SINTESIS PREKURSOR 1,3-DIKETON UNTUK 7

advertisement
3
Tabel 1
Sintesis 1,3-Diketon
Ulangan
Kira-kira 1 mmol dibenzoil resasetofenon
dilarutkan dengan 4 mL piridina lalu dipanaskan
hingga mencapai suhu 50 °C. Sementara itu,
sekitar 3 mmol KOH 85% digerus dalam mortar
yang sebelumnya telah dipanaskan dalam oven
105 °C selama sedikitnya 1 jam. KOH segera
ditambahkan panas-panas ke dalam larutan, lalu
campuran diaduk selama 15 menit. Selama
pengadukan, larutan menjadi berwarna jingga
dan mengental hingga membentuk bubur.
Setelah dibiarkan mendingin ke suhu kamar,
larutan diasamkan dengan 20 mL asam asetat
10% tetes demi tetes. Produk 1,3-diketon kasar
akan memisah sebagai endapan cokelat, yang
kemudian disaring dengan kaca masir G3,
dikering-udarakan, dan ditimbang.
HASIL
Resasetofenon
Resasetofenon diperoleh sebagai endapan
merah-cokelat (Lampiran 2a) dengan Rf ~ 0.62
pada eluen MTC (Gambar 2). Metode Cooper et
al. (1955) menghasilkan rendemen 44.0–56.7%
(Tabel 1), lebih tinggi dibandingkan dengan
metode Peruchon (2004) yang hanya
memberikan rendemen paling tinggi 37.8%
dengan asam asetat sebagai pereaksi asetilasi
(Tabel 2). Pereaksi anhidrida asetat, yang
diharapkan lebih reaktif daripada asam asetat,
menghasilkan rendemen sebesar 20.1% saja,
sedangkan campuran Ac2O/AcOH praktis tidak
menghasilkan resasetofenon (hanya 0.8%).
Gambar 2
Kromatogram filtrat resasetofenon
(kiri), endapan resasetofenon
(tengah), dan resorsinol (kanan)
(eluen: MTC).
1
2
3
Tabel 2
Ulangan
1
2
Rendemen sintesis resasetofenon
metode Cooper et al. (1955)
Resorsinol
(mmol)
10.28
10.14
10.09
Resasetofenon
(mmol)
5.83
4.46
5.02
Rendemen
(%)
56.7
44.0
49.8
Rendemen sintesis resasetofenon
metode Peruchon (2004) dengan
pereaksi asam asetat
Resorsinol
(mmol)
18.25
18.17
Resasetofenon
(mmol)
5.79
6.87
Rendemen
(%)
31.7
37.8
Produk resasetofenon dicirikan dengan
spektroskopi UV-Vis dan NMR. Seperti
ditunjukkan pada Lampiran 3a, spektrum UVVis resasetofenon menunjukkan puncak serapan
pada 276 dan 311 nm dengan efek batokromik
teramati pada penambahan NaOH dan AlCl3.
Spektrum 1H-NMR resasetofenon (Lampiran
3b) menunjukkan 1 sinyal singlet di daerah 2.56
ppm, 1 sinyal singlet di 12.69 ppm, serta 3
sinyal aromatik (6.37, 6.39, dan 7.63 ppm).
13
Spektrum
C-NMR
(Lampiran
3c)
menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 (26.4 ppm), 6
sinyal karbon-sp2 aromatik (103.6, 107.8, 114.5,
133.2, 162.7, dan 165.3 ppm), dan 1 sinyal
karbon-sp2 keton (202.8 ppm).
Dibenzoil Resasetofenon
Hasil sintesis dengan metode Marder et al.
(1998) berupa endapan kuning (Lampiran 2b).
Pencirian
dengan
spektroskopi
UV-Vis
(Lampiran 4a) tidak menunjukkan pergeseran
puncak serapan dengan penambahan NaOH.
Namun, spektrum NMR (Lampiran 4b dan 4c)
tidak menunjukkan sinyal metil singlet dari
gugus asetil. Senyawa yang didapat bukan
dibenzoil resasetofenon, melainkan resorsinil
dibenzoat.
Dibenzoil resasetofenon diperoleh dengan
menggunakan modifikasi prosedur Tang et al.
(2005). Rendemen yang didapatkan adalah 46.1
dan 64.2% untuk 2 ulangan (Tabel 3). Nilai Rfnya 0.75 dengan eluen MTC (Gambar 3).
Dibenzoil resasetofenon berupa endapan putih
(Lampiran 2c) pada suhu kamar. Spektrum UVVis
endapan
tersebut
(Lampiran
5a)
menunjukkan puncak serapan pada 238 nm.
Penambahan pereaksi geser NaOH tidak
menimbulkan pergesaran batokromik, tetapi
4
memunculkan puncak serapan baru pada272
nm.Spektrum 1H-NMR dibenzoil resasetofenon
(Lampiran 5b) menunjukkan 1 sinyal singlet di
daerah 2.56 ppm, dan8 sinyal aromatik (7.23,
7.29, 7.51, 7.52, 7.65, 7.97, 8.18, dan 8.21
ppm). Spektrum 13C-NMR (Lampiran 5c)
menunjukkan 1 sinyal karbon-sp3 (29.9 ppm), 9
sinyal karbon-sp2 aromatik (117.8, 119.6, 128.8,
129.0, 130.4, 131.6, 134.1, 150.5, dan 154.4
ppm), 2 sinyal karbon-sp2 oksiaril (164.3 dan
164.9 ppm), dan 1 sinyal karbon-sp2 keton
(196.4 ppm).
Tabel 3 Rendemen sintesis dibenzoil resasetofenon metode Tang et al. (2005)
Ulangan
Resasetofenon
(mmol)
1
2
2.56
2.52
Dibenzoil
Resasetofenon
(mmol)
1.18
1.61
108.3, 113.1, 126.8, 128.9, 129.0, 131.0, dan
132.3 ppm),2 sinyal karbon-sp2oksiaril (162.7
dan 165.2 ppm), 1 sinyal karbon-sp2 oksivinil
(176.3 ppm), dan 1 sinyal karbon-sp2 keton
terkonjugasi (194.7 ppm).
Tabel 4 Rendemen sintesis 1,3-diketon metode
Wheeler (1963)
Dibenzoil
1,3Rendemen
Resasetofenon Diketon
(%)
(mmol)
(mmol)
1*
0.96
2
1.61
0.19
11.8
* Tidak terbentuk 1,3-diketon berdasarkan analisis
spektroskopi UV-Vis (Lampiran 6b).
Ulangan
Rendemen
(%)
46.1
64.2
Gambar 4
Gambar 3
Kromatogram dibenzoil resasetofenon (eluen: MTC).
Kromatogram dibenzoil resasetofenon (kiri), filtrat (tengah) dan
endapan (kanan) hasil sintesis
1,3-diketon. Noda produk 1,3diketon (Rf ~ 0.3) ditandai (eluen:
MTC).
PEMBAHASAN
1,3-Diketon
Senyawa 1,3-diketon diperoleh dengan
menggunakan
metode
Wheeler
(1963).
Rendemen yang didapatkan adalah 11.8%
(Tabel 4). Nilai Rf-nya 0.3 dengan eluen MTC
(Gambar 4). Pada suhu kamar, 1,3-diketon
berupa padatan berwarna kuning jingga
(Lampiran 2d). Spektrum UV-Vis produk ini
(Lampiran 6a) menunjukkan puncak serapan
pada daerah tampak (366 nm) dan mengalami
pergesaran batokromik pada penambahan NaOH
dan AlCl3.Spektrum 1H-NMR 1,3-diketon
(Lampiran 6b) menunjukkan 2 sinyal singlet di
daerah 12.58 dan 15.34 ppm,8 sinyal aromatik
(6.70, 7.48, 7.53, 7.62, 7.68, dan 7.91 ppm), dan
1 sinyal singlet hidrogen vinilik (6.41 ppm).
13
Spektrum
C-NMR
(Lampiran
6c)
menunjukkan 1 sinyal karbon-sp2vinilik (92.1
ppm), 8 sinyal karbon-sp2 aromatik (104.2,
Resasetofenon
Resasetofenon disintesis melalui asetilasi
resorsinol pada atom karbon yang berada di
posisi orto terhadap salah satu gugus hidroksil
fenolik. Asetilasi terjadi di posisi tersebut
karena gugus hidroksil merupakan pengarah
orto-para. Substitusi tidak terjadi di posisi orto
terhadap kedua hidroksil, karena halangan sterik
yang lebih besar. Gugus asetil yang masuk akan
berikatan hidrogen intramolekul dengan atom
hidrogen fenolik tetangga membentuk struktur
lingkar-6 sehingga terstabilkan. Terbentuknya
ikatan hidrogen ini dibuktikan oleh kemunculan
sinyal singlet 12.69 ppm pada spektrum 1HNMR. Atom hidrogen fenolik yang menjadi
sangat terawalindung (deshielded) oleh tarikan
elektron sangat kuat dari atom oksigen karbonil
5
akan memiliki geseran kimia jauh di medanbawah (downfield).
Asetilasi resorsinol lazim dilakukan dengan
pereaksi asam asetat menggunakan katalis asam
seperti
ZnCl2 (Cooper
1955),zirkonium
tersulfasi
(Yadav
dan
Joshi
2002),
BF3(Peruchon 2004), dan FeCl3 (Naeimi dan
Meradi 2007). Cooper (1955) telah melaporkan
penggunaan ZnCl2 sebagai katalis dalam
asetilasi resorsinol pada suhu tinggi, dengan
rendemen 61–65%. Sementara Peruchon (2004)
melaporkan sintesis resasetofenon dengan
rendemen mencapai 92% dengan katalis BF3eter. Kedua katalis ini digunakan pada
penelitian. Reaksi yang terjadi ditunjukkan pada
Gambar 5.Dugaan mekanisme asilasi resorsiol
ditunjukkan pada Lampiran 7.
Gambar 5 Skema sintesis resasetofenon.
Rendemen tertinggi sintesis dengan metode
Cooper (1955) dalam penelitian ini adalah
56.7%. Pada prosedur asli, Cooper (1955)
menyintesis resasetofenon dalam skala besar
(dari 1 mol resorsinol) dan dimurnikan dengan
cara direkristalisasi menggunakan HCl-akuades
(1:11). Dalam penelitian ini, reaksi dilakukan
dalam skala kecil (10 mmol resorsinol) dan
proses rekristalisasi didapati sangat menurunkan
rendemen.
Produk
resasetofenon
kasar
diperoleh sebesar 63%. Namun, setelah
direkristalisasi, rendemen resasetofenon yang
diperoleh hanya 20.1%.
Pemurnian dengan metode VCC kemudian
dicobakan dengan eluen MTC dan etil asetat,
namun belum dapat memisahkan resasetofenon
dari pengotor. Pemurnian dengan TLC
preparatif menggunakan eluen MTC didapati
sebagai yang menghasilkan rendemen paling
tinggi dengan keterulangan yang cukup baik
(Tabel 1). Rendemen yang diperoleh ini jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan yang
dilaporkan oleh Daniel (2008) dan Firmansyah
(2009). Keduanya melakukan sintesis dengan
metode Cooper (1955) dengan rendemen
berturut-turut hanya 38.3 dan 17.6%.
Kromatogram lapis tipis resasetofenon kasar
sebelum di-TLC preparatif menunjukkan 2 noda
selain noda resasetofenon (Rf ~ 0.625). Noda
pertama diidentifikasi sebagai sisa resorsinol
dengan Rf sebesar 0.375. Noda kedua dengan Rf
~ 0.825 tidak dianalisis lebih lanjut. Produk
samping
ini
lebih
nonpolar
daripada
resasetofenon, maka diduga merupakan produk
asetilasi pada atom oksigen resorsinol
(esterifikasi).
Pencirian noda dengan Rf ~ 0.625 sebagai
resasetofenon dilakukan dengan analisis
spektroskopi UV-Vis serta 1H- dan 13C-NMR.
Spektrum UV-Vis (Lampiran 3a) menunjukkan
2 puncak serapan pada panjang gelombang 276
dan 311 nm. Penambahan 3 tetes NaOH
menggeser puncak di 276 ke 330 nm.
Pergeseran ini menunjukkan keberadaan gugus
hidroksil fenolik. Basa kuat mendeprotonasi
gugus tersebut sehingga delokalisasi elektron ke
dalam cincin aromatik lebih lancar, dan terjadi
efek batokromik. Penambahan AlCl3 juga
menggeser puncak serapan di 276 ke 358 nm,
dan tidak dapat dikembalikan ke panjang
gelombang semula dengan penambahan HCl.
Hasil ini mengindikasikan bahwa gugus
hidroksil fenolik tadi berposisi orto terhadap
gugus asil dan membentuk ikatan hidrogen
intramolekul (Markham 1988).
Keberadaan gugus hidroksil fenolik dan
gugus asil yang saling orto juga dibuktikan oleh
kemunculan sinyal 1H-NMR singlet yang
posisinya sangat khas di 12.69 ppm (Lampiran
3b). Spektrum tersebut lebih lanjut juga
menunjukkan sinyal proton asetil di 2.56 ppm
serta 3 sinyal proton aromatik di daerah 6.3–7.7
ppm. Sinyal doblet di 6.37 ppm memiliki nilai
tetapan kopling (J) 2.1 Hz yang khas untuk
kopling proton-proton meta. Sinyal tersebut
berasal dari proton yang berposisi orto terhadap
kedua hidroksil. Efek resonans doronganelektron dari 2 gugus hidroksil sangat memerisai
proton ini sehingga posisi sinyalnya bergeser
jauh ke medan bawah dari nilai khas geseran
kimia proton aromatik di 7.2–7.4 ppm.
Pergeseran serupa terjadi pada sinyal proton di
6.39 ppm. Pola pembelahannya doblet dari
doblet, cocok dengan proton yang berposisi orto
terhadap salah satu hidroksil, dengan Jorto = 9.1
Hz dan Jmeta = 2.6 Hz. Sinyal proton aromatik
ketiga berada di 7.63 ppm. Pergeseran jauh ke
medan atas (upfield) terjadi karena efek
resonans tarikan elektron dari gugus asetil. Nilai
tetapan koplingnya 8.4 Hz, khas untuk kopling
proton-proton orto. Proton hidroksil di posisi
para terhadap gugus asetil tidak memunculkan
sinyal 1H-NMR.
6
13
Spektrum
C-NMR
(Lampiran
3c)
menunjukkan 8 sinyal karbon yang mendukung
analisis spektrum 1H-NMR. Satu sinyal di 26.4
ppm berasal dari karbon-sp3 metil dan 1 sinyal
di 202.8 ppm dihasilkan oleh karbon karbonil
keton terkonjugasi. Seperti halnya sinyal proton
aromatik, sinyal karbon aromatik orto dan para
terhadap OH bergeser ke medan atas karena
efek resonans pendorong-elektron, berturut-turut
ke 103.6 dan 107.8 ppm. Sementara karbon
aromatik meta terhadap OH tidak mengalami
pergeseran tersebut (114.5 ppm). Sinyal 162.7
dan 165.3 ppm yang sangat ke medan bawah
berasal dari karbon-karbon yang mengikat OH
dan karena itu, mengalami tarikan-elektron
secara langsung dan kuat. Namun, untuk
memastikan posisi masing-masing sinyal karbon
oksiaril ini, diperlukan analisis spektrum 2dimensi yang tidak dilakukan dalam penelitian.
Tarikan-elektron gugus asil tidak sekuat gugus
hidroksil, maka karbon yang mengikat gugus
asil memunculkan sinyal di 132 ppm, lebih ke
medan atas daripada sinyal karbon oksiaril.
Spektrum
NMR
telah
membuktikan
terbentuknya produk resasetofenon. Tabel 5
meringkaskan analisis spektrum yang dilakukan.
Namun, masih terdapat beberapa puncak
pengotor pada spektrum 1H-NMR (Lampiran
3b) yang menunjukkan bahwa produk tersebut
belum betul-betul murni. Pemurnian lebih lanjut
tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Tabel 5
1
2
1’
2’/4’
3’
2’/4’
5’
6’
OH
asetat sebagai pereaksi asetilasi, mengikuti
prosedur Peruchon (2004). Menurut Peruchon
(2004), BF3 sebagai kompleks dalam dietil eter
merupakan katalis terbaik untuk reaksi FriedelCrafts senyawaan fenolik. Sistem anhidrida
karboksilat dan/atau asam asetat glasial dipilih
karena membentuk sistem asilasi Friedel-Crafts
yang lembut dengan BF3. Anhidrida asetat lebih
reaktif daripada asam asetat, maka diharapkan
akan lebih aktif mengasetilasi resorsinol. Daya
polarisasi BF3 juga lebih kuat dibandingkan
dengan ZnCl2 (Sykes 1986) sehingga lebih
memudahkan pembentukan kation asilium. Baik
ZnCl2 maupun BF3 merupakan asam Lewis yang
dapat membentuk kompleks dengan atom
oksigen karbonil dari asam asetat atau
turunannya. Tarikan-elektron yang ditimbulkan
akan meningkatkan polarisasi muatan positif
parsial pada atom karbon karbonil sehingga
lebih mudah diserang oleh tapak nukleofilik dari
resorsinol.
Bekassy
(2000)
melaporkan
mekanisme asilasi yang dapat dilalui oleh suatu
difenol. Ada 2 mekanisme yang dapat dijalani,
yakni mekanisme langsung (asilasi FriedelCrafts) atau melalui penataan ulang Fries
(Gambar 6). Mekanisme asilasi Friedel-Crafts
diduga terjadi pada metode Cooper et al. (1955)
(Lampiran 7).
Posisi sinyal-sinyalNMR resasetofenon dalam pelarut CDCl3
δH 500 MHz (ppm)
(multiplisitas, J dalam Hz,
jumlah H)
–
2.56 (s, 3H)
–
–
6.37 (d, 2.1, 1H)
–
6.39 (dd, 9.1, 2.6, 1H)
7.63 (d, 8.4, 1H)
12.69 (s, 1H)
δC 125 MHz
(ppm)
202.8
26.4
133.2
165.3
103.6
162.7
107.8
114.5
-
Untuk menaikkan rendemen resasetofenon,
diujikan penggunaan katalis BF3 dan anhidrida
Gambar 6 Skema mekanisme reaksi asetilasi
resorsinol.
Peruchon (2004) melaporkan bahwa reaksi
fenol, resorsinol, hidrokuinon, pirogalol,
floroglusinol, dan sesamol dalam asam asetat
dan/atau anhidrida asetat, yang dijenuhkan
dengan BF3, memberikan produk asetofenon
yang berhubungan dengan rendemen 85–92%.
Tidak ada kesulitan berarti yang dilaporkan
dalam reaksi ini, khususnya dalam work-up,
karena kompleks BF3-asetofenon umumnya
7
mengendap
dalam
campuran
reaksi.
Rekristalisasi dalam metanol terhadap kompleks
tersebut akan memutus ikatan antara oksigen
dan boron sehingga meregenerasi senyawa
fenolik yang terkait.
Dalam penelitian ini, keberhasilan sintesis
dengan metode Peruchon (2004) tersebut tidak
terulang. Rendemen tertinggi yang diperoleh
hanya 37.8% dengan pereaksi asam asetat
(Tabel 2). Pereaksi anhidrida asetat justru
menghasilkan rendemen yang lebih rendah,
yaitu 20.1%. Sistem anhidrida asetat/asam asetat
bahkan hampir tidak menghasilkan produk
resasetofenon (rendemen hanya sekitar 0.8%).
Karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa
metode Cooper (1955) lebih efektif untuk
digunakan dalam sintesis resasetofenon daripada
metode Peruchon (2004).
Dibenzoil Resasetofenon
Prosedur sintesis dibenzoil resasetofenon
diadaptasi dari Marder et al. (1998) dan Tang et
al. (2005). Metode Marder et al. (1998)
menghasilkan endapan kuning muda dengan
titik leleh 85–89 °C. Spektrum UV-Vis senyawa
ini (Lampiran 4a) menunjukkan puncak serapan
di 233 nm. Tidak terjadi pergeseran pada
penambahan basa maupun asam. Hasil ini
menunjukkan bahwa senyawa yang dihasilkan
tidak mengandung atom hidroksil fenolik, maka
diduga merupakan dibenzoil resasetofenon.
Namun, spektrum NMR (Lampiran 4b) tidak
memperlihatkan keberadaan sinyal CH3 dari
gugus asetil. Analisis menunjukkan bahwa
endapan kuning tersebut merupakan resorsinil
dibenzoat. Hilangnya gugus asil ini belum dapat
dipahami dengan baik.
Metode kedua yang diujikan adalah adaptasi
dari Tang et al. (2005), yang melaporkan
sintesis satu-wadah 3-aroil-7-hidroksi-6-nitroflavon dari 2’,4’-dihidroksi-5’-nitroasetofenon
dan benzoil klorida, dengan katalis K2CO3
dalam aseton. Daniel (2008) pernah melaporkan
penggunaan metode ini pada resasetofenon dan
menghasilkan produk 1,3-diketon terbenzoilasi
dari
7-hidroksiflavon.Lampiran
8
menggambarkan dugaan mekanisme reaksi
benzoilasi resasetofenon yang terjadi. Pada
penelitian ini, produk yang diperoleh dengan
metode tersebut adalah dibenzoil resasetofenon
(Rf~ 0.75; eluen: MTC), sebagaimana
dibuktikan oleh spektrum UV-Vis dan NMR
pada Lampiran 4. Noda lemah di bawahnya (Rf~
0.08) kemungkinan berasal dari monobenzoil
resasetofenon, yang lebih polar. Spektrum UVVis dibenzoil resasetofenon (Lampiran 5a)
menunjukkan puncak serapan pada 238 nm.
Penambahan NaOH tidak menyebabkan
pergeseran batokromik yang signifikan, tetapi
memunculkan puncak serapan baru pada
panjang gelombang 322 nm. Hal tersebut
membuktikan tidak adanya gugus hidroksil pada
senyawa ini. Pemunculan puncak baru dapat
terjadi karena adanya penambahan sistem
konjugasi dari 2 cincin aromatik gugus benzoil.
Hasil ini memunculkan dugaan bahwa senyawa
yang
didapat
merupakan
dibenzoil
resasetofenon.Karena itu, selanjutnya dilakukan
analisis spektrum NMR.
Spektrum 1H-NMR dibenzoil resasetofenon
(Lampiran 5b) menghasilkan 9 sinyal yang
terbedakan, sementara spektrum 13C-NMR
(Lampiran 5c) menghasilkan 13 sinyal. Analisis
sinyal-sinyal tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Keberadaan gugus asetil ditunjukkan olehsinyal
proton singlet di 2.56 ppm dari proton metil, dan
sinyal karbon di 196.4 ppm dari gugus keton
terkonjugasi. Dua sinyal karbon di 164.3 dan
164.9 ppm berasal dari gugus ester. Untuk
memastikan kedua sinyal ini, diperlukan analisis
spektrum 2-dimensi yang tidak dilakukan dalam
penelitian ini.
Tabel 6
1
2
3
1’
2’
3’
4’
5’
6’
1”
2”
3”
4”
Posisi sinyal-sinyal NMR dibenzoil
resasetofenon dalam pelarut CDCl3
δH 500 MHz (ppm)
(multiplisitas, J dalam Hz,
jumlah H)
–
2.56 (s, 1H)
–
–
–
7.23 (d, J = 1.9, 1H)
–
7.29 (dd, J = 8.8, 2.6, 1H)
7.97 (d, J = 8.4, 1H)
–
8.21 (d, J = 7.1, 2H );
8.18 (d, J = 8.4, 2H)
7.51 (t, J = 7.8, 2H);
7.52 (t, J = 7.7, 2H)
7.65 (t, J = 6.5, 2H)
δC 125 MHz
(ppm)
196.4
29.9
164.3/164.9
129.0
154.4
117.8
150.5
119.6
131.6
129.0
130.4
128.8
134.1
8
Posisi sinyal-sinyal proton dan karbon
aromatik pada kerangka resasetofenon (1’–6’)
dapat dijelaskan seperti pada senyawa asalnya
(Tabel 5). Namun, efek resonans pendorongelektron dari pasangan elektron bebas atom
oksigen menurun, karena benzoilasi menyebabkan kompetisi resonans dengan atom karbon
karbonil ester. Akibatnya, efek geseran ke
medan atas yang ditimbulkan lebih kecil. Gugus
asetil menyebabkan lingkungan kimia dari
kedua gugus benzoil tidak betul-betul ekuivalen.
Proton 2” dan 3” di masing-masing cincin
memunculkan 2 buah sinyal proton yang hampir
berimpit walaupun sinyal karbonnya tunggal.
Sementara proton 4” menghasilkan 1 sinyal
proton maupun karbon. Tarikan-elektron dari
gugus karbonil ester membuat geseran kimia
proton 2” dan 4” (terutama 2”) berada lebih ke
medan bawah daripada proton 3”. Tinggi
integrasi dan tetapan kopling yang didapat
sesuai dengan posisi proton orto, meta, dan
para.
bentuk enol ini sangat kuat sehingga proton
enolik lebih terawaperisai daripada proton
pertama. Tidak tampak sinyal CH2 keto dalam
spektrum tersebut, yang apabila ada letaknya di
3.0–4.0 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa
kesetimbangan 1,3-diketon sangat mengarah ke
bentuk enol. Dua cincin fenil pada struktur 1,3diketon membuat bentuk enol ini sangat
terkonjugasi dan terstabilkan. Posisi sinyalsinyal NMR selengkapnya ditunjukkan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Posisi sinyal-sinyal NMR tautomer
enol dari senyawa 1,3-diketon dalam
pelarut CDCl3
1,3-diketon
Dibenzoil resasetofenon selanjutnya diubah
menjadi prekursor 1,3-diketon dari 7hidroksiflavon melalui penataan-ulang BV
dengan KOH dalam piridina. Reaksi diduga
berlangsung melalui mekanisme reaksi seperti
ditunjukkan pada Lampiran 9. Produk sintesis
memperlihatkan 2 noda dengan Rf ~ 0.15 dan
0.3 dengan eluen MTC seperti ditunjukkan pada
Gambar 4. Spektrum UV-Vis dari noda utama
(Rf ~ 0.3) (Lampiran 6a) menunjukkan puncak
pada 366 nm yang mengalami pergeseran
batokromik
sebanyak
24
nm
dengan
penambahan NaOH. Selanjutnya penambahan
AlCl3 menggeser puncak tersebut sejauh 19 nm
dan pergeseran ini tidak dapat dikembalikan
dengan penambahan HCl. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa senyawa ini memiliki
hidroksil dengan posisi orto terhadap asil
sehingga dapat mengalami ikatan hidrogen kuat
secara intramolekul.
Spektrum 1H-NMR 1,3-diketon (Lampiran
6b) menunjukkan 2 sinyal proton yang sangat ke
medan bawah, yakni di 12.58 dan 15.34 ppm.
Sinyal di 12.58 ppm berasal dari proton fenolik
yang berikatan hidrogen dengan atom oksigen
karbonil di posisi orto. Sinyal kedua khas untuk
proton enolik dalam bentuk enol dari 1,3diketon. Ikatan hidrogen intramolekul dalam
Posisi
δH 500 MHz (ppm)
(multiplisitas, J dalam
Hz, Jumlah H)
δC 125
MHz
(ppm)
1
2
3
1’
2’
3’
4’
5’
6’
1”
2”
3”
4”
Fenolik
Enolik
6.41 (s, 1H)
6.70 (s, 1H)
7.53 (d, J = 7.1, 1H)
7.62 (d, J = 7.8, 1H)
7.91 (d, J = 7.8, 2H)
7.48 (t, J = 7.5, 2H)
7.68 (t, J = 7.8, 1H)
12.58 (s, 1H)
15.34 (s, 1H)
194.7
92.1
176.3
113.1
165.2
104.2
162.7
108.3
129.0
132.3
128.9
126.8
131.0
-
Sinyal di 6.41 ppm merupakan sinyal proton
vinilik dari 1,3-diketon yang lebih ke medan
bawah dibandingkan dengan kelaziman sinyal
proton ini di 5.0–6.0 ppm. Hal ini diakibatkan
tarikanelektron yang sangat kuat dari gugusgugus di sekitarnya. Sinyal dengan tinggi
integrasi 3.12 di 7.46–7.54 ppm diidentifikasi
sebagai tumpang tindih 2 sinyal proton aromatik
dari 2 cincin fenil yang berbeda. Begitu juga
sinyal di 7.62–7.69 ppm dengan tinggi integrasi
2.1. Sinyal di 7.68 ppm dihasilkan oleh 1 proton
9
yang berposisi para terhadap substituen enol.
Proton tersebut mengalami tarikan dari
substituen enol sehingga cenderung ke medan
bawah. Sinyal di 7.48 ppm dengan multiplisitas
triplet berasal dari 2H ekuivalen yang berposisi
meta terhadap substituen enol. Sinyal 2H
ekuivalen lainnya dengan posisi orto terhadap
substituen enol, bergeser ke medan bawah (7.91
ppm) akibat adanya tarikan elektron dari
substituen tersebut. Cincin yang tertrisubstitusi
oleh 2 gugus hidroksil dan karbonil
menghasilkan 3 sinyal proton yang berbeda.
Proton dengan posisi orto terhadap kedua gugus
hidroksil terstabilkan efek resonans dari
substituen tersebut sehingga bergeser ke medan
atas di 6.70 ppm. Begitu juga sinyal di 7.53 ppm
yang mengalami efek resonans karena adanya
substituen hidroksil pada posisi orto dan para.
Sementara gugus karbonil menyumbang tarikan
elektron pada proton dengan posisi orto
sehingga proton tersebut bergeser ke medan
bawah (7.62 ppm).
Spektrum 13C-NMR 1,3-diketon (Lampiran
6c) juga memperlihatkan ciri-ciri tautomer enol.
Puncak di 194.7 ppm berasal dari karbon keton
terkonjugasi (180–200 ppm). Karbon enol
menghasilkan sinyal yang lebih ke medan
bawah (176.3 ppm) dibandingkan dengan
karbon oksiaril akibat tarikan elektron yang
lebih kuat dari ikatan hidrogen intramolekul.
Dua karbon oksiaril pada diketon diperlihatkan
oleh sinyal di 162.7 dan 165.2 ppm. Muatan
negatif akibat resonans pada karbon-α dari
sistem keton takjenuh-α,β menggeser sinyal
karbon tersebut jauh ke medan atas (92.1 ppm).
Atom-atom
karbon-sp2
cincin
benzena
ditunjukkan oleh 8 sinyal lainnya.
Dua karbon kuaterner diperlihatkan oleh
sinyal berintensitas rendah di 113.1 dan 132.3
ppm. Sinyal di 113.1 ppm berasal dari Ckuaterner yang berposisi orto terhadap
substituen hidroksil, karena letaknya lebih ke
medan atas. Dengan demikian, sinyal di 132.3
ppm berasal dari C-kuaterner cincin benzena
monosubstitusi. Sinyal di 126.8 dan 128.9 ppm
memiliki intensitas 2 kali lebih tinggi karena
masing-masing berasal dari 2 C metina yang
ekuivalen. Pemerisaian elektron valensi akan
semakin besar seiring dengan semakin jauhnya
posisi suatu atom dari gugus penarik elektron.
Berdasarkan fakta tersebut, sinyal di 128.9 ppm
berasal dari karbon orto dan sinyal di 126.8 ppm
dari karbon meta.
Kedua substituen hidroksil menyumbang
efek resonans pada karbon dengan posisi orto
dan para. Oleh karena itu, sinyal karbon-karbon
tersebut bergeser ke medan atas. Sinyal di 104.2
ppm merupakan sinyal karbon berposisi orto
terhadap kedua hidroksil, sedangkan sinyal di
108.3 ppm merupakan sinyal karbon dengan
posisi orto dan para terhadap kedua substiuen
hidroksil. Sebaliknya, gugus asil menyumbang
tarikan elektron terhadap karbon dengan posisi
orto dan para. Oleh sebab itu, karbon-karbon
tersebut bergeser ke medan bawah. Sinyal di
129.0 ppm diduga merupakan sinyal karbon
dengan posisi orto terhadap gugus asil dan meta
terhadap hidroksil. Sementara sinyal di 131.0
ppm diduga adalah sinyal dengan posisi para
terhadap substituen enol. Untuk memastikan
posisi kedua sinyal terakhir ini, diperlukan
analisis spektrum 2-dimensi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Senyawa 1,3-diketon telah dapat disintesis
sebagai zat antara untuk menyintesis flavon.
Reaksi dilakukan dalam 3-tahap dari bahan awal
resorsinol dengan rendemen asetilasi resorsinol
56.7%, benzoilasi resasetofenon 64.2%, dan
penataan ulang Baker-Venkataraman 11.8%.
Secara keseluruhan, rendemen 3-tahap reaksi ini
ialah 4.3%.
Saran
Produk 1,3-diketon dapat disiklisasi menjadi
flavon dengan berbagai katalis asam. Selain itu,
gugus baru seperti prenil dapat ditambahkan
untuk mendapatkan turunan flavon dengan
aktivitas yang lebih beragam. Flavon sintetik
yang dapat dihasilkan dari zat antara ini
diharapkan memiliki aktivitas yang sama atau
lebih baik dari flavon alam. Analisis
spektroskopi
massa
diperlukan
untuk
memastikan bobot molekul senyawa yang
dihasilkan. Namun, sebaiknya senyawa yang
diperoleh dimurnikan terlebih dahulu dengan
TLC preparatif dua dimensi atau kromatografi
cair tingkat tinggi.
Download