OPSI RETENSI AIR PADA SISTEM DRAINASE BAWAH TANAH UNTUK BUDIDAYA JAGUNG MUSIM KEMARAU DI LAHAN RAWA PASANG SURUT Oleh Bakri, Momon Sodik Imanudin, dan Masreah Bernas Peneliti pada Pusat Penelitian Lahan Sub Optimal Unsri Dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Unsri Kampus Unsri-Indralaya Telp 62-711-580-460 Email: [email protected] ABSTRACT Kendala pertanian di lahan rawa pasang surut adalah dalam pengendalian air, yaitu terjadi kelebihan air di musim penghujan dan kekurangan di musim kemarau. Pada periode tanam tahun 2014, telah terjadi pergesaran musim penghujan dimana hujan masih turun sampai bulan Agustus. Kondisi ini petani memungkinkan untuk tanam tiga kali. Penelitian lapangan bertujuan untuk budidaya tanaman musim ke tiga. Jagung di tanam pada bulan Agustus 2014. Instalasi drainase bawah tanah yang sebelumnya berfungsi sebagai pembuang air, telah di rubah fungsi sebagai penahanan air. Air hujan semaksimalkan mungkin dapat disimpan dalam tanah melalui pipa bawah tanah dan pipa terhubung dengan bangunan control yang dilengkapi puntu stop log yang berfungsi mencegah air bawah tanah keluar menuju saluran tersier. Hasil penelitian menunjukan tanaman jagung dapat tumbuh baik pada periode kemarau puncak (Oktober) dimana muka air tanah berada di -50 cm dibawah permukaan tanah, sementara pada lahan tanpa drainase bawah tanah muka air turun sampai-70 cm dibawah permukaan tanah. Dari kondisi ini maka instalasi drainase bawah tanah pada musim kemarau berfungsi sebagai retensi air, sehingga fungsi jaringan menjadi terbalik bukan sebagai pembuangan tetapi menahan muka air. Kondisi ini berdampak pada terciptanya muka air optimum untuk bergerak secara kapiler untuk pemenuhan kebutuhan air tanaman. Kata kunci: Retansi air, lahan rawa pasang surut, drainase bawah tanah Keywords: Tidal lowlands, water retention, subsurface drainage, corn PENDAHULUAN Pertanian di daerah rawa pasang surut saat ini mulai menampakan hasil yang baik. Ini ditandai dengan produktivitas lahan dimana sebagian besar lahan reklamasi rawa pasang surut di Sumatera Selatan sudah dua kali tanam (IP 200). Kunci keberhasilan adalah karena sebagian besar lahan sudah dibangun infrastruktur tata air yang dilengkapi dengan bangunan pengatur air di tingkat tersier. Namun demikian untuk meningkatkan produktivitas lahan menjadi IP 300, diperlukan 1 inovasi baru teknologi pengendalikan air tanah. Kondisi ini dimaksud agar pada kondisi dimana air terbatas petani masih bisa melakukan budidaya tanaman. Inovasi pengendalian muka air yaitu dengan membangun instalasi drainase bawah tanah telah dikaji pada dua tahun terkahir (Bakri et al 2014). Hasil kajian aplikasi di lahan rawa pasang surut menunjukkan sistem ini hanya efektif bekerja pada musim pancaroba. Pada musim hujan air genangan terlalu banyak sehinga sistem saluran terbuka masih dibutuhkan. Pada musim pancaroba sistem ini mampu menurnkan muka air tanah sehingga budidaya jagung bisa dikerjakan. Selanjutnya sistem ini perlu dikaji penggunaannya pada musim kemarau. Sistem drainase akan diubah menjadi sistem retensi air, sehingga fungsi mampu menjaga muka air tanah tidak cepat hilang. Pada sistem ini suplai air hanya tergantung kepada curah hujan. Kondisi air pasang di saluran tersier pada lahan tipologi B tidak bisa meluapi lahan oleh karena itu suplai air di tersier hanya bersipat menjaga keseimbangan air di petrak tersier. Oleh karena itu saluran tersier berfungsi sebagai sub-reservoir, yang didukung dengan operasi pintu kelep sebagai suplai. Sistem retensi air pada drainase bawah tanah berupaya menciptakan kondisi muka air tanah tidak melebihi angka kritis tanaman jagung. Menurut (Lucas 1982 dalam FAO 1988) tanaman jagung mampu tumbuh dengan pada kedalaman air tanah 45-75 cm Instalasi drainase bawah tanah ideal di pasang pada kedalaman 0,6m dibawah permukaan tanah (Lamm, and Troojen, 2005). Sementara itu jarak antar saluran pipa drainase bawah tanah pada tanah dengan dominasi tekstur liat dianjurkan setiap 6m (Kelly et al., 2012). Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu penelitian mengenai aplikasi sistem drainase bawah tanah. Makalah ini akan menyajikan hasil kajian lapangan perubahan operasi sistem drainase bawah tanah sebagai pembuang air menjadi sistem penahan air (retensi air). METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut tiplologi lahan B dimana air pasang tidak bisa meluapi lahan sehingga irigasi pasang tidak bisa dilakukan. Waktu penelitian lapangan adalah pada musim tanam tiga periode Juli-Oktober 2014. Jagung di tanam pada petak percontohan seluas 0,25 ha. Jaringan tata air terdiri dari saluran tersier dan kuarter (Gambar 1) Sistem saluran terbuka yang sudah tetap dipertahankan yaitu dengan mempertahankan saluran cacing dengan jarak antar saluran 8m. Instalasi pipa bawah tanah ditanam di dasar saluran dengan kedalaman 20 cm dari dasar saluran cacing. Sehingga kedalaman pipa berada 50 cm relative terhadap permukaan tanah. Pipa drainase terbuat dari paralon berlubang yang permukan pipa diselimuti sabut kelapa. Untuk pengendalian muka air seluruh pipa saling berhubungan dengan sistem garpu yang pada bagian ujung terhubung dengan pipa kolektor. Di bagian tengah pipa kolektor di bangun 2 kotak (box control) yang dilengkapi dengan pintu stoplog. Pintu ini untuk mencegah air keluar menuju saluran tersier. Selain itu, data curah hujan dan tinggi muka air saluran dan lahan akan diolah menggunakan konsep SEW-30 (Surplus Excess Water – 30). Konsep ini digunakan untuk menunjukkan kondisi kelebihan air tanah (cm/hari) pada masa pertumbuhan tanaman dengan persamaan : SEW-30 = Dimana adalah muka air tanah pada akhir masing – masing jam dan m (meter) adalah akhir total jam selama pertumbuhan tanaman. Pipa drainase bawah tanah Saluran kolektor Bangunan pengendali (box control) dan pintu stoplog Gambar 1. Skematis sistem tata air mikro dengan pipa drainase bawah tanah di lapangan HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Fisik Tanah Kemampuan tanah dalam mendistribusikan air sangat ditekntukan dengan nilai keterhantaran hidroulik. Pengukuran keterhantaran hidraulik tanah dilakukan secara langsung di petak lahan dengan menggunakan metode auger hole. Hasil pengukuran langsung dilapangan menunjukkan nilai keterhantaran hidroulik tanah sebagian besar tergolong sedang (Tabel 1). Tinggi rendahnya nilai keterhantaran hidraulik tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, bahan organik dan kondisi lapangan salah satunya distribusi perakaran tanaman. Kondisi nilai keterhantaran 3 hidroulik dengan kriteria sedang menunjukan sesuai untuk aplikasi draianse bawah tanah. Hal ini disebabkan karena pergerakan air secara horinzontal maupun vertikal mampu mengimbangi kapasitas retensi air dari pipa bawah tanah. Lain halnya bila nilai keterhantaran hidroulik sangat lambat maka kemampuan pengaliran menjadi lambat sehingga dibawah dari retensi atau kapasitas drainase pipa bawah tanah, akibatnya lahan bisa tergenang. Tabel 1. Hasil pengamatan Keterhantaran Hidraulik Tanah No. 1 2 3 4 5 6 Titik 1 2 3 4 5 6 Keterhantaran hidraulik (cm/jam) 20.88 16.7 20.5 19.6 19.87 17.25 Kriteria Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tekstur tanah pada lapisan atas (Tabel 2) di areal studi adalah lempung, lempung berdebu dan lempung berliat. Tanah bertekstur lempung merupakan peralihan tanah pasir dan liat, sehingga mempunyai kemampuan untuk menahan air dan unsru hara cukup baik, tidak terlalu lekat dan keras sehingga mudah untuk dikerjakan. Sementara untuk tanah lapisan kedua (Tabel 4) kondisi tanah didominasi oleh tekstur liat, Fraksi liat sebagian besar lebih dari 50%. Kondisi ini membuat kemampuan tanah dalam melewatkan air lambat. Tabel 3. Kelas Tekstur Tanah Lapisan 1 Titik Pengamatan T1 T2 T3 T4 T5 Kedalaman Lapisan (cm) 0-17 0-15 0-13 0-9 0-12 Fraksi Tekstur (%) Pasir Debu Liat 32,4 44 23,6 28,4 40 31,6 18,4 58 23,6 36,4 40 23,6 40,4 38 21,6 Kelas Tekstur Lempung Lempung Berliat Lempung Berdebu Lempung Lempung Lempung Tabel 4. Kelas Tekstur Tanah Lapisan 2 Titik Pengamatan T1 T2 T3 T4 T5 Kedalaman Lapisan (cm) 17-60 15-60 13-60 19.-60 12.-60 Fraksi Tekstur (%) Pasir Debu Liat 16,4 34 49,6 12,4 16 51,6 12,4 36 51,6 12,4 36 51,6 14,4 34 51,6 Kelas Tekstur Liat Liat Liat Liat Liat 4 B. Karakter Jaringan Tata Air Jaringan Tata Air di areal studi Desa Mulyasari (P17-5S) dapat dikelompokkan menjadi tiga : 1. Saluran Makro (Saluran Primer dan Navigasi), 2. Saluran Meso (Saluran Sekunder SPD dan SDU), 3. Saluran Mikro ( Saluran Tersier, Kuarter dan Cacing). Masing – masing jaringan tata air saling berhubungan secara langsung sesuai dengan urutan harkatnya, artinya kalau jaringan meso dangkal, maka dengan sendirinya saluran Mikro kurang berfungsi sehingga sangat mengganggu kegiatan usaha tani. Keberadaan saluran Makro selain bagian dari jaringan tata air, dapat juga digunakan sebagai sarana transportasi penghubung dan perdagangan, sedangkan saluran Meso apabila tidak ada bangunan pintu air, berfungsi juga seperti saluran Makro. Saluran Mikro secara langsung “bersentuhan” dengan lahan usaha tani. Kondisi masing – masing saluran sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Saluran Tersier, saluran ini berada di setiap dua petak sawah (200 m) yang menghubungkan dua saluran sekunder, yaitu Saluran Drainase Utama (SDU) dengan Saluran Pengairan Desa (SPD) posisinya tegak lurus, saat ini kondisi saluran tersier cukup bersih karena sudah dibersihkan dari gulma air dan endapan lumpur yang diangkut ke JUT (Jalan Usaha Tani). Satu Blok Sekunder (256 ha) terdapat 17 batang Saluran Tersier. Saluran Kuarter, posisi saluran ini tegak lurus dengan Saluran Tersier, keberadaan saluran ini setiap satu petak sawah (100 m), seringkali saluran ini ditanami padi dan tanaman lain yang hidup dalam lingkungan basah. Kondisi saluran ini cukup bersih. Saluran Kemalir (Saluran Cacing), keberadaan saluran ini tepat berada ditengah-tengah lahan usaha tani sehingga pada saat olah tanah untuk tanaman padi menggunakan hand tractor saluran cacing menjadi rata dengan permukaan tanah sawah. Menjelang waktu tanam, saluran cacing dibuat kembali dengan jumlah 7 batang per setengah hektar (14 batang per hektar). Untuk tanaman jagung biasanya petani membuat lebih banyak saluran cacing dengan jarak antar saluran 6-8 m, hal ini dikarenakan perlu banyak pembuangan air Pipa drainase bawah tanah di pasang dibawah saluran cacing. jarak antar saluran adalah setiap 8m. Pipa ditanam pada kedalaman 20 cm dari dasar saluran cacing.Untuk mengendalikan muka air tanah maka dipasang kotak monitoring (box control) liat Gambar 6. Kolektor Pintu Pipa drainase bawah tanah Tersier Pipa pengeluaran Gambar 2. Sistem pengendali terpusat menggunakan kotak kontrol C. Budidaya Tanaman Jagung Musim tanam ketiga dimulai pada bulan Juni. Luas lahan yang digarap adalah 5000 m2 yang terletak di saluran tersier (Tc) 5.Lama budidaya tanaman jagung adalah 3 bulan. Pengolahan tanah 5 dengan menggunakan traktor. Dalam pengolahan tanah dilakukan sebanyak 2x yaitu pembajakan dan penggaruan. Pengolahan tanah dilakukan seminggu sebelum tanam, dan berlangsung selama 7 hari. Varietas yang digunakan adalah Pioneer ( P27) jumlah benih yang digunakan dalam penanaman sebanyak 3 bungkus, dengan berat benih satu bungkusnya sebanyak 5 kg. Untuk penyulaman dilakukan hanya ketika tanaman berumur 2 minggu, penyulaman dilakukan hanya 1 kali. Pupuk yang digunakan dalam budidaya tanaman jagung yaitu urea, TSP, dan Kcl dengan dosis pupuk untuk urea sebanyak 250 kg/ha, TSP sebanyak 200 kg/ha, dan Kcl sebanyak 200kg/ha. Pemupukan dilakukan ketika tanaman jagung berumur 14 hari dan 40 hari. Cara pemupukan dilakukan dengan cara ditebar di sekeliling tanaman jagung. Selain pemupukan dan penyiangan petani juga melakukan pemeliharaan dengan mengatur kebutuhan air bagi tanaman dengan cara pengoperasian pintu air tersier. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengubah letak pintu air sesuai dengan fungsi dan kebutuhan air yaitu dengan cara meletakkan pintu air di depan untuk pembuangan air dari lahan (drainase) dan meletakkan pintu air di belakang untuk suplai air ke lahan (irigasi). Hama yang menyerang tanaman jagung yaitu ulat dan tikus. Cara pengendaliannya secara kimia dengan menggunakan pestisida kimia. Dosis pestisida yang digunakan 1 liter/ ha. Frekuensi pengendalian dilakukan pada saat tanaman berumur 26 hari dan 60 hari. Pemanenan tanaman jagung dilakukan ketika tanaman jagung berumur 3 bulan yaitu pada tanggal 29 september 2014. Dalam pemanenan jagung menggunakan tenaga kerja dengan upah Rp 60.000/ hari untuk satu orangnya. Pemanenan dilakukan dengan cara jagung dipetik menggunakan tangan, setelah tanaman jagung di panen dilakukan perontokan dengan menggunakan mesin perontok jagung. Setelah dilakukan perontokan jagung akan dimasukkan ke dalam karung dan diangkut menggunakan kendaraan motor, dan dilakukan penjemuran, jika cuaca terik lama penjemuran hanya berlangsung 2 hari, tetapi jika cuaca mendung 4 hari. Hasil panen untuk lahan seluas 0.5 ha sebanyak 3,2 ton, dengan harga jual sebesar 2.800/ kg. D. Evaluasi Status Air sebagai Dampak Operasi Retensi Air pada Sistem Drainase Bawah Tanah Hasil pengamatan kondisi muka air tanah di lapangan (Gambar 3) menunjukkan pada kondisi kemarau muka air tanah pada lokasi dekat saluran memiliki kedalaman terendah di angka 66 cm dari permukaan tanah, dan angka tertinggi berada -7 cm. Sedangkan untuk lokasi yang jauh dari saluran memiliki angka terendah -82 dan tertingi pada -4 cm dari permukaan tanah. Kondisi ini menunjukan pada kondisi ada hujan lokasi yang dekat saluran lebih tinggi muka airnya dan pada musim kemarau (lama tidak hujan) menunjukan semakin jauh saluran maka akan semakin menurunkan muka air tanahnya. Dari Gambar 6, terlihat jelas terjadi kenaikan muka air tanah bila lahan menerima hujan. Ini menunjukan bahwa fungsi drainase bawah tanah sebagai retensi air berfungsi dengan baik. Penahanan air dengan menutup pintu pada kotak pengendali menyebabkan air terinfilitrasi kedalam tanah dan tidak air yang hilang ke saluran tersier. Aliran permukaan tertampung dalam saluran terbuka, dan selanjutnya terinfiltrasi kedalam pipa drainase bawah tanah. Adapun mekanisme pergerakan air dalam proses pengisian air tanah pada saat terjadi hujan dapat dilihat pada Gambar 8 (A). Pada kondisi ini air hujan akan terinfiltrasi kedalam tanah dan bila terjadi kelebihan maka akan mengalir kedalam saluran cacing. Saluran cacing pada bagian bawahnya sudah di lengkapi sistem drainase bawah tanah, sehingga saluran tidak akan tergenang 6 karena air akan langsung terinfiltasi kedalam pipa bawah tanah. Kondisi ini memungkinan terjadi stok cadangan air permukaan yang akan menjaga penurunan muka air tanah. 20 10 Date June-September 2014 Water Depth (cm) 0 -10 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89 97 105 113 121 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 Water Table 1 -90 Water Table 2 Rain Gambar 4. Dinamika air tanah pada pertanaman jagung musim kemarau Juni-September 2014 Evapotranspi rasi Hujan (A) Evaporasi (B) Muka air tanah tanah pergerakan air Gambar 5. Mekanisme pergerakan air pada sistem drainase bawah tanah opsi retensi air, dimana kondisi (A) adalah retensi air hujan, (B) adalah pemanfaatan air kapiler (sub-irigasi) 7 Sementara itu pada saat tidak terjadi hujan Gambar (8B). Kondisi ini air pasang hanya berpungsi untuk mengisi saluran tersier sehingga tidak terjadi pergerakan air lateral dari lahan ke saluran tersier. Petak kontrol dioperasikan tertutup sehingga air di lahan tidak keluar. Kondisi ini mampu menjaga muka air tanah stabil dalam kedalaman yang diinginkan tanaman sehingga dapat menyuplai kebutuhan air tanaman secara kapiler. Evaluasi status air menggunakan konsep SEW-30 untuk tanaman pangan secara umum di modifikasi dengan menambahkan 10 cm yaitu menjadi SEW-40 cm. Kondisi ini karena tanaman jagung ideal terhadap muka air tanah berada 40-60cm (Williamson and van Schilfgaarde, 1965; dalam NDSU dowloaded 2014). Hasil analisis menunjukan kedalaman air tanah masih cukup baik (Gambar 6) dalam memenuhi kebutuhan air tanaman karena total kelebihan masih mencapai 612 cm. Kondisi ini menunjukan peran sistem drainase bawah tanah berjalan efektif dalam mengurangi kehilangan air. Sehingga air tanah tidak hilang secara cepat, meskipun kondisi curah hujan yang sangat sedikit. Ditambahkan menurut Nosetto et al (2009)., bahwa kedalaman air tanah berpengaruh terhadap pergerakan air kafiler yang selanjutnya mempengaruhit status air di zona akar. Pergerakan air kafiler ini sangat dipengaruhi oleh tekstur. Untuk tanah berpasir kedalaman ideal berada 140 cm dibawah permukaan tanah. Hasil kajian menunjukkan produksi jagung akan berkurang 0.05 kg m2 pada setiap kenaikan 10 cm muka air tanah. 40.00 Water Depth cm 30.00 20.00 10.00 0.00 -10.00 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89 97 105 113 121 Date June-September 2014 -20.00 SEW-40 -30.00 Gambar 6. Analisis kelebihan air pada batas kritis 40 cm di bawah permukaan tanah Kondisi terbaik untuk memenehi kebutuhan air tanaman melalui pergerakan kapiler adalah pada kedalaman air tanah -100 cm dengan kondisi suplai air dari hujan atau irigasi terbatas (Beltrão, at al 1996)., ditambahkan menurut Liu dan Luo (2011), kedalaman muka air tanah pada kondisi tidak lebih dalam dari 110 cm pengaruh pergerakan air kapiler sebagian besar memenuhi kebutuhan air tanaman. Pada kondisi kering dimana muka air mencapai 150 cm, maka kontribusi air tanah mencapai 65% dari kebutuhan evapotranspirasi potensial. 8 UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada kementerian Riset dan Teknologi melalui program Insentif Riset SINas 2014 yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu juga terima kasih kepada Pusat Unggulan Riset - Pengembangan Lahan Sub Optimal Universitas Sriwijaya selaku institusi yang telah memfasilitasi dan mengarahkan seluruh kegiatan penelitian, sehingga berjalan dengan baik. KESIMPULAN DAN SARAN Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kunci keberhasilan budidaya tanaman di lahan pasang surut adalah kepada pengendalian muka air. Opsi pengendalian pada musim kemarau berbeda dengan musim hujan. Pada kondisi kering (MT3) opsi pengendalian muka air ditujukan kepada retensi air, sehingga pintu kontrol ditutup maksimum. Penahanan air ini juga mengurang kehilangan air karena perkolasi dan mampu meningkatkan kedalaman muka air tanah, sehingga sistem drainase bawah tanah berfungsi sebagai irigasi bawah tanah ( sub-irrigation). Pengaruh positif dari perubahan operasi berdampak kepada pemenuhan kebutuhan air tanaman di musim kemarau tanpa harus adanya pompa air. Oleh karena itu petani bisa tanam tiga kali (IP 300). Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk lahan yang memiliki karakteristik yang berbeda, sepeti pada tipologi lahan C yang memiliki nilai keterhantaran hidroulik tinggi. Aplikasi berbagai jarak antar saluran pada sistem drainase bawah tanah juga masih harus dikaji pada berbagai tekstur tanah berbeda dan sistem ini akan berjalan bila saluran tersier sudah dilengkapi dengan pintu air. DAFTAR PUSTAKA Bakri, Imanudin M.S, Bernas, S. 2014. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014. I SBN : 979-587-529-9. Beltrão, J. Antunes Da Silva, A., Ben Asher, J. 1996. Modeling the effect of capillary water rise in corn yield in Portugal. Irrigation and Drainage Systems. May 1996, Volume 10, Issue 2, pp 179-189. Fao. 1988. Nature And Management Of Tropical Peat Soils. J. P. Andriesse, FAO Soils Bulletin 59. Dowloaded. 2014 Http://Www.Fao.Org/Docrep/X5872e/X5872e00.Htm#Contents. 9 Kelly A. Nelson, K.A and Smoot, LR. 2012. Corn Hybrid Response to Water Management Practices on Claypan Soil. International Journal of Agronomy Volume 2012 (2012), Article ID 925408, 10 pages. Liu T, and Luo. Y. 2011. Effects of shallow water tables on the water use and yield of winter wheat (Triticum aestivum L.) under rain-fed condition. Australian Journal of Crop Science. AJCS 5(13):1692-1697 Nosetto, M.D, Jobba gy, E.G., Jackson,R.B., Scnaider, G,A, 2009. Reciprocal influence of crops and shallow ground water in sandy landscapes of the Inland Pampas. Field Crops Research 113 (2009) 138–148. Tan, C.F. Drury , J.D. Gaynor & H.Y.F. Ng. 2013. Effect Of Controlled Drainageand Subirrigation On Subsurfacetile Drainage Nitrate Loss And Cropyield At The Farm Scale. Canadian Water Resources Journal. Vct.24. No. 3. 1999. Published online: 23 Jan 2013. Xiaopeng Li, Scott X. Chang, and K. Francis Salifu. 2013. Soil texture and layering effects on water and salt dynamics in the presence of a water table: a review. Environ. Rev. 21: 1–10 (2013) dx.doi.org/10.1139/er-2013-0035. Published at www.nrcresearchpress.com/er on 19 August 2013. 10