreviasi itu dapat berwujud singkatan, penggalan, akronim, kontraksi, dan
lambang huruf (Sutawijaya, 1996).
Abreviasi diciptakan untuk kepraktisan dalam berbahasa. Sebuah ungkapan yang
panjang dan maksud keseluruhannya sulit ditangkap dapat disampaikan secara praktis dan lebih
175
M. Zaim
komunikatif dengan menggunakan abreviasi. Kepraktisan dan kekomunikatifan penggunaan
abreviasi akan terasa jika abreviasi itu sudah menjadi sesuatu yang sangat populer, seperti
PRRI, Tabanas, Sembako, Narkoba dan sebagainya. Kata-kata ini sudah terasa sebagai sebuah
kata yang mempunyai referensi langsung dengan yang dilambangkannya tanpa melalui
pemahaman terhadap kepanjangannya.
Istilah lain untuk abreviasi adalah kependekan. Kependekan, menurut Kridalaksana,
(1983), adalah bentuk kata atau frase yang diringkaskan yang dipakai di samping bentuk
panjangnya. Jenis-jenis kependekan adalah akronim, kontraksi, lambang huruf, penggalan, dan
singkatan. Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) membagi kependekan ini atas dua jenis, yaitu
singkatan dan akronim. Singkatan dinyatakan sebagai bentuk yang dipendekkan yang terdiri
dari satu huruf atau lebih. Singkatan dapat berupa singkatan nama orang, nama gelar, sapaan,
jabatan atau pangkat (misalnya Muh. Yamin, M.Hum, Bpk., Kol.), singkatan nama resmi
lembaga pemerintah, badan atau organisasi, serta nama dokumen (misalnya DPR, PGRI, KTP),
singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih (misalnya dll., dsb.), lambang kimia,
singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang (misalnya Cu, cm, l, kg, Rp).
Akronim dinyatakan sebagai singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata,
ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata. Dari segi
pembentukannya ada dua jenis akronim, yaitu: (1) akronim yang berupa gabungan huruf awal
dari deret kata (misalnya SIM, UNP), (2) akronim yang berupa gabungan suku kata atau
gabungan huruf dan suku kata dari deret kata (misalnya Bappenas, Sespa). Dari penjelasan ini
kelihatannya Moeliono memasukkan istilah penggalan ke dalam kelompok singkatan. Dalam
bahasa Inggris sendiri dibedakan antara akronim (acronym), singkatan (blending), dan
pemenggalan (clipping) (McManis dkk., 1987).
Selanjutnya, Moeliono (1988) dan Alwi dkk. (2003) menambahkan bahwa dalam
membentuk akronim perlu diperhatikan syarat-syarat berikut: (1) jumlah suku kata akronim
jangan melebihi jumlah suku kata Indonesia yang lazim dan (2) akronim dibentuk dengan
mengindahkan keserasian kombinasi vokal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata
Indonesia yang lazim. Zaim (2000, 2001, 2008) telah mencoba menelusuri pembentukan kata
bahasa Indonesia mutakhir dalam berita surat kabar terbitan Padang. Dari kata-kata baru yang
muncul akhir-akhir ini, bentuk akronim (acronym) dan singkatan (blending) merupakan gejala
yang kerap muncul. Bentuk-bentuk ini bervariasi kemunculannya, dalam arti ada yang patuh
dengan kaidah yang ada dan banyak pula yang menyimpang dari kaidah yang ada. Dalam
tulisan ini, penulis menggunakan istilah blending untuk mengacu pada istilah singkatan dan
kliping untuk istilah pemenggalan.
Akronim
Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, gabungan suku kata, atau gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlukan sebagai kata (Meliono, 1988; Alwi dkk.,
2003). Pengertian akronim di sini terlalu umum sehingga semua bentuk kependekan dapat
dikategorikan ke dalam akronim. McManis dkk. (1987) membedakan antara akronim
(acronym), singkatan (blending), dan penggalan (clipping). Menurut McManis,
Acronyms are those words that are formed by taking the initial sounds (or
letters) of the words of a phrase and uniting them into a combination which is
itself pronounceable as a separate word. For examples: laser (light
176
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
amplification through the stimulated emission of radiation), and radar (radio
detection and ranging).
Blending is a combination of the parts of two words, usually the beginning
of one word and the end of another. For examples, smog from smoke and fog,
and brunch from breakfast and lunch.
In clipping, we shorten words without paying attention to the derivational
morphology of the words (or related words). For examples, exam has been
clipped from examination, and dorm from dormitory.
Akronim dalam pengertian ini adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal dari
deret kata yang ada. Bentuk akronim baru yang ditemukan rata-rata mematuhi aturan yang ada,
yaitu mengambil huruf pertama dari setiap kata yang diakronimkan. Dalam bahasa Indonesia
contohnya adalah: PIL (pria idaman lain), WIL (wanita idaman lain), BPSK (Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen), IKR (Instalasi Kabel rumah), KKSK (Komite Kebijakan
Sektor Keuangan), HAKI (hak atas kekayaan intelektual), dsb. Pengembangan dari bentuk ini
adalah dengan menambahkan angka apabila muncul dua atau lebih huruf sama yang
berdampingan, misalnya: KP3T (Komisi Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM
Tanjung Priok), B3 (bahan berbahaya dan beracun). Namun, penggunaan angka ini kadangkadang meragukan karena digunakan juga untuk menunjukkan maksud lain, misalnya: PPD2
(Panitia Pemilihan Daerah Tingkat 2). Jadi, angka 2 di sini menunjukkan tingkat 2, bukan huruf
D-nya yang dua, seperti huruf P pada contoh KP3T (Zaim, 2008).
Akronim yang muncul belakangan ini tidak mempertimbangkan jumlah huruf yang
diakronimkannya, misalnya beberapa akronim berikut ini: PP PTHKTI (Pengurus Pusat Pemuda
Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), PT PLN-PJB II (Pembangkit Tenaga Listrik Jawa
Bali II), Menneg PM/PBUMN (Menteri Negara Penanaman Modal/Pengelolaan Badan Usaha
Milik Negara), dsb.
Gejala baru yang muncul dalam membuat akronim ini adalah tidak selalu harus
menuliskan huruf awal kata itu seperti adanya, tetapi justru menuliskan salah satu hurufnya
seperti pelafalannya, misalnya: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Gejala ini
juga nampak pada akronim ELTEHA (alih-alih LTH) (Zaim 2001).
Gejala lain adalah mencampurkan huruf besar (kapital) dengan huruf kecil. Hal ini
terutama untuk menghindari akronim yang sama dalam bidang yang sama. Misalnya, PPn untuk
akronim dari Pajak Pertambahan Nilai, sementara PPnBM untuk akronim dari Pajak Penjualan
Barang Mewah. Kenapa tidak PPBM saja?
Ada beberapa akronim yang berasal dari bahasa asing yang dipertahankan
pemakaiannya, misalnya pada akronim LoI (letter of intent), MoU (memorandum of
understanding). Bahkan, pada akronim IMF, meskipun sudah ada padanan kata Indonesianya
“Dana Moneter Internasional”, tetap saja akronim IMF digunakan untuk mengacu kepada
lembaga keuangan dunia tersebut, tidak ada keinginan untuk menggantinya menjadi DMI,
seperti yang dilakukan pada penyingkatan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sebagai pengganti
dari UN (United Nations).
Akronim tidak hanya digunakan untuk menyatakan nama diri atau institusi, tetapi dapat
juga digunakan untuk menyatakan ungkapan-ungkapan khusus. Misalnya: memang disingkat
menjadi mm (em-em), pendekatan menjadi pdkt (pedekate).
177
M. Zaim
Blending
Blending dalam pengertian ini adalah bentuk singkatan berupa gabungan suku kata atau huruf
dan suku kata dari deret kata yang ada. McManis dkk. (1987) menjelaskan bahwa pada dasarnya
blending merupakan gabungan suku kata awal kata pertama dengan suku kata akhir kata kedua
seperti brunch yang berasal dari kata breakfast dan lunch. Dalam bahasa Indonesia ditemukan
blending berikut, Polantas = polisi lalu lintas
Ada kecendrungan bahwa pada blending tidak semua unsur kata yang disingkat
terwakili. Unsur huruf dan suku kata yang diambil hanyalah yang dapat membuat singkatan
yang enak diucapkan serta enak didengar dan dapat dijadikan kata. Lihatlah contoh berikut ini:
Organda = Organisasi Pengusaha Angkutan Darat
Kontras = Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
Galibu = Gerakan Lima Ribu Rupiah
Unimed = Universitas Negeri Medan
Contoh di atas menunjukkan bahwa blending cenderung dilakukan dengan mengambil unsur
kata di mana saja, yang terpenting tercipta kata baru yang berkesan dan mudah diingat oleh
pendengar.
Blending juga dilakukan tanpa mengindahkan suku kata atau bukan suku kata, yang
penting enak didengar dan agak asing untuk didengar. Misalnya, curhat (curahan hati), bigos
(biang gossip), taplau (tapi lauik), dsb.
Kliping
Kliping adalah singkatan yang berupa pemenggalan satu kata dengan menyebut bagian yang
dianggap bisa mewakili kata itu sendiri. Misalnya, laboratorium disingkat menjadi lab, bapak
menjadi pak. Kliping seperti contoh tadi masih mempertimbangkan kata dasarnya. Namun,
kliping sekarang cenderung seenaknya tanpa mengindahkan imbuhan yang ada, misalnya
perpustakaan dipenggal menjadi perpus (gabungan bagian afiks per- dan bagian kata dasar
pus).
Dalam bahasa gaul, kliping biasanya disertai dengan sisipan tertentu, yang kelihatannya
sudah menjadi kesepakatan. Misalnya, kata bapak dipenggal menjadi bap dan diberi sisipan –
ok– setelah huruf awal penggalan kata tersebut sehingga muncul kata baru bokap. Lihatlah
contoh kata bahasa gaul berikut ini: rokum, doku. Kedua kata ini kalau diambil sisipan –ok– nya
akan menjadi rum (penggalan dari rumah), dan du (penggalan dari duit). Dengan rumus itu,
amatlah mudah bagi anak gaul untuk membuat istilah baru dan memahami istilah baru yang
dimunculkan berdasarkan konteks yang ada.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah
memerikan gejala bahasa seperti apa adanya. Pendeskripsian bahasa adalah menggambarkan
bahasa sebagaimana adanya (Zaim, 2014). Dalam linguistik dikenal dengan linguistik deskriptif.
Istilah ini bertentangan dengan linguistik preskriptif, mendeskripsikan bahasa sebagaimana
seharusnya sesuai dengan ukuran yang ditetapkan untuk peristiwa kebahasaan tertentu yang
dipandang baik dan benar (Sudaryanto, 1993).
178
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Objek penelitian ini adalah kata bentukan bahasa Indonesia. Data penelitian adalah
kalimat yang di dalamnya terdapat kata bentukan. Sumber data penelitian ini adalah bahasa
Indonesia tulis yang terdapat dalam berita dan artikel di surat kabar umum Kompas, Republika,
Media Indonesia, surat kabar khusus Nova, Aneka, Sport, dan majalah berita dan hobi Tempo,
Intisari, Pulsa. Alasan pemilihan ini adalah bahwa penggunaan bahasa Indonesia (BI) pada
sumber-sumber itu mencerminkan penggunaan BI masa kini dengan segala persoalan kehidupan
penuturnya. Dengan demikian, diperoleh data yang mencerminkan penggunaan pembentukan
kata dengan semua tipe atau gejala kebahasaan. Dari sumber data penelitian ini diperoleh 861
data, terdiri atas 324 akronim, 411 blending, dan 126 kliping.
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan kalimat yang memiliki bentukan kata dalam
BI dan digunakan oleh penutur BI. Teknik penyamplingan adalah teknik purposive sampling
(sampling bertujuan). Sampel dipilih sesuai dengan tujuan untuk memperoleh data penelitian
berupa kalimat-kalimat (tuturan) BI yang memiliki verba atau nomina afiksasi. Sampel
penelitian ini adalah data yang menggambarkan penggunaan semua tipe pembentukan kata BI
(populasi) dengan semua gejala morfologisnya.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak
(Sudaryanto, 1993). Metode simak adalah cara memperoleh data dengan menyimak penggunaan
bahasa yang diteliti. Istilah metode simak ini tidak hanya berkaitan untuk menyimak bahasa
lisan, tetapi juga untuk menyimak bahasa tulis (Mahsun, 2005). Metode analisis yang digunakan
adalah metode agih seperti yang dikemukakan Sudaryanto (1993), yaitu metode analisis yang
alat penentunya bagian dari bahasa itu sendiri, yaitu unsur dari bahasa objek sasaran penelitian.
Metode agih mempunyai teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang digunakan adalah
teknik bagi unsur langsung (BUL), yang satuan lingual datanya dibagi menjadi beberapa unsur
atau bagian. Unsur-unsur tersebut dianggap sebagai bagian yang langsung membentuk satuan
lingual data yang dianalisis (Zaim, 2009). Teknik ini digunakan untuk menjawab masalah
penelitian 1 dan 2, yaitu sistem pembentukan kata dan pergeseran sistem pembentukan kata.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Temuan penelitian ini mencakup dua hal, yaitu (1) sistem pembentukan kata bahasa tulis bahasa
Indonesia pada akronim, blending, dan kliping, dan (2) pergeseran sistem pembentukan kata
bahasa tulis bahasa Indonesia pada akronim, blending, dan kliping.
Sistem Pembentukan Kata Bahasa Tulis Bahasa Indonesia pada Akronim, Blending, dan
Kliping
Secara umum, pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) pada akronim,
blending, dan kliping dapat dikategorikan dalam dua cara, yaitu penyerapan bahasa asing dan
ubah-bentuk dari kata yang ada.
a. Penyerapan bahasa asing
Penyerapan adalah pengambilan kosakata bahasa asing secara utuh menjadi kosakata bahasa
Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Penyerapan merupakan cara
pembentukan kata bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) yang kerap ditemukan dalam
bahasa Indonesia. Kata-kata yang diserap pada umumnya berasal dari bahasa Inggris. Meskipun
demikian, ditemukan juga pembentukan kata bahasa Indonesia melalui penyerapan kata bahasabahasa asing lain seperti bahasa Arab, bahasa Italia, dan bahasa Spanyol. Jenis PKBT BI
179
M. Zaim
melalui penyerapan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu penyerapan langsung
(adopsi) dan penyerapan dengan penyesuaian (adaptasi). Namun, untuk akronim, bending, dan
kliping, bentuk penyerapan yang ditemukan adalah penyerapan langsung (adopsi).
Penyerapan langsung merupakan jenis pembentukan kata tanpa penyesuaian ejaan dan
lafal. Artinya, baik ejaan maupun pengucapan kata-kata tersebut merujuk ke bahasa sumbernya.
Penyerapan langsung dapat dilakukan dengan proses penyerapan kata berupa akronim, blending,
dan kliping serta gabungan antara akronim, dengan blending atau kliping.
1. Penyerapan berupa akronim
Penyerapan berupa akronim adalah pemungutan akronim kata asing dalam kalimat bahasa tulis
bahasa Indonesia. Lihatlah contoh berikut ini.
o
o
o
Payakumbuh pemenang MDGs Award 2012 (Padang Ekspres, 28 Maret 2013).
Bolpoin ini menyediakan kapasitas simpan 1 GB, dapat menampung 1.000 gambar
(Tempo, 11 Februari 2013).
Indonesia mesti gunakan APEC; Ekspansi korporasi global ubah paradigm (Kompas, 27
Agustus 2013)
Pada kalimat di atas, kata MDGs, GB, dan APEC merupakan akronim dalam bahasa Inggris
yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. MDGs adalah akronim dari Millenium
Development Goals, GB adalah akronim dari Giga Bite, dan APEC adalah akronim dari Asia
Pacific Economic Countries.
Hampir semua serapan akronim yang diperoleh merupakan kelas kata nomina, hanya
satu di antaranya, yaitu yoy (year on year), yang merupakan kelas kata adverbia.
WO
WAGs
IBX
yoy
walk out
wife and girlfriends
Indonesia Broadcasting Expo
year on year
2. Penyerapan berupa blending
Penyerapan berupa kata blending adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses
penyingkatan (blending) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
o
o
Perkenalkan juga anak anda dengan netiquette atau etiket di dunia maya. (Nova, 4-10
Maret 2013).
Bolpoin ini disertai fasilitas Wi-Fi dan USB (Tempo, 11 Februari 2013).
Kata “netiquette” dan “Wi-Fi” pada kalimat di atas merupakan bentuk blending dalam bahasa
Inggris. Netiquette adalah blending dari network etiquette, dan Wi-Fi adalah blending dari
wireless fidelity. Berikut ini beberapa kata blending lain yang ditemukan dalam kalimat bahasa
Indonesia yang diserap dari bahasa Inggris.
edutainment
phablet
education entertainment
phone tablet
3. Penyerapan berupa kliping
Penyerapan berupa kliping adalah pemungutan kata asing yang telah mengalami proses
pemenggalan (kliping) dalam bahasa aslinya. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
180
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o
o
Apa keuntungan prenup? (Nova, 11-17 Maret 2013)
Spek Maxi, Harga Terjangkau. (Tabloid Pulsa, 13-26 Februari 2013)
Kata “prenup” merupakan bentuk kliping dari kata bahasa Inggris “prenuptial agreement”, dua
kata yang dipenggal dengan menyisakan unsur kata awal yang pertama, sedangkan “Maxi”
merupakan kliping dari “Maximum”.
4. Penyerapan berupa gabungan akronim dan kliping
Penyerapan gabungan akronim dan kliping adalah pemungutan kata yang sudah melalui proses
akronim dan kliping serta menjadi satu kata baru dan ditulis sebagai satu kata dalam bahasa
Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
o
o
Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data
real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25
Februari 2013)
Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang
dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga
(Singgalang, 18 Maret 2013)
InaTEWS merupakan singkatan dari Indonesia Tsunami Early Warning System. Proses
pembentukannya adalah melalui kliping dan akronim. Kata “Indonesia” dipenggal/kliping
menjadi “Ina” dan “Tsunami Early Warning System” diakronimkan menjadi TEWS, kemudian
digabung menjadi kata InaTEWS (proses gabungan akronim dan kliping). Man-U adalah
singkatan dari Manchester United. Proses pembentukannya adalah kata “Manchester”
dipenggal/kliping menjadi “Man” dan kata “United” diambil huruf awal katanya saja ”U”
(akronim) sehingga hasil bentukan kedua proses ini menjadi kata baru “Man-U”.
b. Ubah Bentuk
Meskipun banyak kata yang dibentuk dengan cara penyerapan dari bahasa asing, pembentukan
kata dengan cara ubah bentuk dari kata yang sudah ada juga tidak dapat dikesampingkan. Dari
hasil pengolahan data, ditemukan banyak kata yang dibentuk dengan cara ubah bentuk.
Pembentukan kata baru bahasa tulis bahasa Indonesia (PKBT BI) dengan cara ini dibagi
menjadi empat jenis, yaitu akronim, blending, kliping, dan gabungan akronim dan kliping atau
blending.
1. Akronim
Akronim merupakan jenis pembentukan kata dengan sistem penyingkatan kata melalui
pengambilan inisial kata dari setiap kata yang disingkat. Penelitian ini menemukan beberapa
variasi pembentukan kata dengan sistem akronim. Akronim dapat dilakukan dengan cara
mengambil huruf-huruf awal dari setiap kata (inisiasi) dan dengan menggabungkan huruf-huruf
awal kata dengan angka.
a) Inisiasi huruf
Akronim dengan cara mengambil inisiasi huruf (huruf awal) kata dapat berupa kata tunggal dan
dapat pula berupa kata majemuk. Perhatikan kalimat berikut ini.
o
o
YOAI mengunjungi anak-anak penderita kanker di RSK Dharmais, Jakarta (NOVA,
18–24 Oktober 2013).
BPK melakukan audit investigatif terhadap proyek PLIK (PULSA, 24 April–7 Mei
2013).
181
M. Zaim
Pada kalimat di atas, kata YOAI, RSK, BPK, dan PLIK merupakan akronim dalam bahasa
Indonesia yang digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Sebagaimana yang terdapat di
kalimat (10), YOAI adalah akronim dari “Yayasan Onkologi Anak Indonesia”, dan RSK adalah
akronim dari “Rumah Sakit Kanker”. Sementara itu kata BPK di kalimat (11) adalah akronim
dari “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan kata PLIK adalah akronim dari “Pusat Layanan
Internet Kecamatan”. Semua akronim di atas dibuat dengan cara mengambil huruf awal dari
rangkaian kata yang diakronimkan.
Berdasarkan kelas katanya, hampir semua akronim mempunyai kelas kata nomina (N),
sementara hanya terdapat dua akronim, yang mempunyai kelas kata adjektiva (Adj) dan
adverbia (Adv) seperti yang terdapat di kalimat berikut ini.
o
o
Mereka akan dibina dalam program yang bernama CIBI. (Republika, 9 April 2013)
Produksi minyak sebesar 28 ribu bph. (Republika, 22 Maret 2013)
“CIBI” adalah akronim dari “Cerdas Istimewa dan Bakat Istimewa” dan “bph” adalah akronim
dari “barel per hari”.
Secara umum, akronim ditulis dengan menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat
di bawah ini, namun ada juga akronim yang ditulis dengan huruf kecil (lihat akronim “bph”).
OTT (N)
BOS (N)
BPKP (N)
CIBI (Adj)
bph (Adv)
→
→
→
→
→
operasi tangkap tangan
bursa otomotif seken
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
cerdas istimewa dan bakat istimewa
barel per hari
Dalam penyingkatan (proses menyingkat), kata yang berkelas kata preposisi (seperti
kata untuk, dalam, atas, ataupun dan) sering tidak digunakan. Meskipun demikian, untuk tujuan
tertentu, preposisi juga berperan dalam penyingkatan. Pada akronim FITRA (Forum Indonesia
untuk Transparasi Anggaran), preposisi untuk tidak dilibatkan dalam penyingkatan; akan tetapi
pada akronim SALUD (Solidaritas Anak Jalanan untuk Demokrasi), preposisi dilibatkan dalam
penyingkatan.
BPHTB
DAUN
FITRA
DUIT
KDRT
→
→
→
→
→
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Dana Alokasi untuk Nagari
Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran
duit, usaha, ikhlas, dan tawakal
kekerasan dalam rumah tangga
Sementara itu, ditemukan beberapa akronim dalam bentuk kata majemuk seperti yang
terdapat di bawah ini.
ATM BCA
KTT APEC
TP PKK
KPU RI
→
→
→
→
Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pasific Economic Cooperation
Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan keluarga
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia
b) Inisiasi huruf dan angka
Akronim juga dapat melibatkan huruf dan angka. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
182
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o
Sekarang ada Hers Protex kemasan praktis yang bisa jadi P3K. (NOVA, 17-23 Mei
2013)
Penggunaan angka dalam akronim di atas menunjukkan jumlah kemunculan huruf tersebut di
dalam akronim yang dimaksud. Hal ini memungkinkan apabila awal setiap kata tersebut sama
seperti pada kata P3K (pertolongan penuh pada kebocoran). Dalam kata tersebut, terdapat tiga
kata yang diawali dengan huruf “P” sehingga ketiga kata tersebut yang seharusnya disingkat
PPP dapat dituliskan dengan P3. Beberapa bentuk akronim yang melibatkan huruf dan angka
dapat dilihat di bawah ini:
P2TP2A
B2SA
P3K
MP3EI
→
→
→
→
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
Beragam Bergizi Seimbang dan Aman
Pertolongan Penuh pada Kebocoran
Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia
Pada beberapa akronim, ditemukan angka yang diletakkan di depan huruf, misalnya:
SM3T
→ Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal
Angka 3 pada akronim ini merujuk ke huruf T bukan ke huruf M. Kalau mengikuti kaidah
sebelumnya, seharusnya bentuk akronim ini adalah SMT3, bukan SM3T.
2. Kliping
Kliping merupakan jenis pembentukan kata baru dengan memenggal bagian dari kata. Bagian
kata yang dipenggal dapat berupa bagian awal kata, bagian belakang kata, maupun bagian awal
dan belakang kata.
a) Kliping bagian awal kata
Berdasarkan hasil mengolah data, kliping bagian awal kata kerap digunakan dalam bahasa tulis
bahasa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini.
o
o
Juventus mentas memakai sistem berbeda kala menghadapi Lazio (BOLA, 18-19 April
2013)
GANTI dimaksudkan untuk membantu dan mensejahterakan kaum nelayan dan tani
(Republika, 13 April 2013)
Pada kalimat di atas terdapat kata kala yang merupakan bentuk kliping dari kata asal tatkala.
Bagian awal kata dipenggal sehingga hanya menyisakan kata kala. Sementara itu, pada kalimat
dia atas terdapat kata tani yang merupakan bentuk kliping dari kata petani. Hanya terdapat dua
kelas kata yang mengalami kliping bagian awalnya: nomina (N) dan adverbia (Adv) seperti
yang terdapat di bawah ini.
halaman
petani
tatkala
→ laman (N)
→ tani (N)
→ kala (Adv)
b) Kliping bagian belakang kata
Kliping bagian belakang kata merupakan sistem pemenggalan yang paling sering ditemukan
dalam jenis ini. Hal ini disebabkan bagian depan kata lebih mewakili sebuah kata dibandingkan
bagian belakang kata. Oleh karena itu, bagian depan kata lebih sering dipertahankan, sementara
bagian belakang kata sering mengalami pemenggalan. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
183
M. Zaim
o
o
o
o
Lelang jabatan hanya berhenti pada pengisian orang baru untuk pos camat dan lurah
(Republika, 12 Oktober 2013)
Semuanya laki-laki dan satu staf admin perempuan yaitu Dina (NOVA, 18-24 Oktober
2010)
Keberhasilan lain terlihat ditetapkannya klom kakao lokal Limapuluh Kota sebagai
klom unggul nasional. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)
Tindakan penonaktifan dan pemecatan bagi pegawai yang korup juga harus lebih tegas
(Republika, 12 April 2013)
Kata-kata pos, admin, klom, dan korup merupakan kata-kata yang dibentuk dengan
kliping bagian belakang kata. Kata pos merupakan bentuk kliping dari posisi, admin dari kata
administrasi, klom dari kata kelompok, dan korup dari kata korupsi. Dari hasil mengolah data,
ditemukan hampir seluruh kelas kata mengalami kliping bagian belakangnya, kecuali kelas kata
adverbia.
momentum
posisi
promosi
administrasi
almarhum
→
→
→
→
→
momen (N)
pos (N)
promo (N)
admin (N)
alm (N)
perumahan
demonstrasi
korupsi
profesional
egois
→
→
→
→
→
perum (N)
demo (N)
korup (V)
pro (Adj)
ego (Adj)
Dari hasil mengolah data dijumpai bahwa kliping juga dapat melibatkan kata majemuk
seperti yang terdapat pada kata Idul Fitri. Pada kata ini, kliping dilakukan pada akhir kata yang
pertama dan semua kata kedua. Dengan demikian kata tersebut menjadi Id.
c) Kliping bagian awal dan belakang kata
Kliping juga dapat dilakukan pada bagian awal dan bagian belakang kata bahasa tulis bahasa
Indonesia. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa hanya satu kata yang diperoleh melalui
sistem ini.
penyelidikan
→ lidik (N)
3. Blending
Blending merupakan jenis PKBT BI yang kerap ditemukan penggunaannya di media massa
Indonesia. Blending dilakukan dengan menggabungkan bagian dari dua kata atau lebih menjadi
sebuah kata. Bagian kata yang digabungkan dapat berupa bagian awal, tengah, dan akhir kata.
Bagian-bagian kata yang digabungkan memiliki beberapa variasi sistem: bagian awal setiap
kata, bagian awal dan akhir kata, bagian awal dan tengah kata, bagian tengah setiap kata, bagian
tengah dan akhir kata, bagian akhir setiap kata, dan bagian awal, tengah dan akhir kata. Hampir
semua sistem penggabungan tersebut dapat diperoleh, kecuali penggabungan yang hanya
melibatkan bagian tengah kata.
a) Penggabungan bagian awal dan akhir kata
Istilah blending pertama sekali diperkenalkan dalam bahasa Inggris dengan sistem dasar
penggabungan bagian awal kata dan bagian akhir kata. Penggabungan dengan sistem seperti ini
juga sering ditemukan dalam media massa Indonesia seperti yang terdapat pada contoh kalimat
di bawah ini.
184
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
o
o
Warga Jalan Niaga Pondok resah, menyusul maraknya penjualan miras oplosan di
kawasan itu. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)
Ikanita Universitas Bung Hatta melakukan lawatan ke Persatuan Wanita Teknologi
(Wangi) Universitas Teknologi Malaysia di Johor. (Padang Ekspress, 16 Mei 2012)
Kata-kata miras (minuman keras), Ikanita (ikatan wanita), dan Wangi (wanita
teknologi) merupakan kata yang dibentuk dengan menggabungkan bagian awal kata dengan
bagian akhir kata. Sama halnya dengan sistem penggabungan sebelumnya, pada umumnya kata
yang dibentuk berkelas kata nomina. Ditemukan satu bentuk penggabungan dengan sistem ini
yang melibatkan kelas kata verba, akan tetapi bentuk kata itu sendiri lebih mirip bentuk klausa
seperti yang terdapat di bawah ini.
→ jangan sampai melupakan sejarah
jas merah
Sistem blending dengan melibatkan bagian awal dan akhir kata dapat disusun secara
acak. Penggabungan kata dapat diawali baik oleh bagian awal kata maupun bagian akhir kata.
gaptek
danrem
danjen
ponsel
amari
→
→
→
→
→
gagap teknologi
komandan resort militer
komandan jenderal
telepon seluler
angkutan malam hari
mendagri
miras
senpi
wangi
tagana
→
→
→
→
→
menteri dalam negeri
minuman keras
senjata api
wanita teknologi
taruna siaga bencana
b) Penggabungan bagian awal kata
Penggabungan yang hanya melibatkan bagian awal kata merupakan sistem blending yang paling
sering digunakan media massa. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
o
o
o
Selama ini aku tidak suka dugem (NOVA, 18-24 Oktober 2010)
Jumlah ternak sebanyak 4.818 ekor dengan rincian 4.607 ekor doka dan 211 ekor sapi
(Republika, 22 Maret 2013)
Iven yang baru pertama kali diangkat Dekranasda Payakumbuh bersama Disparpora
kota ini. (Posmetro Padang, 24 Juni 2013)
Dalam kalimat-kalimat di atas terdapat beberapa kata yang dibentuk secara blending
dengan menggabungkan bagian awal dari setiap kata, yaitu dugem adalah blending dari dunia
gemerlap, dan doka adalah blending dari domba kambing. Pada umumnya, kelas kata yang
dibentuk adalah nomina, sementara hanya satu bentuk verba yang ditemukan, yaitu nobar
(nonton bareng). Adapun kelas kata adjektiva dan adverbia tidak ditemukan dalam penelitian
ini.
pengprov
batita
tipikor
pencaker
murmer
→
→
→
→
→
pengurus provinsi
bawah tiga tahun
tindak pidana korupsi
pencari kerja
murah meriah
kanca
doka
spiker
dapil
menkeu
→
→
→
→
→
kantor cabang
domba kambing
spiritualitas kerja
daerah pemilihan
menteri keuangan
Meskipun pada prinsipnya penggabungan terjadi pada bagian awal kata, muncul varian
penggabungan yang juga melibatkan unsur lain di luar awal kata, seperti pada contoh
dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah), Disparpora (Dinas Pariwisata Pemuda
Olahraga), dan dapil (daerah pemilihan).
185
M. Zaim
c) Penggabungan bagian awal dan tengah kata
Selanjutnya, penggunaan penggabungan awal dan tengah kata juga ditemukan dalam tulisan di
media masa Indonesia. Lihatlah contoh kalimat berikut ini.
o
Technical Meeting dilaksanakan di ruang sidang khusus Disdikpora Sumbar (Padang
Ekspress, 21 Juni 2011)
Kata Disdikpora merupakan gabungan dari kata Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga. Kata yang diambil dari bagian tengahnya adalah Pendidikan, yaitu dik, sementara katakata yang lain diambil bagian awalnya. Dilihat dari kelas kata pembentukan, temuan penelitian
menunjukkan bahwa semua pembentukan blending dengan sistem ini berkelas kata nomina.
prima
pinca
tipibank
sekbang
sprindik
→
→
→
→
→
program Indonesia emas
pimpinan cabang
tindak pidana perbankan
sekolah penerbangan
surat perintah penyelidikan
polres
mentan
naker
komjak
disdik
→
→
→
→
→
kepolisian resort
menteri pertanian
tenaga kerja
komisaris kejaksaan
dinas pendidikan
Dari data di atas dapat dinyatakan bahwa penggabungan yang melibatkan bagian awal dan
tengah kata dapat berposisi secara bergantian. Bagian tengah kata dapat mengawali kata
penggabungan seperti pada kata pinca, ataupun bagian awal kata mengawali kata penggabungan
seperti pada kata komjak.
d) Penggabungan bagian tengah dan akhir kata
Temuan penelitian juga menyebutkan bahwa blending dengan sistem penggabungan bagian
tengah kata tidak ditemukan. Selanjutnya, sistem pembentukan blending yang ditemukan adalah
gabungan bagian tengah dan bagian akhir kata. Meskipun demikian, jumlahnya tidak sebanyak
pada sistem penggabungan sebelumnya.
curanmor
gakum
→ pencurian kendaraan bermotor
→ penegakan hukum
Kata-kata tersebut digunakan dalam kalimat seperti yang terlihat di bawah ini.
o
o
Tiga pelaku pencurian kendaraan bermotor (curanmor) ditangkap (Padang Ekspress, 3
September 2013)
Kasubdit Penegakan Hukum (Gakum) Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Metro
Jaya mengatakan (Republika, 12 Agustus 2013)
e) Penggabungan dua bagian akhir kata
Berikutnya, berdasarkan hasil mengolah data, penggabungan bagian akhir setiap kata juga
ditemukan dalam kata yang digunakan oleh media massa. Meskipun demikian, hanya sedikit
ditemukan blending yang menggunakan sistem pembentukan seperti ini.
gakin
raskin
→ keluarga miskin
→ beras miskin
f) Penggabungan bagian tengah, awal, akhir kata
Selanjutnya, sistem pembentukan kata dengan penggabungan adalah dengan menggabungkan
bagian tengah, awal, dan akhir kata. Untuk sistem ini, hanya satu kata yang ditemukan.
polsekta
→ kepolisian sektor kota
186
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
4. Gabungan Akronim dan Blending
PKBT BI juga dapat dilakukan dengan cara penggabungan akronim dan blending. Sistem
penggabungan ini dapat dilakukan dengan meletakkan akronim di bagian awal ataupun di
bagian akhir penggabungan. Lihatlah contoh kalimat di bawah ini.
o
o
Penyidik satuan khusus JAM Pidsus Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan.
Timnas U-19 telah berhasil menetapkan pemain yang akan bermain pada laga
berikutnya.
Kata JAM Pidsus (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) pada kalimat di atas merupakan kata
yang dibentuk dengan menggabungkan akronim (JAM) dan blending (Pidsus). Bagian awal kata
merupakan bentuk akronim dengan mengambil huruf-huruf awal di setiap kata JAM, sementara
itu bagian akhir kata Pidsus merupakan bentuk penggalan (pid = pidana) dan (sus = khusus).
Timnas PEPI
Timnas U-19
→ Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi
→ Tim Nasional Usia 19
5. Gabungan Akronim dan Kliping
Pembentukan kata dapat juga dilakukan dengan menggabungkan Akronim dan Kliping. Lihatlah
contoh kalimat berikut ini.
o
Kemen PAN-RB mengeluarkan kebijakan baru tentang Pegawai negeri Sipil.
Pada kalimat di atas Kemen merupakan kliping dari Kementerian dan PAN-RB merupakan
akronim dari Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Akronim, Blending, dan Kliping Bahasa Tulis
Bahasa Indonesia
a. Pergeseran dalam akronim, blending, dan kliping serapan bahasa asing
1. Penyerapan akronim bahasa asing
Peminjaman langsung berupa akronim kerap ditemukan di media masa. Peminjaman langsung
ini menunjukkan bahwa penyerapan kata bahasa asing tidak hanya pada kata dasar seperti kata
internet dan gadget, tetapi juga menyerap akronim. Teori dasar pembentukan akronim dalam
berbagai bahasa di dunia adalah dengan mengambil huruf-huruf awal kata dan ditulis dengan
menggunakan huruf kapital seperti yang terdapat pada kata APEC, GB, WO, SEAG, AMA, dan
lain-lain. Dalam perkembangannnya, terjadi beberapa pergeseran sehingga pembentukan
akronim keluar dari pakem aturan dasar pembentukan akronim. Pergeseran pembentukan
akronim tersebut dapat dinyatakan dengan ditemukannya bentuk akronim sebagai berikut.
a) Penggabungan inisial kata huruf kapital dan huruf kecil, misalnya: MoU (Memorandum of
Understanding), LoI (Letter of Intent), TdS (Tour de Singkarak), MDGs (Millenium
Development Goals).
b) Gabungan akronim dan kata, misalnya YMJet-FI (Yamaha Mixture Jet Fuel Injection).
c) Pelafalan huruf inisial kata yang diakronimkan, misalnya hape (HP=Handphone).
d) Penulisan huruf sebagai pengganti pelafalan, misalnya IBX (Indonesia Broadcasting Expo).
187
M. Zaim
2. Penyerapan blending bahasa asing
Di dalam aturan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia belum dikenal adanya penyerapan
blending. Namun, dalam penelitian ini ditemukan beberapa kata blending bahasa asing yang
digunakan dalam bahasa tulis bahasa Indonesia. Lihatlah kalimat berikut ini.
o
o
PT Unilever Indonesia mengembangkan program trashion (NOVA, 18–24 Oktober
2013)
Kegiatan pentas yang fokus terhadap konsep edutainment bagi seluruh pelajar. (NOVA,
02–08 Agustus 2013)
Kata-kata trashion dan edutainment merupakan bentuk blending yang diserap dari
bahasa Inggris. Kata trashion merupakan blending dari kata trash fashion, sementara kata
edutainment merupakan blending dari kata education entertainment. Kedua kata tersebut samasama dibentuk dengan mengambil bagian awal kata pada kata pertama, yaitu tra dan edu, dan
selanjutnya digabungkan dengan bagian akhir kata dari kata kedua, yaitu shion dan tainment.
3. Penyerapan gabungan akronim dan kliping bahasa asing
Seperti halnya akronim dan blending, tidak ada aturan yang menjelaskan adanya penyerapan
gabungan akronim dan kliping. Dalam kenyataannya, dapat ditemukan beberapa kata berupa
gabungan akronim dan kliping. Lihatlah kalimat berikut ini.
o
o
Namun, untuk bisa diterapkan, software ini masih perlu diuji coba menggunakan data
real time supaya bisa diintegrasikan dengan InaTEWS milik BMKG (Tempo, 25
Februari 2013)
Man-U memang memegang kendali permainan namun tak banyak membuat peluang
dimana hanya empat on target dari 16 tembakan yang dibuat sepanjang laga
(Singgalang, 18 Maret 2013)
InaTEWS adalah singkatan dari Indonesia Tsunamy Early Warning System dan Man-U adalah
singkatan dari Manchester United.
Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyerapan kata bahasa asing,
yang semula hanya berupa kata dasar, saat ini telah bergeser menjadi tidak hanya kata dasar
tetapi juga akronim, blending, dan gabungan akronim dan blending.
b. Pergeseran akronim, blending, dan kliping pada proses ubah bentuk
1. Pergeseran pembentukan akronim
Pergeseran pembentukan akronim pada proses ubah bentuk terjadi pada proses pembentukan
akronim. Pembentukan akronim pada dasarnya harus didasari atas huruf-huruf yang terdapat di
dalam kata yang diakronimkan dan ditulis dengan huruf kapital. Pergeseran terjadi dengan
muculnya akronim yang menggunakan angka, inisiasi huruf kecil, penyerapan dari bahasa asing,
dan pelafalan baik pelafalan inisial kata maupun pelafalan huruf dalam penulisan. Pergeseran
pembentukan akronim dalam bahasa tulis bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.
188
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
Gambar 1. Pergeseran Pembentukan Akronim dalam Bahasa Indonesia
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada awalnya bentuk akronim dalam bahasa Indonesia
adalah inisiasi huruf (awal) dan hanya terdiri atas satu kata (misalnya, Badan Pemeriksa
Keuangan diakronimkan menjadi BPK). Setelah itu terjadi pergeseran bentuk menjadi enam
varian, yaitu penggunaan angka untuk menunjukkan pengulangan huruf yang sama (misalnya,
Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal diakronimkan menjadi SM3T).
Kemudian muncul akronim yang ditulis dengan huruf kecil (misalnya, barel perhari
diakronimkan menjadi bph). Kemudian berkembang menjadi akronim berbentuk kata majemuk
(misalnya, Anjungan Tunai Mandiri Bank Central Asia diakronimkan menjadi ATM BCA).
Lalu, sejalan dengan munculnya akronim berbahasa asing (terutama bahasa Inggris), terjadi
peminjaman akronim bahasa asing dalam bahasa tulis bahasa Indonesia (misalnya, MoU, LoI,
MDGs). Pergeseran berikutnya adalah perubahan pada bentuk inisiasi kata dengan
memunculkan pelafalan inisial kata pada sebagian atau semua inisial kata (misalnya, ELSAM,
ELTEHA, dan hape) serta terjadinya perubahan inisial kata berupa perubahan pelafalan huruf
dalam penulisan (misalnya, GAZA dari seharusnya GAJA).
2. Pergeseran pembentukan blending
Pergeseran pembentukan blending terjadi pada jenis pembentukan blending, dan penggabungan
bagian kata. Menurut aturan dasarnya, blending dilakukan dengan menggabungkan suku kata
awal dari kata pertama dengan suku kata akhir dari kata berikutnya. Pergeseran terjadi dengan
munculnya penggabungan suku kata awal dari kata pertama dengan suku kata awal dari katakata berikutnya, penggabungan bagian awal kata dengan bagian tengah kata, dan penggabungan
bagian akhir kata. Selanjutnya, pergeseran juga terjadi ketika penggabungan kata dilakukan
dengan mencampurkan unsur kata utuh dengan bagian kata. Pergeseran pembentukan blending
dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.
Gambar 2. Pergeseran Pembentukan Blending dalam Bahasa Indonesia
Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kata berbentuk
blending, dari semula yang hanya berupa penggabungan bagian awal dan akhir kata (misalnya,
189
M. Zaim
minuman keras menjadi miras, dan senjata api menjadi senpi) berkembang menjadi
penggabungan bagian awal kata (misalnya, tindak pidana korupsi menjadi tipikor). Kemudian
pembentukan kata tersebut berkembang menjadi penggabungan bagian awal dan tengah kata
(misalnya, tenaga kerja menjadi naker dan pencurian kendaraan bermotor menjadi curanmor),
lalu muncul lagi blending berupa penggabungan akhir kata (misalnya, beras miskin menjadi
raskin). Selanjutnya, penggabungan berkembang menjadi penggabungan kata utuh dengan
bagian kata seperti tim nasional menjadi timnas.
3. Pergeseran pembentukan kliping
Pergeseran juga terjadi pada pembentukan kata dengan cara kliping. Menurut teori, pemendekan
dilakukan dengan cara memenggal bagian awal ataupun bagian akhir dari suatu kata. Dari hasil
analisis data, ditemukan kliping dengan memenggal bagian awal dan akhir kata sehingga
menyisakan bagian tengah kata saja, memenggal bagian-bagian dari suku kata dan menyisakan
huruf awal dari suku-suku kata, dan penggunaan angka sebagai pengganti huruf atau bagian
kata. Berdasarkan temuan di atas, dapat dinyatakan bahwa pergeseran pembentukan kliping
dalam bahasa Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut.
Gambar 3. Pergeseran Pembentukan Kliping dalam Bahasa Indonesia
Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pembentukan kliping dalam
bahasa Indonesia. Perubahan terjadi dari bentuk awal berupa pemotongan awal atau akhir kata
(misalnya, bapak menjadi pak, dan ibu menjadi bu) menjadi pemotongan awal dan akhir kata
(misalnya, penyelidikan menjadi lidik, dan kecelakaan menjadi laka), penghilangan huruf vokal
pada kata (misalnya, tapi menjadi tp, bisa menjadi bs), dan penggunaan angka sebagai
pengganti huruf, bagian kata, dan kata (misalnya, setuju menjadi s7, benar menjadi b3n4r,
berempat menjadi ber4).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian sebagaimana telah dinyatakan di atas,
hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa tulis bahasa Indonesia
mengikuti sistem pembentukan kata secara morfologis sesuai dengan teori morfologi yang
berkembang. Namun, terjadi penyesuaian sistem pembentukan kata sesuai dengan ciri khas
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang hidup dan berkembang mengikuti tren penuturnya.
Pembentukan kata dapat dilakukan melalui proses peminjaman/penyerapan dari bahasa
asing dalam bentuk akronim, blending, dan gabungan akronim dan kliping. Pembentukan
kata juga dapat dilakukan melalui ubah bentuk dari kata yang ada, baik berupa akronim,
blending, maupun kliping dengan berbagai variasi bentuknya.
190
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
2. Pergeseran sistem pembentukan kata akronim, blending, dan kliping bahasa Indonesia tulis
terjadi dengan ditemukannya varian dari sistem baku seperti dinyatakan dalam buku
Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia dan Pedoman Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia.
Bentuk pergeseran itu berupa penyerapan akronim, blending, dan kliping dari bahasa asing
dan berbagai ubah bentuk pada bentukan akronim, blending, dan kliping baru. Pada akronim
muncul akronim dalam bentuk kata majemuk dan gabungan penggunaan inisiasi huruf dan
angka. Pada blending, penggabungan bagian kata tidak terbatas hanya awal dan akhir kata,
tetapi hampir pada semua bagian kata. Pada kliping, pemenggalan tidak hanya terjadi pada
akhir kata, tetapi juga pada awal kata dan juga pada awal dan akhir kata.
CATATAN
* Penulis berterima kasih kepada mitra bestari yang telah memberikan saran-saran untuk perbaikan artikel
ini.
** Artikel ini ditulis berdasarkan hasil penelitian fundamental yang didanai oleh Kemdiknas RI pada
tahun 2013/2014.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H., Lapoliwa, H., dan Darmowidjojo, S. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia
(Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Aronoff, M., dan Ress-Miller, J. (2001). The handbook of linguistics. Oxford: Blackwell
Publishers Inc.
Booij, G. (2007). The grammar of words; An introduction to morphology. Oxford: Oxford
University Press.
Katamba, F. (1993). Morphology. London: Macmillan Press Ltd.
Kridalaksana, H. (1983). Kamus linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Kridalaksana, H. (1990). Kelas kata dalam bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Lieber, R. (2009). Introducing morphology. Cambridge: Cambridge University Press.
Mahsun. (2005). Metode penelitian bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
McManis, C., Stollenwerk, D., Zhang, Z., Bissantz, A.S. (1987). Language files: Materials for
an introduction to language. Ohio: Advocate Publishing Group.
Moeliono, A.M. (1988). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Nababan. (1984). Sosiolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: PT Gramedia.
Pusat Bahasa. (2004). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Jakarta:
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Pusat Bahasa. (2007). Pedoman umum pembentukan istilah. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: Pengantar penelitian wahana
kebudayaan secara linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
191
M. Zaim
Sugono, D. (2009). Pengindonesiaan kata dan ungkapan asing. Jakarta: Pusat Bahasa,
Departemen Pendidikan Nasional.
Sumarsono dan Partana, P. (2002). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Sutawijaya, H.A. (1996). Morfologi bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Zaim, M. (2000). Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, Makalah Seminar Linguistik
MLI Unand, 11 Mei 2000.
Zaim, M. (2001). Pembentukan kata dengan akronim, singkatan dan penggalan dalam bahasa
Indonesia mutakhir. Humanus, 4(1).
Zaim, M. (2008). Pergeseran sistem pembentukan kata bahasa Indonesia pasca Orde Baru.
Laporan hasil penelitian. Jakarta: Depdiknas.
Zaim, M. (2009). English morphology. Padang: Fakultas Bahasa Sastra dan Seni, Universitas
Negeri Padang.
Zaim, M. (2014). Metode penelitian bahasa: Pendekatan struktural. Padang: FBS UNP Press.
192
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 193-195
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
Resensi Buku
: Transcribing Talk and Interaction: Issues in the Representation of
Communication Data
ISBN
: 9789027211835
Penulis : Christopher Joseph Jenks
Tebal
: xi, 120 halaman
Penerbit : John Benjamins Publishing Company, 2011
Judul
Agustian Sutrisno
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
[email protected]
“The only good thing to say about the transcription process is that it allows us to
get to know our data thoroughly, otherwise it is usually a far-too-long and lessthan-enjoyable process (to say the least)” (Dörnyei, 2007:246).
Proses membuat transkrip dari data yang berbentuk rekaman audio adalah
momok bagi kebanyakan peneliti kualitatif dan peneliti linguistik, seperti yang
diungkapkan oleh Dörnyei dalam kutipan di atas. Hampir tidak ada yang dapat
dinikmati dari proses yang menyita banyak waktu tersebut, selain dari
keuntungan bahwa sang peneliti, jika melakukan transkripsi itu sendiri, dapat
mengenal dengan saksama data penelitiannya.
Berkat kemajuan teknologi, kesulitan dan kejenuhan melakukan transkripsi dapat diatasi dengan
penggunaan perangkat lunak yang dapat mengubah rekaman audio menjadi transkrip tertulis
(computer-assisted transcription software) (Dörnyei, 2007). Akan tetapi, kebanyakan perangkat
lunak yang tersedia tidak dapat mentranskripsikan data audio yang tidak berbahasa Inggris.
Dengan demikian, bagi para peneliti linguistik Indonesia, belum ada jalan keluar dari proses
transkripsi yang melelahkan tersebut.
Transcribing talk and interaction: Issues in the representation of communication data
oleh Jenks adalah judul yang tepat untuk buku yang tidak berusaha menyederhanakan proses
transkripsi. Jenks menyajikan dengan rinci langkah-langkah yang perlu diambil dalam
menyajikan data komunikasi wicara dan interaksi manusia dan berbagai problematika praktis
dalam mengubah data komunikasi verbal dan non-verbal manusia menjadi data berbentuk
tulisan. Dalam beberapa bagian, barangkali Jenks terlihat sangat preskriptif. Misalnya, dia
merekomendasikan tipe huruf (font) yang sebaiknya dipakai untuk transkripsi, yaitu Courier
New dan Consolas (lihat halaman 39-41). Jenks berargumen kedua tipe huruf itu mempunyai
jarak spasi yang konsisten sehingga memudahkan proses analisis terhadap ujaran dari beberapa
pembicara yang kadang tumpang tindih dan memberikan tampilan yang kurang professional
dalam menyajikan data. Walau sekilas terlihat sangat preskriptif, memberikan pembaca dapat
menilai sendiri apakah penjelasan, saran, dan argumen yang Jenks sajikan bermanfaat atau
tidak. Saran yang rinci semacam ini jarang dijumpai dalam buku-buku metodologi penelitian
linguistik yang biasanya hanya menyajikan transkripsi dalam salah satu babnya (lihat, misalnya,
Wray dan Bloomer, 2011).
Resensi Buku
Seperti judul bukunya, Jenks membahas banyak segi interaksi manusia yang perlu
diperhatikan peneliti linguistik, seperti intonasi, tekanan, postur tubuh, dan ekspresi wajah. Dua
hal terakhir ini, postur tubuh dan ekspresi wajahb seringkali terlewat dalam analisis dan
transkripsi di kalangan peneliti linguistik dan peneliti ilmu sosial lainnya. Walau rekaman video
sekarang mudah dilakukan untuk mendukung penelitian dan dapat menyajikan data yang sangat
kaya dan beragam (Heath, 2011), menyajikan data yang tertangkap melalui rekaman video tetap
sulit untuk dilakukan. Buku-buku metode penelitian yang lain walau memberikan perhatian
pada transkripsi data audio, sering alpa membahas transkripsi data dari rekaman video.
Inilah barangkali keunggulan utama tulisan Jenks. Dalam Bab 5, tersaji petunjuk
lengkap melakukan transkripsi data audio-visual yang dipadukan dengan gambar-gambar
cuplikan video. Misalnya, pada halaman 79, terdapat contoh transkrip data audio-visual
percakapan antara seorang pedagang dengan tokoh yang bernama Peter.
Merchant: hello sir. (0.5)
Peter:
doց youր waց nnaր something? ( (merchant extends left arm out) ) (0.5)
walk in here and have a look.
Seperti terlihat dari contoh yang diberikan Jenks di atas, data visual ditampilkan secara
tertulis melalui kurung ganda, yaitu ( ( merchant extends left arm out) ) [pedagang menjulurkan
lengan kirinya]. Selain penggambaran tindakan sang pedagang, Jenks juga memberikan
keterangan waktu berapa lama tindakan itu berlangsung, yang terlihat dari angka di dalam
kurung (0.5). Adapun intonasi bicara sang pedagang terlihat melalui tanda panah naik atau turun
ր ց). Penggambaran terperinci semacam ini tentunya membuat proses transkripsi data audiovisual sangat panjang dan melelahkan. Akan tetapi, untuk memperoleh data dan analisis yang
sahih, rasanya memang tidak ada (atau belum ada) jalan pintas. Para peneliti pemula yang
merasa bahwa rekaman video dapat dengan mudah menambah kesan berlangsungnya penelitian
observasional yang baik perlu membaca buku Jenks untuk memahami kompleksitas penyajian
data audio-visual untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.
Harus diakui, buku Jenks bukan panduan universal untuk semua peneliti yang berminat
melakukan transkripsi dan analisis linguistik. Di antara pembaca jurnal ini barangkali ada yang
berpendapat bahwa penyajian transkrip seperti yang disarankan oleh Jenks agak berlebihan. Hal
ini mungkin benar adanya bagi para peneliti yang tertarik untuk melakukan analisis tematis atas
data audio, seperti rekaman wawancara dengan narasumber. Analisis tematis (seperti misalnya
yang diusulkan oleh Braun dan Clarke, 2006) lebih menekankan makna dan tema yang muncul
dari wawancara dengan narasumber, bukan rincian ujaran dan tindakan. Untuk tujuan ini
agaknya tidak dibutuhkan catatan rinci tentang intonasi dan raut wajah narasumber seperti yang
disajikan dalam buku Jenks.
Di samping itu, bagi para peneliti dalam bidang fonologi dan fonetik, buku Jenks juga
barangkali agak mengecewakan. Dia menghindari penggunaan International Phonetic Alphabet
(IPA) dalam transkripsinya. Akan tetapi, seperti yang dapat diduga, Jenks memberikan alasan
yang jelas mengapa penggunaan IPA tidak disarankannya. Menurut Jenks, IPA terlalu teknis
dan spesifik pada bidang ilmu tertentu, sehingga transkripsi yang menggunakan IPA sulit
diakses oleh pembaca luas.
Buku Jenks memang berguna sebagai pelengkap untuk kebanyakan buku metodologi
penelitian linguistik, bukan penggantinya. Jenks sama sekali tidak membahas teori linguistik
194
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
dan metodologi analisis data tertentu. Sesuai dengan sub-judul yang diberikan, “Issues in the
representation of communication data”, Jenks berfokus pada bagaimana data komunikasi verbal
dan non-verbal disajikan dalam bentuk tulisan dan gambar. Para peneliti yang selama ini
menghadapi kesulitan mencari cara menyajikan data tersebut akan sangat tertolong oleh karya
Jenks yang kaya dengan contoh dan rincian ini. Untuk memahami metodologi penelitian yang
lebih luas dan menyeluruh, mereka perlu membaca buku lain, seperti misalnya Research
Methods in Applied Linguistics karya Dörnyei (2007), yang dikutip di awal resensi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Braun, V. dan Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research
in Psychology, 3(2), 77-101.
Dörnyei, Z. (2007). Research methods in applied linguistics. Oxford: Oxford University Press.
Heath, C. (2011). Embodied action: Video and the analysis of social interaction. Dalam D.
Silverman (Ed.) Qualitative research (hlm. 250-269). Los Angeles: Sage.
Wray, A. dan Bloomer, A. (2011). Projects in linguistics and language studies. London dan
New York: Routledge.
195
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 197-200
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-32, No. 2
JELAJAH LINGUISTIK
Rubrik ini membuka peluang untuk saling berbagi di antara kita tentang beberapa kemungkinan topik ini:
a. pencanangan metode penelitian linguistik yang belum lazim digunakan
b. daur-ulang metodologi penelitian linguistik
c. persoalan data yang – meskipun barangkali belum ditemukan pemecahannya – penelusurannya
berpeluang membuka sesuatu yang baru yang belum pernah menjadi perhatian peneliti terdahulu
d. penerapan teori linguistik tertentu untuk menjelaskan data bahasa seperti bahasa Indonesia yang
membuat peneliti mempersoalkan teori yang bersangkutan
PENGELOLAAN DATA DIGITAL DALAM RANGKAIAN
METODOLOGI PENELITIAN LINGUISTIK
Faizah Sari
Surya University
[email protected]
Penelitian linguistik kontemporer yang berhasil berakar dari pengelolaan data yang akurat.
Chelliah (2013) mendefinisikan, “[data management]… includes skillful note-taking, detailed
metadata collection, and safe storage and documentation of media” (hlm. 68). Ketiga kata sifat,
yaitu ‘terampil’ (skillful), ‘terperinci’ (detailed), dan ‘aman’ (safe), merupakan karakteristik
pengelolaan data yang baik, terlebih dalam bentuk digital. Diperlukan persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, dan pemeliharaan data yang lebih rapih, akurat, dan lengkap agar penelitian
menghasilkan luaran berkualitas dan memiliki keberlangsungan (sustainability) tinggi. Melalui
pengelolaan yang baik, peneliti dapat mengolah data, memberi kesimpulan, dan menggunakan
data untuk contoh-contoh pada makalah ilmiah, dan untuk penelitian selanjutnya.
Lebih jauh, pengelolaan data linguistik lekat hubungannya dengan langkah penyusunan
transkripsi (transcription). Literatur metode linguistik kontemporer seringkali menekankan
bahwa transkripsi merupakan langkah penting dalam rangkaian metode penelitian linguistik
yang dapat menentukan keberlangsungan data.
Transcription serves as a tool, a “handle” for the original oral recordings,
both during primary analysis and for later use of the data, which may be years
later and not necessarily by the original researcher. (Nagy & Sharma, 2013,
hlm. 239).
Transkripsi berfungsi sebagai suatu alat, suatu "pegangan" terhadap rekaman
lisan asli, baik selama analisis primer dan untuk penggunaan data selanjutnya,
yang mungkin bertahun-tahun kemudian dan belum tentu dilakukan lagi oleh
peneliti asli.
Ramifikasi terdapatnya transkripsi yang baik mengarah kepada seberapa baiknya
peneliti merencanakan dan menguraikan rancangan penelitian (research design) yang terperinci
dan jelas. Seringkali rancangan penelitian dibahas dalam penjelasan tentang metodologi pada
literatur kontemporer mengenai metode penelitian linguistik (linguistic research methods) atau
pembangunan korpora (corpora-building methods), misalnya seperti yang terdapat pada
Podesva & Sharma (2013), Leńko-Szymańska & Boulton (2015), dan Chiarcos, Nordhoff, &
Jelajah Linguistik
Hellmann (2012). Tidak pelak lagi bahwa rancangan penelitian yang baik dapat membantu
pengelolaan penelitian menjadi lebih berhasil. Dari perspektif peneliti, untuk menghasilkan
transkripsi yang baik, pengelolaan data pun harus baik. Langkah ini menentukan alur kerja yang
rapih dan sistematik. Apabila ini dipatuhi oleh tim peneliti, data bersih yang diperoleh menjadi
akurat dan waktu yang direncanakan untuk digunakan bagi analisis data menjadi lebih efisien.
Di samping bertanggung jawab atas perencanaan umum penelitian, termasuk
memastikan ada bukti izin melibatkan subjek manusia (informed consent), peneliti linguistik
kontemporer mengutamakan data primer dan pendigitalan data. Oleh karena itu, diperlukan
perencanaan kuat, di antaranya menyiapkan langkah-langkah dasar dan nyata dalam
perencanaan sebelum mengambil data. Perencanaan secara sekuensial dapat dibagi tiga tahap,
yaitu: (1) tahap prapengumpulan data (pre-data collection), (2) tahap selama pengumpulan data
(during data collection), dan (3) tahap pascapengumpulan data (post-data collection).
Pada tahap pertama, atau prapengumpulan data, tim peneliti menginventorisir dan
mengalibrasi semua instrumen penelitian. Saat sebelum berangkat ke lapangan merupakan saat
yang tepat untuk memastikan semua instrumen di bawah ini terinventori dan terkalibrasi dengan
baik, siap dibawa untuk ke lapangan pada hari pelaksanaan tanpa kecuali, apalagi bila
perjalanan memakan waktu cukup lama atau jarak cukup jauh:
 Alat rekam video
 Alat rekam audio, dan pastikan sistem audio merekam dalam file .wav.
 Clapper, untuk menentukan titik mulai speech sample
 Mikrofon berjenis clip-on atau boom, untuk hasil suara yang bagus
 Kartu digital terkunci (secure digital cards/SD cards) dalam berbagai bentuk
 External harddrive berkapasitas besar, untuk menyimpan data rekaman apabila kapasitas
chip/SD cards telah melampaui batas agar dapat digunakan lagi
 Charger dan extension cords
 Baterai tambahan, dan sumber energi lainnya
Ketua tim peneliti dapat menugaskan anggota-anggota tim untuk bertanggung jawab
khusus pada alat tertentu, misalnya alat rekam, baik video ataupun audio, sehingga mereka
dapat belajar merekam suara dan mengambil data primer lain di lapangan. Dengan demikian,
akan mudah bagi pemimpin penelitian untuk menelusuri sumber rekaman dan mencatat progres
pengambilan data.
Pada tahap kedua, atau selama pengumpulan data, tim peneliti memastikan dua hal
esensial selama masa pengambilan data di lapangan. Pertama, tim memastikan data mentah
berupa audio dan video tersimpan baik dalam data storage (SD cards) dan cadangan (backup)
untuk mencegah data kehilangan, tertukar, terekam ulang, dan terhapus. Kedua, tim mencatat
semua aktivitas metadata pada catatan lapangan (fieldnotes) karena semua sample memerlukan
bukti konteks. Kehilangan atau kerusakan alat penyimpan fisik data digital dapat mengganggu
kelancaran pengumpulan data di lapangan. Lebih jauh, walaupun kehilangan atau kerusakan alat
penyimpan fisik (storage) merupakan risiko lumrah dalam penelitian, tim peneliti dapat
meminimalkan terbuangnya energi, waktu, atau bahkan dana atas kehilangan atau kerusakan
dengan memastikan ada beberapa SD cards pada multiple electronic instruments untuk
memastikan speech sample yang direkam tidak terputus hanya karena kapasitas chip penuh,
baterai alat perekam habis, atau alat hilang.
198
Pada tahap terakhir, atau setelah pengumpulan data, tim peneliti langsung bertugas
mendigitalkan segala bentuk data. Setelah kembali dari lapangan, anggota-anggota tim yang
telah diberi tanggung jawab terhadap satu alat segera dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil
pengelola data digital dan menginventorisir perolehan data di lapangan dengan menggunakan
daftar piranti lunak berikut yang juga direkomendasikan pada literatur metodologi linguistik
kontemporer (Nagy & Sharma, 2013, 248-251) dan dapat diunduh secara gratis.
 Audacity (http://www.audacityteam.org/), atau program audio editing sejenis, yang dapat
digunakan untuk melihat frekuensi bunyi dan mengubah file extension audio.
 Eudico Language Annotation (ELAN) (https://tla.mpi.nl/tools/tla-tools/elan/download/), yaitu
program anotasi komprehensif terhadap file audio dan video. Program ini dapat membantu
peneliti mengelola data digital dalam satu platform. Program ini mudah untuk diunduh dan
digunakan, tidak terlalu membebani memory pada harddisk komputer, dan peneliti dapat
mengunggah file video maupun audio pada program ini. Program ini pun dapat mengekspor
file langsung ke program toolbox untuk menyusun daftar lema untuk membangun kamus
(lihat di butir kedua sebelum terakhir).
 Praat (http://www.fon.hum.uva.nl/praat/), yaitu program analisis fonetik yang dapat
membantu peneliti memeriksa formant, intonasi, pitch, dan analisis akustik lainnya.
 CLAN (http://childes.psy.cmu.edu/clan/), yaitu program untuk mentranskripsi (transcribing)
dan mengkode (coding). Program ini cocok untuk analisis percakapan (conversation analysis)
dan konkordansi. Akan tetapi, program ini tidak dapat memperlihatkan file video.
 Toolbox (http://www-01.sil.org/computing/toolbox/), yaitu program pengelolaan dan analisis
data leksikal. Umumnya toolbox dapat membantu peneliti mengelola daftar lema. Program ini
cukup sederhana dan mudah dipelajari. Program ini juga tidak terlalu membebani memory
pada harddisk komputer dan dapat ber-interface dengan ELAN.
 FLEx (http://fieldworks.sil.org/flex/), merupakan program pengelolaan dan analisis data
leksikal yang lebih komprehensif dibandingkan Toolbox. Dengan FLEx peneliti tidak hanya
dapat menganalisa leksis dan menyusun kamus, tetapi juga menganalisis morfologi dan fitur
wacana (discourse features). Akan tetapi, installer FLEx memerlukan waktu yang lama karena
file-nya besar. Dengan demikian, peneliti perlu memastikan apakah kapasitas memori di
komputer memadai untuk aplikasi FLEx.
Dalam tahap ketiga (post-data collection) ini pun, ada baiknya sistem penyimpanan file
juga dikelola dengan baik, sampai pada hal-hal yang terlihat trivial, misalnya menyimpan dalam
folder yang diberi label jelas. Pengelolaan folder digital sama pentingnya dengan pengelolaan
data digital, dan dapat dilakukan oleh langsung oleh peneliti, di antaranya:
 Pengaturan (set up) satu folder khusus di komputer untuk mengakomodasi semua file berisi
data digital. Beri judul ‘Data Digital’ pada folder itu. Di dalam folder ‘Data Digital’, peneliti
dapat membuat serangkaian folder yang akan membantu mengidentifikasi file dengan cepat
pada saat diperlukan. Misalnya, satu folder berisi jenis-jenis file extensions, satu folder
berdasarkan tanggal perolehan data di lapangan, nama bahasa, atau topik. Pastikan ada satu
folder berjudul program analisis bahasa yang berisi file-file dalam aplikasi tersebut. Contoh,
satu folder berjudul ‘ELAN files on Kupang Malay, Feb 5th, 2016’ berisi file aplikasi ELAN
yang mengompilasi analisis data bahasa Melayu Kupang. Singkat kata, berikan akses yang
mudah dan cepat pada folder data.
199
Jelajah Linguistik
 Retrodigitation, yaitu mengubah dan menyimpan data fisik menjadi elektronik. Biasanya
langkah ini dilakukan apabila hanya data fisik, atau hardcopy, yang tersedia, misalnya: foto,
naskah lama, tulisan lama, dan buku. Retrodigitation dilakukan dengan memindai (scanning)
objek-objek fisik tersebut. Langkah ini baik untuk memperkaya metadata dan informasi
dokumentasi bagi topik penelitian.
 Penyimpanan cloud dapat dilakukan apabila peneliti tidak memiliki server sendiri atau server
yang cukup besar untuk menampung dan menyimpan semua data digital sebagai cadangan
(backup). Umumnya penyimpanan data di cloud dapat dilakukan dengan berlangganan dengan
server cloud (https://cloud.google.com/).
Pengelolaan data digital yang baik merupakan sumber reliabilitas data penelitian dan
langkah awal menuju kinerja penulisan ilmiah berisikan hasil analisis data yang akurat.
Perkembangan piranti lunak linguistik (linguistic software) berjalan cukup cepat, sehingga mau
tidak mau kita harus dapat mengejar perkembangan itu dan bersedia memperbarui keterampilan
meneliti dengan belajar menggunakan software yang relevan. Keterampilan bermetodologi yang
bersinergi dengan disiplin ilmu yang lain, terutama teknologi informatika, tidak hanya berujung
pada hasil analisis yang lebih berkualitas, namun juga menjadikan penelitian linguistik lebih
menarik, ilmiah, dan interdisipliner.
RUJUKAN PUSTAKA
Chelliah, S. (2013). Fieldwork for language description. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma
(Ed.). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Chiarcos, C., Nordhoff, S., dan Hellmann, S. (2012). The open linguistics working group of the
open knowledge foundation. Dalam C. Chiarcos, S. Nordhoff, dan S. Hellmann (Ed.).
Linked data in linguistics: Representing and connecting language data and language
metadata. Berlin: Springer.
Leńko-Szymańska, A. dan Boulton, A. (Ed.). (2015). Multiple affordances of language corpora
for data-driven learning. Amsterdam: John Benjamins.
Nagy, N. dan Sharma, D. (2013). Transcription. Dalam R.J. Podesva, dan D. Sharma (Ed.).
(2013). Research methods in linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Podesva, R.J. dan Sharma, D. (Ed.). (2013). Research methods in linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
200
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 201-205
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
Volume ke-33, No. 2
BINCANG ANTARA KITA DARI DUNIA MAYA
APA ARTI “FREE TEST”?
From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo
Sent: Friday, 12 June 2015 12:03 PM
To: [email protected]
Reply To: [email protected]
Subject: [mlindo] apa arti "free test"?
Para anggota milis MLI:
Apabila membaca “free test” pada cuplikan iklan untuk masuk menjadi mahasiswa Program
Pascasarjana salah satu universitas ini, apa yang dimaksudkan dengan “free test” itu: (a) atau
(b), atau ambigu [bisa (a), bisa (b)]?
(a) bebas tes [dibebaskan dari kewajiban mengikuti tes]
(b) tes gratis [tidak perlu membayar untuk ikut tes]
Terima kasih telah meluangkan waktu menjawab surel ini.
Bambang Kaswanti
From: [email protected] On behalf of Evand Halim
Sent: Friday, 12 June 2015 12:40 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Dear Prof Bambang,
Kalau pendapat saya pribadi menangkapnya (terlepas dari contextual clues, common practice
atau common sense) "Free Test" itu artinya pasti yang (b) tes gratis.
Menurut saya, hanya ini kemungkinannya, dan tidak ada keambiguan sama sekali. Analaoginya
adalah ungkapan-ungkapan seperti: free samples, free consultation.
Kalau yang dimaksudkan adalah (a) bebas tes (exemption), saya (hanya feeling tanpa bisa
memberikan penjelasan linguistik yang kompleks) mengharapkan struktur yang digunakan agak
berbeda, yaitu [ X-free something], sehingga semestinya ditulis "Test-free Admission".
Analoginya adalah fat-free yoghurt, tax-free goods.
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
Tapi mungkin ini juga akan menarik kalau ada anggota MLI yang merupakan penutur asli
bahasa Inggris (inner circle) bisa dimintai pendapatnya.
Apakah mungkin kasus di atas merupakan contoh interferensi L1? [bebas (=free); tes (=test),
sehingga bebas tes = free + test = free test]
Menurut pengamatan saya, sering terjadi kasus serupa. Beberapa teman mengatakan inilah
gejala penggunaan bahasa Inggris sebagai lingua franca. Dialek-dialek regional bermunculan
dan ungkapan-ungkapan baru dibentuk oleh komunitas penutur bahasa Inggris di luar lingkar
dalam. Di kelas penerjemahan saya, pernah seorang juru bahasa di sebuah NGO bercerita bahwa
dia menerjemahkan kalimat "UU baru ini perlu disosialisasikan segera" menjadi "the new law
must be socialized immediately." Pertama-tama, atasannya yang orang Australia memprotes
penggunaan kata socialize dalam konteks tersebut. Menurutnya 'socialize' artinya 'bertemu
dengan orang-orang' (semacam hang out begitu). Tapi kemudian teman-teman juru bahasa lain
di kantornya terus menggunakan istilah 'socialize' untuk maksud yang sama. Mengejutkannya,
di suatu event, si atasannya yang orang Australia tadi malah ikutan menggunakan kata 'socialize'
dalam konteks yang sama. Kata teman saya itu, "Akhirnya dia nyerah juga Pak, sama kita".
Regards,
Evand Halim
From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo
Sent: Friday, 12 June, 2015 1:31 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Mungkin perlu dibedakan dua kelompok ini –
arti “free test” bagi kita (1) yang kurang menguasai bahasa Inggris dan (2) yang menguasai
bahasa Inggris?
Menarik cerita kasus di NGO itu. Berarti kita berhasil melakukan “kudeta” terhadap penguasa
lingkar dalam, ya?
Ini hasil iseng tanya ke “google”:
Eng-Ind free test – tes gratis
Ind-Eng tes gratis – free test
bebas tes – free test
bebas narkoba – drug free
Apakah untuk kasus “free test” ini google sudah terkena pengaruh lingkar luar, sampai-sampai
tidak kenal lagi kata exemption?
bk
202
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
From: [email protected] On behalf of Evand Halim
Sent: Friday, 12 June 2015 2:12 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Iya Prof, jangan-jangan ke depannya, atas nama "English as a lingua franca", pembelajaran
bahasa Inggris sebagai bahasa asing akan menjadi lebih permissive, menoleransi ungkapanungkapan yang 'ungrammatical" atau yang mungkin hanya masuk dalam kelompok "breach of
idiomaticity". Maksud saya, ungkapan-ungkapan yang terdengar kaku dari kaca mata penutur
asli tapi karena dimengerti oleh komunitas pengguna bahasa itu akan dijadikan pembenaran dan
pada akhirnya menjadi beda-beda tipis antara register formal, informal, ungrammatical,
dialectal. "As long as you understand, I understand, - Ok-lah...".
Yang juga menarik, masih dalam teks tersebut, ungkapan "Special for Alumni of ...", saya kok
merasa ini juga 'doesn't sound English'. Dugaan saya ini juga interferensi L1. [ Special = khusus;
untuk = for ; special for = khusus untuk ].
Tapi kok rasanya (lagi-lagi) terdengar aneh ya, kalau kita bilang "This test exemption is special
for Alumni of..." (untuk maksud "exclusively/solely/limited"). Apa tidak cukup dengan "Only
for..." atau langsung "For alumni of..." atau lainnya semacam itu. Atau mungkin saja bisa
diterima karena penggalan itu bukan dalam kalimat penuh ya?
Ini menarik sih. Saya ingat pengalaman sewaktu di Thailand. Di toko-toko, kalau mencari baju
dengan ukuran L, saya akan tanya "Do you have L size?", dan kalau tidak ada, hampir semua
penjaga toko akan menjawab "Oh, sorry sir, no have L size, but M size have." Nah di manamana hampir selalu dijawab begitu (no have = tidak ada). Nah besok-besoknya kalau
menanyakan ukuran dan tidak ada, saya jawab balik seperti ini, "Oh no have? too bad, ok lah,
thank you." Nah ini tampaknya menular .
Bagaimana pendapat rekan-rekan anggota MLI yang lain?
Regards,
Evand Halim
From: [email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya
Sent: Saturday, 13 June 2015 3:47 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
bukankah penutur asli juga memiliki jargon-jargon atau slang-slang yang bisa dikatakan
ungrammatical. Di Amerika ada black English, seperti:
I dont like no milk.
I aint the kind to hang around. (song)
kenapa orang Asia bicara slang Asia di salahkan?
apa kita mau menyamakan slang dan jargonnya orang indonesia dan dan malaysia?
ingat! Orang Amerika bilang cookies orang inggris bilang biscuit; coba orang Am
bilang janitor orang inggris atau Ausie bilang apa ..
ayo!
203
Bincang antara Kita dari Dunia Maya
From: [email protected] On behalf of Prihantoro
Sent: Sunday, 14 June 2015 7:07 AM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Prof Bambang,
Berdasarkan hasil penelusuran Corpus of Contemporary American English (COCA), frasa 'free
test' hanya terdeteksi sebanyak 10 hits. Frasa 'test-free' malah 0 hit, sedangkan tanpa hypen 'test
free' menghasilkan 4 hit. Sangat rendah pada sisi produktifitasnya. Ada kemungkinan dimana
memang ungkapan ini jarang digunakan oleh penutur asli bahasa inggris.
mengenai makna frasa 'free test' sendiri ada satu lagi makna yang didapatkan dari hasil
penelusuran COCA, yaitu hasil tes kesehatan yang menyatakan seseorang tidak mengidap satu
penyakit:
A free test that proves positive should probably be repeated by your own physician; that is
usually covered by insurance
An angiogram is not what's known, in medical jargon, as a " free test " - an easy way to get
information about a patient
Can yon tell me where in the Kansas City, Missouri, area I could get the free test for peripheral
vascular disease (PVD)? Betty Lamb Grain Valley, Kansas
Ada satu frasa dimana 'free' berarti 'gratis' yang dapat diindikasikan dari collocate pada left
handside 'discounted'. Namun perlu dipahami bahwa di sini peran 'test' bukanlah sebagai head.
At the same time, EPA is researching incentive programs to promote radon testing and
mitigation, such as discounted or free test kits, especially for high risk populations.
Demikian hasil pembacaaan COCA, yang akan sangat menarik kalau di-counter dengan korpus
lain, semisal BNC atau beberapa korpus English as a Foreign Language.
Prihantoro
Semarang
From: [email protected] On behalf of Stephanus Bala
Sent: Sunday, 14 June 2015 3:13 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Saya tidak berani berkomentar terhadap struktur "free test". Saya hanya berharap bahasa
Indonesia mau menggunakan "nirtes = bebas tes" dan "tes gratis = bebas biaya tes". Salam
bahasa.
Stephanus Bala
From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo
Sent: Monday, 15 June 2015 8:43 AM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Terima kasih info dari hasil penelusuran corpus ini. Dalam bahasa kita bagaimana, ya,
mengatakan pelbagai makna ini?
bk
204
Linguistik Indonesia, Volume ke-33, No. 2, Agustus 2015
From: [email protected] On behalf of Bambang Kaswanti Purwo
Sent: Monday, 15 June 2015 8:48 AM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Ya, tantangan kita untuk memikirkan bagaimana mengatakannya dalam bahasa Indonesia.
Apa sesungguhnya makna dari kata bebas? Dalam bahasa Indonesia “bebas rokok” dan “bebas
merokok” berlawanan maknanya.
bk
From: [email protected] On behalf of Yunanfathur Rahman
Sent: Monday, 15 June 2015 9:44 AM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Begitu juga "bebas parkir" dan "bebas becak"
From: [email protected] On behalf of Dewi Ratnasari
Sent: Tuesday, 16 June 2015 12:08 AM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
Saya sangat setuju dg harapan/gagasan pak Stephanus Bala untuk menggunakan istilah "nirtes"
dan "tes gratis" sebagai pengganti "free test".
Salam,
Dewi Ratnasari
Prodi Bahasa dan Sastra Jerman FIB Unpad
From: [email protected] On behalf of Wayan Sidhakarya
Sent: Wednesday, 17 June 2015 12:05 PM
To: [email protected]
Subject: Re: [mlindo] apa arti "free test"?
jangan terlalu percaya pada google.
205
Linguistik Indonesia, Agustus 2015, 207-208
Copyright©2015, Masyarakat Linguistik Indonesia, ISSN: 0215-4846
INDEKS PENULIS
Balukh
101
Hara Mayuko
121
Nurhayani
135
Pranowo, Herujiyanto
153
Zaim
173
Indeks
INDEKS SUBJEK
Personal Pronouns of Dhao in Eastern Indonesia
personal pronoun 101, 102, 103, 104, 111, 112, 116, 117, 118, 120
clitics 101, 102, 103, 104, 106, 107, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118
argument 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 117, 118, 119,
Dhao 101, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 113, 115, 116, 117, 118, 119
101
”Bentuk Hormat” Dialek Bahasa Bali Aga dalam Konteks Agama
bentuk hormat 121, 122, 124, 125, 126, 128, 130, 131, 133
dialek Bali Aga 121, 124, 131
dialek Bali Dataran 121
121
Javanese and Problems in the Analysis of Adversative Passive
adversative 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150
accidental 135, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 149, 150
Javanese 135, 136, 138, 140, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150
passive 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150
applicative 135, 136, 137, 138, 139, 141, 144, 145, 146, 148, 149, 150
135
Faktor dan Strategi Pengembangan Budaya Baca melalui Membaca Pemahaman
Mahasiswa
faktor membaca 153, 155, 158
strategi membaca 153, 155, 159, 166, 167, 168, 170
membaca pemahaman 153, 154, 155, 156, 157, 158, 163, 166, 169, 170
budaya baca 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 169, 170
Pergeseran Sistem Pembentukan Kata Bahasa Indonesia: Kajian Akronim, Blending,
dan Kliping
pembentukan kata 173, 174, 175, 176, 179, 180, 181, 183, 186, 187, 188, 190, 191
akronim 173, 174, 175, 176, 177, 179, 180, 181, 182, 183, 187, 188, 189, 190, 191
blending 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 190, 191
kliping 173, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 187, 188, 190, 191
208
153
173
Terima Kasih
Redaksi Linguistik Indonesia mengucapkan terima kasih kepada para
mitra bebestari yang telah berkenan mereview artikel-artikel yang
diterbitkan dalam Linguistik Indonesia edisi Februari dan Agustus 2015,
yaitu:
1. Katharina Endriati Sukamto
Unika Atma Jaya
2. Hasan Basri
Universitas Tadulako
3. Mahyuni
Universitas Mataram
4. Bahren Umar Siregar
Unika Atma Jaya
5. Totok Suhardijanto
Universitas Indonesia
6. Yanti
Unika Atma Jaya
7. Umar Muslim
Universitas Indonesia
8. Erni Farida Ginting
Max Planck Institute for
Evolutionary Anthropology,
Jakarta Field Station
9. Amalia Candrayani
Unika Atma Jaya
Jakarta, Agustus 2015
Redaksi Linguistik Indonesia
Download