Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Makalah Pararel SUB TEMA I THE GREEN HOUSE GAS CONTROL FOR FOOD AND SADDANG IRRIGATION DEVELOPMENT Sumardji, Eka Rahendra, Andi M.Irham, Subandi and M.K Nizam Lembah....... A1.1 PENGEMBANGAN RESERVOIR DI DAERAH RAWA UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN PADA LAHAN RAWA PASANG SURUT (CASE RASAU JAYA KALIMANTAN BARAT, INDONESIA) Henny Herawati, Suripin dan Suharyanto ............................................................ A2.1 ANALISIS LUAS EFEKTIF LAHAN PERSAWAHAN BERDASARKAN PERHITUNGAN KEBUTUHAN AIR (NFR) STUDI KASUS DI BARAMBAI, KALIMANTAN SELATAN Rini Marissa, Maruddin F. Marpaung, Agustina Ariyani..................................... A3.1 OPTIMALISASI PENGEMBANGAN LAHAN RAWA DI PULAU PAPUA UNTUK MENDUKUNG PROGRAM KETAHANAN PANGAN NASIONAL DAN PENGENADALIAN GAS RUMAH KACA Happy Mulya dan Kuji Murtiningrum................................................................... A4.1 PENGELOLAAN IRIGASI SKALA BESAR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR Reni Mayasari dan Sadibah Mariana .................................................................. A5.1 INDEKS KELANGKAAN AIR IRIGASI Waluyo Hatmoko ................................................................................................... A6.1 PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN PATANI MELALUI PENDEKATAN KELEMBAGAAN UNIT HARAPAN LAHAN SEBAGAI UNIT USAHA BERSAMA Dede Rohmat, Suardi Natasaputra dan Faizal I.W. Rohmat ................................ A7.1 KAJIAN BUDIDAYA JAGUNG PADA MUSIM HUJAN DI DAERAH REKLAMASI RAWA PASANG SURUT DALAM UPAYA TERCIPTANYA INDEKS PERTANAMAN 300% Momon Sodik Imanuddin dan Bakri...................................................................... A8.1 PEMANTAPAN PELAKSANAAN PENYEDIAAN AIR PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI CIUJUNG DALAM RANGKA MENDUKUNG PROGRAM KETAHANAN PANGAN PROVINSI BANTEN Abdul Hanan Akhmad dan Gatut Bayuadji ........................................................... A9.1 TEMPE LAKE OPRATION AND MAINTENANCE CONTRIBUTE TO GREENHOUSE GAS EFFECT CONTROL Eka Rahendra, Subandi, Agus Hasanie, Parno, Agung Susen dan M.K. Nizam Lembah ...................................................................................... A10.1 PERBAIKAN TEKNOLOGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH LEBAK BUKAAN BARU DI SUMATERA SELATAN NP. Sri Ratmini dan Imelda S. Marpaung............................................................. A11.1 vi Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Nomor Makalah : 1.8 KAJIAN BUDIDAYA JAGUNG PADA MUSIM HUJAN DI DAERAH REKLAMASI RAWA PASANG SURUT DALAM UPAYA TERCIPTANYA INDEK PERTANAMAN 300% A7.13 Momon Sodik Imanudin, Bakri Dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Kampus Unsri Indralaya Km 32 Tel/Fax 711580460 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengkaji potensi tanam jagung di musim hujan. Penelitian ini merupakan inovasi baru dengan merubah pola tanam yang selama ini padi-bera, atau maksmal padi-jagung, menjadi jagung-jegung-padi. Penelitian dilakukan di desa Mulya Sari daerah reklamasi rawa pasang surut Telang II Kabupaten Banyuasin.Percobaan lapangan dilakukan pada Musim Tanam (MT 1) periode Oktober 2013-Januari 2014, yang biasanya petani menanam padi. Perbaikan tata air meliputi pembuatan saluran cacing dengan jarak antar saluran 10 m dan kedalaman 20 cm. Untuk pengendalian muka air di saluran tersier dipasang pintu air tipe kelep bahan fiber. Operasi pintu air sebagai pembuangan yaitu dengan memasang pintu di sebelah luar.Hasil penelitian menunjukan muka air tanah bias diturunkan di kedalaman 30 cm dibawah permukaan tanah. Pada saat hujan maksimum dan pasang besar lahan mengalami pengenangan. Namun genangan tidak sampai 1 hari. Produksi yang dicapai pada MT1 ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi yang dicapai pada musim tanam MT 2 (Musim Kemarau). Produksi musim kemarau mencapai 5,4 t/ha jagung pipilan kering, sedangkan pada musim hujan produksi hanya mencapai 3,7 t/ha. Namun demikian petani masih beruntung dan berpotensi untuk tanam tiga kali, yaitu jagung-jagung-padi. Kondisi ini merupakan terobosan baru untuk peningkatan produktivitas rawa, dimana baru di daerah ini yang bisa mencapai 300%. Kata Kunci : potensi lahan, reklamasi pasang surut, pola tanam, tata air, saluran, produksi jagung I. PENDAHULUAN Potensi pengembangan tanaman jagung di Indonesia masih sangat baik. Ini disebabkan karena kabutuhan jagung masih tinggi sementara produksi masih belum memenuhi permintaan pasar. Kebutuhan domestic jagung saat ini sekitar 11 juta ton per tahun, sehingga masih mengimpor dalam jumlah besar yaitu hingga 1 juta ton (Subandi et al.,2003). Sebagian besar kebutuhan jagung domestik untuk pakan atau industri pakan (57%), sisanya sekitar 34% untuk pangan dan 9% untuk kebutuhan industri lainnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang besar untuk memasok sebagian pasar jagung dunia yang mencapai sekitar 80 juta ton pertahun (Mejaya, Marsum dan Marsia, 2005). Tanaman jagung adalah tergolong tanaman lahan kering dimana ditanam umumnya pada lahan tegalan, tadah hujan, atau kebun campuran. Kondisi lahan kering saat ini semakin terbatas dikarenakan penggunaan lahan untuk perkebunan. Kondisi ini terjadi di daerah Sumatera. Untuk itu tidak ada pilihan lain untuk pengembangan tanaman jagung mulai memanfaatkan lahan basah. Salah satu lahan basah 126 A8.1 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan yang sangat potensial adalah lahan pasang surut. Kondisi lahan yang basah tentu tidak sesuai untuk tanaman jagung sehingga perlu upaya pembuangan air. Menurut Imanudin et al (2012), bahwa kunci keberhasilan dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut adalah bagaimana petani mampu mengendalikan muka air tanah sesuai dengan kebutuhan tanaman. Daerah ini memiliki keragaman muka air tanah yang tinggi karena dipengaruhi oleh kondisi hidrotofografi lahan, curah hujan, pasang surut, dan keberadaan bangunan air. Penanaman di musi kemarau sering menyebabkan kekeringan, dan pada musim hujan terlalu banyak air. Oleh kerena itu diperlukan sistem drainase yang tepat. Sistem draianse pasang surut tidak hanya membuang air tetapi bagiamana menjaga muka air tanah berada pada kedalaman yang diinginkan tanaman. Menurut Mejia et al (2000), tanaman jagung di uji tanam di lahan rawa dengan dua perlakuan. Perlakuan dengan pengendalian muka air antara 50-75 cm dibawah permukaan tanah dan perlakuan tanpa pengendalian (drainase bebas). Pada kondisi drainase bebas air bisa turun sampai kedalaman lebih dari 100 cm, dan hasil menunjukan bahwa drainase dengan pengendalian memberikan hasil yang lebih. Penelitian diperlukan untuk pengujian budidaya tanaman pada kondisi basah agar dapat dilihat kemampuan adaptasi tanaman dan efektifitas sistem drainase yang akan di kaji. Inovasi teknologi budidaya tanaman pada kondisi basah ini diharapkan dapat meningkatkan indek pertanaman. II. METODOLOGI Penelitan di lakasanakan di daerah reklamasi rawa pasang surut Telang 2 kabupaten Banyuasin Sumater Selatan. Lokasi percobaan lapangan tepatnya di Desa Mulyasari berada di Primer 17 Jembatan 3 Delta Telang 2 kecamatan Tanjung Lago. Sevara hidrotofogradi lahan termasuk tipe B dimana air pasang hanya pada musim hujan saja bisa masuk ke lahan, sementara pada komdisi menarau tidak bisa meluapi lahan. Waktu penelitian dilakukan pada MT1 (Musim Tanam I) yatu periode November 2013 Februari 2014. Kondisi bangunan air untuk pengendalian muka air dilengkapi dengan bangunan pintu tersier sistem kelep, dimana air bisa masuk secara otomatis dan pada surut pintu air bisa menutup. Dan bila kondisi drainase letak pintu di arah depan sehingga air pasang tidak bisa masuk dan pada surut pintu terdorong keluar oleh aliran air. Untuk memasukan air ke lahan dibagun saluran kuarter, jarak antar kuarter adalah 50m, dan dari saluran kuarter air dimasukan kelahan melalui saluran kolektor dan saluran sacing. Jarak antar saluran mikro (cacing) dipetak lahan adalah dibuat setiap 8m dengan kedalaman saluran 20 cm dan lebar saluran 30 cm. Sistem drainase menggunakan sistem saluran dangkal rapat (intensive shallow drainage). 127 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Pengamatan muka air tanah dilakukan setiap hari dengan menggunakan pipa paralon, dan operasi pintu tersier dilakukan dengan mengikuti kebutuhan air tanaman padi. Kondisi ini terjadi karena dalam petak tersier sebagian petani menanam padi. Pengolahan data meliputi analisis kelebihan air di zona akar 30 cm dengan menggunakan konsep (SEW30) (Surflus Excess Water). A8.2 Konsep SEW-30 dibahas oleh Wesseling (1974). Pada mulanya, SEW–30 didefinisikan oleh Sieben (1964) dalam Skaggs (1991) untuk mengevaluasi pengaruh fluktuasi muka air yang tinggi selama musim dingin. Ini digunakan untuk menunjukkan kondisi kelebihan air tanah (cm-hari) selama masa pertumbuhan dan didefinisikan sebagai: SEW-30 =6 (SEWx-yi) Dimana yi adalah kedalaman air tanah pada hari I sebagai hari pertama dan n sebagai jumlah hari masa pertumbuhan. Istilah SEWx adalah suatu kedalaman tertentu yang didefinisikan sebagai permulaan kelebihan air, bisanya digunakan kedalaman 30 cm. Sebagai indikator keberhasilan adalah produksi tanaman dibandingkan dengan produksi pada musim kemarau. Selein itu umur fase generatif tanaman juga di bandingkan antara musim kering dan hujan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Tanah Penelitian dilakukan di daerah rawa pasang surut Telang II. Karakteristik iklim di Desa Mulyasari (P17-5S) termasuk dalam kategori hujan tropis, yaitu kondisi panas dan lembab terjadi sepanjang tahun. Suhu rata-rata bulanan C dan kelembaban relatif 87 %. Desa tersebut termasuk pada zona agroklimat C1. Musim hujan berturut–turut terjadi dalam 5-6 bulan (>200 mm per bulan) dan 1-2 bulan kering (<100 mm per bulan). Rata-rata curah hujan tahunan yaitu sekitar 2.400 mm, musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April, dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei–September. Kajian terhadap sifat fisik tanah, menunjukan tanah meiliki kemampuan hantar air (keterhantaran hidroulik) berada pada tingkat sedang yaitu antara 17,5 sampai 20,35 cm/jam. Di areal studi sudah tidak ditemukan lagi lahan gambut B. Kajian Perbaikan Sistem Tata Air Untuk mengendalikan muka air tanah sudah dibungun sarana jaringan tata air. Pengelolaan air dapat dilakukan dengan baik bila dua sistem jaringan berfungsi yaitu jaringan utama dan mikro. Jaringan utama meliputi primer dan sekumder, dan jaringan mikro adalah tersier, kuarter dan saluran cacing. Berikut di jelaskan kondisi saluran di tingkat mikro yang ada: 128 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Saluran Tersier, saluran ini berada di setiap dua petak sawah (200 m) yang menghubungkan dua saluran sekunder, yaitu Saluran Drainase Utama (SDU) dengan Saluran Pengairan Desa (SPD) posisinya tegak lurus, saat ini kondisi saluran tersier cukup bersih karena pada bulan–bulan sebelumnya sudah dibersihkan dari gulma air dan endapan lumpur yang diangkut ke JUT (Jalan Usaha Tani). Satu Blok Sekunder (256 ha) terdapat 17 batang SaluranA8.3 Tersier. Saluran Kuarter, posisi saluran ini tegak lurus dengan Saluran Tersier, keberadaan saluran ini setiap satu petak sawah (100 m), seringkali saluran ini ditanami padi dan tanaman lain yang hidup dalam lingkungan basah. Kondisi saluran ini cukup bersih. Saluran Kemalir (Saluran Cacing), keberadaan saluran ini tepat berada ditengah-tengah LUT (Lahan Usaha Tani) sehingga pada saat olah tanah untuk tanaman padi menggunakan hand tractor saluran cacing menjadi rata dengan permukaan tanah sawah. Menjelang waktu tanam, saluran cacing dibuat kembali dengan jumlah 7 batang per setengah hektar (14 batang per hektar). Untuk tanaman jagung biasanya petani membuat lebih banyak saluran cacing dengan jarak antar saluran 6-8 m, hal ini dikarenakan perlu banyak pembuangan air pada masa penanaman tanaman jagung. Untuk pengendalian muka air di saluran sekunder saat ini sudah di pasang pintu sekunder. Selama periode musim hujan (Oktober-Januari), pada periode ini pintu dibiarkan terbuka 80 cm, kondisi ini agar air bisa keluar dan masuk secara normal. Sementara untuk pengendalian air secara maksimal, petani melakukan operasi di saluran tersier. Pintu tersier diletakan di depan pada saat pembuangan air dan di balik kearah dalam pada saat memasukan air. Operasi pintu tersier bisa dilihat dalam Gambar 1. 1.A. 1.B. Gambar 1A. Pintu tersier pada saat pembuangan, 1B pintu tersier pada saat pemasukan air (suplai) C. Kajian Dinamika Air Pengamatan fluktuasi muka air disaluran sekunder (Gambar 2 ) menunjukan lahan memiliki potensi pembuangan yang baik yaitu lebih kurang 11 jam yaitu dari jam 4 sampai jam 129 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan 15 muka air terus turun, kondisi ini menunjukan potensial pembuangan. Namun terjadi aliran keluar akan efektif bila kedalaman air di sekunder sudah dibawah muka air tersier. Yaitu pada angka 100 cm mulai jam 11 sampai jam 20 (muka air berada di 60 cm), sehingga pembuangan (maksimum drainase hanya terjadi 9 jam). Gambar 2. Fluktuasi muka air di saluran sekunder selama dua hari Analisis terhadap fluktuasi muka air tanah (Gambar 3) menunjukkan bahwa sistem tata air di tingkat mikro telah berjalan efektif mampu mengendalikan muka air tanah. Kedalaman air tanah sebagian besar berada di bawah permukaan tanah. Hanya saja untuk di daerah jauh dari saluran (kontrol) muka air berada lebih banyak di atas permukaan tanah. Kondisi ini karena petani di temnpat ini masih menanam padi, ditambah curah hujan yang tinggi. Pintu tersier dioperasikan mengikuti opsi petani padi. 30 20 Muka Air (cm) 10 0 -10 -20 1 8 15 22 29 36 43 50 57 64 71 78 85 Hari (Oktobe r-januri 2014) -30 -40 dekat saluran -50 130 jauh saluran 92 99 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Gambar 3. Dinamika air tanah harian selama musim hujan Memasuki ahir bulan Januari dan awal Februari mulai terjadi penurunan muka air tanah A8.5 karena operasi pintu tersier di maksimalkan sebagai pembuangan. Kondisi ini karena tanaman padi juga tidak perlu air, karena memasuki fase panen. Analisis terhadap kelebihan air di zona akar (Gambar 4) dengan menggunakan konsep SEW-30 (surplus excess water), menunjukkan semua titik pengamatan mengalami kelebihan air (+). Oleh karena itu masih diperlukan peningkatan kapasitas pembuangan saluran. Gambar 4. Kelebihan air dari zona akar 30 cm di bawah permukaan tanah. D. Kajian Budidaya Tanaman Jagung Pada Musim Hujan (Oktober 2013-Januari 2014) Penanamaman jagung pada masa tanam I ini dimulai dengan pengolahan lahan di awal bulan Oktober dan melakukan gejik atau penanaman di tengah bulan Oktober dimana kondisi muka air tanah sedang surut dan cukup sesuai untuk perkecambahan dan pertumbuhan benih jagung. Pertanaman pada MT I tahun 2013/2014 dilakukan pada bulan Oktober 2013 – Januari 2014. Tanam dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2013 dan panen dilakukan pada tanggal 24 Januari 2014. Pertanaman jagung ini merupakan pertanaman pada musim tanam MH yang pertama kali dilakukan oleh petani. Dari hasil pertanaman tersebut menunjukkan bahwa untuk kondisi lahan sepert di lokasi Pak Sulaiman penanaman jagung pada musim hujan dapat dilakukan dengan tetap harus memperhitungkan kondisi curah hujan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa selama kondisi pertumbuhan tanaman yang dilakukan pada musim hujan, tanaman jagung tidak pernah mengalami kebanjiran, jika pun ada air tergenang periodenya tidak lama (<1jam). Umumnya genangan air di lahan 131 A8.6 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan pertanaman terjadi saat pasang puncak berbarengan dengan hujan, genangan tidak terjadi apabila hanya hujan deras atau pasang besar saja. Berdasarkan dari hasil pengamatan tinggi muka air menunjukkan bahwa permukaan air tanah lebih banyak berada di bawah permukaan tanah kecuali pada bulan November dan Desember dibeberapa Wells menunjukkan air tanah berada di atas permukaan dengan tinggi maksimal + 20 cm. Produksi yang dicapai pada MH ini lebih rendah jika dibandingkan dengan produksi yang dicapai pada musim tanam MK. Produksi musim kemarau mencapai 5,4 t/ha jagung pipilan kering, sedangkan pada musim hujan produksi hanya mencapai 4,9 t/ha jagung pipilan basah. Dari hasil penjualan diperoleh bahwa pada musim kemarau hasil yang dicapai adalah Rp. 8. 370.000,- pada MK dan Rp. 4.900.000,- pada MH . Rendahnya produksi yang diperoleh petani pada musim hujan apakah karena kondisi air yang berlebih ataukah faktor pengolehan lahan. Menurut wawancara yang dilakukan dengan petani diketahui bahwa pada musim tanam MH petani tidak melakukan pengolahan tanah, sedangkan pertanaman sebelumnya pengolahan tanah dilakukan. Mungkin perlu dilakukan pengamatan atau kajian tentang pengaruh pengolahan tanah terMungkin perlu dilakukan pengamatan atau kajian tentang pengaruh pengolahan tanah, sehingga jelas diketahui penyebab rendahnya produksi yang dicapai pada musim hujan. Perbedaan pengeluaran Antara musim kemarau dan musim hujan adalah biaya traktor dan biaya penjemuran, adapun biaya traktor adalah Rp 500.000,- dan biaya jemur selama 2 hari x 2 orang x Rp 70.000,- = Rp 280.000,-. Jadi total kelebihan biaya yang dikeluarkan pada MK adalah Rp. 500.000,- + Rp. 280.000,- = Rp. 780.000,-. Jika dikurangi biaya yang dikeluarkan pada musim kemarau (traktor dan jemur, pengeluaran lainnya sama) maka selisih pendapatan yang diperoleh petani pada musim tanam kemarau dan musim hujan adalah Rp. 8. 370.000,- - Rp. 4.900.000,- - Rp 780.000 = Rp. 3.290.000,-. Apabila dilihat dari hasil hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa lebih menguntungkan tanam jagung di musim kemarau. Tanaman jagung umumnya memiliki umur 85-100 hari. Fase pertumbuhan dibagi menjadi fase awal, perkembangan, vegetatif dan generatif. Umumnya tanaman jagung yang ditanam di musim kemarau memiliki masalah kekurangan air pada fase generatif. Dan sebaliknya pada kondisi musim hujan mengalamai kelebihan air (strres air basah). Berikut di jelaskan fase pertumbuhan jagung pada fase generatif: Fase R1 (silking). Tahap silking diawali oleh munculnya rambut dari dalam tongkol yang terbungkus kelobot, biasanya mulai 2-3 hari setelah tasseling. Penyerbukan (polinasi) terjadi ketika serbuk sari yang dilepas oleh bunga jantan jatuh menyentuh permukaan rambut tongkol yang masih segar. Serbuk sari tersebut membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk mencapai sel telur (ovule), di mana pembuahan (fertilization) akan berlangsung membentuk bakal biji. Rambut tongkol muncul dan siap diserbuki selama 2-3 hari. Rambut tongkol tumbuh memanjang 2,5-3,8 cm/hari dan akan terus memanjang hingga 132 A8.7 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan diserbuki. Bakal biji hasil pembuahan tumbuh dalam suatu struktur tongkol dengan dilindungi oleh tiga bagian penting biji, yaitu glume, lemma, dan palea, serta memiliki warna putih pada bagian luar biji. Bagian dalam biji berwarna bening dan mengandung sangat sedikit cairan. Pada tahap ini, apabila biji dibelah dengan menggunakan silet, belum terlihat struktur embrio di dalamnya. Serapan N dan P sangat cepat, dan K hampir komplit (Lee 2007). Fase R2 (blister).Fase R2 muncul sekitar 10-14 hari seletelah silking, rambut tongkol sudah kering dan berwarna gelap. Ukuran tongkol, kelobot, dan janggel hampir sempurna, biji sudah mulai nampak dan berwarna putih melepuh, pati mulai diakumulasi ke endosperm, kadar air biji sekitar 85%, dan akan menurun terus sampai panen. Fase R3 (masak susu).Fase ini terbentuk 18 -22 hari setelah silking. Pengisian biji semula dalam bentuk cairan bening, berubah seperti susu. Akumulasi pati pada setiap biji sangat cepat, warna biji sudah mulai terlihat (bergantung pada warna biji setiap varietas), dan bagian sel pada endosperm sudah terbentuk lengkap. Kekeringan pada fase R1-R3 menurunkan ukuran dan jumlah biji yang terbentuk. Kadar air biji dapat mencapai 80%. Fase R4 (dough). Fase R4 mulai terjadi 24-28 hari setelah silking. Bagian dalam biji seperti pasta (belum mengeras). Separuh dari akumulasi bahan kering biji sudah terbentuk, dan kadar air biji menurun menjadi sekitar 70%. Cekaman kekeringan pada fase ini berpengaruh terhadap bobot biji. Fase R5 (pengerasan biji): Fase R5 akan terbentuk 35-42 hari setelah silking. Seluruh biji sudah terbentuk sempurna, embrio sudah masak, dan akumulasi bahan kering biji akan segera terhenti. Kadar air biji 55%. Fase R6 (masak fisiologis):Tanaman jagung memasuki tahap masak fisiologis 55-65 hari setelah silking. Pada tahap ini, biji-biji pada tongkol telah mencapai bobot kering maksimum. Lapisan pati yang keras pada biji telah berkembang dengan sempurna dan telah terbentuk pula lapisan absisi berwarna coklat atau kehitaman. Pembentukan lapisan hitam (black layer) berlangsung secara bertahap, dimulai dari biji pada bagian pangkal tongkol menuju ke bagian ujung tongkol. Pada varietas hibrida, tanaman yang mempunyai sifat tetap hijau(stay-green) yang tinggi, kelobot dan daun bagian atas masih berwarna hijau meskipun telah memasuki tahap masak fisiologis. Pada tahap ini kadar air biji berkisar 30-35% dengan total bobot kering dan penyerapan NPK oleh tanaman mencapai masing-masing 100%. 133 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan A8.8 Gambar 5. Fase-fase pertumbuhan tanaman jagung (Subekti at al, 2014). Bila dibandingkan dengan keuntungan padi menurut petani penaman jagung di musim hujan sama dengan budidaya padi. Dan lebih menguntungkan dari segi perawatan yang lebih ringan. Hasil yang tidak maskmal dikarenakan proses drainase lahan tidak bisa berjalan maksimal. Kerena operasi tersier tidak semua sebagai drainase hanya pada seminggu terakhir saja dioperasikan penuh sebagai drainase. Petani masih memerlukan air untuk tanaman padi. Oleh karena itu Berikut jadwal operasi air pintu air tersier yang seharusnya dan yang terjadi dilapangan (Tabel 1). Tabel 1. Operasi pintu air untuk budidaya jagung di musim hujan. Fase Rekomendasi Operasi Operasi Pintu di Lapangan pertumbuham Pintu Tersier Kuarter Tersier Kuarter Awal Buka Buka Tutup Buka Perkembangan Buka Buka Tutup Buka Vegetatif Buka Buka Tutup Buka Generatif Buka Buka Buka 134 Buka Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Tanaman jagung akan maksimal berproduksi (100%) bila kedalaman air tanah berada pada kedalaman 80-90 cm dibawah permukaan tanah, dan sebaliknya bila kedalaman air tanah berkisar di 30 cm dibawah permukaan tanah maka produksi hanya mampu 40% (Busscher et al 1994). Respon tanaman jagung juga lebih baik pada kedalaman A8.9 air tanah 100-120 cm, dan menunjukan penurunan yang nyata pada kedalaman air tanah 60 cm dibawah permukaan tanah (Chaudhary, et al 2014). Menurut Doty (1980), ditemukan bahwa kedalaman air tanah optimum untuk jagung yang ditanam di tanah tekstur pasir dan lempung berpasir adalah antara 78-89 cm dibawah permukaan tanah. Ditambahkan hasil penelitian Kalita dan Kanwar (1993) Madramootoo et al. (1995) menunjukkan bahwa produksi jagung tertinggi dicapai pada kedalaman air tanah 0.6±0.9 m, dan terendah pada kedalaman 0.2±0.3 m. Informasi ini menunjukan bahwa waja hasil produksi jagung di lahan petani mengalami penurunan yang tajam karena muka air berada di kisaran 20-30 cm dibawah permukaan tanah. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Adapun kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut: Karakteristik fisik tanah menunjukan tekstur lempung sampai liat, nilai keterhantaran hidroulik tanah sedang dan secara kualitas sesuai untuk tanaman jagung. Kajian dinamika air tanah menunjukan tanah terlalu basah dan terjadi genangan beebrapa jam setelah hujan. Kapasitas drainase makro dan mikro tidak bisa berfungsi maksimal karena kondisi curah hujan tinggi. Selain itu operasi pintu tersier tidak masimal karena menyesuaikan dengan petani padi. Untuk memaksimalkan kinerja sistem drainase di musim hujan maka diperlukan inovasi baru, karena sistem saluran terbuka masih belum mampu menurunkan muka air tanah. Teknologi drainase bawah tanah yang dikombinasikan dengan sistem saluran terbuka bisa menjadi alternatif untuk membantu menurunkan muka air tanah. Potensi jagung cukup baik meskipun produksi kurang 20% dibanding dengan produksi musim kemarau. Produksi yang didapat adalah 4,9 ton/ha. Namun pola ini memberi peluang petani bisa tanam tiga kali (Jagung-jagung-jagung) dan tahun kedua adalah padi-jagung-jagung. Produksi masih mungkin ditingkatkan bila muka air tanah bisa diturunkan ke angka 50-60 cm dibawah permukaan tanah. 135 Prosiding Seminar Nasional INACID 16 – 17 Mei 2014, Palembang – Sumatera Selatan Untuk menjaga kesuburan tanah, pola tanam jagung-jagung-jagung di tahun pertama dikombinasikan dengan padi-jagung-jagung di tahun kedua. Dan selanjutnya kembali jagung tiga kali tanam. Potensi tiga kali tanam ini mampu meningkatkan pendapatan petani dan bisa mengalahkan hasil pendapatan dari kelapa sawit. A8.10 DAFTAR PUSTAKA Busscher, W.J. Sadler, E.J and F. S. Wright, F.S. 1994. Soil and crop management aspects of water table control Dractices. Journal of Soil and water conservation. 47(1):71-74. Chaudhary, T.N., Bhatnagar, V.K and Prihar, S.S. 2014; Corn Yield and Nutrient Uptake as Affected by Water-Table Depth and Soil Submergence. Agronomy Journal. Vol. 67 No. 6, p. 745-749 Doty, C.W. 1980. Crop water supplied by controlled and reversible drainage. Transactions of the ASAE 23: 1122-1126. Imanudin M.S., dan R.H Susanto. 2003. Perbaikan Sarana Infrastruktur Jaringan Tata Air pada Berbagai Tipologi Lahan Rawa Pasang Surut Sumatera Selatan (Prosiding Seminar Nasional Rawa (Banjarmasin, 4 Agustus 2008) Tema : Teknik Pengembangan Sumber Daya Rawa. ISBN : 979985718-7). Imanudin, M.S., dan R.H Susanto. 2004. Evaluasi Fungsi Struktur dan Jaringan Tata Air Dengan Komputer Model “Duflow” Daerah Reklamasi Rawa Pasang Surut Dalam Mendukung Budidaya Perikanan. Makalah Pendukung Dalam Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pemanfaatan Dan Pengelolaan Perairan Umum Secara Terpadu Bagi Generasi Sekarang Dan Mendatang. Palembang, 27-29 Juli 2004. Kalita, P.K., Kanwar, R.S., 1993. Effect of water-table management practices on the transport of nitrateN to shallow groundwater. Trans. ASAE 36 (2), 413±422. Mejia, M.N, C.A. Madramootoo*, C.A. Broughton, R.S. 2000. Infuence of water table management on corn and soybean yields. Agricultural Water Management 46 (2000) Madramootoo, C.A., Papadopoulos, A., 1991. Soil moisture and nitrate distributions under soybeanwater table management systems. ASAE Paper No. 91-2585, ASAE, St. Joseph, MI Subekti, N.A. Syafruddin, Efendi, R dan Sri Sunarti. 2014. Morfologi Tanaman dan FasePertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Buletin download 2014. 136