H al : Nilai mata kuliah

advertisement
BAB XI. Modal Sosial dan Relasinya dengan Pengelolaan Hutan
.
 Pokok bahasan
a. Definisi dan Dimensi Modal Sosial
Dimensi modal sosial mencakup kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di
dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Modal sosial dapat
dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga
kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya Negara (bangsa). Modal
sosial ditransmisikan melalui mekanisme mekanisme kultural seperti agama, tradisi,
atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu
masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial
dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000)
dalam Supriono, dkk. (2011).
Adapun Cox (1995) dalam Supriono, dkk. (2011) mendefinisikan, modal sosial sebagai
suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, normanorma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi
dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Senada dengan beberapa
pernyataan di atas, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu
hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai
kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi
unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), keimbal-balikan, aturanaturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya.
Secara sederhana, modal sosial dapat diartikan sebagai seperangkat nilai atau norma
yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerjasama di
antara mereka. Jika anggota kelompok itu yakin bahwa anggota yang lain dapat
dipercaya dan jujur, mereka akan saling percaya. Kepercayaan itu seperti pelumas yang
membuat kelompok atau organisasi dapat dijalankan secara lebih efisien (Fukuyama,
2005). Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara
gotong royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu mengatasi perbedaanperbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial rendah akan
1
tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ’kelompok kita’ dan ’kelompok
mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya muncul
’kambing hitam’ (Suharto, 2007).
Modal sosial juga menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu
untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh
nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Sarageldin, 1999)
dalam Supriono, dkk. (2011). Dimensi modal sosial inheren dalam struktur relasi sosial
dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam
kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan
menetapkan norma-norma, serta sangsi-sangsi sosial bagi para anggota masyarakat
tersebut (Coleman, 1999).
Namun demikian Fukuyama (2000) dalam Supriono, dkk. (2011) dengan tegas
menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomani
sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah-laku itu otomatis menjadi modal
sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan
oleh kepercayaan (trust). Dimana trust ini adalah merupakan harapan-harapan terhadap
keteraturan, kejujuran, dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah
komunitas masyarakat yang didasarkan pada normanorma yang dianut bersama oleh
para anggotanya.
Setidaknya dengan mendasarkan pada konsepsi-konsepsi sebelumnya, maka dapat
ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial adalah memberikan
penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas
hidupnya, dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus.
Di dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa
terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak, dan bertingkah-laku, serta membangun jaringan dengan pihak lain.
Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain: sikap
yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima,
2
saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang
mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan
masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai,
membentuk jaringan kerjasama maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru.
Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti telaah dari modal sosial terletak
pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerjasama membangun suatu jaringan
guna mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interrelasi
yang timbal balik dan saling menguntungkan serta dibangun diatas kepercayaan yang
ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat.
Senada dengan itu, Coleman (1999) juga menyatakan adanya tiga elemen penting dalam
modal sosial, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial (social networking), dan
(3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini diyakini menentukan corak
karakter (physical character) suatu masyarakat. Sejalan dengan definisi dan dimensi
modal sosial, maka kajian terkait tipologi modal sosial berkenaan dengan bagaimana
perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang
berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi
yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat
muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.
(a) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital)
Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Apa yang
menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri
khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam
(inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam
masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius
(cenderung homogen). Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bonded
atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki
tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat
tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang
tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan tertentu, setruktur hierarki
feodal, kohesifitas yang bersifat bonding.
3
(b) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)
Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga
disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat.
Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal
tentang: (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilainilai kemajemukan dan
humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). Prinsip persamaan, bahwasanya
setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban
yang sama. Prinsip kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas berbicara,
mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut.
Prinsip kemajemukan dan humanitarian, bahwasanya nilai-nilai kemanusiaan,
penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip
dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok, atau suatu masyarakat. Bridging
social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan
menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan
reciprocity yang lebih variatif, serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk
berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara
universal.
Mengikuti Colemen (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam
gerakannya lebih memberikan tekanan pada demensi fight for (berjuang untuk), yang
mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh kelompok (internal maupun eksternal). Pada keadaan tertentu jiwa
gerakan lebih diwarnai oleh semangat fight againts yang bersifat memberi perlawanan
terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbolsimbol dan kepercayaankepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok
masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar sense
of solidarity (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging
capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan
kemajuan dan kekuatan masyarakat.
Menurut Suharto (2011), meskipun interaksi terjadi karena berbagai alasan, orang-orang
berinteraksi, berkomunikasi dan kemudian menjalin kerjasama pada dasarnya
4
dipengaruhi oleh keinginan untuk berbagai cara mencapai tujuan bersama yang tidak
jarang berbeda dengan tujuan dirinya sendiri secara pribadi. Keadaan ini terutama
terjadi pada interaksi yang berlangsung relatif lama. Interaksi semacam ini melahirkan
modal sosial, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai
tujuan bersama, yang kemudian menumbuhkan kepercayaan dan keamanan yang
tercipta dari adanya relasi yang relatif panjang. Modal sosial dapat diinvestasikan bagi
kegiatan di masa depan.
Lebih lanjut Suharto (2011) menjelaskan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial
tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan
mampu mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki
modal sosial rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya
‘kelompok kita’ dan ‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan
sosial, serta seringnya muncul ‘kambing hitam’.
Modal sosial bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi
manusia satu sama lain, khusunya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial
menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas
masyarakat. Modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya (selfreinforcing) (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Modal sosial tidak akan habis jika
dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering
disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Modal sosial
juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman,
1988 dalam Suharto, 2011). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama,
asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya
memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995 dalam Suharto, 2011).
Merujuk pada Ridell (1997) (dalam Suharto, 2011), ada tiga parameter modal sosial,
yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan (networks). Sebagaimana
dijelaskan Fukuyama (1995) dalam Suharto (2011), kepercayaan adalah harapan yang
tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur,
teratur, dan kerjasama berdasarkan normanorma yang dianut bersama. kepercayaan
5
sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. (Cox, 1995 dalam Suharto,
2011), kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan
tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat
kerjasama.
Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik.
Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang
kokoh; modal sosial yang baik melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam,
1995 dalam Suharto, 2011). Kerusakan modal sosial akan menimbulakn anomie dan
perilaku anti sosial (Cox, 1995 dalam Suharto, 2011).
Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar
manusia (Putnam, 1993 dalam Suharto, 2011). Jaringan tersebut memfasilitasi
terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan
memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan
sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu dengan orang lain. Mereka
kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik bersifat formal maupun informal
(Onyx, 1996 dalam Suharto, 2011). Putnam (1995) dalam Suharto (2011), berargumen
bahwa jaringan-jaringan sosial yangg erat akan memperkuat perasaan kerjasama para
anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.
Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan ukuran
modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005) dalam Suharto, 2011):
1. Perasaan identitas
2. Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi
3. Sistem kepercayaan dan ideologi
4. Nilai-nilai dan tujuan-tujuan
5. Ketakutan-ketakutan
6. Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat
7. Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya
pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan
sosial)
6
8. Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu
9. Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya
10. Tingkat kepercayaan
11. Kepuasan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya
12. Harapan-harapan yang ingin dicapai di masa depan
Partha dan Ismail S. (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial
sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas
dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu
sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara
bersama-sama. Solow (1999) dalam Supriono (2011), mendefinisikan modal sosial
sebagai serangkaian nilai-nilai atau normanorma yang diwujudkan dalam perilaku yang
dapat mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi
untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas.
Modal sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti agama,
tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000 dalam Supriono, 2011). Modal sosial
dibutuhkan untuk menciptakan jenis komunitas moral yang tidak bisa diperoleh seperti
dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akusisi modal sosial memerlukan
pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas dan dalam konteksnya
sekaligus
mengadopsi
kebajikan-kebajikan
seperti
kesetiaan,
kejujuran,
dan
dependability. Modal sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum.
Bank Dunia (1999) dalam Supriono, meyakini modal sosial adalah sebagai sesuatu yang
merujuk ke dimensi institusional, hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma
yang membentuk kualitas serta kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat. Dimensi
modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya berisi nilai dan
norma serta pola-pola interaksi sosial di dalam mengatur kehidupan keseharian
anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000 dalam Supriono, 2011). Dimensi sosial
menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai
tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan
norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi (Dasgupta dan Serageldin, 1999 dalam
7
Supriono, 2011). Minimal ada 4 kategori mengenai modal sosial yang menjadi aspek
pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik, (3) tata aturan, norma
dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan organisasi atau kelompok (Pretty
& Ward, 2001 dalam Supriono, 2011).
Coleman (1990) menjelaskan bahwa modal sosial (social capital) merupakan struktur
hubungan atau relasi diantara dua atau banyak aktor yang mendorong terjadinya
kegiatan-kegiatan produktif. Modal sosial memicu munculnya aktifitas bersama dengan
biaya yang sangat murah dan memfasilitasi adanya kerjasama antar aktor tersebut. Ada
beberapa kategori atau diskripsi mengenai modal sosial, tetapi paling tidak ada 4 hal
yang menjadi aspek pokok, yaitu : (1) relasi kepercayaan, (2) hubungan timbal balik dan
pertukaran, (3) tata aturan, norma dan sanksi bersama, (4) keterhubungan, jaringan dan
organisasi atau kelompok (Pretty & Ward, 2001). Sedangkan menurut Pennington &
Rydin (1999), istilah modal sosial mencakup beberapa hal berikut :
- tingkat kepercayaan
- keluasan jaringan
- intensitas hubungan dalam jaringan
- pengetahuan dalam melakukan interaksi
- kewajiban dan harapan dalam hubungan tersebut serta hubungan timbal balik
- bentuk-bentuk pengetahuan lokal
- pelaksanaan norma-norma
- keberadaan dan konsistensi dalam menerapkan sangsi untuk setiap pelanggaran
b. Contoh Wujud Modal Sosial Masyarakat Desa Jono, Bojonegoro
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jono memunculkan potensi modal sosial yang
produktif. Kultur yang dibangun secara kolektif, memberikan warna tersendiri bagi
karakter masyarakat Jono. Karakter tersebut merupakan wujud nilai-nilai yang saling
berkaitan dengan elemen-elemen dalam modal sosial. Mengutip pernyataan Coleman
(1999), bahwasanya modal sosial memiliki tiga elemen penting yang diyakini
menentukan corak karakter masyarakat, yaitu: (1) kepercayaan (trust), (2) jejaring sosial
(social networking), dan (3) norma-norma sosial (shared norms). Ketiga elemen ini pula
yang menjadi wujud modal sosial masyarakat Desa Jono dalam mentransformasikan
8
nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliknya. Selanjutnya, di bawah ini akan di bahas lebih
jelas terkait elemenelemen modal sosial masyarakat Desa Jono, beserta esensi nilai-nilai
modal sosial yang ditransformasikan dalam kehidupan sosial budayanya.
1. Kepercayaan (Trust)
Kepercayaan memainkan perannya dalam menciptakan kerukunan hidup masyarakat
Jono. Dalam konteks modal sosial, elemen kepercayaan dipahami sebagai ruh yang
menghubungkan jaringan-jaringan kerja dalam dimensi nilai dan norma yang saling
terintegrasi. Adanya trust (kepercayaan) sebagai bagian elemen utama modal sosial,
menjadi atribut kuat untuk membangun solidaritas masyarakat Jono yang disatukan
dalam persamaan kultur. Masyarakat Jono menyadari potensi kultur tersebut sebagai
kekuatan untuk mempersatukan banyak kepala dengan satu visi yang progresif, yakni
terbina kerukunan hidup bersosial dan beragama. Hal ini pun tak dapat dipungkiri juga
dipicu oleh kapasitas dan kapabilitas key person atau local strong man di Desa Jono
untuk mengorganisir dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat.
Tumbuhnya sikap saling mempercayai, baik antar anggota masyarakat, antar
masyarakat dengan pemimpin desa, atau antara masyarakat dengan pihak luar,
memberikan manfaat yang positif untuk menepis kesenjangan sosial di antara anggota
masyarakat. Ragam seni budaya yang ada di Jono menjadi salah satu media mempererat
tali silaturahim masyarakat. Terlepas dari dominasi agama Islam di Desa Jono, nyatanya
mereka mampu membentuk ikatan sosial (social glue), tanpa membedakan latar
belakang agama, jabatan, pendidikan, dan status sosial lainnya. Meski demikian,
kepercayaan yang dibangun atas dasar religiusitas maupun dalam bentuk trust (rasa
saling percaya) yang lebih mengarah pada sisi asosiatif tersebut, berjalan beriringan
tanpa ada kendala yang signifikan dalam membina kerukunan hidup bermasyarakat.
Relasi yang terbangun berdasarkan kepercayaan di Desa Jono menampakkan asosiasi
sosial yang sehat, produktif, berkarakter, dan beretika. Rasa saling percaya semakin
menumbuhkan sikap empati, senasib sepenanggungan, dan tepo seliro. Sangat jarang
dijumpai konflik di antara masyarakat, apalagi sampai terseskalasi menjadi tindak
kekerasan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kelompok tertentu dalam
9
skala minoritas yang belum memahami esensi kepercayaan tersebut. Kelompok
minoritas itu cenderung kontra terhadap upaya positif masyarakat untuk memperbaiki
kualitas hidup bersama demi kemajuan Desa Jono.
“Mayoritas masyarakat di Jono guyub rukun, hanya ada kelompok tertentu yg
kontra/pasif terhadap dinamika perkembangan desa. Mereka bisanya hanya duduk dan
ngrasani (menggunjing), tapi tidak mau berusaha berbuat lebih. Secara umum,
masyarakat Jono terbuka dengan perubahan yg positif, sikap gotong-royong dan saling
percaya.”
(wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012).
Kepercayaan (trust) kian tumbuh seiring upaya kebersamaan masyarakat Jono
menciptakan public spaces yang demokratis dan berkeadilan, terutama dalam ranah
kehidupan politik. Tumbuhnya kepercayaan tersebut juga didukung oleh kapasitas dan
kapabilitas seorang pemimpin. Hal ini ditunjukkan masyarakat Jono terhadap
kepemimpinan Kepala Desa atau Lurah yang menjabat pada periode saat ini (20082014), yaitu Pak Dasuki. Kepemimpinan beliau yang baik dan dinilai mampu
mengayomi kepentingan desa, dirasakan warga sebagai salah satu poin positif
terciptanya keharmonisan dalam masyarakat. Gaya kepemimpinan yang srawung lan
pangerten dari seorang Lurah Jono direspon positif pula dengan guyubnya warga untuk
bergotong-royong membangun desa. Agenda kepengurusan Pak Lurah selama periode
berjalan dinilai berhasil dan cukup representatif bagi kepentingan masyarakat dan Desa
Jono, terutama dalam merintis identitas Desa Wisata Budaya. “Jujur saya katakan
program Pak Lurah itu kalau raport saya menilai lebih dari 10, kalau angka mungkin
boleh 20 bisa sampai 20, jadi melebihi target, melebihi program apa yang dikerjakan.”
(wawancara dengan Ketua Desa Wisata Budaya, 25 Maret 2012).
Di sinilah tercermin nilai-nilai modal sosial yang terbangun dalam jati diri masyarakat
Jono,
seperti
sikap
saling
percaya
mempercayai,
sikap
partisipatif,
sikap
memperhatikan, serta saling memberi dan menerima.
2. Norma-Norma Sosial (Shared Norms)
Nilai dan norma terintegrasi dalam sebuah konstruksi tata aturan yang berlaku umum
dalam sistem kehidupan masyarakat Jono. Norma-norma tersebut dibuat oleh
masyarakat Jono sebagai sebuah aturan hidup yang ditaati bersama, dan tentunya ada
10
mekanisme sanksi yang mengikutinya. Dinamika masyarakat Jono selalu terikat pada
nilai dan norma sebagai acuan dalam bersikap, bertindak, dan bertingkah laku, terutama
dalam konteks tradisi budaya lokal. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa norma-norma
sosial menopang kepercayaan yang berupa harapan terhadap kejujuran, keteraturan, dan
perilaku kooperatif dalam sebuah masyarakat. Norma-norma tersebut bisa berisi
pernyataan-pernyataan yang mengarah pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan.
Berlakunya norma juga mendukung kesetaraan hak dan kewajiban dalam masyarakat, di
mana akses terhadap suatu sumberdaya memang dibutuhkan kontrol sosial yang
berkeadilan, terutama di era desentralisasi semacam ini.
Sistem kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jono mengandung nilai dan norma
sebagai pandangan hidup bersama. Nilai-nilai budaya tersebut berfungsi untuk
mengatur kehidupan masyarakat agar berlaku sesuai hakikatnya sebagai makhluk sosial
yang hidup selaras dengan alam, layaknya ajaran masyarakat Samin dahulu. Sebagai
contoh adalah tradisi kemisan (kerja bakti massal setiap hari kamis), di mana
masyarakat bergotong-royong membersihkan lingkungan Desa Jono. Adat ini bukan
hanya sebatas prosesi kultural semata, tapi di balik itu mengajarkan masyarakat Jono
untuk lebih menghargai lingkungan dengan cara menjaga kebersihannya, termasuk
melestarikan fungsi hutan. Ragam budaya religi di Desa Jono, seperti manganan,
tahlilan, sedekah bumi, nyadran dan lain sebagainya, sejatinya juga mengandung ajaran
hidup yang positif, yakni bentuk rasa syukur, sikap empati, kebersamaan, kekeluargaan,
dan solidaritas. Bukan lantas mengesampingkan hukum agama, namun masyarakat Jono
memahami akulturasi budaya Islam-Jawa tersebut sebagai bagian sistem kehidupan
yang saling menguatkan.
Semarak modal sosial yang tercermin dalam sikap-sikap demokratis, partisipatif, serta
berkeadilan, menjadikan masyarakat Jono lebih bijak dalam mengambil segala
keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Contohnya dalam ranah politik
lokal, di Desa Jono terdapat tradisi pulung (secara harfiah berarti keisteimewaan) untuk
mekanisme pemilihan kepala desa. Tradisi ini merupakan terapan tradisi Jawa kuno
yang mengatur norma-norma kehidupan politik desa dalam menentukan calon
pemimpin di wilayahnya. Seperti pada prosesi pemilihan Lurah Jono tahun 2008 silam,
11
masyarakat secara partisipatif menggunakan hak pilihnya dengan menunjuk calon Lurah
yang mempunyai etos kerja, kejujuran, kecerdasan, dedikasi, hubungan elit dengan
Lurah sebelumnya, serta kedekatannya dengan warga. Jadi tidak semata-mata garis
keturunan Lurah yang boleh menjabat sebagai penggantinya, tetapi personal yang
dipandang secara obyektif berkapasitas untuk menyandang jabatan tersebut. Jika
terbukti ada pelanggaran terhadap peraturan dan norma yang berlaku, maka masyarakat
tidak segan-segan untuk mengganti pemimpinnya.
Dimensi norma sosial berupa aturan formal tertulis maupun aturan non formal yang
melekat dalam tradisi budaya sebagai suatu lembaga (sistem tata aturan). Wujud
lembaga formal seperti ini biasanya tertulis pada tata aturan institusi atau kelembagaan
formal. Sebagai contoh adalah Pemerintahan Desa Jono yang mempunyai aturan-aturan
formal dalam menjalankan mekanisme tata kelola rumah tangga desa. Selain itu, di
Desa Jono juga terdapat banyak kelembagaan formal lainnya seperti Desa wisata
Budaya, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), PKK, Posyandu, Karang
Taruna, Paguyuban Seni, LMDH, Koperasi LMDH, home industry (industri lokal), dan
lain sebagainya. Tiap lembaga tersebut memiliki peraturan-peraturan (baik formal
maupun non formal) yang berfungsi mengatur jalannya roda kelembagaan,
menjembatani konflik dalam dinamika kelembagaan, serta menciptakan ketertiban
dalam kelembagaan. Tujuannya tak lain adalah untuk menjaga stabilitas lembaga dalam
mewujudkan visi dan misinya masing-masing demi mendukung kemajuan desa.
3. Jaringan Sosial (Social Networking)
Jaringan sosial memudahkan masyarakat Jono dalam mencapai tujuan bersama,
serta memberikan manfaat secara personal maupun komunal. Idealnya, ketika modal
sosial bekerja, maka aktivitas kolektif masyarakat tidak berjalan searah, tetapi
menciptakan jaringan kerja yang produktif dan mendukung tujuan bersama. Putnam
(1998) dalam Eko (2004), juga menjelaskan bahwa modal sosial mengacu pada norma
dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerja sama di antara
warga negara dan institusi mereka. Dalam analogi yang sederhana, Putnam (1993 b)
dalam Eko (2004) menyatakan bahwa bekerja bersama-sama adalah lebih mudah dalam
sebuah komunitas yang diberkahi dengan persediaan (stock) modal sosial yang banyak.
12
Jejaring tersebut merupakan sumber daya dan bagian dari hubungan kepercayaan dan
norma yang lebih luas, serta memungkinkan suatu komunitas masyarakat untuk
mencapai tujuan mereka lebih mudah.
Jaringan sosial masyarakat Desa Jono memiliki dimensi yang luas, baik jaringan secara
personal (antar individu), maupun jaringan secara komunal dalam wujud relasi antar
institusi atau organisasi. Hubungan yang dibangun antar individu berdasarkan
kepercayaan dan norma, menciptakan jaringan sosial yang mengarah pada pola
simbiosis mutualisme. Misalnya dalam hal ini, ketika salah satu warga mempunyai hajat
keluarga seperti nikahan, khitanan, atau membangun rumah, maka secara serentak
masyarakat Jono akan bergotong-royong untuk saling sengkuyungan (tolongmenolong). Hal ini berlaku pula untuk kegiatan kolektif desa seperti pemavingan jalan,
pembuatan kandang kelompok, perbaikan saluran irigasi, penghijauan hutan, dan lain
sebagainya. Jaringan kerja semacam itu dapat meringankan pekerjaan berat dan
mengurangi anggaran berlebih . “Nek kerja bekti niku wis umum, jamane pake mbahe
wis ana (kalau kerja bakti itu sudah umum, jaman nenek moyang sudah ada).
Alhamdulillah masyarakat mriki taksih remen (sini masih suka) gotong-royong kangge
(untuk) kemajuan desa.” (wawancara dengan Lurah Jono, 16 Juni 2012).
a. Relasi antara Modal Sosial dengan Pengelolaan SDH (Kasus di BKPH
Ngliron, KPH Randublatung)
Berdasarkan definisi di atas, adanya perbedaan tata nilai yang dijumpai oleh peneliti di
Desa Ngliron dan Desa Semanggi akan menimbulkan interaksi masyarakat yang
berbeda terhadap sumberdaya hutan. Tata nilai yang terdapat di Desa Ngliron seperti
kebersamaan masyarakat dalam gotong royong ataupun sambatan kini sudah mulai
bergeser untuk ditinggalkan masyarakat. Adanya tata nilai yang baik ini luntur dari
seharusnya tata nilai yang ada di dalam masyarakat pedesaan akan mempersulit pihak
pengelola hutan yaitu Perhutani untuk mengajak masyarakat Ngliron dalam membangun
hutan di KPH Randublatung ini dengan basis pengelolaan hutan lestari yang salah
satunya harus mempertimbangkan aspek sosial. Dampak yang kurang bagus akibat
lunturnya tata nilai gotong royong yang ada di Desa Ngliron ini akan mempersulit pihak
Perhutani untuk mengajak mengadakan pertemuan demi membahas kemajuan hutan dan
13
untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan di Desa Ngliron. Demikian adalah salah
satu contoh dampak dari lunturnya tata nilai terhadap interaksi tidak langsung, yaitu
interaksi masyarakat Desa Ngliron terhadap pihak Perhutani.
Etos kerja yang dimiliki pesanggem dari Desa Ngliron menurut informan kurang telaten
dalam merawat tanaman tumpangsari dan tanaman hutan milik Perhutani. Padahal
Perhutani sangat membutuhkan tangan-tangan pesanggem untuk merawat dan
memelihara tanaman jati mereka agar persentase keberhasilan tanaman jati tinggi.
Apalagi tanaman jati KU muda yang masih butuh perhatian lebih untuk mereka hidup.
Menurut informan dengan adanya tata nilai yang kurang baik yang terdapat di
pesanggem Desa Ngliron ini persentase keberhasilan dari tanaman hutannya kurang
berhasil. Ini dampak yang akibat tata nilai yang kurang baik yang terdapat di pesanggem
Desa Ngliron. Hal ini berkait dengan adanya masyarakat yang mayoritas memiliki lahan
sawah milik individu, sehingga secara psikologis masyarakat Ngliron merasa tidak
terlalu bergantung dengan tumpangsari yang diberikan oleh Perhutani. Masyarakat
masih merasa tercukupi kebutuhannya dengan hasil sawah yang dimiliki sendiri
sehingga masyarakat kurang telaten untuk mengurus tanaman hutan.
Tata nilai peradaban yang sudah maju dipengaruhi oleh lebih tingginya tingkat
pendidikan masyarakat di Desa Ngliron ini membawa dampak baik untuk hutan.
Dengan semakin banyaknya masyarakat Ngliron yang mengeyam di bangku pendidikan
berarti semakin banyak orang pintar karena sekolah sehingga pengetahuan dan daya
serap terhadap pentingnya ketersediaan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka
lebih tinggi daripada masyarakat yang tingkat pendidikannya lebih rendah secara
kualitas dan kuantitas. Menurut informan, masyarakat di Desa Ngliron memiliki rasa
kesadaran akan pentingnya keberadaan hutan untuk hidup masyarakat sekitar dan
masyarakat di luar hutan. Masyarakat Desa Ngliron memiliki jiwa melindungi hutan
dari gangguan pencurian atau kehilangan pohon. Kondisi hutan di Desa Ngliron lebih
kondusif dari segi keamanan hutan. Demikian tata nilai yang baik yang perlu
dipertahankan oleh masyarakat Desa Ngliron untuk menjaga hutan dari pencurian dan
kehilangan pohon.
14
Masyarakat Desa Semanggi yang sekitar 75% menggantungkan hidupnya pada
tumpangsari di lahan Perhutani secara psikologis rasa kebergantungan terhadap hutan
menjadi lebih tinggi. Kondisi geografis yang ada di Desa Semanggi dengan sempitnya
lahan sawah yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat tidak bisa menggarap di
lahan sawah dan dengan intensitas yang sering dan banyak yang mendapatkan jatah
tumpangsari atau tahunan membuat masyarakat Desa Semanggi memiliki keuletan dan
ketelatenan dalam merawat dan memelihara tanaman musimannya dan tanaman hutan
milik Perhutani. Tata nilai yang dimiliki masyarakat Desa Semanggi ini merupakan tata
nilai yang perlu dipertahankan oleh masyarakat untuk mewujudkan keberhasilan
pembangunan hutan yang lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa Semanggi. Dengan
tata nilai baik yang dimiliki oleh masyarakat Desa Semanggi ini dapat menimbulkan
interaksi masyarakat terhadap hutan yang bagus untuk bersama membangun hutan.
Gotong royong atau sambatan yang masih kental terdapat di Desa Semanggi, akan lebih
mempermudah masyarakat Desa Semanggi untuk menggarap lahan tumpangsari
sehingga juga dapat berdampak pada keberhasilan tanaman hutan. Selain interaksi
secara langsung, dengan masih guyub dan patuhnya masyarakat Desa Semanggi
terhadap perintah perangkat desa atau dari Perhutani ini akan mempermudah
menggerakkan masyarakat Desa Semanggi untuk diajak berdiskusi atau membahasa
kepentingan keberhasilan pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat Desa
Semanggi. Agar lebih mudah dipahami, berikut tabel relasi tata nilai yang ada di kedua
desa tersebut dengan interaksi masyarakat yang terjadi pada hutan baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap pihak Perhutani.
Tingginya kerjasama Perhutani dengan masyarakat dalam bersama-sama membangun
hutan tidak bisa dipungkiri karena
Perhutani juga bisa mengikuti tata nilai yang
mendarah daging di masyarakat. Adanya suatu peningkatan terhadap rendahnya
pencurian kayu di Ngliron dan Desa Semanggi juga tidak luput dari tata nilai dan
interaksi masyarakat yang ada di kedua desa tersebut. Sikap disiplin dan kesadaran
terhadap pentingnya hutan sehingga akan lebih mudah bagi pihak Perhutani untuk
mengajak bersama-sama mengamankan hutan yang berada di Desa Ngliron.
15
 Hasil Pembelajaran
Mampu memahami, menjelaskan dan memberikan contoh modal sosial dalam
sebuah masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan dan kelestarian
sumberdaya hutan

Aktifitas
(1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah,
(2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan
(3) Mencari kasus yang menunjukkan adanya relasi antara kearifan lokal dengan
pengelolaan hutan
(4) Diskusi dan menjawab kuis

Kuis dan latihan
-
Terangkan yang dimaksud dengan modal sosial dan berikan contohnya terutama
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan !
-
Jelaskan strategi pengelolaan hutan yang sebaiknya diterapkan pada sebuah
wilayah ketika masyarakat di sekitarnya telah memiliki dan belum memiliki
modal sosial serta berikan contoh kasusnya !
16
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta
Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta
Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan
Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta
Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta
Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat.
Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta
Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta.
Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan.
Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta
Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta.
Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta
Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press.
Yogyakarta
Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT.
Aditya Media. Yogyakarta
Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten
Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat.
FKT UGM. Yogyakarta
Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development,
Volume 29, No. 2, UK
Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM
Yogyakarta
17
Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta.
Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta
Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta
Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta
Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan
Tipologi. Artikel
Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh
Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta
Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa
Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta
Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi
Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta
18
Download