fenomena golput di indonesia pasca orde baru

advertisement
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA
PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh
Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA
PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh
Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA
PASCA ORDE BARU
(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
Pembimbing
Drs. Idris Thaha, M.Si
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H./2009 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA
ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam.
Jakarta, 2 Maret 2009
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Agus Darmaji, M.Fils.
NIP: 150262447
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A.
NIP: 150270808
Penguji I,
Penguji II,
A. Bakir Ihsan, M.Si.
NIP: 150326915
M. Zaki Mubarak, M.Si.
NIP: 150371093
Pembimbing,
Idris Thaha, M.Si.
NIP: 150318684
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 11 Februari 2009
Acu Nurhidayat
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia
dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap
jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan
hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih
sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas
golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu
penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun datadata yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun,
berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis
sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih
sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi
setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang
sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke
perguruan tinggi, juga nasehat, doa serta motivasi yang selalu diberikan.
2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan
motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh
Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A’ Rosid dan
Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan keponakankeponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu
memberikan dorongan dan doa kepada penulis.
3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.,
Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu
terkait dengan masalah administrasi di jurusan.
5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih
atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing.
6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas
nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi
mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A.,
Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan
Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan
mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang
telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di
sisi Allah SWT.
7. Pimpinan
dan
Staf
Perpustakaan
Utama,
Perpustakaan
Fakultas
Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.
8. Pimpinan
dan
staf
Perpustakaan
Nasional,
Perpustakaan
LIPI,
Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas
Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih.
9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT
(YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima
kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang
telah diberikan menjadi amal baik. Amin.
10. Teman-teman BEMJ
PPI
periode
2006-2007
serta
teman-teman
seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin
Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny
Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya
yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan
kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi.
11. Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya.
Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI
Cabang Ciputat: K. Rafi’i, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden
Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas
diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas
bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga
Pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI) HMI Cabang Ciputat: Yunda
Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang
demi menggapai hari esok yang lebih cerah.
12. Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT):
Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifa’i, Mba
Filda Angelia, dan semuanya.
13. Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir
Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan
semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga.
14. Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina
Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan
semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin.
15. Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini.
Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya.
“Tak ada gading yang tak retak,” kira-kira ungkapan inilah yang cocok
untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa,
penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.
Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini
dapat bermanfaat adanya. Amin.
Jakarta, 11 Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................................... 11
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 11
D. Metode Penelitian .......................................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT
A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ................................................... 15
B. Penyebab Seseorang Golput............................................................ 19
C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia..................................... 27
BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004
A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif.............................................. 37
1. Kontestan Partai-partai Politik .................................................. 41
2. Perolehan Suara Partai-partai Politik......................................... 43
3. Koalisi Partai-partai Politik....................................................... 45
B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ............................................ 49
1. .............................................................................................Pe
milu Presiden Putaran Pertama............................................ 51
2. .............................................................................................Has
il Pemilu Presiden Putara Pertama....................................... 53
3. .............................................................................................Pe
milu Presiden Putaran Kedua .............................................. 54
4. .............................................................................................Has
il Pemilu Presiden Putaran Kedua ....................................... 55
BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004
A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat....................................... 57
B. Golput karena Masalah Teknis......................................................... 68
C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004................................................ 74
1. .............................................................................................Gol
put Politis ........................................................................... 75
2. .............................................................................................Gol
put Teknis Administratif .................................................... 79
3. .............................................................................................Gol
put Teknis Non-Administratif ............................................ 81
D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak
Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ............................................... 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 92
B. Saran-saran..................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 99
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi
rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari
Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,
khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci
menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah
masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.
Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan
tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh
banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam
kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu
kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya
diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah
melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan
partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik.
Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu
1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian
intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak
jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot
1
Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT
Nimas Multima, 2004), h. 67.
pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba.
Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput).
Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak
memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief
Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai
kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis
dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai,
pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni
kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman
perlu untuk dikutip:
“…Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi
jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orangorang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan
teman-teman berbicara, “ini sama juga bohong, katanya kita boleh
memilih”…atas dasar itu kita memboikot pemilu….”3
Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan
internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah
dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran
sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu
menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief
Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi
2
Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h.
105.
3
Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch
tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Show Denny J.A Metro
TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41.
kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih
disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4
Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu,
partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang
sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit
pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka
sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di
tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari
masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili
aspirasi masyarakat di bawah.5
Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan kawankawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral
yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan
terhadap partai-partai politik.
Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya
setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul
bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang
diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes
yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat
yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu
ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif
4
Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakangolput-dan-masa-depan-bangsa.html
5
Ibid.
dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan prinsipprinsip demokrasi universal. 6
Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses
demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan
(legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu,
akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7
Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis
politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi
terhadap
partai
politik
(1973),
munculnya
kerusuhan
Malari
(1974),
terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di departemendepartemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih
banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit.
Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure
groups seperti kelompok Petisi 50.8
Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%.
Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya
ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada
masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu
proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan
ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu
politik yang paling penting.
6
Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1992), h.32.
7
Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta:
LEKHAT, 1994), h.8.
8
Ibid., h. 8-10.
9
Ibid., h. 11-12.
Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan
ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde
Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah
sikap dan
dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput
tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota
dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti
penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran besarbesaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara
lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10
Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan
bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai
sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka
menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang
demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini
memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya
demokrasi di Indonesia.12
Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang
dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi
sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan
umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004.
10
Ibid., h. 11-12.
Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalam AA GN Ari Dwipayana,
“Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”
artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
12
Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20
sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm
11
Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13 Angka ini cukup
tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara
penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah.
Hilangnya
kepercayaan masyarakat pada
masa
ini karena
pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai
macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN
Soeharto dan kroni-kroninya.14
Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde
Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol
UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan
bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%,
pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992
mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21%
dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15
Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam
sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia
mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen
pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.” Dengan kata lain saatnya rakyat
berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16Sepanjang sejarahnya, baru
13
Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia
Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” diakses pada 18
Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
14 “Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto
dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7.
15
AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009:
Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari
http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
16
Tabrani Sabirin, Pemilu Presiden 2004 (T.tp.: Komisi Pemilihan Umum, 2005), h. 3.
tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian
demokrasi terbesar.17
Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu
2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu
sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua
kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan
untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang
demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi
politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem
pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar.
Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah
agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat
diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan
yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi
masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi
masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan
bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab
fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan
terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun
yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh
tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan
17
Ibid., h. 1.
Faisal Baasir, “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004,” artikel diakses pada 18 Oktober
2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm
18
begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi
tinggi dikhawatirkan kurang stabil.
Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih
bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan
mencapai
34.509.246
suara
(23,34%)
pada
pemilu
legislatif.
Dengan
meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik
yang mengejutkan.20
Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan
golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata
merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain,
misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang
berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi
politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena
tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?
Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang
ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak
dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di
pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan
aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap
elit-elit politik yang berkuasa.
19
Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan
kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang
bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia.
Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demos menampilkan topik partai
politik pasca Orde Baru.
20
Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan
05.
Akibat dari kekecewaan tersebut di atas,
tidak jarang mereka
mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba.
Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka
mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat
alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus
Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak
sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan
1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa,
justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga,
adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami
dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik
mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat,
karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak
adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21
Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal.
Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif
aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan
kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat
punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan
golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan
memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya
kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul “setengah hati”
dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri
21
Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 244-247.
bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami
malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak
mampu mengagregasikan kepentingan rakyat. 22
Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan
oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang
mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis
pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat
misalnya pada saat penetapan hasil pemilu
legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU
menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya
pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di
tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena
pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah
mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih
terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23
Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa
tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era
Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba
untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang
merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun
presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah
tulisan berbentuk skripsi dengan judul: “Fenomena Golput di Indonesia Pasca
Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).”
22
Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan
05
23
Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/
Mengapa-golput
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini
lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena
golput di Indonesia pada pemilu 2004.
Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis
perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang
menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004?
Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut:
1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit
politik pada pemilu 2004?
2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh
adanya faktor kendala teknis?
3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari
liberalisasi politik pasca Orde Baru?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan
menganalisa lebih jauh
tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat
indikator-indikator sebagai berikut:
1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik.
2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif
3. Adanya dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan
data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library
Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang
berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik
elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam
bentuk karya ilmiah.
Analisa data dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan dua
metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan
kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman
Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh
CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I
Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta
permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini
mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan
masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini
pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para
pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan
beberapa pengamat ada yang mengklasifikasikan golput kepada beberapa jenis. Di
antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena
kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis,
anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan
masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di
Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga
pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999.
Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu
presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari
skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di
antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler
dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara partaipartai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang
sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi partaipartai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada
saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan
koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir
membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu
pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil
dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan
hasil pilpres putaran kedua.
Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan
menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai
pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang
sudah banyak memberikan komentar seperti yang akan banyak diuraikan pada bab
kedua.
Permasalahan-permasalahan
yang
akan
diangkat
terkait
dengan
menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai
berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik,
adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya
dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.
Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang
berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena
bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data
juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran
terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai
golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap
golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap
pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde
Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam
bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak
umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk
partisipasi politik dalam rangka menentukan pemimpin yang lebih baik.
BABA II
TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT
A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput
Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu
ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa
di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan
atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah
angka-angka tersebut masuk pada kategori golput?
Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa
dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin
menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan
para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput
itu sendiri.
Golput atau “golongan putih” adalah sebutan yang dialamatkan kepada
orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula
didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai
peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada
sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk
menentukan pemimpinnya.24
Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku
nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada
fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di
24
Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta:
PT Nimas Multima, 2004), h. 69.
beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan
dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam
bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara
atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti
ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,
partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga
banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti
Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25
Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)
2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang
memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara
atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah
kesadaran politik.26
Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari
Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga
kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan
terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni
semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu
dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak
punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang
bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir
orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua,
golput
pragmatis,
yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput
25
Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242.
Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/
mengapa-golput/
26
memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput
model ini mirip dengan fardu ‘ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni
bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang
tidak ikut memilih tidak ada “dosa politik kolektif.” Orang-orang yang mencari
nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai
macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah
memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput
yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya
golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan
bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang
dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya
kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya
berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27
Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas
Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput
yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes
terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang
demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua,
golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan
politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,
27
Indra J. Piliang, “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia,” artikel diakses pada 29
November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm
28
Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya
memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut.
Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah
melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat “Golongan putih”
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197.
dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya
memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena “kecelakaan”.
Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara
pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di
luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29
Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi
Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum
luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada
golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain),
berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat
suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga
statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput
menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus
dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak
percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan
kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme
demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan
fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30
29
Arief Budiman, “Golput, Gejala dan Masa Depannya,” artikel diakses pada 29
November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719.
KL93851id.html
30
Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas
kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan
semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada
sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang
protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep
Sefuloh Fatah, “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta,” artikel diakses pada 08 Desember
2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta
Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya
dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas
suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak
disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan
suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31
Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap
pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk
mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar
tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi
dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika
penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara
tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang
sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:
golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif.
Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.
B. Penyebab Seseorang Golput
Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap
negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa
semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian
suara.32
Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi
masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan
31
Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296.
Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput h. 89.
32
menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan
yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan,
tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan,
harga diri sosial, dan yang
lainnya.33
Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang
menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut
dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama,
pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan
seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti
kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori
ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan
rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa
perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan
sebagainya. 34
Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan
partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian
warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri
sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di
pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya
status sosial dan ekonomi, afiliasi
politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35
33
Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin
Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224.
34
“Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta,” dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari
2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_
35
Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin
Rais. h. 224-225.
Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan
Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak
memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih
banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria
lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum
kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan
tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih
banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36
Berbeda
dengan
Lipset,
Muhammad
Asfar
dalam
bukunya
mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para
pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari
orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa
dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua
penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses
informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup
tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu
baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya.
Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan
menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi
tersebut seseorang mengetahui seperangkat “ alat” baik berupa teori, konsep untuk
36
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1998), h. 9.
menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi
yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37
Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang
menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk
dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor.
Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian
otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik,
baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga
mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah),
sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan
yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu
yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa
dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikap—jika hal ini
menjadi ekstrem dan meluas—akan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan
dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini
berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada
pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai
dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari
kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk
menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa
kekerasan atau melakukan hijrah.38
Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa
terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik.
37
Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262.
Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87-
38
88.
Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing),
anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang
dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39
Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai
“kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Sinisme merupakan perasaan yang
menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa
pesimisme
lebih
realistis
daripada
optimisme;
bahwa
individu
harus
memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya egosentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme
menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa
politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari
kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan
oleh orang-orang tanpa muka.40
Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa
dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau
karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di
Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika
yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda
dengan negara lain.41
Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya
ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih
39
Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h. 146.
40
Ibid., h. 146-147.
41
Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara
seminar bertema “Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia” di gedung rektorat
Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/
0302/05/nas10.html/
golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak
bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan
ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak
memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42
Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam
opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan
perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson
(1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43 Hal senada juga
terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula
dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif.
Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan
atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah
kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan
umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif
konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak
konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain
sebagainya. 44
Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono,
bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik,
kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan
komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya
42
Robi Mumahamad, “Golput dan Memilih dengan Rasional,” artikel diakses pada 27
November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memilih.denagn rasional
43
Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27
November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940
44
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,
1999), h. 143.
sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam
demokrasi modern.45
Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual,
menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan
dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga
negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme
(kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi
oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh
kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila
seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap
pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif.
Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah
rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan,
bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi
yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di
luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat
demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak
mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah
sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang
bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat
45
Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 181-182.
46
Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27
November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940
partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik
yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47
Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang
dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak
masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu
kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang
berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk
memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik,
masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan
hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah
partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa
calon pemimpin yang akan dipilihnya.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya
partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan
masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor
sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal,
lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat
pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan
dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu
yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis.
Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga
alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari
47
Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat
Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta:
PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12.
aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya
individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai
aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa
partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia
beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan
suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang
memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil.
Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48
Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh
banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada
elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik
khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis.
Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada
akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan
tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor
pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang
akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004.
C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia
Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955
untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah
pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di
Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam
48
Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, h. 144-146.
mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena
golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kirakira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan
suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat
pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan
Konstituante. 49
Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala
kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu
tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan ’66 diantaranya
Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga
Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan
dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50
Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya
Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta
pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan
mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,
terutama di Jawa.51
Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap
rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan ’66 dalam merealisasikan
dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu
bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru
49
Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya
(Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for
Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 19561959, h. 30
50
Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2.
51
“Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta
Pamungkas: 2004), h. 197.
lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh
di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun
1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai
negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai
sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif
sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk
mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik
(Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem
pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan
kabinet. Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi
secara terencana dan terkontrol.52
Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita
Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu
pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde
Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik.
Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak
pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima
perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan
52
Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966
tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya
di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap
pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden
Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua
adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral
Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan
oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua
dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan
dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat
dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal
kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih
jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1992), h.19-20.
golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara
konkret.53
Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971
golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap
situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes
terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput
tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54
Dalam
deklarasinya
juga
disebutkan bahwa
keanggotaan
golput
diperuntukkan bagi “mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena
aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga
oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan
aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis”. Siapa saja yang
tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput.
Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik
yang demokratis.55
Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti
halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di
Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan
kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut
memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56
53
Ibid., h.26-27.
Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3.
55
Ibid., h.3.
56
Ibid., h. 3-4.
54
Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam
Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran
terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil
organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar
Hasanudin Noor.57
Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga
melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya
yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak,
penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain
dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan
dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang
dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi
telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu.
Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan programprogramnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak
memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya
inkonstitusional.58
Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992
pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini
berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan:
“… Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan
bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya
kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa
tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud
dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di
Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak
57
Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28.
“Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6, h. 197.
58
mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat
dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes
proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi
format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan
tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan.
Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai
mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan
berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh
berbagai kesenjangan.”59
Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun
beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di
tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya
kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina
(1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai
politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai
politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan
tersebut sebagai sikap anti Islam.60
Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral,
intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para
tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya
dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh
Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti
ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61
Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak
puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya
kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang
merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal
59
Ibid, h.30-31.
Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9.
61
Ibid., h.10.
60
dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde
Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan
dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan
normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari
diskusi-diskusi politik.62
Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai
proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat
akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di
mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan
sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa
akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan,
pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat
perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang
ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut
menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu
1992.63
Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes
kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi
ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah
Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes
dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja
dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa
62
Ibid., h. 10-11.
Ibid., h. 12-14.
63
dirugikan langsung
dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur
tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64
Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh
proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara terangterangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak
percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil
rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat
tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65 Situasi seperti ini yang dirasa
golput mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam
ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat
TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau
golput, yakni (64%) akan memilih “yang lain” dari tiga OPP yang ada. Yang
dimaksud dengan “yang lain”, sebagian responden menyatakan “tidak ada OPP
yang dipilih”. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah
“golput”, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan
datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan “masih bingung,
belum tahu, atau belum menentukan pilihan”. 66 Dari sikap responden tersebut
jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa
perubahan.
Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.
Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek
64
Ibid., h. 14.
Ibid.
66
“Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam,” dalam Pemilu 1997: Jajak
Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11.
65
yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa
kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda
matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru
dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda
mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai
penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa
pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status quonya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan
bangsa ini menjadi kelam.67 Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali
Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan
Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara
bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68
Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak
awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi
kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat
terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh
pesatnya media massa,69diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang
termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa
dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas
menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka.
Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini
67
“Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral,” artikel diakses pada 11
Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto%
20harus%20dipertahankan%20.htm
68
Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15.
69
“Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk.,
Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.8.
jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup
tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru.
Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput
yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era
Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat
rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi
ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga
dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak
sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas
KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun
kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan
DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partaipartai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk
mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70
70
Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 244-245.
BAB III
SEKILAS GAMBARAN PEMILU
LEGISLATIF DAN PRESIDEN 2004
A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif
Penjelasan pada bab dua yang menguraikan mengenai golput memberikan
pemahaman akan sebuah pengertian golput yang terjadi pada pemilu 2004.
Pandangan golput yang telah dibahas pada bab dua pun sangat urgen dalam
memberikan pengklasifikasian dan pengidentifikasian seputar golput yang terjadi
pada pemilu 2004 lalu.
Penulis sudah menyinggung sedikit seputar golput dan sedikit membahas
tentang pemilu 2004 pada bab I, akan tetapi belum memberikan penjelasan
gambaran khusus seputar pemilu 2004. Oleh karena itu, pada Bab III ini penulis
mencoba membahas sekilas gambaran pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun
pemilu presiden secara langsung.
Pemilu tahun 2004 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
Negara
Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
untuk memilih anggota
DPR/DPRD. Di samping untuk memilih anggota DPR/DPRD, pemilu 2004 juga
sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yakni adanya pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Tidak hanya itu,
kekhususan pada pemilu kali ini ditandai dengan munculnya lembaga baru yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana setiap provinsi diwakili oleh empat
orang anggota DPD.
Pemilu kali ini juga istimewa karena untuk pertama kalinya, pemerintah
mengadopsi ketentuan mengenai kuota 30% untuk meningkatkan keterwakilan
politik perempuan dalam undang-undang pemilu. Di tengah kondisi minimnya
tingkat representasi formal perempuan di lembaga-lembaga politik, terutama di
lembaga legislatif, masuknya ketentuan tersebut membawa “angin segar” bagi
upaya peningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Walaupun harus pula diakui,
bahwa ketentuan tersebut belum “mengikat” partai politik (karena masih bersifat
sukarela)
dan belum disertai sanksi apapun bagi parpol yang tidak
menjalankannya.71
Pemilihan umum anggota legislatif sebagaimana dengan ketentuan yang
digariskan dalam undang-undang adalah saran untuk memilih anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem
proporsional dengan daftar calon terbuka. Sedangkan untuk memilih anggota
DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Sistem proporsional
daftar terbuka ini memberikan kesempatan bagi calon anggota legislatif, baik yang
berasal dari partai politik maupun perseorangan untuk berkompetisi secara
terbuka. Artinya, calon-calon yang dikenal oleh masyarakat sekalipun di daftar
calon nanti berada pada nomor urut terakhir, apabila ia mendapatkan dukungan
dari konstituennya, maka ia akan duduk menjadi anggota legislatif.72
71Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen A DPR
RI, 2003), h. ix.
72Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembagaan
Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen
A DPR RI, 2003), h. 6.
Pemilih dengan calon legislatifnya pada sistem seperti ini akan
mempunyai ikatan hubungan batin yang kuat, terutama untuk lingkungan
masyarakat di daerah calon itu ikut berkompetisi. Pada pemilu 2004 ini, rakyat
tidak hanya memilih gambar parpol semata, akan tetapi harus pula memilih nama
orang yang berasal dari parpol yang berangkutan. Sedangkan untuk calon
perseorangan yang berasal dari calon anggota DPD, pemilih tinggal memilih
(mencoblos) nama orang yang bersangkutan.73
Sebelum pemilu 2004, beberapa pemilu di Indonesia menggunakan sistem
proporsional tertutup, sehingga calon-calon yang diajukan hanya ditetapkan oleh
pemimpin parpol. Calon anggota legislatif yang akan menjadi wakil rakyat tidak
jarang kurang dikenal oleh rakyat di daerah pemilihannya sendiri. Oleh karena itu
muncul kesan rakyat berada di posisi pinggiran dalam mengartikulasikan
kedaulatannya. Mereka (rakyat) harus menerima wakil-wakil dan pemimpinnya
yang sesuai dengan kehendak parpol.74 Masyarakat belum bisa menentukan secara
langsung anggota DPR yang nantinya akan menjadi wakil rakyat tersebut.
Kembali kepada pembahasan pemilu legislatif 2004, dalam hal
penyelenggaraan
pemilu
tersebut,
ada
tahapan-tahapan
dalam
rangka
penyelenggarannya. Sesuai dengan UU No. 12/2003 menetapkan bahwa tahapantahapan penyelenggara pemilu terdiri atas sembilan tahapan. Tahapan-tahapan
penyelenggaraan pemilu itu kemudian dijabarkan dalam keputusan KPU No.
100/2003 tentang tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilu 2004
yang dikeluarkan pada 24 April 2003.75
73Ibid.
h. 7.
Topo Santoso dan Didik Suprianto, Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004),h. 34.
74Ibid.,
75
Tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu 2004 dimulai dari Pendaftaran
Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P-4B); pendaftaran, penelitian
dan penetapan peserta pemilu yang terdiri dari (a) peserta pemilu dari partai
politik untuk pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (b)
peserta pemilu dari perseorangan untuk pemilu anggota DPD; penetapan daerah
pemilihan dan jumlah kursi untuk setiap daerah pemilihan anggota DPR dan
DPRD; pencalonan angggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
kampanye pemilu.76 Tahapan selanjutnya yaitu pemungutan suara terdiri dari (a)
pemungutan dan penghitungan suara di TPS (b) rekapitulasi suara di PPS, PPK,
PPLN, KPU kabupaten/kota dan KPU provinsi; penetapan hasil pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota; penetapan perolehan
kursi dan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota;pengucapan sumpah/janji anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi
serta DPR dan DPD.77 Selanjutnya untuk jadwal pemilu legislatif, KPU
menetapkan pada 5 April 2004.78
Dari tahapan-tahapan pemilu di atas, ternyata tahapan pendataan pemilih
dan pendaftaran penduduk berkelanjutan atau yang biasa disingkat pendataan P4B
di atas masih menyisakan pengalaman buruk dalam pemilu 2004 lalu. Pengalaman
tersebut terungkap setelah hari H pencoblosan, dalam hal ini terungkap masih
banyak masyarakat yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Pasalnya pendataan tersebut dari jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS),
akibatnya data tersebut menjadi kurang akurat, mengingat masih banyaknya
76Ibid.
77Ibid.,
34-35.
Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: KPU, 2005), h. 10.
78Tabrani
pemilih yang belum tercantum. Contoh kasus di Jakarta saja ada sekitar dua juta
warga yang mempunyai hak pilih dinyatakan tidak bisa memilih akibat dari
namanya tidak terdaftar.79
2. Kontestan Partai-partai Politik
Pemilu legislatif 2004 diikuti oleh 24 partai politik. Adapun 24 partai
politik peserta pemilu tersebut, enam diantaranya merupakan parpol yang berhasil
memenuhi electoral threshold 2% sesuai dengan UU No.3 tahun 1999 tentang
pemilihan umum yang kemudian diubah dengan undang-undang No.12 tahun
2003 tentang pemilu. Adapun sisanya adalah partai politik baru.80 Keenam partai
yang otomatis menjadi peserta pemilu adalah Partai PDI Perjuangan pimpinan
Megawati Soekarnoputri, Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung, Partai
Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, Partai Amanat Nasional
pimpinan Amin Rais, Partai Bulan Bintang pimpinan Yusril Ihza Mahendra, dan
Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Alwi Sihab.81
Selain dari keenam partai tersebut di atas, beberapa di antaranya,
merupakan partai kelanjutan dari peserta pemilu 1999 yang menggganti nama
agar dapat mengikuti pemilu 2004. Seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), Partai Penegak Demokrasi Indonesia
(Partai PDI) yang sebelumnya bernama PDI, Partai Nasional Indonesia
Marhaenisme (PNI Marhaenisme) yang sebelumnya bernama PNI Supeni, Partai
79Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan HAM,
Vol.4, No.1, 2004, h. 18.
80Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai
politik Peserta Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi
(Jakarta: P3I Setjen DPR RI, 2003), h. 45.
81 Tabrani Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, h. 57.
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indoensia) yang sebelumnya bernama
PKP, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang
sebelumnya bernama PNU.82
Di samping partai kelanjutan dari pemilu 1999, terdapat juga partai politik
pecahan dari partai yang sudah ada, seperti Partai Bintang Reformasi (PBR)
melalui sosok KH. Zainuddin MZ dan Djafar Badjeber yang sebelumnya berada
dalam PPP, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) melalui sosok Eros
Djarot yang sebelumnya berada dalam PDIP, serta Partai Kaya Peduli Bangsa
(PKPB) yang sebelumnya para personil partai tersebut adalah kader utama Partai
Golkar seperti R. Hartono dan Ary Mardjono.83
Selain mantan peserta 1999 dan pecahan dari partai-partai yang sudah ada,
terdapat juga parpol yang merupakan gabungan parpol yang tidak lolos electoral
pemilu 1999 yaitu Partai Sarikat Indonesia yang merupakan gabungan delapan
parpol yaitu Partai IPKI, Partai Daulat Rakyat, PNI Front Marhaenisme, PNI
Massa Marhaenisme, Partai Persatuan, Partai Katolik Demokrat, dan Partai
Bhineka Tunggal Ika. Juga terdapat partai baru yang sengaja dibentuk untuk
menghadapi pemilu 2004 yakni Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PDK)
pimpinan Ryaas Rasyid, Partai Perhimpunan Indonesia Baru pimpinan Sjahrir,
serta Partai Persatuan Daerah pimpinan Usman Sapta.84
Dilihat dari asasnya, 24 partai politik yang lolos mengikuti pemilu 2004
adalah PNI Marhaenisme dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan yang keduaduanya berasaskan Marhaenisme Bung Karno; lima partai berasaskan Islam yakni
82Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai
Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 45.
83Ibid.
84Ibid.
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Persatuan Nadhlatul Ummah Indonesia (PNUI), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
dan Partai Bintang Reformasi (PBR); sementara yang berasaskan Pancasila yaitu
Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Merdeka, Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan (PDK), Partai Perhimpunan Indonesia Baru, Partai Demokrat, Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia
(PPDI), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar, Partai Patriot Pancasila,
Partai Sarikat Indonesia, Partai Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor.85
Dari uraian partai-partai politik peserta pemilu 2004 di atas, secara asas
dan program memiliki asas dan program yang relatif sama yaitu pancasila,
walaupun beberapa partai memiliki asas spesifik seperti asas Islam dan asas
Marhaenisme ajaran Bung Karno. Namun dalam jabaran programnya, seluruh
partai menyatakan akan memperjuangkan seluruh masyarakat Indonesia tanpa
sekat agama, ras, suku, dan golongan, terutama kaum lemah. 86
3. Perolehan Suara Partai-partai Politik
Mengenai perolehan suara dari 24 partai peserta pemilu 2004 tersebut,
berdasarkan hasil penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat
85Mengenai
partai-partai politik peserta pemilu 2004 yang meliputi kepengurusan partai, asas
partai, tanggal berdirinya, keterangan pengesahan dari Dep. Kehakiman dan HAM, Visi Misi, dan
Program Kerjanya lihat: Komisi Pemilihan Umum, Partai Politik Peserta Pemilu 2004 Perjalanan dan
Profilnya, ( Jakarta: KPU, 20003), h. 22-135. Lihat juga: Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, ed.
Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009. Jakarta: Kompas, 2004. Lihat juga: Indra
Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai Politik Peserta
Pemilu 2004,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen
DPR RI, 2003), h. 46-49.
86Indra Pahlevi, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap Ideologi Partai
Politik Peserta Pemilu 2004,”h. 49.
tujuh partai politik yang mendapat suara terbanyak dan mampu melewati ambang
elektoral (electoral threshold), yaitu Partai Golkar yang menempati urutan
pertama dengan perolehan suara sebesar 21,58% suara, kemudian secara berturutturut diikuti oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memperoleh
suara sebesar 18,53%, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 10,57%, Partai
Persatua Pembangunan (PPP) sebesar 8,15%, Partai Demokrat (PD) sebesar
7,45%, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar 7,34%, dan Partai Amanat
Nasional (PAN) sebesar 6,44%.87
Sementara partai-partai politik lainnya tidak mampu melewati ambang
yang sudah ditetapkan oleh KPU sebesar 3% suara pemilih secara nasional. Dari
partai-partai tersebut adalah Partai PNI Marhaenisme dengan perolehan 0,81%,
Partai Buruh Sosial Demokrat mendapatkan 0,56%, Partai Bulan Bintang
mendapatkan 2,62%, Partai Merdeka 0,74%, Partai Persatuan Demokrasi
Kebangsaan
mendapatkan
1,16%,
Partai
Perhimpunan
Indonesia
Baru
mendapatkan 0,59%, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan mendapatkan 1,08%,
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendapatkan 1,26%, Partai Penegak
Demokrasi Indonesia mendapatkan 0,75%, Partai Persatuan Nadhlatul Ummah
Indonesia mendapatkan 0,97%, Partai Karya Peduli Bangsa mendapatkan 2,11%,
Partai Bintang Reformasi mendapatkan 2,44%, Partai Damai Sejahtera
mendapatkan 2,13%, Partai Patriot Pancasila mendapatkan 0,95%, Partai Sarikat
Indonesia mendapatkan 0,60%, Partai Persatuan Daerah mendapatkan 0,58%, dan
terakhir Partai Pelopor mendapatkan 0,77% (lihat: Lampiran 1).
87Asep
Ridwan, “Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No.1, 2004, h. 32.
Pada pemilu legislatif 2004, Jumlah pemilih yang terdaftar secara
keseluruhan yaitu
148.000.369 pemilih. Dari jumlah keseluruhan tersebut,
pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 124.420.339 pemilih (84,07%)
dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak
23.580.030 pemilih (15,93%). Dari seluruh jumlah pemilih, terdapat 113.462.414
(91,19%) surat suara sah dan 10.957.925 (8,81%) suarat suara yang tidak sah
(lihat: Lampiran 1). Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan
hak pilihnya dan suara yang tidak sah pada pemilu legislatif 2004 sebesar
34.537.955 (23,34%) pemilih. Jumlah tersebut
oleh sebagian orang disebut
golput.
4. Koalisi Partai-partai Politik
UU No. 23 tahun 2003 menyebutkan bahwa rekrutmen calon presiden
dilakukan oleh partai politik. Kemudian selanjutnya pada pasal 6A ayat (2) UUD
1945 menjelaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan tersebut selanjutnya
diterjemahkan melalui UU No. 23 tahun 2003 tentang pemilu presiden dan wakil
presiden. Dalam pasal 5 ayat (1) menyebutkan, “peserta pemilu presiden dan
wakil presiden adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”. Selanjutnya
pada pasal 101 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya
dapat diajukan oleh partai politik yang memperoleh kursi di DPR sebanyak 3%
atau yang memperoleh 5% suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif.”88
Mengenai pengaturan koalisi, dalam UU pilpres tidak disebutkan secara
eksplisit. Artinya, mekanisme koalisi yang dibentuk dan aturan main yang harus
dilakukan dalam berkoalisi tidak diatur dalam UU pilpres. Dalam UU pilpres
hanya menyebutkan tentang peran partai politik atau gabungan partai politik. Pada
pasangan gabungan partai politik inilah yang kemudian diterjemahkan dalam
bentuk koalisi antar partai dalam mengusung calon pasangan presiden dan wakil
presiden.89
Dari 24 partai politik yang berhak mencalonkan pasangan presiden dan
wakil presiden hanya ada tujuh partai politik yaitu Golkar, PDIP, PKB, PPP, PD,
PKS, dan PAN. Dari ketujuh partai di atas, yang mencalonkan pasangan presiden
dan wakil presiden hanya ada lima partai yaitu Golkar, PDIP, PPP, PD, dan PAN.
Sedangkan PKB dan PKS tidak mencalonkan. PKB tidak mencalonkan karena di
tolak oleh KPU dengan alasan tidak memenuhi kesehatan jasmani dan rohani,
sedangkan PKS berdasarkan keputusan Masjlis Suro-nya untuk tidak mengajukan
pasangan calon presiden dan wakil presiden.90
Dari pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan masingmasing partai ternyata terbentuk oleh hasil koalisi. Ini terlihat dari lima pasangan
calon presiden dan wakil presiden hanya PPP yang tidak melakukan koalisi,
sedangkan empat partai berkoalisi dengan partai-partai lainnya.91
88Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan
Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi
di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h.186.
89Ibid., h 187-188.
90Ibid.. h.186.
91Ibid., h.188.
Menarik melihat proses tampilnya pasangan capres-cawapres dalam
pemilu presiden 2004. kombinasi pasangan capres-cawapres itu dianggap
mewakili spektrum ideologi politik yang berbeda. Dengan kata lain, masingmasing pasangan bisa saja mengklaim mewakili spektrum ideologi yang sama.
Wiranto yang pada waktu itu memenangkan dalam konvensi Partai Golkar,
setelah Gus Dur gagal maju dari calon PKB, akhirnya meminang Salahuddin
Wahid, adik kandung Abdurahman Wahid. Pasangan Wiranto-Salahudin ini
diharapkan dapat meraup suara Golkar dan kaum nahdliyyin (massa NU) yang
berbasis kuat di Jawa Timur.92
Wiranto-Salahuddin Wahid membentuk pola koalisi dengan pertimbangan
bahwa sosok Wiranto dianggap dapat membawa
harapan para pendamba
terjaminnya keamanan. Sedangkan Salahuddin Wahid (Gus Solah) adalah tokoh
PKB yang diharapkan bisa meraup suara dari massa PKB.93
Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi dianggap
sebagai kombinasi representasi kelompok nasionalis dan Islam tradisional (NU).
Megawati sebagai Ketua Umum PDIP dan juga puteri Soekarno, proklamator dan
presiden RI pertama. Sedangkan Hasyim adalah Ketua Umum (non-aktif) PB
NU. Sehingga dengan demikian diharapkan bisa meraup pendukung panatik
Megawati, Bung Karno dan kaum nahdliyyin pendukung Hasyim Muzadi. Lagi
pula posisi Megawati waktu itu sedang menjabat sebagai presiden yang dianggap
memiliki posisi yang strategis.94
92Tabrani
Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005),h. 46.
Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli dkk.,
Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: LIPI Press,
2005), h. 72.
94 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 46-47.
93Sri
Pasangan Amin Rais-Siswono Yudhohusodo juga tidak kalah penting.
Amin Rais dianggap mewakili Islam Muhammadiyah berpasangan dengan
Siswono yang dianggap mewakili spektrum nasionalis. Pasangan ini juga
diharapkan tidak hanya meraup suara Muhammadiyah yang merupakan Ormas
Islam terbesar kedua di Indonesia, tapi juga suara kaum nasionalis, khususnya
pendukung Siswono. Sebab selain tokoh nasionalis, Siswono juga dikenal sebagai
pemimpin organisasi petani yang tergabung dalam Himpunan Kerukunan Tani
Indonesia (HKTI).95
Selanjutnya pasangan SBY-JK, pasangan yang dicalonkan oleh Partai
Demokrat, PBB, PKPI sebagai capres dan cawapres. Dalam soal representasi,
kombinasi pasangan ini lebih dianggap sebagai representasi Jawa-Luar Jawa
ketimbang kombinasi Ideologi apapun. Apalagi dengan karismanya SBY,
beberapa survei selalu menempatkan SBY sebagai calon yang terfavorit.96
Diharapkan, pasangan ini dapat meraup suara dari Jawa dan luar Jawa yang
simpati pada pasangan tersebut.
Terakhir kombinasi pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pasangan ini
bahkan dianggap mewakili dua spektrum politik yang berbeda, tidak hanya
kombinasi tokoh Islam dan nasionalis atau sipil militer, akan tetapi Jawa-Luar
Jawa.97 Sehingga diharapkan dapat meraup suara tidak hanya dari kalangan Islam
saja, akan tetapi dari kalangan nasionalis sekalipun.
Pada pilpres putara kedua, pola koalisi cenderung cair dan pragmatis. Ini
terlihat dari kelompok pendukung masing-masing kandidat dalam membangun
koalisi. Kubu Megawati dalam membangun dukungan membentuk koalisi
h. 47.
h. 47-48.
97Ibid., h. 48.
95Ibid.,
96Ibid.,
kebangsaan. Koalisi ini didukung antara lain oleh partai-partai politik yang pada
pilpres putara pertama mengusung Wiranto dan Hamzah Haz. Sementara
pasangan SBY-JK membentuk koalisi kerakyatan. PKS yang pada putara pertama
mendukung Amin-Siswono, kini pada putara kedua menjadi pendukung pasangan
SBY-JK. Masuknya PKS dalam koalisi ini karena SBY-JK setuju atas lima syarat
(1) konsisten melakukan perubahan; (2) mempertahankan kedaulatan RI di dunia
internasional; (3) konsisten melanjutkan demokratisasi dan reformasi; (3)
meningkatkan kualitas moral bangsa, menegakkan hukum dan HAM; dan (5)
mendukung perjuangan bangsa Palestina dan tidak membuka hubungan
diplomatik dengan Isarel.98
Sehubungan dengan hal koalisi tersebut di atas, Dhurorudin mengatakan
bahwa pola koalisi yang terjadi telah meruntuhkan sekat ideologis antara Islam
dan ideologi sekuler. Hal ini karena dalam koalisi kebangsaan, di samping terdiri
dari partai-partai sekuler terdapat juga partai-partai Islam seperti PPP dan PBR.
Demikian juga halnya dalam koalisi kerakyatan terdapat partai-partai Islam seperti
PBB dan PKS.99
B. Pemilihan Umum Presiden Langsung
Pemilu 2004 tercatat sebagai pengalaman baru yang sangat penting bagi
bangsa Indonesia, karena baik calon-calon legislatif maupun calon presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini artinya sebagian terbesar elit politik
98Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan
Kesimpulan”, h. 188-189.
99Ibid., h. 189.
Indonesia saat ini direkrut secara langsung oleh konstituennya.100Dalam hal ini
rakyatlah yang punya kedaulatan penuh terhadap penetapan para pemimpin yang
berkuasa sesuai dengan ketentuan dalam UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat.
Ada tiga kelebihan pemilihan presiden langsung. Pertama, secara teoritis
sistem pemilihan presiden secara langsung lebih demokratis ketimbang dengan
pemilihan tidak langsung, karena langsung melibatkan partisipasi rakyat. Kedua,
pemilihan presiden langsung mampu meminimalisasi distorsi demokrasi, selama
ini pemilihan presiden dilakukan di MPR yang artinya presiden bertanggung
jawab kepada MPR. Padahal dalam negara demokrasi, jabatan presiden langsung
dipertanggungjawabakan kepada publik.101 Ketiga, dalam pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung, juga peluang munculnya politik uang (many
politics) relatif bisa diminimalisir ketimbang jika memilih presiden melalui
demokrasi perwakilan. Anggap saja anggota MPR yang berhak memilih sekitar
1000 orang, maka seseorang yang berusaha melakukan many politics akan lebih
mudah menyuap mereka ketimbang menyuap 180 juta lebih rakyat Indonesia yang
punya hak pilih.102
Dalam hal ini, haruslah menjadi kemauan dasar kekuasaan penguasa.
Dalam sebuah negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat itu, kemauan tersebut
dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur, adil dan terbuka yang
100Igna Kleden, “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?,” dalam Syamsudin
Haris Ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai (Jakarata: PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan
Netherlands Institute for Multiparty Democracy , 2005), h.xi.
101Dra. Triwahyuningsih, M.Hum, Pemilihan Presiden Langsung (Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 2001), h. 138-139.
102Saifullah AMM, Quo Vadis Pemilu 2004? (Ciputat :Logos Wacana Ilmu, 2003), h. 41-42.
diselenggarakan berdasarkan hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan.103
Jadi, kemauan rakyat yang dinyatakan dalam pemilu merupakan legitimasi bagi
penguasa negara untuk memerintah pada suatu periode tertentu. Periode tersebut
jika di Indonesia lima tahun.104
Dalam hal pelaksanaanya, pemilu presiden 2004 dilaksanakan dengan dua
tahapan, mengingat tidak adanya calon yang mendapatkan dari 50% di lebih dari
separuh jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun
2003.105 Pada tahapan pertama calon pasangan capres dan cawapres yang maju
sebanyak lima pasangan dari enam nama pasangan. Kelima nama pasangan
tersebut adalah pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekaroputri–
Hasyim
Muzadi,
Amien
Rais–Siswono
Yudohusodo,
Susilo
Bambang
Yudhoyono–Jusuf Kalla, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar.106 Sementara
pasangan Gus Dur-Marwah Daud Ibrahim tidak lulus syarat sehat jasmani dan
rohani oleh KPU yang berdasarkan rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia
(IDI).
1. Pemilu Presiden Putaran Pertama
Pemungutan suara pemilu presiden putaran pertama dilaksanakan pada
Senin, 5 Juli 2004. Calon pemilih yang berjumlah 155.048.268 menggunakan hak
pilihnya di 574.945 TPS. Mereka memberikan suaranya kepada calon presiden
103Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta:
Erlangga, 2001), h. 301.
104Prof.Dr. H. Harun Alrasid, S.H, Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat
(Jakarta: STIH IBLAM, 2004), h. 4.
105 Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 107.
106 Sri Nuryanti,”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004,” dalam Lili Romli,
Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi Demokarsi di Indonesia (Jakarta:LIPI Press,
2005), h. 72.
dan calon wakil presiden yang mereka kehendaki di seluruh Indonesia dan
perwakilan RI di luar negeri.107
Di
sejumlah
negara,
masyarakat
Indonesia
berbondong-bondong
mendatangi TPS. Di Singapura, 41 ribu warga Indonesia memberikan suaranya
serentak di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura di kawasan 7
Chatsworth Road. Meskipun bukan hari libur, para majikan di Singapura
memberikan ijin kepada pembantunya dari Indonesia untuk mengikuti pemilu.108
Pemilu presiden putara pertama secara umum berlangsung tertib dan
lancar. Tidak ada gangguan signifikan yang berhubungan langsung dengan pemilu
presiden. Menko Polkam Ad Interim Hari Sabarno mengatakan bahwa tidak ada
laporan mengenai gangguan keamanan dan politik di wilayah Indonesia selama
hari pencoblosan. Pujian bahkan datang dari kalangan pengamat asing yang
mengatakan bahwa pilpres putaran pertama berlangsung jujur, adil, dan aman. Hal
itu antara lain dikemukakan oleh
mantan Presiden Amerika Serikat, Jimmy
Carter, seusai bertemu Presiden Megawati.109
Keberhasilan melaksanakan Pemilu 2004 juga merupakan episode penting
perjalanan sejarah bangsa Indonesia setelah 60 tahun merdeka. Beberapa tahun
lalu, rakyat Indonesia mungkin sulit membayangkan akan mampu melaksanakan
pemilu secara langsung dan demokratis. Terlepas dari beberapa kelemahan dan
kekuarangan, yang jelas pemilu 2004 menjadi lompatan besar dalam sejarah
kedaulatan rakyat di Indonesia. Di sisi lain, keberhasilan pemilu 2004
Tabrani Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004, h. 87.
h. 89.
109Ibid.
107
108Ibid.,
menempatkan Indonesia sebagai Negara Islam (mayoritas muslim) yang
demokrasinya paling maju di seluruh dunia.110
Dari keberhasilan yang sudah dipaparkan di atas, pemilu presiden putaran
pertama ternyata masih meninggalkan permasalahan dalam hal surat suara yang
salah coblos. Dalam hal ini banyak warga yang tidak membuka lebar-lebar kertas
suara. Akibatnya, kertas suara itu tercoblos dua kali pada pasangan calon hingga
menembus ke depan. Dalam penghitungan timbul perdebatan apakah surat suara
itu sah atau tidak. Tidak sedikit petugas yang mengatakan bahwa surat suara yang
tembus itu tidak sah.111
Dengan adanya kejadian seperti ini, maka KPU mengirimkan surat edaran
ber-Nomor 1151/15/VII/2004 tertanggal 5 Juli 2004 yang menyatakan bahwa
surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat dua secara horizontal, yang
mengakibatkan coblosan tembus ke halaman judul, tetap dinyatakan sebagai surat
suara yang sah.112
Dikeluarkannya Surat KPU tersebut bertujuan untuk menyelamatkan suara
rakyat yang sangat berharga dalam proses pemilihan umum dan untuk
menyamakan status suara sah di seluruh Indonesia. Dari berbagai daerah KPU
mendapatkan laporan lisan bahwa surat suara yang dicoblos dalam kondisi terlipat
dua secara horizontal jumlahnya cukup besar. Tujuan KPU untuk menyelamatkan
surat suara tersebut ternyata benar-benar terbukti, yakni presentase suara tidak sah
menjadi rata-rata 2,17 persen dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu
legislatif 2004 lalu yang mencapai 8,81 persen. Angka tersebut sangat kecil, kalau
110Ibid.,
h. 90.
111Ibid.
112Ibid.,
h. 91.
dirata-ratakan pada tiap TPS, suara tidak sah untuk tiap TPS tidak sampai 5 suara
(tepatnya 4,66).113
2. Hasil Pemilu Presiden Putaran Pertama
Hasil pemilu presiden putaran pertama yang sudah dihitung dan sudah
diumumkan oleh KPU tanggal 26 Juli 2004 menempatkan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada urutan pertama dengan perolehan suara
39.838.184 (33,57%) disusul oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim
Muzadi dengan perolehan suara 31.569.104 (26,61%). Selanjutnya yang
memperoleh suara pada urutan ketiga yaitu pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid
dengan perolehan 26.286.788 (22,15%), kemudian pada urutan keempat Amin
Rais-Siswono Yudhohusodo dengan perolehan 17.392.931 (14,66%), dan terakhir
pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar dengan perolehan suara 3.569.868 atau
3,01% (lihat: Lampiran 2).
Pemilih yang terdaftar secara keseluruhan pada pilpres putara pertama
sebanyak 153.320.544 pemilih. Dari hasil pemungutan suara presiden putaran
pertama, jumlah pemilih yang ikut mencoblos sebanyak 122.293.844 (79,76%)
dan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya/golput sebanyak
31.026.700 (20,24%). Dari seluruh jumlah pemilih yang mengikuti pencoblosan
yakni sebanyak 122.293.844 pemilih, terdapat 119.656.868 (97,84%) surat suara
yang sah dan 2.636.976 (2,16%) suarat suara yang tidak sah (lihat: Lampiran 2).
Jadi keseluruhan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara
113Ibid.,
h. 93.
yang tidak sah pada pemilu presiden putara pertama sebesar 33.663.676 (21,96%)
pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput.
3. Pemilu Presiden Putaran Kedua
Pemilu presiden putara kedua dilaksanakan mengingat tidak ada pasangan
yang mencapai suara 50% lebih. Sesuai dengan pasal 67 UU No. 23 tahun 2003
tentang pemilu presiden dan wakil presiden menetapkan bahwa dalam hal tidak
ada pasangan calon terpilih yang memperoleh suara lebih dari 50% di lebih dari
separuh jumlah provinsi di Indonesia, maka dua pasangan yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam
pemilu.114 Dalam pasal ini, artinya pemilu dilaksanakan dengan dua tahapan untuk
memilih kembali dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak pertama
dan kedua tersebut.
Dengan melihat hasil rekapitulasi dari KPU, maka hasil penghitungan
suara pemilu presiden dan wakil presiden 2004 putaran pertama di kantor KPU
pada Senin malam (26/07), hasilnya yang menempati perolehan suara pada urutan
pertama adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (39.838.184
suara) dan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (31.569.104 suara).
Ke dua pasangan ini berhak mengikuti pemilu presiden putaran kedua. Sementara
itu pasangan Wiranto-Salahudin, Amin Rais-Siswono Yudohusodo, dan Hamzah
Haz-Agum Gumelar secara berturut-turut menempati urutan ketiga, keempat dan
kelima.115
114Ibid.,
115Ibid.,
h.107.
h.106-107.
Jadi jelas dengan melihat hasil perolehan suara dari masing-masing
pasangan tadi, mengingat masing-masing pasangan tidak ada yang mendapatkan
lebih dari 50% suara di lebih dari separuh jumlah provinsi, maka pemilu presiden
dilaksanakan dengan dua putaran.
4. Hasil Pemilu Presiden Putaran Kedua
Hasil pemilu presiden putaran kedua diumumkan oleh KPU di Hotel
Borobudur, Jakarta (04/10). Dari hasil yang diumumkan tersebut menetapkan
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla resmi
dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilu presiden dan wakil presiden 2004.
Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan sejak 2 Oktober malam hingga 4 Oktober
siang, jumlah suara sah seluruhnya 114.257.054 dan suara tidak sah 2.405.651
(2,05%).116 Dari perolehan suara tersebut didapatkan bahwa pasangan SBY-JK
dengan nomor urut 4 mendapat 69.266.350 (60,62%) suara. Sedangkan pasangan
Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dengan nomor urut 2 mendapat
44.990.704 (39,38%) suara.117 Dengan demikian maka pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2004-2009.
Keseluruhan jumlah pemilih terdaftar sebesar 150.644.184 pemilih. Dari
seluruh jumlah tersebut, jumlah pemilih yang mengikuti pemilihan sebesar
116.662.705
(77,44%)
pemilih,
sementara
jumlah
pemilih
yang
tidak
menggunakan hak pilihnya sebesar 33.981.479 pemilih (22,56%). Dari
116.662.705 pemilih, terdapat suara sah sebanyak 114.257.054 (97,94%) suara,
sedangkan suara yang tidak sah sebanyak 2.405.651 (2,06%) suara (lihat:
116Ibid.,
117Ibid.
159.
Lampiran 3). Jadi keseluruhan jumlah pemilih pada pemilu 2004 pada putaran
kedua yang tidak menggunakan hak pilihnya dan suara yang tidak sah sebesar
36.387.130 (24,15%) pemilih. Jumlah tersebut oleh sebagian orang disebut golput.
BAB IV
FENOMENA GOLPUT DI IDONESIA
PADA PEMILU 2004
A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat
Seperti yang telah dibahas pada Bab III, bahwa Pemilu 2004 adalah
pemilu pertama di Indonesia untuk memilih langsung presiden dan wakil
presiden, anggota DPR, dan memilih lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Pada pemilu kali ini partai politik yang mengikuti pemilu
sebanyak 24 parpol. Artinya, hanya setengah dari jumlah parpol peserta pemilu
1999. Juga yang membedakan dengan pemilu sebelumnya yaitu adanya sistem
proposional terbuka.
Penyelenggaran pemilu 2004 ini diadakan pada era Reformasi yang
ditandai dengan adanya kebebasan kepada rakyat untuk menentukan atau memilih
calon pemimpin, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka. Berbeda
dengan masa Orde Baru memilih terkesan sebagai kewajiban, rakyat dimobilisasi
untuk memilih dan para pejabat sipil diwajibkan memilih partai pemerintah.
Birokrasi pemerintahan seperti pegawai negeri sipil tidak dibuat netral. Melalui
korpri, pegawai negeri ini menyalurkan aspirasi politiknya ke Golkar,118sehingga
tidak heran sebelum pemilu hasilnya sudah bisa ditebak terlebih dahulu karena
pemenang sudah ditentukan oleh sistem yang ada.
118Denny
J.A., Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998 (Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2006), h. 48.
Pasca Orde Baru tumbang dan bergantinya era Reformasi, masyarakat
sudah tidak bisa dimobilisasi lagi oleh pemerintah, mereka bebas memilih dan
sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika para elit
politik tidak bisa memberikan yang terbaik, maka konsekuensinya rakyat tidak
akan memilih elit politik tersebut. Bahkan ketika masyarakat sudah tidak percaya
terhadap partai politik, pemerintah, ataupun terhadap tatanan sistem yang ada,
maka tidak jarang mereka mengekspresikannya dengan sikap apatis atau masa
bodoh terhadap pemilu, mereka beranggapan bahwa mengikuti pemilu baginya
tidak akan memengaruhi apa-apa.
Tingginya angka golput pada pemilu 2004 seperti yang sudah dijelaskan
pada Bab III, serta berdasarkan berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh
berbagai lembaga yaitu sebagai refleksi atas ketidakpercayaan politik dari para
pemilih terhadap partai politik atau elit-elit politik yang ada.
Memang harus diakui, pemilu 2004 diadakan di tengah-tengah
menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, khususnya partai
politik yang sedang berkuasa. Berbagai studi yang dilakukan beberapa lembaga
menunjukkan rendahnya kepercayaan pemilih kepada partai politik. Akibatnya
para pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu 1999 belum tentu
menggunakan haknya pada pemilu 2004. Juga para pemilih yang dulunya memilih
partai tertentu, tidak ada jaminan pada pemilu 2004 akan memilih partai yang
sama. Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES menunjukkan lebih dari separuh
(51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada satu partai
politik pun yang memperhatikan suara rakyat.119
119Muhammad
Asfar, Presiden Golput, (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 304.
Akibat dari menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap parpol bisa
dilihat dari hasil perbandingan perolehan suara pada pemilu 1999 dengan
perolehan suara pada pemilu 2004. Lima besar parpol pemenang pemilu 1999
gagal memelihara kepercayaan rakyat. PDIP sebagai partai berkuasa semula
memperoleh 35.689.073 (33,74%) suara pada pemilu 1999, lalu anjlok ke
peringkat kedua dengan perolehan suara 21.026.629 (18,53%) pada pemilu 2004.
Meskipun perolehan Golkar mengalami sedikit kenaikan menjadi nomor satu pada
pemilu 2004, Golkar juga sama-sama mengalami penurunan presentase suara dari
22,44% (1999) menjadi 21,58% (2004). PKB dan PPP mengalami nasib serupa.
Sementara PAN yang awalnya berada di nomor urut kelima pada pemilu 1999
dikalahkan oleh pendatang baru yakni Partai Demorat dan PKS. Yang lebih tragis
lagi angka golput berada pada urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka
diperkirakan mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif.120
Jika melihat temuan di atas, ternyata sama dengan hasil perolehan pemilu
yang sesungguhnya, yakni jika perolehan suara tidak sah ditambah dengan suara
yang tidak hadir pada pemilu legislatif 2004, maka hasilnya mencapai 23,34%.
Jumlah suara tersebut jelas sangat menggangu terhadap legitimasi para elit politik
yang berkuasa. Begitu juga pada pemilihan presiden, jumlah golput (suara yang
tidak sah ditambah pemilih yang tidak hadir) pada pilpres putaran pertama
sebagaimana yang sudah dibahas di Bab III juga tinggi yakni sebesar 33.663.676
(21,96%) suara. Sementara jumlah golput pada perolehan suara pilpres putaran
kedua lebih besar lagi yakni mencapai 36.387.130 (24,15%) suara.
120
05.
Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan
Angka-angka tersebut di atas, jika dibandingkan dengan tingkat
ketidakhadiran pemilih di Amerika Serikat, yang rata-rata 40-50 persen, memang
tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, jika dibandingakan dengan tingkat ketidakhadiran
di bebrapa negara di Eropa yang memakai sistem proporsional, tingkat
ketidakhadiran di atas sebenarnya cukup tinggi. Oleh karena itu, tingginya angka
goloput pada pemilu 2004 ini harus mendapatkan perhatian serius dari semua
pihak,121 sehingga reformasi yang sedang berjalan ini pemerintahannya benarbenar legitimate.
Lantas apa yang menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004?
Sesuai dengan data-data yang penulis dapatkan, setidaknya terdapat tiga sebab.
Pertama, disebabkan oleh banyaknya kegagalan pemerintah saat itu, mulai dari
kegagalan dalam memenuhi janji reformasi, kegagalan komunikasi politik
menjelaskan kesulitan yang ada, kegagalan partai untuk melakukan pendidikan
politik,122serta kegagalan dalam perbaikan ekonomi. Dengan melihat realitas yang
ada, kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah dan lembaga parlemen baik di
pusat maupun di daerah meningkat tajam. Hasil survei LSI pada April 2004,
walaupun secara makro ekonomi terlihat adanya peningkatan, akan tetapi sekitar
44,7% pemilih memandang buruk kondisi ekonomi nasional saat itu, sekitar
27,2% memberikan nilai sedang, 16,0% memberikan nilai sangat buruk dan 7,3%
saja yang memberikan nilai baik. Dari hasil survei tersebut terlihat gambaran
kekecewaan masyarakat terhadap partai politik yang berkuasa saat itu.123
121Muhammad
Asfar, Presiden Golput, h. 300.
J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia
(Yogyakarta:LKIS, 2006), h. 64.
123Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol. 4, No. I. 2004, h. 17.
122Denny,
Hasil survei LSI juga menunjukkan sekitar lebih dari 60% responden
menilai hidup di era Orde Baru lebih baik dibandingkan di era Reformasi. Tidak
sampai 25% yang mengaku hidup di era sekarang lebih baik.124 Maka dari itu
jangan heran apabila suara Golkar pada pemilu 2004 ini mengalami peningkatan
dibandingkan dengan PDIP, karena masyarakat menganggap Golkar identik
dengan Orde Baru. Penelitian yang dilakuakan oleh Pusat Studi Demokrasi dan
HAM (PuSDeHAM), Surabaya terhadap 2.332 pemilih di Jawa Timur
menunjukkan, hanya 4,8% yang mengaku pemerintahan Megawati berhasil dan
lebih dari 70% tidak percaya lagi pada PDIP.125
Alasan kekecewaan mereka tidak percaya juga cukup beragam, mulai dari
keterlibatan atau setidaknya ada dugaan anggota DPRD dari Fraksi PDIP dalam
penyalahgunaan APBD, dugaan keterlibatan many politics dalam berbagai kasus
pemilihan gubernur/walikota/bupati dari PDIP dalam menjalankan roda
pemerintahan sampai sikap-sikap pejabat publik anggota dewan dari PDIP yang
tidak memihak wong cilik, seperti dalam menyikapi masalah penggusuran,
pedagang kaki lima, tukang becak, kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan
sebagainya. Semua ini yang mendorong pemilih untuk tidak hadir ke bilik
suara.126
Kedua, di samping kekecewaan terhadap partai yang berkusa, penilaian
masyarakat menjadi antipati terhadap parpo-parpol yang ada. Masyarakat sudah
tidak percaya terhadap janji elit-elit partai. Partai politik telah gagal menjadi
refresentasi politik masyarakat. Akibatnya aspirasi, harapan, ketakutan, keinginan
publik tidak tertangkap dan tersaluarkan lewat wadah partai-partai politik dan
Muhammad Asfar, Presiden Golput,h. 303.
h.303.
126 Ibid., h.303-304.
124
125Ibid.,
pada akhirnya timbul sikap kecewa terhadap partai-partai politik tersebut.127 Alihalih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai politik ternyata asyik dengan
kepentingannya sendiri. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja:
kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal,
ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dan yang lainnya. Semuanya itu
tampak tidak dihiraukan oleh partai-partai politik. Padahal ketika mereka
berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh
karena itu, tidak heran ketika rakyat kemudian psimis dan kecewa terhadap partaipartai politik yang ada. Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka
hanya selalu dijadikan “objek” pengatasnamaan rakyat.128 Sikap kekecewaan
tersebut terungkap seperti disampaikan Bung Idris, penelepon dari Bogor pada
acara “Parliament Watch” Metro TV bahwa partai politik selama ini kurang ada
keberpihakan kepada rakyat, elit-elitnya yang duduk di DPR malah lebih setia
kepada partainya ketimbang kepada rakyat yang memilih.129
Kekecewaan publik terhadap kinerja partai-partai politik yang kurang
memuaskan diakui juga oleh Ali Maskur Musa dari PKB. Kinerja partai-partai
tersebut
menurutnya
lebih
berakar
dari
rekrutmen
partai
yang
tidak
memperhatikan timbal balik antara yang memilih dan yang dipilih. Sehingga
sering kali anggota dewan kurang memperhatikan yang diwakili. Ini disebabkan
karena dahulu, pimpinan partai tidak memilih tokoh-tokoh yang dekat dengan
pemilihnya. Dengan sistem proporsional tertutup, siapa yang dekat dengan DPP
127Denny,
128Mahrus
J.A. Memperkuat Pilar Kelim: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 19.
Irsyam dan Lili Romli, ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h.
142.
129“Memilih
Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament Watch:
Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), h. 146.
merekalah yang dicalonkan dan publik tidak diberi kesempatan untuk memilih
orangnya.130
Mengenai kekecewaan tersebut, dalam hal ini setidaknya terdapat tiga
masalah utama yang berhubungan erat dengan tingkat adaptasi dari partai politik
dengan lingkungan yang berubah. Pertama, permasalahan korupsi dan permainan
uang yang begitu akut, baik di tingkat partai politik, parlemen, dan birokrasi
pemerintah. Kedua, krisis lapangan pekerjaan yang tidak selesai-selesai sebagai
turunan dari krisis ekomoni nasional. Ketiga, ketimpangan ekonomi yang begitu
dalam di antara kelas-kelas sosial.131 Kompleksitas ini yang menyebabkan tingkat
partisipasi masyarakat menurun.
Fakta korupsi besar-besaran terhadap aset publik baik di lembaga
birokrasi, parlemen, dan segenap instansi ini terlihat dari laporan lembagalembaga internasional tahun 2003. Transparency Internasional yang memantau
permasalahan korupsi di berbagai negara menunjukkan bahwa Indonesia bersama
Kenya berada di posisi keenam sebagai negara terkorup di dunia. Sementara
dalam kawasan Asia, Indonesia berada pada urutan tiga besar bersama Banglades
dan Miyanmar. Pada level Asean, Indonesia berada pada urutan kedua. Isu
korupsi inilah yang membuat masyarakat kecewa terhadap pemerintah
sebagaimana yang diungkapkan
Arief Budiman bahwa “…isu korupsi telah
130 Pernyataan ini disampaikan dalam acara Parliament Watch tanggal 6 Februari 2003 di
Metro TV. Lihat: “Memilih Politisi dalam Sistem Pemilihan Terbuka,“ dalam Denny J.A, Parliament
Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 146.
131Asep Ridwa, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 57.
membuat
rakyat
kehilangan
kepercayaan
kepada
pemerintah
dalam
memberantasnya….”132
Di samping korupsi di atas, krisis ekonomi masih menjadi krisis yang
parah. Ledakan partisipasi politik seiring dengan transisi politik menuju
demokrasi sejak 1998 diikuti oleh ledakan pengangguran yang sangat tinggi.
Imbas krisis tersebut telah meningkatkan angka pengagguran tahun 1998 sebesar
5,1 juta orang atau 5,46% dari jumlah angkatan kerja.133 Kekecewaan masyarakat
sebenarnya cukup beralasan karena mengingat pada masa Orde Baru,
pertumbuhan ekonomi setidaknya membuat kemakmuran untuk mereka.
Sebagaimana yang diutarakan oleh Prof. William Liddle sebagai berikut:
“Saya bisa mengerti kenapa sebagian masyarakat suka pada masa itu.
Sebab selama 30 tahun ada pembangunan ekonomi, kira-kira 6% per
tahun. Sehingga masyarakat merasa Orde Baru membawa kemakmuran
buat mereka, dan sekarang laju pertumbuhan tidak secepat itu. Kita bisa
mengerti kalau ada kekecewaan dengan pemerintahan demokratis.”134
Sementara fungsi parpol yang dikatakan sebagai wadah agregasi dan
artikulasi kepentingan rakyat, sebagai wadah penyalur asprasi rakyat, sebagai
pereda konflik seakan-akan tidak ada gunannya, tidak berfungsi. Malahan partai
itu sendiri yang mempertontonkan hal-hal yang tidak etis yang semestinya tidak
boleh terjadi. Misalnya konflik yang sering terjadi di tubuh parpol sendiri yang
sudah menjadi santapan rutin masyarakat kala itu, di antara elit politik partai
terjadi gontok-gontokan, memperebutkan posisi dan jabatan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah yang berujung pada terpragmentasinya partai-partai
132 Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch
tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro TV,
Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 48.
133Asep Ridwan, ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia,” h. 59-60.
Lihat juga “Indonesia dalam Krisis,”Kompas 2002.
134Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch
tanggal 1 April 2004. Lihat “Pemilu dan Perubahan Kekuasaan,” dalam Talk Shaow Denny J.A Metro
TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi, h. 15.
politik yang ada. Begitulah keadaan partai politik di Indonesia, terpragmentasinya
partai-partai politik hanya karena elitnya tidak bisa menerima kekalahan. Pihak
yang kalah segera membuat partai tandingan. Partai yang tidak lolos verifikasi
Depkeh juga tidak dapat menerima dengan ikhlas, aneka gugatan juga dibuat,135
dengan demikian yang sering terjadi adalah keributan di tingkat elit-elit politik.
Ketiga, masyarakat melihat bahwa elit-elit politik yang muncul
kebanyakan masih dimainkan oleh elit-elit lama yang memang dirasa tidak bisa
membawa perubahan. Bagi mereka yang kecewa beranggapan bahwa kebanyakan
tokoh yang muncul masih warisan “lama” zaman Orde Baru Soeharto. Tokoh
yang memang benar-benar baru jumlahnya hanya sedikit. Padahal reformasi
membutuhkan tenaga baru yang bisa membawa angin segar.136 Jadi mereka yang
kecewa menganggap bahwa pemilu 2004 sama saja seperti pemilu-pemilu
sebelumnya yang hasilnya tidak bisa diharapkan. Intinya hiruk pikuk politik
selama pasca Orde Baru tidak membawa perubahan yang sangat signifikan pada
masyarakat.
Contoh kasus, ketidakhadiran pemilih pada pemilu presiden nampaknya
ditopang oleh pigur-pigur pasangan capres-cawapres yang dianggap tidak cukup
kredibel dalam menyelesaikan persoalan dan mengatasi tantangan bangsa ke
depan. Ada capres yang dianggap kredibel, namun cawapresnya diangap tidak
kredibel, begitu juga sebaliknya. Penilaian ini terutama diberikan oleh pemilih
terpelajar seperti mahasiswa. Di mata mahasiswa pasangan capres-cawapres
memiliki track record kelam di masa lampau.137 Dalam hal ini pemilih lebih
135Denny
J.A. Partai politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006), h.60.
Budiman, “Demokrasi, Materi, dan Golput,” dalam Luthfi Assyaukanie dan Stanley,
ed., Kebebesan Negara Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 13.
137Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 305.
136Arief
dilatarbelakangi oleh faktor psikologis yang mengakibatkan mereka kecewa,
karena mereka melihat pasangan yang maju tersebut dianggapnya tidak akan bisa
membawa perubahan.
Adanya dominasi elit-elit lama, misalnya bisa dilihat dalam hal
menentukan regulasi calon presiden di DPR, fraksi-fraksi yang ada masih
mempertahankan elit-elit lama yang akan diajukan menjadi presiden dan wakil
presiden tersebut agar masuk bursa calon presiden. Dalam hal merumuskan
regulasinya juga tidak jarang berujung pada kepentingan politik jangka pendek
yang berakhir dengan happy ending daripada memutuskan berdasarkan
standarisasi yang rasional berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Ambil contoh
Fraksi Golkar dalam menentukan electoral threshold mengajukan usul 35%,
pemerintah 25%, sedangkan partai-partai lainnya mengusulkan hanya 3%.
Berkaitan dengan syarat pendidikan Fraksi Partai Golkar, Fraksi Reformasi dan
Fraksi Bulan Bintang mengajukan syarat minimal S1, sedangkan Fraksi PDIP
menentangnya dengan mengajukan cukup dengan syarat SLTA. Mengenai
persyaratan kesehatan jasmani dan rohani didukung oleh semua fraksi kecuali
Fraksi PKB yang menolaknya. Sementara tentang larangan terdakwa, semua
fraksi menyetujuinya kecuali Fraksi Golkar yang menetangnya. 138
Dari perdebatan di atas terlihat jelas bahwa fraksi-fraksi yang ada di DPR
hanya mementingkan golongannya masing-masing, sedangkan agenda besar
jangka
panjang
yang
seharusnya
memutuskan
berdasarkan
rasionalitas
kepentingan nasional bangsa Indonesia tidak mereka pikirkan. Dalam hal ini
terlihat jelas dengan saling adu serangnya setiap fraksi dalam menentukan regulasi
138Lili Romli, “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan
Kesimpulan,” dalam Lili Romli, dkk., Pemilihan Presiden Langsung 2004 dan Masalah Konsolidasi Demokrasi
di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 183.
syarat pencalonan presiden tersebut. Misalnya Fraksi Golkar mengusulkan
electoral threshold 35% dalam upaya untuk mengganjal calon-calon lain, serta
menaikkan posisi tawar Partai Golkar, sementara partai yang menolaknya tentu
saja untuk memperlancar calon presiden yang mereka usung. Sementara mengenai
sehat jasmani dan rohani dimaksudkan untuk mengganjal Gus Dur, sedangkan
syarat pendidikan harus mimimal S1 dimaksudkan untuk menganjal Megawati
yang pendidikannya tidak sampai kuliah, walaupun ia sempat kuliah. Sementara
larangan terdakwa untuk mengganjal Akbar Tanjung. Seperti diketahui umum,
pada waktu itu Akbar Tanjung sedang berstatus terdakwa terkait dengan masalah
korupsi Bulog.139
.
Dengan demikian, maka keputusan untuk menentukan regulasi tersebut
disepakati berdasarkan kompromi-kompromi sebagai berikut: untuk batasan
electoral threshold ditentukan parpol atau gabungan parpol yang memenuhi
persyaratan perolehan suara 3% dari jumlah kursi di DPR. Dalam hal pendidikan,
terjadi kompromi bahwa syarat minimal adalah SLTA. Dengan syarat seperti ini,
maka Megawati dapat lolos menjadi capres. Sebagai kompensasi atas dukungan
syarat pendidikan SLTA, maka larangan terdakwa menjadi presiden dihapus, lalu
sebagai gantinya dicantumkanlah syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.” Mengenai kesehatan
jasmani dan rohani, akhirnya semua fraksi mencabut larangan itu dan
dikembalikan ketentuannya berdasarkan pada pasal 6 UUD 1945. Dengan
ketentuan ini akhirnya Gus Dur tidak lagi terganjal dengan persyaratan tersebut,
139Ibid.,
h. 182-183.
ini sebagai hadiah untuk PKB yang telah mencabut usulannya tentang larangan
terdawa dan syarat SLTA, walaupun dalam perkembangannya akhirnya Gus Dur
tetap terganjal dengan ketentuan pasal 6 ayat d UU No. 23 tahun 2003 yang
menyatakan “mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.” Dalam hal ini KPU sebagai
penyelenggara pilpres berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
yang memerikasa semua kesehatan capres dan cawapres menyatakan Gus Dur
tidak lolos.140
Dengan mulai meningkatnya rasionalitas rakyat, maka pada pemilu 2004
ini masyarakat memberikan pelajaran kepada para politisi kita, sebagai wakil
rakyat, sebagai pemimpin negara, mereka harus memperhatikan kepentingan
rakyat. Turunnya tingkat partisispasi pemilih (registered voter turnout) pada
pemilu kali ini, menghukum para elit-elit politik kita bahwa ketika kepentingan
dan aspirasi rakyat tidak diperhatikan, maka rakyat menjadi golput.141
B. Golput karena Masalah Teknis
Di samping kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik,
khususnya elit yang sedang berkuasa pada waktu itu, meningkatnya angka golput
juga disebabkan oleh adanya kendala teknis, baik kesalahan dalam hal pendataan
KPU/Lembaga Statistik maupun tata cara pencoblosan yang tidak benar.
Mengenai faktor kesalahan pendataan penduduk dapat diketahui misalnya
pada saat pengumuman penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU
menyebutkan mengenai sejumlah faktor yang menyebabkan meningkatnya angka
h. 184-185.
Diakses 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05.
140Ibid.,
141
golput, diantaranya yaitu masih adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali
di tempat yang berbeda, adanya pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali di
tempat yang sama, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena
pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih akan tetapi
sudah mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang
masih terdaftar, adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih dan
tidak datang ke TPS142. Faktor teknis inilah yang juga penyebab meningkatnya
angka golput pada pemilu 2004 lalu.
Faktor kendala teknis di atas, salah satunya dipicu oleh pendaftaran
pemilih yang telah lebih dahulu dilakukan oleh KPU bekerja sama dengan Biro
Pusat Statistik (BPS) yang disebut dengan P-4B. Seperti yang sudah penulis
jelaskan pada bab III, pendataan seperti ini jika tidak didukung dengan data-data
baru dari RT/RW di lapangan maka akan menyebabkan data kurang akurat,
banyak pemilih yang semestinya terdaftar sebagai pemilih tidak masuk dalam
daftar pemilih. Setelah hari H baru terungkap ada jutaan warga yang belum
terdaftar. Di DKI Jakarta saja tercatat ada sekitar 2 juta warga yang sebenarnya
berhak memilih tetapi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. 143
Didik Supriyanto, Koordinator Bidang Pengawas Pemilu (Panwas),
membenarkan bahwa penyebab naiknya golput adalah daftar pemilih yang tidak
“bersih”. Artinya masih ada pemilih yang tidak dikenal atau yang semestinya
tidak berhak memilih, tetapi tercantum dalam daftar. Pertambahan jumlah pemilih
pun pantas diragukan. Sebagai perbandingan, pada pemilu 1999 jumlah pemilih
142Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/
Mengana-golput.
143Topo Santoso, “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya,” Jurnal Demokrasi dan
HAM, Vol. 4, No.I, 2004.
terdaftar hanya 118,158 juta orang. Namun, dalam lima tahun saja, jumlah pemilih
terdaftar melejit menjadi 148 juta pada pemilu legislatif dan 155,048 juta pada
pemilu presiden dan wakil presiden putaran pertama. Pertambahan jumlah pemilih
ini patut diragukan mengingat tidak mungkin pertambahan pemilih yang begitu
pesat hanya dalam lima tahun saja. Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Umum KPU
2004 juga mengakui, bahwa dari total pemilih terdaftar, terdapat sekitar 2,5 persen
yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 144 Dari pemaparan di
sini jadi jelas bahwa menigkatnya angka golput pada pemilu 2004 diantaranya
juga disebabkan karena adanya faktor pendataan yang kurang akurat.
Di samping adanya kesalahan teknis KPU tadi, ada juga yang disebabkan
karena teknis lain misalnya kesalahan pencoblosan, dalam hal ini tata cara
pencoblosan yang tidak benar bisa menyebabkan surat suara menjadi rusak.
Banyak masyarakat yang belum paham tentang tata cara pencoblosan yang benar
ditambah surat suara yang terlalu lebar mengakibatkan kesulitan bagi pemilih
dalam membuka kertas suara tersebut.
Satu kasus pernah terjadi pada pemilu presiden putaran pertama, banyak
pemilih tidak membuka lebar-lebar kertas suaranya dan mengakibatkan kertas
suara tercoblos dua. Kertas suara tercoblos dua yang menembus sampai bagian
depan menjadi kontroversi antara sah dan tidak, banyak petugas di lapangan
menganggap surat suara tersebut tidak sah. Akan tetapi, surat suara tersebut masih
bisa
diselamatkan
oleh
KPU
dengan
surat
edarannya
ber-Nomor
1151/15/VII/2004 yang menyebutkan bahwa surat suara yang dicoblos dalam
kondisi terlipat dua secara horizontal, yang mengakibatkan coblosan menembus
144Diakses
Mengapa-golput
pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/
ke halaman judul, tetap dinyatakan suara sah. Walaupun demikian, Penulis
menduga, dari kasus salah coblos tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya
coblosan yang mengenai calon lain dan jelas ini menjadi suara tidak sah.
Dalam hal kesalahan pencoblosan, menurut penulis terjadi setidaknya
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pemilih kurang memahami cara
pencoblosan yang benar. Pemilu 2004 adalah pemilu pertama dengan sistem dan
tata cara pemilihan yang berbeda dengan pemilu sebelumnya, yaitu adanya sistem
proporsional terbuka yakni nama-nama caleg terpampang dengan jelas, berbeda
dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang hanya memilih partai. Dengan perbedaan
seperti ini pemilih kurang memahami cara pencoblosan dengan benar. Kurangnya
pemahaman terhadap tata cara pencoblosan, ada kemungkinan juga disebabkan
faktor sosialasi. Penulis menduga bahwa sosialasi pada pemilu 2004 tidak sampai
pada masyarakat luas. Walaupun sering juga dilakukan lewat berbagai macam
media, sepertinya banyak masyarakat kurang memperhatikan hal tersebut.
Kurangnya informasi yang didapatkan oleh masyarakat, diperkuat juga
oleh temuan LSI terhadap dua data survei. Survei pertama di 220 desa dan kota di
semua provinsi kecuali Aceh bulan Agustus 2003. Survei kedua bulan November
2003 di 370 desa dan kota di seluruh provinsi termasuk Aceh. Kesimpulan yang
didapat bahwa pengetahuan pemilih mengenai pemilu tidak memadai. Banyak
pemilih yang tidak tahu apa itu DPD atau KPU.145 Jika terhadap lembaga yang
akan dipilih saja tidak tahu, tidak bisa diharapkan pula mereka mengetahui tata
cara pencoblosan yang benar.
Dengan minimnya sosialisasi pelaksanaan teknis pemilu 2004 lalu, banyak
145Denny,
J.A. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei Indonesia, h. 62-63.
masyarakat yang masih belum paham mengenai aturan baru pada pemilu tersebut.
Dalam hal ini Ray Rangkuti, Koordinator Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) Nasional mencontohkan, peraturan pemilihan yang baru, surat suara
dikatakan sah apabila pemilih mencoblos nomor atau tanda gambar dan atau nama
caleg. Artinya, masih sah jika si pemilih hanya mencoblos nomor atau tanda
gambar saja. Surat suara dianggap tidak sah jika si pemilih hanya mencoblos
nama caleg sementara nomor atau tanda gambar tidak dipilih. Jadi, golput bukan
semata-mata sebagai ekspresi perlawanan atau sikap politik saja. Akan tetapi, bisa
juga muncul lantaran soal teknis146disebabkan kurangnya pemahaman terhadap
aturan baru.
Jadi dengan adanya sistem proporsional terbuka dengan tata cara
pencoblosan yang rumit ini mengakibatkan masayarakat banyak yang salah dalam
hal pencoblosan. Mereka banyak yang tidak tahu bagaimana mencoblos dengan
benar. Memang kenyataan tentang kemungkinan kurangnya pemahaman pemilih
mengenai pemberian suara ini tanda-tanda awalnya sudah nampak pada saat
simulasi pemilu dilakukan di beberapa tempat. Tidak sedikit suara pemilih
mengalami nasib dinyatakan tidak sah.147
Pemilu legislatif
2004 lalu memang menyisakan problem “memilih
kucing dalam karung.” Profil partai terlihat mendominasi pilihan politik. Namanama calon sepertinya tidak tersosialisasi dengan baik. Kalaupun tersosialisasi,
banyaknya daftar nama caleg membuat para pemilih kurang mengakses informasi
para caleg secara keseluruhan. Pengetahuan tentang calon legislatif hanya
146
Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://www2.kompas.com/kompas.com/kompascetak/0304/28/nasional/280770.htm
147Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan
Pemerintah,” dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi (Jakarta: P3I Setjen
ADPR RI, 2003), h. 22.
sebagian dan minim. Sehingga tidak sedikit orang yang kemudian salah coblos,
bingung atau ada juga yang mencoblos sekenanya tanpa mengetahui profil nama
caleg yang sesungguhnya.148
Kenyataan ini yang menyebabkan adanya tuduhan terhadap sistem
proporsional terbuka yang dijalankan bersifat setengah hati, apalagi dalam
menentukan calon terpilih masih menggunakan nomor urut. Mereka yang
langsung memperoleh suara sesuai dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)
langsung menjadi anggota terpilih. Akan tetapi, sebaliknya apabila ternyata hasil
pemilihan tidak mencapai angka pembagi, maka untuk itu berlaku nomor urut
calon. Lagi-lagi masyarakat pemilih tidak dapat menghukum calon atau partai
yang tidak disukainya dengan mengalihkan suara ke partai atau calon lain secara
bersilang, karena tidak diijinkan oleh undang-undang.149
Kedua, pemilih di Indonesia mayoritas berpendidikan rendah yang
memang bukan sebagai pemilih rasional. Dengan banyaknya lambang partai,
mereka bingung harus memilih partai mana ketika masuk ke TPS yang pada
akhirnya pilihannya menjadi asal coblos, sekenanya. Juga dengan pencoblosan
yang rumit mengakibatkan banyak surat suara yang dinyatakan tidak sah
disebabkan kesalahan pencoblosan tadi. Berbeda dengan pemilu 1999, walaupun
banyak partai politik, tata cara pencoblosan pada pemilu tersebut tidak serumit
pada pemilu 2004. Apalagi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu Orde Baru
yang hanya diiukti oleh tiga gambar kontestan partai politik.
148
Diakses pada 27 Januari 2009 dari http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masadepan-golput-pada-pemilu-presiden/
149Prayudi, “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan Kelembaagaan
Pemerintah,” h. 22-23.
Sedangkan untuk pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang golput
sedikit mengalami penurunan menjadi 21,96%, angka ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan pemilu legislatif. Menurunnya angka golput menurut
penulis, pertama disebabkan tata cara pemilihan presiden tidak serumit pada
pemilu legislatif dan kontestan yang harus dicoblos juga tidak sebanyak gambar
parpol. Kedua, adanya dampak dari surat edaran yang dikeluarkan KPU Nomor
1151/15/VII/2004 terkait dengan kasus salah colos, dengan surat edaran tersebut
ternyata terbukti presentase suara tidak sah pada pemilu presiden putara pertama
menjadi rata-rata 2,17% dibandingkan dengan suara tidak sah pada pemilu
legislatif yang sampai mencapai 8,81%.150 Sementara pada pilpres putara kedua,
penulis menduga meningkatnya angka golput ada juga diantaranya disebabkan
oleh kejenuhan atau kelelahan pemilih. Pemilih sudah merasa jenuh dengan
mendatangi TPS-TPS, apalagi jika TPS-nya jauh dari tempat tinggal pemilih.
C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004
Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas, bahwa meningkatnya golput
pada pemilu 2004 bukan merupakan cerminan dari homogenitas sekelompok
orang yang merasa kecewa saja baik terhadap partai politik, elit-elit politik,
pemerintah maupun terhadap sistem politik yang ada. Akan tetapi, meningkatnya
jumlah golput juga disebabkan karena adanya kesalahan teknis, seperti kesalahan
pendataan KPU atau kesalahan teknis lainnya seperti dalam hal pencoblosan. Cara
pencoblosan yang tidak benar akan mengakibatkan kertas suara menjadi rusak.
150Tabrani
Sabirin, dkk., Pemilu Presiden 2004 (Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,2005), h. 93.
Mengenai golput sendiri sebenarnya masih debatable, ada yang
mengatakan bahwa golput khusus dialamatkan kepada orang yang memang
sengaja tidak mau memilih akibat dari kekecewaan masyarakat, ada juga yang
beranggapan pasca Orde Baru justru istilah golput mengalami pergeseran makna,
tidak ditujukan hanya kepada homogenitas kelompok yang khusus tidak mau
memilih saja akibat preferensi politik atau kekecewaan tadi, mengingat sistem
pemilu sudah tidak direkayasa lagi oleh pemerintah dan juga karena
banyak/beragamnya alasan mengapa orang golput dan beragam pula alasan
mengapa seseorang tidak mau memilih. Dalam hal ini tidak sedikit para pengamat
juga menggolongkan golput pada beberapa kategori, mengingat
golput yang
secara sadar susah dideteksi seberapa besarnya dan kalaupun bisa hanya lewat
lembaga-lembaga survei yang meneliti saja.
Dari pemaparan yang sudah dijelaskan di atas, penulis sendiri menarik
kesimpulan bahwa golput yang terjadi pada pemilu 2004 dapat digolongkan pada
tiga kategori seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab sebelumnya. Pertama,
golput politis yakni golput yang disebabkan karena sikap kekecewaan masyarakat
baik terhadap elit-elit politik, pemerintah berkuasa yang tidak bisa membawa
perubahan dan elit-elit politik yang hanya mementingkan dirinya. Kedua, golput
teknis administratif yang disebabkan karena kesalahan pendataan oleh KPU atau
Biro Pusat Statistik (BPS). Dan ketiga golput teknis non administratif yang
disebabkan karena kesalahan dalam pencoblosan, tidak hadir karena alasan yang
sangat mendesak seperti sakit keras, ke luar kota dan lain sebagainya yang bukan
disebabkan karena kekecewaan.
1. Golput Politis
Mengenai golput politis sama seperti golput era 70an sebagaimana yang
sudah penulis paparkan sebelumnya yaitu sebagai reaksi atas ketidakpuasan
terhadap pemerintah, terhadap sistem politik yang ada, maupun terhadap partaipartai saat itu yang selalu menjadi corong kekuasaan Orde Baru. Orang yang tidak
mencoblos benar-benar dari kesadaran dirinya sendiri akibat dari kekecewaan
masyarakat yang menganggap pemerintah atau elit-elit politik gagal membawa
bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Mereka lebih bersikap golput daripada
harus memilih.
Golput seperti ini biasanya dilakukan oleh kalangan terpelajar yang secara
akademis relatif mumpuni. Mereka sudah bisa membaca dan menganalisa baik
keberhasilan-keberhasilan pemerintah, para anggota wakil rakyat di DPR, para
elit-elit partai, maupun kekurangan-kekurangannya. Dengan penilaian tersebut
mereka menjadi kritis terhadap pemerintah, sehingga cara mereka menentukan
pemimpin pun benar-benar berdasarkan hitung-hitungan yang rasional, tidak asal
coblos. Jika partai dianggap gagal menyalurkan aspirasinya, maka mereka akan
golput. Sebaliknya jika partai dianggap mampu mengartikulasikan dan
mengagregasi kepentinganya, maka mereka akan memilih partai tersebut.
Sikap Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang menyatakan akan golput
disebabkan karena keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak
meloloskan beliau, termasuk juga dalam kategori golput ini. Gus Dur golput
karena merasa kecewa terhadap KPU dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang
menurutnya diskriminatif, menghalangi pencalonannya untuk menjadi presiden.
Sedangkan alasan Fadjroel Rahman tidak memilih karena dalam pandangannya
tidak ada satu pun calon yang berani dan terbuka mengajukan program mengusut
korupsi Orde Baru, menentang militerisme yang membela kekerasan masa lalu.151
Dari pengalaman pemilu 2004 tersebut, menurut penulis, banyaknya
kekecewaan masyarakat bukan disebabkan karena sistem politik atau karena
sistem pemilu. Berbeda dengan masa Orde Baru, kekecewaan memang
disebabkan oleh sistem politik yang otoriter dan sistem pemilu yang banyak
direkayasa oleh pemerintah untuk selalu memenangkan Golkar dan partai politik
yang ada waktu itu hanya dijadikan corong program-program pemerintah Orde
Baru yang keberadaannya tidak punya daya kritis sama sekali.
Pada pemilu 2004, sistem pemilu sudah banyak yang direvisi, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sendiri sebagai lembaga penyelenggara pemilu sudah
tidak bernaung di bawah lembaga pemerintahan lagi, KPU sudah independen,
mandiri. Ketidakpusaan masyarakat pada pemilu 2004, menurut penulis lebih
disebabkan karena faktor kekecewaan masyarakat terhadap elit-elit politik,
pemerintah yang kurang memperhatikan nasib rakyat, serta anggota DPR yang
saat ini (era Reforamsi) tidak bisa membawa perubahan, mereka lebih
mementingkan golongan sendiri-sendiri, KKN sering terdengar di mana-mana
yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi terhadap elitelit yang berkuasa.
Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang memang benar-benar tidak
memilih atas kesadaran sendiri yang disebabkan kekecewaan tersebut sangat sulit
diketahui. Sebab hasil dari KPU pun tidak ada data yang pasti berapa jumlah
orang yang golput atas kekecewaan tersebut, sebab hasil pemilu tidak disertai
151Tabrani
Syabirin, dkk., Pemilu Legislatif 2004, (T.tp: Komisi Pemilihan Umum, 2005), 156.
alasan mengapa ikut memilih, mengapa tidak ikut memilih, atau kenapa memilih
secara salah. Informasi ini hanya dapat dilihat berdasarkan survei pemilih.152
Dari hasil survei, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan
sebelum pemilihan umum legislatif 5 April 2004 lalu, diperoleh gambaran: 87
persen menyatakan akan ikut pemilu; 10,5 persen tidak ikut pemilu; 2,5 persen
menjawab tidak tahu. Proporsi 10,5 persen dari pemilih yang melaporkan tidak
ikut pemilu, apakah mereka golput dalam pengertian protes terhadap pemilu
karena dianggap tidak jurdil, tidak ada gunanya bagi pemilih, dan sebagainya?
Dari hasil temuan LSI, alasan di balik ketidakmauan ikut pemilu itu juga beragam.
Yang memandang pemilu tidak ada gunanya bagi pemilih, hanya menguntungkan
partai politik atau calon, amat kecil jumlahnya, sekitar 2,3 persen dari total warga
yang punya hak pilih.153
Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh survei LSI setelah pemilu
dilaksanakan. Pertanyaan yang disampaikan kepada responden adalah "Sejauh
manakah pemilu 5 April berjalan secara bebas dan adil?" dari pertanyaan tersebut
46,2 persen menyatakan amat jurdil tanpa masalah berarti; 26,9 persen
menyatakan jurdil dengan sedikit masalah teknis; 17,9 persen menyatakan jurdil
tetapi banyak hambatan teknis; 2,4 persen menyatakan tidak jurdil; dan selebihnya
menyatakan tidak tahu. Yang menyebutkan pemilu legislatif 5 April tidak jurdil
hanya 2,4 persen. Proporsi ini kurang lebih sama dengan hasil survei sebelum
pemilu yang menyatakan tidak ikut pemilu karena tidak ada gunanya bagi
pemilih.154
152Saeful Muzani, “Mitos Golput,” artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htm
153Ibid.
154Ibid.
Jika merujuk pada hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di atas
dapat disimpulkan, proporsi golput karena protes terhadap keadaan politik, partai
politik, atau terhadap calon yang bersaing dalam pemilu di matanya tidak ada
yang layak hanya sekitar 2,4%. Artinya mereka yang benar-benar golput atas
kesadaran untuk tidak memilih yang disebabkan kekecewaan hanya sekitar 2,4%.
Ini pun jika hasil surveinya valid.
2. Golput Teknis Administratif
Yang dimaksud dengan golput pada kategori ini yaitu golput yang
disebabkan karena kesalahan administrasi oleh KPU. Pemilih yang semestinya
memilih terganjal oleh data yang tidak akurat, sehingga masyarakat tidak bisa
memilih. Mereka tidak memilih bukan berdasarkan atas kekecewaan, akan tetapi
memang benar-benar atas kesalah teknis oleh KPU atau petugas pencatat data.
Seperti yang sudah di bahas di atas, bahwa meningkatnya angka golput
pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh data-data yang kurang akurat tersebut.
Ketidakakuratan data terlihat dengan banyaknya masyarakat yang mengaku belum
terdaftar. Kelalaian seperti ini menyebabkan suara berharga dari masyarakat jadi
sia-sia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ny. Nurul Hidayat, ketua PPS
Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat, kepada tim pemantau PPK dan PPS Kota
Jakarta Pusat, ia mengatakan bahwa di pemukimannya masih banyak warga yang
belum terdaftar sebagai pemilih. Bahkan walaupun ada yang sudah di daftar P-4B
tetap saja namanya tidak tercantum baik dalam DPT maupun dalam Daftar
Pemilih Tetap Tambahan (DPTT).155 Ungkapan yang sama juga dilontarkan oleh
155
“Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT,” berita diakses pada 24 Februari
2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136
Ketua PPS Kelurahan Bungur-Jakarta Pusat, Hasnan Manan, ia mengatakan
bahwa banyak warga yang tidak terdaftar petugas P-4B. menurutnya
kemungkinan pada saat pendaftaran, petugas statistik tidak melibatkan pengurus
RT/RW setempat, akan tetapi lebih kepada pendataan sistem per blok, akibatnya
banyak warga yang terlewatkan.156
Hal yang sama juga terjadi di Kuala Pembuang, ibu kota Kabupaten
Seruyan, Palangkaraya-Kalteng. Di sini ribuan warga yang bermukim di
pedalaman Kabupaten Seruyan, terancam tidak bisa mengikuti pemilu disebabkan
belum terdaftar sebagai pemilih, terutama yang bersal dari daerah-daerah yang
terisolasi serta para karyawan puluhan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa
sawit. Bupati Seruyan, Rasyidi Harun mengakui masih banyak warganya yang
belum terdaftar sebagai pemilih. Ia mengatakan yang menjadi penyebab adalah
kendala di daerah pedalaman yang mengakibatkan BPS kesulitan menjangkau
mereka sehingga data pemilih dan data penduduk jauh dari kenyataan.157
Data-data di atas merupakan gambaran dari sebagaian wilayah di
Indonesia yang teryata banyak warga yang belum terdaftar akibat kurang
akuratnya pendataan tersebut. Bahkan sampai batas limit 30 hari habis, di Kota
Denpasar, sampai hari terakhir ada daftar warga yang masih tercecer. Dalam hal
ini kritikan timbul dari ketua PPP Kota Denpasar, ia meragukan validitas data
yang dikeluarkan panitia P-4B, pasalnya banyak pendatang musiman yang turut
terdata sedangkan warga yang mengantongi KTP banyak lolos.158
Untuk mengetahui berapa jumlah golput yang berdasarkan atas kesalahan
156Ibid.
157“Ribuan
Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu,” berita diakses pada 24 Februarai 2009
dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/873674.
158“Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas,” berita diakses pada 24 Februari
2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3.htm
pendatan, penulis tidak menemukan data pasti. Akan tetapi jika melihat hasil
temuan survei Jaringan Universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk
Pemantau Pemilihan Umum 2004 (Jurdil Pemilu 2004) yang dilakukan selama
16-19 Februari 2004 atas 5.592 responden di 375 desa/kelurahan di 12 propinsi
ternyata cukup mengejutkan. Menurut hasil survei lembaga ini, ditemukan 9%
pemilih atau setara dengan 13,2 juta dari 147 juta pemilih belum terdaftar dan 4%
(5,88 juta) pemilih merupakan pemilih hantu atau pemilih yang sebenarnya tidak
ada. Rustam Ibrahim, Wakil Ketua Jurdil pemilu 2004 menerangkan bahwa hasil
survei itu menunjukkan 91% benar-benar telah terdaftar. Sisanya 9% belum
terdaftar karena namanya belum tercantum di DPT.159
Mengenai masih adanya jumlah pemilih yang belum terdaftar diakui juga
oleh Biro Pusat Statistik (BPS), namun jumlah tersebut berbeda dengan hasil
survei Jurdil di atas. Menurut BPS, jumlah pemilih yang belum terdaftar
diperkirakan tidak sampai setengah persen dari jumlah pemilih yang mencapai
146 juta orang berdasarkan data per 10 Januari 2004. Selain belum terdaftar,
menurut Soerdarti Surbakti, Kepala BPS, dalam pemilih tetap yang ada selama
ini, ada kemungkinan beberapa nama yang salah.160 Ramlan Surbakti, Wakil
Ketua Umum KPU 2004 juga mengakui, dari total pemilih terdaftar, terdapat
sekitar 2,5 persen yang merupakan pemilih yang tidak dikenal (ghost voters). 161
3. Golput Teknis Non-Administratif
159“Sebanyak 13,2 juta Pemilih Belum Terdaftar,” berita diakses pada 24 Februari 2009 dari
http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/906594.htm
160“Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%,” berita diakses pada 24 Februari 2009
dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm
161Diakses pada 27 November dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/
Mengana-golput.
Golput teknis non administratif adalah golput yang terjadi karena
kesalahan yang bukan disebabkan oleh pendataan penduduk seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Golput model ini misalnya disebabkan oleh kesalahan
pencoblosan yang menyebabkan surat suara menjadi tidak sah, juga berhalangan
hadir karena ada gangguan lain misalnya berhalangan hadir disebabkan karena
sakit parah, ketiduran, keluar kota dan lain-lain. Golput model ini—meminjam
ungkapan Eep Saefulloh Fatah—sebagai golput teknis-teknis tertentu.
Penulis melihat pada pemilu 2004, bahwa terjadinya peningkatan angka
golput juga disebabkan oleh faktor non teknis tersebut, misalnya untuk pemilu
presiden dan wakil presiden putaran pertama lalu, KPU juga sudah sempat
melontarkan alasan mengenai rendahnya tingkat partisipasi pemilih. Penurunan
tersebut diantaranya dikarenakan pada saat pemungutan suara 5 Juli 2004 lalu
bertepatan dengan final Euro 2004. Faktor lokal lain seperti tingginya mobilitas
masyarakat pada kota-kota besar dan buruknya cuaca di sejumlah tempat juga
sempat disebut salah satu yang memengaruhi penurunan partisipasi pemilih pada
pemilu 2004 lalu.162
Selain faktor di atas, ada juga faktor lainnya seperti surat suara yang
terlalu lebar, mengakibatkan surat suara tercoblos dua. Seperti yang sudah penulis
paparkan di atas, kejadian tersebut sempat menjadi perdebatan petugas di TPS
antara suara sah dan tidak. Walaupun pada akhirnya surat suara tersebut oleh KPU
dinyatakan sebagai suara sah, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya surat
suara yang tercoblos dua sampai menembus calon lain dan ini jelas menjadi suara
tidak sah. Faktor lainnya juga, bahwa pemilu kali ini menggunakan sistem
162Ibid.
proporsional terbuka dan rumit, tidak seperti biasanya yang hanya memilih
lambang partai. Dengan sistem seperti ini, Masih banyak pemilih yang belum
memahami pencoblosan dengan benar. Ditambah dengan banyaknya partai tidak
sedikit dari pemilih yang kebingungan. Dari hasil survei LSI pra pemilu legislatif,
yakni dua minggu menjelang pemilu dilangsungkan didapatkan bahwa “…sekitar
18 persen menyatakan belum tahu bagaimana mencoblos dengan benar….”Hasil
survei LSI setelah pemilu juga tidak jauh berbeda dengan hasil survei pra pemilu.
Dari hasil survei pasca pemilu didapatkan bahwa “…17,9 persen menyatakan
jurdil tetapi banyak hambatan teknis….”163Ini artinya bahwa 17,9 persen tersebut
adalah pemilih yang banyak mengalami kesulitan dalam pencoblosan disebabkan
karena faktor ketidaktahuan tata cara pencoblosan tersebut. Proporsi ini hampir
sama seperti hasil survei pra pemilu yakni 18 persen yang mengatakan belum tahu
bagaimana mencoblos dengan benar.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa 17,9 persen pemilih di atas
yang mengatakan memilih banyak hambatan tidak bisa digeneralisir sebagai
pemilih yang merusak surat suara akibat kurangnya pemahaman tersebut. Bisa
jadi orang yang tidak memahami tata cara pencoblosan pun secara kebetulan ia
mencoblos dengan benar. Yang jelas, hasil akhir suara yang tidak sah hanya
sebesar 8,81 persen. Ini pun sulit dideteksi apakah jumlah suara tidak sah tersebut
akibat dari kesalahan pencoblosan semata atau bukan.
D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik
Pasca Orde Baru
163Artikel
diakses pada 27 Januarai 2009 dari http://www2.kompas.com/kompascetak/0405/25/opini/1037926.htm
Teorisasi yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C.
Schmitter, Indoensia sepeninggal Soeharto memasuki fase “liberalisasi politik
awal.” Fase ini secara teoritis sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah ke
mana.” Menurut kedua pakar tersebut, transisi adalah interval antara suatu rezim
politik dan rezim yang lain. Transisi dimulai dengan proses perpecahan sebuah
rezim otoritarian dan pengesahan beberapa bentuk demokrasi; atau kembalinya
bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan aktor revolusioner. Ciri yang
menandai fase ini adalah ketika para penguasa otoriter, memulai memodifikasi
peraturan-peraturannya sendiri sebagai jaminan yang lebih kuat bagi hak-hak
individu dan kelompok.164
Sedangkan liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan
hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi
individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindasan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Liberalisasi politik pasca Orde Baru
antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat, setiap
kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun
dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya
luapan kebebesan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan
membentuk organisasi.165
Pada tataran akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil
bentuk huru-hara, kekerasan massa, atau paraktek penjarahan kolektif. Di
kalangan mahasiswa terjadi demonstrasi dan protes di mana-mana. Sementara
ledakan partisipasi politik di tataran elit-elit politik di tandai dengan maraknya
164Mahrus
Irsyam dan Lili Romli ed., Menggugat Partai Politik (Depok: LIP FISIP UI, 2003), h.
131-132.
165Ibid.,
h.132.
pendirian partai politik.166
Pada masa-masa akhir sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru,
partisipasi masyarakat dalam bentuk kekerasan, huru-hara terjadi di mana-mana,
faktor pemicunya dikarenakan terjadinya krisis ekonomi, kenaikan BBM, listrik,
transportasi, sembako dan sebagainya memancing mahasiswa protes turun ke
jalan. Radikalisasi gerakan mahasiswa serta situasi yang antagonistik tercipta dan
pada akhirnya terjadi kerusuhan massa di luar kampus yang penuh dengan
kekerasan, bercorak anti kemapanan (pemerintahan Orba) dan berbau SARA
seperti terjadi di Medan dan sekitarnya (April 1998), di Jakarta (13 dan 14 Mei
1998) dan di Solo (14 Mei 1998).167
Akumulasi kemuakan masyarakat terhadap elit-elit politik terjadi ketika
elit-elit politik hasil
pemilihan umum tahun 1999 tidak bisa memberikan
perubahan yang berarti, semakin meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan,
korupsi merajalela di semua lini. Banyak orang kemudian mengeluh putus asa dan
berpikir kembali bahwa keadaan di masa Soeharto lebih baik. Paling tidak di masa
Soeharto orang mudah mencari pekerjaan, makan dan kebutuhan pokok
lainnya.168
Menurut penulis, meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga
disebabkan oleh dampak dari liberalisasi politik, yakni adanya kebebasan di
segala bidang, masyarakat bisa bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak
hati nuraninya, termasuk bebas menentukan pilihan politik sekalipun golput
pilihannya. Berbeda dengan masa Orde Baru, hak-hak politik rakyat banyak yang
h. 133.
Siahaan, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1 SeptemberOktober 1998, h. 15.
168“Editorial,”Jurnal Bersatu, edisi Mei 2008, h. 5.
166Ibid.,
167Harlem
dikekang termasuk hak dalam menentukan pilihan, masyarakat banyak yang
dimobilisasi untuk memenangkan salah satu kontestan peserta pemilu pendukung
pemerintah, pemilu terkesan merupakan kewajiban daripada sebagai hak warga
negara.
Hal tersebut bisa terlihat dari tingginya partisipasi politik rakyat pada masa
Orde Baru. Pada pemilu 1971, jumlah suara yang sah mencapai 94,02% dari
pemilih terdaftar. Selanjutnya pada pemilu 1977, 1982, 1987 dan 1992 jumlah
suara yang sah juga masih tinggi yaitu berturut-turut mencapai 90,93%, 92,03%,
91,31%, dan 91% dari pemilih terdaftar. Dengan demikian, rezim Orde Baru dapat
mengajukan klaim kepada publik bahwa legitimasi politik yang diperoleh dari
rakyat sangat kokoh. Dengan dasar klaim tersebut, maka kebijakan dan programprogram yang dibuat pemerintah juga mendapatkan legitimasinya pula dari
rakyat.169
Berbeda dengan masa Orde Baru, pada era Reformasi, yakni pasca
tumbangnya Soeharto, semua tatanan politik berubah total. Di saat era transisi
dimulai—seperti teorinya O’Donell dan Schmitter—maka protes terjadi di manamana, tuntutan terhadap hak politik yang selama bertahun-tahun dikekang oleh
rezim Orde Baru terus disuarakan. Golkar yang saat itu banyak diprotes oleh
masyarakat yang dianggap sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru mulai
memperbaiki diri untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari konstituennya,
kebebasan dalam segala hal pada masa ini terlihat jelas dan justru terkesan
kebablasan.
Tentu saja dalam hal ini liberalisasi politik atau melonggarnya kontrol dan
169Muhammad AS Hikam, “Pemilu dan Legitimasi Politik” dalam Syamsuddin haris, dkk.,
Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998), h.
57.
kekangan terhadap kehidupan politik tidak sama dengan demokrasi. Kebebasan
menyampaikan
pendapat
bisa
dibalas
dengan
kebebasan
untuk
tidak
mendengarkan pendapat orang lain. Kebebasan dalam situasi ketimpangan dengan
mudah bisa berkembang menjadi tirani kelompok yang kuat terhadap yang lemah,
mayoritas terhadap minoritas, kebebasan memilih pun tidak ada artinya ketika
hanya orang dengan dukungan politik dan finansial cukup saja yang bisa
bertarung dalam arena pemilihan umum. Liberalisasi ini pada dasarnya lebih
banyak memberi pihak berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.170
Hal ini nampak dalam ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam.
Tidak adanya peningkatan kerja serius dari pemerintah untuk menangani
permasalahan pengangguran. Tercatat tahun 2003 angka pengangguran di
Indonesia sebesar 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angka kerja yang
berjumlah 92,7 juta jiwa dan jumlah 40 juta jiwa pengangguran terselubung.
Realitas ini menunjukkan begitu timpangnya keadaan ekonomi politik kita. Di
satu sisi, begitu banyak uang yang terhambur dalam arena politik, begitu
tingginya political cost terbuang di negeri ini, sementara di sisi lain pemerintah
tidak mampu mengelola urusan publik dan memberikan lapangan kerja yang layak
bagi warganya, dan sebagian rakyat hidup dengan standar kehidupan yang jauh
dari kelayakan.171
Kemudian dampak liberalisasi politik di era Reformasi, dibuktikan dengan
semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan
partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya. Tercatat ada 48 partai
politik yang mengikuti pemilu 1999. Fenomena yang sama muncul kembali pada
170“Editoraial,”Jurnal
Bersatu, h. 4.
“Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004,” Jurnal Demokrasi dan HAM,
Vol. 4, No.1, 2004, h. 60.
171Airlangga,
pemilu 2004, walaupun sebelumnya muncul perdebatan saat membicarakan
mengenai terlalu loggarnya UU No. 2 tahun 1999 tentang persyaratan partai
politik.172 Walaupun demikian berbagai partai politik kembali marak. Pada pemilu
2004 tercatat partai yang lolos mengikuti pemilu sebanyak 24 partai politik.
Munculnya partai-partai baru itu memang tidak terlepas dari semakin
terbukanya keran kebebasan sejak bergulirnya rezim Orde Baru. Dalam konteks
ini juga dipertegas dengan hasil temun Demos tentang maslah-masalah dan
pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia, diantaranya adanya peningkatan
kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sejak 1999
(78,9%) diakui oleh para aktivis pro demokrasi cukup memberikan peluang bagi
para aktor, khususnya politisi dalam rangka memasuki kembali arena politik.173
Pada masa Orde Baru, hak-hak masyarakat terutama dalam politik di
kekang. Oposisi tidak dibenarkan pada masa itu, kelembagaan oposisi tidak diakui
keberadaannya dalam struktur kelembagaan formal sehingga tidak memiliki
saluran politik. Organisasi baik politik maupun non politik hanya diizinkan untuk
memakai satu asas yaitu pancasila. Sebagaimana yang dikutip oleh Eep Sefullah
Fatah, Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya mengungkapkan sebagai
berikut:
“Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala
Barat….tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh
pemerintah. Kesalahan yang dikaukan oleh pemerintah harus dibetulkan.
Tetapi semua harus ingat atas kesepakatan yang telah kita ambil di sini.
Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di
sini.”174
172
“Partai
Kagetan,”
berita
diakses
pada
13
Oktober
2008
dari
http://www.demosindonesia
.org/pdf/3Demos25Jan05.
173Ibid.
174Eep Saefulloh Fatah, Penghianatan
Demokrasi a la Orde Baru (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2000), h. 49.
Penelitian R. William Liddle tentang pemilu-pemilu Orde Baru
menunjukkan betapa partisipan pada pemilu Orde Baru lebih banyak disebabkan
oleh mobilisasi birokrasi negara, baik pusat maupun lokal. Pemilih lebih banyak
dikendalikan oleh “komando” pamong atau pejabat birokrasi dan militer. Ini
menunjukkan bahwa apa yang disebut Huntington dan Nelson sebagai partisipasi
politik otonom kurang terlihat secara berarti, sebaliknya mobilisasi terkesan lebih
kuat.175Maka dari itu jangan heran apabila angka partisipasi selalu tertinggi.
Pasca Orde Baru, masyarakat sudah diberikan kebebasan dalam berbagai
hal, termasuk kebebasan dalam bidang politik. Hal yang patut disanyangkan di
sini adalah bawah euporia politik yang terjadi tidak disertai dengan tersedianya
politisi-politisi yang memadai, hal ini terlihat betapa partai-partai politik tersebut
masih tetap menjadi perebutan kekuasaan semata dibandingkan dengan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.176Misalnya dalam jajak
pendapat kompas (1/12) pernah menyimpulkan psimisme masyarakat, disebutkan
dalam jajak pendapat tersebut, publik meragukan kiprah partai-partai baru mampu
mengadakan perubahan. Bahkan hampir dua pertiga bagian responden merasa
tidak yakin partai baru mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.177 Begitu juga
dengan partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hasil Polling yang dilakukan
CESDA-LP3ES seperti yang sudah penulis bahas di atas menunjukkan lebih dari
separuh (51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada
satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat.
Dengan melihat realitas yang ada selama ini, ketidakpercayaan publik
175Ibid.,
176
h. 51.
Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan
05
177Benny
Susetyo, Hancurnya Etika Politik (Jakrta: Kompas, 2004), h.86.
tersebut terbukti pada pemilu 2004 terhadap parpol-parpol yang dianggapnya
tidak mampu membawa perubahan, alih-alih memperjuangkan kepentingan
rakyat, partai-partai politik ternyata masih asyik dengan kepentingannya sendiri.
Dengan demikian, tidak heran masyarakat yang merasa kecewa memprotes elitelit tersebut mengungkapakannya dengan cara tidak ikut memilih.
Selain kecewa terhadap partai-partai yang ada, banyaknya partai politik
juga menyebabkan masyarakat tidak sedikit yang merasa kesulitan menentukan
pilihannya. Di satu sisi menjamurnya partai politik memang cermin dari
demokrasi karena adanya kebebasan termasuk kebebasan mendirikan partai
politik. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya partai politik kerap membingungkan
pemilih. Kebingungan dimulai dari pengenalan gambar dan nama parpol yang
bisa dikatakan ada kemiripan dengan yang lainnya. Visi misi serta isu yang
disusung juga tidak sedikit ada kemiripan. Dengan banyaknya jumlah parpol,
tidak dapat dihindari bahwa ideologi dan isu-isu yang mereka tawarkan juga tidak
jauh berbeda dengan parpol-parpol yang ada. Oleh karena itu, masyarakat akan
semakin bingung untuk memilih partai mana yang memang benar-benar sesuai
dengan hati nuraninya. Kebingungan ini akan melahirkan sebuah sikap untuk
tidak memilih,178 atau memilih dengan cara asal-asalan yang pada akhirnya
mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah. Kebingungan tersebut bisa dilihat
dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Metro TV, dalam hal ini pertanyaan
yang diajuakan kepada responden adalah “Apa pendapat anda dengan adanya
peserta pemilu yang puluhan partai?” Sebanyak 85% responden menjawab
178
Diakses
pada
17
Januari
2009
http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-hara-golput.html
dari
‘membingungkan,’ 7% ‘lebih baik’ dan 8% ‘tidak peduli.’179 Ini artinya dengan
banyaknya partai masyarakat semakin bingung dalam menentukan pilihannya.
Menurut penulis, demokrasi tidak mesti selamnya dicirikan dengan
banyaknya kontestan partai politik. Banyaknya partai yang bermunculan pasca
Orde Baru memang bisa dipahami, mengingat selama kurang lebih 32 tahun
bangsa Indonesai dikekang secara politik. Pengurangan terhadap jumlah partai
harus terus dilakukan asalkan tidak dengan cara pemaksaan sebagaimana yang
dipraktekkan Orde Baru. Pembatasan terhadap partai-partai politik dalam pemilu
merupakan penyelewengan terhadap prinsip demokrasi. Demikianlah jumlah
parpol (PPP, Golkar, dan PDI) yang boleh mengikuti pemilu semasa Orde Baru.180
Ketentuan threshold dan verifikasi untuk menjaring partai peserta pemilu
perlu diperketat lagi dan harus terus diapresiasi, sehingga ke depannya partaipartai politik yang dapat mengikuti pemilu benar-benar partai yang memenuhi
syarat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penyeleksian dengan cara ini
terhadap partai-partai politik sudah sangat demokratis mengingat pengurangan
tersebut berdasarkan kompetisi perolehan suara partai bukan karena paksaan.
Dalam hal ini partai yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat akan
sendirinya tereliminasi. Dengan demikian masyarakat tidak kebingungan lagi
dalam memilih partai.
179Denny
J.A, Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia, h. 143.
Sri Bintang Pamungkas, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi Total (Jakarta:
Erlangga, 2001), h. 304.
180
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang
yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sebutan yang
dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu peserta
pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang atau
sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput baru lahir menjelang pemilu
1971 sebagai sikap kekecewaan sekelompok orang terhadap rezim Orde Baru
yang dimotori oleh Arief Budiman dan kawan-kawan sebagai gerakan moral
dalam rangka memboikot pemilu yang dianggapnya tidak jurdil,
tidak
demokratis, dan banyak dimanipulasi oleh pemerintah. Bagi pandangan kelompok
ini, pemilu hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru agar
mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Pada masa ini banyak masyarakat yang
dimobilisasi untuk mengikuti pemilu, seperti pegawai negeri sipil yang tergabung
dalam korpri diharuskan memilih Golkar. Pada masa ini memilih terkesan sebagai
kewajiban.
Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti
halnya partai-partai lain yaitu melakukan pendidiakan politik, membuat
pernyataan-pernyataan di media cetak, dan menempelkan tanda gambar golput
berupa segi lima hitam di atas kertas/kain dengan warna dasar putih dengan
tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta
pemilu lain. Dengan melihat cara-cara seperti ini, maka gerakan ini tidak hanya
sebagai gerakan moral, akan tetapi sudah menyerupai kekuatan politik.
Pasca tumbangnya Orde Baru, memilih tidak memilih merupakan hak dan
tidak ada sanksi apapun bagi yang tidak memilih. Memilih atau tidak sama saja
nilainya manakala dilakukan dengan bertanggung jawab. Dalam hal memilih
merupakan hak, maka
fenomena ini (golput) sudah tidak lagi mewakili
homogenitas sekelompok orang yang secara sadar memboikot pemilu. Lagi pula
banyak/beragam alasan mengapa seseorang tidak memilih dan banyak alasan pula
kenapa seseorang tidak ikut pemilu atau tidak memilih. Pada realitasnya golput
juga oleh kebanyakan orang sering ditujukan untuk menggeneralisir suara yang
tidak sah dan tidak memilih. Dengan arti kata, secara umum golput dipakai untuk
menggambarkan banyak fenomena misalnya tidak hadir ke bilik suara, kartu suara
rusak baik disengaja maupun tidak, dan kartu suara kosong.
Mengenai golput pasca Orde Baru, seperti yang sudah penulis jelaskan
pada bab II, beberapa tokoh/pengamat membagi golput kepada beberapa kategori:
Indra J. Piliang mengelompokkan golput pada tiga jenis yaitu golput ideologis,
politis dan pragmatis; Arief Budiman mengelompokkan golput menjadi tiga jenis
yaitu golput karena politis, apatis, dan karena kecelakaan; adapun Eep Saefulloh
Fatah mengelompokkan golput menjadi empat jenis yaitu golput teknis-teknis
tertentu, golput teknis-politis, golput politis, dan golput ideologis.
Sesuai dengan pengelompokkan golput di atas, penulis mengambil benang
merahnya bahwa faktor-faktor penyebab mengingaktnya golput pada pemilu 2004
sesuai dengan temuan penulis berdasarkan data-data yang didapatkan menjadi tiga
jenis: golput politis, golput administratif dan golput non administratif.
Dari rumusan dan uraian yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya,
penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004
disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, sebagai sikap kekecewaan masyarakat
terhadap elit-elit yang berkuasa, pemerintah, dan parlemen baik di pusat maupun
di daerah meningkat tajam. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu memberikan
perubahan yang sangat berarti: kemiskinan, korupsi merajalela, krisis lapangan
pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Juga anggota dewan di parlemen yang
disebut wakil rakyat kurang memperhatikan yang diwakilinya, malah mereka
lebih setia kepada partai ketimbang kepada rakyat yang memilih.
Di samping kekecewaan terhadap pemerintah dan parlemen, masyarakat
juga menjadi antipati terhadap partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik
dengan berbagai macam asas dan ideologinya tidak dapat memperjuangkan
kepentingan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, elit-elit
politik malah asyik dengan kepentingan kelompok-kelompoknya. Harapan dan
aspirasi masyarakat dibiarkan begitu saja. Fungsi partai yang disebut sebagai
wadah aspirasi rakyat, sebagai pereda konflik, sebagai artikulasi dan agregasi
kepentingan rakyat seolah-oleh tidak berfungsi.
Tidak hanya itu, munculnya aktor-aktor lama pada pemilu presiden juga
menjadi pemicu menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Bagi pemilih
rasional, elit-elit lama tersebut dirasa tidak akan mampu memberikan perubahan
yang signifikan. Mereka melihat bahwa fugur-figur yang bertarung ternyata figurfigur yang mempunyai track record kelam di masa lalu, sehingga mereka
beranggapan bahwa diadakannya pemilu juga tidak akan membawa perubahan
yang berarti.
Kedua, meningkatnya golput juga disebabkan karena kendala teknis, baik
administratif maupun non administratif. Teknis administratif misalnya pencatatan
pendataan pemilih yang kurang akurat. Data-data yang dipakai rupanya tidak
didukung dengan data-data baru dari RT/RW di lapangan, sehingga yang terjadi
adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar. Pendataan yang kurang akurat
mengakibatkan suara berharga dari masyarakat hilang begitu saja. Adapun teknis
administratif, misalnya disebabkan oleh tingkat moblitas masyarakat yang tinggi
di kota-kota besar, pada saat pemungutan suara 5 Juli bertepatan dengan final
Euro 2004, buruknya cuaca di sejumlah tempat, dan ada juga kemungkinan karena
kasus salah coblos.
Mengenai kesalahan pencoblosan menurut penulis terjadi disebabkan oleh
dua faktor. Pertama, adanya tata cara pencoblosan yang rumit dan berbeda dengan
pemilu sebelumnya, yakni adanya sistem proporsional terbuka, dalam hal ini
nama-nama calon terpampang dengan jelas. Tata cara pemilihan seperti ini, untuk
pertama kalinya menyulitkan bagi pemilih apakah hanya memilih lambang partai
saja atau kedua-duanya atau memilih nama calonnya saja. Dengan sistem yang
baru ini, ditambah kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat bingung
dalam menentukan pilihan yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos.
Kenyataan tentang kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan sudah
nampak pada saat simulasi di beberapa tempat, banyak surat suara yang
dinyatakan tidak sah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat hanya
memilih lambang partai, sehingga mereka lebih mudah dalam menentukan
pilihannya, sebab yang harus mereka coblos hanya lambang partai semata. Kedua,
adanya pengaruh banyak partai membuat masyarakat juga bingung harus memilih
partai yang mana.
Ketiga, meningkatnya golput juga disebabkan oleh karena adanya dampak
dari liberalisasi politik pasca Orde Baru. Adanya liberalisasi politik antar lain
ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Dalam hal ini setiap
kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun
dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya
luapan kebebasan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan
membentuk organisasi, termasuk kebebasan untuk menentukan pemimpin.
Liberalisasi politik pada tataran akar rumput ditandai dengan adanya
kebebasan dalam segala hal, bebas dalam menentukan pemimpin, termasuk bebas
untuk tidak memilih (golput). Dengan kondisi seperti ini rakyat akan lebih leluasa
dalam menentukan pemimpinnya pada saat pemilu tiba. Mereka akan memilih jika
elit-elit politik di matanya bisa membawa perubahan dan memperhatikan
aspirasinya. Akan tetapi, mereka bisa golput jika elit-elit politik di matanya tidak
bisa membawa perubahan yang berarti. Berbeda dengan masa Orde Baru
kebebesan dikekang, sehingga tidak memilih kerap sering berhadapan dengan
koersi dan refresi dari pemerintah. Masyarakat diwajibkan loyal pada negara, PNS
tidak dibuat netral dan diwajibkan menyalurkan aspirasinya kepada Golkar.
Dengan kata lain kebebasan dalam berpolitik tidak ada.
Liberalisasi politik dalam tataran elit-elit politik dibuktikan dengan
semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan
partai dengan berbagai asas dan ideologinya. Akan tetapi sayangnya euporia
politik tidak dibarengi dengan politisi-politisi yang memadai, dengan demikian
banyak terjadi pragmentasi partai-partai politik, pertikaian di tubuh parpol sering
terekspos oleh media. Dampak dari tidak adanya elit-elit yang baik di mata publik
tersebut yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat,
masyarakat menjadi antipati terhadap partai yang ada.
B. Saran-saran
Penelitian terhadap fenomena golput masih sangat minim, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan
judul tersebut. Kajian-kajian mengenai golput walaupun ada, baru dalam bentuk
opini pada artikel-artikel yang kurang memberikan penjelasan lebih mendalam.
Buku yang khusus mengkaji golput yang penulis temukan hanya empat buku:
Presiden Golput yang ditulis oleh Muhammad Asfar, Politik Golput di Indonesia;
Kasusu Peristiwa Jogja 1992 yang ditulis oleh Priyambudi Sulistianto, Golput
Aneka Pandangan dan Fenomena Politik yang disunting oleh Drs. Arbi Sanit, dan
keempat Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput yang ditulis oleh
Badri Khaeruman, dkk.
Penelitian tentang golput yang penulis lakukan ini baru penelitian yang
sifatnya deskriptif. Untuk itu kepada para peneliti, penulis menyerankan agar
fenomena ini tidak dilewatkan begitu saja. Harus ada penelitian-penelitian yang
lebih mendalam lagi dalam mengungkap fenomena yang selalu ada pada ritual
lima tahunan ini, mengingat belum semua masyarakat luas tahu dan paham yang
dimaksud dengan golput. Memang secara akademis belum ada kategorisasi
tentang golput. Untuk itu, penulis pun ketika mengklasifikasikan golput hanya
berdasarkan pandangan-pandangan dari para tokoh/pengamat politik yang
conceren terhadap kajian tersebut. Walaupun demikian setidaknya penulis
mencoba membantu memberikan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan meningkatnya golput pada pemilu 2004 lalu.
Kepada para elit politik, pemerintah, jadikanlah fenomena ini sebagai
bentuk introspeksi dalam rangka perbaikan hidup kenegaraan ke depannya,
sebagai social control terhadap elit-elit baik di DPR maupun di eksekutif, baik di
pemerintahan pusat maupun di daerah. Fenomena ini jangan dijadikan sebagai
ancaman terhadap legitimasi kekuasaan. Dengan adanya fenomena ini diharapkan
pemerintah bisa benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat banyak bukan
kepentingan golongan.
Kepada lembaga pencatat data pemilih, baik BPS, KPU, petugas RT/RW
dan petugas-petugas penyelenggara pemilu lainnya yang terkait dengan pendataan
penduduk diharapkan agar dapat bekerja lebih ekstra lagi dalam mendata pemilih.
Dengan demikian nantinya pemilih yang tidak terdaftar dapat diminimalisir
karena dampaknya selain bisa memperbesar jumlah golput juga dapat
mengakibatkan terjadinya konflik bagi para caleg atau parpol yang merasa
dirugikan dengan kasus tersebut.
Kepada khalayak umum, dengan adanya kebebasan di era Reformasi ini,
penulis menyarankan pada setiap pemilu maupun pilkada agar memberikan hak
suara sesuai dengan kata hati sebagai bentuk partisipasi politik dalam rangka
menentukan pemimpin dan nasib bangsa yang lebih baik. Sehingga pemerintahan
yang terpilih nantinya benar-benar mendapatkan pengakuan yang sah dari
masyarakat dan pemerintahannya pun legitimate.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Al Chaidar. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah, 1998.
Al Rasid, Harun. Pemilihan Umum sebagai Perwujudan Kedaulatan Rakyat.
Jakarta: STIH IBLAM, 2004.
AS Hikam, Muhammad. “Pemilu dan Legitimasi Politik.” Dalam Syamsuddin
Haris dkk. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga Rampai.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: 1998: h. 49.
Benedanto, Pax, dkk. Pemilihan Umum: Demokrasi atau Rebut Kursi?. Jakarta:
LSPP, 1999.
Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1998.
Budiman, Arief. “Demokrasi, Materi, dan Golput.” Dalam Luthfi Assyaukanie
dan Stanley, ed. Kebebesan Negara Pembangunan. Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2006: h. 13.
Fatah, Eep Saefulloh. Penghianatan Demokrasi a la Orde Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Haricahyono, Cheppy. Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999.
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan M. Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah. Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984.
Irsyam, Mahrus dan Romli, Lili, ed. Menggugat Partai Politik. Depok: LIP FISIP
UI, 2003.
J.A, Denny. Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006.
______. Parliament Watch: Eksperimen Demokrasi Dilema Indonesia Jakarta:
Sinar Harapan, 2006.
______. Visi Indonesia Baru Setelah Gerakan Reformasi 1998. Yogyakarta: LKIS
Yogyakarta, 2006.
______. Memperkuat Pilar Kelima: Pemilu 2004 dalam Temuan Survei
Indonesia.Yogyakarta: LKIS, 2006.
______. Partai Politik pun Berguguran .Yogyakarta: LKIS Yogyakarta, 2006.
Khaeruman, Badri, dkk. Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput.
Jakarta: PT Nimas Multima, 2004.
Kleden, Igna. “Pemilu 2004 Seberapa Langsung Pemilihan Langsung?.” Dalam
Syamsudin Haris, Ed. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarata:
PT Gramedia Pustaka Utama, LIPI dan Netherlands Institute for Multiparty
Democracy , 2005: h. xi.
Nuryanti, Sri. ”Partai Politik dalam Proses Pemilihan Presiden 2004.” Dalam Lili
Romli, Pemilihan Presiden Langsung 2004 dalam Masalah Konsolidasi
Demokarsi di Indonesia Jakarta: LIPI Press, 2005: h. 55.
Pahlevi, Indra. “Perkembangan Partai Politik di Indonesia: Studi terhadap
Ideologi Partai Politik Peserta Pemilu 2004.” Dalam Sali Susiana, Pemilu
2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen DPR RI,
2003: h. 35.
Pamungkas, Sri Bintang. Dari Orde Baru ke Indonesia Baru Lewat Reformasi
Total. Jakarta: Erlangga, 2001.
Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa. T.tp.: Institut Studi Arus Informasi,
1997.
Prayudi. “Sistem Pemilu, Perwakilan Politik, dan Kecendrungan Hubungan
Kelembagaan Pemerintah.” Dalam Sali Susiana, Pemilu 2004: Analisis
Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I Setjen A DPR RI, 2003: h. 1.
Romli, Lili. “Pemilihan Presiden Langsung dan Konsolidasi Demokrasi: Catatan
Kesimpulan.” Dalam Lili Romli, dkk. Pemilihan Presiden Langsung 2004
dan Masalah Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press,
2005: h. 179.
Rush, Michael dan Althoff, Phillip. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Saifullah. Quo Vadis Pemilu 2004?. Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2003.
Sanit, Arbi. Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1992.
Santoso, Topo dan Suprianto, Didik. Mengawasi Pemilu Mengawali Demokrasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sulistiyanto, Priambudi. Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya.
Yogyakarta: LEKHAT, 1994.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI,
1999.
Susetyo, Benny. Hancurnya Etika Politik. Jakrta: Kompas, 2004.
Susiana, Sali. Pemilu 2004: Analisis Politik, Hukum dan Ekonomi. Jakarta: P3I
Setjen A DPR RI, 2003.
Syabirin, Tabrani dkk. Pemilu Legislatif 2004. T.tp: Komisi Pemilihan Umum,
2005.
______. Tabrani, dkk. Pemilu Presiden 2004. Ttp.: Komisi Pemilihan Umum,
2005.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M.
Amin Rais Jakarta: Teraju Mizan, 2005.
Triwahyuningsih. Pemilihan Presiden Langsung. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Yogya, 2001.
2. Media
“Banyak Warga Jakpus Tak Terdaftar dalam DPT.” Berita diakses pada 24
Februari 2009 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=24136
“Golongan Putih.” Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 Jakarta: PT
Delta Pamungkas, 2004: h. 197.
“Jumlah Pemilih Belum Terdaftar Kurang dari 0,5%.” Berita diakses pada 24
Februari 2009 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/02/nas8.htm
“Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral.” Artikel diakses
pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997
%20d409245940An%20Suharto%20harus%20dipertahankan%.htm
“Pendataan Pemilih, Titik Rawan Pemilu Berkualitas.” Berita diakses pada 24
Februari 2009 dari http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2003/5/2/pol3.
Htm.
“Ribuan Warga Pedalaman Tak Terdaftar Pemilu.” Berita diakses pada 24
Februarai 2009 dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/25/daerah/
873674.
“Sebanyak 13,2 Juta Pemilih Belum Terdaftar.” Berita diakses pada 24 Februari
2009 dari http:/www2.kompas.com/kompas-cetak/0403/11/politikhukum/90
6594.htm
Baasir, Faisal. “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004.” Artikel diakses pada 18
Oktober 2008 dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm
Budiman, Arief. “Golput, Gejala dan Masa Depannya.” Artikel diakses pada 29
Nopember 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19
/KL/
Dwipayana, AA GN Ari. “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada
Harapan di Tengah Predatory Politics?.” Artikel diakses pada 18 Oktober
2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26
Fatah, Eep Sefulloh. “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta.” Artikel diakses
pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisispolitik-mengelola-golput-jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_In
http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20
http://www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_ST UDI_EXIT_POLL_
http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa.
html
http://saidiman.wordpress.com/2007/06/08/masa-depan-golput-pada-pemilu-presi
den/
http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05
http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-haragol
put.html
http://www.sinarharapan.co.id/Berita/0302/05/nas10.html/
http://www2.kompas.com/kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280770.
htm
http:/p4ndu3121990.wordpress.com/200808/13/mengapa-golput/
Kurniawan, Robi Cahyadi. “Mencermati Fenomena Golput.” Artikel diakses pada
27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2
008080Mbm.20040719.KL93851id
Mardika, I Nyoman. “Demokrasi, Golput, dan Pemilu 2004.” Artikel diakses
pada 27 November 2008 dari http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/
3/16/Op2.htm
Muhamad, Robi. “Golput dan Memilih dengan Rasional.” Artikel diakses pada 27
November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/0100
2822/gol
Muzani, Saeful. “Mitos Golput.” Artikel diakses pada 27 Januarai 2009 dari
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0405/25/opini/1037926.htmngapaolput/
Piliang, Indra J. “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia.” Artikel diakses pada
29 Nopember 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/11
63352
Pribadi, Airlangga. “Darwinisme Partai Politik dalam Pemilu 2004.” Jurnal
Demokrasi dan HAM Vol.4 No.1. 2004: h. 53.
Ridwan, Asep. ”Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia.”
Jurnal Demokrasi dan HAM. Vol.4 No.I. 2004: h. 30.
Santoso, Topo. “Pelanggaran Pemilu 2004 dan Penanganannya.” Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol.4. No.I. 2004: h. 9.
Siahaan, Harlem, “Kekerasan dalam Persfektif Sejarah” Majalah Prisma, 1
September-Oktober 1998: h. 3.
Lampiran 1:
Hasil perolehan suara 24 partai politik peserta pemilu 2004
No.
Partai Politik
Urut
1
PNI Marhaenisme
Jumlah
Suara
923.159
Persen
0,81%
Jmh
Kursi
1
636.397
0,56%
0
2.970.487
2,62%
11
842.541
0,74%
0
2.
Partai Buruh Sosial Demokrat
3.
Partai Bulan Bintang
4.
Partai Merdeka
5.
Partai Persatuan Pembangunan
9.248.764
8,15%
58
6
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
1.313.654
1,16%
5
7
Partai Perhimpunan Indonesia Baru
672.952
0,59%
0
8.
Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
1.230.455
1,08%
1
9
Partai Demokrat
8.455.225
7,54%
57
10.
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
1.424.240
1,26%
1
11.
Partai Penegak Demokrasi Indonesia
855.811
0,75%
1
12.
895.610
0,79%
0
13.
Partai Persatuan Nahdlatul
Indonesia
Partai Amanat Nasional
7.303.324
6,44%
52
14.
Partai Karya Peduli Bangsa
2.399.290
2,11%
2
15.
Partai Kebangkitan Bangsa
11.989.564
10,57%
52
16.
Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020
7,34%
45
17.
Partai Bintang Reformasi
2.764.998
2,44%
13
18
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
21.026.629
18,54%
109
19
Partai Damai Sejahtera
2.414.254
2,13%
12
20
Partai Golongan Karya
24.480.757
21,58%
128
Ummah
21.
Partai Patriot Pancasila
1.073.139
0,95%
0
22.
Partai Sarikat Indonesia
679.296
0,60%
0
23.
Partai Persatuan Daerah
657.916
0,58%
0
24.
Partai Pelopor
878.932
0,77%
2
Jmh
113.462.414
100,00%
550
Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah
Pemilih
Suara sah
Jumlah
Presentase
113.462.414
91,19%
Suara tidak sah
10.957.925
8,81%
Total Pemilih
124.420.339
100,00%
Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih
(golput)
Jenis
Memilih
Golput
(tdk memilih)
Grand Total
Jumlah
Presentase
124.420.339
84,07%
23.580.030
15,93%
148.000.369
100,00%
*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004
Lampiran 2:
Hasil perolehan suara pilpres putaran pertama
No.
Urut
1.
Pasangan Capres dan Cawapres
Presentase
Wiranto – Salahuddin Wahid
Jumlah
Suara
26.286.788
2.
Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi
31.569.104
26,61%
3.
Amin Rais-Siswono Yudohusodo
17.392.931
14,66%
4
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
39.838.184
33,57%
5
Hamzah Haz-Agum Gumelar
3.569.861
3,01%
Jmh
Suara
119.656.868
22,15%
100,00%
Perbandingan hasil suara pemilih yang sah dan yang tidak sah
Pemilih
Suara sah
Suara tidak sah
Total Pemilih
Jumlah Suara
Presentase
119.656.868
97,84%
2.636.976
2,16%
122.293.844
100,00%
Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih
(golput)
Jenis
Hasil Suara
Presentase
Memilih
122.293.844
79,76%
Golput
(tdk memilih)
Grand Total
31.026.700
20,24%
153.320.544
100,00%
*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004
Lampiran 3:
Hasil perolehan suara pilpres putaran kedua
No.Urut
Pasangan Capres dan Cawapres
Presentase
Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi
Jumlah
Suara
44.990.704
2
4
Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
69.266.350
60,62%
114.257.054
100,00%
Jumlah
Suara Sah
39,38%
Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah
Pemilih
Suara sah
Suara tidak sah
Total Pemilih
Jumlah Suara
Presentase
114.257.054
97,94%
2.405.651
2,06%
116.662.705
100,00%
Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih
(golput)
Jenis
Memilih
Golput
(tdk memilih)
Grand Total
Hasil Suara
Presentase
116.662.705
77,44%
33.981.479
22,56%
150.644.184
100,00%
*) Sumber dari : http://id.wikipedia.org/wiki/pemilihan_Umum_Indonesia_2004
Nomor
Lamp
Perihal
: Istimewa
: 1 (satu) bundle
: Pengajuan Judul Skripsi
Kepada Yth,
Ketua Jurusan Program Studi Pemikiran Politik Islam
ditempat
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Sehubungan dengan tugas akumulatif akhir perkuliahan untuk mencapai gelar
kesarjanaan, maka saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
NIM
Fak/ Jur
Semester
: Acu Nurhidayat
: 104033201077
: Ushuluddin dan Filsafat/Pemikiran Politik Islam
: IX
Dengan ini saya mengajukan proposal skripsi dengan judul : “Fenomena Golput
di Indonesia Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pada Pemilu 2004
”. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan :
1. Outline
2. Abtraksi
3. Daftar Pustaka Sementara
Demikian pengajuan proposal judul skripsi ini saya buat, atas perhatian dan
persetujuan bapak/ibu saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ciputat, 22 Oktober 2008
Dosen Penasehat
Pemohon
A. Bakir Ihsan, M.Si
NIP: 150 326 915
Acu Nurhidayat
NIM: 104033201077
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam
Drs. Agus Darmadji, M.Fils
NIP : 150 262 447
Download