FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Oleh Acu Nurhidayat NIM: 104033201077 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Oleh Acu Nurhidayat NIM: 104033201077 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M. UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh Acu Nurhidayat NIM: 104033201077 Pembimbing Drs. Idris Thaha, M.Si PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2009 M. PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 2 Maret 2009 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. NIP: 150262447 Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP: 150270808 Penguji I, Penguji II, A. Bakir Ihsan, M.Si. NIP: 150326915 M. Zaki Mubarak, M.Si. NIP: 150371093 Pembimbing, Idris Thaha, M.Si. NIP: 150318684 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 11 Februari 2009 Acu Nurhidayat KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun datadata yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun, berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke perguruan tinggi, juga nasehat, doa serta motivasi yang selalu diberikan. 2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A’ Rosid dan Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan keponakankeponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu memberikan dorongan dan doa kepada penulis. 3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu terkait dengan masalah administrasi di jurusan. 5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing. 6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A., Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di sisi Allah SWT. 7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan. 8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih. 9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT (YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang telah diberikan menjadi amal baik. Amin. 10. Teman-teman BEMJ PPI periode 2006-2007 serta teman-teman seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi. 11. Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya. Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI Cabang Ciputat: K. Rafi’i, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI Cabang Ciputat: Yunda Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang demi menggapai hari esok yang lebih cerah. 12. Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT): Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifa’i, Mba Filda Angelia, dan semuanya. 13. Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga. 14. Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin. 15. Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya. “Tak ada gading yang tak retak,” kira-kira ungkapan inilah yang cocok untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa, penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya. Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini dapat bermanfaat adanya. Amin. Jakarta, 11 Februari 2009 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................. v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................................... 11 C. Tujuan Penelitian............................................................................ 11 D. Metode Penelitian .......................................................................... 12 E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ................................................... 15 B. Penyebab Seseorang Golput............................................................ 19 C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia..................................... 27 BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004 A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif.............................................. 37 1. Kontestan Partai-partai Politik .................................................. 41 2. Perolehan Suara Partai-partai Politik......................................... 43 3. Koalisi Partai-partai Politik....................................................... 45 B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ............................................ 49 1. .............................................................................................Pe milu Presiden Putaran Pertama............................................ 51 2. .............................................................................................Has il Pemilu Presiden Putara Pertama....................................... 53 3. .............................................................................................Pe milu Presiden Putaran Kedua .............................................. 54 4. .............................................................................................Has il Pemilu Presiden Putaran Kedua ....................................... 55 BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004 A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat....................................... 57 B. Golput karena Masalah Teknis......................................................... 68 C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004................................................ 74 1. .............................................................................................Gol put Politis ........................................................................... 75 2. .............................................................................................Gol put Teknis Administratif .................................................... 79 3. .............................................................................................Gol put Teknis Non-Administratif ............................................ 81 D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ............................................... 83 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................... 92 B. Saran-saran..................................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 99 LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik, khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya. Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik. Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu 1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot 1 Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 67. pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba. Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput). Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai, pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman perlu untuk dikutip: “…Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orangorang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan teman-teman berbicara, “ini sama juga bohong, katanya kita boleh memilih”…atas dasar itu kita memboikot pemilu….”3 Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi 2 Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 105. 3 Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Show Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41. kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4 Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu, partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili aspirasi masyarakat di bawah.5 Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawankawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan terhadap partai-partai politik. Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif 4 Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakangolput-dan-masa-depan-bangsa.html 5 Ibid. dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsipprinsip demokrasi universal. 6 Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan (legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7 Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi terhadap partai politik (1973), munculnya kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di departemendepartemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure groups seperti kelompok Petisi 50.8 Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%. Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu politik yang paling penting. 6 Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.32. 7 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h.8. 8 Ibid., h. 8-10. 9 Ibid., h. 11-12. Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besarbesaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10 Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya demokrasi di Indonesia.12 Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004. 10 Ibid., h. 11-12. Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 12 Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20 sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm 11 Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13 Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN Soeharto dan kroni-kroninya.14 Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%, pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992 mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21% dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15 Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.” Dengan kata lain saatnya rakyat berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16Sepanjang sejarahnya, baru 13 Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 14 “Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7. 15 AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 16 Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 (T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005), h. 3. tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian demokrasi terbesar.17 Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu 2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar. Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan 17 Ibid., h. 1. Faisal Baasir, “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004,” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm 18 begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi tinggi dikhawatirkan kurang stabil. Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif. Dengan meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik yang mengejutkan.20 Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain, misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)? Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap elit-elit politik yang berkuasa. 19 Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai politik pasca Orde Baru. 20 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05. Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba. Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan 1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa, justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga, adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat, karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21 Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal. Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul “setengah hati” dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri 21 Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 244-247. bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak mampu mengagregasikan kepentingan rakyat. 22 Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23 Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah tulisan berbentuk skripsi dengan judul: “Fenomena Golput di Indonesia Pasca Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).” 22 Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05 23 Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengapa-golput B. Pembatasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004? Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut: 1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit politik pada pemilu 2004? 2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh adanya faktor kendala teknis? 3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan menganalisa lebih jauh tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat indikator-indikator sebagai berikut: 1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik. 2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif 3. Adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru. D. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam bentuk karya ilmiah. Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis. Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan beberapa pengamat ada yang mengklasifikasikan golput kepada beberapa jenis. Di antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis, anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999. Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara partaipartai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi partaipartai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan hasil pilpres putaran kedua. Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang sudah banyak memberikan komentar seperti yang akan banyak diuraikan pada bab kedua. Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat terkait dengan menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik, adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru. Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin yang lebih baik. BABA II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah angka-angka tersebut masuk pada kategori golput? Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput itu sendiri. Golput atau “golongan putih” adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk menentukan pemimpinnya.24 Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di 24 Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 69. beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25 Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah kesadaran politik.26 Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput pragmatis, yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput 25 Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242. Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/ mengapa-golput/ 26 memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput model ini mirip dengan fardu ‘ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang tidak ikut memilih tidak ada “dosa politik kolektif.” Orang-orang yang mencari nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27 Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua, golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis, 27 Indra J. Piliang, “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm 28 Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut. Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat “Golongan putih” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197. dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena “kecelakaan”. Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29 Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain), berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30 29 Arief Budiman, “Golput, Gejala dan Masa Depannya,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719. KL93851id.html 30 Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep Sefuloh Fatah, “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta,” artikel diakses pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31 Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga: golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif. Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya. B. Penyebab Seseorang Golput Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian suara.32 Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan 31 Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296. Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput h. 89. 32 menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan, tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan yang lainnya.33 Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama, pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan sebagainya. 34 Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya status sosial dan ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35 33 Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224. 34 “Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta,” dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari 2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_ 35 Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais. h. 224-225. Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36 Berbeda dengan Lipset, Muhammad Asfar dalam bukunya mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya. Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi tersebut seseorang mengetahui seperangkat “ alat” baik berupa teori, konsep untuk 36 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 9. menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37 Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor. Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik, baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah), sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikap—jika hal ini menjadi ekstrem dan meluas—akan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa kekerasan atau melakukan hijrah.38 Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik. 37 Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262. Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87- 38 88. Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing), anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39 Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai “kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Sinisme merupakan perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa pesimisme lebih realistis daripada optimisme; bahwa individu harus memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya egosentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan oleh orang-orang tanpa muka.40 Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda dengan negara lain.41 Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih 39 Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 146. 40 Ibid., h. 146-147. 41 Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara seminar bertema “Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia” di gedung rektorat Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/ 0302/05/nas10.html/ golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42 Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson (1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43 Hal senada juga terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif. Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain sebagainya. 44 Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono, bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya 42 Robi Mumahamad, “Golput dan Memilih dengan Rasional,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memilih.denagn rasional 43 Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940 44 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI, 1999), h. 143. sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam demokrasi modern.45 Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual, menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme (kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif. Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan, bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat 45 Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 181-182. 46 Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940 partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47 Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik, masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa calon pemimpin yang akan dipilihnya. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal, lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis. Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari 47 Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12. aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil. Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48 Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis. Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004. C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam 48 Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, h. 144-146. mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kirakira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan Konstituante. 49 Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan ’66 diantaranya Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50 Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, terutama di Jawa.51 Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan ’66 dalam merealisasikan dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru 49 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 19561959, h. 30 50 Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2. 51 “Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta Pamungkas: 2004), h. 197. lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun 1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik (Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan kabinet. Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi secara terencana dan terkontrol.52 Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik. Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan 52 Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.19-20. golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara konkret.53 Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971 golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54 Dalam deklarasinya juga disebutkan bahwa keanggotaan golput diperuntukkan bagi “mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis”. Siapa saja yang tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput. Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik yang demokratis.55 Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56 53 Ibid., h.26-27. Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3. 55 Ibid., h.3. 56 Ibid., h. 3-4. 54 Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar Hasanudin Noor.57 Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak, penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu. Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan programprogramnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya inkonstitusional.58 Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992 pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan: “… Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak 57 Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28. “Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6, h. 197. 58 mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan. Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh berbagai kesenjangan.”59 Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina (1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan tersebut sebagai sikap anti Islam.60 Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral, intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61 Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal 59 Ibid, h.30-31. Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9. 61 Ibid., h.10. 60 dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari diskusi-diskusi politik.62 Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan, pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu 1992.63 Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa 62 Ibid., h. 10-11. Ibid., h. 12-14. 63 dirugikan langsung dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64 Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara terangterangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65 Situasi seperti ini yang dirasa golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau golput, yakni (64%) akan memilih “yang lain” dari tiga OPP yang ada. Yang dimaksud dengan “yang lain”, sebagian responden menyatakan “tidak ada OPP yang dipilih”. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah “golput”, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan “masih bingung, belum tahu, atau belum menentukan pilihan”. 66 Dari sikap responden tersebut jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa perubahan. Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu. Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek 64 Ibid., h. 14. Ibid. 66 “Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam,” dalam Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11. 65 yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status quonya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan bangsa ini menjadi kelam.67 Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68 Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh pesatnya media massa,69diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka. Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini 67 “Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral,” artikel diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto% 20harus%20dipertahankan%20.htm 68 Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15. 69 “Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.8. jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru. Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partaipartai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70 70 Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 244-245. BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILU LEGISLATIF DAN PRESIDEN 2004 A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif Penjelasan pada bab dua yang menguraikan mengenai golput memberikan pemahaman akan sebuah pengertian golput yang terjadi pada pemilu 2004. Pandangan golput yang telah dibahas pada bab dua pun sangat urgen dalam memberikan pengklasifikasian dan pengidentifikasian seputar golput yang terjadi pada pemilu 2004 lalu. Penulis sudah menyinggung sedikit seputar golput dan sedikit membahas tentang pemilu 2004 pada bab I, akan tetapi belum memberikan penjelasan gambaran khusus seputar pemilu 2004. Oleh karena itu, pada Bab III ini penulis mencoba membahas sekilas gambaran pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden secara langsung. Pemilu tahun 2004 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk memilih anggota DPR/DPRD. Di samping untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemilu 2004 juga sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu, kekhususan pada pemilu kali ini ditandai dengan munculnya lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana setiap provinsi diwakili oleh empat orang anggota DPD. Pemilu kali ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya, pemerintah mengadopsi ketentuan mengenai kuota 30% untuk meningkatkan keterwakilan politik perempuan dalam undang-undang pemilu. Di tengah kondisi minimnya tingkat representasi formal perempuan di lembaga-lembaga politik, terutama di lembaga legislatif, masuknya ketentuan tersebut membawa “angin segar” bagi upaya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Walaupun harus pula diakui, bahwa ketentuan tersebut belum “mengikat” partai politik (karena masih bersifat sukarela) dan belum disertai sanksi apapun bagi parpol yang tidak menjalankannya.71 Pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana dengan ketentuan yang digariskan dalam undang-undang adalah saran untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem proporsional daftar terbuka ini memberikan kesempatan bagi calon anggota legislatif, baik yang berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk berkompetisi secara terbuka. Artinya, calon-calon yang dikenal oleh masyarakat sekalipun di daftar calon nanti berada pada nomor urut terakhir, apabila ia mendapatkan dukungan dari konstituennya, maka ia akan duduk menjadi anggota legislatif.72 71Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. ix. 72Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003), h. 6. Pemilih dengan calon legislatifnya pada sistem seperti ini akan mempunyai ikatan hubungan batin yang kuat, terutama untuk lingkungan masyarakat di daerah calon itu ikut berkompetisi. Pada pemilu 2004 ini, rakyat tidak hanya memilih gambar parpol semata, akan tetapi harus pula memilih nama orang yang berasal dari parpol yang berangkutan. Sedangkan untuk calon perseorangan yang berasal dari calon anggota DPD, pemilih tinggal memilih (mencoblos) nama orang yang bersangkutan.73 Sebelum pemilu 2004, beberapa pemilu di Indonesia menggunakan sistem proporsional tertutup, sehingga calon-calon yang diajukan hanya ditetapkan oleh pemimpin parpol. Calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat tidak jarang kurang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya sendiri. Oleh karena itu muncul kesan rakyat berada di posisi pinggiran dalam mengartikulasikan kedaulatannya. Mereka (rakyat) harus menerima wakil-wakil dan pemimpinnya yang sesuai dengan kehendak parpol.74 Masyarakat belum bisa menentukan secara langsung anggota DPR yang nantinya akan menjadi wakil rakyat tersebut. Kembali kepada pembahasan pemilu legislatif 2004, dalam hal penyelenggaraan pemilu tersebut, ada tahapan-tahapan dalam rangka penyelenggarannya. Sesuai dengan UU No. 12/2003 menetapkan bahwa tahapantahapan penyelenggara pemilu terdiri atas sembilan tahapan. Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu itu kemudian dijabarkan dalam keputusan KPU No. 100/2003 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2004 yang dikeluarkan pada 24 April 2003.75 73Ibid. h. 7. Topo Santoso dan Didik Suprianto, Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),h. 34. 74Ibid., 75 Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 dimulai dari Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P-4B); pendaftaran, penelitian dan penetapan peserta pemilu yang terdiri dari (a) peserta pemilu dari partai politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (b) peserta pemilu dari perseorangan untuk pemilu anggota DPD; penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD; pencalonan angggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; kampanye pemilu.76 Tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara terdiri dari (a) pemungutan dan penghitungan suara di TPS (b) rekapitulasi suara di PPS, PPK, PPLN, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi; penetapan hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; penetapan perolehan kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi serta DPR dan DPD.77 Selanjutnya untuk jadwal pemilu legislatif, KPU menetapkan pada 5 April 2004.78 Dari tahapan-tahapan pemilu di atas, ternyata tahapan pendataan pemilih dan pendaftaran penduduk berkelanjutan atau yang biasa disingkat pendataan P4B di atas masih menyisakan pengalaman buruk dalam pemilu 2004 lalu. Pengalaman tersebut terungkap setelah hari H pencoblosan, dalam hal ini terungkap masih banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pasalnya pendataan tersebut dari jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), akibatnya data tersebut menjadi kurang akurat, mengingat masih banyaknya 76Ibid. 77Ibid., 34-35. Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: KPU, 2005), h. 10. 78Tabrani pemilih yang belum tercantum. Contoh kasus di Jakarta saja ada sekitar dua juta warga yang mempunyai hak pilih dinyatakan tidak bisa memilih akibat dari namanya tidak terdaftar.79 2. Kontestan Partai-partai Politik Pemilu legislatif 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Adapun 24 partai politik peserta pemilu tersebut, enam diantaranya merupakan parpol yang berhasil memenuhi electoral threshold 2% sesuai dengan UU No.3 tahun 1999 tentang pemilihan umum yang kemudian diubah dengan undang-undang No.12 tahun 2003 tentang pemilu. Adapun sisanya adalah partai politik baru.80 Keenam partai yang otomatis menjadi peserta pemilu adalah Partai PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung, Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, Partai Amanat Nasional pimpinan Amin Rais, Partai Bulan Bintang pimpinan Yusril Ihza Mahendra, dan Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Alwi Sihab.81 Selain dari keenam partai tersebut di atas, beberapa di antaranya, merupakan partai kelanjutan dari peserta pemilu 1999 yang menggganti nama agar dapat mengikuti pemilu 2004. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (Partai PDI) yang sebelumnya bernama PDI, Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme) yang sebelumnya bernama PNI Supeni, Partai 79Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.4, No.1, 2004, h. 18. 80Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai politik Peserta Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003), h. 45. 81 Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, h. 57. Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indoensia) yang sebelumnya bernama PKP, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang sebelumnya bernama PNU.82 Di samping partai kelanjutan dari pemilu 1999, terdapat juga partai politik pecahan dari partai yang sudah ada, seperti Partai Bintang Reformasi (PBR) melalui sosok KH. Zainuddin MZ dan Djafar Badjeber yang sebelumnya berada dalam PPP, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) melalui sosok Eros Djarot yang sebelumnya berada dalam PDIP, serta Partai Kaya Peduli Bangsa (PKPB) yang sebelumnya para personil partai tersebut adalah kader utama Partai Golkar seperti R. Hartono dan Ary Mardjono.83 Selain mantan peserta 1999 dan pecahan dari partai-partai yang sudah ada, terdapat juga parpol yang merupakan gabungan parpol yang tidak lolos electoral pemilu 1999 yaitu Partai Sarikat Indonesia yang merupakan gabungan delapan parpol yaitu Partai IPKI, Partai Daulat Rakyat, PNI Front Marhaenisme, PNI Massa Marhaenisme, Partai Persatuan, Partai Katolik Demokrat, dan Partai Bhineka Tunggal Ika. Juga terdapat partai baru yang sengaja dibentuk untuk menghadapi pemilu 2004 yakni Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK) pimpinan Ryaas Rasyid, Partai Perhimpunan Indonesia Baru pimpinan Sjahrir, serta Partai Persatuan Daerah pimpinan Usman Sapta.84 Dilihat dari asasnya, 24 partai politik yang lolos mengikuti pemilu 2004 adalah PNI Marhaenisme dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan yang keduaduanya berasaskan Marhaenisme Bung Karno; lima partai berasaskan Islam yakni 82Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 45. 83Ibid. 84Ibid. Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia (PNUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bintang Reformasi (PBR); sementara yang berasaskan Pancasila yaitu Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar, Partai Patriot Pancasila, Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor.85 Dari uraian partai-partai politik peserta pemilu 2004 di atas, secara asas dan program memiliki asas dan program yang relatif sama yaitu pancasila, walaupun beberapa partai memiliki asas spesifik seperti asas Islam dan asas Marhaenisme ajaran Bung Karno. Namun dalam jabaran programnya, seluruh partai menyatakan akan memperjuangkan seluruh masyarakat Indonesia tanpa sekat agama, ras, suku, dan golongan, terutama kaum lemah. 86 3. Perolehan Suara Partai-partai Politik Mengenai perolehan suara dari 24 partai peserta pemilu 2004 tersebut, berdasarkan hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 85Mengenai partai-partai politik peserta pemilu 2004 yang meliputi kepengurusan partai, asas partai, tanggal berdirinya, keterangan pengesahan dari Dep. Kehakiman dan HAM, Visi Misi, dan Program Kerjanya lihat: Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan dan Profilnya, ( Jakarta: KPU, 20003), h. 22-135. Lihat juga: Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, ed. Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Kompas, 2004. Lihat juga: Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003), h. 46-49. 86Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 49. tujuh partai politik yang mendapat suara terbanyak dan mampu melewati ambang elektoral (electoral threshold), yaitu Partai Golkar yang menempati urutan pertama dengan perolehan suara sebesar 21,58% suara, kemudian secara berturutturut diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh suara sebesar 18,53%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 10,57%, Partai Persatua Pembangunan (PPP) sebesar 8,15%, Partai Demokrat (PD) sebesar 7,45%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,34%, dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebesar 6,44%.87 Sementara partai-partai politik lainnya tidak mampu melewati ambang yang sudah ditetapkan oleh KPU sebesar 3% suara pemilih secara nasional. Dari partai-partai tersebut adalah Partai PNI Marhaenisme dengan perolehan 0,81%, Partai Buruh Sosial Demokrat mendapatkan 0,56%, Partai Bulan Bintang mendapatkan 2,62%, Partai Merdeka 0,74%, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan mendapatkan 1,16%, Partai Perhimpunan Indonesia Baru mendapatkan 0,59%, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan mendapatkan 1,08%, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendapatkan 1,26%, Partai Penegak Demokrasi Indonesia mendapatkan 0,75%, Partai Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia mendapatkan 0,97%, Partai Karya Peduli Bangsa mendapatkan 2,11%, Partai Bintang Reformasi mendapatkan 2,44%, Partai Damai Sejahtera mendapatkan 2,13%, Partai Patriot Pancasila mendapatkan 0,95%, Partai Sarikat Indonesia mendapatkan 0,60%, Partai Persatuan Daerah mendapatkan 0,58%, dan terakhir Partai Pelopor mendapatkan 0,77% (lihat: Lampiran 1). 87Asep Ridwan, “Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No.1, 2004, h. 32. Pada pemilu legislatif 2004, Jumlah pemilih yang terdaftar secara keseluruhan yaitu 148.000.369 pemilih. Dari jumlah keseluruhan tersebut, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 124.420.339 pemilih (84,07%) dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak 23.580.030 pemilih (15,93%). Dari seluruh jumlah pemilih, terdapat 113.462.414 (91,19%) surat suara sah dan 10.957.925 (8,81%) suarat suara yang tidak sah (lihat: Lampiran 1). Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara yang tidak sah pada pemilu legislatif 2004 sebesar 34.537.955 (23,34%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput. 4. Koalisi Partai-partai Politik UU No. 23 tahun 2003 menyebutkan bahwa rekrutmen calon presiden dilakukan oleh partai politik. Kemudian selanjutnya pada pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menjelaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan tersebut selanjutnya diterjemahkan melalui UU No. 23 tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden. Dalam pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “peserta pemilu presiden dan wakil presiden adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Selanjutnya pada pasal 101 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik yang memperoleh kursi di DPR sebanyak 3% atau yang memperoleh 5% suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif.”88 Mengenai pengaturan koalisi, dalam UU pilpres tidak disebutkan secara eksplisit. Artinya, mekanisme koalisi yang dibentuk dan aturan main yang harus dilakukan dalam berkoalisi tidak diatur dalam UU pilpres. Dalam UU pilpres hanya menyebutkan tentang peran partai politik atau gabungan partai politik. Pada pasangan gabungan partai politik inilah yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk koalisi antar partai dalam mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden.89 Dari 24 partai politik yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden hanya ada tujuh partai politik yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD, PKS, dan PAN. Dari ketujuh partai di atas, yang mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden hanya ada lima partai yaitu Golkar, PDIP, PPP, PD, dan PAN. Sedangkan PKB dan PKS tidak mencalonkan. PKB tidak mencalonkan karena di tolak oleh KPU dengan alasan tidak memenuhi kesehatan jasmani dan rohani, sedangkan PKS berdasarkan keputusan Masjlis Suro-nya untuk tidak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.90 Dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan masingmasing partai ternyata terbentuk oleh hasil koalisi. Ini terlihat dari lima pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya PPP yang tidak melakukan koalisi, sedangkan empat partai berkoalisi dengan partai-partai lainnya.91 88Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h.186. 89Ibid., h 187-188. 90Ibid.. h.186. 91Ibid., h.188. Menarik melihat proses tampilnya pasangan capres-cawapres dalam pemilu presiden 2004. kombinasi pasangan capres-cawapres itu dianggap mewakili spektrum ideologi politik yang berbeda. Dengan kata lain, masingmasing pasangan bisa saja mengklaim mewakili spektrum ideologi yang sama. Wiranto yang pada waktu itu memenangkan dalam konvensi Partai Golkar, setelah Gus Dur gagal maju dari calon PKB, akhirnya meminang Salahuddin Wahid, adik kandung Abdurahman Wahid. Pasangan Wiranto-Salahudin ini diharapkan dapat meraup suara Golkar dan kaum nahdliyyin (massa NU) yang berbasis kuat di Jawa Timur.92 Wiranto-Salahuddin Wahid membentuk pola koalisi dengan pertimbangan bahwa sosok Wiranto dianggap dapat membawa harapan para pendamba terjaminnya keamanan. Sedangkan Salahuddin Wahid (Gus Solah) adalah tokoh PKB yang diharapkan bisa meraup suara dari massa PKB.93 Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi dianggap sebagai kombinasi representasi kelompok nasionalis dan Islam tradisional (NU). Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan juga puteri Soekarno, proklamator dan presiden RI pertama. Sedangkan Hasyim adalah Ketua Umum (non-aktif) PB NU. Sehingga dengan demikian diharapkan bisa meraup pendukung panatik Megawati, Bung Karno dan kaum nahdliyyin pendukung Hasyim Muzadi. Lagi pula posisi Megawati waktu itu sedang menjabat sebagai presiden yang dianggap memiliki posisi yang strategis.94 92Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005),h. 46. Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 72. 94 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 46-47. 93Sri Pasangan Amin Rais-Siswono Yudhohusodo juga tidak kalah penting. Amin Rais dianggap mewakili Islam Muhammadiyah berpasangan dengan Siswono yang dianggap mewakili spektrum nasionalis. Pasangan ini juga diharapkan tidak hanya meraup suara Muhammadiyah yang merupakan Ormas Islam terbesar kedua di Indonesia, tapi juga suara kaum nasionalis, khususnya pendukung Siswono. Sebab selain tokoh nasionalis, Siswono juga dikenal sebagai pemimpin organisasi petani yang tergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).95 Selanjutnya pasangan SBY-JK, pasangan yang dicalonkan oleh Partai Demokrat, PBB, PKPI sebagai capres dan cawapres. Dalam soal representasi, kombinasi pasangan ini lebih dianggap sebagai representasi Jawa-Luar Jawa ketimbang kombinasi Ideologi apapun. Apalagi dengan karismanya SBY, beberapa survei selalu menempatkan SBY sebagai calon yang terfavorit.96 Diharapkan, pasangan ini dapat meraup suara dari Jawa dan luar Jawa yang simpati pada pasangan tersebut. Terakhir kombinasi pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pasangan ini bahkan dianggap mewakili dua spektrum politik yang berbeda, tidak hanya kombinasi tokoh Islam dan nasionalis atau sipil militer, akan tetapi Jawa-Luar Jawa.97 Sehingga diharapkan dapat meraup suara tidak hanya dari kalangan Islam saja, akan tetapi dari kalangan nasionalis sekalipun. Pada pilpres putara kedua, pola koalisi cenderung cair dan pragmatis. Ini terlihat dari kelompok pendukung masing-masing kandidat dalam membangun koalisi. Kubu Megawati dalam membangun dukungan membentuk koalisi h. 47. h. 47-48. 97Ibid., h. 48. 95Ibid., 96Ibid., kebangsaan. Koalisi ini didukung antara lain oleh partai-partai politik yang pada pilpres putara pertama mengusung Wiranto dan Hamzah Haz. Sementara pasangan SBY-JK membentuk koalisi kerakyatan. PKS yang pada putara pertama mendukung Amin-Siswono, kini pada putara kedua menjadi pendukung pasangan SBY-JK. Masuknya PKS dalam koalisi ini karena SBY-JK setuju atas lima syarat (1) konsisten melakukan perubahan; (2) mempertahankan kedaulatan RI di dunia internasional; (3) konsisten melanjutkan demokratisasi dan reformasi; (3) meningkatkan kualitas moral bangsa, menegakkan hukum dan HAM; dan (5) mendukung perjuangan bangsa Palestina dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Isarel.98 Sehubungan dengan hal koalisi tersebut di atas, Dhurorudin mengatakan bahwa pola koalisi yang terjadi telah meruntuhkan sekat ideologis antara Islam dan ideologi sekuler. Hal ini karena dalam koalisi kebangsaan, di samping terdiri dari partai-partai sekuler terdapat juga partai-partai Islam seperti PPP dan PBR. Demikian juga halnya dalam koalisi kerakyatan terdapat partai-partai Islam seperti PBB dan PKS.99 B. Pemilihan Umum Presiden Langsung Pemilu 2004 tercatat sebagai pengalaman baru yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena baik calon-calon legislatif maupun calon presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini artinya sebagian terbesar elit politik 98Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan Kesimpulan”, h. 188-189. 99Ibid., h. 189. Indonesia saat ini direkrut secara langsung oleh konstituennya.100Dalam hal ini rakyatlah yang punya kedaulatan penuh terhadap penetapan para pemimpin yang berkuasa sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Ada tiga kelebihan pemilihan presiden langsung. Pertama, secara teoritis sistem pemilihan presiden secara langsung lebih demokratis ketimbang dengan pemilihan tidak langsung, karena langsung melibatkan partisipasi rakyat. Kedua, pemilihan presiden langsung mampu meminimalisasi distorsi demokrasi, selama ini pemilihan presiden dilakukan di MPR yang artinya presiden bertanggung jawab kepada MPR. Padahal dalam negara demokrasi, jabatan presiden langsung dipertanggungjawabakan kepada publik.101 Ketiga, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, juga peluang munculnya politik uang (many politics) relatif bisa diminimalisir ketimbang jika memilih presiden melalui demokrasi perwakilan. Anggap saja anggota MPR yang berhak memilih sekitar 1000 orang, maka seseorang yang berusaha melakukan many politics akan lebih mudah menyuap mereka ketimbang menyuap 180 juta lebih rakyat Indonesia yang punya hak pilih.102 Dalam hal ini, haruslah menjadi kemauan dasar kekuasaan penguasa. Dalam sebuah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat itu, kemauan tersebut dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur, adil dan terbuka yang 100Igna Kleden, “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?,” dalam Syamsudin Haris Ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan Netherlands Institute for Multiparty Democracy , 2005), h.xi. 101Dra. Triwahyuningsih, M.Hum, Pemilihan Presiden Langsung (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 138-139. 102Saifullah AMM, Quo Vadis Pemilu 2004? (Ciputat :Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 41-42. diselenggarakan berdasarkan hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.103 Jadi, kemauan rakyat yang dinyatakan dalam pemilu merupakan legitimasi bagi penguasa negara untuk memerintah pada suatu periode tertentu. Periode tersebut jika di Indonesia lima tahun.104 Dalam hal pelaksanaanya, pemilu presiden 2004 dilaksanakan dengan dua tahapan, mengingat tidak adanya calon yang mendapatkan dari 50% di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun 2003.105 Pada tahapan pertama calon pasangan capres dan cawapres yang maju sebanyak lima pasangan dari enam nama pasangan. Kelima nama pasangan tersebut adalah pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekaroputri– Hasyim Muzadi, Amien Rais–Siswono Yudohusodo, Susilo Bambang Yudhoyono–Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.106 Sementara pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim tidak lulus syarat sehat jasmani dan rohani oleh KPU yang berdasarkan rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 1. Pemilu Presiden Putaran Pertama Pemungutan suara pemilu presiden putaran pertama dilaksanakan pada Senin, 5 Juli 2004. Calon pemilih yang berjumlah 155.048.268 menggunakan hak pilihnya di 574.945 TPS. Mereka memberikan suaranya kepada calon presiden 103Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 301. 104Prof.Dr. H. Harun Alrasid, S.H, Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat (Jakarta: STIH IBLAM, 2004), h. 4. 105 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 107. 106 Sri Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli, Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokarsi di Indonesia (Jakarta:LIPI Press, 2005), h. 72. dan calon wakil presiden yang mereka kehendaki di seluruh Indonesia dan perwakilan RI di luar negeri.107 Di sejumlah negara, masyarakat Indonesia berbondong-bondong mendatangi TPS. Di Singapura, 41 ribu warga Indonesia memberikan suaranya serentak di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura di kawasan 7 Chatsworth Road. Meskipun bukan hari libur, para majikan di Singapura memberikan ijin kepada pembantunya dari Indonesia untuk mengikuti pemilu.108 Pemilu presiden putara pertama secara umum berlangsung tertib dan lancar. Tidak ada gangguan signifikan yang berhubungan langsung dengan pemilu presiden. Menko Polkam Ad Interim Hari Sabarno mengatakan bahwa tidak ada laporan mengenai gangguan keamanan dan politik di wilayah Indonesia selama hari pencoblosan. Pujian bahkan datang dari kalangan pengamat asing yang mengatakan bahwa pilpres putaran pertama berlangsung jujur, adil, dan aman. Hal itu antara lain dikemukakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter, seusai bertemu Presiden Megawati.109 Keberhasilan melaksanakan Pemilu 2004 juga merupakan episode penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia setelah 60 tahun merdeka. Beberapa tahun lalu, rakyat Indonesia mungkin sulit membayangkan akan mampu melaksanakan pemilu secara langsung dan demokratis. Terlepas dari beberapa kelemahan dan kekuarangan, yang jelas pemilu 2004 menjadi lompatan besar dalam sejarah kedaulatan rakyat di Indonesia. Di sisi lain, keberhasilan pemilu 2004 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 87. h. 89. 109Ibid. 107 108Ibid., menempatkan Indonesia sebagai Negara Islam (mayoritas muslim) yang demokrasinya paling maju di seluruh dunia.110 Dari keberhasilan yang sudah dipaparkan di atas, pemilu presiden putaran pertama ternyata masih meninggalkan permasalahan dalam hal surat suara yang salah coblos. Dalam hal ini banyak warga yang tidak membuka lebar-lebar kertas suara. Akibatnya, kertas suara itu tercoblos dua kali pada pasangan calon hingga menembus ke depan. Dalam penghitungan timbul perdebatan apakah surat suara itu sah atau tidak. Tidak sedikit petugas yang mengatakan bahwa surat suara yang tembus itu tidak sah.111 Dengan adanya kejadian seperti ini, maka KPU mengirimkan surat edaran ber-Nomor 1151/15/VII/2004 tertanggal 5 Juli 2004 yang menyatakan bahwa surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat dua secara horizontal, yang mengakibatkan coblosan tembus ke halaman judul, tetap dinyatakan sebagai surat suara yang sah.112 Dikeluarkannya Surat KPU tersebut bertujuan untuk menyelamatkan suara rakyat yang sangat berharga dalam proses pemilihan umum dan untuk menyamakan status suara sah di seluruh Indonesia. Dari berbagai daerah KPU mendapatkan laporan lisan bahwa surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat dua secara horizontal jumlahnya cukup besar. Tujuan KPU untuk menyelamatkan surat suara tersebut ternyata benar-benar terbukti, yakni presentase suara tidak sah menjadi rata-rata 2,17 persen dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu legislatif 2004 lalu yang mencapai 8,81 persen. Angka tersebut sangat kecil, kalau 110Ibid., h. 90. 111Ibid. 112Ibid., h. 91. dirata-ratakan pada tiap TPS, suara tidak sah untuk tiap TPS tidak sampai 5 suara (tepatnya 4,66).113 2. Hasil Pemilu Presiden Putaran Pertama Hasil pemilu presiden putaran pertama yang sudah dihitung dan sudah diumumkan oleh KPU tanggal 26 Juli 2004 menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada urutan pertama dengan perolehan suara 39.838.184 (33,57%) disusul oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 31.569.104 (26,61%). Selanjutnya yang memperoleh suara pada urutan ketiga yaitu pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid dengan perolehan 26.286.788 (22,15%), kemudian pada urutan keempat Amin Rais-Siswono Yudhohusodo dengan perolehan 17.392.931 (14,66%), dan terakhir pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar dengan perolehan suara 3.569.868 atau 3,01% (lihat: Lampiran 2). Pemilih yang terdaftar secara keseluruhan pada pilpres putara pertama sebanyak 153.320.544 pemilih. Dari hasil pemungutan suara presiden putaran pertama, jumlah pemilih yang ikut mencoblos sebanyak 122.293.844 (79,76%) dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak 31.026.700 (20,24%). Dari seluruh jumlah pemilih yang mengikuti pencoblosan yakni sebanyak 122.293.844 pemilih, terdapat 119.656.868 (97,84%) surat suara yang sah dan 2.636.976 (2,16%) suarat suara yang tidak sah (lihat: Lampiran 2). Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara 113Ibid., h. 93. yang tidak sah pada pemilu presiden putara pertama sebesar 33.663.676 (21,96%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput. 3. Pemilu Presiden Putaran Kedua Pemilu presiden putara kedua dilaksanakan mengingat tidak ada pasangan yang mencapai suara 50% lebih. Sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil presiden menetapkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih yang memperoleh suara lebih dari 50% di lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia, maka dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pemilu.114 Dalam pasal ini, artinya pemilu dilaksanakan dengan dua tahapan untuk memilih kembali dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama dan kedua tersebut. Dengan melihat hasil rekapitulasi dari KPU, maka hasil penghitungan suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004 putaran pertama di kantor KPU pada Senin malam (26/07), hasilnya yang menempati perolehan suara pada urutan pertama adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (39.838.184 suara) dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (31.569.104 suara). Ke dua pasangan ini berhak mengikuti pemilu presiden putaran kedua. Sementara itu pasangan Wiranto-Salahudin, Amin Rais-Siswono Yudohusodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar secara berturut-turut menempati urutan ketiga, keempat dan kelima.115 114Ibid., 115Ibid., h.107. h.106-107. Jadi jelas dengan melihat hasil perolehan suara dari masing-masing pasangan tadi, mengingat masing-masing pasangan tidak ada yang mendapatkan lebih dari 50% suara di lebih dari separuh jumlah provinsi, maka pemilu presiden dilaksanakan dengan dua putaran. 4. Hasil Pemilu Presiden Putaran Kedua Hasil pemilu presiden putaran kedua diumumkan oleh KPU di Hotel Borobudur, Jakarta (04/10). Dari hasil yang diumumkan tersebut menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara tidak sah 2.405.651 (2,05%).116 Dari perolehan suara tersebut didapatkan bahwa pasangan SBY-JK dengan nomor urut 4 mendapat 69.266.350 (60,62%) suara. Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan nomor urut 2 mendapat 44.990.704 (39,38%) suara.117 Dengan demikian maka pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009. Keseluruhan jumlah pemilih terdaftar sebesar 150.644.184 pemilih. Dari seluruh jumlah tersebut, jumlah pemilih yang mengikuti pemilihan sebesar 116.662.705 (77,44%) pemilih, sementara jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 33.981.479 pemilih (22,56%). Dari 116.662.705 pemilih, terdapat suara sah sebanyak 114.257.054 (97,94%) suara, sedangkan suara yang tidak sah sebanyak 2.405.651 (2,06%) suara (lihat: 116Ibid., 117Ibid. 159. Lampiran 3). Jadi keseluruhan jumlah pemilih pada pemilu 2004 pada putaran kedua yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara yang tidak sah sebesar 36.387.130 (24,15%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput. BAB IV FENOMENA GOLPUT DI IDONESIA PADA PEMILU 2004 A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat Seperti yang telah dibahas pada Bab III, bahwa Pemilu 2004 adalah pemilu pertama di Indonesia untuk memilih langsung presiden dan wakil presiden, anggota DPR, dan memilih lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada pemilu kali ini partai politik yang mengikuti pemilu sebanyak 24 parpol. Artinya, hanya setengah dari jumlah parpol peserta pemilu 1999. Juga yang membedakan dengan pemilu sebelumnya yaitu adanya sistem proposional terbuka. Penyelenggaran pemilu 2004 ini diadakan pada era Reformasi yang ditandai dengan adanya kebebasan kepada rakyat untuk menentukan atau memilih calon pemimpin, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka. Berbeda dengan masa Orde Baru memilih terkesan sebagai kewajiban, rakyat dimobilisasi untuk memilih dan para pejabat sipil diwajibkan memilih partai pemerintah. Birokrasi pemerintahan seperti pegawai negeri sipil tidak dibuat netral. Melalui korpri, pegawai negeri ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar,118sehingga tidak heran sebelum pemilu hasilnya sudah bisa ditebak terlebih dahulu karena pemenang sudah ditentukan oleh sistem yang ada. 118Denny J.A., Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998 (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006), h. 48. Pasca Orde Baru tumbang dan bergantinya era Reformasi, masyarakat sudah tidak bisa dimobilisasi lagi oleh pemerintah, mereka bebas memilih dan sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika para elit politik tidak bisa memberikan yang terbaik, maka konsekuensinya rakyat tidak akan memilih elit politik tersebut. Bahkan ketika masyarakat sudah tidak percaya terhadap partai politik, pemerintah, ataupun terhadap tatanan sistem yang ada, maka tidak jarang mereka mengekspresikannya dengan sikap apatis atau masa bodoh terhadap pemilu, mereka beranggapan bahwa mengikuti pemilu baginya tidak akan memengaruhi apa-apa. Tingginya angka golput pada pemilu 2004 seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III, serta berdasarkan berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga yaitu sebagai refleksi atas ketidakpercayaan politik dari para pemilih terhadap partai politik atau elit-elit politik yang ada. Memang harus diakui, pemilu 2004 diadakan di tengah-tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, khususnya partai politik yang sedang berkuasa. Berbagai studi yang dilakukan beberapa lembaga menunjukkan rendahnya kepercayaan pemilih kepada partai politik. Akibatnya para pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu 1999 belum tentu menggunakan haknya pada pemilu 2004. Juga para pemilih yang dulunya memilih partai tertentu, tidak ada jaminan pada pemilu 2004 akan memilih partai yang sama. Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES menunjukkan lebih dari separuh (51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat.119 119Muhammad Asfar, Presiden Golput, (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 304. Akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol bisa dilihat dari hasil perbandingan perolehan suara pada pemilu 1999 dengan perolehan suara pada pemilu 2004. Lima besar parpol pemenang pemilu 1999 gagal memelihara kepercayaan rakyat. PDIP sebagai partai berkuasa semula memperoleh 35.689.073 (33,74%) suara pada pemilu 1999, lalu anjlok ke peringkat kedua dengan perolehan suara 21.026.629 (18,53%) pada pemilu 2004. Meskipun perolehan Golkar mengalami sedikit kenaikan menjadi nomor satu pada pemilu 2004, Golkar juga sama-sama mengalami penurunan presentase suara dari 22,44% (1999) menjadi 21,58% (2004). PKB dan PPP mengalami nasib serupa. Sementara PAN yang awalnya berada di nomor urut kelima pada pemilu 1999 dikalahkan oleh pendatang baru yakni Partai Demorat dan PKS. Yang lebih tragis lagi angka golput berada pada urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif.120 Jika melihat temuan di atas, ternyata sama dengan hasil perolehan pemilu yang sesungguhnya, yakni jika perolehan suara tidak sah ditambah dengan suara yang tidak hadir pada pemilu legislatif 2004, maka hasilnya mencapai 23,34%. Jumlah suara tersebut jelas sangat menggangu terhadap legitimasi para elit politik yang berkuasa. Begitu juga pada pemilihan presiden, jumlah golput (suara yang tidak sah ditambah pemilih yang tidak hadir) pada pilpres putaran pertama sebagaimana yang sudah dibahas di Bab III juga tinggi yakni sebesar 33.663.676 (21,96%) suara. Sementara jumlah golput pada perolehan suara pilpres putaran kedua lebih besar lagi yakni mencapai 36.387.130 (24,15%) suara. 120 05. Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan Angka-angka tersebut di atas, jika dibandingkan dengan tingkat ketidakhadiran pemilih di Amerika Serikat, yang rata-rata 40-50 persen, memang tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, jika dibandingakan dengan tingkat ketidakhadiran di bebrapa negara di Eropa yang memakai sistem proporsional, tingkat ketidakhadiran di atas sebenarnya cukup tinggi. Oleh karena itu, tingginya angka goloput pada pemilu 2004 ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak,121 sehingga reformasi yang sedang berjalan ini pemerintahannya benarbenar legitimate. Lantas apa yang menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004? Sesuai dengan data-data yang penulis dapatkan, setidaknya terdapat tiga sebab. Pertama, disebabkan oleh banyaknya kegagalan pemerintah saat itu, mulai dari kegagalan dalam memenuhi janji reformasi, kegagalan komunikasi politik menjelaskan kesulitan yang ada, kegagalan partai untuk melakukan pendidikan politik,122serta kegagalan dalam perbaikan ekonomi. Dengan melihat realitas yang ada, kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga parlemen baik di pusat maupun di daerah meningkat tajam. Hasil survei LSI pada April 2004, walaupun secara makro ekonomi terlihat adanya peningkatan, akan tetapi sekitar 44,7% pemilih memandang buruk kondisi ekonomi nasional saat itu, sekitar 27,2% memberikan nilai sedang, 16,0% memberikan nilai sangat buruk dan 7,3% saja yang memberikan nilai baik. Dari hasil survei tersebut terlihat gambaran kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang berkuasa saat itu.123 121Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 300. J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia (Yogyakarta:LKIS, 2006), h. 64. 123Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No. I. 2004, h. 17. 122Denny, Hasil survei LSI juga menunjukkan sekitar lebih dari 60% responden menilai hidup di era Orde Baru lebih baik dibandingkan di era Reformasi. Tidak sampai 25% yang mengaku hidup di era sekarang lebih baik.124 Maka dari itu jangan heran apabila suara Golkar pada pemilu 2004 ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan PDIP, karena masyarakat menganggap Golkar identik dengan Orde Baru. Penelitian yang dilakuakan oleh Pusat Studi Demokrasi dan HAM (PuSDeHAM), Surabaya terhadap 2.332 pemilih di Jawa Timur menunjukkan, hanya 4,8% yang mengaku pemerintahan Megawati berhasil dan lebih dari 70% tidak percaya lagi pada PDIP.125 Alasan kekecewaan mereka tidak percaya juga cukup beragam, mulai dari keterlibatan atau setidaknya ada dugaan anggota DPRD dari Fraksi PDIP dalam penyalahgunaan APBD, dugaan keterlibatan many politics dalam berbagai kasus pemilihan gubernur/walikota/bupati dari PDIP dalam menjalankan roda pemerintahan sampai sikap-sikap pejabat publik anggota dewan dari PDIP yang tidak memihak wong cilik, seperti dalam menyikapi masalah penggusuran, pedagang kaki lima, tukang becak, kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan sebagainya. Semua ini yang mendorong pemilih untuk tidak hadir ke bilik suara.126 Kedua, di samping kekecewaan terhadap partai yang berkusa, penilaian masyarakat menjadi antipati terhadap parpo-parpol yang ada. Masyarakat sudah tidak percaya terhadap janji elit-elit partai. Partai politik telah gagal menjadi refresentasi politik masyarakat. Akibatnya aspirasi, harapan, ketakutan, keinginan publik tidak tertangkap dan tersaluarkan lewat wadah partai-partai politik dan Muhammad Asfar, Presiden Golput,h. 303. h.303. 126 Ibid., h.303-304. 124 125Ibid., pada akhirnya timbul sikap kecewa terhadap partai-partai politik tersebut.127 Alihalih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai politik ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal, ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan yang lainnya. Semuanya itu tampak tidak dihiraukan oleh partai-partai politik. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, tidak heran ketika rakyat kemudian psimis dan kecewa terhadap partaipartai politik yang ada. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “objek” pengatasnamaan rakyat.128 Sikap kekecewaan tersebut terungkap seperti disampaikan Bung Idris, penelepon dari Bogor pada acara “Parliament Watch” Metro TV bahwa partai politik selama ini kurang ada keberpihakan kepada rakyat, elit-elitnya yang duduk di DPR malah lebih setia kepada partainya ketimbang kepada rakyat yang memilih.129 Kekecewaan publik terhadap kinerja partai-partai politik yang kurang memuaskan diakui juga oleh Ali Maskur Musa dari PKB. Kinerja partai-partai tersebut menurutnya lebih berakar dari rekrutmen partai yang tidak memperhatikan timbal balik antara yang memilih dan yang dipilih. Sehingga sering kali anggota dewan kurang memperhatikan yang diwakili. Ini disebabkan karena dahulu, pimpinan partai tidak memilih tokoh-tokoh yang dekat dengan pemilihnya. Dengan sistem proporsional tertutup, siapa yang dekat dengan DPP 127Denny, 128Mahrus J.A. Memperkuat Pilar Kelim: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 19. Irsyam dan Lili Romli, ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h. 142. 129“Memilih Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 146. merekalah yang dicalonkan dan publik tidak diberi kesempatan untuk memilih orangnya.130 Mengenai kekecewaan tersebut, dalam hal ini setidaknya terdapat tiga masalah utama yang berhubungan erat dengan tingkat adaptasi dari partai politik dengan lingkungan yang berubah. Pertama, permasalahan korupsi dan permainan uang yang begitu akut, baik di tingkat partai politik, parlemen, dan birokrasi pemerintah. Kedua, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai sebagai turunan dari krisis ekomoni nasional. Ketiga, ketimpangan ekonomi yang begitu dalam di antara kelas-kelas sosial.131 Kompleksitas ini yang menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat menurun. Fakta korupsi besar-besaran terhadap aset publik baik di lembaga birokrasi, parlemen, dan segenap instansi ini terlihat dari laporan lembagalembaga internasional tahun 2003. Transparency Internasional yang memantau permasalahan korupsi di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia bersama Kenya berada di posisi keenam sebagai negara terkorup di dunia. Sementara dalam kawasan Asia, Indonesia berada pada urutan tiga besar bersama Banglades dan Miyanmar. Pada level Asean, Indonesia berada pada urutan kedua. Isu korupsi inilah yang membuat masyarakat kecewa terhadap pemerintah sebagaimana yang diungkapkan Arief Budiman bahwa “…isu korupsi telah 130 Pernyataan ini disampaikan dalam acara Parliament Watch tanggal 6 Februari 2003 di Metro TV. Lihat: “Memilih Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 146. 131Asep Ridwa, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 57. membuat rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dalam memberantasnya….”132 Di samping korupsi di atas, krisis ekonomi masih menjadi krisis yang parah. Ledakan partisipasi politik seiring dengan transisi politik menuju demokrasi sejak 1998 diikuti oleh ledakan pengangguran yang sangat tinggi. Imbas krisis tersebut telah meningkatkan angka pengagguran tahun 1998 sebesar 5,1 juta orang atau 5,46% dari jumlah angkatan kerja.133 Kekecewaan masyarakat sebenarnya cukup beralasan karena mengingat pada masa Orde Baru, pertumbuhan ekonomi setidaknya membuat kemakmuran untuk mereka. Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. William Liddle sebagai berikut: “Saya bisa mengerti kenapa sebagian masyarakat suka pada masa itu. Sebab selama 30 tahun ada pembangunan ekonomi, kira-kira 6% per tahun. Sehingga masyarakat merasa Orde Baru membawa kemakmuran buat mereka, dan sekarang laju pertumbuhan tidak secepat itu. Kita bisa mengerti kalau ada kekecewaan dengan pemerintahan demokratis.”134 Sementara fungsi parpol yang dikatakan sebagai wadah agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat, sebagai wadah penyalur asprasi rakyat, sebagai pereda konflik seakan-akan tidak ada gunannya, tidak berfungsi. Malahan partai itu sendiri yang mempertontonkan hal-hal yang tidak etis yang semestinya tidak boleh terjadi. Misalnya konflik yang sering terjadi di tubuh parpol sendiri yang sudah menjadi santapan rutin masyarakat kala itu, di antara elit politik partai terjadi gontok-gontokan, memperebutkan posisi dan jabatan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berujung pada terpragmentasinya partai-partai 132 Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 48. 133Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 59-60. Lihat juga “Indonesia dalam Krisis,”Kompas 2002. 134Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 1 April 2004. Lihat “Pemilu dan Perubahan Kekuasaan,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi, h. 15. politik yang ada. Begitulah keadaan partai politik di Indonesia, terpragmentasinya partai-partai politik hanya karena elitnya tidak bisa menerima kekalahan. Pihak yang kalah segera membuat partai tandingan. Partai yang tidak lolos verifikasi Depkeh juga tidak dapat menerima dengan ikhlas, aneka gugatan juga dibuat,135 dengan demikian yang sering terjadi adalah keributan di tingkat elit-elit politik. Ketiga, masyarakat melihat bahwa elit-elit politik yang muncul kebanyakan masih dimainkan oleh elit-elit lama yang memang dirasa tidak bisa membawa perubahan. Bagi mereka yang kecewa beranggapan bahwa kebanyakan tokoh yang muncul masih warisan “lama” zaman Orde Baru Soeharto. Tokoh yang memang benar-benar baru jumlahnya hanya sedikit. Padahal reformasi membutuhkan tenaga baru yang bisa membawa angin segar.136 Jadi mereka yang kecewa menganggap bahwa pemilu 2004 sama saja seperti pemilu-pemilu sebelumnya yang hasilnya tidak bisa diharapkan. Intinya hiruk pikuk politik selama pasca Orde Baru tidak membawa perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat. Contoh kasus, ketidakhadiran pemilih pada pemilu presiden nampaknya ditopang oleh pigur-pigur pasangan capres-cawapres yang dianggap tidak cukup kredibel dalam menyelesaikan persoalan dan mengatasi tantangan bangsa ke depan. Ada capres yang dianggap kredibel, namun cawapresnya diangap tidak kredibel, begitu juga sebaliknya. Penilaian ini terutama diberikan oleh pemilih terpelajar seperti mahasiswa. Di mata mahasiswa pasangan capres-cawapres memiliki track record kelam di masa lampau.137 Dalam hal ini pemilih lebih 135Denny J.A. Partai politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006), h.60. Budiman, “Demokrasi, Materi, dan Golput,” dalam Luthfi Assyaukanie dan Stanley, ed., Kebebesan Negara Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 13. 137Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 305. 136Arief dilatarbelakangi oleh faktor psikologis yang mengakibatkan mereka kecewa, karena mereka melihat pasangan yang maju tersebut dianggapnya tidak akan bisa membawa perubahan. Adanya dominasi elit-elit lama, misalnya bisa dilihat dalam hal menentukan regulasi calon presiden di DPR, fraksi-fraksi yang ada masih mempertahankan elit-elit lama yang akan diajukan menjadi presiden dan wakil presiden tersebut agar masuk bursa calon presiden. Dalam hal merumuskan regulasinya juga tidak jarang berujung pada kepentingan politik jangka pendek yang berakhir dengan happy ending daripada memutuskan berdasarkan standarisasi yang rasional berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Ambil contoh Fraksi Golkar dalam menentukan electoral threshold mengajukan usul 35%, pemerintah 25%, sedangkan partai-partai lainnya mengusulkan hanya 3%. Berkaitan dengan syarat pendidikan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Reformasi dan Fraksi Bulan Bintang mengajukan syarat minimal S1, sedangkan Fraksi PDIP menentangnya dengan mengajukan cukup dengan syarat SLTA. Mengenai persyaratan kesehatan jasmani dan rohani didukung oleh semua fraksi kecuali Fraksi PKB yang menolaknya. Sementara tentang larangan terdakwa, semua fraksi menyetujuinya kecuali Fraksi Golkar yang menetangnya. 138 Dari perdebatan di atas terlihat jelas bahwa fraksi-fraksi yang ada di DPR hanya mementingkan golongannya masing-masing, sedangkan agenda besar jangka panjang yang seharusnya memutuskan berdasarkan rasionalitas kepentingan nasional bangsa Indonesia tidak mereka pikirkan. Dalam hal ini terlihat jelas dengan saling adu serangnya setiap fraksi dalam menentukan regulasi 138Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 183. syarat pencalonan presiden tersebut. Misalnya Fraksi Golkar mengusulkan electoral threshold 35% dalam upaya untuk mengganjal calon-calon lain, serta menaikkan posisi tawar Partai Golkar, sementara partai yang menolaknya tentu saja untuk memperlancar calon presiden yang mereka usung. Sementara mengenai sehat jasmani dan rohani dimaksudkan untuk mengganjal Gus Dur, sedangkan syarat pendidikan harus mimimal S1 dimaksudkan untuk menganjal Megawati yang pendidikannya tidak sampai kuliah, walaupun ia sempat kuliah. Sementara larangan terdakwa untuk mengganjal Akbar Tanjung. Seperti diketahui umum, pada waktu itu Akbar Tanjung sedang berstatus terdakwa terkait dengan masalah korupsi Bulog.139 . Dengan demikian, maka keputusan untuk menentukan regulasi tersebut disepakati berdasarkan kompromi-kompromi sebagai berikut: untuk batasan electoral threshold ditentukan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan suara 3% dari jumlah kursi di DPR. Dalam hal pendidikan, terjadi kompromi bahwa syarat minimal adalah SLTA. Dengan syarat seperti ini, maka Megawati dapat lolos menjadi capres. Sebagai kompensasi atas dukungan syarat pendidikan SLTA, maka larangan terdakwa menjadi presiden dihapus, lalu sebagai gantinya dicantumkanlah syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Mengenai kesehatan jasmani dan rohani, akhirnya semua fraksi mencabut larangan itu dan dikembalikan ketentuannya berdasarkan pada pasal 6 UUD 1945. Dengan ketentuan ini akhirnya Gus Dur tidak lagi terganjal dengan persyaratan tersebut, 139Ibid., h. 182-183. ini sebagai hadiah untuk PKB yang telah mencabut usulannya tentang larangan terdawa dan syarat SLTA, walaupun dalam perkembangannya akhirnya Gus Dur tetap terganjal dengan ketentuan pasal 6 ayat d UU No. 23 tahun 2003 yang menyatakan “mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.” Dalam hal ini KPU sebagai penyelenggara pilpres berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memerikasa semua kesehatan capres dan cawapres menyatakan Gus Dur tidak lolos.140 Dengan mulai meningkatnya rasionalitas rakyat, maka pada pemilu 2004 ini masyarakat memberikan pelajaran kepada para politisi kita, sebagai wakil rakyat, sebagai pemimpin negara, mereka harus memperhatikan kepentingan rakyat. Turunnya tingkat partisispasi pemilih (registered voter turnout) pada pemilu kali ini, menghukum para elit-elit politik kita bahwa ketika kepentingan dan aspirasi rakyat tidak diperhatikan, maka rakyat menjadi golput.141 B. Golput karena Masalah Teknis Di samping kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik, khususnya elit yang sedang berkuasa pada waktu itu, meningkatnya angka golput juga disebabkan oleh adanya kendala teknis, baik kesalahan dalam hal pendataan KPU/Lembaga Statistik maupun tata cara pencoblosan yang tidak benar. Mengenai faktor kesalahan pendataan penduduk dapat diketahui misalnya pada saat pengumuman penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU menyebutkan mengenai sejumlah faktor yang menyebabkan meningkatnya angka h. 184-185. Diakses 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05. 140Ibid., 141 golput, diantaranya yaitu masih adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali di tempat yang berbeda, adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali di tempat yang sama, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih akan tetapi sudah mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih terdaftar, adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih dan tidak datang ke TPS142. Faktor teknis inilah yang juga penyebab meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 lalu. Faktor kendala teknis di atas, salah satunya dipicu oleh pendaftaran pemilih yang telah lebih dahulu dilakukan oleh KPU bekerja sama dengan Biro Pusat Statistik (BPS) yang disebut dengan P-4B. Seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab III, pendataan seperti ini jika tidak didukung dengan data-data baru dari RT/RW di lapangan maka akan menyebabkan data kurang akurat, banyak pemilih yang semestinya terdaftar sebagai pemilih tidak masuk dalam daftar pemilih. Setelah hari H baru terungkap ada jutaan warga yang belum terdaftar. Di DKI Jakarta saja tercatat ada sekitar 2 juta warga yang sebenarnya berhak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. 143 Didik Supriyanto, Koordinator Bidang Pengawas Pemilu (Panwas), membenarkan bahwa penyebab naiknya golput adalah daftar pemilih yang tidak “bersih”. Artinya masih ada pemilih yang tidak dikenal atau yang semestinya tidak berhak memilih, tetapi tercantum dalam daftar. Pertambahan jumlah pemilih pun pantas diragukan. Sebagai perbandingan, pada pemilu 1999 jumlah pemilih 142Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengana-golput. 143Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No.I, 2004. terdaftar hanya 118,158 juta orang. Namun, dalam lima tahun saja, jumlah pemilih terdaftar melejit menjadi 148 juta pada pemilu legislatif dan 155,048 juta pada pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama. Pertambahan jumlah pemilih ini patut diragukan mengingat tidak mungkin pertambahan pemilih yang begitu pesat hanya dalam lima tahun saja. Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Umum KPU 2004 juga mengakui, bahwa dari total pemilih terdaftar, terdapat sekitar 2,5 persen yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 144 Dari pemaparan di sini jadi jelas bahwa menigkatnya angka golput pada pemilu 2004 diantaranya juga disebabkan karena adanya faktor pendataan yang kurang akurat. Di samping adanya kesalahan teknis KPU tadi, ada juga yang disebabkan karena teknis lain misalnya kesalahan pencoblosan, dalam hal ini tata cara pencoblosan yang tidak benar bisa menyebabkan surat suara menjadi rusak. Banyak masyarakat yang belum paham tentang tata cara pencoblosan yang benar ditambah surat suara yang terlalu lebar mengakibatkan kesulitan bagi pemilih dalam membuka kertas suara tersebut. Satu kasus pernah terjadi pada pemilu presiden putaran pertama, banyak pemilih tidak membuka lebar-lebar kertas suaranya dan mengakibatkan kertas suara tercoblos dua. Kertas suara tercoblos dua yang menembus sampai bagian depan menjadi kontroversi antara sah dan tidak, banyak petugas di lapangan menganggap surat suara tersebut tidak sah. Akan tetapi, surat suara tersebut masih bisa diselamatkan oleh KPU dengan surat edarannya ber-Nomor 1151/15/VII/2004 yang menyebutkan bahwa surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat dua secara horizontal, yang mengakibatkan coblosan menembus 144Diakses Mengapa-golput pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ ke halaman judul, tetap dinyatakan suara sah. Walaupun demikian, Penulis menduga, dari kasus salah coblos tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya coblosan yang mengenai calon lain dan jelas ini menjadi suara tidak sah. Dalam hal kesalahan pencoblosan, menurut penulis terjadi setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pemilih kurang memahami cara pencoblosan yang benar. Pemilu 2004 adalah pemilu pertama dengan sistem dan tata cara pemilihan yang berbeda dengan pemilu sebelumnya, yaitu adanya sistem proporsional terbuka yakni nama-nama caleg terpampang dengan jelas, berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang hanya memilih partai. Dengan perbedaan seperti ini pemilih kurang memahami cara pencoblosan dengan benar. Kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan, ada kemungkinan juga disebabkan faktor sosialasi. Penulis menduga bahwa sosialasi pada pemilu 2004 tidak sampai pada masyarakat luas. Walaupun sering juga dilakukan lewat berbagai macam media, sepertinya banyak masyarakat kurang memperhatikan hal tersebut. Kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat, diperkuat juga oleh temuan LSI terhadap dua data survei. Survei pertama di 220 desa dan kota di semua provinsi kecuali Aceh bulan Agustus 2003. Survei kedua bulan November 2003 di 370 desa dan kota di seluruh provinsi termasuk Aceh. Kesimpulan yang didapat bahwa pengetahuan pemilih mengenai pemilu tidak memadai. Banyak pemilih yang tidak tahu apa itu DPD atau KPU.145 Jika terhadap lembaga yang akan dipilih saja tidak tahu, tidak bisa diharapkan pula mereka mengetahui tata cara pencoblosan yang benar. Dengan minimnya sosialisasi pelaksanaan teknis pemilu 2004 lalu, banyak 145Denny, J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 62-63. masyarakat yang masih belum paham mengenai aturan baru pada pemilu tersebut. Dalam hal ini Ray Rangkuti, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Nasional mencontohkan, peraturan pemilihan yang baru, surat suara dikatakan sah apabila pemilih mencoblos nomor atau tanda gambar dan atau nama caleg. Artinya, masih sah jika si pemilih hanya mencoblos nomor atau tanda gambar saja. Surat suara dianggap tidak sah jika si pemilih hanya mencoblos nama caleg sementara nomor atau tanda gambar tidak dipilih. Jadi, golput bukan semata-mata sebagai ekspresi perlawanan atau sikap politik saja. Akan tetapi, bisa juga muncul lantaran soal teknis146disebabkan kurangnya pemahaman terhadap aturan baru. Jadi dengan adanya sistem proporsional terbuka dengan tata cara pencoblosan yang rumit ini mengakibatkan masayarakat banyak yang salah dalam hal pencoblosan. Mereka banyak yang tidak tahu bagaimana mencoblos dengan benar. Memang kenyataan tentang kemungkinan kurangnya pemahaman pemilih mengenai pemberian suara ini tanda-tanda awalnya sudah nampak pada saat simulasi pemilu dilakukan di beberapa tempat. Tidak sedikit suara pemilih mengalami nasib dinyatakan tidak sah.147 Pemilu legislatif 2004 lalu memang menyisakan problem “memilih kucing dalam karung.” Profil partai terlihat mendominasi pilihan politik. Namanama calon sepertinya tidak tersosialisasi dengan baik. Kalaupun tersosialisasi, banyaknya daftar nama caleg membuat para pemilih kurang mengakses informasi para caleg secara keseluruhan. Pengetahuan tentang calon legislatif hanya 146 Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas.com/kompascetak/0304/28/nasional/280770.htm 147Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen ADPR RI, 2003), h. 22. sebagian dan minim. Sehingga tidak sedikit orang yang kemudian salah coblos, bingung atau ada juga yang mencoblos sekenanya tanpa mengetahui profil nama caleg yang sesungguhnya.148 Kenyataan ini yang menyebabkan adanya tuduhan terhadap sistem proporsional terbuka yang dijalankan bersifat setengah hati, apalagi dalam menentukan calon terpilih masih menggunakan nomor urut. Mereka yang langsung memperoleh suara sesuai dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) langsung menjadi anggota terpilih. Akan tetapi, sebaliknya apabila ternyata hasil pemilihan tidak mencapai angka pembagi, maka untuk itu berlaku nomor urut calon. Lagi-lagi masyarakat pemilih tidak dapat menghukum calon atau partai yang tidak disukainya dengan mengalihkan suara ke partai atau calon lain secara bersilang, karena tidak diijinkan oleh undang-undang.149 Kedua, pemilih di Indonesia mayoritas berpendidikan rendah yang memang bukan sebagai pemilih rasional. Dengan banyaknya lambang partai, mereka bingung harus memilih partai mana ketika masuk ke TPS yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos, sekenanya. Juga dengan pencoblosan yang rumit mengakibatkan banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah disebabkan kesalahan pencoblosan tadi. Berbeda dengan pemilu 1999, walaupun banyak partai politik, tata cara pencoblosan pada pemilu tersebut tidak serumit pada pemilu 2004. Apalagi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu Orde Baru yang hanya diiukti oleh tiga gambar kontestan partai politik. 148 Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masadepan-golput-pada-pemilu-presiden/ 149Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan Pemerintah,” h. 22-23. Sedangkan untuk pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang golput sedikit mengalami penurunan menjadi 21,96%, angka ini lebih kecil bila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Menurunnya angka golput menurut penulis, pertama disebabkan tata cara pemilihan presiden tidak serumit pada pemilu legislatif dan kontestan yang harus dicoblos juga tidak sebanyak gambar parpol. Kedua, adanya dampak dari surat edaran yang dikeluarkan KPU Nomor 1151/15/VII/2004 terkait dengan kasus salah colos, dengan surat edaran tersebut ternyata terbukti presentase suara tidak sah pada pemilu presiden putara pertama menjadi rata-rata 2,17% dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu legislatif yang sampai mencapai 8,81%.150 Sementara pada pilpres putara kedua, penulis menduga meningkatnya angka golput ada juga diantaranya disebabkan oleh kejenuhan atau kelelahan pemilih. Pemilih sudah merasa jenuh dengan mendatangi TPS-TPS, apalagi jika TPS-nya jauh dari tempat tinggal pemilih. C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004 Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, bahwa meningkatnya golput pada pemilu 2004 bukan merupakan cerminan dari homogenitas sekelompok orang yang merasa kecewa saja baik terhadap partai politik, elit-elit politik, pemerintah maupun terhadap sistem politik yang ada. Akan tetapi, meningkatnya jumlah golput juga disebabkan karena adanya kesalahan teknis, seperti kesalahan pendataan KPU atau kesalahan teknis lainnya seperti dalam hal pencoblosan. Cara pencoblosan yang tidak benar akan mengakibatkan kertas suara menjadi rusak. 150Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005), h. 93. Mengenai golput sendiri sebenarnya masih debatable, ada yang mengatakan bahwa golput khusus dialamatkan kepada orang yang memang sengaja tidak mau memilih akibat dari kekecewaan masyarakat, ada juga yang beranggapan pasca Orde Baru justru istilah golput mengalami pergeseran makna, tidak ditujukan hanya kepada homogenitas kelompok yang khusus tidak mau memilih saja akibat preferensi politik atau kekecewaan tadi, mengingat sistem pemilu sudah tidak direkayasa lagi oleh pemerintah dan juga karena banyak/beragamnya alasan mengapa orang golput dan beragam pula alasan mengapa seseorang tidak mau memilih. Dalam hal ini tidak sedikit para pengamat juga menggolongkan golput pada beberapa kategori, mengingat golput yang secara sadar susah dideteksi seberapa besarnya dan kalaupun bisa hanya lewat lembaga-lembaga survei yang meneliti saja. Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas, penulis sendiri menarik kesimpulan bahwa golput yang terjadi pada pemilu 2004 dapat digolongkan pada tiga kategori seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Pertama, golput politis yakni golput yang disebabkan karena sikap kekecewaan masyarakat baik terhadap elit-elit politik, pemerintah berkuasa yang tidak bisa membawa perubahan dan elit-elit politik yang hanya mementingkan dirinya. Kedua, golput teknis administratif yang disebabkan karena kesalahan pendataan oleh KPU atau Biro Pusat Statistik (BPS). Dan ketiga golput teknis non administratif yang disebabkan karena kesalahan dalam pencoblosan, tidak hadir karena alasan yang sangat mendesak seperti sakit keras, ke luar kota dan lain sebagainya yang bukan disebabkan karena kekecewaan. 1. Golput Politis Mengenai golput politis sama seperti golput era 70an sebagaimana yang sudah penulis paparkan sebelumnya yaitu sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap pemerintah, terhadap sistem politik yang ada, maupun terhadap partaipartai saat itu yang selalu menjadi corong kekuasaan Orde Baru. Orang yang tidak mencoblos benar-benar dari kesadaran dirinya sendiri akibat dari kekecewaan masyarakat yang menganggap pemerintah atau elit-elit politik gagal membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Mereka lebih bersikap golput daripada harus memilih. Golput seperti ini biasanya dilakukan oleh kalangan terpelajar yang secara akademis relatif mumpuni. Mereka sudah bisa membaca dan menganalisa baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah, para anggota wakil rakyat di DPR, para elit-elit partai, maupun kekurangan-kekurangannya. Dengan penilaian tersebut mereka menjadi kritis terhadap pemerintah, sehingga cara mereka menentukan pemimpin pun benar-benar berdasarkan hitung-hitungan yang rasional, tidak asal coblos. Jika partai dianggap gagal menyalurkan aspirasinya, maka mereka akan golput. Sebaliknya jika partai dianggap mampu mengartikulasikan dan mengagregasi kepentinganya, maka mereka akan memilih partai tersebut. Sikap Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan akan golput disebabkan karena keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak meloloskan beliau, termasuk juga dalam kategori golput ini. Gus Dur golput karena merasa kecewa terhadap KPU dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menurutnya diskriminatif, menghalangi pencalonannya untuk menjadi presiden. Sedangkan alasan Fadjroel Rahman tidak memilih karena dalam pandangannya tidak ada satu pun calon yang berani dan terbuka mengajukan program mengusut korupsi Orde Baru, menentang militerisme yang membela kekerasan masa lalu.151 Dari pengalaman pemilu 2004 tersebut, menurut penulis, banyaknya kekecewaan masyarakat bukan disebabkan karena sistem politik atau karena sistem pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru, kekecewaan memang disebabkan oleh sistem politik yang otoriter dan sistem pemilu yang banyak direkayasa oleh pemerintah untuk selalu memenangkan Golkar dan partai politik yang ada waktu itu hanya dijadikan corong program-program pemerintah Orde Baru yang keberadaannya tidak punya daya kritis sama sekali. Pada pemilu 2004, sistem pemilu sudah banyak yang direvisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah tidak bernaung di bawah lembaga pemerintahan lagi, KPU sudah independen, mandiri. Ketidakpusaan masyarakat pada pemilu 2004, menurut penulis lebih disebabkan karena faktor kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit politik, pemerintah yang kurang memperhatikan nasib rakyat, serta anggota DPR yang saat ini (era Reforamsi) tidak bisa membawa perubahan, mereka lebih mementingkan golongan sendiri-sendiri, KKN sering terdengar di mana-mana yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi terhadap elitelit yang berkuasa. Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak memilih atas kesadaran sendiri yang disebabkan kekecewaan tersebut sangat sulit diketahui. Sebab hasil dari KPU pun tidak ada data yang pasti berapa jumlah orang yang golput atas kekecewaan tersebut, sebab hasil pemilu tidak disertai 151Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: Komisi Pemilihan Umum, 2005), 156. alasan mengapa ikut memilih, mengapa tidak ikut memilih, atau kenapa memilih secara salah. Informasi ini hanya dapat dilihat berdasarkan survei pemilih.152 Dari hasil survei, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan sebelum pemilihan umum legislatif 5 April 2004 lalu, diperoleh gambaran: 87 persen menyatakan akan ikut pemilu; 10,5 persen tidak ikut pemilu; 2,5 persen menjawab tidak tahu. Proporsi 10,5 persen dari pemilih yang melaporkan tidak ikut pemilu, apakah mereka golput dalam pengertian protes terhadap pemilu karena dianggap tidak jurdil, tidak ada gunanya bagi pemilih, dan sebagainya? Dari hasil temuan LSI, alasan di balik ketidakmauan ikut pemilu itu juga beragam. Yang memandang pemilu tidak ada gunanya bagi pemilih, hanya menguntungkan partai politik atau calon, amat kecil jumlahnya, sekitar 2,3 persen dari total warga yang punya hak pilih.153 Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh survei LSI setelah pemilu dilaksanakan. Pertanyaan yang disampaikan kepada responden adalah "Sejauh manakah pemilu 5 April berjalan secara bebas dan adil?" dari pertanyaan tersebut 46,2 persen menyatakan amat jurdil tanpa masalah berarti; 26,9 persen menyatakan jurdil dengan sedikit masalah teknis; 17,9 persen menyatakan jurdil tetapi banyak hambatan teknis; 2,4 persen menyatakan tidak jurdil; dan selebihnya menyatakan tidak tahu. Yang menyebutkan pemilu legislatif 5 April tidak jurdil hanya 2,4 persen. Proporsi ini kurang lebih sama dengan hasil survei sebelum pemilu yang menyatakan tidak ikut pemilu karena tidak ada gunanya bagi pemilih.154 152Saeful Muzani, “Mitos Golput,” artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htm 153Ibid. 154Ibid. Jika merujuk pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di atas dapat disimpulkan, proporsi golput karena protes terhadap keadaan politik, partai politik, atau terhadap calon yang bersaing dalam pemilu di matanya tidak ada yang layak hanya sekitar 2,4%. Artinya mereka yang benar-benar golput atas kesadaran untuk tidak memilih yang disebabkan kekecewaan hanya sekitar 2,4%. Ini pun jika hasil surveinya valid. 2. Golput Teknis Administratif Yang dimaksud dengan golput pada kategori ini yaitu golput yang disebabkan karena kesalahan administrasi oleh KPU. Pemilih yang semestinya memilih terganjal oleh data yang tidak akurat, sehingga masyarakat tidak bisa memilih. Mereka tidak memilih bukan berdasarkan atas kekecewaan, akan tetapi memang benar-benar atas kesalah teknis oleh KPU atau petugas pencatat data. Seperti yang sudah di bahas di atas, bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh data-data yang kurang akurat tersebut. Ketidakakuratan data terlihat dengan banyaknya masyarakat yang mengaku belum terdaftar. Kelalaian seperti ini menyebabkan suara berharga dari masyarakat jadi sia-sia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ny. Nurul Hidayat, ketua PPS Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat, kepada tim pemantau PPK dan PPS Kota Jakarta Pusat, ia mengatakan bahwa di pemukimannya masih banyak warga yang belum terdaftar sebagai pemilih. Bahkan walaupun ada yang sudah di daftar P-4B tetap saja namanya tidak tercantum baik dalam DPT maupun dalam Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTT).155 Ungkapan yang sama juga dilontarkan oleh 155 “Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136 Ketua PPS Kelurahan Bungur-Jakarta Pusat, Hasnan Manan, ia mengatakan bahwa banyak warga yang tidak terdaftar petugas P-4B. menurutnya kemungkinan pada saat pendaftaran, petugas statistik tidak melibatkan pengurus RT/RW setempat, akan tetapi lebih kepada pendataan sistem per blok, akibatnya banyak warga yang terlewatkan.156 Hal yang sama juga terjadi di Kuala Pembuang, ibu kota Kabupaten Seruyan, Palangkaraya-Kalteng. Di sini ribuan warga yang bermukim di pedalaman Kabupaten Seruyan, terancam tidak bisa mengikuti pemilu disebabkan belum terdaftar sebagai pemilih, terutama yang bersal dari daerah-daerah yang terisolasi serta para karyawan puluhan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit. Bupati Seruyan, Rasyidi Harun mengakui masih banyak warganya yang belum terdaftar sebagai pemilih. Ia mengatakan yang menjadi penyebab adalah kendala di daerah pedalaman yang mengakibatkan BPS kesulitan menjangkau mereka sehingga data pemilih dan data penduduk jauh dari kenyataan.157 Data-data di atas merupakan gambaran dari sebagaian wilayah di Indonesia yang teryata banyak warga yang belum terdaftar akibat kurang akuratnya pendataan tersebut. Bahkan sampai batas limit 30 hari habis, di Kota Denpasar, sampai hari terakhir ada daftar warga yang masih tercecer. Dalam hal ini kritikan timbul dari ketua PPP Kota Denpasar, ia meragukan validitas data yang dikeluarkan panitia P-4B, pasalnya banyak pendatang musiman yang turut terdata sedangkan warga yang mengantongi KTP banyak lolos.158 Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang berdasarkan atas kesalahan 156Ibid. 157“Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu,” berita diakses pada 24 Februarai 2009 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/873674. 158“Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3.htm pendatan, penulis tidak menemukan data pasti. Akan tetapi jika melihat hasil temuan survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Pemantau Pemilihan Umum 2004 (Jurdil Pemilu 2004) yang dilakukan selama 16-19 Februari 2004 atas 5.592 responden di 375 desa/kelurahan di 12 propinsi ternyata cukup mengejutkan. Menurut hasil survei lembaga ini, ditemukan 9% pemilih atau setara dengan 13,2 juta dari 147 juta pemilih belum terdaftar dan 4% (5,88 juta) pemilih merupakan pemilih hantu atau pemilih yang sebenarnya tidak ada. Rustam Ibrahim, Wakil Ketua Jurdil pemilu 2004 menerangkan bahwa hasil survei itu menunjukkan 91% benar-benar telah terdaftar. Sisanya 9% belum terdaftar karena namanya belum tercantum di DPT.159 Mengenai masih adanya jumlah pemilih yang belum terdaftar diakui juga oleh Biro Pusat Statistik (BPS), namun jumlah tersebut berbeda dengan hasil survei Jurdil di atas. Menurut BPS, jumlah pemilih yang belum terdaftar diperkirakan tidak sampai setengah persen dari jumlah pemilih yang mencapai 146 juta orang berdasarkan data per 10 Januari 2004. Selain belum terdaftar, menurut Soerdarti Surbakti, Kepala BPS, dalam pemilih tetap yang ada selama ini, ada kemungkinan beberapa nama yang salah.160 Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Umum KPU 2004 juga mengakui, dari total pemilih terdaftar, terdapat sekitar 2,5 persen yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 161 3. Golput Teknis Non-Administratif 159“Sebanyak 13,2 juta Pemilih Belum Terdaftar,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/906594.htm 160“Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm 161Diakses pada 27 November dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengana-golput. Golput teknis non administratif adalah golput yang terjadi karena kesalahan yang bukan disebabkan oleh pendataan penduduk seperti yang sudah dijelaskan di atas. Golput model ini misalnya disebabkan oleh kesalahan pencoblosan yang menyebabkan surat suara menjadi tidak sah, juga berhalangan hadir karena ada gangguan lain misalnya berhalangan hadir disebabkan karena sakit parah, ketiduran, keluar kota dan lain-lain. Golput model ini—meminjam ungkapan Eep Saefulloh Fatah—sebagai golput teknis-teknis tertentu. Penulis melihat pada pemilu 2004, bahwa terjadinya peningkatan angka golput juga disebabkan oleh faktor non teknis tersebut, misalnya untuk pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama lalu, KPU juga sudah sempat melontarkan alasan mengenai rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Penurunan tersebut diantaranya dikarenakan pada saat pemungutan suara 5 Juli 2004 lalu bertepatan dengan final Euro 2004. Faktor lokal lain seperti tingginya mobilitas masyarakat pada kota-kota besar dan buruknya cuaca di sejumlah tempat juga sempat disebut salah satu yang memengaruhi penurunan partisipasi pemilih pada pemilu 2004 lalu.162 Selain faktor di atas, ada juga faktor lainnya seperti surat suara yang terlalu lebar, mengakibatkan surat suara tercoblos dua. Seperti yang sudah penulis paparkan di atas, kejadian tersebut sempat menjadi perdebatan petugas di TPS antara suara sah dan tidak. Walaupun pada akhirnya surat suara tersebut oleh KPU dinyatakan sebagai suara sah, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya surat suara yang tercoblos dua sampai menembus calon lain dan ini jelas menjadi suara tidak sah. Faktor lainnya juga, bahwa pemilu kali ini menggunakan sistem 162Ibid. proporsional terbuka dan rumit, tidak seperti biasanya yang hanya memilih lambang partai. Dengan sistem seperti ini, Masih banyak pemilih yang belum memahami pencoblosan dengan benar. Ditambah dengan banyaknya partai tidak sedikit dari pemilih yang kebingungan. Dari hasil survei LSI pra pemilu legislatif, yakni dua minggu menjelang pemilu dilangsungkan didapatkan bahwa “…sekitar 18 persen menyatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar….”Hasil survei LSI setelah pemilu juga tidak jauh berbeda dengan hasil survei pra pemilu. Dari hasil survei pasca pemilu didapatkan bahwa “…17,9 persen menyatakan jurdil tetapi banyak hambatan teknis….”163Ini artinya bahwa 17,9 persen tersebut adalah pemilih yang banyak mengalami kesulitan dalam pencoblosan disebabkan karena faktor ketidaktahuan tata cara pencoblosan tersebut. Proporsi ini hampir sama seperti hasil survei pra pemilu yakni 18 persen yang mengatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa 17,9 persen pemilih di atas yang mengatakan memilih banyak hambatan tidak bisa digeneralisir sebagai pemilih yang merusak surat suara akibat kurangnya pemahaman tersebut. Bisa jadi orang yang tidak memahami tata cara pencoblosan pun secara kebetulan ia mencoblos dengan benar. Yang jelas, hasil akhir suara yang tidak sah hanya sebesar 8,81 persen. Ini pun sulit dideteksi apakah jumlah suara tidak sah tersebut akibat dari kesalahan pencoblosan semata atau bukan. D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru 163Artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari http://www2.kompas.com/kompascetak/0405/25/opini/1037926.htm Teorisasi yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Indoensia sepeninggal Soeharto memasuki fase “liberalisasi politik awal.” Fase ini secara teoritis sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah ke mana.” Menurut kedua pakar tersebut, transisi adalah interval antara suatu rezim politik dan rezim yang lain. Transisi dimulai dengan proses perpecahan sebuah rezim otoritarian dan pengesahan beberapa bentuk demokrasi; atau kembalinya bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan aktor revolusioner. Ciri yang menandai fase ini adalah ketika para penguasa otoriter, memulai memodifikasi peraturan-peraturannya sendiri sebagai jaminan yang lebih kuat bagi hak-hak individu dan kelompok.164 Sedangkan liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindasan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Liberalisasi politik pasca Orde Baru antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya luapan kebebesan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan membentuk organisasi.165 Pada tataran akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, atau paraktek penjarahan kolektif. Di kalangan mahasiswa terjadi demonstrasi dan protes di mana-mana. Sementara ledakan partisipasi politik di tataran elit-elit politik di tandai dengan maraknya 164Mahrus Irsyam dan Lili Romli ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h. 131-132. 165Ibid., h.132. pendirian partai politik.166 Pada masa-masa akhir sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru, partisipasi masyarakat dalam bentuk kekerasan, huru-hara terjadi di mana-mana, faktor pemicunya dikarenakan terjadinya krisis ekonomi, kenaikan BBM, listrik, transportasi, sembako dan sebagainya memancing mahasiswa protes turun ke jalan. Radikalisasi gerakan mahasiswa serta situasi yang antagonistik tercipta dan pada akhirnya terjadi kerusuhan massa di luar kampus yang penuh dengan kekerasan, bercorak anti kemapanan (pemerintahan Orba) dan berbau SARA seperti terjadi di Medan dan sekitarnya (April 1998), di Jakarta (13 dan 14 Mei 1998) dan di Solo (14 Mei 1998).167 Akumulasi kemuakan masyarakat terhadap elit-elit politik terjadi ketika elit-elit politik hasil pemilihan umum tahun 1999 tidak bisa memberikan perubahan yang berarti, semakin meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan, korupsi merajalela di semua lini. Banyak orang kemudian mengeluh putus asa dan berpikir kembali bahwa keadaan di masa Soeharto lebih baik. Paling tidak di masa Soeharto orang mudah mencari pekerjaan, makan dan kebutuhan pokok lainnya.168 Menurut penulis, meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh dampak dari liberalisasi politik, yakni adanya kebebasan di segala bidang, masyarakat bisa bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak hati nuraninya, termasuk bebas menentukan pilihan politik sekalipun golput pilihannya. Berbeda dengan masa Orde Baru, hak-hak politik rakyat banyak yang h. 133. Siahaan, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1 SeptemberOktober 1998, h. 15. 168“Editorial,”Jurnal Bersatu, edisi Mei 2008, h. 5. 166Ibid., 167Harlem dikekang termasuk hak dalam menentukan pilihan, masyarakat banyak yang dimobilisasi untuk memenangkan salah satu kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, pemilu terkesan merupakan kewajiban daripada sebagai hak warga negara. Hal tersebut bisa terlihat dari tingginya partisipasi politik rakyat pada masa Orde Baru. Pada pemilu 1971, jumlah suara yang sah mencapai 94,02% dari pemilih terdaftar. Selanjutnya pada pemilu 1977, 1982, 1987 dan 1992 jumlah suara yang sah juga masih tinggi yaitu berturut-turut mencapai 90,93%, 92,03%, 91,31%, dan 91% dari pemilih terdaftar. Dengan demikian, rezim Orde Baru dapat mengajukan klaim kepada publik bahwa legitimasi politik yang diperoleh dari rakyat sangat kokoh. Dengan dasar klaim tersebut, maka kebijakan dan programprogram yang dibuat pemerintah juga mendapatkan legitimasinya pula dari rakyat.169 Berbeda dengan masa Orde Baru, pada era Reformasi, yakni pasca tumbangnya Soeharto, semua tatanan politik berubah total. Di saat era transisi dimulai—seperti teorinya O’Donell dan Schmitter—maka protes terjadi di manamana, tuntutan terhadap hak politik yang selama bertahun-tahun dikekang oleh rezim Orde Baru terus disuarakan. Golkar yang saat itu banyak diprotes oleh masyarakat yang dianggap sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru mulai memperbaiki diri untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari konstituennya, kebebasan dalam segala hal pada masa ini terlihat jelas dan justru terkesan kebablasan. Tentu saja dalam hal ini liberalisasi politik atau melonggarnya kontrol dan 169Muhammad AS Hikam, “Pemilu dan Legitimasi Politik” dalam Syamsuddin haris, dkk., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998), h. 57. kekangan terhadap kehidupan politik tidak sama dengan demokrasi. Kebebasan menyampaikan pendapat bisa dibalas dengan kebebasan untuk tidak mendengarkan pendapat orang lain. Kebebasan dalam situasi ketimpangan dengan mudah bisa berkembang menjadi tirani kelompok yang kuat terhadap yang lemah, mayoritas terhadap minoritas, kebebasan memilih pun tidak ada artinya ketika hanya orang dengan dukungan politik dan finansial cukup saja yang bisa bertarung dalam arena pemilihan umum. Liberalisasi ini pada dasarnya lebih banyak memberi pihak berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.170 Hal ini nampak dalam ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam. Tidak adanya peningkatan kerja serius dari pemerintah untuk menangani permasalahan pengangguran. Tercatat tahun 2003 angka pengangguran di Indonesia sebesar 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angka kerja yang berjumlah 92,7 juta jiwa dan jumlah 40 juta jiwa pengangguran terselubung. Realitas ini menunjukkan begitu timpangnya keadaan ekonomi politik kita. Di satu sisi, begitu banyak uang yang terhambur dalam arena politik, begitu tingginya political cost terbuang di negeri ini, sementara di sisi lain pemerintah tidak mampu mengelola urusan publik dan memberikan lapangan kerja yang layak bagi warganya, dan sebagian rakyat hidup dengan standar kehidupan yang jauh dari kelayakan.171 Kemudian dampak liberalisasi politik di era Reformasi, dibuktikan dengan semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya. Tercatat ada 48 partai politik yang mengikuti pemilu 1999. Fenomena yang sama muncul kembali pada 170“Editoraial,”Jurnal Bersatu, h. 4. “Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No.1, 2004, h. 60. 171Airlangga, pemilu 2004, walaupun sebelumnya muncul perdebatan saat membicarakan mengenai terlalu loggarnya UU No. 2 tahun 1999 tentang persyaratan partai politik.172 Walaupun demikian berbagai partai politik kembali marak. Pada pemilu 2004 tercatat partai yang lolos mengikuti pemilu sebanyak 24 partai politik. Munculnya partai-partai baru itu memang tidak terlepas dari semakin terbukanya keran kebebasan sejak bergulirnya rezim Orde Baru. Dalam konteks ini juga dipertegas dengan hasil temun Demos tentang maslah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia, diantaranya adanya peningkatan kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sejak 1999 (78,9%) diakui oleh para aktivis pro demokrasi cukup memberikan peluang bagi para aktor, khususnya politisi dalam rangka memasuki kembali arena politik.173 Pada masa Orde Baru, hak-hak masyarakat terutama dalam politik di kekang. Oposisi tidak dibenarkan pada masa itu, kelembagaan oposisi tidak diakui keberadaannya dalam struktur kelembagaan formal sehingga tidak memiliki saluran politik. Organisasi baik politik maupun non politik hanya diizinkan untuk memakai satu asas yaitu pancasila. Sebagaimana yang dikutip oleh Eep Sefullah Fatah, Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya mengungkapkan sebagai berikut: “Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat….tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Kesalahan yang dikaukan oleh pemerintah harus dibetulkan. Tetapi semua harus ingat atas kesepakatan yang telah kita ambil di sini. Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini.”174 172 “Partai Kagetan,” berita diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia .org/pdf/3Demos25Jan05. 173Ibid. 174Eep Saefulloh Fatah, Penghianatan Demokrasi a la Orde Baru (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000), h. 49. Penelitian R. William Liddle tentang pemilu-pemilu Orde Baru menunjukkan betapa partisipan pada pemilu Orde Baru lebih banyak disebabkan oleh mobilisasi birokrasi negara, baik pusat maupun lokal. Pemilih lebih banyak dikendalikan oleh “komando” pamong atau pejabat birokrasi dan militer. Ini menunjukkan bahwa apa yang disebut Huntington dan Nelson sebagai partisipasi politik otonom kurang terlihat secara berarti, sebaliknya mobilisasi terkesan lebih kuat.175Maka dari itu jangan heran apabila angka partisipasi selalu tertinggi. Pasca Orde Baru, masyarakat sudah diberikan kebebasan dalam berbagai hal, termasuk kebebasan dalam bidang politik. Hal yang patut disanyangkan di sini adalah bawah euporia politik yang terjadi tidak disertai dengan tersedianya politisi-politisi yang memadai, hal ini terlihat betapa partai-partai politik tersebut masih tetap menjadi perebutan kekuasaan semata dibandingkan dengan memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.176Misalnya dalam jajak pendapat kompas (1/12) pernah menyimpulkan psimisme masyarakat, disebutkan dalam jajak pendapat tersebut, publik meragukan kiprah partai-partai baru mampu mengadakan perubahan. Bahkan hampir dua pertiga bagian responden merasa tidak yakin partai baru mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.177 Begitu juga dengan partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hasil Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES seperti yang sudah penulis bahas di atas menunjukkan lebih dari separuh (51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat. Dengan melihat realitas yang ada selama ini, ketidakpercayaan publik 175Ibid., 176 h. 51. Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05 177Benny Susetyo, Hancurnya Etika Politik (Jakrta: Kompas, 2004), h.86. tersebut terbukti pada pemilu 2004 terhadap parpol-parpol yang dianggapnya tidak mampu membawa perubahan, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai-partai politik ternyata masih asyik dengan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, tidak heran masyarakat yang merasa kecewa memprotes elitelit tersebut mengungkapakannya dengan cara tidak ikut memilih. Selain kecewa terhadap partai-partai yang ada, banyaknya partai politik juga menyebabkan masyarakat tidak sedikit yang merasa kesulitan menentukan pilihannya. Di satu sisi menjamurnya partai politik memang cermin dari demokrasi karena adanya kebebasan termasuk kebebasan mendirikan partai politik. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya partai politik kerap membingungkan pemilih. Kebingungan dimulai dari pengenalan gambar dan nama parpol yang bisa dikatakan ada kemiripan dengan yang lainnya. Visi misi serta isu yang disusung juga tidak sedikit ada kemiripan. Dengan banyaknya jumlah parpol, tidak dapat dihindari bahwa ideologi dan isu-isu yang mereka tawarkan juga tidak jauh berbeda dengan parpol-parpol yang ada. Oleh karena itu, masyarakat akan semakin bingung untuk memilih partai mana yang memang benar-benar sesuai dengan hati nuraninya. Kebingungan ini akan melahirkan sebuah sikap untuk tidak memilih,178 atau memilih dengan cara asal-asalan yang pada akhirnya mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah. Kebingungan tersebut bisa dilihat dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Metro TV, dalam hal ini pertanyaan yang diajuakan kepada responden adalah “Apa pendapat anda dengan adanya peserta pemilu yang puluhan partai?” Sebanyak 85% responden menjawab 178 Diakses pada 17 Januari 2009 http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-hara-golput.html dari ‘membingungkan,’ 7% ‘lebih baik’ dan 8% ‘tidak peduli.’179 Ini artinya dengan banyaknya partai masyarakat semakin bingung dalam menentukan pilihannya. Menurut penulis, demokrasi tidak mesti selamnya dicirikan dengan banyaknya kontestan partai politik. Banyaknya partai yang bermunculan pasca Orde Baru memang bisa dipahami, mengingat selama kurang lebih 32 tahun bangsa Indonesai dikekang secara politik. Pengurangan terhadap jumlah partai harus terus dilakukan asalkan tidak dengan cara pemaksaan sebagaimana yang dipraktekkan Orde Baru. Pembatasan terhadap partai-partai politik dalam pemilu merupakan penyelewengan terhadap prinsip demokrasi. Demikianlah jumlah parpol (PPP, Golkar, dan PDI) yang boleh mengikuti pemilu semasa Orde Baru.180 Ketentuan threshold dan verifikasi untuk menjaring partai peserta pemilu perlu diperketat lagi dan harus terus diapresiasi, sehingga ke depannya partaipartai politik yang dapat mengikuti pemilu benar-benar partai yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penyeleksian dengan cara ini terhadap partai-partai politik sudah sangat demokratis mengingat pengurangan tersebut berdasarkan kompetisi perolehan suara partai bukan karena paksaan. Dalam hal ini partai yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat akan sendirinya tereliminasi. Dengan demikian masyarakat tidak kebingungan lagi dalam memilih partai. 179Denny J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 143. Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta: Erlangga, 2001), h. 304. 180 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sebutan yang dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang atau sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput baru lahir menjelang pemilu 1971 sebagai sikap kekecewaan sekelompok orang terhadap rezim Orde Baru yang dimotori oleh Arief Budiman dan kawan-kawan sebagai gerakan moral dalam rangka memboikot pemilu yang dianggapnya tidak jurdil, tidak demokratis, dan banyak dimanipulasi oleh pemerintah. Bagi pandangan kelompok ini, pemilu hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Pada masa ini banyak masyarakat yang dimobilisasi untuk mengikuti pemilu, seperti pegawai negeri sipil yang tergabung dalam korpri diharuskan memilih Golkar. Pada masa ini memilih terkesan sebagai kewajiban. Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti halnya partai-partai lain yaitu melakukan pendidiakan politik, membuat pernyataan-pernyataan di media cetak, dan menempelkan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara seperti ini, maka gerakan ini tidak hanya sebagai gerakan moral, akan tetapi sudah menyerupai kekuatan politik. Pasca tumbangnya Orde Baru, memilih tidak memilih merupakan hak dan tidak ada sanksi apapun bagi yang tidak memilih. Memilih atau tidak sama saja nilainya manakala dilakukan dengan bertanggung jawab. Dalam hal memilih merupakan hak, maka fenomena ini (golput) sudah tidak lagi mewakili homogenitas sekelompok orang yang secara sadar memboikot pemilu. Lagi pula banyak/beragam alasan mengapa seseorang tidak memilih dan banyak alasan pula kenapa seseorang tidak ikut pemilu atau tidak memilih. Pada realitasnya golput juga oleh kebanyakan orang sering ditujukan untuk menggeneralisir suara yang tidak sah dan tidak memilih. Dengan arti kata, secara umum golput dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena misalnya tidak hadir ke bilik suara, kartu suara rusak baik disengaja maupun tidak, dan kartu suara kosong. Mengenai golput pasca Orde Baru, seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab II, beberapa tokoh/pengamat membagi golput kepada beberapa kategori: Indra J. Piliang mengelompokkan golput pada tiga jenis yaitu golput ideologis, politis dan pragmatis; Arief Budiman mengelompokkan golput menjadi tiga jenis yaitu golput karena politis, apatis, dan karena kecelakaan; adapun Eep Saefulloh Fatah mengelompokkan golput menjadi empat jenis yaitu golput teknis-teknis tertentu, golput teknis-politis, golput politis, dan golput ideologis. Sesuai dengan pengelompokkan golput di atas, penulis mengambil benang merahnya bahwa faktor-faktor penyebab mengingaktnya golput pada pemilu 2004 sesuai dengan temuan penulis berdasarkan data-data yang didapatkan menjadi tiga jenis: golput politis, golput administratif dan golput non administratif. Dari rumusan dan uraian yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, sebagai sikap kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit yang berkuasa, pemerintah, dan parlemen baik di pusat maupun di daerah meningkat tajam. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu memberikan perubahan yang sangat berarti: kemiskinan, korupsi merajalela, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Juga anggota dewan di parlemen yang disebut wakil rakyat kurang memperhatikan yang diwakilinya, malah mereka lebih setia kepada partai ketimbang kepada rakyat yang memilih. Di samping kekecewaan terhadap pemerintah dan parlemen, masyarakat juga menjadi antipati terhadap partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, elit-elit politik malah asyik dengan kepentingan kelompok-kelompoknya. Harapan dan aspirasi masyarakat dibiarkan begitu saja. Fungsi partai yang disebut sebagai wadah aspirasi rakyat, sebagai pereda konflik, sebagai artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat seolah-oleh tidak berfungsi. Tidak hanya itu, munculnya aktor-aktor lama pada pemilu presiden juga menjadi pemicu menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Bagi pemilih rasional, elit-elit lama tersebut dirasa tidak akan mampu memberikan perubahan yang signifikan. Mereka melihat bahwa fugur-figur yang bertarung ternyata figurfigur yang mempunyai track record kelam di masa lalu, sehingga mereka beranggapan bahwa diadakannya pemilu juga tidak akan membawa perubahan yang berarti. Kedua, meningkatnya golput juga disebabkan karena kendala teknis, baik administratif maupun non administratif. Teknis administratif misalnya pencatatan pendataan pemilih yang kurang akurat. Data-data yang dipakai rupanya tidak didukung dengan data-data baru dari RT/RW di lapangan, sehingga yang terjadi adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar. Pendataan yang kurang akurat mengakibatkan suara berharga dari masyarakat hilang begitu saja. Adapun teknis administratif, misalnya disebabkan oleh tingkat moblitas masyarakat yang tinggi di kota-kota besar, pada saat pemungutan suara 5 Juli bertepatan dengan final Euro 2004, buruknya cuaca di sejumlah tempat, dan ada juga kemungkinan karena kasus salah coblos. Mengenai kesalahan pencoblosan menurut penulis terjadi disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adanya tata cara pencoblosan yang rumit dan berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni adanya sistem proporsional terbuka, dalam hal ini nama-nama calon terpampang dengan jelas. Tata cara pemilihan seperti ini, untuk pertama kalinya menyulitkan bagi pemilih apakah hanya memilih lambang partai saja atau kedua-duanya atau memilih nama calonnya saja. Dengan sistem yang baru ini, ditambah kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat bingung dalam menentukan pilihan yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos. Kenyataan tentang kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan sudah nampak pada saat simulasi di beberapa tempat, banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat hanya memilih lambang partai, sehingga mereka lebih mudah dalam menentukan pilihannya, sebab yang harus mereka coblos hanya lambang partai semata. Kedua, adanya pengaruh banyak partai membuat masyarakat juga bingung harus memilih partai yang mana. Ketiga, meningkatnya golput juga disebabkan oleh karena adanya dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru. Adanya liberalisasi politik antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Dalam hal ini setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya luapan kebebasan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan membentuk organisasi, termasuk kebebasan untuk menentukan pemimpin. Liberalisasi politik pada tataran akar rumput ditandai dengan adanya kebebasan dalam segala hal, bebas dalam menentukan pemimpin, termasuk bebas untuk tidak memilih (golput). Dengan kondisi seperti ini rakyat akan lebih leluasa dalam menentukan pemimpinnya pada saat pemilu tiba. Mereka akan memilih jika elit-elit politik di matanya bisa membawa perubahan dan memperhatikan aspirasinya. Akan tetapi, mereka bisa golput jika elit-elit politik di matanya tidak bisa membawa perubahan yang berarti. Berbeda dengan masa Orde Baru kebebesan dikekang, sehingga tidak memilih kerap sering berhadapan dengan koersi dan refresi dari pemerintah. Masyarakat diwajibkan loyal pada negara, PNS tidak dibuat netral dan diwajibkan menyalurkan aspirasinya kepada Golkar. Dengan kata lain kebebasan dalam berpolitik tidak ada. Liberalisasi politik dalam tataran elit-elit politik dibuktikan dengan semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan partai dengan berbagai asas dan ideologinya. Akan tetapi sayangnya euporia politik tidak dibarengi dengan politisi-politisi yang memadai, dengan demikian banyak terjadi pragmentasi partai-partai politik, pertikaian di tubuh parpol sering terekspos oleh media. Dampak dari tidak adanya elit-elit yang baik di mata publik tersebut yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat, masyarakat menjadi antipati terhadap partai yang ada. B. Saran-saran Penelitian terhadap fenomena golput masih sangat minim, penulis mengalami kesulitan dalam mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan judul tersebut. Kajian-kajian mengenai golput walaupun ada, baru dalam bentuk opini pada artikel-artikel yang kurang memberikan penjelasan lebih mendalam. Buku yang khusus mengkaji golput yang penulis temukan hanya empat buku: Presiden Golput yang ditulis oleh Muhammad Asfar, Politik Golput di Indonesia; Kasusu Peristiwa Jogja 1992 yang ditulis oleh Priyambudi Sulistianto, Golput Aneka Pandangan dan Fenomena Politik yang disunting oleh Drs. Arbi Sanit, dan keempat Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput yang ditulis oleh Badri Khaeruman, dkk. Penelitian tentang golput yang penulis lakukan ini baru penelitian yang sifatnya deskriptif. Untuk itu kepada para peneliti, penulis menyerankan agar fenomena ini tidak dilewatkan begitu saja. Harus ada penelitian-penelitian yang lebih mendalam lagi dalam mengungkap fenomena yang selalu ada pada ritual lima tahunan ini, mengingat belum semua masyarakat luas tahu dan paham yang dimaksud dengan golput. Memang secara akademis belum ada kategorisasi tentang golput. Untuk itu, penulis pun ketika mengklasifikasikan golput hanya berdasarkan pandangan-pandangan dari para tokoh/pengamat politik yang conceren terhadap kajian tersebut. Walaupun demikian setidaknya penulis mencoba membantu memberikan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004 lalu. Kepada para elit politik, pemerintah, jadikanlah fenomena ini sebagai bentuk introspeksi dalam rangka perbaikan hidup kenegaraan ke depannya, sebagai social control terhadap elit-elit baik di DPR maupun di eksekutif, baik di pemerintahan pusat maupun di daerah. Fenomena ini jangan dijadikan sebagai ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Dengan adanya fenomena ini diharapkan pemerintah bisa benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat banyak bukan kepentingan golongan. Kepada lembaga pencatat data pemilih, baik BPS, KPU, petugas RT/RW dan petugas-petugas penyelenggara pemilu lainnya yang terkait dengan pendataan penduduk diharapkan agar dapat bekerja lebih ekstra lagi dalam mendata pemilih. Dengan demikian nantinya pemilih yang tidak terdaftar dapat diminimalisir karena dampaknya selain bisa memperbesar jumlah golput juga dapat mengakibatkan terjadinya konflik bagi para caleg atau parpol yang merasa dirugikan dengan kasus tersebut. Kepada khalayak umum, dengan adanya kebebasan di era Reformasi ini, penulis menyarankan pada setiap pemilu maupun pilkada agar memberikan hak suara sesuai dengan kata hati sebagai bentuk partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin dan nasib bangsa yang lebih baik. Sehingga pemerintahan yang terpilih nantinya benar-benar mendapatkan pengakuan yang sah dari masyarakat dan pemerintahannya pun legitimate. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Al Chaidar. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah, 1998. Al Rasid, Harun. Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: STIH IBLAM, 2004. AS Hikam, Muhammad. “Pemilu dan Legitimasi Politik.” Dalam Syamsuddin Haris dkk. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998: h. 49. Benedanto, Pax, dkk. Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi?. Jakarta: LSPP, 1999. Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998. Budiman, Arief. “Demokrasi, Materi, dan Golput.” Dalam Luthfi Assyaukanie dan Stanley, ed. Kebebesan Negara Pembangunan. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006: h. 13. Fatah, Eep Saefulloh. Penghianatan Demokrasi a la Orde Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Haricahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan M. Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan Mudah. Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984. Irsyam, Mahrus dan Romli, Lili, ed. Menggugat Partai Politik. Depok: LIP FISIP UI, 2003. J.A, Denny. Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. ______. Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia Jakarta: Sinar Harapan, 2006. ______. Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006. ______. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia.Yogyakarta: LKIS, 2006. ______. Partai Politik pun Berguguran .Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006. Khaeruman, Badri, dkk. Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput. Jakarta: PT Nimas Multima, 2004. Kleden, Igna. “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?.” Dalam Syamsudin Haris, Ed. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan Netherlands Institute for Multiparty Democracy , 2005: h. xi. Nuryanti, Sri. ”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004.” Dalam Lili Romli, Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokarsi di Indonesia Jakarta: LIPI Press, 2005: h. 55. Pahlevi, Indra. “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004.” Dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003: h. 35. Pamungkas, Sri Bintang. Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total. Jakarta: Erlangga, 2001. Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa. T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997. Prayudi. “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan Pemerintah.” Dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003: h. 1. Romli, Lili. “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan Kesimpulan.” Dalam Lili Romli, dkk. Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005: h. 179. Rush, Michael dan Althoff, Phillip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Saifullah. Quo Vadis Pemilu 2004?. Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2003. Sanit, Arbi. Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992. Santoso, Topo dan Suprianto, Didik. Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Sulistiyanto, Priambudi. Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya. Yogyakarta: LEKHAT, 1994. Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI, 1999. Susetyo, Benny. Hancurnya Etika Politik. Jakrta: Kompas, 2004. Susiana, Sali. Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003. Syabirin, Tabrani dkk. Pemilu Legislatif 2004. T.tp: Komisi Pemilihan Umum, 2005. ______. Tabrani, dkk. Pemilu Presiden 2004. Ttp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005. Thaha, Idris. Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais Jakarta: Teraju Mizan, 2005. Triwahyuningsih. Pemilihan Presiden Langsung. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001. 2. Media “Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT.” Berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136 “Golongan Putih.” Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004: h. 197. “Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%.” Berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm “Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral.” Artikel diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997 %20d409245940An%20Suharto%20harus%20dipertahankan%.htm “Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas.” Berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3. Htm. “Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu.” Berita diakses pada 24 Februarai 2009 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/ 873674. “Sebanyak 13,2 Juta Pemilih Belum Terdaftar.” Berita diakses pada 24 Februari 2009 dari http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/90 6594.htm Baasir, Faisal. “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004.” Artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm Budiman, Arief. “Golput, Gejala dan Masa Depannya.” Artikel diakses pada 29 Nopember 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19 /KL/ Dwipayana, AA GN Ari. “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?.” Artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26 Fatah, Eep Sefulloh. “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta.” Artikel diakses pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisispolitik-mengelola-golput-jakarta http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_In http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20 http://www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_ST UDI_EXIT_POLL_ http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa. html http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masa-depan-golput-pada-pemilu-presi den/ http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05 http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-haragol put.html http://www.sinarharapan.co.id/Berita/0302/05/nas10.html/ http://www2.kompas.com/kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280770. htm http:/p4ndu3121990.wordpress.com/200808/13/mengapa-golput/ Kurniawan, Robi Cahyadi. “Mencermati Fenomena Golput.” Artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2 008080Mbm.20040719.KL93851id Mardika, I Nyoman. “Demokrasi, Golput, dan Pemilu 2004.” Artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/ 3/16/Op2.htm Muhamad, Robi. “Golput dan Memilih dengan Rasional.” Artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/0100 2822/gol Muzani, Saeful. “Mitos Golput.” Artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htmngapaolput/ Piliang, Indra J. “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia.” Artikel diakses pada 29 Nopember 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/11 63352 Pribadi, Airlangga. “Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004.” Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.4 No.1. 2004: h. 53. Ridwan, Asep. ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia.” Jurnal Demokrasi dan HAM. Vol.4 No.I. 2004: h. 30. Santoso, Topo. “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya.” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.4. No.I. 2004: h. 9. Siahaan, Harlem, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1 September-Oktober 1998: h. 3. Lampiran 1: Hasil perolehan suara 24 partai politik peserta pemilu 2004 No. Partai Politik Urut 1 PNI Marhaenisme Jumlah Suara 923.159 Persen 0,81% Jmh Kursi 1 636.397 0,56% 0 2.970.487 2,62% 11 842.541 0,74% 0 2. Partai Buruh Sosial Demokrat 3. Partai Bulan Bintang 4. Partai Merdeka 5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58 6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5 7 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1 9 Partai Demokrat 8.455.225 7,54% 57 10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1 12. 895.610 0,79% 0 13. Partai Persatuan Nahdlatul Indonesia Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52 14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2 15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52 16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45 17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,54% 109 19 Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12 20 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128 Ummah 21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0 24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2 Jmh 113.462.414 100,00% 550 Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah Pemilih Suara sah Jumlah Presentase 113.462.414 91,19% Suara tidak sah 10.957.925 8,81% Total Pemilih 124.420.339 100,00% Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput) Jenis Memilih Golput (tdk memilih) Grand Total Jumlah Presentase 124.420.339 84,07% 23.580.030 15,93% 148.000.369 100,00% *) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004 Lampiran 2: Hasil perolehan suara pilpres putaran pertama No. Urut 1. Pasangan Capres dan Cawapres Presentase Wiranto – Salahuddin Wahid Jumlah Suara 26.286.788 2. Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi 31.569.104 26,61% 3. Amin Rais-Siswono Yudohusodo 17.392.931 14,66% 4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 39.838.184 33,57% 5 Hamzah Haz-Agum Gumelar 3.569.861 3,01% Jmh Suara 119.656.868 22,15% 100,00% Perbandingan hasil suara pemilih yang sah dan yang tidak sah Pemilih Suara sah Suara tidak sah Total Pemilih Jumlah Suara Presentase 119.656.868 97,84% 2.636.976 2,16% 122.293.844 100,00% Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput) Jenis Hasil Suara Presentase Memilih 122.293.844 79,76% Golput (tdk memilih) Grand Total 31.026.700 20,24% 153.320.544 100,00% *) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004 Lampiran 3: Hasil perolehan suara pilpres putaran kedua No.Urut Pasangan Capres dan Cawapres Presentase Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi Jumlah Suara 44.990.704 2 4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 69.266.350 60,62% 114.257.054 100,00% Jumlah Suara Sah 39,38% Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah Pemilih Suara sah Suara tidak sah Total Pemilih Jumlah Suara Presentase 114.257.054 97,94% 2.405.651 2,06% 116.662.705 100,00% Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput) Jenis Memilih Golput (tdk memilih) Grand Total Hasil Suara Presentase 116.662.705 77,44% 33.981.479 22,56% 150.644.184 100,00% *) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004 Nomor Lamp Perihal : Istimewa : 1 (satu) bundle : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yth, Ketua Jurusan Program Studi Pemikiran Politik Islam ditempat Assalamu’alaikum wr. Wb. Sehubungan dengan tugas akumulatif akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan, maka saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NIM Fak/ Jur Semester : Acu Nurhidayat : 104033201077 : Ushuluddin dan Filsafat/Pemikiran Politik Islam : IX Dengan ini saya mengajukan proposal skripsi dengan judul : “Fenomena Golput di Indonesia Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pada Pemilu 2004 ”. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan : 1. Outline 2. Abtraksi 3. Daftar Pustaka Sementara Demikian pengajuan proposal judul skripsi ini saya buat, atas perhatian dan persetujuan bapak/ibu saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ciputat, 22 Oktober 2008 Dosen Penasehat Pemohon A. Bakir Ihsan, M.Si NIP: 150 326 915 Acu Nurhidayat NIM: 104033201077 Mengetahui, Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam Drs. Agus Darmadji, M.Fils NIP : 150 262 447