sistem drainase bawah tanah sebagai retensi air di lahan rawa

advertisement
OPSI RETENSI AIR PADA SISTEM DRAINASE BAWAH TANAH UNTUK BUDIDAYA
JAGUNG MUSIM KEMARAU DI LAHAN RAWA PASANG SURUT
Oleh
Bakri, Momon Sodik Imanudin, dan Masreah Bernas
Peneliti pada Pusat Penelitian Lahan Sub Optimal Unsri
Dosen Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Unsri
Kampus Unsri-Indralaya Telp 62-711-580-460
Email: [email protected]
ABSTRACT
Kendala pertanian di lahan rawa pasang surut adalah dalam pengendalian air, yaitu terjadi kelebihan air di
musim penghujan dan kekurangan di musim kemarau. Pada periode tanam tahun 2014, telah terjadi
pergesaran musim penghujan dimana hujan masih turun sampai bulan Agustus. Kondisi ini petani
memungkinkan untuk tanam tiga kali. Penelitian lapangan bertujuan untuk budidaya tanaman musim ke
tiga. Jagung di tanam pada bulan Agustus 2014. Instalasi drainase bawah tanah yang sebelumnya berfungsi
sebagai pembuang air, telah di rubah fungsi sebagai penahanan air. Air hujan semaksimalkan mungkin
dapat disimpan dalam tanah melalui pipa bawah tanah dan pipa terhubung dengan bangunan control yang
dilengkapi puntu stop log yang berfungsi mencegah air bawah tanah keluar menuju saluran tersier. Hasil
penelitian menunjukan tanaman jagung dapat tumbuh baik pada periode kemarau puncak (Oktober) dimana
muka air tanah berada di -50 cm dibawah permukaan tanah, sementara pada lahan tanpa drainase bawah
tanah muka air turun sampai-70 cm dibawah permukaan tanah. Dari kondisi ini maka instalasi drainase
bawah tanah pada musim kemarau berfungsi sebagai retensi air, sehingga fungsi jaringan menjadi terbalik
bukan sebagai pembuangan tetapi menahan muka air. Kondisi ini berdampak pada terciptanya muka air
optimum untuk bergerak secara kapiler untuk pemenuhan kebutuhan air tanaman. Kata kunci: Retansi air,
lahan rawa pasang surut, drainase bawah tanah
Keywords: Tidal lowlands, water retention, subsurface drainage, corn
PENDAHULUAN
Pertanian di daerah rawa pasang surut saat ini mulai menampakan hasil yang baik. Ini ditandai
dengan produktivitas lahan dimana sebagian besar lahan reklamasi rawa pasang surut di Sumatera
Selatan sudah dua kali tanam (IP 200). Kunci keberhasilan adalah karena sebagian besar lahan
sudah dibangun infrastruktur tata air yang dilengkapi dengan bangunan pengatur air di tingkat
tersier. Namun demikian untuk meningkatkan produktivitas lahan menjadi IP 300, diperlukan
1
inovasi baru teknologi pengendalikan air tanah. Kondisi ini dimaksud agar pada kondisi dimana air
terbatas petani masih bisa melakukan budidaya tanaman.
Inovasi pengendalian muka air yaitu dengan membangun instalasi drainase bawah tanah telah
dikaji pada dua tahun terkahir (Bakri et al 2014). Hasil kajian aplikasi di lahan rawa pasang surut
menunjukkan sistem ini hanya efektif bekerja pada musim pancaroba. Pada musim hujan air
genangan terlalu banyak sehinga sistem saluran terbuka masih dibutuhkan. Pada musim pancaroba
sistem ini mampu menurnkan muka air tanah sehingga budidaya jagung bisa dikerjakan.
Selanjutnya sistem ini perlu dikaji penggunaannya pada musim kemarau. Sistem drainase akan
diubah menjadi sistem retensi air, sehingga fungsi mampu menjaga muka air tanah tidak cepat
hilang. Pada sistem ini suplai air hanya tergantung kepada curah hujan. Kondisi air pasang di
saluran tersier pada lahan tipologi B tidak bisa meluapi lahan oleh karena itu suplai air di tersier
hanya bersipat menjaga keseimbangan air di petrak tersier. Oleh karena itu saluran tersier
berfungsi sebagai sub-reservoir, yang didukung dengan operasi pintu kelep sebagai suplai.
Sistem retensi air pada drainase bawah tanah berupaya menciptakan kondisi muka air tanah
tidak melebihi angka kritis tanaman jagung. Menurut (Lucas 1982 dalam FAO 1988) tanaman
jagung mampu tumbuh dengan pada kedalaman air tanah 45-75 cm Instalasi drainase bawah tanah
ideal di pasang pada kedalaman 0,6m dibawah permukaan tanah (Lamm, and Troojen, 2005).
Sementara itu jarak antar saluran pipa drainase bawah tanah pada tanah dengan dominasi tekstur
liat dianjurkan setiap 6m (Kelly et al., 2012).
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu penelitian mengenai aplikasi sistem drainase
bawah tanah. Makalah ini akan menyajikan hasil kajian lapangan perubahan operasi sistem
drainase bawah tanah sebagai pembuang air menjadi sistem penahan air (retensi air).
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di lahan pasang surut tiplologi lahan B dimana air pasang tidak bisa
meluapi lahan sehingga irigasi pasang tidak bisa dilakukan. Waktu penelitian lapangan adalah pada
musim tanam tiga periode Juli-Oktober 2014. Jagung di tanam pada petak percontohan seluas 0,25
ha.
Jaringan tata air terdiri dari saluran tersier dan kuarter (Gambar 1) Sistem saluran terbuka
yang sudah tetap dipertahankan yaitu dengan mempertahankan saluran cacing dengan jarak antar
saluran 8m. Instalasi pipa bawah tanah ditanam di dasar saluran dengan kedalaman 20 cm dari
dasar saluran cacing. Sehingga kedalaman pipa berada 50 cm relative terhadap permukaan tanah.
Pipa drainase terbuat dari paralon berlubang yang permukan pipa diselimuti sabut kelapa.
Untuk pengendalian muka air seluruh pipa saling berhubungan dengan sistem garpu yang
pada bagian ujung terhubung dengan pipa kolektor. Di bagian tengah pipa kolektor di bangun
2
kotak (box control) yang dilengkapi dengan pintu stoplog. Pintu ini untuk mencegah air keluar
menuju saluran tersier.
Selain itu, data curah hujan dan tinggi muka air saluran dan lahan akan diolah
menggunakan konsep SEW-30 (Surplus Excess Water – 30). Konsep ini digunakan untuk
menunjukkan kondisi kelebihan air tanah (cm/hari) pada masa pertumbuhan tanaman dengan
persamaan :
SEW-30 =
Dimana
adalah muka air tanah pada akhir masing – masing jam dan m (meter) adalah
akhir total jam selama pertumbuhan tanaman.
Pipa drainase bawah tanah
Saluran kolektor
Bangunan pengendali (box control) dan pintu stoplog
Gambar 1. Skematis sistem tata air mikro dengan pipa drainase bawah tanah di lapangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Fisik Tanah
Kemampuan tanah dalam mendistribusikan air sangat ditekntukan dengan nilai keterhantaran
hidroulik. Pengukuran keterhantaran hidraulik tanah dilakukan secara langsung di petak lahan
dengan menggunakan metode auger hole. Hasil pengukuran langsung dilapangan menunjukkan
nilai keterhantaran hidroulik tanah sebagian besar tergolong sedang (Tabel 1). Tinggi rendahnya
nilai keterhantaran hidraulik tanah sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, bahan organik dan
kondisi lapangan salah satunya distribusi perakaran tanaman. Kondisi nilai keterhantaran
3
hidroulik dengan kriteria sedang menunjukan sesuai untuk aplikasi draianse bawah tanah. Hal ini
disebabkan karena pergerakan air secara horinzontal maupun vertikal mampu mengimbangi
kapasitas retensi air dari pipa bawah tanah. Lain halnya bila nilai keterhantaran hidroulik sangat
lambat maka kemampuan pengaliran menjadi lambat sehingga dibawah dari retensi atau kapasitas
drainase pipa bawah tanah, akibatnya lahan bisa tergenang.
Tabel 1. Hasil pengamatan Keterhantaran Hidraulik Tanah
No.
1
2
3
4
5
6
Titik
1
2
3
4
5
6
Keterhantaran hidraulik (cm/jam)
20.88
16.7
20.5
19.6
19.87
17.25
Kriteria
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tekstur tanah pada lapisan atas (Tabel 2) di areal studi adalah lempung, lempung berdebu
dan lempung berliat. Tanah bertekstur lempung merupakan peralihan tanah pasir dan liat, sehingga
mempunyai kemampuan untuk menahan air dan unsru hara cukup baik, tidak terlalu lekat dan
keras sehingga mudah untuk dikerjakan. Sementara untuk tanah lapisan kedua (Tabel 4) kondisi
tanah didominasi oleh tekstur liat, Fraksi liat sebagian besar lebih dari 50%. Kondisi ini membuat
kemampuan tanah dalam melewatkan air lambat.
Tabel 3. Kelas Tekstur Tanah Lapisan 1
Titik
Pengamatan
T1
T2
T3
T4
T5
Kedalaman
Lapisan (cm)
0-17
0-15
0-13
0-9
0-12
Fraksi Tekstur (%)
Pasir Debu
Liat
32,4
44 23,6
28,4
40 31,6
18,4
58 23,6
36,4
40 23,6
40,4
38 21,6
Kelas Tekstur
Lempung
Lempung Berliat
Lempung Berdebu
Lempung
Lempung
Lempung
Tabel 4. Kelas Tekstur Tanah Lapisan 2
Titik
Pengamatan
T1
T2
T3
T4
T5
Kedalaman Lapisan
(cm)
17-60
15-60
13-60
19.-60
12.-60
Fraksi Tekstur (%)
Pasir Debu
Liat
16,4
34 49,6
12,4
16 51,6
12,4
36 51,6
12,4
36 51,6
14,4
34 51,6
Kelas
Tekstur
Liat
Liat
Liat
Liat
Liat
4
B. Karakter Jaringan Tata Air
Jaringan Tata Air di areal studi Desa Mulyasari (P17-5S) dapat dikelompokkan menjadi
tiga : 1. Saluran Makro (Saluran Primer dan Navigasi), 2. Saluran Meso (Saluran Sekunder SPD
dan SDU), 3. Saluran Mikro ( Saluran Tersier, Kuarter dan Cacing). Masing – masing jaringan
tata air saling berhubungan secara langsung sesuai dengan urutan harkatnya, artinya kalau jaringan
meso dangkal, maka dengan sendirinya saluran Mikro kurang berfungsi sehingga sangat
mengganggu kegiatan usaha tani.
Keberadaan saluran Makro selain bagian dari jaringan tata air, dapat juga digunakan
sebagai sarana transportasi penghubung dan perdagangan, sedangkan saluran Meso apabila tidak
ada bangunan pintu air, berfungsi juga seperti saluran Makro. Saluran Mikro secara langsung
“bersentuhan” dengan lahan usaha tani. Kondisi masing – masing saluran sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Saluran Tersier, saluran ini berada di setiap dua petak sawah (200 m) yang menghubungkan dua
saluran sekunder, yaitu Saluran Drainase Utama (SDU) dengan Saluran Pengairan Desa (SPD)
posisinya tegak lurus, saat ini kondisi saluran tersier cukup bersih karena sudah dibersihkan dari gulma
air dan endapan lumpur yang diangkut ke JUT (Jalan Usaha Tani). Satu Blok Sekunder (256 ha)
terdapat 17 batang Saluran Tersier.
Saluran Kuarter, posisi saluran ini tegak lurus dengan Saluran Tersier, keberadaan saluran ini setiap
satu petak sawah (100 m), seringkali saluran ini ditanami padi dan tanaman lain yang hidup dalam
lingkungan basah. Kondisi saluran ini cukup bersih.
Saluran Kemalir (Saluran Cacing), keberadaan saluran ini tepat berada ditengah-tengah lahan usaha
tani sehingga pada saat olah tanah untuk tanaman padi menggunakan hand tractor saluran cacing
menjadi rata dengan permukaan tanah sawah. Menjelang waktu tanam, saluran cacing dibuat kembali
dengan jumlah 7 batang per setengah hektar (14 batang per hektar). Untuk tanaman jagung biasanya
petani membuat lebih banyak saluran cacing dengan jarak antar saluran 6-8 m, hal ini dikarenakan
perlu banyak pembuangan air
Pipa drainase bawah tanah di pasang dibawah saluran cacing. jarak antar saluran adalah setiap 8m.
Pipa ditanam pada kedalaman 20 cm dari dasar saluran cacing.Untuk mengendalikan muka air tanah
maka dipasang kotak monitoring (box control) liat Gambar 6.
Kolektor
Pintu
Pipa drainase bawah tanah
Tersier
Pipa
pengeluaran
Gambar 2. Sistem pengendali terpusat menggunakan kotak kontrol
C. Budidaya Tanaman Jagung
Musim tanam ketiga dimulai pada bulan Juni. Luas lahan yang digarap adalah 5000 m2 yang
terletak di saluran tersier (Tc) 5.Lama budidaya tanaman jagung adalah 3 bulan. Pengolahan tanah
5
dengan menggunakan traktor. Dalam pengolahan tanah dilakukan sebanyak 2x yaitu pembajakan
dan penggaruan. Pengolahan tanah dilakukan seminggu sebelum tanam, dan berlangsung selama 7
hari. Varietas yang digunakan adalah Pioneer ( P27) jumlah benih yang digunakan dalam
penanaman sebanyak 3 bungkus, dengan berat benih satu bungkusnya sebanyak 5 kg. Untuk
penyulaman dilakukan hanya ketika tanaman berumur 2 minggu, penyulaman dilakukan hanya 1
kali. Pupuk yang digunakan dalam budidaya tanaman jagung yaitu urea, TSP, dan Kcl dengan
dosis pupuk untuk urea sebanyak 250 kg/ha, TSP sebanyak 200 kg/ha, dan Kcl sebanyak 200kg/ha.
Pemupukan dilakukan ketika tanaman jagung berumur 14 hari dan 40 hari. Cara pemupukan
dilakukan dengan cara ditebar di sekeliling tanaman jagung.
Selain pemupukan dan penyiangan petani juga melakukan pemeliharaan dengan mengatur
kebutuhan air bagi tanaman dengan cara pengoperasian pintu air tersier. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara mengubah letak pintu air sesuai dengan fungsi dan kebutuhan air yaitu dengan cara
meletakkan pintu air di depan untuk pembuangan air dari lahan (drainase) dan meletakkan pintu air
di belakang untuk suplai air ke lahan (irigasi).
Hama yang menyerang tanaman jagung yaitu ulat dan tikus. Cara pengendaliannya secara
kimia dengan menggunakan pestisida kimia. Dosis pestisida yang digunakan 1 liter/ ha. Frekuensi
pengendalian dilakukan pada saat tanaman berumur 26 hari dan 60 hari.
Pemanenan tanaman jagung dilakukan ketika tanaman jagung berumur 3 bulan yaitu pada
tanggal 29 september 2014. Dalam pemanenan jagung menggunakan tenaga kerja dengan upah Rp
60.000/ hari untuk satu orangnya. Pemanenan dilakukan dengan cara jagung dipetik menggunakan
tangan, setelah tanaman jagung di panen dilakukan perontokan dengan menggunakan mesin
perontok jagung. Setelah dilakukan perontokan jagung akan dimasukkan ke dalam karung dan
diangkut menggunakan kendaraan motor, dan dilakukan penjemuran, jika cuaca terik lama
penjemuran hanya berlangsung 2 hari, tetapi jika cuaca mendung 4 hari. Hasil panen untuk lahan
seluas 0.5 ha sebanyak 3,2 ton, dengan harga jual sebesar 2.800/ kg.
D. Evaluasi Status Air sebagai Dampak Operasi Retensi Air pada Sistem Drainase Bawah Tanah
Hasil pengamatan kondisi muka air tanah di lapangan (Gambar 3) menunjukkan pada
kondisi kemarau muka air tanah pada lokasi dekat saluran memiliki kedalaman terendah di angka 66 cm dari permukaan tanah, dan angka tertinggi berada -7 cm. Sedangkan untuk lokasi yang jauh
dari saluran memiliki angka terendah -82 dan tertingi pada -4 cm dari permukaan tanah. Kondisi
ini menunjukan pada kondisi ada hujan lokasi yang dekat saluran lebih tinggi muka airnya dan
pada musim kemarau (lama tidak hujan) menunjukan semakin jauh saluran maka akan semakin
menurunkan muka air tanahnya. Dari Gambar 6, terlihat jelas terjadi kenaikan muka air tanah bila
lahan menerima hujan. Ini menunjukan bahwa fungsi drainase bawah tanah sebagai retensi air
berfungsi dengan baik. Penahanan air dengan menutup pintu pada kotak pengendali menyebabkan
air terinfilitrasi kedalam tanah dan tidak air yang hilang ke saluran tersier. Aliran permukaan
tertampung dalam saluran terbuka, dan selanjutnya terinfiltrasi kedalam pipa drainase bawah
tanah.
Adapun mekanisme pergerakan air dalam proses pengisian air tanah pada saat terjadi hujan
dapat dilihat pada Gambar 8 (A). Pada kondisi ini air hujan akan terinfiltrasi kedalam tanah dan
bila terjadi kelebihan maka akan mengalir kedalam saluran cacing. Saluran cacing pada bagian
bawahnya sudah di lengkapi sistem drainase bawah tanah, sehingga saluran tidak akan tergenang
6
karena air akan langsung terinfiltasi kedalam pipa bawah tanah. Kondisi ini memungkinan terjadi
stok cadangan air permukaan yang akan menjaga penurunan muka air tanah.
20
10
Date June-September 2014
Water Depth (cm)
0
-10 1
9
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97 105 113 121
-20
-30
-40
-50
-60
-70
-80
Water Table 1
-90
Water Table 2
Rain
Gambar 4. Dinamika air tanah pada pertanaman jagung musim kemarau Juni-September 2014
Evapotranspi
rasi
Hujan
(A)
Evaporasi
(B)
Muka air tanah tanah
pergerakan air
Gambar 5. Mekanisme pergerakan air pada sistem drainase bawah tanah opsi retensi air, dimana
kondisi (A) adalah retensi air hujan, (B) adalah pemanfaatan air kapiler (sub-irigasi)
7
Sementara itu pada saat tidak terjadi hujan Gambar (8B). Kondisi ini air pasang hanya
berpungsi untuk mengisi saluran tersier sehingga tidak terjadi pergerakan air lateral dari lahan ke
saluran tersier. Petak kontrol dioperasikan tertutup sehingga air di lahan tidak keluar. Kondisi ini
mampu menjaga muka air tanah stabil dalam kedalaman yang diinginkan tanaman sehingga dapat
menyuplai kebutuhan air tanaman secara kapiler.
Evaluasi status air menggunakan konsep SEW-30 untuk tanaman pangan secara umum di
modifikasi dengan menambahkan 10 cm yaitu menjadi SEW-40 cm. Kondisi ini karena tanaman
jagung ideal terhadap muka air tanah berada 40-60cm (Williamson and van Schilfgaarde, 1965;
dalam NDSU dowloaded 2014). Hasil analisis menunjukan kedalaman air tanah masih cukup baik
(Gambar 6) dalam memenuhi kebutuhan air tanaman karena total kelebihan masih mencapai 612
cm. Kondisi ini menunjukan peran sistem drainase bawah tanah berjalan efektif dalam mengurangi
kehilangan air. Sehingga air tanah tidak hilang secara cepat, meskipun kondisi curah hujan yang
sangat sedikit. Ditambahkan menurut Nosetto et al (2009)., bahwa kedalaman air tanah
berpengaruh terhadap pergerakan air kafiler yang selanjutnya mempengaruhit status air di zona
akar. Pergerakan air kafiler ini sangat dipengaruhi oleh tekstur. Untuk tanah berpasir kedalaman
ideal berada 140 cm dibawah permukaan tanah. Hasil kajian menunjukkan produksi jagung akan
berkurang 0.05 kg m2 pada setiap kenaikan 10 cm muka air tanah.
40.00
Water Depth cm
30.00
20.00
10.00
0.00
-10.00
1
9
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
105 113 121
Date June-September 2014
-20.00
SEW-40
-30.00
Gambar 6. Analisis kelebihan air pada batas kritis 40 cm di bawah permukaan tanah
Kondisi terbaik untuk memenehi kebutuhan air tanaman melalui pergerakan kapiler adalah
pada kedalaman air tanah -100 cm dengan kondisi suplai air dari hujan atau irigasi terbatas
(Beltrão, at al 1996)., ditambahkan menurut Liu dan Luo (2011), kedalaman muka air tanah pada
kondisi tidak lebih dalam dari 110 cm pengaruh pergerakan air kapiler sebagian besar memenuhi
kebutuhan air tanaman. Pada kondisi kering dimana muka air mencapai 150 cm, maka kontribusi
air tanah mencapai 65% dari kebutuhan evapotranspirasi potensial.
8
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada kementerian Riset dan Teknologi melalui program Insentif
Riset SINas 2014 yang telah mendanai penelitian ini. Selain itu juga terima kasih kepada Pusat
Unggulan Riset - Pengembangan Lahan Sub Optimal Universitas Sriwijaya selaku institusi yang
telah memfasilitasi dan mengarahkan seluruh kegiatan penelitian, sehingga berjalan dengan baik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa kunci keberhasilan budidaya tanaman di
lahan pasang surut adalah kepada pengendalian muka air. Opsi pengendalian pada musim kemarau
berbeda dengan musim hujan. Pada kondisi kering (MT3) opsi pengendalian muka air ditujukan
kepada retensi air, sehingga pintu kontrol ditutup maksimum. Penahanan air ini juga mengurang
kehilangan air karena perkolasi dan mampu meningkatkan kedalaman muka air tanah, sehingga
sistem drainase bawah tanah berfungsi sebagai irigasi bawah tanah ( sub-irrigation). Pengaruh
positif dari perubahan operasi berdampak kepada pemenuhan kebutuhan air tanaman di musim
kemarau tanpa harus adanya pompa air. Oleh karena itu petani bisa tanam tiga kali (IP 300).
Penelitian lanjutan masih diperlukan untuk lahan yang memiliki karakteristik yang berbeda,
sepeti pada tipologi lahan C yang memiliki nilai keterhantaran hidroulik tinggi. Aplikasi berbagai
jarak antar saluran pada sistem drainase bawah tanah juga masih harus dikaji pada berbagai tekstur
tanah berbeda dan sistem ini akan berjalan bila saluran tersier sudah dilengkapi dengan pintu air.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Imanudin M.S, Bernas, S. 2014. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014,
Palembang 26-27 September 2014. I SBN : 979-587-529-9.
Beltrão, J. Antunes Da Silva, A., Ben Asher, J. 1996. Modeling the effect of capillary water rise
in corn yield in Portugal. Irrigation and Drainage Systems. May 1996, Volume 10, Issue
2, pp 179-189.
Fao. 1988. Nature And Management Of Tropical Peat Soils. J. P. Andriesse, FAO Soils Bulletin
59. Dowloaded. 2014 Http://Www.Fao.Org/Docrep/X5872e/X5872e00.Htm#Contents.
9
Kelly A. Nelson, K.A and Smoot, LR. 2012. Corn Hybrid Response to Water Management
Practices on Claypan Soil. International Journal of Agronomy Volume 2012 (2012), Article
ID 925408, 10 pages.
Liu T, and Luo. Y. 2011. Effects of shallow water tables on the water use and yield of winter
wheat (Triticum aestivum L.) under rain-fed condition. Australian Journal of Crop Science.
AJCS 5(13):1692-1697
Nosetto, M.D, Jobba gy, E.G., Jackson,R.B., Scnaider, G,A, 2009. Reciprocal influence of crops
and shallow ground water in sandy landscapes of the Inland Pampas. Field Crops Research
113 (2009) 138–148.
Tan, C.F. Drury , J.D. Gaynor & H.Y.F. Ng. 2013. Effect Of Controlled Drainageand Subirrigation
On Subsurfacetile Drainage Nitrate Loss And Cropyield At The Farm Scale. Canadian
Water Resources Journal. Vct.24. No. 3. 1999. Published online: 23 Jan 2013.
Xiaopeng Li, Scott X. Chang, and K. Francis Salifu. 2013. Soil texture and layering effects on
water and salt dynamics in the presence of a water table: a review. Environ. Rev. 21: 1–10
(2013) dx.doi.org/10.1139/er-2013-0035. Published at www.nrcresearchpress.com/er on 19
August 2013.
10
Download