ANALISIS KAPASITAS PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN PESISIR PROVINSI SUMATERA BARAT DESNIARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK DESNIARTI, Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Propinsi Sumatera Barat: Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga memberikan dampak eksternalitas. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources (sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Salah satu permasalahan dalam perikanan tangkap adalah terjadinya kelebihan kapasitas tangkap (overcapacity) yang mendorong terjadinya kelebihan tangkap (overfishing). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pemanfaatan dan merekomendasikan kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Propinsi Sumatera Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual), 2) Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan dalam kaitannya dengan kapasitas perikanan, 3) Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan masyarakat khususnys pelaku usaha perikanan, 4) Menganalisis kapasitas perikanan baik antar waktu maupun antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: analisis bioekonomi dan data envelopment analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah mengarah kelebihan tangkap (overfishing), sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis besar masih dapat ditingkatkan tetapi perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya, 2) Telah terjadi degradasi sumberdaya ikan pelagis di lokasi penelitian, dimana rata-rata per tahun 25% untuk ikan pelagis besar dan 26% untuk ikan pelagis kecil, 3) Telah terjadi depresiasi sumberdaya ikan dengan nilai berkisar antara Rp 56.95 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis besar dan antara Rp 52.63 milyar dan Rp 150.94 milyar untuk ikan pelagis kecil, masingmasing untuk discount rate 15% dan 5.66%, 4) Rata-rata nilai surplus produsen per tahun untuk ikan pelagis besar adalah Rp 144.92 milyar dan untuk ikan pelagis kecil Rp 170.16 milyar, 5) Tingkat efisiensi perikanan tangkap dari waktu ke waktu mengalami penurunan dan pada akhir periode pengamatan mengalami peningkatan, efisiensi untuk ikan pelagis besar rata-rata 85% sedangkan untuk ikan pelagis kecil rata-rata 89%, 6) Bila dibandingkan tingkat efisiensi dari empat alat tangkap maka yang paling efisien adalah alat tangkap pukat cincin kemudian diikuti oleh tonda, payang dan bagan, 7). Secara rata-rata selama tahun pengamatan kondisi perikanan tangkap di perairan pesisir Sumatera Barat sudah mengarah kepada kelebihan kapasitas (overcapacity) yang membutuhkan adanya pengurangan kapasitas. Kata kunci: kapasitas perikanan, efisiensi, degradasi, depresiasi, analisis bioekonomi, data envelopment analysis, Sumatera Barat ABSTRACT DESNIARTI. Analysis of Capacity For Pelagic Fisheries In Coastal Area of West Sumatera. Under Supervision of: AKHMAD FAUZI, DANIEL MONINTJA dan MENNOFATRIA BOER. Extraction of fishery resources has benefited both fishing industries and society. However, there is externalities associated with such an extraction. Fish is renewable resource, neverthelless, exploitation of the resource above and beyond its maximum capacity will have negative impacts biologically, economically and socially. Overcapacity seems to be the major problems faced by fishing industry nowadays. This study attemps to analysis the policy of fisheries capture in West Sumatera Province. Specifically, the objectives are: 1) to identify current level of exploitation compared with its sustainable level, 2) to determine the degradation and depreciation level in fishery, 3) to determine welfare effect of fisheries capacity and 4) to analyse policy implication due to fisheries capacity across time and among gears. Analysis were conducted using bioeconomic modeling and data envelopment analysis. Result indicate that: 1) Utilization of small pelagic fishing in West Sumatera tends to be in overfishing state for small pelagic, while there is still room for exploitation for big pelagic, 2) Pelagic fishery resources have been degraded at average of 25% per year for big pelagic and 26% per year for small pelagic 3) Fishery resources have been depreciated. These depreciation values were estimated between 56.95 billion rupiah (15% discount rate) to 150.94 billion rupiah (5.66% discount rate) for big pelagic and between 52.63 billion rupiah (15% discount rate) to 139.49 billion rupiah (5.66% discount rate) for small pelagic, 4) Fishing efficiency rate of big pelagic average of 85% per year and 89% per year for small pelagic, 5) Producer’s surplus values at average 144.92 billion rupiah per year for big pelagis and 170.16 billion rupiah per year for small pelagic, 6) In terms of efficiency only two fishing gears (purse seine and troll line) are economically efficient even through there are same variations among gears and across time, 4) In overall however, fishery is in overcapacity situation and calls for reduction in fishing capacity Keywords: fisheries capacity, efficiency , degradation, depreciation, bioeconomic Analysis, data envelopment analysis, west Sumatera ANALISIS KAPASITAS PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN PESISIR PROVINSI SUMATERA BARAT DESNIARTI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Disertasi Nama Nrp : Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat : Desniarti : C261020081 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Daniel R. Monintja, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Diketahui Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Tanggal Ujian: 29 Januari 2007 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan di sepanjang perairan pesisir Propinsi Sumatera Barat yang dilakukan sejak bulan Agustus 2004 sampai dengan bulan Januari 2005. Judul disertasi ini adalah Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat. Dalam usaha perikanan tangkap, salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah yang melebihi potensi lestarinya sehingga terjadi fenomena tangkap lebih yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan persatuan upaya yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Salah satu penyebab timbulnya permasalahan tangkap lebih adalah terjadinya kelebihan kapasitas tangkap (overcapacity). Berdasarkan hal tersebut maka pengukuran tentang kapasitas perikanan tangkap merupakan suatu yang penting dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan perikanan tangkap di wilayah penelitian. Terima kasih dan penghargaan yang tak ternilai penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Daniel R Monintja, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, petunjuk dan saran serta meluangkan waktu dengan penuh kesabaran. Terima kasih juga disampaikan kepada Pemda Provinsi Sumatera Barat, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat beserta staf, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, para Dosen dan Staf pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Orangtua, Mertua, Suami, anak-anak, kakak-kakak dan adik-adik yang selalu memberikan perhatian, do’a, motivasi, pengertian dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada teman-teman penulis satu angkatan di SPL terutama teman-teman satu bimbingan Dr. Suzy Anna, Dr. Sofyan, Dr. Toni, Dr. Georgina, Dr. Parwinia dan Indra, juga kepada Ir. Afridawati yang menemani dalam pengumpulan data serta pihak-pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Bogor, Januari 2007 Desniarti RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Panjang Sijunjung Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 24 Agustus 1965 dari Ayah yang bernama Ishak Aman, BA dan Ibu Rosni. Penulis merupakan anak ke dua dari enam bersaudara. Pada tahun 1978, penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 2 Air Bangis Kabupaten Pasaman, tahun 1981 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri I Payakumbuh dan tahun 1984 lulus Sekolah menengah Atas Negeri I Payakumbuh. Selanjutnya penulis menyelesaikan pendidikan sarjana jurusan Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1989. Pada tahun 1990 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Pemda Popinsi Sumatera Barat dan ditempatkan pada Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat sampai sekarang. Pada Bulan Oktober tahun 2000 penulis diberi kesempatan untuk tugas belajar pada program Magister Manajemen Agribisnis (MMA) Institut Pertanian Bogor dan selesai pada bulan Juni tahun 2002. Selanjutnya tahun 2002 tepatnya bulan September penulis mendapat kesempatan lagi untuk melanjutkan studi program doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor. Artikel yang berjudul Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat dimuat dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia edisi Desember 2006 Volume XII Nomor 2. Artikel tersebut merupakan bagian dari Disertasi penulis. Penulis menikah pada tanggal 13 Agustus 1987 dengan Prof. Dr. Ir. Fauzan Azima, MS di Payakumbuh dan dikaruniai 3 orang anak yaitu Syifa Mardhatillah Syafitri (18 Mei 1988) dan anak kembar laki-laki Ulul Azmi Kamili dan Ulil Amri Kamili (12 Juni 1990). PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Kapasitas Perikanan Pelagis di Perairan Pesisir Provinsi Sumatera Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2007 Desniarti Nrp. C261020081 ©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertullis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ i iii v ix I1 PENDAHULUAN ............................................................................................. 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………............ 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………… 1.4 Hipotesis Penelitian …………………………………………………………… 1.5 Kegunaan Penelitian …………………………………………………………. 1.6 Kerangka Pemikiran ………………………………………………………….. 1 1 2 4 4 5 5 I2 TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………………… 2.1 Sumberdaya Perikanan Laut ………………………………………………... 2.2 Usaha Perikanan Tangkap ………………………………………………… 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis ......................................................................... 2.4 Perikanan yang Berkelanjutan …………………………………………….... 2.5 Kapasitas Perikanan …………………………………………………............ 2.6 Data Envelopment Analysis (DEA) …………………………………............ 2.7 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ………………………….. 8 8 11 12 19 22 25 28 I3 METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………………………. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………………. 3.2 Teknik Pengumpulan Data ………………………………………………….. 3.3 Standardisasi Alat Tangkap …………………………………………………. 3.4 Analisis Data …………………………………………………………………. 3.4.1 Model bioekonomi sumberdaya perikanan …………………........... 3.4.2 Estimasi discount rate …………………………………………......... 3.4.3 Analisis laju degradasi dan depresiasi SDI ………………….......... 3.4.4 Pengelolaan sumberdaya secara optimal .................................... 3.4.5 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan ...……………………. 3.4.6 Analisis kesejahteraan produsen .................................................... 3.4.7 Analisis kapasitas perikanan tangkap ……………………….......... 3.5 Pemetaan Proses Penelitian ……………………………………………….. 35 35 35 36 37 37 40 41 42 44 45 46 50 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN …………………………………. 4.1 Karakteristik Geofisik ................................................................................ 4.2 Keragaan Potensi Sumberdaya Ikan ....................................................... 4.3 Perkembangan Perikanan di Provinsi Sumatera Barat ............................ 4.4 Sumbangan Sub Sektor Perikanan terhadap PDRB ................................ 52 53 51 54 64 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………………... 5.1 Standardisasi Alat Tangkap …………………………………………........... 5.2. Estimasi Parameter Biologi …………………………………………............ 5.3 Estimasi Sustainable Yield …………………………………………………... 5.4 Estimasi Parameter Ekonomi .....……………………………………………. 5.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan yang Optimal............................... 5.6 Degradasi Sumberdaya Ikan …………………………………..................... 67 67 72 72 79 81 90 ii 5.7 Depresiasi Sumberdaya Ikan ……………………………………................ 5.8 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan .......................................... 5.9 Aspek Kesejahteraan Produsen .............................................................. 5.10 Kapasitas Perikanan Tangkap ………………………………………......... 5.10.1 Efisiensi perikanan tangkap ....................................................... 5.10.2 Efisiensi alat tangkap ................................................................. 5.10.2.1 Pukat cincin ................................................................... 5.10.2.2 Tonda ............................................................................. 5.10.2.3 Payang ........................................................................... 5.10.2.4 Bagan ............................................................................ 5.11 Implikasi Kebijakan ................................................................................. 93 98 102 104 104 113 113 117 120 122 124 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………......... 6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………............ 6.2 Saran ………………………………………………………………………….. 128 128 129 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… LAMPIRAN ……………………………………………………………………………... 131 137 iii DAFTAR TABEL Halaman 1 Potensi lestari sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatannya di Samudera Hindia ……………………………………………………................ 8 Panjang garis pantai dan jumlah pulau kecil per kab/kota di Provinsi Sumatera Barat ……………………………………………………………………. 54 Perkembangan hasil tangkapan ikan di Provinsi Sumatera Barat tahun 1984-2004 ....................................................................................................... 55 Jumlah nelayan di wilayah kabupaten/kota Provinsi Sumatera Barat tahun 2004 ………………………………………………………………......................... 56 Perkembangan jumlah nelayan perikanan tangkap Provinsi Sumatera Barat 1995 – 2004 ………………………………………………………….................... 57 Keragaan alokasi jumlah dan jenis armada kapal perikanan Sumatera Barat selama 10 tahun (1995-2004) ............................................................... 58 Keragaan alokasi komposisi jumlah unit penangkapan ikan di Provinsi Sumatera Barat dari tahun 1995 – 2004 ……………………………………….. 59 Jenis dan nilai investasi yang digunakan untuk penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan .................................................................. 63 Rata-rata biaya operasional menurut alat tangkap ……………………........... 64 10 Kontribusi PDRB perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat Selama 5 tahun (2000 – 2004) ………………………………………………….. 65 11 Hasil tangkapan ikan pelagis besar oleh alat tangkap tonda dan pukat cincin ............................................................................................................. 69 12 Produksi ikan pelagis kecil oleh alat tangkap yang dianalisis ....................... 70 13 Parameter biologi perikanan pelagis di Propinsi Sumatera Barat ................... 72 14 Fungsi produksi lestari Gompertz ................................................................... 72 15 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari Gompertz untuk ikan pelagis besar ............................................................... 73 16 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari Gompertz untuk ikan pelagis kecil ................................................................ 77 17 Rata-rata biaya riil operasional penangkapan ikan per trip menurut alat tangkap yang dijadikan baseline ............................................................ 80 2 3 4 5 6 7 8 9 iv 18 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis besar ...................................................................... 82 19 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal ikan pelagis besar 83 20 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis kecil ....................................................................... 85 21 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal ikan pelagis kecil 86 22 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis besar (Rp juta) ................................. 88 23 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis kecil (Rp juta) ................................. 89 24 Perkembangan tingkat degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil ................................................................................................................ 90 25 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar …………………...... 26 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil …………………........ 27 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis besar ............................................... 94 96 100 28 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis kecil ................................................ 102 29 Nilai surplus produsen untuk sumberdaya ikan pelagis besar & kecil …........ 103 30 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis besar ................................... 105 31 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis kecil ...................................... 107 32 Opportunity cost dari kelebihan kapasitas input .............................................. 110 33 Efisiensi teknis pendekatan input kapal pukat cincin ..................................... 114 34 Efisiensi teknis pendekatan output kapal pukat cincin .................................... 115 35 Kapasitas kapal pukat cincin .......................................................................... 116 36 Efisiensi kapal pukat cincin dengan memasukkan nilai moneter .................... 117 37 Efisiensi teknis pendekatan input kapal tonda ............................................... 118 38 Efisiensi teknis pendekatan output kapal tonda ............................................. 118 39 Efisiensi teknis pendekatan input perahu motor tempel payang ..................... 120 40 Efisiensi teknis pendekatan output perahu motor tempel payang ................. 120 41 Efisiensi teknis pendekatan input kapal bagan ............................................... 122 42 Efisiensi teknis pendekatan output kapal bagan ............................................. 123 v DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran ……………………………………………………………… 7 2 Jumlah perahu/kapal perikanan laut di Indonesia Tahun 2004 ………............ 12 3 Tiga dimensi keberlanjutan ……………………………………………………… 21 4 Solusi Maximum Sustainable Yield (MSY) …………………………………… 30 5 Solusi Open Acces Equiblirium (OAE) ………………………………………… 31 6 Solusi Maximum Economic Yield (MEY) ……………………………………… 32 7 Peta lokasi penelitian ....................................................................................... 35 8 Pemetaan proses penelitian ......................................................................... 51 9 Perkembangan hasil tangkapan ikan laut di Provinsi Sumatera Barat tahun 1984 – 2004 .................................................................................................... 56 10 Perkembangan nelayan perikanan tangkap tahun 1995 – 2004 .................... 57 11 Perkembangan armada perikanan tangkap dari tahun 1995 – 2004 ............. 58 12 Perkembangan hasil tangkapan ikan oleh beberapa jenis alat tangkap ........ 60 13 Perkembangan PDRB total, PDRB pertanian dan PDRB perikanan Provinsi Sumatera Barat ............................................................. 66 14 Kontribusi PDRB Perikanan terhadap PDRB Provinsi Sumatera Barat ............................................................................................................. 66 15 Perkembangan effort yang telah distandardisasi untuk penangkapan ikan pelagis besar dan pelagis kecil ............................................................. 68 16 Perkembangan hasil tangkapan perikanan menurut jenis ikan pelagis besar 68 17 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis besar ........................ 69 18 Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil ....................................... 70 19 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil ........................ 71 20 Hasil tangkapan aktual dan produksi lestari Gompertz ikan pelagis besar ..... 74 21 Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual ikan pelagis besar ..................... 75 22 Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz ikan pelagis besar ................... 76 vi 23 Hasil tangkapan aktual dan produksi lestari Gompertz ikan pelagis kecil ...... 77 24 Kurva lestari Gompertz dan produksi aktual ikan pelagis kecil ...................... 78 25 Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz ikan pelagis kecil .................... 79 26 Perkembangan biaya penangkapan per trip untuk alat tangkap tonda dan pukat cincin ............................................................................................ 80 27 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis besar pada discount rate 15% dan 5.66 %............................................................................................... 82 28 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis besar pada kondisi aktual, lestari dan optimal .......................................................................................... 84 29 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis kecil pada discount rate 15% dan 5.66 %............................................................................................... 85 30 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi aktual, lestari dan optimal ..................................................................................................... 87 31 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar.................. 87 32 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil.................... 89 33 Perkembangan nilai koefisien degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan pelagis kecil...................................................................................................... 91 34 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis besar..............................…………………………………………………………… 91 35 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis kecil...................................... ……………………………………………………… 92 36 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis besar...................... 92 37 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis kecil...................... 93 38 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 15% dan 5.66%………………………………...................... 94 39 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 15%.................................................................................... 95 40 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 5.66%................................................................................. 95 41 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 15% dan 5.66%................................................................. 97 vii 42 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 15%.................................................................................... 97 43 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 5.66%................................................................................. 98 44 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis besar........................... .................... 99 45 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar........................................................................................... .................... 99 46 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis kecil........................... .................... 101 47 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil.................................................................................................................. 101 48 Perkembangan surplus produsen untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil..................................................................................... 103 49 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis besar..................... 104 50 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis kecil....................... 104 51 Trajektori skor efisiensi DEA ikan pelagis besar ............................................. 106 52 Trajektori skor efisiensi DEA ikan pelagis kecil ............................................. 106 53 Perbandingan kapasitas pelagis besar pada kondisi aktual dan optimal ........ 108 54 Perbandingan kapasitas pelagis kecil pada kondisi aktual dan optimal ........ 108 55 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input ikan pelagis besar...... 109 56 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input ikan pelagis kecil ...... 109 57 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis besar............... 111 58 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis kecil............... 111 59 Trajektori skor efisiensi moneter ikan pelagis besar ...................................... 112 60 Trajektori skor efisiensi moneter ikan pelagis kecil ....................................... 113 61 Distribusi efisiensi kapal pukat cincin ............................................................ 114 62 Potensi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin .............................................. 115 63 Distribusi efisiensi kapal tonda ....................................................................... 119 64 Potensi perbaikan efisiensi kapal tonda ........................................................ 119 viii 65 Distribusi efisiensi perahu motor tempel payang ……………………………… 121 66 Potensi perbaikan efisiensi perahu motor tempel payang .............................. 121 67 Distribusi efisiensi kapal bagan …………………………………………………. 123 68 Potensi perbaikan efisiensi kapal bagan ......................................................... 123 69 Pengaruh pajak per unit upaya terhadap keseimbangan akses terbuka....... 127 ix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Disagregasi hasil tangkapan ikan pelagis besar ………………................... 137 2 Standardisasi effort (trip) penangkapan ikan pelagis besar …..................... 139 3 Disagregasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil ……………………………… 131 4 Analisis CYP ikan pelagis besar…………………………………………… 146 5 Analisis CYP ikan pelagis kecil ……………………………………............... 148 6 Output Maple untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar ................ 152 7 Rezim pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil ..................................... 153 8 Potensi perbaikan efisiensi fisik dari DMU penangkapan pelagis besar ..... 156 9 Potensi perbaikan efisiensi fisik dari DMU penangkapan pelagis kecil ........ 158 10 Potensi perbaikan efisiensi moneter dari DMU penangkapan pelagis besar 160 11 Potensi perbaikan efisiensi moneter dari DMU penangkapan pelagis kecil 161 12 Efisiensi teknis pendekatan input kapal tonda ............................................. 162 13 Ukuran kapasitas dan kapasitas optimal kapal tonda .................................. 164 14 Efisiensi kapal tonda dengan memasukkan nilai moneter ........................... 166 15 Efisiensi teknis pendekatan input perahu motor tempel payang .................... 168 16 Efisiensi perahu motor tempel payang dengan memasukkan nilai moneter .. 170 17 Efisiensi teknis pendekatan input kapal motor bagan .................................. 172 18 GAMS output untuk analisis DEA perikanan pelagis besar …..................... 174 19 GAMS Output untuk efisiensi teknis input kapal pukat cincin …………........ 178 20 Output Maple untuk perhitungan surplus produsen ………………………….. 180 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya kelautan di Indonesia selama ini telah dimanfaatkan dalam berbagai aktivitas perekonomian, dimana salah satunya adalah dalam usaha perikanan tangkap. Perikanan tangkap itu sendiri merupakan aktivitas perekonomian yang unik bila dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Hal ini berkaitan dengan kondisi sumberdaya laut dan ikan itu sendiri yang sering dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources). Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat secara ekonomi kepada pelaku usaha akan tetapi pemanfaatan sumberdaya ikan ini juga memberikan dampak eksternalitas baik positif maupun negatif. Sumberdaya ikan bersifat renewable resources (sumberdaya yang dapat pulih) tetapi bukan berarti tak terbatas sehingga apabila tidak dikelola secara hati-hati, akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan dan lingkungan. Program pembangunan perikanan yang dilaksanakan pada tahap pembangunan sebelumnya hanya mengejar keuntungan ekonomi semata dan mengabaikan kelestarian lingkungan sehingga menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan lautan seperti: degradasi lingkungan, pencemaran, kelangkaan sumberdaya, tangkap lebih (overfishing) dan sebagainya. Dalam rangka mengurangi dampak negatif dari kegiatan pembangunan maka pembangunan yang dilakukan saat ini adalah pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang secara ekologis lestari (ramah lingkungan), secara teknologi tepat guna, secara ekonomi efisien dan layak, secara sosial bisa diterima/berkeadilan sehingga kebutuhan generasi mendatang tetap dapat dipertahankan (Dahuri 2003). Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak ditemui aktivitas pemanfaatan yang bertentangan dengan prinsip berkelanjutan. Dalam usaha perikanan tangkap, permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapan ikan di suatu wilayah yang melebihi potensi lestarinya (maximum sustainable yield/MSY) sehingga terjadi fenomena tangkap lebih (overfishing) yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan persatuan upaya (catch per unit of effort) yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Menurut laporan FAO (2000) bahwa 47% sumberdaya 2 ikan di dunia sudah dimanfaatkan secara penuh (fully exploited), 19% dieksploitasi secara berlebihan (overexploited) dan 9% diantaranya sudah terkuras (depleted). dalam kondisi kritis. Dengan demikian, 75% sumberdaya ikan global sudah Mace (1996) mengidentifikasi bahwa kapasitas lebih (overcapacity) merupakan problem kunci yang menyebabkan permasalahan dalam perikanan tangkap. Konsep kapasitas perikanan merupakan suatu ukuran untuk mengetahui apakah perikanan dalam kondisi efisien atau tidak. Definisi umum dari kapasitas perikanan adalah stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu (Kirkley & Squires 1998). Sedangkan Johansen (1968) mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi. 1.2 Perumusan Masalah Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang cukup besar, memiliki garis pantai sepanjang 375 km mulai dari Kabupaten Pasaman sampai ke Pesisir Selatan dan bila dimasukkan garis pantai di Kabupaten Kepulauan Mentawai maka panjang garis pantainya mencapai 2 420 km, sedangkan luas laut termasuk ZEE adalah seluas 186 580 km2. Kawasan perairan pantai Sumatera Barat meliputi 7 (tujuh) daerah kabupaten dan Kota yaitu Pasaman Barat, Agam, Pariaman, Padang Pariaman, Padang dan Pesisir Selatan serta Kepulauan Mentawai. Salah satu potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang paling potensial dan selama ini telah menopang perekonomian masyarakat adalah perikanan laut. Potensi ikan di perairan laut Sumatera Barat diperkirakan sebesar 289 936 ton sedangkan produksi ikan laut pada tahun 2004 baru mencapai 102 368.0 ton atau sekitar 35% dari potensi yang ada sehingga masih memiliki peluang yang besar bagi peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan para nelayan. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini dapat dilihat dari sumbangan sektor perikanan terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB) yang masih berada di bawah 5%. Jumlah nelayan yang ada tercatat 3 sebanyak 34 020 orang yang terdiri atas 24 287 orang (74%) nelayan tetap dan sisanya sebanyak 9 733 orang sebagai nelayan musiman. Jumlah perahu penangkapan ikan sebanyak 6 897 unit terdiri atas 4 005 unit (57%) perahu tanpa motor, 1 551 unit (24.30%) perahu motor tempel dan 1 341 unit (17.90%) kapal motor (DKP Sumbar 2005). Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan antara lain: jaring insang (gillnet) pukat kantong (purse seine), bagan dan pancing tonda. Jenis ikan laut yang tertangkap didominasi oleh ikan pelagis (90%) seperti: tuna, cakalang, tongkol, layang, selar, teri, tembang, kembung, tenggiri, serta beberapa jenis ikan demersal dan ikan karang seperti: ikan kuwe, kerapu, kakap bawal serta udang seperti: lobster, udang kelong dan udang windu. Walaupun tingkat penangkapan masih berada di bawah potensi lestari yang ada, untuk beberapa jenis ikan tingkat penangkapannya hampir mendekati potensi lestari seperti ikan pelagis kecil dan beberapa jenis ikan karang (Diskan Sumbar 1999). Hasil penelitian Puslitbang Perikanan Universitas Bung Hatta tahun 1995 menyatakan bahwa ikan teri yang tertangkap ukurannya semakin kecil dan hasil tangkapan per unit upaya juga semakin kecil. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Merta et al. (1998) yang menyatakan bahwa perikanan pelagis kecil di Sumatera Barat sudah mengalami kelebihan tangkap. Selanjutnya apabila dilihat secara parsial menurut wilayah atau jenis ikan tertentu ternyata ada wilayah penangkapan yang telah mengalami kelebihan tangkap (overfishing) dan kelebihan kapasitas (overcapacity). Hal ini terutama terjadi pada wilayah penangkapan sekitar pantai. Berdasarkan alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan yang didominasi oleh perahu tanpa motor dan motor tempel maka aktivitas penangkapan ikan banyak dilakukan di perairan dekat pantai dan ikan yang banyak tertangkap adalah ikan pelagis kecil. Sedangkan ikan pelagis besar yang memiliki potensi yang cukup besar tingkat pemanfaatannya masih belum optimal dikarenakan terbatasnya kemampuan nelayan untuk menangkap ikan jenis pelagis besar ini. Sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan pemanfaatan potensi dimana sebagian wilayah penangkapan mengalami overcapacity yang menyebabkan terjadinya overeksploitasi dan akhirnya menyebabkan produktivitas nelayan menjadi rendah, sedangkan wilayah lainnya berada dalam kondisi under capacity. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan pengaturan wilayah pengembangan perikanan tangkap sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal kepada 4 nelayan dan pembangunan yang berkelanjutan tetap dapat diwujudkan. Berdasarkan kondisi di atas timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana kondisi sumberdaya perikanan pada wilayah penelitian ditinjau dari sisi biologi dan ekonomi (bioekonomi)? 2) Sejauhmana tingkat efisiensi di wilayah penelitian? 3) Seberapa besar ekstraksi sumberdaya ikan memberikan dapak kesejahteraan kepada pelaku usaha perikanan? 4) Bagaimana kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang menjamin keberlanjutan usaha perikanan tangkap? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola pemanfaatan dan merekomendasikan kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan pada wilayah penelitian. secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1) Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual). 2) Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan dalam kaitannya dengan kapasitas perikanan. 3) Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan masyarakat nelayan. 4) Menganalisis kapasitas perikanan baik antar waktu maupun antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. 1.4 Hipotesis Penelitian 1) Ekstraksi sumberdaya perikanan pelagis tidak efisien secara bioekonomi. 2) Telah terjadi degradasi dan depresiasi akibat adanya ekstraksi sumberdaya ikan. 3) Kapasitas penangkapan tidak sesuai dengan kapasitas perikanan yang seharusnya. 5 1.5 Kegunaan Penelitian 1) Diperolehnya informasi tentang kondisi perikanan tangkap di Propinsi Sumatera Barat. 2) Sebagai salah satu bahan acuan bagi Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Barat dalam merumuskan kebijakan pengembangan perikanan tangkap secara berkelanjutan. 1.6 Kerangka Pemikiran Pemanfaatan sumberdaya ikan telah memberikan manfaat bagi bangsa Indonesia, sebagai sumber utama pangan, penyedia lapangan kerja, sumber penerimaan dan devisa negara serta manfaat ekonomi bagi pelaku usaha perikanan. dampak Akan tetapi dengan adanya pemanfaatan ini juga memberikan negatif terhadap keberadaan sumberdaya ikan, telah terjadi kecenderungan penurunan stok sumberdaya ikan yang dicirikan dengan turunnya produksi per unit input. Sumberdaya perikanan bersifat quasi open access yang menyebabkan sulitnya pengendalian input. Akses terhadap sumberdaya yang tidak dibatasi mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien serta berdampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan seperti kelebihan tangkap (overfishing), overcapacity, kepunahan, depresiasi dan degradasi. Berbagai permasalahan yang terjadi terhadap sumberdaya ikan pada akhirnya juga akan berdampak terhadap tingkat kesejahteraan pelaku usaha perikanan sebagai akibat biaya eksploitasi yang semakin meningkat, produksi yang semakin menurun dan pada akhirnya menurunnya manfaat/keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan. Terjadinya dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya ikan juga disebabkan tidak meratanya pemanfaatan wilayah penangkapan ikan, dimana ada suatu wilayah dengan tingkat pemanfaatan yang tinggi (input yang berlebihan) dan wilayah penangkapan lainnya tingkat pemanfaatannya masih rendah. Hal ini juga didukung dengan belum adanya data atau ukuran seberapa besar sumberdaya dapat dimanfaatkan dan berapa besar tingkat upaya atau kapasitas yang optimal. Sehingga ada suatu wilayah yang mengalami kelebihan kapasitas dan wilayah lainnya yang berada di bawah kapasitas (under capacity). 6 Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan analisis tentang tingkat pemanfaatan dan kapasitas perikanan tangkap sehingga dapat diketahui kondisi perikanan apakah sudah optimal dan efisien. Diharapkan dengan mengetahui tingkat pemanfaatan dan kapasitas perikanan dapat dirumuskan kebijakan pengelolaan tangkap yang berkelanjutan. dapat dilihat pada Gambar 1. perikanan Gambaran lengkap dari kerangan pemikiran ini 7 Gambar 1 Kerangka pemikiran. 8 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Perikanan laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya. Menurut Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia adalah sebesar 6.41 juta ton per tahun yang antara terdiri dari ikan pelagis 4.77 juta ton, ikan demersal 1.37 juta ton, ikan karang konsumsi 145 ribu ton, udang penaeid 94.80 ribu ton, lobster 4.80 ribu ton, dan cumi-cumi 28.25 ribu ton. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan tangkap Tahun 2005, produksi perikanan laut Indonesia tahun 2004 adalah sebesar 4 506 060 ton, bila dibandingkan dengan potensi lestari yang ada ternyata tingkat pemanfaatannya masih di bawahnya yaitu sebesar 70.36%. Perairan Laut Sumatera Barat merupakan bagian dari wilayah Pengelolaan Samudera Hindia dimana potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di Samudera Hindia seperti pada Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan di Samudera Hindia ini secara keseluruhan masih berada di bawah potensi lestari tetapi ada beberapa sumberdaya ikan yang sudah melebihi potensi lestari yaitu ikan karang dan cumi-cumi. Tabel 1 Potensi lestari sumberdaya ikan dan tingkat pemanfaatan di Samudera Hindia No. Sumberdaya ikan Potensi (103ton/tahun) Produksi (103ton/tahun) Tingkat Pemanfaatan (%) 1. Ikan pelagis besar 386.26 188.28 48.74 2. Ikan pelagis kecil 526.57 264.56 50.21 3. Ikan demersal 135.13 134.83 99.78 4. Ikan karang 12.88 19.42 >100 5. Udang penaeid 10.70 10.24 95.70 6. Lobster 1.60 0.16 10.00 7. Cumi-cumi 3.75 6.29 >100 1.076.80 623.78 57.92 Jumlah Sumber: Puslitbang Oseanologi LIPI (2001) 9 Walaupun secara keseluruhan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia masih berada di bawah potensi lestari yang ada, akan tetapi pada beberapa wilayah telah mengalami tangkap lebih (overfishing), seperti untuk jenis ikan karang dan udang penaeid. Berdasarkan penyebaran daerah penangkapan ikan, potensi produksi perikanan tangkap di perairan laut Indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan yaitu: wilayah I Selat Malaka, wilayah II Laut Cina Selatan, wilayah III Laut Jawa, wilayah IV Selat Makassar dan Laut Flores, wilayah V Laut Banda, wilayah VI Laut Seram sampai Teluk Tomini, wilayah VII Laut Sulawesi dan Samudera Fasifik, wilayah VIII Laut Arafura dan wilayah IX Samudera Hindia. Dari 9 wilayah pengelolaan perikanan ini daerah yang telah mengalami tangkap lebih adalah: Laut Jawa, perairan Selat Malaka, perairan Selat Makassar, sedangkan perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, Laut Seram dan Teluk Tomini masih memiliki potensi yang tinggi dengan tingkat pemanfaatan yang masih rendah (Aziz et al. 1998) Menurut Dahuri (2003) terjadinya fenomena tangkap lebih disebabkan oleh persepsi keliru tentang sumberdaya ikan laut yang selama ini dimiliki oleh kebanyakan para nelayan, pengusaha perikanan, dan pejabat pemerintah. Kekeliruan pertama adalah mereka menganggap bahwa karena ikan adalah sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sehingga dapat dieksploitasi secara tak terbatas (infinite). Selain itu, sumberdaya ikan laut dianggap sebagai sumberdaya milik umum (common property resources), sehingga berlaku rejim open access dalam pemanfaatannya dengan pengertian bahwa siapa saja, kapan saja dapat mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan (sustainable fisheries), maka rejim (pola) pemanfaatannya harus segera diubah dari rejim open access menjadi perikanan tangkap yang bertanggung jawab seperti yang dianjurkan oleh Kode Etik Perikanan yang bertanggung jawab atau Code Conduct of Responsible Fisheries. Salah satu unsur dari kode etik ini adalah praktek perikanan tangkap yang terkendali, yang secara garis besar dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: 1) pengendalian penangkapan ikan oleh pemerintah (public authorities); dan 2) pemberian “hak pengusahaan perikanan” (fishery rights) kepada individu, kelompok masyarakat atau perusahaan perikanan. Hanneson (2000) yang diacu dalam Dahuri (2003) mengatakan bahwa pengendalian penangkapan ikan oleh pemerintah dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu: 1) pengendalian 10 penangkapan (control of the catch) yang salah satu tekniknya adalah dengan menerapkan kuota penangkapan ikan sesuai dengan potensi lestari stok ikan dalam suatu wilayah perikanan, 2) pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan (control of fishing capacity and fishing effort), dan 3) pengendalian secara tidak langsung melalui pengenaan pajak terhadap upaya tangkap atau hasil tangkapan. Selanjutnya Dahuri (2003) menyatakan bahwa pengendalian upaya tangkap dan kapasitas penangkapan dapat dilakukan dengan cara memberikan izin penangkapan ikan (fishing licence) pada setiap kapal ikan. Izin penangkapan ikan diberikan untuk jangka pendek (satu tahun) dan jangka panjang (selama umur teknis/pakai kapal ikan). Pelaku usaha perikanan cenderung untuk memaksimalkan hasil tangkapannya untuk memperoleh rente yang sebesar-besarnya karena mereka tidak perlu membayar untuk menangkap ikan, dengan pengenaan pajak terhadap usaha penangkapan ikan secara tidak langsung akan mengendalikan tingkat upaya ikan agar tidak melebihi potensi lestarinya. Fauzi (2002) menyatakan bahwa alternatif lain selain ketiga kebijakan konvensional di atas yang dalam penerapannya memiliki kelebihan dan kelemahan terutama pada perikanan yang bersifat multi spesies dan multi gear adalah dengan penerapan user fee atau fishing fee. Ada beberapa hal yang menjadikan user fee ini lebih menguntungkan (favourable) yaitu: Pertama, prinsip netralitas yang didasarkan pada pemikiran bahwa resource rent tax atau pajak rente sumberdaya tidak mempengaruhi penggunaan faktor produksi, user fee ini tidak akan membuat distorsi pada pasar karena fishing fee yang didasarkan dari perhitungan resource rent tax sudah memperhitungkan seluruh aspek sumberdaya baik biologi maupun ekonomi dari pelaku perikanan. Kedua, aspek kesetaraan (equity) dan keadilan (fairness), dimana fishing fee merupakan kontrak sosial antara pelaku perikanan dengan pemerintah sebagai wakil publik atas kepemilikan sumberdaya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan juga merupakan penjabaran lebih nyata dari user fee principle atau prinsip biaya pengguna. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang memperoleh manfaat atas pemanfaatan sumberdaya perikanan (pelaku perikanan) membayar biaya (fee) yang mencerminkan nilai dari fishing privilege. Ketiga, fleksibilitas dimana biaya sosial untuk merevisi fishing fee jauh lebih kecil dibanding biaya sosial yang harus ditanggung untuk merevisi kuota atau limited entry, jika terjadi 11 perubahan dalam teknologi atau sistem pengelolaan perikanan maka fishing fee jauh lebih adaptable dibanding kuota. Keempat, aspek co-existence yakni share atas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pihak ketiga (kapal dari daerah lain atau kapal asing). 2.2 Usaha Perikanan tangkap Dalam pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan laut sebagian besar dilakukan melalui usaha perikanan tangkap. Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas (Monintja 1994). Menurut UU No.9 tahun 1985 penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan pada perairan yang dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan alat tangkap atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan. Dalam melakukan usaha perikanan tangkap diperlukan beberapa sarana penangkapan berupa input atau dalam perikanan disebut effort yang terdiri dari alat tangkap, tenaga kerja, kapal dan lain-lain. Berdasarkan skala usaha yang ada atau investasi yang dibutuhkan, perikanan tangkap di Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu skala kecil, menengah dan skala besar. Perikanan tangkap skala kecil adalah perikanan yang dalam usaha penangkapan ikan tidak menggunakan perahu, perahu tanpa motor dan perahu yang memiliki mesin diluar (outboard) atau perahu motor tempel. Perikanan skala menengah menggunakan kapal motor (inboard engine) dan kapal yang berukuran menengah, sedangkan usaha perikanan tangkap skala besar diusahakan oleh perusahaan, memiliki fasilitas penangkapan yang lengkap, kapal motor dengan mesin yang memiliki daya yang besar serta ukuran kapal yang besar. Pada usaha perikanan tangkap skala besar ini, pemilik usaha juga melengkapinya dengan berbagai fasilitas penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan (Bailey et al. 1987). Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjenkan Tangkap DKP (2005) sampai saat ini usaha perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil dan menengah, hal ini terlihat dari data jumlah perahu/kapal perikanan tangkap di Indonesia pada tahun 2004 yang masih didominasi oleh perahu tanpa motor sebesar 200 000 buah (42.58%), perahu 12 motor tempel sebanyak 146 270 buah (31.14%) dan kapal motor sebanyak 123 440 buah (26.28%) seperti terlihat pada Gambar 2 di bawah ini. Selanjutnya dari 123 440 buah (26.28%) kapal motor sebagian besar masih didominasi oleh perahu/kapal motor di bawah 5 GT dan antara 5 – 10 GT yaitu masing-masing sebanyak 79 180 buah (64.14%) dan 24.060 buah (19.49%) yang dapat dikatagorikan ke dalam usaha skala menengah, sedangkan kapal yang berukuran di atas 200 GT hanya sebanyak 670 buah (0.54%). kapal motor 26.28% perahu tanpa motor 42.58% perahu motor tempel 31.14% Gambar 2 Jumlah Perahu/Kapal Perikanan Laut di Indonesia tahun 2004. (Sumber: Ditjenkan Tangkap DKP 2005) 2.3 Sumberdaya Ikan Pelagis Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lain. Ikan-ikan ini bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line), perenang cepat dan mempunyai sifat hidup yang bergerombol. Direktorat Jenderal Perikanan (1998) yang diacu dalam Bakosurtanal (1998), mengelompokkan ikan pelagis berdasarkan ukurannya menjadi dua kelompok yaitu: 1) Ikan pelagis besar yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 100 – 250 cm (ukuran dewasa) antara lain: tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), setuhuk (Xiphias spp.) dan lemadang (Coryphaena spp.). Umumnya ikan pelagis 13 besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat, 2) Ikan pelagis kecil yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 5 – 50 cm (ukuran dewasa), terdiri dari 16 kelompok dimana produksinya didominasi oleh 6 kelompok besar yang masingmasing mencapai lebih dari 100 000 ton. Kelompok ikan tersebut adalah kembung (Rastrelliger sp.), layang (Decapterus sp.), jenis-jenis selar (Selaroides sp. dan Atale sp.), lemuru (Sardinella sp.) dan teri (Stolephorus sp.). 2.3.1 Ikan pelagis besar Beberapa jenis ikan pelagis besar yang secara ekonomi dimanfaatkan antara lain adalah: Ikan tuna (Thunnus albacares) Klasifikasi ikan tuna menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Scombridae Genus: Auxis, Thunnus, Katsuwonus, Euthynnus Ada 4 jenis ikan tuna yang banyak ditemukan di perairan Indonesia yaitu madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii). Ikan madidihang mendominasi di semua perairan Indonesia kecuali di Selatan Jawa, Selatan Bali dan Nusa Tenggara. Ikan madidihang bersifat epipelagis dan oseanis yang menyukai perairan di atas dan di bawah lapisan termoklin. Suhu air yang sesuai bagi madidihang berkisar antara 18 - 310C. Tuna mata besar banyak terdapat di Selatan Jawa, Selatan Bali-Nusa Tenggara dan Barat Sumatera serta laut Banda dan Arafuru. Sifat hidup tuna mata besar ini berhubungan erat dengan lapisan termoklin atau daerah renangnya berada pada lapisan tersebut. Tuna mata besar bersifat epipelagis, mesopelagis dan oseanis, terdapat pada kedalaman laut mulai dari permukaan hingga 250 meter (Uktolseja et al. 1998). Suhu dan kedalaman lapisan termoklin merupakan faktor lingkungan utama yang mempengaruhi sebarannya, baik vertikal maupun horisontal. Kisaran suhu air dimana ditemukan tuna mata besar berkisar antara 13 - 290C dengan suhu optimumnya antara 17 - 220C (Colette dan Nauen 1983 yang diacu dalam Uktolseja et al. 1998). 14 Ikan albakora banyak ditemukan pada perairan yang suhu airnya dingin dan berkisar antara 15.6 – 19.40C, akan tetapi ukuran albakora yang besar kisaran suhu air yang dissukai antara 13.5 – 25.20C. Albakora dapat tertangkap di perairan Indonesia terutama dimana terdapat massa air karena sifatnya beruaya bersama atau di dalam massa air tersebut. Lebih besar pengaruh massa air terhadap ruayanya dibandingkan dengan pengaruh suhu atau kadar oksigen perairan. Selain itu sesuai dengan kisaran suhu perairan keberadaannya, maka albakora juga dapat tertangkap di air lapisan termoklin. Di perairan Indonesia paling banyak ditemukan di perairan Selatan BaliNusatenggara, Laut Flores-Selat Makasar dan Selatan Jawa. Selanjutnya tuna sirip biru selatan hanya tertangkap di perairan Selatan jawa dan Selatan Bali Nusa Tenggara (Uktolseja et al. 1998). Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Perciformes Famili: Scombridae Genus: Katsuwonus Ikan Cakalang bersifat epipelagis dan oseanis, peruaya jarak jauh, dan suhu air yang disenanginya berkisar antara 14.7 – 300 C. Cakalang menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau air yang umumnya terdapat banyak pulau. Selain itu Cakalang juga menyukai batas perairan dimana terjadi pertemuan antara masa air panas dan dingin, penaikan air dan parameter hidrografi dimana terdapat percampuran yang tidak tetap. Penyebaran vertikal, mulai dari permukaan sampai kedalaman 260 meter pada siang hari, sedangkan pada malam hari akan menuju permukaan. Sebaran geografis terutama pada perairan tropis dan perairan panas di daerah lintang selatan. Cakalang selalu terdapat dalam kelompok/gerombolan yang besar. Di Indonesia penyebaran ikan Cakalang hampir di semua wilayah perairan Indonesia dimana potensi tertinggi terdapat di Laut Sulawesi-Utara Irian Jaya dan Barat Sumatera (Uktoselja et al. 1998). 15 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Scombridae Genus: Auxis, Euthynnus Ikan tongkol termasuk golongan ikan epipelagik dengan kisaran suhu 18 0 – 31 C. Ikan tongkol ini ditemui hampir di seluluh perairan Indonesia. Untuk Samudera Pasifik potensi tertinggi terdapat di laut Sulawesi-Utara Irian Jaya sedangkan untuk Samudera Hindia potensi tertinggi terdapat di Barat Sumatera dan Selatan Bali-Nusatenggara. Umumnya tingkat pengusahaan ikan tongkol baik di Samudera Pasifik maupun di Samudera Hindia telah berada pada tahap berkembang sebesar 52.50% dan 58.10% (Uktolseja et al. 1998). Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Klasifikasi ikan tenggiri menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Scombridae Genus: Scomberomorus Genus: Scomberomorus commerson Scomberomorus guttatus Scomberomorus lineolatus Ada tiga jenis ikan tenggiri yaitu tenggiri Scomberomorus commerson, tenggiri papan Scomberomorus gutatus, terdapat di semua perairan Indonesia, sedangkan Scomberomorus lineolatus hanya terdapat di perairan Indonesia Barat, jenis ini merupakan ikan peruaya lokal sesuai dengan sifatnya yang neuritis, lebih menyukai perairan yang lebih keruh dan salinitas rendah. Ikan tenggiri Scomberomorus commerson daerah penyebarannya sangat luas, bersifat epipelagis dan neritis. Tenggiri papan bersifat epipelagis dan neritis juga, menyukai perairan yang keruh dengan salinitas rendah, itulah sebabnya banyak tertangkap di perairan laut Jawa, Selatan Sumatera dan Selat Malaka 16 (Uktolseja et al. 1998). Penyebaran ikan tenggiri cukup luas mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dan Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke perairan Indonesia, perairan Australia dan perairan Fiji ke utara sampai ke perairan China dan Jepang. 2.3.2 Ikan pelagis kecil Sumberdaya perikanan pelagis kecil merupakan sumberdaya yang poorly behaved, karena makanan utamanya adalah plankton sehingga kelimpahannya sangat tergantung kepada faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu kelimpahan sumberdaya ini sangat berfluktuasi dan tergantung kepada lingkungan perairannya (Merta et al. 1998). Beberapa jenis ikan pelagis kecil yang banyak ditangkap di perairan Indonesia termasuk perairan Sumatera Barat antara lain adalah: Ikan kembung (Rastrelliger spp.) Klasifikasi ikan kembung menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Scombridae Genus: Rastrelliger Spesies: Rastrelliger brachysoma (Bleeker) Rastrelliger kanagurta Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari 320/00, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Daerah penyebaran ikan kembung mulai dari pulau Sumatera bagian barat dan timur, pulau Jawa bagian utara dan selatan, Nusa Tenggara, perairan barat, timur dan selatan kalimantan, Malaka, Sulawesi bagian utara dan selatan, Maluku dan Irian Jaya (Ditjenkan Deptan 1997). 17 Ikan Layang (Decapterus spp.) Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Carangidae Genus: Decapterus Spesies: Decapterus russeli (Ruppell) Decapterus maerosoma (Bleeker) Decapterus maruadsi (Tamminck dan Sengel) Ikan layang (Decapterus spp.) hidup pada perairan dengan variasi salinitas yang sempit (stenohaline) dengan salinitas berkisar antara 31 – 330/00. Makanan utamanya adalah zooplankton, meskipun kadang-kadang juga makan ikan kecil seperti teri (Stolephorus spp.) dan japuh (Dussumteria acuta). Ada lima jenis ikan layang yang umum ditemukan di perairan Indonesia yakni Decapterus russeli, Decapterus maerosoma, Decapterus maruadsi, Decapterus lajang dan Decapterus kurroides. Akan tetapi dari kelima jenis yang ada, hanya Decapterus russeli yang mempunyai daerah penyebaran yang luas di Indonesia mulai dari Kepulauan Seribu hingga pulau Bawean dan pulau Masalembo. Decapterus maerosoma banyak dijumpai di selat Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu. Decapterus lajang menyukai perairan yang dangkal seperti di Laut Jawa (termasuk selat Sunda, selat Madura dan selat Bali), selat Makassar, Ambon dan Ternate. Decapterus maruadsi termasuk ikan yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti di Laut Banda. Ikan ini dapat tertangkap pada kedalaman 1000 meter atau lebih (Nontji 1993). Ikan Selar (Selaroides spp.) Klasifikasi ikan selar menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Percomorphi Famili: Carangidae Genus: Caranx Spesies: Selar crumenophthalmus Selaroides leptolepsis 18 Jenis ikan selar (Selaroides spp.) yang tertangkap di perairan Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia adalah selar bentong (Selar crumenophthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis) (Nontji 1993). Kedua jenis ikan ini memakan ikan-ikan kecil dan udang kecil, hidup secara bergerombol, dan umumnya di sekitar perairan pantai yang dangkal, khusus untuk selar bentong (Selar crumenophthalmus) hidup sampai kedalaman 80 meter. Ikan Tembang (Sardinella sp.) Daerah penyebaran ikan tembang meliputi seluruh perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan dan ke selatan sampai ke ujung utara Australia dan ke barat sampai laut Merah (Ditjenkan Deptan 1997). Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Malocopterigii Famili: Clupeidae Genus: Sardinella Spesies: Sardinella fibriata (V) Ikan Teri (Stolephorus spp.) Klasifikasi ikan teri menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Malocopterigii Famili: Clupeidae Genus: Stolephorus Spesies: Stolephorus spp. Ikan teri (Stolephorus spp.) terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia terutama di perairan Barat Sumatera, selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi dan timur Sumatera. Ikan teri termasuk ikan pelagis yang menghuni perairan pesisir dan estuari, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas antara 10 – 15 0/00. Pada umumnya hidup bergerombol sampai ratusan atau ribuan individu, terutama untuk jenis-jenis ukuran kecil. Sebaliknya yang berukuran besar cenderung untuk hidup soliter, hanya pada bulan-bulan tertentu mereka dapat tertangkap dalam gerombolan kecil sekitar 100 – 200 ekor. Teri banyak 19 memakan berbagai jenis plankton, walaupun komposisinya tidak selalu sama untuk setiap spesies. Pada ukuran 40 mm, ikan ini umumnya memanfaatkan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil, sedangkan teri yang berukuran lebih dari 40 mm, banyak memanfaatkan zooplankton yang berukuran besar (Nontji 1993). Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). Klasifikasi ikan lemuru menurut Saanin (1984) adalah: Phylum: Chordata Kelas: Pisces Ordo: Malocopterigii Famili: Clupeidae Genus: Sardinella Spesies: Sardinella longiceps Ikan-ikan lemuru yang tertangkap di perairan Indonesia terdiri dari beberapa jenis yang di dalam Statistik Perikanan Indonesia digabung menjadi satu dengan nama longiceps/sardinella lemuru. lemuru, Sardinellla elupeoides. Jenis-jenis Sardinella aurita, tersebut adalah Sardinella Sardinella leoigaster dan Sebaran geografik ikan lemuru mulai dari utara Kalimantan sampai Filipina, India sampai ke pantai timur Afrika. Lemuru juga terdapat di Thailand, Malaysia, Kamboja, Vietnam dan Australia. Di Indonesia didapat dalam jumlah besar di selat Bali sampai Nusa Tenggara Timur. Gerombolan lemuru pada siang hari berada pada lapisan kedalaman 40m – 80m, dan berenang ke atas saat malam hari sampai saat matahari akan terbit lagi. Pada saat bulan purnama terlihat bahwa gerombolan ikan lemuru terpencar di permukaan atau berada tetap di bawah (Dwiponggo 1982). 2.4 Perikanan yang berkelanjutan (Sustainable fisheries) Sumberdaya ikan bersifat dapat pulih/diperbaharui (renewable resources), dimana dia memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, akan tetapi apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh akan mengarah kepada pengurasan sumberdaya ikan dan mengancam keberlanjutan sumberdaya. Untuk itu dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rente ekonomi yang sebesar-besarnya hendaknya diperoleh tanpa melakukan pengurasan terhadap 20 sumberdaya ikan itu sendiri. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan hendaknya diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada awal tahun 1990-an yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut (Fauzi & Anna 2002a): 1) Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai akibat Rio Summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. 2) Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekwensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekwensi sosial dan ekonomi. 3) Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan. The World Commission on Environment and Development (WCED) (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Monintja (1997) perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai usaha penangkapan ikan yang perlu memiliki beberapa persyaratan khusus antara lain: 1) Produk-produk dapat diterima oleh masyarakat konsumen (marketable). 2) Usaha penangkapan menunjukkan keragaman yang menguntungkan (profitable). 3) Usaha penangkapan tidak mengganggu habitat serta kegiatan-kegiatan sub sektor lainnya (environmental friendly). 4) Usaha penangkapan akan dapat berjalan terus menerus tanpa mengganggu kelestarian spesies sasaran (sustainable). Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Environment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 dimana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan 21 pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial, jadi suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan (Gambar 3). Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu pemerataan kegiatan hasil-hasil pembangunan pembangunan, hendaknya mobilitas dapat sosial, menciptakan kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dengan demikian jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya. Sustainability Triangle Ecological Integrity Economic Stability Careful Development Use Evaluation Education Communities Social Fairness Gambar 3 Tiga Dimensi Keberlanjutan (Doring 2001). 22 Selanjutnya Charles (2001) menyatakan keberlanjutan selain terdiri dari aspek ekologi, dan sosial ekonomi juga ada aspek masyarakat dan kelembagaan dengan rincian sebagai berikut: 1) Ecologicall sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama. 2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu . Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan. 3) Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Dengan demikian jika setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseluruhan proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan perikanan yang berkesinambungan haruslah mampu memelihara tingkat yang reasonable dari setiap komponen sustainable tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistem akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan saja (Fauzi & Anna 2002a). 2.5 Kapasitas Perikanan Konsep kapasitas dalam perikanan tangkap dapat didefinisikan dan diukur baik dengan pendekatan teknologi-ekonomi atau secara eksplisit dinyatakan dalam optimisasi berdasarkan teori mikroekonomi (Morrison 1993). Banyak definisi dari kapasitas baik dari perspektif teknologi maupun perspektif ekonomi. Menurut Johansen (1968), kapasitas merupakan jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana 23 keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi. Salz (1994) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2002c) menyatakan bahwa kapasitas perikanan adalah sejumlah ikan yang dapat ditangkap oleh kapal tertentu atau alat tangkap tertentu per tahun, tergantung dari produktivitas per unit waktu tangkap (misalnya CPUE per jam) dan jumlah unit waktu tangkap (misalnya jam melaut per tahun). Menurut FAO (1998) kapasitas perikanan merupakan jumlah maksimum ikan pada periode waktu tertentu (tahun, musim) yang dapat diproduksi oleh armada perikanan jika digunakan secara penuh dengan biomassa tertentu. Selanjutnya Kirkley dan Squires (1998) mendefinisikan kapasitas perikanan sebagai stok kapital maksimum yang ada dalam perikanan yang dapat dipergunakan secara penuh pada kondisi efisien maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu. Stok kapital itu sendiri pada dasarnya dapat berupa kapital itu sendiri maupun sumberdaya manusia. Pada perikanan tangkap kapital merupakan fungsi dari spesifikasi kapal, alat tangkap dan lain-lain sedangkan sumberdaya manusia dapat berupa jumlah awak kapal dan kemampuan/keahlian. Stok kapital ini merupakan manifestasi dari upaya (effort) yang diukur dari jumlah melaut (trip) atau jumlah hari melaut (day fished). Jadi lebih lanjut Kirkley dan Squires (1999) juga mendefinisikan kapasitas perikanan tangkap sebagai tingkat upaya yang memungkinkan, kapasitas upaya, upaya potensial maksimum dan kapasitas potensial perikanan. Kapasitas perikanan telah menjadi pembicaraan utama pada masyarakat perikanan internasional. Hal ini disebabkan banyaknya terjadi kelebihan kapasitas (overcapacity) pada perikanan dunia yang dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan atau krisis perikanan global. Untuk itu FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries menyatakan bahwa negara seharusnya mencegah overfishing dan kelebihan kapasitas perikanan serta mengimplementasikan ukuran manajemen untuk menjamin upaya perikanan yang setara dengan kapasitas produktif dari sumberdaya perikanan dan keberlajutan pemanfatannya. Pada tempat yang telah terjadi kelebihan kapasitas, hendaknya dilakukan mekanisme untuk mengurangi kapasitas pada tingkat yang setara dengan penggunaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan seperti menjamin bahwa nelayan beroperasi di bawah kondisi ekonomi yang mendukung perikanan yang bertanggung jawab. Mekanisme tersebut meliputi monitoring kapasitas armada perikanan (Ward 2000). 24 Mengingat sangat krusialnya masalah kelebihan kapasitas FAO pada tahun 1999 mengeluarkan Internasional Plan of Action for the management of fishing capacity (IPAMF). Mandat yang dikeluarkan oleh IPAMF adalah menyerukan kepada seluruh negara untuk mencapai pengelolaan kapasitas perikanan yang efisien, equitable, transparan pada tahun 2005 (Fauzi 2005). Menurut Fauzi (2005), kelebihan kapasitas di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah. Pertama, adalah tidak sehatnya kinerja sektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumberdaya dan lingkungan menjadi lebih persisten. Kedua, kelebihan kapasitas juga akan menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan melewati titik lestarinya agar armada yang ada terus beroperasi, dan pada saat keuntungan usaha semakin menipis dan tersebar pada jumlah armada yang begitu banyak, maka pengurangan armada akan sulit dilakukan secara politis maupun sosial. Ketiga, kelebihan kapasitas juga akan menimbulkan inefisiensi dan memicu economic waste sumberdaya yang ada disamping menimbulkan komplikasi dalam pengelolaan perikanan, terutama dalam situasi akses yang bersifat terbuka (open acsess). Ward et al. (2004) menyatakan bahwa untuk mengatasi terjadinya kelebihan kapasitas diperlukan instrumen pengelolaan yaitu incentive blocking instruments yang merupakan solusi jangka pendek instrumens instruments yang merupakan solusi jangka dan incentive adjusting panjang. incentive blocking sesuai namanya adalah kebijakan untuk mengatasi kelebihan kapasitas melalui pembatasan kegiatan dalam berbagai bentuk seperti program pembatasan masuk (limeted entry programmes), program pembelian kembali oleh pemerintah (buy back programmes), pembatasan kapal dan alat tangkap (gear and vessel restrictions), pemberlakuan kuota secara agregat (aggregate quotas), pembatasan hasil tangkapan per kapal tanpa dapat di pindah tangankan (non-transferable vessel catch limits) dan pemberian kuota upaya kepada individu (individual effort quotas). Sedangkan incentive adjusting instrumens didesain untuk mengurangi kelebihan kapasitas dengan pendekatan kepada hak kepemilikan sumberdaya (property rights) dimana nantinya pengurangan kapasitas diserahkan kepada mekanisme pasar, kebijakannya antara lain: pemberlakuan kuota kepada individu yang dapat dipindahtangankan (individual transferable quotas/individual fishing rights), pemberlakuan pajak dan royalti (taxes and royalties), pemberian hak kepada kelompok masyarakat dalam 25 pengelolaan perikanan (group fishing rights) dan pemberian hak teritorial (territorial use rights). Kelebihan kapasitas terjadi ketika kapasitas output melebihi yang diinginkan atau tingkat target dari output pada tingkat industri. Perbedaan antara output observasi dan kapasitas output memberikan kelebihan kapasitas pada stok sumberdaya. Tingkat target dari output yang merupakan target kapasitas perikanan adalah jumlah maksimum dari ikan pada periode waktu tertentu (tahun, musim) yang dapat diproduksi oleh armada perikanan jika digunakan secara penuh (Kirkley & Squires 1998). Melalui pengukuran kapasitas akan diketahui tingkat kapasitas yang digunakan (capacity utilization/CU) yang merepresentasikan proporsi dari kapasitas yang tersedia yang telah digunakan. Dalam pendekatan teknologiekonomi yang telah diadopsi oleh FAO, apabila nilai CU sama dengan 1 mengindikasikan bahwa produksi telah full capacity atau tidak dapat ditingkatkan lagi sedangkan apabila nilai CU kurang dari 1 mengindikasikan bahwa perusahaan/unit usaha memiliki potensi untuk meningkatkan produksi tanpa memerlukan pengeluaran untuk pengadaan kapital dan peralatan baru. CU pada umumnya mengacu kepada proporsi dari kapasitas potensial yang digunakan dan diukur sebagai rasio antara output aktual dengan kapasitas output (Kirkley & Squires 1999). Menurut Fare et al. (1989), CU diukur sebagai rasio output technical efficiency (TE) dengan kapasitas output. Rasio ini mengoreksi bias yang dapat muncul karena output aktual kemungkinan diproduksi secara inefisien. 2.6. Data Envelopment Analysis (DEA) Ada beberapa metode yang digunakan untuk menganalisis kapasitas perikanan tangkap antara lain: metode “peak to peak” yang diperkenalkan oleh Klein (1960), metode ini cocok digunakan pada data yang bersifat ekstrim, misalnya pada kondisi data yang tersedia hanya data produksi dan jumlah kapal. Selanjutnya “ frontier approach” yang terdiri dari nonparametric frontier dan stochastic frontier. Metode yang ketiga adalah Data Envelopment Analysis (DEA), yang merupakan metode yang berorientasi pada input dan output yang pertama kali dikembangkan oleh Charnes et al. (1978), Fare et al.(1994), dan disarankan untuk digunakan dalam perikanan oleh Kirkley dan Squires (1998). Masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada penelitian 26 ini yang akan digunakan adalah metode DEA sehingga yang akan dibicarakan lebih lanjut adalah Metode DEA. Penggunaan DEA sebagai alat yang layak (possible) untuk mengukur kapasitas perikanan di dunia telah direkomendasikan oleh Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) dan International Plan of Action for the Management of Fishing Capacity (Lindebo et al. 2002). DEA merupakan suatu pendekatan matematis yang bersifat non parametrik yang dapat digunakan untuk mengestimasi technical efficiency (TE) relatif, capacity, dan capacity utilization (CU) dari aktivitas produksi. DEA dapat menentukan solusi optimal (optimisasi) dari sebuah tujuan dengan serangkaian kendala yang ada. Untuk analisis kapasitas perikanan, DEA memiliki kelebihan antara lain: 1) DEA memiliki kemampuan untuk mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu seperti: jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), pajak, distribusi regional atau ukuran kapal, pelarangan penangkapan ikan pada waktu tertentu dan kendala sosial ekonomi lainnya, 2) DEA memiliki kemampuan mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input dan output yang diskret maupun non diskret, 3) DEA dapat menentukan kombinasi dari input variabel, output, faktor tetap dan karakteristik kapal yang memaksimumkan output, meminimumkan input atau penerimaan, biaya dan keuntungan relatif yang optimal (Kirkley & Squires 1998). Terdapat dua orientasi utama pendekatan DEA yaitu input dan output. Pengukuran yang berdasarkan input dimaksudkan untuk menggambarkan tingkat input relatif yang dapat dikurangi pada tingkat output tertentu seperti jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Pendekatan yang berdasarkan output mengindikasikan bagaimana output dapat ditingkatkan untuk mencapai tingkat fisik maksimal pada tingkat input yang telah ditentukan. Pengukuran yang berdasarkan pendekatan input dan output ini memberikan informasi untuk menilai kapasitas (Kirkley & Squires 1998). Kemampuan DEA untuk mengakomodasi multiple input dan output pertama diajukan oleh Charnes et al. (1978) dengan cara memasukkan faktor pembobotan dari setiap input dan output yang digunakan seperti persamaan berikut: 27 Max ho (u , v ) = ∑uy ∑vx r r ro i i io u,v dengan kendala: ∑uy ∑vx r r rj i i ij ≤ 1, untuk j = 0,1, …,n, ur ≥ ε, ∑i vi xio untuk r = 1, ...,s, dan vi ≥ ε, ∑i vi xio untuk i = 1, ..., m keterangan: y rj = jumlah output r yang diproduksi oleh DMU j, x ij = jumlah input i yang diproduksi oleh DMU j, u r = bobot dari output r, vi = bobot dari input i, Estimasi rasio memberikan sebuah ukuran efisiensi teknis dari masingmasing desicion making unit (DMU). Akan tetapi terdapat kendala dalam pemecahan persamaan di atas karena berbentuk fraksional sehingga sulit untuk dipecahkan melalui program linear. Dengan cara melalui linearisasi maka persamaan di atas dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga dapat dipecahkan melalui linear programming yang menghasilkan persamaan seperti di bawah ini: Max wo = ∑u r y ro r u,v dengan kendala: ∑v x i i ∑u r r io = 1, y rj − ∑ vi xij ≤ 0, u r ≥ ε , dan vi ≥ ε , i 28 Selanjutnya Fare et al. (1994) melakukan variasi pengembangan dari pendekatan linear programming untuk model efisiensi, produktivitas dan kapasitas. Model yang dikembangkan oleh Fare et al. antara lain input-oriented technical efficiency, output oriented technical efficiency, dan output oriented capacity. Golany dan Roll (1989) yang diacu dalam Anna (2003), menyatakan bahwa proses untuk mengaplikasikan model DEA terdiri dari tiga tahapan yaitu: pertama, mendefinisikan dan menyeleksi DMU yang akan dianalisis yaitu seluruh unit yang menjadi bahan pertimbangan harus mewakili tugas sama dengan tujuan yang sama, dan berada pada set kondisi pasar yang sama serta harus menggunakan input yang sama untuk memproduksi jenis output yang sama; kedua, menentukan variabel input dan output yang akan digunakan dalam menganalisis efisiensi relatif dari DMU yang terpilih; dan ketiga, mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya. 2.7 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) yaitu tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi, pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi 2000a). Pengelolaan perikanan merupakan sebuah proses yang kompleks yang membutuhkan integrasi antara ekologi dan biologi sumberdaya dengan sosial ekonomi dan faktor institusi yang mempengaruhi perilaku nelayan dan pembuat keputusan. Tujuan dari bidang yang multidisiplin ini adalah untuk membantu pengambil keputusan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dari aktivitas perikanan sehingga generasi yang akan datang juga memperoleh manfaat dari sumberdaya ( Seijo et al. 1998). 29 Teori bioekonomi untuk perikanan komersial menyatakan bahwa tingkat optimal secara sosial dari effort dan panen ditentukan oleh dinamika biologi dari stok dan ekonomi dari industri (seperti biaya input dan harga output). Hal ini karena masyarakat telah tertarik dalam konservasi stok dan keuntungan dari industri. Tanpa pembatasan masuk atau effort, pemanenan akan berlanjut sampai break event point yaitu suatu tingkat upaya dimana total penerimaan hanya mampu menutupi total biaya dan dikenal sebagai open access equilibrium (OAE). Pada kondisi seperti ini secara sosial tidak efisien karena effort terlalu tinggi (Gordon 1954). Optimasi sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara statis dan dinamik: 2.7.1 Optimasi statis Kondisi yang digunakan untuk menentukan solusi keseimbangan optimal yaitu tingkat effort dan hasil tangkapan yang tepat pada model statis tergantung kepada tujuan dari manajemen antara lain: memaksimumkan hasil tangkapan yang lestari (maximum sustainable yield), open access equilibrium dan maximum economic yield (MEY). Hasil tangkapan maksimum yang lestari dapat diestimasi menggunakan model-model produksi surplus seperti model logistik dari Schaefer (Sparre & Venema 1992). Secara matematik, MSY untuk model Schaefer adalah sebagai berikut: Hubungan hasil tangkap (catch) dengan upaya tangkap adalah: h = aE − bE 2 (1) dalam hal ini h = hasil tangkapan, E = effort, sedangkan a dan b adalah parameter yang dapat diestimasi menggunakan historik data tahunan. Dengan menurunkan persamaan (1) terhadap upaya tangkap (effort) ∂h = a − 2 E , a − 2bE = 0, a = 2bE ∂E maka diperoleh upaya tangkap dan hasil tangkapan maksimal yang lestari yaitu: E MSY = a 2b dan hMSY = a2 , secara lebih jelas solusi MSY seperti terlihat pada 4b pada Gambar 4. Selanjutnya pada sumberdaya perikanan dengan kondisi open access , dimana tidak seorangpun nelayan dapat mencegah nelayan lainnya untuk menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya. Entry akan selalu terjadi selama keuntungan 30 dapat diperoleh. Oleh sebab itu tanpa adanya pembatasan entry atau effort maka keseimbangan akan diperoleh pada saat total penerimaan (TR) sama dengan total biaya (TC) atau zero profits. Dengan menggunakan curva seperti Gambar 4, yaitu dengan mengalikan masing-masing titik pada kurva MSY dengan harga (p) dengan asumsi bahwa p konstan maka diperoleh kurva total revenue yang bentuknya sama dengan kurva MSY. harvest (ton) MSY h= aE-bE2 EMSY Effort (trip) Gambar 4 Solusi Maximum Sustainable Yield (MSY). Peningkatan effort akan meningkatkan biaya, ini beralasan untuk mengasumsikan bahwa setiap tambahan unit effort akan terjadi peningkatan yang sama dalam biaya. Diasumsikan bahwa peningkatan biaya dalam proporsi langsung terhadap effort menghasilkan fungsi total biaya yang linear (TC = cE). Total penerimaan (TR) di set sama dengan total cost untuk memperoleh tingkat effort yang optimal pada perikanan open access. Secara matematis, solusi open access equilibrium (OAE) adalah sebagai berikut: TR = TC → p(aE − bE 2 ) = cE → E OAE = pa − c pb Secara grafis solusi open access equilibrium seperti terlihat pada Gambar 5. OAE merupakan keseimbangan bioekonomi dimana tingkat effort dan hasil tangkapan tidak akan berubah jika tidak ada komponen underlying yang merubah model (seperti harga pasar, biaya operasional dan daya dukung stok). Akan tetapi sumberdaya yang digunakan dalam kondisi open access tidak akan 31 bisa mencapai suatu alokasi yang efisien dan rente yang maksimal (Milon et al. 1999). Rp TC=cE TR*=TC* OAE EOA Effort Gambar 5 Solusi Open Access Equilibrium (OAE). Pengelolaan perikanan yang optimal akan diperoleh melalui pendekatan maximum economic yield (MEY). MEY merupakan total rente yang diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan total biaya yaitu: π ( E ) = p(aE − bE 2 ) − cE Pada Gambar 6 rente lestari diperoleh pada titik EMEY dimana jarak antara total penerimaan dan total biaya terbesar. Keseimbangan diperoleh pada persamaan marginal revenue (MR) dengan marginal cost (MC) atau MR=MC. Secara matematis solusi maximum economic yield (MEY) adalah sebagai berikut: MR = MC → ∂TR ∂TC pa − c = → p(a − 2bE ) = c → E MEY = ∂E ∂E 2 pb Dengan MEY maka tingkat effort yang optimal dicapai lebih kecil dibandingkan effort pada maximum sustainable yield, sehingga optimasi ekonomi lebih bersifat konservasi daripada perikanan yang berdasarkan hasil tangkapan lestari (Milon et al. 1999). 32 Rp MEY slope TR= p(a-2bE) TR* πmax Slope TC= cE TC* E MEY EOAE Effort Gambar 6 Solusi Maximum Economic Yield (MEY). 2.7.2 Optimasi dinamik Keseimbangan MEY statis menggambarkan rente maksimum lestari tahunan dari perikanan. Akan tetapi solusi optimal tidak menggambarkan perbedaan antar waktu dalam nilai uang. Untuk sumberdaya terbarukan seperti ikan, tidak dimasukkannya faktor waktu ini bisa menyebabkan akibat yang serius dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Cunningham 1981). Hal ini karena sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap setiap perubahanperubahan eksternal yang terjadi (Fauzi 2004). Solusi MEY statis akan optimal dalam jangka panjang jika nilai uang hari ini sama dengan waktu yang akan datang (discount rate=0). Dengan suatu non-zero discount rate, bagaimanapun, masyarakat menghadapi suatu trade-off antar waktu. Sebagai contoh, dengan suatu tingkat suku bunga yang positif, suatu satuan dari uang hari ini lebih berharga dibandingkan satu nilai yang sama pada waktu yang akan datang. Hal ini karena satu satuan uang hari ini akan sama dengan satuan uang ditambah dengan bunga yang diterima pada masa yang akan datang. Prinsip yang sama diaplikasikan pada keputusan untuk memanen ikan. Sejumlah ikan yang dipanen 33 hari ini, akan menghasilkan keuntungan yang dapat diinvestasikan dan akan dihargai lebih pada masa yang akan datang. Bagaimanapun, jika ikan telah dipanen hari ini maka biaya akan lebih tinggi dan ukuran stok akan berkurang, yang mana memiliki konsekwensi biologi dan ekonomi pada masa yang akan datang (Milon et al. 1999). Selanjutnya diasumsikan tujuan manajemen sumberdaya adalah untuk memaksimalkan keuntungan disamping melestarikan stok, model yang tepat untuk menemukan tingkat effort yang optimal secara ekonomi (solusi MEY). Hal ini disempurnakan dengan memaksimalkan net present value dari pemanenan yang berdasarkan kurva hasil tangkapan lestari. Solusi jangka panjang digambarkan dengan tambahan cost yaitu marginal user cost dari peningkatan effort pada periode sekarang. Marginal user cost merupakan present value dari penurunan panen di masa yang akan datang. Dengan suatu discount rate yang positif, tingkat optimum dari effort akan berada antara EMEY dan EOAE (Milon et al. 1999). 2.7.3 Keterkaitan model dinamik dengan model statik Menurut Fauzi (2004) terdapat keterkaitan antara model dinamik dengan model statik. Secara matematis keterkaitan kedua pendekatan tersebut bisa dilihat dari persamaan Golden Rule yaitu: 1 ∂π ∂π , dimana jika nilai δ sangat = δ ∂x ∂h tinggi dan mendekati tak hingga (δ = ∞ ) , komponen sebelah kanan dari persamaan di atas akan menjadi nol, hal ini berarti net price atau rente sumberdaya sama dengan nol, yang identik dengan konsep pengelolaan dalam kondisi akses terbuka (open access), sebaliknya jika nilai δ = 0 maka persamaan di atas akan menghasilkan ( ∂π ) = 0 yang identik dengan maksimisasi rente ∂x sumberdaya dalam kondisi sole owner (MEY). Dalam konteks dinamik, perikanan yang open access dapat dilihat sebagai kasus dimana discount rate tak terhingga. Dengan demikian, meski rente positif dapat diperoleh dengan menekan tingkat upaya, namun pelaku ekonomi tidak ada yang mau melakukan hal tersebut, karena jika melakukannya, pihak lain akan mendapatkan keuntungan tanpa mengurangi terhadap keuntungan saat ini 34 (current revenue). Akibatnya, kembali akan memicu entry ke industri yang pada gilirannya menihilkan setiap manfaat yang diperoleh dari pengurangan upaya. Dengan kata lain, dalam perikanan dengan akses terbuka, dampak positif masa depan dari pengurangan upaya saat ini diabaikan, seolah-olah manfaat positif tersebut didiskon dengan discount rate yang sangat tinggi (infinite). Dengan logika yang sama, pengelolaan optimal dalam kondisi statik (MEY) dapat dilihat dalam konteks dinamik sebagai kasus dengan discount rate nol. Jika discount rate sama dengan nol, maka manfaat di masa mendatang sama bobotnya dengan manfaat yang kita peroleh saat ini. Dengan kata lain, dalam kondisi discount rate nol, manfaat ekonomi yang diperoleh dari sumberdaya ikan tidak dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dari aset finansial lainnya, sehingga keputusan yang terbaik adalah melakukan pemanenan pada saat rente yang diperoleh adalah yang terbesar, yakni pada tingkat upaya sebesar E0 (Fauzi 2004). Untuk tingkat discount rate yang positif dan terbatas (finite), Sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 6, maka tingkat optimal upaya pada model dinamik berada di antara dua keseimbangan ekstrem tersebut ( E MEY dan EOA ). Posisi yang pasti dari tingkat optimal E ∗ akan sangat tergantung dari nilai discount rate itu sendiri dan fungsi biaya. Nilai discount rate yang tinggi akan menyebabkan tingkat upaya yang optimal mendekati keseimbangan open access. Selanjutnya semakin meningkat nilai discount rate , semakin berkurang keseimbangan biomas, sehingga dapat disimpulkan bahwa keseimbangan biomas yang optimal dalam kondisi dinamik akan berada antara open access dan sole owner atau x∞ ≤ x∗ ≤ x0 (Fauzi 2004). 35 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pesisir Propinsi Sumatera Barat selama tujuh bulan dari bulan Juli 2004 sampai dengan bulan Januari 2005 (Gambar 7). Gambar 7 Peta lokasi penelitian. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yaitu data yang dikumpulkan langsung di lapangan yang terdiri dari: data spesifikasi kapal, pola usaha perikanan serta struktur pembiayaan dari usaha perikanan tangkap yang terdiri dari biaya per trip dan biaya per kilogram output. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data produksi dan input yang digunakan (effort) serta data penunjang lainnya. Data sekunder ini kebanyakan merupakan data urut waktu (time series) yang 36 diperoleh dari Dinas/ Instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota, Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan sumber lainnya. Data sekunder yang diperoleh dari Dinas Perikanan Propinsi merupakan data yang sudah direkapitulasi dari daerah Kabupaten dan Kota, sedangkan data yang ada di kabupaten dan Kota sendiri berasal dari laporan dari petugas statistik perikanan yang ada di kecamatan/desa Jumlah sampel yang diambil didasarkan pada penentuan formula sebagaimana dijelaskan dalam Fauzi (2001a) yaitu: NZ 2 (0.25) n= 2 d ( N − 1) + Z 2 (0.25) [ ] [ ] Keterangan: n = jumlah sampel yang diambil N = Jumlah populasi Z = Jumlah standar deviasi (dari tabel statistik) d = tingkat ketelitian yang diinginkan ( 5 atau 10%). 3.3 Standardisasi Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan untuk melakukan usaha penangkapan ikan di perairan pesisir Sumatera Barat terdiri dari beberapa jenis. Untuk itu guna mengukur dengan satuan yang setara, dilakukan standardisasi effort antar alat dengan teknik standardisasi mengikuti yang dilakukan oleh King (1995) yaitu: E jt = ψ jt D jt dengan ψ jt = U jt U st Keterangan: Ejt = effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandardisasi Djt = jumlah hari melaut (fishing days) dari alat tangkap j pada waktu t ψjt = nilai fishing power dari alat tangkap j pada periode t Ujt = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t Ust = catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standardisasi 37 3.4 Analisis Data 3.4.1 Model bioekonomi sumberdaya perikanan Menurut Kirkey dan Squires (1998) kapasitas perikanan dapat diukur baik berdasarkan ketersediaan sumberdaya (stok) maupun tidak berdasarkan ketersediaan sumberdaya. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran kapasitas dengan dan tanpa ketersediaan stok. Menurut Fauzi dan Anna (2002b), untuk melakukan penilaian sumberdaya perikanan, perlu dilakukan estimasi hasil tangkapan lestari maksimum (maximum sustainable yield) yang idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan. Akan tetapi karena keterbatasan data, estimasi tangkapan lestari hanya dilakukan pada beberapa spesies ikan yang cukup dominan pada wilayah studi. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari, terlebih dahulu perlu diketahui produktivitas dari stok ikan, yang bisanya diestimasi dengan model kuantitatif yaitu model surplus produksi. Model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan: ∂x = F ( xt ) ∂t (3.1) F ( xt ) merupakan laju pertumbuhan alami atau laju penambahan asset biomass, ht merupakan laju penangkapan. Ada dua bentuk fungsional untuk menggambarkan stok biomass, yaitu bentuk Logistik dan bentuk Gompertz, sebagaimana persamaan di bawah ini: Bentuk Logistik: ∂xt x = rxt (1 − t ) ∂t K (3.2) ⎡K ⎤ ∂xt = rxt ln ⎢ ⎥ ∂t ⎣ xt ⎦ (3.3) Bentuk Gompertz: 38 r merupakan laju pertumbuhan intrinsic sedangkan K adalah daya dukung populasi yang dapat didukung oleh lingkungan. Bentuk fungsional logistik adalah simetris sedangkan Gompertz tidak. Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort seperti ditulis di bawah ini: ht = qEtxt Dalam hal ini merupakan (3.4) q merupakan koefisien kemampuan penangkapan dan Et upaya penangkapan. Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium) maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari kedua fungsi di atas adalah seperti di bawah ini: ⎡ q2K ⎤ 2 ⎥ E ⎢⎣ r ⎥⎦ Logistik: ht = qKEt − ⎢ Gompertz: ht = qKEt exp ⎡ − qE ⎤ ⎢ r ⎥ ⎣ ⎦ (3.5) (3.6) Estimasi parameter r, q dan K untuk persamaan upaya lestari dari kedua model di atas melibatkan teknik non linear. Akan tetapi dengan menuliskan Ut = ht / Et, persamaan ( 3.5 dan 3.6) dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Dalam penelitian ini teknik estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering dikenal sebagai metode CYP digunakan untuk menduga parameter r, q dan K melalui persamaan: ln (U t +1 ) = Apabila 2r (2 − r ) q ln (qK ) + ln(U t ) − ( Et + Et +1 ) (2 + r ) (2 + r ) (2 + r ) (3.7) 2r (2 − r ) q =a , = b, dan =c (2 + r ) (2 + r ) (2 + r ) Maka persamaan (3.7) dapat ditulis dalam bentuk: ln(U t +1) = a ln( qK ) + b ln(U t ) − c ( E t + E t +1 ) (3.8) Data produksi dan upaya yang digunakan merupakan data time series selama dua puluh satu tahun. Menurut Fauzi (2001a) agar hasil analisa dapat 39 dipercaya dan bermanfaat untuk penggunaan data time series perlu dilakukan terlebih dahulu tes stationarity. Salah satu metoda untuk menguji apakah data dalam kondisi stationary adalah uji Dickey Fuller dengan persamaan sebagai berikut: yt = αo + ρyt-1 + μt (3.9) nilai-nilai saat ini untuk variabel yt tergantung pada nilai periode terakhir, yt+1 dan disturbance term ut. Variabel yt akan bersifat stationary jika |ρ| < 1 dan akan bersifat non stationary jika ρ = 1 . Dengan mengurangi kedua sisi persamaan di atas dengan yt+1 akan dihasilkan persamaan berikut: yt – yt+1 = αo + (ρ-1)yt-1 + μt (3.10) Persamaan di atas akan menghasilkan persamaan regresi Dickey-Fuller sebagai berikut: Δyt = αo + γyt-1 + εt (3.11) Δyt = αo + γyt-1 + α2t + εt (3.12) dimana γ = ρ-1. Persamaan (3.11) merupakan suatu persamaan regresi dengan sebuah konstanta dan tidak ada kecenderungan waktu, sedangkan persamaan (3.12) konstan dan kecenderungan waktu linier. Parameter penting dalam uji Dickey-Fuller adalah γ. Bila γ = 0 maka variabel series yt akan mengandung suatu unit akar atau bersifat non-stationary. Hipotesis null dalam uji DickeyFuller adalah γ = 0. Bila nilai absolut dari statistik-t untuk γ lebih kecil daripada nilai-nilai kritisnya, maka hipotesis null nya tidak dapat ditolak , dimana time seriesnya bersifat non-stationary. Sebaliknya, jika nilai absolut lebih besar daripada nilai kritis maka hipotesis null ditolak dan time series bersifat stationary. Dalam kondisi dimana data time series yang ada menunjukkan adanya gejala non-stationarity, akan menimbulkan beberapa masalah ekonometrik. Pertama asumsi stationarity yang merupakan dasar untuk melakukan regresi time series, menjadi tidak dapat dilakukan. Kedua estimasi parameter yang dihasilkan dari OLS menjadi tidak ada artinya (Dickey et al. 1994). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi masalah non-stationarity ini. Salah satunya adalah differencing. Metode ini bagaimanapun tidaklah merupakan solusi yang sempurna, karena menurut Gujarati (1995), dengan melakukan differencing maka kemungkinan kita akan kehilangan hubungan longterm yang penting diantara variabel. Sebagai contoh dalam model hubungan 40 antara CPUE dan effort, hubungan dibangun dalam bentuk tingkat yang bukan bentuk difference pertama atau kedua. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah variabel non-stationarity adalah dengan menggunakan teknik modern yang disebut cointegration. Konsep cointegration ini secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut : Jika pada data time series ditemukan adanya variabel yang akan digunakan untuk regresi ternyata non-stationarity, maka mungkin saja kombinasi linear dari variabel-variabel ini dapat stationer. Dengan demikian variabel ini mungkin saja cointegrated. Variabel-variabel ini menjadi tidak terlalu jauh satu sama lainnya. Dalam kondisi ini hasil yang diturunkan dari estimasi OLS dapat menjadi berarti. Dalam menggunakan metode cointegration ini, variabel yang diuji harus berada dalam order integrasi yang sama, misalnya keduanya harus non-stationarity (Enders, 1995). Guna menghitung rente ekonomi, diperlukan data ekonomi berupa informasi biaya dan harga per satuan unit ikan yang didaratkan yang diperoleh melalui survei. Seluruh data ekonomi dikonversi ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen (consumer’s price index). 3.4.2 Estimasi discount rate Nilai discount rate eksploitasi sumberdaya ikan dalam penelitian ini menggunakan real discount rate dengan pendekatan Ramsey. Teknik yang digunakan untuk menentukan real discount rate ini adalah teknik yang dikembangkan oleh Kulla (1984) dan telah dilakukan oleh Anna (2003). Dimana pada dasarnya teknik yang dikembangkan oleh Kulla ini menggunakan formula yang sama dengan formula yang digunakan Ramsey. Real discount rate (r) Kulla didefinisikan sebagai berikut: r = ρ − ηg (3.13) keterangan: r = pure time preference konsumsi sumberdaya alam yang didasarkan pada nominal discount rate η = elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya ikan g = laju pertumbuhan ekonomi karena ekstraksi sumberdaya alam Kemudian laju pertumbuhan ekonomi yang diakibatkan oleh ekstraksi sumberdaya ikan dihitung melalui laju konsumsi sumberdaya ikan yang didekati 41 melalui PDRB perikanan. Nilai tersebut diperoleh melalui perhitungan dengan persamaan: ln Ct = a0 + at ln t (3.14) keterangan: Ct = PDRB perikanan Propinsi Sumatera Barat pada tahun ke t Sehingga dari penurunan persamaan di atas dapat diperoleh nilai elastisitas konsumsi sumberdaya ikan, yaitu: at = ∂ ln Ct ∂ ln t (3.15) dimana dengan penyederhanaan matematis dapat ditulis sebagai berikut: ΔC C Δt =g t (3.16) Selanjutnya dengan mengikuti teknik yang dilakukan Brent yang diacu dalam Anna (2003), dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam sebesar 1, dan ρ menggunakan nilai market discount rate dari Ramsey sebesar 15% maka diperoleh nilai real discount rate sebagai berikut: r = market discount rate – 1 (g) (3.17) 3.4.3 Analisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan Ekstraksi sumberdaya ikan akan menyebabkan terjadinya degradasi dan penurunan kualitas dan kuantitas dari sumberdaya ikan tersebut. Dengan diperolehnya hasil tangkapan aktual dan lestari dapat diketahui laju degradasi sumberdaya ikan sesuai dengan perhitungan yang telah dilakukan oleh Anna (2003) dengan rumus: φ = 1 1 + e hs ha (3.18) keterangan: φ = laju degradasi ha = hasil tangkapan aktual hs = hasil tangkapan lestari Selanjutnya untuk mengetahui nilai moneter dari penurunan kualitas sumberdaya ikan dilakukan penilaian depresiasi dengan metode present value, 42 dimana seluruh rente yang akan datang yang diharapkan dihasilkan dari sumberdaya ikan dihitung dengan nilai masa sekarang. Jika diansumsikan bahwa kurva permintaan bersifat elastis, maka rente sumberdaya ikan dihitung berdasarkan persamaan berikut (Fauzi & Anna 2005): π t = (a − bht )ht − cEt = U (ht ) − cEt (3.19) keterangan: πt = rente sumberdaya ikan Εt = tingkat upaya ct = biaya per unit upaya t = periode waktu U(h) = utilitas (manfaat) yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan ht = tangkapan lestari Selanjutnya jika diansumsikan bahwa per unit input adalah konstan, present value dari rente perikanan pada periode tidak terbatas (t=0 sampai tak terhingga) adalah sebagai berikut: Vt = πt (3.20) δ δ = nilai discount rate, dimana dalam penelitian ini digunakan dua discount rate yaitu real discount rate dan market discount rate. Perubahan present value dari sumberdaya antara periode (t-1) dan (t), Vt – Vt-1, menyebabkan nilai bersih perubahan dalam stok sumberdaya terdepresiasi sebagai berikut: (Vt − Vt −1 ) = (π t − π t −1 δ (3.21) dimana: Vt = V ( H t , ρ t ( H t ), E t , ct , δ dan Vt −1 = V ( H t −1 , ρ t −1 ( H t −1 ), ( Et −1 , ct −1 , δ ) 3.4.4 Pengelolaan sumberdaya Secara Optimal Sumberdaya ikan akan tetap lestari apabila eksploitasinya dilakukan pada tiingkat yang optimal. Eksploitasi optimal dari sumberdaya perikanan sepanjang waktu dapat diketahui melalui pendekatan teori kapital ekonomi sumberdaya 43 yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975) yang diacu dalam Fauzi dan Anna (2005), dimana manfaat sumberdaya perikanan sepanjang waktu adalah sebagai berikut: ∞ max ∫ π (ht , xt )e −δt dt (3.22) t =0 dengan kendala: ∂x . = x = F ( xt ) − ht ( Et . xt ) ∂t 0 ≤ ht ≤ hmax 0 ≤ Et ≤ E max Kemudian dengan memberlakukan Pontryagin Maximum Priciple dan mendefinisikan current value Hamiltonian sebagai: H = π ( x, h) + μ ( F ( x ) − h( x, E )) dimana μ = e −δt λ (3.23) adalah current value shadow price, akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai berikut: ∂F ∂π ( x, h) / ∂x + =δ ∂x ∂π ( x, h) / ∂h (3.24) keterangan: F ( x) = pertumbuhan alami dari stok ikan ∂π ( x, h) = rente marjinal akibat perubahan biomas ∂x ∂π ( x, h) ∂h = rente marjinal akibat perubahan produksi Dengan memasukkan fungsi biologi Gompertz, diperoleh nilai optimal dari sumberdaya perikanan melalui persamaan berikut: r ln(k / x) − r + cx ln(k / x) −δ = 0 x( pqx − c) (3.25) Hasil persamaan di atas menghasilkan tingkat biomas atau x ∗ yang optimal sehingga dapat diketahui tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Sehingga dapat diketahui rente sumberdaya perikanan yang merupakan hasil dari 44 perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya yang optimal atau: π t = pt ( H t ∗) H t ∗ −cEt ∗ (3.26) 3.4.5 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan Untuk mengetahui keseimbangan dalam akses terbuka (open access) dan terkendali dilakukan dengan pendekatan bioekonomi statik yang pendekatan analitiknya diacu dari Fauzi (2004), dengan menggunakan parameter biologi r,q, K dan parameter ekonomi yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan asumsi sistem dalam kondisi keseimbangan dimana h = F ( x ) , maka rente ekonomi lestari didefinisikan sebagai fungsi dari biomas dalam bentuk: ρ ( x) = ρF ( x) − cF ( x) ⎛ c ⎞ = ⎜⎜ p − ⎟⎟ F ( x) qx qx ⎠ ⎝ (3.27) dengan menggunakan model pertumbuhan logistik, rente ekonomi lestari dapat ditulis menjadi: ⎛ ρ ( x) = ⎜⎜ p − ⎝ c ⎞ ⎛ x⎞ ⎟⎟rx⎜1 − ⎟ qx ⎠ ⎝ K ⎠ (3.28) sehingga maksimasi keuntungan statik diperoleh dengan menurunkan persamaan di atas terhadap x, sehingga diperoleh: ∂ρ ( x) ⎛ 2 x ⎞ cr =0 = pr ⎜1 − ⎟ + ∂x K ⎠ qK ⎝ (3.29) persamaan di atas dapat dipecahkan untuk menentukan tingkat biomas yang optimal, yaitu: x∗ = K⎛ c ⎞ ⎜⎜1 + ⎟ 2⎝ pqK ⎟⎠ (3.30) dengan mengetahui nilai biomas optimal tersebut dapat diperoleh hasil tangkapan dan upaya yang optimal yaitu: h∗ = rK ⎛ c ⎞⎛ c ⎞ ⎜⎜1 + ⎟⎟⎜⎜1 − ⎟ 4 ⎝ pqK ⎠⎝ pqK ⎟⎠ E∗ = r ⎛ c ⎞ ⎜⎜1 − ⎟ 2q ⎝ pqK ⎟⎠ (3.31) (3.32) 45 c pq xoa = (3.34) hasil tangkapan dan upaya yang optimal pada kondisi akses terbuka adalah: c ⎞ ⎛ xoa ⎞ rc ⎛ ⎜⎜1 − ⎟ hoa = F ( xoa) = rxoa⎜1 − ⎟= K ⎠ pq ⎝ pqK ⎟⎠ ⎝ Eoa = (3.35) r⎛ c ⎞ ⎜⎜1 − ⎟ q⎝ pqK ⎟⎠ (3.36) Selanjutnya untuk hasil tangkapan, upaya dan biomas serta rente yang optimal pada rezim Maximum Sustainable Yield (MSY) berdasarkan rumus dari Tinungki (2005) yaitu: hMSY = rK 4 (3.37) EMSY = r 2q (3.38) xMSY = h qK (3.39) π MSY = p * hMSY − c * EMSY (3.40) 3.4.5 Analisis kesejahteraan produsen Eksploitasi sumberdaya ikan diharapkan memberikan dampak yang positif untuk meningkatkan sumberdaya. kesejahteraan para pelaku usaha dan pengelola Untuk melihat sampai sejauhmana dampak kegiatan usaha penangkapan terhadap kesejahteraan para pelaku usaha (nelayan) maka dilakukan perhitungan surplus produsen. Metode Analisis surplus produsen mengikuti seperti yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2005). Dimana dengan pendekatan numerik memerlukan kurva suplai dari sumberdaya perikanan dilakukan dengan persamaan suplai perikanan sebagai berikut: S= 2c α ± − 4βh + α 2 (3.41) 46 keterangan: c = biaya per unit effort, h = hasil tangkapan lestari, α dan β adalah koefisien biofisik. Dengan mengetahui kurva penawaran tersebut di atas, surplus produsen didefinisikan sebagai berikut: h0 PS = p 0 h0 − ∫ 2c − 4βh + α 2 0α + dh (3.42) Integral dari persamaan di atas menghasilkan bilangan yang kompleks, pemecahan integral dilakukan secara analitik dengan program MAPLE. Hasil integrasi dari persamaan di atas menghasilkan surplus produsen yang eksplisit sebagai berikut: ⎛ 1 cα ln(h) c − 4β + α 2 PS = p0 h0 − ⎜ + ⎜2 β β ⎝ − 2 1 cα ln(α + − 4β h + α 2 β 1 cα ln(α − 4β h + α 2 ) ⎞h ⎟ 0 +2 ⎟0 β ⎠ h0 0 (3.43) h0 0 3.4.6 Analisis kapasitas perikanan tangkap Kapasitas perikanan tangkap dianalisis dengan menggunakan alat analisis Data Envelopment Analysis (DEA). Pendekatan yang berorientasi pada output dan input yang pertama kali dikembangkan oleh Charnes et al. (1978) atau dikenal sebagai CCR. Selanjutnya dikembangkan oleh Kirkley et al. (1998, 2003), Fare et al. (2000) dan Lindebo et al. (2002). Model yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Fare et al. (2000) dan Lindebo et al. (2002) serta Kirkley et al.(2003). Mengukur teknik efisiensi (Technical Efficiency) Input Oriented Technical Efficiency Pengukuran efisiensi dapat dilakukan berdasarkan pendekatan input dan output. Model DEA untuk input-oriented technical efficiency adalah: Min λ λ,z 47 J u jm ≤ ∑ z j u jm , m = 1,2,..., M J =1 J ∑z j =1 j x jn ≤ λx jn , n = 1,2,..., N z j ≥ 0, j = 1,2,..., J keterangan: λ = ukuran efisiensi yang dihitung untuk masing-masing DMU j ujm = jumlah output m yang diproduksi oleh untuk masing- masing DMU j xjn = jumlah input n yang digunakan oleh DMU j zj = variabel intensitas untuk DMU j Nilai λ=1.0 berarti bahwa suatu perusahaan atau unit usaha digambarkan efisien, pada saat λ < 1.0 berarti suatu unit usaha tidak efisien, contohnya bila λ = 0.8 berarti bahwa unit usaha dapat mengurangi inputnya sebesar 20% untuk memproduksi tingkat output yang sama (Walden & Kirkley 2000a) Output Oriented Technical Efficiency Model DEA untuk Output Oriented Technical Efficiency Max θ θ,z dengan kendala: J θu jm ≤ ∑ z j u jm , m = 1,2,..., M j =1 J ∑z j =1 j x jn ≤ x jn , n = 1,2,..., N z j ≥ 0, j − 1,2,..., J keterangan: θ = ukuran output TE ujm = jumlah output m yang diproduksi oleh DMU j xjn = Jumlah input yang digunakan oleh DMU j zj = intensitas variabel untuk DMU j Apabila nilai θ = 1.0 berarti bahwa DMU efisien, bila nilai θ >1.0 diindikasikan bahwa DMU tidak efisien, contohnya bila θ = 1.25 berarti DMU masih 48 memungkinkan untuk meningkatkan output sebesar 25% dengan tingkat input yang sama (Walden & Kirkley 2000a). Mengukur kapasitas Pengukuran kapasitas dengan orientasi output menggunakan model matematika dari Fare et al. (1994) sebagai berikut: Max θ θ,z,λ dengan kendala: J θu jm ≤ ∑ z j u jm , m = 1,2,..., M , j =1 J ∑z j =1 j x jn ≤ x jn , n ∈ Fx , j x jn = χ jn x jn , n ∈ V x , J ∑z j =1 z j ≥ 0, j = 1,2,..., J λ jn ≥ 0, n ∈ V x keterangan: θ = ukuran kapasitas u jm = jumlah output m yang diproduksi oleh DMU j x jn = jumlah input n yang digunakan oleh DMU j n ∈ Fx = input faktor tetap n ∈ V x = input faktor tidak tetap (variabel) λ jn = tingkat penggunaan input dari input variabel n oleh DMU j zj = intensitas variabel untuk DMU j Input tetap (fixed input) terdiri dari ukuran fisik/spesifikasi dari kapal seperti berat kapal (tonnage), panjang kapal ( length) dan kekuatan mesin (engine power) sedangkan input tidak tetap (variable inputs) terdiri dari jumlah awak kapal (crew) dan jumlah melaut (trip) atau jumlah hari melaut (day at sea). Kapasitas output ditentukan dengan mengalikan efisiensi yang diukur (θ) dengan output observasi. Selanjutnya untuk kapasitas yang digunakan (capacity 49 utilization) pada umumnya mengacu kepada proporsi dari kapasitas potensial yang digunakan dan diukur sebagai rasio antara output aktual dengan kapasitas output (Kirkley & Squires 1999). Menurut Fare et al. (1989), CU diukur sebagai rasio output TE dengan kapasitas output. Rasio ini mengoreksi bias yang dapat muncul karena output aktual kemungkinan diproduksi secara inefisien. 3.4.6.3 Modifikasi DEA Formulasi DEA di atas merupakan pengukuran dari aspek teknis atau ukuran non moneter dari efisiensi dan kapasitas. Dengan melakukan modifikasi terhadap DEA yaitu dengan menggabungkan antara DEA dengan cost benefit analysis (CBA) yang dikenal dengan model DEA-CBA dapat diukur efisiensi moneter, sebagaimana model yang dikembangkan oleh: Cooper et al. (1999) yang diacu Fauzi dan Anna (2003). Dengan data harga dan biaya , model DEACBA dapat ditulis sebagai: s m r =1 i =1 max ∑ p r s r+ + ∑ ci si− dengan kendala: n y ro = ∑ y rj λ j − s r+ r = 1,..., s j =1 n xio = ∑ xij λ j + si− i = 1,...m 0 ≤ λ j , s r+ , si− ∀i , j , r j =1 dengan mendefinisikan: s r+ = y r − y ro si− = xio − xi maka persamaan di atas dapat dimodifikasi sebagai: m m ⎞ ⎞ ⎛ s ⎛ s max⎜ ∑ p r y r − ∑ ci xi ⎟ − ⎜ ∑ p r y ro − ∑ ci xio ⎟ i =1 i =1 ⎠ ⎠ ⎝ r =1 ⎝ r =1 dengan kendala: 50 n y ro = ∑ y rj λ j − s r+ r = 1,..., s j =1 n xio = ∑ xij λ j + si− i = 1,...m 0 ≤ λ j , s r+ , si− ∀i , j , r j =1 3.5 Pemetaaan Proses Penelitian Seluruh proses penelitian dapat dipetakan dalam suatu diagram sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 8. Penelitian ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip input, proses dan output. Input penelitian berupa tujuan yang diuraikan dalam beberapa tujuan khusus dan kaitannya dengan data yang dibutuhkan. Data yang dibutuhkan berupa data urut waktu (time series), cross section, dan data yang bersifat endogenous yang merupakan interaksi antara data urut waktu dan cross section. Data diperoleh melalui instansi terkait dan wawancara langsung di lapangan dengan responden yang terkait. Selanjutnya dilakukan proses analisis data dengan beberapa pendekatan seperti produksi surplus, CYP, cope eye ball dan data envelopment analysis. Masing-masing metode ini akan menghasilkan beberapa kajian seperti estimasi parameter, tingkat produksi lestari dan optimal, laju degradasi dan depresiasi, efisiensi, kapasitas optimal dan lain-lain. 51 TUJUAN UMUM TUJUAN KHUSUS Melakukan analisis komparatif pemanfaatan sumberdaya ikan secara bioekonomi dan empiris (aktual) Menganalisis dan merekomen dasikan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan Menentukan tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan JENIS DATA METODE Time series catch, effort, biaya,harga,IHK ,PDRB Produksi surplus,CYP, copes eye ball Endogenous, biaya, harga,discount rate Analisis degradasi dan depresiasi Menganalisis dampak kapasitas perikanan terhadap kesejahteraan nelayan endogenous Menganalisis kapasitas perikanan antar waktu dan antar alat tangkap dan dampaknya terhadap pengelolaan perikanan yang berkelanjutan Endogenous, spesifikasi teknis alat tangkap, catch, effort Surplus produsen Data Data envelopment envelopment analysis analysis (DEA) (DEA) Gambar 8 Pemetaan proses penelitian. KELUARAN Diperolehnya suatu hasil analisis tentang pengelolaan perikanan tangkap yang dapat dijadikan acuan untuk kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan 52 4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Karakteristik Geofisik Provinsi Sumatera Barat terletak antara 0°54’ LU dan 3°30’ LS serta 98°36’ - 101°53’ BT memiliki luas daerah sekitar 42 200 km2 atau setara dengan 2,17% dari luas Republik Indonesia. Berdasarkan letak geografis tersebut ada suatu daerah tepat dilalui garis khatulistiwa yakni di Kecamatan Bonjol Kabupaten Pasaman. Karena pengaruh letak tersebut Provinsi Sumatera Barat tergolong beriklim tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi. Dampaknya terjadi 2 musim yaitu musim penghujan sekitar bulan November sampai Maret dan musim kemarau pada bulan Juni sampai September. Provinsi Sumatera Barat terletak diantara pebukitan dan daerah perairan Samudera Hindia dengan kelembaban yang tinggi yang menyebabkan tidak adanya suhu yang ekstrim. Berdasarkan data terakhir (2004) suhu maksimum mencapai 32oC dan suhu terendah 22oC. Berdasarkan data kelembaban selama 5 tahun terakhir (2000 - 2004) yang berasal dari BMG Tabing, Sumbar, diketahui kelembaban udara tertinggi 85%. Iklim di pesisir pantai barat Sumatera Barat sangat dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin muson dan curah hujan yang tinggi, sekitar 2 800– 4 480 mm/tahun (BMG, 1999-2001). Gelombang dan arus dari Samudera Hindia mempengaruhi pantai Sumatera Barat mengakibatkan beberapa daerah di pesisir terkena abrasi. Di perairan Barat Sumatera termasuk pantai Sumatera Barat tipe pasang surut yang ditemui mirip dengan tipe pasang surut Samudera Hindia, yaitu tipe campuran yang didominasi pasang surut Ganda (Pariwono 1985). Pengaruh pasang surut dari Lautan Hindia ini diperkirakan menyusup memasuki perairan teritorial Barat Sumatera melalui Kepulauan Mentawai. Karena kondisi geografis perairan Sumatera Barat yang mempunyai kedalaman dengan gradien perubahan yang curam maka pasang surut yang merambat sangat didominasi oleh pasang surut tipe ganda. Keadaan ini berbeda dengan keadaan di perairan nusantara lainnya yang umumnya bersifat ganda dan tunggal. Angin musim barat dan timur di perairan Sumatera Barat berkekuatan ratarata 9-11 knot bertiup ke arah tenggara (hampir sejajar dengan garis pantai 53 Padang) dan rata-rata 8 knot dengan pola berubah-ubah namun arah dominannya hampir tegak lurus garis pantai. Lemahnya kecepatan angin timur disebabkan karena arah angin musim timur telah mengalami pembelokan arah akibat gaya coriolis pada saat ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) yang berada di bagian selatan khatulistiwa. Sebagaimana halnya suatu daerah dengan iklim tropis basah dan memiliki bulan kering yang sangat pendek Sumatera Barat memiliki intensitas curah hujan selama lima tahun terakhir (1998-2002), berkisar antara 3 821.0 mm sampai 5 723.0 mm dengan curah hujan rata-rata per tahun 376.14 mm. Jika mengacu klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson serta Mahr, maka iklim Sumatera Barat secara keseluruhan adalah Tipe A dan WB dengan jumlah bulan basah lebih dari 9 bulan. 4.2. Keragaan Potensi Sumberdaya Ikan Dari 17 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat, ada dua kota dan lima Kabupaten yang mempunyai wilayah pesisir dan laut, masing-masing daerah tersebut adalah : Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Mentawai. Total luas perairan laut Sumatera Barat adalah 186 2 580.00 Km dengan luas perairan teritorial 57 880.00 Km2, 128 700.00 Km2 perairan ZEE serta memiliki panjang garis pantai 2 420.38 Km dengan rincian sepanjang 375 km merupakan panjang garis pantai dari Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat sampai ke daerah Silaut Kabupaten Pesisir Selatan dan selebihnya adalah garis pantai di Kabupaten Kepulauan Mentawai. perairan laut Luas Sumatera Barat melebihi dua pertiga dari luas daratan yang dimiliki. Potensi sumberdaya kelautan dan pesisir di Sumatera Barat sangat kaya dan beragam. Sumberdaya tersebut ada yang dapat diperbaharui (renewable resources) seperti sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya, industri pengolahan dan bioteknologi, mangrove), energi gelombang, pasang surut, angin dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); dan ada juga yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan dan sebagainya. 54 Tabel 2 Panjang garis pantai dan jumlah pulau kecil per Kabupaten/Kota di Sumatera Barat No Kab/Kota Daratan Sumatera 1 Pasaman 2 Agam 3 Pd Pariaman 4 Padang 5 Pesisir Selatan 6 Mentawai Jumlah 135.40 36.97 58.19 76.05 234.20 540.81 Pulau-Pulau Kecil Garis Pantai Jumlah (Km) 7.55 5 1.49 2 4.14 6 23.58 19 44.00 20 1 798.80 323 1 879.57 375 Total garis pantai(Km) 142.95 38.47 62.33 99.63 278.20 1 798.80 2 420.38 Sumber CRITC Sumatera Barat ( 2000) Berdasarkan hasil konvensi dari evaluasi potensi sumberdaya ikan laut tahun 1997 yang dilaksanakan oleh Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan, maka potensi lestari (MSY) perikanan laut Sumatera Barat + 289 936 ton/tahun (Propeda Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2001 – 2005) yang tersebar di perairan pantai sampai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). 4.3. Perkembangan Perikanan Tangkap di Propinsi Sumatera Barat Produksi perikanan tangkap di propinsi Sumatera Barat terdiri dari ikan pelagis kecil seperti kembung (Rastrelliger sp.), layang (Decapterus sp.), selar (selar sp.), lemuru (Sardinella longiceps), tetengkek (Megalaspis cordyla), layaran (Istiopurus plepterus), tembang (Sardinella fimbriata) dan teri (Stolephorus sp.), ikan pelagis besar terdiri dari ikan tuna (Thunnus sp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tongkol (Auxis thazard) dan tenggiri (Scomberomurus sp.) serta ikan-ikan demersal dan ikan karang seperti kakap merah (Lates calcariper), kerapu (Ephynephelus sp.), kuwe (Caranx sp.), manyung (Tachysurus sp.) , bambangan (Lutjanus sp.), gerot-gerot (Pomadasys sp.), kurisi (Nemipterus spp.), beloso (Synodontidae), layur (Trichioridae), ikan sebelah (Psettodidae), lidah (Cynoglossus spp.), peperek (Leiognathidae), swangi (Priacanthus spp.), pari (Trigonidae), bawal hitam (Formio niger) dan bawal putih (Pampus argenteus), serta jenis udang-udangan seperti udang putih (Penaeus merguiensis), udang windu (Penaeus monodon), udang dogol (Metapenaeus spp.), udang lobster/barong (Panulirus sp.). Sebagai gambaran, musim penangkapan yang terbanyak terjadi pada bulan Januari dan April-Mei 55 serta puncak musim penangkapan terjadi pada bulan Nopember – Desember (Merta et al., 1998). Dari keseluruhan hasil tangkapan ikan, yang paling banyak didominasi oleh ikan pelagis terutama pelagis kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar nelayan yang berada di Sumatera Barat melakukan penangkapan di perairan dekat pantai, dimana kecenderungan ikan pelagis kecil umumnya berada di perairan pantai. Perkembangan hasil tangkapan ikan dari tahun 1984 s/d 2004 dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 9. Tabel 3 Perkembangan hasil tangkapan ikan di Provinsi Sumatera Barat tahun 1984– 2004 Tahun Pelagis kecil 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 9 784.60 9 965.30 13 249.30 16 847.90 18 416.20 23 106.30 24 439.35 26 447.50 23 869.60 19 793.40 27 214.30 26 194.10 26 532.00 30 085.80 31 535.80 33 831.60 33 284.80 32 993.40 24 672.50 30 162.00 28 660.79 Hasil tangkapan ikan (ton) Pelagis Demersal Udang +karang besar +bin.lunak 14 878.74 14 931.40 16 475.06 17 216.38 23 504.00 19 575.86 20 690.47 22 064.42 25 679.44 30 964.60 35 722.48 34 454.90 40 467.90 43 750.31 50 514.30 45 413.70 48 862.78 49 126.86 45 876.30 39 791.70 34 716.84 4 293.56 2 817.60 4 476.74 4 360.62 1 561.20 5 882.24 6 211.81 5 915.78 9 142.36 13 657.20 6 310.82 10 103.40 10 682.70 11 981.89 11 689.50 9 908.21 10 116.92 11 834.94 11 334.40 18 373.50 30 610.78 Sumber: Diskan/DKP Sumbar (1985-2005) 540.50 563.90 703.50 820.20 1 209.80 1 647.10 1 687.73 984.20 1 098.20 1 239.20 1 605.30 3 025.00 2 501.40 2 652.00 2 834.00 2 972.00 3 315.80 6 924.40 3 861.80 5 585.30 8 379.60 Jumlah 29 497.40 28 278.20 34 904.60 39 245.10 44 691.20 50 211.50 53 029.36 55 411.90 59 789.60 65 658.70 70 852.90 73 777.40 80 184.00 88 470.10 96 573.60 92 125.60 95 580.30 100 879.60 85 745.00 98 441.00 102 368.00 56 Hasil tangkapan (ton) 120000 100000 80000 60000 40000 20000 04 20 02 20 00 20 19 98 96 19 94 19 92 19 90 19 19 86 19 84 19 88 0 Tahun Pel.besar Pel.kecil demersal+karang udang+bin.lunak Prod.total Gambar 9 Perkembangan hasil tangkapan ikan laut di perairan Sumatera Barat tahun 1984 – 2004. Nelayan yang menangkap ikan terdiri dari nelayan penuh dan sambilan utama, jumlah nelayan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah nelayan menurut wilayah kabupaten dan kota keadaan tahun 2004 seperti pada Tabel 4. Sedangkan perkembangan jumlah nelayan selama 10 tahun terakhir seperti pada Tabel 5 dan Gambar 10. Tabel 4 Jumlah nelayan di wilayah Kabupaten/Kota Pesisir Provinsi Sumatera Barat tahun 2004 Nelayan No. Kabupaten/Kota Penuh Jumlah Sambilan 1. Pasaman Barat 3 662 1 775 5 437 2. Agam 2 176 714 2 890 3. Padang Pariaman 5 305 2 160 7 465 4. Pariaman 700 293 993 5. Padang 4 887 1 669 6 556 6. Pesisir Selatan 6 332 2 020 8 352 7. Kepulauan Mentawai 1 225 1 102 2 327 24 287 9 733 34.020 Jumlah Sumber : BPS Sumbar (2004) 57 Tabel 5 Perkembangan jumlah nelayan perikanan tangkap tahun 1995 – 2004 Jumlah Nelayan (orang) Penuh Sambilan utama Tahun 8 579 8 114 8 591 8 575 8 052 7 994 6 549 8 389 7 937 9 733 23 316 24 606 24 249 24 106 24 283 24 373 25 843 23 258 24 284 24 287 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah 31 895 32 720 32 840 32 681 32 335 32 367 32 392 31 647 32 221 34 020 Sumber: Diskan/DKP Sumbar (1985-2005) jumlah nelayan (orang) 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Nelayan Penuh Sambilan Utama total nelayan Gambar 10 Perkembangan nelayan perikanan tangkap tahun 1995-2004. 4.4. Armada dan Alat Tangkap yang digunakan Armada penangkapan yang digunakan oleh nelayan di Provinsi Sumatera Barat terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Alat tangkap pancing tonda, pancing rawai. Pukat cincin pada umumnya menggunakan kapal motor, sedangkan untuk alat tangkap jenis jaring masih banyak yang menggunakan perahu tanpa motor dan motor tempel. Keragaan armada penangkapan ikan di Provinsi Sumatera 58 Barat selama 10 (sepuluh) tahun dari tahun 1995 -2004 seperti pada Tabel 6 dan Gambar 11. Tabel 6 Keragaan alokasi jumlah dan jenis armada kapal perikanan Sumatera Barat selama 10 tahun 1995 – 2004 ALOKASI JUMLAH ARMADA PERIKANAN DALAM TAHUN Kategori perahu/ kapal 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Perahu Tanpa Motor 3 733 4 253 4 290 4 294 4 388 4 399 5 132 4 718 4 448 4 005 Motor Tempel 1 474 1 425 1 625 1 754 1 736 1 696 1 657 1 363 1 671 1 551 Kapal Motor 1 033 1 118 1 302 1 291 1 397 1 431 1 577 1 542 1 406 1 341 < 5 GT 777 867 640 547 672 540 392 619 421 389 5 – 10 GT 159 176 352 545 523 786 917 311 878 781 10 – 20 Gt 69 68 110 190 169 99 268 287 107 110 20 – 30 GT 3 3 10 5 31 6 - 30 – 50 GT 5 4 10 4 2 - - > 50 GT Jumlah 0 0 0 0 - - - 6 220 6 796 7 217 7 339 7 521 7 526 8 366 61 7 623 7 525 Jumlah Armada (unit) Sumber: Diskan/DKP Sumbar (1996-2005) 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun P.tanpa motor Perahu Motor tempel Kapal Motor Jumlah Gambar 11 Perkembangan armada perikanan tangkap dari tahun 1995 s/d 2004. Dilihat dari jenis dan ukuran armada perikanan yang digunakan oleh pelaku usaha perikanan pada umumnya masih didominasi oleh perahu tanpa motor 59.65%, setelah itu perahu motor tempel 20.20% dan kapal motor 20.15%. Alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Sumatera Barat beraneka ragam 6 897 59 sesuai dengan jenis ikan yang dijadikan sasaran penangkapannya. Jenis alat tangkap antara lain: pancing tonda (troll line), pancing rawai (set long line), pancing ulur (hand line), pukat pantai/tepi (beach seine), dogol (danish seine), payang (seine net), pukat cincin (purse seine), jaring insang hanyut (drift gillnet), jaring insang tetap (fixed gillnet), trammel net, jaring klitik (shrimp gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), bagan perahu (boat lift net), serok (scoop nets) dan lain-lain. Di antara alat tangkap yang ada yang memiliki produktivitas lebih tinggi adalah pukat cincin (purse seine). Sesuai dengan sifat perairan tropis yang memiliki beraneka jenis ikan (multi species) hampir semua jenis ikan dapat ditangkap oleh jenis alat tangkap yang ada, akan tetapi terdapat jenis ikan tertentu yang menjadi target utama masing-masing alat tangkap. Ikan pelagis kecil pada umumnya ditangkap menggunakan alat tangkap bagan, serok, payang, jaring insang hanyut dan pukat cincin. Sedangkan sumberdaya pelagis besar ditangkap menggunakan alat tangkap pancing tonda, pancing rawai dan pukat cincin. Untuk menangkap ikan demersal dan ikan karang pada umumnya menggunakan pancing rawai, trammel net dan jaring insang tetap. Udang- udangan menggunakan pukat udang, trammel net, dogol dan jaring klitik. Perkembangan jumlah alat tangkap selama 10 tahun terakhir (1995 s/d 2004) seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Keragaan alokasi komposisi jumlah unit penangkapan ikan Sumatera Barat dari Tahun 1995 – 2004 Jenis dan Ukuran Kapal Perikanan Payang ALOKASI JUMLAH KOMPOSISI UNIT PENANGKAPAN IKAN PER TAHUN 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 928 926 884 726 711 922 1 725 1 825 1 007 1 062 Dogol Pukat Pantai 1.074 348 972 390 974 448 866 628 742 453 630 491 265 376 464 466 326 489 444 505 Pukat Cincin 18 18 22 22 15 15 13 15 15 15 Jaring Insang Jaring Lingkar 886 251 766 111 675 262 986 386 1 439 102 1.518 215 1 080 425 1 233 244 1 826 244 1 154 244 Jaring Klitik Jaring Insang Tetap 595 480 422 376 307 276 868 514 411 684 407 792 31 2 626 117 1 359 1 222 1 293 Bagan Perahu Rakit 929 1 014 1 181 872 868 931 1 117 977 828 836 Serok 73 106 122 117 121 107 416 424 65 65 Rawai Tetap Tonda 223 1 205 152 1 087 98 1 333 158 875 41 1 062 104 972 34 1 403 184 1 111 142 601 268 602 Pancing Ulur 1 201 1 015 990 1 187 1 500 1 452 2 893 2 986 2 786 3 653 Sumber: Diskan/DKP Sumbar (1996-2005) Dari beberapa jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Provinsi Sumatera Barat, yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah alat tangkap 60 payang, bagan, pancing tonda dan pukat cincin (mini purse seine), hal ini dengan pertimbangan bahwa alat tangkap tersebut banyak digunakan oleh para nelayan dan memberikan kontribusi yang besar terhadap hasil tangkapan nelayan, hal ini dapat dilihat pada Gambar 12 baik kontribusinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis maupun hasil tangkapan total. 120000 Produksi (ton) 100000 80000 60000 40000 20000 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 0 Tahun payang pukat cincin bagan tonda pelagis total produksi Gambar 12 Perkembangan hasil tangkapan ikan oleh beberapa jenis alat tangkap. 4.4.1. Pancing tonda Tonda merupakan alat tangkap jenis pancing, armada panangkapan yang digunakan merupakan kapal motor dengan menggunakan mesin berkekuatan 16 – 45 pk, dan panjang kapal berkisar antara 9 – 13 meter. Tenaga kerja atau anak buah kapal yang dibutuhkan untuk 1 unit kapal tonda sebanyak 3 – 5 orang. Daerah pengoperasian untuk pancing tonda adalah di atas 12 mil laut, 1 trip penangkapan ikan membutuhkan waktu 7 – 15 hari, sehingga jumlah trip penangkapan untuk pancing tonda setiap bulannya adalah 2 – 4 kali. Rata-rata hasil tangkapan dengan pancing tonda adalah 1 ton per trip dengan jenis ikan antara lain: cakalang, tuna, tongkol, tenggiri, lemadang dan sunglir. Biaya operasional yang dibutuhkan per trip berkisar antara Rp. 1 juta – Rp. 3 juta tergantung lamanya hari trip, lokasi penangkapan dan daya mesin penggerak yang digunakan serta jumlah anak buah kapal (ABK). Hasil 61 tangkapan dari alat tangkap pancing tonda di daratkan dan dijual di tempattempat pendaratan ikan. 4.4.2 Alat tangkap payang Payang termasuk jenis alat tangkap pukat kantong. Bentuk alat tangkap ini menyerupai trawl, memiliki sepasang sayap dan bagian yang berbentuk kantong dioperasikan di permukaan maupun dasar perairan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis dan demersal. Prinsip dasar pengoperasiannya adalah ikan tangkapan yang terkumpul di dalam kantong ditarik ke arah perahu. Ukuran ikan yang tertangkap oleh pukat kantong sangat bervariasi mulai dari ikan yang berukuran kecil hingga besar. Selektivitas alat tangkap ini sangat tergantung dari ukuran mata jaring yang digunakan pada bagian sayap maupun pada bagian kantong jaring. Alat tangkap payang ini digunakan oleh nelayan hampir di sepanjang wilayah pesisir Provinsi Sumatera Barat. Alat tangkap payang dioperasikan menggunakan perahu motor tempel dengan mesin 40 PK berukuran 2 – 3 GT dengan panjang perahu rata-rata 12 meter. Operasi penangkapan bersifat harian (1 trip = 1 hari), operasi penangkapan dilakukan mulai jam 6 pagi sampai jam 12 siang. Jumlah trip per bulan rata-rata 24 kali karena pada umumnya hari Jumat nelayan tidak melaut. Satu unit armada payang membutuhkan anak buah kapal (ABK) sebanyak 10 – 12 orang. Jenis ikan yang tertangkap menggunakan alat tangkap payang antara lain: Tongkol, bawal, cakalang, kembung dan teri. Jumlah ikan yang tertangkap setiap melakukan operasi penangkapan ikan berkisar antara 50 kg – 1000 kg dan rata-rata 300 kg/trip. Biaya operasional yang dibutuhkan untuk satu trip penangkapan ikan rata-rata Rp. 220.000,-. 4.4.3 Alat tangkap bagan Bagan merupakan alat tangkap yang termasuk jenis jaring angkat (lift net). Prinsip dasar dari alat tangkap ini adalah memikat ikan dengan bantuan cahaya sehingga ikan-ikan tertarik dan berkumpul di atas wilayah cakupan jaring. Ikanikan yang telah terkumpul di atas jaring akan tertangkap pada saat jaring di angkat dari kolom air ke atas permukaan air. Alat tangkap bagan pada umumnya dioperasikan menggunakan kapal motor, dengan tonnase berkisar antara 5 – 30 GT, menggunakan mesin 62 penggerak dengan kekuatan 33 – 120 PK. Satu unit armada penangkapan ikan membutuhkan anak buah kapal (ABK) sebanyak 8 – 12 orang. Adapun jenis – jenis ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan pelagis kecil yang memiliki sifat pototaxis. Alat tangkap bagan hampir terdapat di sepanjang wilayah pesisir mulai dari kabupaten Pesisir Selatan sampai ke Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat. Hasil tangkapan per trip 5 – 50 keranjang, dimana berat ikan per keranjangnya 25 kg. 1 trip membutuhkan waktu 1 hari dan jumlah trip dalam 1 bulan 22 hari. Hal ini disebabkan pada hari terang bulan, nelayan tidak melaut. Pada umumnya penangkapan ikan dengan kapal bagan dilakukan di daerah pantai sampai sejauh 4 mil laut. Tetapi akhir-akhir ini dengan telah semakin berkembangnya bagan dan digunakannya mesin penggerak yang lebih besar, maka nelayan telah melakukan operasi penangkapan jauh ke tengah, yaitu mencapai 15 km ke tengah lautan (± 8 mil), bahkan beberapa bagan sudah ada yang beroperasi sampai ke Perairan Kepulauan Mentawai. Kapal motor bagan yang pengoperasiannya sampai ke Mentawai memiliki ukuran dan tonnase yang lebih besar serta teknologi penangkapan yang lebih maju serta waktu penangkapan yang lebih lama yaitu 4 – 7 hari/trip, dengan hasil per trip 2 – 3 ton. Bekal yang dibutuhkan setiap kali melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan antara lain: bahan bakar minyak berupa solar, minyak tanah dan oli untuk mesin, bekal makanan atau ransum, es dan garam. Garam digunakan untuk mengawetkan ikan-ikan yang akan dijadikan ikan olahan seperti teri, sedangkan es untuk mengawetkan ikan-ikan yang akan dijual segar. Kebutuhan akan bahan bakar tergantung kepada lamanya waktu untuk 1 trip penangkapan ikan dan ukuran kapal. Untuk 1 hari trip penangkapan ikan dibutuhkan bahan bakar solar 30 - 200 liter, minyak tanah 5 liter, dan es 5 – 10 batang, garam 50 kilogram, sedangkan untuk 1 trip penangkapan yang membutuhkan waktu 3-4 hari dibutuhkan 3 – 4 drum (1 drum=200 liter) solar, 30 liter minyak tanah, 40-50 batang es dan garam 50 – 100 kilogram. Jenis dan nilai investasi yang dibutuhkan untuk penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan dapat dilihat pada Tabel 8. 63 Tabel 8 Jenis dan nilai investasi yang digunakan untuk penangkapan ikan menggunakan alat tangkap bagan No Nilai (Rp) Umur Ekonomis (tahun) Kapal - ukuran 0 - 15 GT - diatas 15 GT 30-125 juta 150-500 juta 15 - 20 2. Mesin 7 - 100 juta 8 -10 3. Alat tangkap 5 juta 8 1. Jenis Investasi 4.4.4 Alat tangkap pukat cincin Pukat cincin merupakan alat tangkap yang telah menerapkan teknologi maju sehingga sangat efektif untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis dalam jumlah besar. Pukat cincin yang dimiliki oleh nelayan di Sumatera Barat masih tergolong kepada mini purse seine. Prinsip dasar pengoperasian dari purse seine adalah melingkari kawanan ikan, kemudian ikan yang telah terkurung di dalam lingkungan jaring terkumpul dan tertangkap pada bagian yang berbentuk kantong setelah dilakukan proses pengerucutan jaring (pursing) dan hauling. Pada saat ini pukat cincin diusahakan oleh nelayan di Sasak Kecamatan Ranah Pesisir Kabupaten Pasaman Barat dan Kota Padang. Jenis ikan yang tertangkap dengan pukat cincin antara lain: tenggiri, tuna, tongkol, kakap merah, alualu/tete, layur, tongkol, tetengkek, cumi-cumi, kuwe, bawal dan lain-lain. Alat tangkap pukat cincin dioperasikan dengan menggunakan kapal motor dengan panjang berkisar antara 17 - 22 meter, tonnase antara 25 – 30 GT, dengan mesin penggerak berkekuatan antara 90 – 160 PK. Satu unit kapal membutuhkan anak buah kapal (ABK) sebanyak 13 - 19 orang. Hasil tangkapan dari alat tangkap pukat cincin berkisar antara 300 kilogram – 3000 kg per trip atau rata-rata 600 kilogram per trip. 1 kali trip penangkapan ikan membutuhkan waktu 2 -3 hari jadi rata-rata trip per bulannya sebanyak 10 – 11 kali, dengan biaya operasional berkisar antara Rp. 900 000 – Rp. 1 500 000 per trip. Bekal atau input yang dibutuhkan setiap kali melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pukat cincin antara lain: bahan bakar minyak berupa solar, minyak tanah dan oli untuk mesin, es dan bekal makanan. 1 trip penangkapan ikan membutuhkan bahan bakar berupa solar 64 sebanyak 200 – 300 liter, minyak tanah 5 liter, dan es 5 – 10 batang, ransum rata-rata Rp.10 000 per orang per hari, dengan ABK sebanyak 15 orang berarti dibutuhkan ransum (15 x 10 000 x 3 = Rp. 450 000,-). Investasi yang dibutuhkan untuk 1 unit pukat cincin antara lain: 1 unit kapal yang biasanya terbuat dari kayu dengan panjang antara 17 – 22 meter, lebar kapal rata-rata 4.5 meter, tinggi 1.3 meter dengan tonnase 25 – 30 GT dan tenaga mesin rata-rata 190 PK dengan harga sekitar Rp 500 000 000,-, alat tangkap pukat cincin berupa jaring dengan ukuran 400 x 45 meter. Rata-rata biaya per trip untuk ke empat jenis alat tangkap yaitu pukat cincin, pancing tonda, bagan dan payang seperti pada Tabel 9. Tabel 9 Rata-Rata biaya per trip menurut jenis alat tangkap No Alat tangkap Biaya rata-rata (Rp/trip) 1 Pukat cincin 1 366 832.62 2 Pancing tonda 2 469 086.49 3 Bagan 512 114.68 4 Payang 219 705.66 4.5. Sumbangan sektor Perikanan terhadap PDRB Struktur perekonomian di Provinsi Sumatera Barat masih didominasi oleh sektor pertanian, dimana dari PDRB atas dasar harga berlaku terlihat bahwa sumbangan sektor ini tahun 2001 sebesar 23.26 %, disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17.72 %. Urutan ke tiga ditempati oleh sektor jasajasa sebesar 18.40 % dan sektor angkutan dan komunikasi berada pada urutan ke empat menggeser keberadaan sektor industri pengolahan turun ke urutan ke lima sejak tahun 1999. Sedangkan sumbangan empat sektor lainnya angkanya masih kurang dari 5 %. PDRB Provinsi Sumatera Barat yang dihitung berdasarkan harga berlaku dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun pada tahun yang sama, diperoleh PDRB perkapita penduduk. Pada tahun 2001 PDRB per kapita 65 penduduk tercatat sebesar 5.90 juta rupiah/tahun, angka ini mengalami kenaikan sebesar 608 000 rupiah dibandingkan tahun 2000. Dalam perhitungan PDRB Sumatera Barat, sub sektor Perikanan masih dimasukkan ke dalam sektor pertanian, dimana sebagai salah satu propinsi agraris peranan sektor pertanian dari tahun ke tahun terhadap PDRB Sumatera paling besar dibandingkan sektor lainnya yaitu sekitar 23.50 % per tahun, dimana sumbangan terbesar berasal dari sub sektor tanaman pangan dan hortikultura (12.50%). Sedangkan sub sektor perikanan setiap tahunnya hanya sekitar 2.70 %. Tabel 10 Kontribusi PDRB Perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat selama 5 tahun (2000 - 2004) Tahun Atas dasar harga berlaku Rp (juta) % Atas dasar harga konstan (2000) Rp (juta) % 2000 646 242.48 2.82 646 242.48 2.82 2001 757 307.79 2.90 672 803.05 2.84 2002 786 136.25 2.63 673 812.25 2.71 2003 898 168.11 2.71 723 332.45 2.77 2004 1 006 839.41 2.71 761 891.34 2.76 Sumber: BPS Sumbar (2005) Tabel 10 memperlihatkan kontribusi PDRB Perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat selama 5 tahun terakhir baik berdasarkan harga berlaku maupun berdasarkan harga konstan tahun 2000. Berdasarkan harga berlaku pada tahun 2000 PDRB Perikanan sebesar Rp 646 242.48 juta dan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 1 006 839.41 juta sedangkan berdasarkan harga konstan tahun 2000 maka pada tahun 2000 PDRB Perikanan adalah sebesar Rp 646 242.48 juta dan tahun 2004 meningkat menjadi Rp 761 891.34 juta. Gambar 13 dan 14 memperlihatkan kontribusi sektor pertanian dan perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan, akan tetapi secara keseluruhan kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDRB Sumatera Barat masih di bawah 5% (rata-rata 2.70 % per tahun). 66 PDRB (Rp milyar) 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun PDRB Sumbar PDRB Perikanan PDRB Pertanian Gambar 13 Perkembangan PDRB total, PDRB Pertanian dan PDRB Perikanan Provinsi Sumatera Barat. PDRB total /Propinsi(milyar rupiah) 35000 1000 30000 800 25000 600 20000 15000 400 10000 200 5000 0 PDRB Perikanan (milyar rupiah) 1200 40000 0 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun PDRB Sumbar PDRB Perikanan Gambar 14 Kontribusi PDRB Perikanan terhadap PDRB total Provinsi Sumatera Barat. 67 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Standardisasi Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis bermacammacam, untuk itu dalam menganalisis perikanan tangkap terlebih dahulu perlu dilakukan standardisasi alat tangkap sehingga dapat dijumlahkan total effort dari perikanan tangkap yang dianalisis. Dalam penelitian ini penentuan standardisasi effort dilakukan dengan menggunakan jumlah trip per tahun dari alat tangkap bagan, payang, jaring insang hanyut, pukat cincin dan tonda. Ada beberapa jenis alat tangkap yang digunakan dalam menangkap ikan pelagis kecil dan besar tetapi dalam penelitian ini pengkajian tidak dilakukan terhadap seluruh alat tangkap yang digunakan akan tetapi dipilih beberapa alat tangkap yang dominan menangkap ikan pelagis. Analisis juga dipisahkan antara ikan pelagis besar dan pelagis kecil, dengan pertimbangan ikan pelagis kecil lebih banyak ditangkap di perairan sekitar pantai sedangkan ikan pelagis besar lebih banyak di tangkap di laut lepas. Untuk ikan pelagis kecil alat tangkap yang digunakan sebagai baseline adalah bagan dengan pertimbangan alat tangkap bagan ini paling dominan digunakan dan memberikan kontribusi yang paling besar terhadap hasil tangkapan ikan pelagis kecil, sedangkan untuk ikan pelagis besar yang dijadikan baseline adalah alat tangkap pancing tonda karena hasil tangkapan dari alat tangkap pancing tonda ini yang paling besar kontribusinya terhadap hasil tangkapan ikan pelagis besar di propinsi Sumatera Barat. Khusus untuk ikan pelagis besar alat tangkap yang dianalisis hanya 2 yaitu alat tangkap pancing tonda dan pukat cincin, dengan pertimbangan 2 jenis alat tangkap ini yang memiliki operasi penangkapan ikan jauh dari perairan pantai dengan lama hari upaya penangkapan lebih dari 1 hari. Selanjutnya dari keseluruhan jenis ikan pelagis besar yang ada, dipilih empat jenis ikan yang dominan yaitu ikan tenggiri, tongkol, tuna dan cakalang. Hasil tangkapan dari ke empat jenis ikan pelagis besar ini oleh alat tangkap tonda dan pukat cincin seperti pada Tabel 11 dan Gambar 16. Perkembangan effort dari alat tangkap setelah distandardisasi selama 21 tahun seperti terlihat pada Gambar 15. Pada gambar terlihat bahwa effort dari alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar dan pelagis 68 kecil pada awal-awal periode pengamatan memiliki kecendrungan meningkat setiap tahunnya selanjutnya berfluktuasi naik turun dan pada akhir pengamatan 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 165000 145000 125000 105000 85000 65000 45000 25000 5000 19 84 Effort (trip) mengalami penurunan. Tahun Std Effort Pel kecil Std Effort Pel besar Gambar 15 Perkembangan effort yang telah distandardisasi untuk penangkapan ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Pada Tabel 11 terlihat bahwa dari ke empat jenis ikan pelagis besar, yang paling banyak hasil tangkapannya adalah cakalang, kemudian diikuti oleh tongkol, tuna dan tenggiri. Hampir sama dengan effort, secara keseluruhan hasil tangkapan ikan pelagis besar juga mengalami fluktuasi, pada tahun awal pengamatan hasil tangkapan cenderung meningkat, kemudian turun naik dan pada akhir tahun pengamatan cenderung menurun, perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis besar seperti pada Gambar 16, sedangkan trajektori perkembangan hasil tangkapan dan effort ikan pelagis besar dapat dilihat pada 10000 8000 6000 4000 2000 Tahun tenggiri tuna cakalang tongkol 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0 19 84 Hasil tangkapan (ton) Gambar 17. 69 Gambar 16 Perkembangan hasil tangkapan menurut jenis ikan pelagis besar. Tabel 11 Hasil tangkapan ikan pelagis besar oleh alat tangkap tonda dan pukat cincin Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Hasil tangkapan menurut jenis ikan (ton) Tenggiri Tuna Cakalang Tongkol 119.70 785.00 2 713.40 2 537.70 35.30 908.90 3 448.10 2 652.00 112.20 1 017.70 4 047.30 3 043.40 96.90 1 455.60 3 809.70 3 391.60 88.50 2 086.80 5 070.40 3 984.10 214.80 2 610.70 6 597.80 5 012.00 227.02 2 759.53 6 973.90 5 297.67 373.20 1 954.60 5 632.30 6 930.00 294.30 3 371.00 4 079.40 4 428.80 238.90 2 541.30 3 463.70 3 569.50 296.60 3 383.40 6 390.20 3 814.90 353.10 3 231.50 6 913.80 3 034.00 445.70 4 479.20 5 647.30 4 068.60 258.50 5 881.10 5 779.40 3 511.10 535.00 6 763.00 6 486.90 3 660.10 467.90 3 526.00 9 438.20 6 906.50 417.40 4 789.00 8 749.40 4 212.00 488.30 3 777.60 7 232.10 7 048.30 537.80 3 455.20 3 445.20 2 890.20 927.40 2 139.90 2 925.30 2 755.30 732.40 2 938.10 2 228.30 3 801.40 6 155.80 7 044.30 8 220.60 8 753.80 11 229.80 14 435.30 15 258.12 14 890.10 12 173.50 9 813.40 12 885.10 13 532.40 14 640.80 15 430.10 17 445.00 20 338.60 18 167.80 18 546.30 10 328.40 8 747.90 9 702.50 30 21 25 19 17 20 15 13 15 11 9 Effort (ribu trip) Hasil tangkapan (ribu ton) 23 Jumlah 10 7 5 19 8 19 4 8 19 5 8 19 6 8 19 7 8 19 8 8 19 9 9 19 0 9 19 1 9 19 2 9 19 3 94 19 9 19 5 9 19 6 9 19 7 98 19 9 20 9 0 20 0 0 20 1 02 20 0 20 3 04 5 Tahun Hasil tangkapan effort Gambar 17 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis besar. 70 Untuk ikan pelagis kecil, jenis ikan yang dipilih adalah ikan layang, selar, teri, tembang, lemuru dan kembung dengan alat tangkap payang, pukat pantai, pukat cincin dan jaring insang hanyut serta bagan. Hasil tangkapan ikan pelagis kecil oleh ke lima alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 18. Tabel 12 Hasil tangkapan ikan pelagis kecil oleh alat tangkap yang dianalisis Tahun Jumlah lemuru 356.60 242.40 222.80 294.50 280.00 300.30 285.35 205.80 271.60 300.80 475.20 533.70 706.00 872.90 933.40 1 511.30 1 253.60 1 209.20 651.00 627.00 734.50 04 20 02 20 00 20 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 Hasil tangkapan (ton) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Hasil tangkapan per jenis ikan (ton) Selar teri tembang kembung 684.20 3 691.40 1 503.20 2 179.90 763.80 3 094.80 1 297.70 2 200.50 890.70 3 980.50 1 480.40 2 558.70 1 058.70 4 624.20 1 540.50 3 275.70 1 370.30 5 499.80 1 956.40 3 386.10 1 013.90 5 171.70 2 807.50 2 865.60 1 071.72 5 466.47 2 967.51 3 028.91 995.30 7 803.30 2 584.80 1 790.30 1 819.60 9 884.20 2 481.70 3 305.70 3 083.90 9 635.40 2 925.10 3 054.60 2 099.10 11 472.80 3 801.00 2 356.40 1 585.00 13 213.80 2 887.00 3 114.20 1 751.90 14 909.90 3 832.20 3 296.50 1 991.30 17 885.40 3 453.80 3 377.70 2 122.50 17 865.90 3 838.40 3 355.90 2 343.20 17 148.50 7 675.50 3 319.00 2 545.50 16 671.90 6 276.20 3 401.10 3 307.00 15.684.50 6 850.10 4 437.20 2 241.40 7 016.60 2 910.00 3 593.20 3 018.10 8 931.30 3 709.80 4 675.60 2 632.00 4 772.00 2 586.90 4 021.20 layang 981.80 1 165.70 1 262.70 1 007.50 1 067.60 1 416.30 1 497.17 1 359.90 1 573.20 2 580.40 2 361.60 1 690.30 1 865.80 2 128.01 1 812.40 1 836.00 1 942.20 2 124.00 1 110.60 1 044.00 1 242.00 Tahun layang selar teri tembang kembung Lemuru Gambar 18 Perkembangan hasil tangkapan ikan pelagis kecil. 9 937.10 8 764.90 10 395.80 11 801.10 13 280.20 13 575.30 14 317.13 14 739.40 19 336.00 21 580.20 22 566.10 23 024.00 26 362.30 29 709.11 29 928.50 33 833.50 32 090.50 33 612.00 17 522.80 22 005.80 15 988.60 71 Tabel 12 dan Gambar 17 memperlihatkan bahwa hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang terbesar adalah ikan teri, kemudian diikuti oleh tembang, kembung, selar, layang dan lemuru. Dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2000, hasil tangkapan ikan teri selalu mengalami peningkatan, bahkan merupakan tujuan tangkap utama dari alat tangkap bagan, hal ini juga dapat dilihat dari banyaknya unit-unit pengolahan ikan tradisional yang mengolah ikan teri menjadi ikan teri rebus kering, akan tetapi mulai tahun 2000, hasil tangkapan ikan teri mulai mengalami penurunan, unit-unit pengolahan teri juga sudah mulai berkurang, dan ikan teri bukan lagi menjadi hasil tangkapan utama dari alat tangkap bagan dan kondisi ini juga mendorong beberapa pemilik bagan untuk memperluas daerah penangkapannya. Gambar 19 memperlihatkan perkembangan effort dan produksi ikan pelagis kecil, hasil tangkapan ikan pelagis kecil dari tahun 1984 sampai dengan 2001 mengalami peningkatan setiap tahunnya dan mulai tahun 2002 mulai mengalami penurunan, sedangkan untuk effort dari tahun 1984 sampai dengan 1993 mengalami peningkatan, kemudian berfluktuasi sampai tahun 2001 dan sama halnya dengan produksi mulai tahun 2002 mengalami 165 145 125 105 85 65 45 25 5 35 30 25 20 15 10 5 Effort (ribu trip) 40 19 8 19 4 8 19 5 8 19 6 8 19 7 8 19 8 8 19 9 9 19 0 9 19 1 9 19 2 9 19 3 9 19 4 9 19 5 9 19 6 9 19 7 9 19 8 9 20 9 0 20 0 0 20 1 0 20 2 0 20 3 04 Hasil tangkapan (ribu ton) penurunan. Tahun Hasil tangkapan Effort Gambar 19 Perkembangan effort dan hasil tangkapan ikan pelagis kecil. 72 5.2 Estimasi Parameter Biologi Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan data time series, untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan uji apakah data yang digunakan stationary atan non stationary. Hasil uji stationary mengindikasikan bahwa variabel logaritma dari catch per unit effort (CPUE) dan variabel effort menunjukkan adanya gejala non stationary (trending) . Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolute 2.57 sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Selanjutnya untuk melakukan analisis bioekonomi perlu dilakukan estimasi parameter biologi yang terdiri dari parameter pertumbuhan intrisik (r), koefisien daya tangkap (q) dan daya dukung/ carrying capacity (K). Ketiga parameter tersebut diestimasi dengan menggunakan metode CYP. Hasil estimasi menggunakan data time series yang sebelumnya telah dilakukan uji stationary adalah seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Parameter biologi perikanan pelagis di Provinsi Sumatera Barat Sumberdaya Pertumbuhan intrinsik (r) Parameter Biologi Koefisien daya tangkap (q) Carrying Capacity (K)(ton) Pelagis besar 0.88865 0.0000242 46 018.44 Pelagis kecil 0.67055 0.00000338 92 986.64 5.3. Estimasi Sustainable Yield Berdasarkan hasil perhitungan parameter biologi yang telah diperoleh maka selanjutnya dilakukan pendugaan fungsi produksi tangkap lestari seperti terlihat pada Tabel 14. Tabel 14 Fungsi produksi lestari Gompertz No Sumberdaya Ikan Persamaan Gompertz 1 Pelagis Besar ht=1.11410580Etexp(-0,000027243579Et) 2 Pelagis Kecil ht=0.31429484Etexp(-0,000005040638Et) 73 Tabel 14 di atas memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan nilai persamaan fungsi lestari Gompertz antara sumberdaya pelagis besar dan pelagis kecil. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan pengusahaan antara ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Dengan menggunakan persamaan yang ada pada Tabel 14 maka dapat diperoleh nilai Sustainable yield dari ikan pelagis besar dan pelagis kecil. Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan lestari Gompertz untuk ikan pelagis besar seperti pada Tabel 15 sedangkan untuk ikan pelagis kecil pada Tabel 16. Tabel 15 dan Gambar 20 memperlihatkan bahwa nilai hasil tangkapan lestari ikan pelagis besar pada awal periode pengamatan berada di atas hasil tangkapan aktual, kecuali pada tahun 1990, 1991 dan 1995 sampai dengan 2001, hasil tangkapan lestari berada di bawah hasil tangkapan aktual, dan tahun 2002 sampai dengan 2004 kembali berada di atas hasil tangkapan aktual. Tabel 15 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari Gompertz untuk ikan pelagis besar Tahun Effort 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan 15 551.77 16 506.70 21 437.29 21 842.77 25 968.85 28 758.25 24 260.33 25 989.80 21 702.25 22 567.17 24 619.39 21 898.34 22 327.76 27 378.11 21 386.49 24 847.36 23 266.32 25 794.07 23 462.51 13 386.47 13 603.42 22 216.93 hasil tangkapan aktual (ton) 6 155.80 7 044.30 8 220.60 8 753.80 11 229.80 14 435.30 15 258.12 14 890.10 12 173.50 9 813.40 12 885.10 13 532.40 14 640.80 16 855.20 17 445.00 20 338.60 18 167.80 18 546.30 10 328.40 8 747.90 9 702.50 12 817.37 hasil tangkapan lestari (ton) 11 341.01 11 728.32 13 317.41 13 420.26 14 259.27 14 635.58 13 955.71 14 262.63 13 385.06 13 594.44 14 024.22 13 343.06 13 538.21 14 466.96 13 304.06 14 066.67 13 751.22 14 230.88 13 793.27 10 355.05 10 460.87 13 301.22 74 Hasil tangkapan (ton) 25000 20000 15000 10000 5000 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 0 Tahun aktual lestari Gambar 20 Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan lestari Gompertz ikan pelagis besar. Pada Gambar 21, kurva dengan garis hitam melengkung menunjukkan kurva hasil tangkapan lestari (sustainable yield), sedangkan kurva dengan garis putus-putus merupakan trajektori hasil tangkapan aktual dari ikan pelagis besar. Jika hasil tangkapan aktual diplot terhadap hasil tangkapan lestari, maka terlihat adanya pola ekspansi dan kontraksi. Pada awal-awal periode pengamatan terjadi ekspansi ke arah titik maksimum sustainable yield, kemudian bergerak menjauhi titik keseimbangan, dan pada tahun 2002 terjadi konstraksi kembali ke titik keseimbangan. 75 25000 yr99 20000 Produksi (ton) yr01 yr00 yr98 yr97 15000 10000 yr04 yr03 yr90 yr96yr91 yr89 yr95 yr94 yr92 yr88 yr02 yr93 yr87 yr86 yr85 yr84 5000 0 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 Effort . Gambar 21 Kurva Lestari Gompertz dan hasil tangkapan aktual pelagis besar Selanjutnya untuk melihat trajektori atau loop ekspansi dan kontraksi dari effort dilakukan analisis dengan metode copes eye ball dengan cara melakukan overlay antara hasil tangkapan aktual dan lestari. Dari Gambar 22 terlihat bahwa ada 2 loop ekspansi dan 1 loop konstraksi. Loop ekspansi pertama adalah ekspansi yang menuju titik keseimbangan, sedangkan loop ekspansi ke dua adalah loop yang menjauhi titik keseimbangan, mendekati akhir tahun pengamatan terdapat loop konstraksi yang kembali menuju titik keseimbangan. 76 H a s i l t a n g k a p a n konstraksi ekspansi Effort Gambar 22 Copes Eye Ball Loop untuk Fungsi Gompertz ikan pelagis besar. Tabel 16 dan Gambar 23 memperlihatkan bahwa nilai hasil tangkapan lestari ikan pelagis kecil pada awal periode pengamatan berada di atas hasil tangkapan aktual, kecuali pada tahun 1990, 1991 dan 1995 sampai dengan 2001, hasil tangkapan lestari berada di bawah hasil tangkapan aktual, dan tahun 2002 sampai dengan 2004 kembali berada di atas hasil tangkapan aktual. 77 Tabel 16 Keragaan effort, hasil tangkapan aktual dan lestari Gompertz untuk ikan pelagis kecil Tahun Effort 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan 67 274.74 67 784.96 81 547.63 94 948.09 111 039.67 114 820.99 116 416.99 118 146.60 132 925.32 116 492.46 104 048.30 98 424.58 107 492.70 115 066.10 126 375.21 137 553.65 120 188.19 141 395.42 102 745.80 83 801.61 71 243.13 106 177.72 Hasil tangkapan aktual (ton) 9 397.10 8 764.90 10 395.80 11 801.10 13 560.20 13 575.30 14 317.13 14 739.40 19 336.00 21 580.20 22 566.10 23 024.00 26 362.30 29 709.11 29 928.50 33 833.50 32 090.50 33 612.00 17 522.80 22 005.80 15 988.60 20 195.73 Hasil tangkapan lestari (ton) 15 067.43 15 142.69 16 995.73 18 495.53 19 944.23 20 233.87 20 350.67 20 473.67 21 380.40 20 356.11 19 359.12 18 839.55 19 655.59 20 252.02 21 009.47 21 614.13 20 614.13 21 791.81 19 242.75 17 268.10 15 640.08 19 225.11 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0 19 84 Hasil tangkapan (ton) 40000 Tahun aktual lestari Gambar 23 Hasil tangkapan aktual dan lestari Gompertz ikan pelagis kecil. 78 Pada Gambar 24, kurva dengan garis hitam melengkung menunjukkan kurva hasil tangkapan lestari (sustainable yield), sedangkan kurva dengan garis putus-putus merupakan trajektori hasil tangkapan aktual dari ikan pelagis kecil. Jika hasil tangkapan aktual diplot terhadap hasil tangkapan lestari, maka terlihat adanya pola ekspansi dan kontraksi. Pada awal-awal periode pengamatan terjadi ekspansi ke arah titik maksimum sustainable yield, kemudian bergerak menjauhi titik keseimbangan, dan pada tahun 2002 terjadi konstraksi kembali mengarah mendekati titik keseimbangan. 39000 36000 yr99 yr01 yr00 33000 30000 yr98 yr97 Produksi (ton) 27000 yr96 24000 yr95 yr03yr94 yr93 21000 yr92 18000 yr02 yr04 15000 yr91 yr90 yr89 yr88 yr87 yr86 yr84 yr85 12000 9000 6000 3000 0 0 1e+5 2e+5 3e+5 4e+5 Effort Gambar 24 Kurva lestari Gompertz dan hasil tangkapan aktual pelagis kecil. Dari Gambar 25 terlihat bahwa ada 2 loop ekspansi dan 1 loop konstraksi, loop ekspansi pertama adalah ekspansi yang menuju titik keseimbangan, sedangkan loop ekspansi ke dua adalah loop yang menjauhi titik keseimbangan, mendekati akhir tahun pengamatan terdapat loop konstraksi yang kembali mengarah mendekati titik keseimbangan. 79 H a s i l t a n g k a p a n konstraksi Ekspansi Effort Gambar 25 Copes Eye Ball Loop untuk fungsi Gompertz ikan pelagis kecil. 5.4. Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari biaya operasional, harga dan discount rate. Biaya operasional dan harga output/kg diperoleh dari hasil survey. Selanjutnya untuk memperoleh data time series dari biaya dan harga disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga diperoleh nilai riil setiap tahunnya. Rata-rata biaya riil penangkapan ikan per trip per tahunnya seperti pada Tabel 17. Untuk lebih jelas lagi perkembangan biaya yang digunakan per trip dari alat tangkap standar untuk penangkapan ikan pelagis besar (tonda) dan ikan pelagis kecil (bagan) dapat dilihat pada Gambar 26. kecendrungan meningkat setiap tahunnya. dimana biaya memiliki 80 Tabel 17 Rata-rata biaya riil penangkapan ikan per trip menurut alat tangkap yang dijadikan baseline (Rp per trip) Alat tangkap Pancing tonda 206 793.29 241 656.09 268 016.63 265 799.17 294 068.86 265 146.97 324 387.36 339 767.17 313 565.63 340 972.85 472 950.95 452 101.47 447 072.89 320 976.17 1 114 731.55 2 012 588.05 2 149 884.13 2 290 890.92 2 289 370.88 2 323 348.42 2 469 086.49 Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Bagan 42 891.12 50 122.03 55 589.49 55 129.56 60 993.00 54 994.29 67 281.37 70 471.31 65 036.83 70 721.38 98 095.04 93 770.63 92 727.65 66 573.86 231 207.13 417 432.07 445 908.73 475 155.04 474 839.76 481 887.06 512 114.68 2500 2000 1500 1000 500 Tahun tonda bagan Gambar 26 Perkembangan biaya per trip untuk alat tangkap tonda dan bagan. 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0 19 84 Biaya (Rp 000) 3000 81 Sebagaimana dijelaskan dalam metodologi, bahwa dalam penelitian ini digunakan 2 discount rate yaitu market discount rate sebesar 15% dan real discount rate dengan menggunakan pendekatan Ramsey yang diacu dalam Anna (2003). Dari hasil perhitungan discount rate dengan teknik Kula ini diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Sumatera Barat sebagai g=0.093408 (9.34%). Dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam sebesar 1 dan ρ menggunakan market discount rate sebesar 15%, maka diperoleh nilai real discount rate sebesar 5.66%. 5.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan yang Optimal Sumberdaya perikanan merupakan aset kapital yang dalam pengelolaannya secara optimal juga memerlukan pendekatan kapital. Sehingga dibutuhkan perhitungan aspek intertemporal dalam analisisnya. Pada pendekatan kapital, biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya pada saat ini diperhitungkan melalui perhitungan rente ekonomi optimal yang seharusnya didapat dari sumberdaya perikanan, jika sumberdaya tersebut dikelola secara optimal. Hasil analisis optimal dengan menggunakan discount rate 15% dan kula 5.66% sehingga diperoleh nilai biomas, produksi dan effort yang optimal untuk ikan pelagis besar seperti pada Tabel 18. Langkah-langkah perhitungannnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata nilai biomas, hasil tangkapan dan effort yang diperoleh pada discount rate 15% berturut-turut adalah: 24 186.3 ton, 13 825.6 ton dan 23 611.7 trip. Sedangkan dengan discount rate 5.66% nilai biomas, hasil tangkapan dan effort optimal berturut-turut adalah: 25 074.9 ton, 13 529.7 ton dan 22 287.4 trip. Dari hasil tersebut terlihat bahwa dengan menggunakan discount rate yang lebih rendah/konservatif akan menghasilkan nilai biomas yang lebih tinggi dan effort yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan market discount rate. Perbedaan biomas dan hasil tangkapan untuk kedua discount rate seperti pada Gambar 27. Selanjutnya dengan diperolehnya nilai optimal dari ke tiga variabel tersebut maka dapat dilakukan perbandingan pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar pada kondisi aktual, optimal dan lestari. 82 Tabel 18 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis besar Discount rate 5.66% Biomas hasil Effort optimal tangkapan optimal (trip) (ton) optimal (ton) 25 074.6 13 529.7 22 287.4 25 074.8 13 529.6 22 287.1 25 083.3 13 526.6 22 274.7 25 074.6 13 529.6 22 287.3 25 074.2 13 529.5 22 286.5 25 074.6 13 529.3 22 285.9 25 074.7 13 529.6 22 287.2 25 074.7 13 529.6 22 287.2 25 074.7 13 529.6 22 287.1 25 074.6 13 529.6 22 287.4 25 074.6 13 529.6 22 287.3 25 074.6 13 529.6 22 287.3 25 075.5 13 529.3 22 287.0 25 068.3 13 529.6 22 287.5 25 074.6 13 529.8 22 287.3 25 075.8 13 529.2 22 287.6 25 075.7 13 529.3 22 287.7 25 075.6 13 529.3 22 287.8 25 074.6 13 529.6 22 287.3 25 071.7 13 530.7 22 291.6 25 074.7 13 529.6 22 287.2 25 074.9 13 529.7 22 287.4 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 26 24 22 20 18 16 14 12 10 19 84 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan Discount rate 15% Biomas Hasil Effort optimal tangkapan optimal (trip) (ton) optimal (ton) 24 185.7 13 825.8 23 612.2 24 185.9 13 825.7 23 612.9 24 194.9 13 822.9 23 598.2 24 185.8 13 825.8 23 612.1 24 186.3 13 825.6 23 611.2 24 186.7 13 825.4 23 610.6 24 185.8 13 825.7 23 612.0 24 185.8 13 825.7 23 612.0 24 185.9 13 825.7 23 611.9 24 185.7 13 825.8 23 612.2 24 185.8 13 825.8 23 612.7 24 185.8 13 825.8 23 612.7 24 185.7 13 825.8 23 612.7 24 185.7 13 825.5 23 612.2 24 185.8 13 825.9 23 612.1 24 185.0 13 825.8 23 612.2 24 186.9 13 825.4 23 612.4 24 186.8 13 825.4 23 612.5 24 185.8 13 825.8 23 612.1 24 182.8 13 825.8 23 612.9 24 185.8 13 825.8 23 612.1 24 186.3 13 825.6 23 611.7 Biomas dan Hasil tangkapan (ribu ton) Tahun Tahun biomas opt. i=15% hsl tgkpn opt. i=15% biomas opt. i=5.66% hsl tgkpn opt. i=5.66% 83 Gambar 27 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis besar pada discount rate 15% dan 5.66% Hasil tangkapan lestari merupakan tingkat produksi yang hanya memasukkan parameter biologi saja, akan tetapi karena eksploitasi sumberdaya ikan juga bertujuan untuk menghasilkan pendapatan bagi pelaku usahanya perlu diketahui hasil tangkapan yang optimal dengan memasukkan parameter biologi dan ekonomi. Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal untuk ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 19 dan Gambar 28. Tabel 19 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal untuk ikan pelagis besar Tahun Aktual 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan 6 155.80 7 044.30 8 220.60 8 753.80 11 229.80 14 435.30 15 258.12 14 890.10 12 173.50 9 813.40 12 885.10 13 532.40 14 640.80 16 855.20 17 445.00 20 338.60 18 167.80 18 546.30 10 328.40 8 747.90 9 702.50 12 817.37 Hasil tangkapan (ton) Lestari Optimal (DR 15%) 11 341.01 13 825.8 11 728.32 13 825.7 13 317.41 13 822.9 13 420.26 13 825.8 14 259.27 13 825.6 14 635.58 13 825.4 13 955.71 13 825.7 14 262.63 13 825.7 13 385.06 13 825.7 13 594.44 13 825.8 14 024.22 13 825.8 13 343.06 13 825.8 13 538.21 13 825.8 14 466.96 13 825.5 13 304.06 13 825.9 14 066.67 13 825.8 13 751.22 13 825.4 14 230.88 13 825.4 13 793.27 13 825.8 10 355.05 13 825.8 10 460.87 13 825.8 13 301.22 13 825.6 Optimal (DR 5.66%) 13 529.7 13 529.6 13 526.6 13 529.6 13 529.5 13 529.3 13 529.6 13 529.6 13 529.6 13 529.6 13 529.6 13 529.6 13 529.3 13 529.6 13 529.8 13 529.2 13 529.3 13 529.3 13 529.6 13 530.7 13 529.6 13 529.7 Gambar 28 memperlihatkan perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis besar pada kondisi aktual, lestari dan optimal. Pada tahun 1984 sampai dengan 1988 produksi aktual masih berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal, kemudian tahun 1989 sampai dengan 1991 hasil tangkapan aktual telah melewati hasil tangkapan lestari dan optimal, tahun 1992 sampai dengan 1994 produksi aktual kembali berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal, 84 selanjutnya tahun 1995 sampai dengan 2001 terjadi peningkatan hasil tangkapan yang cukup signifikan sehingga hasil tangkapan aktual menjauhi hasil tangkapan lestari dan optimal, dan terakhir tahun 2002 sampai dengan 2004 hasil tangkapan kembali berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal. Secara rata-rata hasil tangkapan aktual ikan pelagis besar masih berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal. Apabila sumberdaya perikanan pelagis besar dikelola secara optimal maka hasil tangkapan harus mengikuti trajektori optimal, yaitu sebesar 13 825.6 ton untuk discount rate 15% dan 13 529.7 ton untuk discount rate 5.66%. Sementara input yang harus digunakan mengikuti trajektori optimal untuk masing-masing discount rate berturut-turut adalah pada tingkat 25 20 15 10 5 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0 19 84 Hasil tangkapan (ribu ton) upaya sebesar 23 611.7 trip dan 22 287.4 trip. Tahun lestari aktual optimal i=5.66% optimal i=15% Gambar 28 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis besar pada kondisi aktual, lestari dan optimal. Tabel 20 memperlihatkan hasil perhitungan optimal untuk pengelolaan ikan pelagis kecil. Dengan discount rate 15% berturut-turut diperoleh rata-rata nilai biomas, hasil tangkapan dan effort yang optimal adalah : 44 203.46 ton, 22 042.37 ton dan 147 531.45 trip. Sedangkan untuk discount rate 5.66% berturutturut diperoleh rata-rata nilai biomas, hasil tangkapan dan effort yang optimal sebesar 46 294.06 ton, 21 650.26 ton dan 138 863.29 trip. 85 Tabel 20 Nilai optimal biomas, hasil tangkapan dan effort pada discount rate 15% dan 5.66% untuk ikan pelagis kecil Tahun Biomas optimal (ton) 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan Discount Rate 15% Hasil Effort tangkapan optimal optimal (trip) 44 203.47 44 203.13 44 204.01 44 203.90 44 202.98 44 204.83 44 203.45 44 203.51 44 204.54 44 207.52 44 204.50 44 203.73 44 204.14 44 205.05 44 203.95 44 203.67 44 203.82 44 190.97 44 203.78 44 203.88 44 203.93 44 203.46 (ton) 22 042.33 22 042.39 22 042.24 22 042.26 22 042.42 22 042.10 22 042.34 22 042.33 22 042.15 22 041.64 22 042.16 22 042.99 22 042.22 22 042.06 22 042.25 22 042.30 22 042.28 22 044.48 22 042.28 22 042.27 22 042.26 22.042.37 147 531.41 147 532.96 147 529.01 147 529.49 147 533.61 147 525.31 147 531.24 147 526.64 147 529.01 147 513.26 147 526.78 147 530.27 147 528.41 147 524.35 147 529.25 147 530.54 147 529.86 147 537.55 147 530.02 147 529.61 147 529.38 147 531.45 Discount Rate 5,66% Hasil Biomas Effort tangkapan optimal optimal optimal (ton) (trip) (ton) 46 294.21 46 293.90 46 294.69 46 294.60 46 293.77 46 295.44 46 294.20 46 294.25 46 295.17 46 297.86 46 295.14 46 294.44 46 294.82 46 295.63 46 294.65 46 291.39 46 294.52 46 282.95 46 294.49 46 293.58 46 294.62 46 294.06 21 650.31 21 650.37 21 650.21 21 650.23 21 650.40 21 650.06 21 650.31 21 650.30 21 650.11 21 649.57 21 649.12 21 650.26 21 650.18 21 650.02 21 650.22 21 650.27 21 650.24 21 652.59 21 650.25 21 650.23 21 650.22 21.650.26 138 363.20 138 364.54 138 361.14 138 362.55 138 365.10 138 357.96 138 363.28 138 363.06 138 359.16 138 347.59 138 359.22 138 362.22 138 360.63 138 357.13 138 361.35 138 362.46 138 361.87 138 411.49 138 362.01 138 361.65 138 361.46 138 363.29 55 45 35 25 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 15 19 84 Biomas dan Hasil tangkapan (ribu ton) 86 Tahun biomas opt. i=15% hsl tgkpn opt. i=15% biomas opt. i=5.66% hsl tgkpn opt. i=5.66% Gambar 29 Biomas dan hasil tangkapan optimal ikan pelagis kecil pada discount rate 15% dan 5.66%. Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal untuk ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 30. Pada Gambar 30 terlihat bahwa pada tahun 1984 sampai dengan 1992 hasil tangkapan aktual masih berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal, kemudian tahun 1993 sampai dengan 2001 terjadi peningkatan hasil tangkapan aktual sehingga melewati hasil tangkapan lestari dan optimal, selanjutnya tahun 2002 terjadi penurunan hasil tangkapan sehingga kembali berada di bawah hasil tangkapan lestari dan optimal, tahun 2003 hasil tangkapan aktual berada di atas hasil tangkapan lestari tetapi hampir sama dengan hasil tangkapan optimal. Terakhir tahun 2004 hasil tangkapan berada di bawah hasil tangkapan optimal dan hampir sama dengan hasil tangkapan lestari. Secara rata-rata hasil tangkapan aktual dari ikan pelagis kecil telah berada di atas hasil tangkapan lestari akan tetapi masih berada di bawah hasil tangkapan yang optimal. Tabel 21 Perbandingan hasil tangkapan aktual, lestari dan optimal untuk Ikan pelagis kecil Tahun Aktual 1984 1985 1986 1987 1988 1989 9 397.10 8 764.90 10 395.80 11 801.10 13 560.20 13 575.30 Hasil tangkapan (ton) Lestari Optimal (DR 15%) 15 067.43 22 042.33 15 142.69 22 042.39 16 995.73 22 042.24 18 495.53 22 042.26 19 944.23 22 042.42 20 233.87 22 042.10 Optimal (DR 5.66%) 21 650.31 21 650.37 21 650.21 21 650.23 21 650.40 21 650.06 87 14 317.13 14 739.40 19 336.00 21 580.20 22 566.10 23 024.00 26 362.30 29 709.11 29 928.50 33 833.50 32 090.50 33 612.00 17 522.80 22 005.80 15 988.60 20 195.73 20 350.67 20 473.67 21 380.40 20 356.11 19 359.12 18 839.55 19 655.59 20 252.02 21 009.47 21 614.13 20 614.13 21 791.81 19 242.75 17 268.10 15 640.08 19 225.11 22 042.34 22 042.33 22 042.15 22 041.64 22 042.16 22 042.99 22 042.22 22 042.06 22 042.25 22 042.30 22 042.28 22 044.48 22 042.28 22 042.27 22 042.26 22.042.37 21 650.31 21 650.30 21 650.11 21 649.57 21 649.12 21 650.26 21 650.18 21 650.02 21 650.22 21 650.27 21 650.24 21 652.59 21 650.25 21 650.23 21 650.22 21.650.26 40 35 30 25 20 15 10 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 5 19 84 Hasil tangkapan (ribu ton) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan Tahun optimal i=15% optimal i=5.66% aktual lestari Gambar 30 Perbandingan hasil tangkapan ikan pelagis kecil pada kondisi aktual, lestari dan optimal. Apabila sumberdaya perikanan pelagis kecil dikelola secara optimal maka hasil tangkapan harus mengikuti trajektori optimal (Gambar 30), yaitu sebesar 22 042.37 ton untuk discount rate 15% dan 21 650.26 ton untuk discount rate 5.66%. Sementara input yang harus digunakan mengikuti trajektori optimal untuk masing-masing discount rate berturut-turut adalah pada tingkat 147 531.45 trip dan 138 863.29 trip. Rente optimal pengelolaan sumberdaya pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 22. Selama periode pengamatan rente optimal pelagis besar baik dengan menggunakan discount rate 15% maupun 5.66% memperlihatkan trend yang 88 meningkat (Gambar 31). Rata-rata nilai rente optimal adalah sebesar Rp 21.38 70 60 50 40 30 20 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 10 0 19 84 Rente (Rp milyar) milyar untuk discount rate 15% dan Rp 21.71 milyar untuk discount rate 5.66%. Tahun Rentopt i=15% Rentopt i=5.66% Gambar 31 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar. Tabel 22 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis besar (Rp juta) Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Discount Rate 15% Discount Rate 5.66% Rente optimal PV Rente Rente optimal PV Rente Optimal Optimal 4 835.28 32 235.21 4 908.55 83 148.81 5 650.36 37 669.05 5 735.98 97 167.18 6 267.36 41 784.34 6 362.19 107 709.16 6 214.83 41 432.18 6 309.02 106 876.11 6 875.71 45.838.05 6 979.90 118 242.02 6 199.73 41 331.51 6 293.64 106 606.93 7 584.77 50 565.15 7 699.72 130 432.95 7 944.42 52 962.78 8 064.81 136.616.24 7 331.77 48 878.44 7 442.93 126 080.86 7 972.58 53 150.53 8 093.38 137 102.23 11 058.55 73 723.70 11 226.14 190 167.65 10 570.99 70 473.28 10 730.71 181 785.29 10 454.13 69 694.17 10 615.85 179 751.90 7 501.51 50 010.04 7 618.08 129 112.44 26 064.94 173 766.24 26 457.96 448 222.92 47 061.85 313 745.65 47 772.04 809 182.36 50 269.38 335 129.23 51 030.49 864 388.26 53 566.43 357 109.54 54 380.49 921 084.67 53 529.85 356 865.63 54 349.27 920 532.16 54 321.44 362 142.92 55 137.65 934 368.23 57 731.96 384 879.75 58 606.82 992 793.07 89 Rente optimal untuk pengelolaan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 23. Sama halnya dengan sumberdaya pelagis besar, rente optimal untuk sumberdaya pelagis kecil sepanjang kurun waktu pengamatan juga memiliki kecendrungan meningkat baik untuk discount rate 15% maupun 5.66% (Gambar 32). Nilai rente optimal rata-rata untuk discount rate 15% adalah sebesar Rp 24.14 milyar dan Rp 24.95 milyar untuk discount rate 5.66%. Nilai rente optimal yang cukup besar ini baik untuk sumberdaya pelagis besar maupun pelagis kecil seharusnya dapat diterima oleh pemerintah selaku pengelola sumberdaya tentunya akan memberikan manfaat bagi pembangunan perikanan, karena rente tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarna perikanan maupun untuk dikembalikan untuk pemulihan/perbaikan sumberdaya perikanan. Tabel 23 Rente optimal sumberdaya ikan pelagis kecil (Rp juta) Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Discount Rate 15% Discount Rate 5.66% Rente optimal PV Rente Rente optimal PV Rente Optimal Optimal 5 459.63 36 397.51 5 643.22 99 703.61 6 380.01 42 533.42 6 594.57 116 511.88 7 076.08 47 173.86 7 314.01 129 222.71 7 017.52 46 783.47 7 253.43 128 152.44 7 763.76 51 758.38 8 024.86 141 781.94 7 000.42 46 669.48 7 235.77 127 840.40 8 564.27 57 095.16 8 852.27 156 400.48 8 970.33 59 802.21 9 271.98 163 815.84 8 278.73 55 191.52 8 557.06 151 184.75 9 002.83 60 018.85 9 305.33 164 405.10 12 486.80 83.245.34 12 905.39 228 010.42 11 936.98 79 579.86 12 337.52 217 977.43 11 803.49 78 689.93 12 200.35 215 553.91 8 474.46 56 496.38 8 759.35 154 758.78 29 430.71 196 204.76 30 420.30 537 461.20 53 135.30 354 235.31 54 922.02 970 353.80 56 760.31 378 402.05 58 668.83 1 036 551.75 60 468.73 403 402.05 62 507.15 1 104 366.61 60 442.90 402 952.67 62 475.32 1 103 804.19 61 340.10 408 933.98 63 402.59 1 120 187.16 65 187.87 434 585.79 67 379.72 1 190 454.41 04 20 20 02 00 20 98 19 96 19 94 19 92 19 88 90 19 19 19 19 86 80 70 60 50 40 30 20 10 0 84 Rente optimal (Rp milyar) 90 Tahun Rent optimal i=15% Rent optimal i=5.66% Gambar 32 Rente optimal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil 5.6. Degradasi Sumberdaya Ikan Laju degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 33. Laju degradasi sumberdaya ikan pada awal-awal periode pengamatan masih rendah akan tetapi dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya ikan maka laju degradasi juga semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 34, 35, 36 dan 37. Laju degradasi memiliki pola yang hampir sama dengan produksi dan effort, laju degradasi akan meningkat apabila hasil tangkapan dan effort meningkat begitu juga sebaliknya laju degradasi akan menurun apabila hasil tangkapan dan effort menurun. Tabel 24 Perkembangan tingkat degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Pelagis kecil 0.14 0.17 0.16 0.15 0.17 0.16 0.18 0.17 0.22 0.19 0.27 0.18 0.29 0.19 0.28 0.20 91 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rataan 0.25 0.20 0.25 0.27 0.28 0.30 0.32 0.33 0.32 0.32 0.21 0.23 0.25 0.25 0.25 0.28 0.30 0.31 0.32 0.34 0.33 0.35 0.35 0.34 0.25 0.31 0.27 0.26 Koefisien degradasi 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 0.00 Tahun pelagis besar pelagis kecil Gambar 33 Perkembangan nilai koefisien degradasi sumberdaya ikan pelagis besar dan pelagis kecil. 20 15 10 5 0 Hasil tangkapan (ribu ton) 25 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 19 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 20 99 20 00 20 01 20 02 20 03 04 Koefisien Degradasi 92 Tahun Koefisien Degradasi hasil tangkapan aktual 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Hasil tangkapan (ribu ton) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 19 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 20 99 20 00 20 01 20 02 20 03 04 Koefisien degradasi Gambar 34 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis besar. Tahun Koef degradasi Hasil tangkapan aktual Gambar 35 Perbandingan laju degradasi dengan hasil tangkapan aktual ikan pelagis kecil. 30 25 20 15 10 Effort (ribu trip) 35 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 5 0 19 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 20 99 20 00 20 01 20 02 20 03 04 Koefisien Degradasi 93 Tahun Koefisien Degradasi Effort 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Effort (ribu trip) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 19 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 20 99 20 00 20 01 20 02 20 03 04 Koefisien degradasi Gambar 36 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis besar. Tahun Koef degradasi Effort Gambar 37 Perbandingan laju degradasi dengan effort ikan pelagis kecil. 5.7. Depresiasi Sumberdaya Ikan Hasil perhitungan depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 25. Dari 21 tahun pengamatan, depresiasi terjadi dalam kurun waktu 7 tahun yaitu pada tahun 1987, 1989, 1992, 1995, 1996, 1997 dan 2003 dengan nilai berkisar antara Rp 451.83 juta sampai Rp 24.32 milyar atau 94 diperkirakan sebesar 56.95 milyar untuk market discount rate 15% dan antara 1.20 milyar sampai 64.47 milyar atau sebesar 150.94 milyar untuk perhitungan menggunakan real discount rate sebesar 5.66%. Rata-rata present value untuk kedua tingkat suku bunga berturut-turut adalah 142.22 milyar dan 376.91 milyar. Depresiasi terendah terjadi tahun 1987 dan tertinggi terjadi pada tahun 1997 (Gambar 38). Bila dilihat nilai depresiasi di atas merupakan kehilangan yang cukup besar dan cukup signifikan untuk mengurangi rente sumberdaya. Perhitungan present value dan depresiasi menggunakan discount rate dari kulla yang lebih konservatif memberikan nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan market discount rate. Perbandingan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar sesuai dengan perkembangan effort seperti pada Gambar 39 dan 40. Tabel 25 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rente Lestari (Rp juta) 4 843.42 5 750.84 6 520.28 6 452.51 6 773.29 5 710.43 7 687.45 7 822.67 7 618.21 8 234.50 11 150.03 10 971.47 10 817.48 7 169.80 27 125.29 47 281.02 51 575.01 52 943.10 54 802.92 51 575.04 55 172.45 PV Rente Lestari 15% (Rp juta) ΔPV Rente Lestari 15% (Rp juta) PV Rente Lestari 5,56% (Rp juta) ΔPV Rente Lestari 5,56% (Rp juta) 32 289.44 38 338.91 43 468.55 43 016.72 45 155.30 38 069.51 51 249.67 52 151.15 50 788.07 54 896.69 74 333.53 73 143.11 72 116.50 47 798.70 180 835.28 315 206.80 343 833.42 352 953.99 365 352.80 343 833.60 367 816.35 32 289.44 6 049.47 5 129.64 -451.83 2 138.57 -7 085.78 13 180.16 901.48 -1 363.08 4 108.62 19 436.84 -1 190 42 -1 026.61 -24 317.81 133 036.58 134 371.52 28 626.62 9 120.58 12 398.80 -21 519.20 23 982.75 85 572.73 101 604.89 115 199.35 114 001.92 119 669.51 100 890.93 135 820.69 138 209.76 134 597.36 145 485.92 196 996.98 193 842.17 191 121.48 126 674.99 479 245.44 835 353.71 911 219.32 935 390.46 968 249.46 911 219.79 974 778.31 85 572.73 16 032.16 13 594.46 -1 197.43 5 667.59 -18 778.58 34 929.75 2 389.07 -3 612.40 10 888.56 51 511.06 -3 154.81 -2 720.69 -64 446.48 352 570.45 356 108.28 75 865.60 24 171.14 32 859.01 -57 029.67 63 558.52 95 400 300 250 200 150 100 50 2004 2002 2000 1998 1996 1994 1992 1990 -100 1988 -50 1986 0 1984 Depresiasi (Rp milyar) 350 Tahun Depresiasi i=15% Depresiasi i=5.66% 35 30 25 20 15 10 Effort (ribu trip) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 -20 -40 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Depresiasi (Rp milyar) Gambar 38 Perkembangan nilai depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 15% dan 5.66%. 5 0 Tahun Depresiasi i=15% effort Gambar 39 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 15%. 96 35 25 200 20 100 15 10 0 -100 Effort (ribu trip) 30 300 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Depresiasi (Rp milyar) 400 5 0 Tahun Depresiasi i=5.66% effort Gambar 40 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis besar pada discount rate 5.66% Tabel 26 dan Gambar 41 memperlihatkan perkembangan perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil, dimana dari 21 tahun pengamatan, depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil terjadi selama kurun waktu 6 tahun yaitu pada tahun 1989, 1992, 1995, 1996, 1997 dan tahun 2003, dengan nilai berkisar antara 265.02 juta sampai 24.05 milyar atau diperkirakan sebesar 52.63 milyar untuk market discount rate 15% dan antara 702.34 juta sampai 63.73 milyar atau sebesar 139.49 milyar untuk discount rate 5.66%. Rata-rata present value untuk kedua discount rate berturut-turut adalah: 167.89 milyar dan 444.88 milyar. Berdasarkan hasil tersebut, dengan menggunakan discount rate yang lebih rendah menghasilkan rata-rata present value dan nilai depresiasi yang lebih tinggi. Perbandingan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar sesuai dengan perkembangan effort seperti pada Gambar 42 dan 43. Tabel 26 Perubahan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil Tahun 1984 1985 1986 1987 Rente Lestari (Rp juta) 5 172.01 6 065.40 7 246.29 7 478.47 PV Rente Lestari 15% (Rp juta) ΔPV Rente Lestari 15% (Rp juta) PV Rente Lestari 5.66% (Rp juta) ΔPV Rente Lestari 5.66% (Rp juta) 34 480.06 40 436.03 48 308.61 49 856.45 34 480.06 5 955.97 7 872.58 1 547.83 91 378.25 107 162.63 128 026.36 132 128.40 91 378.25 15 784.38 20 863.73 4 102.03 97 8 394.05 7 559 14 9 238.63 9 662.63 8 691.75 9 710.45 13 470.36 12 796.43 12 755.68 9 149.53 31 344.51 55 073.12 61 012.31 61 914.08 65 134.31 63 365.98 63 545.81 55 960.33 50 394.24 61 590.87 64 418.87 57 945.01 64 736.35 89 802.38 85 309.53 85 044.51 60 996.84 208 963.42 367 154.12 406 748.76 412 760.53 434 228.73 422 439.89 423 638.76 6 103.88 -5 566.09 11 196.63 2 828.01 -6 473.86 6 791.33 25 066.03 -4 492.85 -265.02 -24 047.67 147 966.57 158 190.71 39 594.64 6 011.77 21 468.20 -11 788.84 1 198.87 148 304.75 133 553.64 163 226.68 170 721.39 153 564.52 171 562.75 237 992.18 226 085.33 225.382.99 161 652.41 553 789.97 973 023.30 1 077 956.08 1 093 888.33 1 150 782.86 1 119 540.35 1 122 717.57 16 176.35 -14 751.11 29 673.05 7 494.71 -17 156.87 17 998.23 66 429.42 -11 906.84 -702 35 -63 730.57 392 137.55 419 233.33 104 932.78 15 932.25 56 894.53 -31 242.51 3 177.23 500 400 300 200 100 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 -100 19 86 0 19 84 Nilai Depresiasi (Rp milyar) 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Tahun Depresiasi i=15% Depresiasi i=5.66% Gambar 41 Perkembangan nilai depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 15% dan 5.66%. 98 160 120 100 100 80 50 60 40 0 -50 Effort (ribu trip) 140 150 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Depresiasi (Rp milyar) 200 20 0 Tahun Depresiasi i=15% effort Gambar 42 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 15% 160 120 300 100 200 80 60 100 40 0 -100 Effort (ribu trip) 140 400 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Depresiasi (Rp milyar) 500 20 0 Tahun Depresiasi i=5.66% effort Gambar 43 Perkembangan nilai depresiasi dan effort sumberdaya ikan pelagis kecil pada discount rate 5.66%. 5.8 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan yang berbeda akan menghasilkan produksi, effort, biomas dan rente ekonomi yang berbeda pula. Hal ini dapat dilihat dari hasil perbandingan rezim pengelolaan pada kondisi maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY), dan open access (OA) menggunakan fungsi produksi Gompertz. Hasil perbandingan ke tiga rezim ini untuk biomas, produksi, effort dan rente ekonomi sumberdaya ikan 99 pelagis besar dapat dilihat pada Gambar 44 dan 45. Biomas tertinggi terdapat pada kondisi MEY yaitu sebesar 26 599.61 ton, kemudian pada kondisi MSY sebesar 16 929.23 ton dan terendah pada kondisi OA sebesar 12 019.17 ton. Untuk produksi tertinggi terdapat pada kondisi MSY sebesar 15 044.16 ton, kemudian pada kondisi OA sebesar 14 339.43 ton dan terendah pada kondisi MEY sebesar 12 956.61 ton, sedangkan untuk effort tertinggi terdapat pada kondisi OA sebesar 49 279.09 trip, selanjutnya pada kondisi MSY sebesar 36 705.90 trip dan terendah pada kondisi MEY sebanyak 20 120.15 trip. Untuk rente ekonomi tertinggi terdapat pada kondisi MEY sebesar Rp. 60.26 milyar, kemudian pada kondisi MSY sebesar Rp 37.02 milyar dan pada kondisi OA tidak diperoleh rente ekonomi (0). 30000 Biomas (ton) 25000 20000 15000 10000 5000 0 MEY MSY Open acces Rezim pengelolaan Gambar 44 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis besar. 60000 70000 50000 60000 40000 50000 30000 40000 30000 20000 20000 10000 10000 0 0 MEY MSY Open acces aktual (2004) rente ekonomi (Rp Juta) Hasil tangkapan (ton), effort (trip) 100 rata-rata Rezim Pengelolaan Pelagis Besar hasil tangkapan effort rente ekonomi Gambar 45 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis besar. Bila dibandingkan dengan kondisi aktual tahun 2004, untuk hasil tangkapan dan effort berada di bawah rezim MEY dan MSY sedangkan untuk rente ekonomi lebih tinggi dibandingkan rezim MSY tetapi di bawah MEY, sedangkan untuk rata-rata sepanjang tahun pengamatan, hasil tangkapan berada di bawah ke tiga rezim, untuk effort berada antara MEY dan MSY dengan rente ekonomi yang lebih rendah dari ke dua rezim tersebut. Untuk lebih jelasnya perbandingan antara ke tiga rezim dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis besar dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis besar Effort (trip) Nilai Rente (Rp milyar) MSY Hasil tangkapan (ton) 15 044.16 36 705.90 37.02 MEY 12 956.91 20 120.15 60.26 Open Access 14 339.43 49 279.09 0 Aktual (2004) 9 702.50 13 603.42 48.74 Rata-rata 12 827.37 22 216.93 24.13 Rezim Pengelolaan 101 Selanjutnya perbandingan rezim pengelolaan pada kondisi maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY), dan open acces (OA) untuk biomas, produksi, effort dan rente ekonomi sumberdaya ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Gambar 46 dan 47. Biomas tertinggi terdapat pada kondisi MEY yaitu sebesar 53 360.06 ton, kemudian pada kondisi MSY sebesar 34 207.87 ton dan terendah pada kondisi OA sebesar 23 724.24 ton. Untuk produksi tertinggi terdapat pada kondisi MSY sebesar 22 938.09 ton, kemudian pada kondisi OA sebesar 21 730.06 ton dan terendah pada kondisi MEY sebesar 19 872.30 ton, sedangkan untuk effort tertinggi terdapat pada kondisi OA sebanyak 270 989.17 trip, selanjutnya pada kondisi MSY sebanyak 198 387.57 trip dan terendah pada kondisi MEY sebanyak 110 183.12 trip. Untuk rente ekonomi tertinggi terdapat pada kondisi MEY sebesar Rp. 70.47 milyar, kemudian pada kondisi MSY sebesar Rp 44.89 milyar dan pada kondisi OA tidak diperoleh rente ekonomi (0). 60000 Biomas (ton) 50000 40000 30000 20000 10000 0 MEY MSY Open acces Rezim pengelolaan Gambar 46 Rezim pengelolaan biomas ikan pelagis kecil. Hasil tangkapan (ton), effort (trip) 300000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 250000 200000 150000 100000 50000 0 MEY MSY Open acces aktual (2004) rente ekonomi (Rp juta) 102 rata-rata Rezim pengelolaan pelagis kecil hasil tangkapan effort rente ekonomi Gambar 47 Rezim pengelolaan hasil tangkapan, effort dan rente ekonomi ikan pelagis kecil Bila dibandingkan dengan kondisi aktual tahun 2004, untuk tingkat hasil tangkapan dan effort berada di bawah ketiga rezim, untuk rente ekonomi berada antara MSY dan MEY, selanjutnya untuk rata-rata sepanjang tahun pengamatan, hasil tangkapan dan effort berada di antara rezim MEY dan MSY dengan rente ekonomi yang lebih rendah dari ke dua rezim tersebut. Untuk lebih jelasnya perbandingan antara ke tiga rezim dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Perbandingan rezim pengelolaan MSY, MEY dan open access dengan kondisi aktual dan rata-rata ikan pelagis kecil Rezim Pengelolaan MSY Hasil tangkapan (ton) 22 938.09 Effort (trip) 198 387.57 Nilai Rente (Rp milyar) 44.89 MEY 19 872.30 110 183.12 70.47 Open Access 21 730.06 270 989.17 0 Aktual (2004) 15 988.6 71 682.64 65.60 Rata-rata 20 195.73 106 177.72 36.21 103 Berdasarkan hasil perbandingan ketiga rezim pengelolaan di atas, untuk mencapai pengelolaan yang optimal, maka rezim yang paling tepat digunakan adalah rezim maximum economic yield (MEY) dimana dengan effort yang rendah, produksi yang lebih rendah dibandingkan MSY diperoleh rente ekonomi yang tertinggi. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Millon et al. 1995, bahwa rezim MEY lebih konservatif dibandingkan rezim MSY dan Open access. 5.9. Aspek Kesejahteraan Produsen Dengan menggunakan parameter biofisik dan ekonomi yang ada, sesuai dengan metode yang diuraikan sebelumnya maka diperoleh surplus produsen untuk setiap tahunnya baik untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar maupun pelagis kecil, seperti pada Tabel 29. Surplus yang seharusnya dapat diterima nelayan setiap tahunnya untuk pemanfaatan sumberdaya pelagis besar berkisar antara Rp 32.72 milyar sampai dengan Rp 396.55 milyar atau rata-rata sebesar Rp 144.92 milyar, sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis kecil berkisar antara Rp 38.43 milyar sampai dengan Rp 458.85 milyar atau rata-rata sebesar Rp 170.16 milyar. Surplus produsen untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil memiliki kecenderungan mengalami peningkatan setiap tahunnya, akan tetapi terjadinya peningkatan yang cukup besar antara tahun 1997 dengan tahun 1998 disebabkan karena terjadinya krisis moneter yang menyebabkan turunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika (Gambar 48). Tabel 29 Nilai Surplus Produsen untuk sumberdaya ikan pelagis besar dan pelagis kecil Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 Surplus Produsen (Rp juta) Pelagis Besar Pelagis Kecil 32 716.65 38 430.09 38 223.84 44 909.00 42 392.17 49 807.33 42 040.10 49 394.42 46 511.74 54 646.63 41 937.35 49 271.68 51 307.57 60 280.10 53 739.91 63 156.07 49 596.67 58 258.08 104 53 946.21 74 804.67 71 509.18 70 711.89 50 767.81 176 314.60 318 323.40 340 039.76 362 340.06 362 102.19 367 496.98 396 548.77 144 922.45 63 366.63 87 888.70 84 014.11 83 079.82 59 646.73 207 207.99 373 991.36 399 508.99 425 835.64 429 926.55 431 861.96 458 849.45 170 158.63 500000 400000 300000 200000 100000 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0 19 84 Surplus produsen (Rp juta) 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Tahun pelagis besar pelagis kecil Gambar 48 Perkembangan Surplus Produsen untuk pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil. Surplus produsen merupakan surplus yang diterima oleh produsen yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang digunakan dalam kegiatan perikanan. Surplus produsen juga menggambarkan tingkat kesejahteraan nelayan dengan adanya pemanfaatan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan. Dengan kecenderungan terjadinya peningkatan surplus produsen setiap tahunnya hal ini juga menggambarkan terjadinya peningkatan kesejahteraan nelayan dari tahun ke tahun. Akan tetapi bila dilihat kenyataan di lapangan tingkat kesejahteraan nelayan masih memprihatinkan dan tidak terjadi perbaikan yang signifikan setiap tahunnya. Hal ini karena surplus produsen itu sendiri baru akan diperoleh oleh produsen apabila pengelolaan sumberdaya 105 dilakukan secara optimal. Hal ini juga dapat dilihat dari perbandingan antara surplus produsen dengan rente aktual/penerimaan bersih yang diterima oleh produsen, dimana rente aktual jauh lebih kecil dibandingkan dengan surplus produsen (Gambar 49 dan 50). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai rata-rata surplus produsen dengan penerimaan riil yang diperoleh produsen saat ini dimana nilai surplus produsen lebih besar karena untuk pelagis besar rata-rata penerimaan bersih adalah sebesar Rp 24.13 milyar sedangkan untuk ikan 500000 500000 400000 400000 300000 300000 R p ju ta R p ju t a pelagis kecil penerimaan sebesar Rp 36.21 milyar. 200000 100000 200000 100000 0 Tahun surplus produsen 02 00 98 04 20 20 20 96 19 19 92 94 19 19 90 88 19 19 84 86 19 19 02 00 98 96 94 92 90 88 04 20 20 20 19 19 19 19 19 19 84 19 19 86 0 Tahun rente aktual Gambar 49 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis besar. surplus produsen rente aktual Gambar 50 Perbandingan surplus produsen dan rente aktual pelagis kecil. 5.10 Kapasitas Perikanan Tangkap 5.10.1 Efisiensi perikanan tangkap Pengukuran efisiensi perikanan tangkap dilakukan dengan menggunakan data sekunder (time series) dan data primer. Hasil analisis unit fisik menggunakan software GAMS dan DEA Solver untuk sumberdaya ikan pelagis besar disajikan pada Tabel 30 dan Gambar 51. Analisis dilakukan dengan menggunakan time reference terdiri dari tiga saat pengamatan yaitu di awal tahun pengamatan (1984), periode pertengahan tahun (1994) dan akhir periode pengamatan (2004). Dalam analisis ini sebagai output adalah produksi aktual dan lestari sedangkan sebagai input adalah effort per tahun. Tabel 29 memperlihatkan, dengan time reference awal tahun pengamatan (1984), efisiensi tertinggi terjadi awal dan akhir periode pengamatan (1984, 2003 dan 2004) dan terendah terjadi pada tahun 1989. Pada periode setelah 1984 terjadi penurunan efisiensi hal ini disebabkan terjadinya peningkatan input. Selanjutnya pada tahun 2003 terjadi kembali peningkatan efisiensi hal ini disebabkan oleh 106 terjadinya penurunan input dan yang diikuti juga dengan penurunan produksi akan tetapi dengan catch per unit effort (CPUE) yang lebih tinggi. Tabel 30 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis besar Tahun 1984 0.94 0.89 0.80 0.79 0.71 0.66 0.75 0.71 0.75 0.72 0.70 0.80 0.79 0.69 0.81 0.74 0.77 0.72 0.76 1.00 1.00 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1994 0.72 0.73 0.66 0.67 0.65 0.69 0.82 0.76 0.74 0.66 0.72 0.84 0.86 0.79 1.00 0.97 0.96 0.88 0.68 0.96 1.00 Skor DEA 2004 Min 0.92 0.73 0.88 0.73 0.79 0.66 0.78 0.67 0.71 0.65 0.67 0.66 0.76 0.75 0.72 0.71 0.76 0.74 0.72 0.66 0.71 0.70 0.80 0.80 0.80 0.79 0.70 0.69 0.83 0.81 0.76 0.74 0.79 0.77 0.74 0.72 0.76 0.68 1.00 0.96 1.00 1.00 Max 0.94 0.89 0.80 0.79 0.71 0.69 0.82 0.77 0.76 0.72 0.72 0.84 0.86 0.79 1.00 1.00 1.00 0.88 0.76 1.00 1.00 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0.50 19 84 Skor Efisiensi DMU 1.10 Tahun Gambar 51 Trajektori Skor Efisiensi DEA ikan Pelagis Besar Avg 0.86 0.83 0.75 0.75 0.69 0.67 0.78 0.73 0.75 0.70 0.71 0.81 0.82 0.72 0.88 0.82 0.84 0.78 0.73 1.00 1.00 107 Untuk mencapai tingkat efisiensi perlu dilakukan upaya perbaikan efisiensi. Potensi perbaikan efisiensi penangkapan pelagis besar ini adalah dengan menurunkan effort dan meningkatkan produksi aktual (Lampiran 19). Sepanjang periode pengamatan potensi perbaikan effort berkisar antara 0% sampai dengan 31.42%. Dengan perbaikan effort ini akan dapat meningkatkan produksi aktual berkisar antara 0% sampai dengan 55.64%. Hasil penilaian efisiensi untuk sumberdaya pelagis kecil disajikan pada Tabel 31 dan Gambar 52. Efisiensi yang tinggi terjadi pada awal periode pengamatan (1984,1985,1986) kemudian berfluktuasi naik turun sampai terjadi efisiensi terendah pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2003 dan 2004 terjadi lagi peningkatan efisiensi yang disebabkan terjadinya penurunan input yang diikuti juga dengan penurunan produksi akan tetapi dengan catch per unit effort (CPUE) yang lebih tinggi. Skor Efisiensi DMU 1.10 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 0.50 Tahun Gambar 52 Trajektori skor efisiensi DEA ikan pelagis kecil Tabel 31 Skor efisiensi unit fisik DEA untuk ikan pelagis kecil Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1984 1.00 1.00 0.93 0.87 0.81 0.79 0.78 0.78 0.73 0.80 0.86 0.88 0.85 0.82 1994 0.92 0.91 0.86 0.81 0.75 0.74 0.74 0.73 0.71 0.81 0.88 0.92 0.90 0.89 Skor DEA 2004 Min 0.92 0.92 0.91 0.91 0.86 0.86 0.81 0.81 0.75 0.75 0.74 0.74 0.74 0.74 0.73 0.73 0.71 0.71 0.81 0.80 0.88 0.86 0.92 0.88 0.90 0.85 0.89 0.82 Max 1.00 1.00 0.93 0.87 0.81 0.79 0.78 0.78 0.73 0.81 0.88 0.92 0.90 0.89 Avg 0.95 0.94 0.88 0.83 0.77 0.75 0.75 0.75 0.72 0.80 0.87 0.91 0.88 0.87 108 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 0.78 0.74 0.81 0.72 0.85 0.95 1.00 0.84 0.81 0.89 0.79 0.83 1.00 1.00 0.84 0.81 0.89 0.79 0.83 1.00 1.00 0.78 0.74 0.81 0.72 0.83 0.95 1.00 0.84 0.81 0.89 0.79 0.85 1.00 1.00 0.82 0.79 0.86 0.77 0.84 0.99 1.00 Untuk mencapai tingkat efisiensi perlu dilakukan upaya perbaikan efisiensi. Potensi perbaikan efisiensi penangkapan pelagis kecil ini adalah dengan menurunkan effort (Lampiran 8). Sepanjang periode pengamatan potensi perbaikan effort berkisar antara 0% sampai dengan 27.04%. Dengan perbaikan effort ini akan dapat meningkatkan produksi aktual berkisar antara 0% sampai dengan 7.75%. Bila dibandingkan potensi perbaikan antara ikan pelagis besar dan pelagis kecil, ternyata prosentase potensi perbaikan lebih besar untuk ikan pelagis besar. Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi relatif pelagis besar dapat diketahui bagaimana kondisi kapasitas penangkapan ikan pelagis besar yaitu dengan cara mengalikan antara effort aktual atau kapasitas input yang digunakan dengan efisiensi relatif sehingga diperoleh kapasitas yang optimal. Dari awal pengamatan telah terjadi inefisiensi input sehingga terjadi kelebihan kapasitas tangkap untuk menghasilkan output yang sama, selanjutnya pada akhir tahun pengamatan (2004) terjadi peningkatan efisiensi sehingga kapasitas tangkap aktual/kapasitas yang digunakan sama dengan kapasitas tangkap yang optimal (Gambar 53). 109 35000 Effort (trip) 30000 25000 20000 15000 10000 5000 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 19 84 0 tahun E rata Effort akt Eff effort EE rata Gambar 53 Perbandingan kapasitas pelagis besar pada kondisi aktual dan optimal. Untuk perikanan pelagis kecil telah terjadi kelebihan kapasitas perikanan tangkap sejak awal periode pengamatan, karena seharusnya dengan input yang lebih rendah akan dapat dihasilkan output yang sama, kapasitas yang sesuai dengan kapasitas yang lestari baru terjadi pada akhir tahun pengamatan (2004) dimana dengan nilai efisiensi relatif sama dengan 1 maka output yang dihasilkan 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 19 84 Effort (trip) sebanding dengan input yang digunakan (Gambar 54). Tahun Effort Eff effort E rata EE rata Gambar 54 Perbandingan kapasitas pelagis kecil pada kondisi aktual dan optimal. Kelebihan kapasitas input setiap tahunnya untuk penangkapan ikan pelagis sangat ditentukan oleh skor efisiensinya apabila efisiensi tinggi berarti kelebihan 110 input berkurang atau lebih sedikit (Gambar 55 dan 56). Kelebihan input ini setiap tahunnya apabila dikonversikan ke dalam unit moneter untuk pelagis besar rata-rata mencapai 3.52 milyar per tahun sedangkan untuk pelagis kecil 1.20 8000 1.00 0.80 6000 0.60 4000 0.40 2000 0.20 0 0.00 Skor Efisiensi 10000 19 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 20 99 20 00 20 01 20 02 20 03 04 Kapasitas input (trip) rata-rata sebesar Rp 3.29 milyar (Tabel 32). Tahun kelebihan kapasitas efisiensi 40000 1.20 35000 1.00 30000 0.80 25000 20000 0.60 15000 0.40 10000 Skor Efisiensi Kapasitas input (trip) Gambar 55 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input untuk penangkapan ikan pelagis besar. 0.20 5000 0.00 19 8 19 4 1985 8 19 6 87 19 1988 8 19 9 9 19 0 1991 9 19 2 93 19 1994 9 19 5 9 19 6 9 19 7 9 19 8 9 20 9 0 20 0 0 20 1 0 20 2 2003 04 0 Tahun kelebihan kap efisiensi Gambar 56 Hubungan efisiensi dengan kelebihan kapasitas input untuk penangkapan ikan pelagis kecil Perhitungan opportunity cost pada Tabel 32, dihitung dari biaya riil yang digunakan setiap kali operasi penangkapan ikan (biaya per trip). Bila kelebihan 111 kapasitas input dikonversikan kepada jumlah unit kapal, maka untuk penangkapan ikan pelagis besar yang menggunakan kapal motor tonda kelebihan kapasitas input rata-rata sebesar 4 935.74 trip setara dengan 188 unit kapal motor tonda, bila untuk investasi kapal tonda diperlukan dana sebesar Rp 75 000 000,- maka akan diperoleh opportunity cost yang dapat diinvestasikan kepada alat tangkap lain yang lebih efisien sebesar Rp 14,1 milyar, demikian juga untuk penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan kapal motor bagan, dengan kelebihan kapasitas sebesar 17 869.58 setara dengan 196 unit kapal bagan, bila untuk investasi kapal bagan diperlukan dana sebesar Rp 110 000 000,-maka akan menghasilkan nilai investasi sebesar Rp 21.56 milyar. Bila dibandingkan dengan kontribusi sub sektor perikanan terhadap PDRB pada tahun 2004 dengan harga konstan (2000) mencapai 5.57%. Tabel 32 Opportunity cost dari kelebihan kapasitas input Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Kelebihan Nilai (Rp juta) kapasitas pelagis besar (trip) 2 177.25 450.24 2 806.14 678.12 5 359.32 1 436.39 5 460.69 1 451.45 8 050.34 2 367.36 9 490.22 2 516.30 5 337.27 1 731.34 7 017.25 2 384.23 5 425.56 1 701.27 6 770.15 2 308.44 7 139.62 3 376.69 4 160.68 1 881.05 4 019.00 1 796.78 7 665.87 2 460.56 2 556.38 2 860.82 4 472.53 9 001.35 3 772.61 8 003.18 5 674.70 13 000.11 6 334.88 14 502.88 0 0 0 0 4 935.74 3 519.46 Kelebihan Nilai (Rp juta) kapasitas pelagis kecil (trip) 3 363.74 144.25 4 067.10 203.85 9 785.72 543.98 16 141.18 889.86 25 539.12 1 557.71 28 705.25 1 578.62 29 104.15 1 958.17 29 536.65 2 081.49 37 219.09 2 420.61 23 298.49 1 647.70 13 526.28 1 326.86 8 958.21 830.64 12 899.12 1 196.11 14 958.59 995.85 22 747.54 5 259.39 28 886.27 12 058.05 16 826.35 7 503.01 32 520.95 15 452.49 16 439.33 7 806.05 838.02 403.83 0 0 17 869.58 3 292.93 Apabila nilai kelebihan kapasitas perikanan setiap tahunnya dibandingkan dengan rata-rata nilai kelebihan baik untuk ikan pelagis besar maupun untuk ikan 112 pelagis kecil (Gambar 57 dan 58) terlihat bahwa pada awal-awal periode pengamatan nilainya masih di bawah rata-rata akan tetapi setelah tahun 1998 nilai kelebihan ini sudah di atas rata-rata yang menunjukkan bahwa telah tejadi overkapasitas dan baru terjadi perbaikan kembali pada akhir periode 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 84 nilai kelebihan kapasitas (Rp juta) pengamatan. Tahun trajektori per tahun rata-rata Tahun trajektori per tahun rata-rata Gambar 58 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis kecil 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 19 84 Nilai kelebihan kapasitas (Rp juta) Gambar 57 Nilai kelebihan kapasitas sepanjang periode pengamatan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelebihan kapasitas untuk ikan pelagis besar 113 Selanjutnya penilaian efisiensi juga dilakukan untuk unit moneter. Referensi output yang digunakan adalah rente lestari sedangkan referensi untuk input adalah cost per unit effort (biaya per trip). Trajektori efisiensi unit moneter untuk ikan pelagis besar dan pelagis kecil dapat dilihat pada Gambar 59 dan 60. Hasil analisis efisiensi moneter menunjukkan bahwa untuk ikan pelagis besar efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 1999 dan 2004 dan efisiensi terendah terjadi tahun 1984 dan 1986. Sedangkan untuk ikan pelagis kecil efisiensi tertinggi terjadi pada tahun 2000, 2003 dan 2004 dan terendah pada tahun 1988 dan 1989. Bila dibandingkan dengan efisiensi fisik, rata-rata efisiensi fisik lebih tinggi dibandingkan dengan efisiensi moneter, hal ini kemungkinan disebabkan karena referensi input dan output yang digunakan berbeda dan biaya operasional yang digunakan terlalu tinggi. Dari potensi perbaikan efisiensi yang dapat dilihat pada lampiran 10 dan 11, untuk mencapai efisiensi ikan pelagis besar harus menurunkan biaya per trip yang berkisar antara 0 – 51.64% atau rata-rata sebesar 27.27%, sedangkan untuk ikan pelagis kecil biaya per unit effort yang 1.10 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0.40 0.30 0.20 19 84 Skor Efisiensi harus diturunkan berkisar antara 0 – 55.72% atau rata-rata sebesar 28.43%. Tahun Gambar 59 Trajektori efisiensi DMU moneter ikan pelagis besar 1.10 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 20 04 20 02 20 00 19 98 19 96 19 94 19 92 19 90 19 88 19 86 0.40 0.30 0.20 19 84 Skor Efisiensi DEA_CBA 114 Tahun Gambar 60 Trajektori efisiensi DMU moneter ikan pelagis kecil. 5.10.2 Efisiensi alat tangkap 5.10.2.1 Pukat cincin Pengukuran efisiensi dan kapasitas kapal dilakukan dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Efisiensi teknis input dan output menggunakan data fisik dan produksi kapal pukat cincin dengan menggunakan data primer yang dikumpulkan pertengahan tahun 2004 selama 6 bulan dengan hasil seperti pada Tabel 33. Dari 13 kapal pukat cincin yang ada yang memiliki efisiensi teknik = 1.00 yang berarti bahwa input yang digunakan sudah efisien sebanyak 5 kapal (38%), efisiensi di atas 0.90 sebanyak 5 kapal (38%) dan di bawah 0.90 sebanyak 3 kapal (24%). Menurut Fare et al. (2000) apabila efisiensi input kecil dari 1 berarti input yang digunakan tidak efisien dan dapat dikurangi sebesar 1 dikurangi nilai efisiensi input, seperti untuk kapal yang pertama efisiensi input = 0.98 berarti input dapat dikurangi sebesar 2% untuk menghasilkan output yang sama. Secara keseluruhan dari hasil efisiensi teknis input kapal pukat cincin tingkat efisiensinya cukup tinggi karena ke 13 kapal mempunyai efisiensi di atas 80% atau efisiensi teknis rata-rata adalah 95% (Gambar 61). Kapal-kapal yang memiliki efisiensi di bawah 1 dapat meningkatkan efisiensinya dengan memperbaiki variabel input dan output yang ada (Gambar 62). 115 Tabel 33 Efisiensi teknis pendekatan input kapal pukat cincin Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Output (kg) Produksi Produksi pelagis pelagis kecil besar 11 612.9 20 633.7 16 639.9 18 430.2 8 551.5 8 646.9 9 375.0 20 376.4 19 374.0 17 935.2 11 623.2 12 119.7 17 416.4 27 950.6 19 642.9 12 448.9 18 318.2 32 948.9 35 036.2 22 847.0 17 657.8 12 056.3 13 088.2 22 009.9 25 497.5 15 754.1 Tonna Panse jang kapal kapal (GT) 25 30 23 27 25 26 24 25 26 25 26 25 25 21 22 17 22 20 21 19 20 21 20 21 20 20 input Daya mesin (pk) Upaya /trip ABK (org) Efisien si teknis input 120 120 100 160 100 160 160 120 120 120 120 120 120 51 45 56 56 46 49 47 51 47 68 69 62 55 15 15 13 14 15 19 14 14 14 13 14 13 14 0.98 1.00 0.99 0.96 1.00 1.00 0.84 1.00 0.98 0.95 0.85 1.00 0.87 Gambar 61 Distribusi efisiensi kapal pukat cincin. 116 Gambar 62 Potensi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin. Tabel 34 Efisiensi teknis pendekatan output kapal pukat cincin Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Output (kg) Produksi Produksi pelagis pelagis kecil besar 11 612.9 20 633.7 16 639.9 18 430.2 8 551.5 8 646.9 9 375.0 20 376.4 19 374.0 17 935.2 11 623.2 12 119.7 17 416.4 27 950.6 19 642.9 12 448.6 18 318.2 32 948.9 35 036.2 22 847.0 17 657.8 12 056.3 13 088.2 22 009.9 25 497.5 15 754.1 Tonna se kapal (GT) Panjang kapal Input Daya mesin (pk) 25 30 23 27 25 26 24 25 26 25 26 25 25 21 22 17 22 20 21 19 20 21 20 21 20 20 120 120 100 160 100 160 160 120 120 120 120 120 120 Upaya /trip ABK (org) Efisien si teknis output 51 45 56 56 46 49 47 51 47 68 69 62 55 15 15 13 14 15 19 14 14 14 13 14 13 14 1.03 1.00 1.02 1.05 1.00 1.00 1.20 1.00 1.02 1.06 1.18 1.00 1.15 Kapal yang efisien pada pendekatan input akan efisien juga pada pengukuran efisiensi dengan pendekatan output begitu juga sebaliknya kapalkapal yang inputnya tidak efisien dengan pendekatan output juga tidak efisien. Nilai efisiensi output mengindikasikan seberapa banyak masing-masing kapal dapat meningkatkan produksinya dengan input yang ada. Kapal-kapal yang mempunyai nilai efisiensi teknis output sama dengan 1 berarti efisien yaitu 117 jumlah produksi yang dihasilkan sesuai dengan input yang digunakan, sedangkan kapal-kapal yang memiliki nilai efisiensi teknis output lebih besar dari 1 berarti kapal tersebut seharusnya masih dapat meningkatkan outputnya sebesar selisih antara nilai efisiensi yang ada dikurangi 1, contohnya untuk kapal 1 yang memiliki efisiensi teknis output 1.03 berarti masih dapat meningkatkan produksi sebanyak 3%, jika penggunaan inputnya lebih efisien seperti kapal 2. Kapasitas tangkap kapal pukat cincin di peroleh dari hasil perkalian ukuran kapasitas dengan produksi aktual. Rata-rata ukuran kapasitas kapal pukat cincin adalah 1.08 sehingga diperoleh kapasitas optimal untuk kapal pukat cincin sebesar 38 634 kg per kapal selama 6 bulan pengamatan atau sebanyak 796.54 kg/trip (Tabel 35). Tabel 35 Kapasitas kapal pukat cincin Ka pal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Output (kg) Produksi Produksi pelagis kecil pelagis besar 11 612.90 20 633.65 16 639.92 18 430.23 8 551.47 8 646.86 9 374.97 20 376.37 19 374.02 17 935.21 11 623.17 12 119.72 17 416.41 27 950.60 19 642.85 12 448.58 18 318.17 32 948.90 35 036.24 22 847.03 17 657.83 12 056.28 13 088.16 22 009.93 25 497.48 15 754.09 Ukuran kapasitas (θ) 1.03 1.00 1.02 1.13 1.00 1.00 1.20 1.00 1.05 1.14 1.24 1.07 1.15 Kapasitas (kg) 40 631.70 40 276.50 29 757.50 41 488.90 41 512.00 43 671.00 38 537.50 38 034.20 33 127.50 35 242.50 41 604.10 40 212.80 38 146.10 upaya (trip) 51 45 56 56 46 49 47 51 47 68 69 62 55 Input variabel ABK Upaya (org) optimal (trip) 15 15 13 14 15 19 14 14 14 13 14 13 14 47.74 45.00 41.50 54.71 46.00 49.00 45.54 51.00 49.82 51.00 50.30 48.05 50.88 ABK optimal (org) 15.57 15.00 11.83 15.54 15.00 19.00 16.04 14.00 14.20 14.00 15.54 15.35 14.07 Pengukuran efisiensi dengan memasukkan nilai moneter menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi kapal pukat cincin adalah 0.82 (Tabel 35). Bila dibandingkan dengan efisiensi teknis, rata-rata efisiensi moneter ini lebih rendah. Hal ini memerlukan adanya perbaikan dalam biaya operasional per unit upaya. Potensi perbaikan biaya per unit upaya ini berkisar antara 0% sampai dengan 49.44% atau rata-rata sebesar 24.19% 118 Tabel 36 Efisiensi kapal pukat cincin dengan memasukkan nilai moneter (DEA-CBA) Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Output Produksi Penerimaan (RP) (kg) 39 564 40 277 29 089 36 748 41 512 43 671 32 222 38 034 31 430 31 023 33 633 37 617 33 171 254 605 228,299 120 750,201 301 058 249 329 200,325 917 900,289 014 400,190 996 700,254 661 725,203 004 850,207 044 696,246 510 750,239 996 450,205 102 700,- Input Upaya (trip) Biaya operasional (Rp) 51 45 56 56 46 49 47 51 47 68 69 62 55 63 915 000,58 230 000,89 342 000,50 847 000,64 519 500,64 908 000,61 860 000,47 728 000,55 594 500,71 854 500,70 576 000,66 949 500,52 792.500,- Efisiensi 0.88 1.00 0.58 0.92 1.00 0.99 0.77 1.00 0.79 0.57 0.66 0.75 0.80 5.10.2.2 Pancing tonda Salah satu jenis alat tangkap di Propinsi Sumatera Barat yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis besar dengan daerah tangkapan di laut lepas di atas 12 mil dari pantai adalah alat tangkap pancing tonda yang dioperasikan dengan menggunakan kapal motor. Hasil perhitungan efisiensi input alat tangkap pancing tonda dengan menggunakan sampel sebanyak 82 kapal motor adalah seperti pada Tabel 37. Dari 82 kapal yang ada, sebanyak 18 kapal (21.95%) memiliki efisiensi 1, 16 kapal (20.73%) skor efisiensi antara 0.90-0.99, 17 kapal (19.51%) skor efisiensi antara 0.80 – 0.89, 18 kapal (21.95%) efisiensi berada antara 0.70-0.79 sedangkan sebanyak 13 kapal (15.85%) skor efisiensinya di bawah 0.70 (Gambar 63). Secara keseluruhan kapal tonda ini cukup efisien karena memiliki efisiensi rata-rata 82% atau sebanyak 51 kapal (63.19%) efisiensinya di atas 80%, akan tetapi perlu ditingkatkan lagi, dimana potensi perbaikannya untuk masing-masing variabel input ditunjukkan pada Gambar 64. Besarnya input yang harus dikurangi untuk masing-masing variabel adalah: GT sebesar 22.02%, panjang kapal 18.03%, mesin 18.63%, upaya penangkapan (trip) sebesar 21.34% dan ABK sebanyak 17.06%. Dengan adanya meningkatkan output sebesar 2.90%. pengurangan input tersebut akan 119 Tabel 37 Efisiensi teknis pendekatan input kapal tonda Efisiensi Input Jumlah kapal Prosentase (%) 1.00 0.90 – 0.99 0.80 – 0.89 0.70 – 0.79 < 0.70 18 16 17 18 13 21.95 20.73 19.51 21.95 15.85 Jumlah 82 100 Tabel 38 Efisiensi teknis pendekatan output kapal tonda Efisiensi Output Jumlah kapal Prosentase (%) 1.00 1.01-1.10 1.11 – 1.20 1.21 – 1.30 1.31 - 1.40 > 1.40 17 15 9 14 10 17 20.73 18.29 10.98 17.07 12.20 20.73 Jumlah 82 100 Hasil penilaian efisiensi dengan pendekatan output untuk kapal tonda disajikan pada Tabel 38. Kapal-kapal yang penggunaan inputnya efisien akan sama dengan pendekatan output juga efisien. Efisiensi output kapal motor tonda berkisar antara 1 – 1.68 atau rata-rata sebesar 1.22 yang berarti dengan menggunakan input yang sama masih dapat ditingkatkan output atau produksi sebesar 22% . Kapasitas tangkap kapal tonda diperoleh dari hasil perkalian ukuran kapasitas dengan produksi aktual. Rata-rata ukuran kapasitas kapal tonda adalah 1.30 sehingga diperoleh kapasitas optimal untuk kapal motor tonda sebesar 15 900.18 kg per kapal selama 6 bulan pengamatan atau sebanyak 1 014.64 kg/trip (Lampiran 13). 120 Gambar 63 Distribusi efisiensi kapal motor tonda. Gambar 64 Potensi perbaikan efisiensi kapal motor tonda Penilaian efisiensi dengan pendekatan moneter menghasilkan nilai efisiensi moneter rata-rata sebesar 0.70. (Lampiran 14) Hasil ini lebih rendah dibandingkan efisiensi teknis dengan pendekatan input. Faktor penentu rendahnya efisiensi moneter ini adalah karena tingginya biaya operasional per trip. Untuk memperbaiki efisiensi moneter maka biaya operasionalnya perlu diturunkan sebesar 0 – 52.60% atau rata-rata sebesar 29.80%. 121 5.10.2.3 Pukat payang Pengoperasian pukat payang menggunakan perahu motor tempel, dengan mesin penggerak berkekuatan rata-rata 40 PK, panjang kapal rata-rata 12 meter dan tonnase 2 GT. Hasil perhitungan efisiensi teknis input untuk alat tangkap payang menunjukkan bahwa yang memiliki efisiensi input 1 sebanyak 13.10%, efisiensi 0.90 – 0.99 sebanyak 8.33%, efisiensi antara 0.80 – 0.89% sebanyak 19.05%, efisiensi antara 0.70 – 0.79 sebanyak 28.57% dan efisiensi di bawah 0.70 sebanyak 30.95% secara keseluruhan rata-rata efisiensi teknis alat tangkap payang adalah 78.90% (Tabel 39 dan Gambar 65). Tabel 39 Efisiensi teknis pendekatan input perahu motor tempel payang Efisiensi Input 1.00 Jumlah kapal Prosentase (%) 11 13.10 0.90 – 0.99 7 8.33 0.80 – 0.89 16 19.05 0.70 – 0.79 24 28.57 < 0.70 26 30.95 Jumlah 84 100 Tabel 40 Efisiensi teknis pendekatan output perahu motor tempel payang Efisiensi Output 1.00 Jumlah kapal Prosentase (%) 11 13.10 1.01-1.10 7 8.33 1.11 – 1.20 12 14.29 1.21 – 1.30 10 11.90 1.31 – 1.40 14 16.67 >1.40 30 35.71 122 Jumlah 84 100 Gambar 65 Distribusi efisiensi perahu motor tempel payang. Potensi perbaikan efisiensi alat tangkap payang dapat dilakukan dengan mengurangi input dan meningkatkan output. Besarnya input yang harus dikurangi untuk masing-masing variabel adalah: GT sebesar 22.29%, panjang kapal 18.79%, mesin 18.63%, upaya penangkapan (trip) sebesar 18.23% dan ABK sebanyak 18.30%. Dengan adanya pengurangan input tersebut akan meningkatkan output sebesar 3.75% (Gambar 66). Gambar 66 Potensi perbaikan efisiensi teknis perahu motor tempel payang. Hasil penilaian efisiensi dengan pendekatan output untuk payang disajikan pada Tabel 40. Efisiensi output perahu motor tempel payang berkisar antara 1 – 1.65 atau rata-rata sebesar 1.30 yang berarti dengan menggunakan input yang sama masih dapat ditingkatkan output atau produksi sebesar 30% . 123 Kapasitas tangkap perahu motor payang di peroleh dari hasil perkalian ukuran kapasitas dengan produksi aktual. Rata-rata ukuran kapasitas perahu motor payang adalah 1.46 sehingga diperoleh kapasitas optimal untuk perahu motor payang sebesar 31 403.65 kg per kapal selama 6 bulan pengamatan atau rata-rata sebesar 260.90 kg/trip. Hasil penilaian efisiensi moneter untuk alat tangkap payang diperoleh nilai rata-rata efisiensi sebesar 0.59 (59%). Hasil ini lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi teknis. Untuk memperbaiki efisiensi moneter ini perlu dilakukan pengurangan biaya operasional yang berkisar antara 0 – 64 % atau rata-rata sebesar 41%. 5.10.2.4 Bagan Rata-rata efisiensi teknis kapal bagan adalah 0.50 (50%), rendahnya ratarata efisiensi ini disebabkan karena sebanyak 85.42% kapal bagan memiliki skor efisiensi di bawah 0.70 (Tabel 41 dan Gambar 67 ). Gambar 63 menunjukkan potensi perbaikan untuk bagan, dimana untuk output tidak ada lagi potensi untuk peningkatan sedangkan untuk mencapai efisiensi perlu dilakukan pengurangan input yang besarnya untuk setiap variabel adalah: tonnase kapal (GT) sebesar 21.29%, panjang sebesar 19.92%, mesin sebesar 20.15%, upaya penangkapan (trip) sebesar 20.05% dan ABK sebanyak 18.59%. Tabel 41 Efisiensi teknis pendekatan input kapal motor bagan Efisiensi Input Jumlah kapal Prosentase (%) 1.00 0.90 – 0.99 0.80 – 0.89 0.70 – 0.79 < 0.70 2 5 3 4 82 2.08 5.21 3.13 4.17 85.42 Jumlah 96 100 124 Gambar 67 Distribusi efisiensi kapal motor bagan. Gambar 68 Potensi perbaikan efisiensi kapal motor bagan. Hasil penilaian efisiensi dengan pendekatan output untuk kapal motor bagan disajikan pada Tabel 42. Efisiensi output kapal motor bagan berkisar antara 1 – 4.61 atau rata-rata sebesar 2.25 yang berarti dengan menggunakan input yang sama masih dapat ditingkatkan output atau produksi sebesar 125% . Tabel 42 Efisiensi teknis pendekatan output kapal motor bagan Efisiensi Output Jumlah kapal Prosentase (%) 1.00 1.01-1.10 1.11 – 1.20 1.21 – 1.30 1.31 – 1.40 >1.40 2 6 4 2 82 2.08 6.25 4.17 2.08 85.42 Jumlah 96 100 125 Kapasitas tangkap kapal motor bagan di peroleh dari hasil perkalian ukuran kapasitas dengan produksi aktual. Rata-rata ukuran kapasitas kapal motor bagan adalah 2.74 sehingga diperoleh kapasitas optimal untuk kapal motor bagan sebesar 93 384.41 kg per kapal selama 6 bulan pengamatan atau ratarata sebesar 1 085.60 kg/trip. Hasil penilaian efisiensi moneter untuk kapal bagan memberikan hasil rata-rata 0.52 (51.50%), nilai efisiensi moneter ini hampir sama dengan nilai efisiensi teknis. Untuk memperbaiki efisiensi moneter ini perlu dilakukan pengurangan biaya per unit effort yang berkisar antara 0 – 68% atau rata-rata sebesar 48.50%. Berdasarkan hasil perhitungan efisiensi input untuk ke empat alat tangkap, diketahui bahwa yang memiliki efisiensi input tertinggi adalah kapal pukat cincin dengan rata-rata 0.95 (95%) dan yang paling rendah adalah bagan dengan ratarata efisiensi 0.50 (50%). Begitu juga dengan efisiensi pendekatan output yang paling efisien adalah pukat cincin dengan efisiensi output rata-rata 1.05 dan yang memiliki efisiensi output paling rendah adalah kapal motor bagan dengan efisiensi rata-rata 2.25. Selanjutnya untuk efisiensi moneter alat tangkap yang paling efisien juga pukat cincin dengan efisiensi rata-rata sebesar 82% kemudian diikuti oleh tonda sebesar 70%, payang 59% dan alat tangkap yang paling tidak efisien secara moneter adalah bagan 51.50%. 5.11 Implikasi Kebijakan Berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari berbagai analisis yang telah dilakukan, agar memberikan manfaat bagi keberlajutan usaha perikanan tangkap di propinsi Sumatera Barat khususnya untuk sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil perlu dijabarkan dalam berbagai implikasi kebijakan, antara lain: Pertama, dari analisis bioekonomi, menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil telah mendekati overfishing, dimana secara rata-rata produksi aktual telah melebihi produksi lestari, walaupun masih berada di bawah produksi optimal. Sesuai dengan alat tangkap yang digunakan, bahwa penangkapan ikan pelagis kecil banyak dilakukan di daerah sekitar pantai, sehingga selain faktor kelebihan input (overcapacity) juga disebabkan oleh faktor lingkungan lainnya, yang ditunjukkan dengan laju degradasi yang lebih tinggi dibandingkan sumberdaya pelagis besar, maka kebijakan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan efisiensi input, mengurangi jumlah alat tangkap yang 126 kurang efisien dimana dalam kajian ini alat tangkap bagan merupakan alat tangkap yang paling tidak efisien, memperluas daerah jangkauan penangkapan, pengalihan kepada bidang usaha lain yang masih berkaitan dengan kegiatan perikanan seperti budidaya rumput laut dan ikan karang serta perbaikan ekosistem yang mempengaruhi perairan sekitar pantai seperti ekosistem mangrove dan terumbu karang. Kedua, Pemanfaatan sumberdaya pelagis besar, yang wilayah penangkapannya lebih jauh dari pantai, secara rata-rata tingkat pemanfaatannya masih berada dibawah produksi lestari dan optimal, akan tetapi dilihat dari segi input secara rata-rata telah terjadi kelebihan kapasitas hal ini disebabkan karena kurang efisiennya penggunaan input baik fisik maupun moneter. Maka kebijakan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki efisiensi input seperti mengurangi jumlah hari melaut, memperluas daerah jangkauan penangkapan, meningkatkan kualitas hasil tangkapan sehingga memberikan harga jual dan penerimaan yang lebih tinggi yang dapat mengimbangi biaya yang tinggi, serta melakukan investasi untuk alat tangkap pukat cincin yang lebih efisien dibandingkan dengan alat tangkap tonda. Ketiga, Berdasarkan hasil perhitungan depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar dan kecil ternyata menunjukkan nilai kehilangan yang cukup besar, untuk itu perlu pengelolaan sumberdaya perikanan secara lebih hati-hati, dan kaitannya dengan kontribusi perikanan yang rendah terhadap PDRB, hendaknya nilai depresiasi ini diperhitungkan dalam statistik pendapatan sub sektor perikanan. Keempat, Berdasarkan hasil kajian efisiensi alat tangkap baik dari pendekatan input, output maupun moneter, maka alat tangkap yang paling efisien adalah pukat cincin. Dalam pengembangan alat tangkap ke depan hendaknya alat tangkap pukat cincin ini lebih ditingkatkan jumlahnya dampak yang positif baik bagi kelestarian kesejahteraan para pelaku usahanya. sehingga memberikan sumberdaya ikan maupun Investasi yang dibutuhkan untuk alat tangkap pukat cincin ini cukup tinggi maka langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah: kerjasama antara pengusaha perikanan yang memiliki modal yang kuat dengan para nelayan, subsidi dari pemerintah, melakukan sosialisasi agar alat tangkap ini dapat lebih diterima oleh masyarakat (nelayan) dan meningkatkan kemampuan para nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap pukat cincin, selanjutnya mengalihkan investasi dari alat tangkap yang kurang efisien kepada alat tangkap yang efisien. Hal ini sesuai dengan hasil analisis 127 kapasitas dimana dengan adanya kelebihan kapasitas input maka terdapat oppurtunity cost rata-rata sebesar 42,47 milyar rupiah, sehingga nilai yang cukup besar ini dapat dialihkan kepada investasi yang lebih efisien seperti pukat cincin. Kelima, Dalam rangka meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan/pelaku usaha perikanan, maka kebijakan yang dapat dilakukan antara lain adalah: meningkatkan nilai tambah (value added) dari hasil tangkapan seperti dengan cara meningkatkan mutu hasil tangkapan dan diversifikasi pengolahan hasil perikanan, selanjutnya meningkatkan ketrampilan dan kemampuan para nelayan baik dalam penguasaan teknologi penangkapan dan penanganan ikan maupun dalam manajemen usaha. Keenam, Salah satu upaya untuk melestarikan sumberdaya ikan adalah melalui koservasi untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang kemungkinan penerapan marine protected area (MPA) pada lokasi-lokasi yang memungkinkan sehingga sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi yang pada akhirnya akan memberikan manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat perikanan secara keseluruhan. Pengembangan MPA dilakukan dengan mempertimbangkan secara seksama faktor sosial ekonomi, karena tanpa mempertimbangkan kedua faktor tersebut pengembangan MPA tidak akan berhasil (Fauzi, 2000b). Ketujuh, Kebijakan lainnya yang dapat diterapkan dalam rangka pengurangan kapasitas input atau peningkatan efisiensi input adalah dengan menerapkan instrumen ekonomi seperti penetapan pajak pada input, dengan penerapan pajak pada input akan menyebabkan peningkatan biaya per unit upaya, sehingga akan mengurangi jumlah effort. Dalam jangka panjang dengan pengenaan pajak input akan tejadi pengendalian upaya penangkapan karena dengan terjadinya peningkatan biaya akan mendorong pelaku usaha untuk keluar dari perikanan sampai terjadinya titik keseimbangan. Sebagai contoh pada rezim open access untuk ikan pelagis kecil dengan pengenaan pajak input sebesar 5% akan menyebabkan pengurangan effort dari 147 771.75 trip menjadi 145 201.42 trip. Secara teoritis pengenaan pajak input dapat dilhat pada Gambar 69. 128 TC2 Rp TC1 TR E2 EMSY E1 Upaya/Effort Gambar 69 Pengaruh pajak per unit upaya terhadap keseimbangan akses terbuka (Fauzi, 2004). Dari Gambar 69 dapat dijelaskan bahwa dengan pengenaan pajak per satuan upaya maka kurva total biaya (TC) bergeser dari TC1 menjadi TC2 dan mengurangi jumlah upaya (effort) dari tingkat upaya sebesar E1 ke tingkat upaya sebesar E2. 129 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil secara rata-rata telah berada di atas produksi lestari tetapi masih berada di bawah produksi optimal, sedangkan untuk sumberdaya ikan pelagis besar rata-rata produksi aktualnya masih berada di bawah produksi lestari dan optimal, akan tetapi tetap diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya. 2) Telah terjadi degradasi sumberdaya ikan, dimana untuk sumberdaya ikan pelagis kecil rata-rata tingkat degradasi setiap tahunnya sebesar 26% sedangkan untuk ikan pelagis besar sebesar 25%. Laju degradasi memiliki pola yang hampir sama dengan effort, laju degradasi akan meningkat apabila effort meningkat begitu juga sebaliknya laju degradasi akan menurun apabila effort menurun, dengan demikian terjadinya kelebihan kapasitas tangkap akan meningkatkan laju degradasi sumberdaya ikan. 3) Depresiasi sumberdaya ikan pelagis besar berkisar antara Rp 451.83 juta rupiah sampai Rp 24.32 milyar rupiah atau diperkirakan sebesar 56.95 milyar rupiah untuk market discount rate 15% dan antara 1.20 milyar rupiah sampai 64.47 milyar rupiah atau sebesar 150.94 milyar rupiah untuk perhitungan menggunakan real discount rate sebesar 5.66%. Sedangkan untuk sumberdaya pelagis kecil dengan nilai berkisar antara 265.02 juta rupiah sampai 24.05 milyar rupiah atau diperkirakan sebesar 52.63 milyar rupiah untuk market discount rate 15% dan antara 702.34 juta rupiah sampai 63.73 milyar rupiah atau sebesar 139.49 milyar rupiah untuk discount rate 5,66%. Nilai depresiasi ini merupakan kehilangan yang cukup besar yang dapat mengurangi manfaat secara ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya ikan. 4) Rata-rata nilai surplus produsen per tahun untuk ikan pelagis besar adalah Rp 144.92 milyar dan untuk ikan pelagis kecil Rp 170.16 milyar. 5) Secara rata-rata selama tahun pengamatan kondisi perikanan tangkap di perairan pesisir Sumatera Barat sudah mengarah kepada kelebihan tangkap (overcapacity), dimana untuk sumberdaya perikanan pelagis besar rata-rata kelebihan kapasitas adalah 4 935.74 trip pertahun atau setara dengan nilai moneter sebesar 17.62 milyar rupiah dan untuk pelagis kecil 17 869.58 atau setara dengan nilai moneter sebesar 24.85 milyar rupiah 130 6) Tingkat efisiensi perikanan tangkap dari waktu ke waktu penurunan dan pada akhir periode mengalami pengamatan mengalami peningkatan, efisiensi untuk ikan pelagis besar rata-rata 85% sedangkan untuk ikan pelagis kecil rata-rata 89%. 7) Berdasarkan hasil analisis efisiensi alat tangkap, baik efisiensi teknis input dan output, maupun efisiensi moneter, diketahui alat tangkap yang paling efisien adalah pukat cincin kemudian diikuti oleh tonda, payang dan terakhir yang paling tidak efisien alat tangkap bagan. 6.2 Saran 1) Dalam mewujudkan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Propinsi Sumatera Barat, hendaknya Pemda menjadikan kapasitas perikanan sebagai acuan dalam penyusunan kebijakan. 2) Dalam rangka meningkatkan tingkat kesejahteraan nelayan/pelaku usaha perikanan, maka hendaknya dilakukan beberapa upaya seperti meningkatkan nilai tambah (value added) dari hasil tangkapan seperti dengan cara meningkatkan mutu hasil tangkapan dan diversifikasi pengolahan hasil perikanan, selanjutnya meningkatkan ketrampilan dan kemampuan para nelayan baik dalam penguasaan teknologi penangkapan dan penanganan ikan maupun dalam manajemen usaha. 3) Dalam rangka meningkatkan efisiensi perlu dilakukan perbaikan-perbaikan baik dalam hal pengurangan input, peningkatan kemampuan ABK dan peningkatan spesifikasi teknis kapal. Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi melalui pengurangan input adalah dengan penetapan pajak pada input, dengan penerapan pajak pada input akan menyebabkan peningkatan biaya per unit upaya, sehingga akan mengurangi jumlah effort. Dalam jangka panjang dengan pengenaan pajak input akan tejadi pengendalian upaya penangkapan karena dengan terjadinya peningkatan biaya akan mendorong pelaku usaha untuk keluar dari perikanan sampai terjadinya titik keseimbangan. Cara lainnya yang dapat dilakukan untuk pengurangan effort adalah dengan pembatasan masuk (limited entry) melalui izin usaha penangkapan ikan. Alternatif lainnya adalah dengan memberlakukan kuota yaitu dengan membatasi jumlah produksi sesuai dengan produksi lestari akan tetapi untuk penerapannya diperlukan kajian lebih lanjut. 131 4) Dalam pengembangan alat tangkap hendaknya Pemda memilih alat tangkap yang lebih efisien salah satunya sesuai dengan hasil penelitian ini adalah alat tangkap pukat cincin. 5) Salah satu upaya untuk melestarikan sumberdaya ikan adalah melalui koservasi untuk itu perlu dilakukan penelitian penerapan marine protected area (MPA) tentang kemungkinan pada lokasi-lokasi yang memungkinkan sehingga sumberdaya perikanan akan mengalami apresiasi yang pada akhirnya akan memberikan manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat perikanan secara keseluruhan. 6) Perlu dilakukan penelitian lanjutan seperti analisis kapasitas per wilayah kabupaten/kota, kapasitas menurut alat tangkap dan memperhitungkan faktor musim penangkapan. jenis ikan serta 132 DAFTAR PUSTAKA Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aziz KA et al. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Komisi Nasional Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut, Jakarta. Bailey C, Dwiponggo A, Marahudin F. 1987. Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM Studies and Reviews 10, International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines; Directorate General of Fisheries and Marine Fisheries Research Institute, Ministry of Agriculture, Jakarta, Indonesia. [BPS Sumbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat. 2005. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera Barat menurut lapangan usaha 2000-2004. Padang. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaaan Nasional. 1998. Indonesia Atlas Sumberdaya Kelautan. Bogor. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. Charnes A, Cooper WW, Rhodes E. 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making Units. Eur Journal. Opl. Res 2:429-444. Clarke RP, Yoshimoto SS, Pooley SG. 1992. A Bioeconomic Analysis of the Northwestern Hawaiian Islands Lobster Fishery. Marine Resources Economics: 2:115-140. Cunningham S. 1981. The Evolution of the Objective of Fisheries Management During 1970s. Ocean Management. Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Dickey DA, Jensen DW, Thornton DL. 1994. A Primer on Cointegration with an Application to Money and Income. Di dalam: Rao BB, editor Cointegration for the Applied Economist , New York. St. Martin’s Press, Inc, hlm 9-45. [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1985. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1984. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1986. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1985 . [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1987. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1986 Statistik Statistik 133 . [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1988. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1987. . [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1989. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1988. Statistik Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1990. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1989. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1991. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1990. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1992. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1991. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1993. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1992. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1994. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1993. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1995. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1994. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1996. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1995. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1997. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1996. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1998. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1997. . [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1999. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1998. Statistik Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 1999. Peluang Pengembangan Investasi Perikanan di Propinsi Sumatera Barat. [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2000. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 1999. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2001. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 2000. Statistik [Diskan Sumbar] Dinas Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2002. Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 2001. Statistik [DKP Sumbar] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2003. Statistik Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 2002. 134 [DKP Sumbar] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2004. Statistik Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 2003. [DKP Sumbar] Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Barat. 2005. Statistik Perikanan Propinsi Sumatera Barat tahun 2004. [Ditjenkan Deptan] Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. 1997. Potensi dan Penyebaran Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta. [Ditjenkan Tangkap DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Perkembangan Perikanan Tangkap tahun 2004. Doring R. 2001. Concept of Sustainable Fisheries. Paper. Botanical Institute University of Greifswald, Greifswald. Dwiponggo. A. 1982. Beberapa aspek biologi ikan lemuru, Sardinella spp. Di dalam: Prosiding Seminar Perikanan Lemuru. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. Enders W. 1995. Applied Econometrics Time Series, New York, John Wiley and Son Inc. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1998. Report of the FAO Technical Working Group on the Management of Fishing. FAO Fisheries Report No. 615. Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. The State of World Fisheries and Aquaculture 2000. Rome. Fare R, Grosskopf S, Kokkenlenberg E. 1989. Measuring plant capacity utilization and technical change: a non parametric approach. Int.Econ.Rev.30. Fare R, Grosskopf S, Lovell C. 1994. Production Frontier. New York, NY. Cambridge University Press. Fare R, Grosskopf S, Kirkley JE, Squires D. 2000. Data Envelopment Analysis (DEA): A Framework for Assessing Capacity in Fisheries When Data are Limited, presented at the International Institute Of Fisheries Conference IIFET X 2000, July. Fauzi A. 2000a. Teori Ekonomi Sumberdaya Perikanan. Working Paper. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, IPB, Bogor Fauzi A. 2000b. An overview of Sosioeconomic Aspect of Indonesian Marine Protected Area: A Perspective from Kepulauan Seribu Marine Park. Paper presented at the International Conference on Economics of Marine Protected Area (MPA) Vancouver, Canada, July.2000. 135 Fauzi A. 2001a. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi: Panduan Singkat Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fauzi A. 2001b. An Econometric Analysis of the Surplus Production Function: An Application for Indonesian Small Pelagic Fishery. Fauzi A. 2002. Menggagas Penerimaan Negara Melalui “Fishing (User) Fee”. Warta Pesisir 04/III/2002.ISSN:1410-9514. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, teori dan aplikasi, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A, Anna S. 2002a. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Fauzi A, Anna S. 2002b. Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan lautan,Volume 4 No.2. Data Envelopment Analysis (DEA) Kapasitas Fauzi A, Anna S. 2002c. Perikanan di Perairan Pesisir DKI Jakarta, Working Paper Jurusan Sosial Ekonomi. Fauzi A, Anna S. 2003. Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Projects: A CBA-DEA Approach. Journal of Coastal and Marine Resources. Special Issue. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resource: The Fishery. Journal of Political Economy 62:124-142. Gujarati DN. 1995. Basic Econometrics: Ed ke-3. New York. Mc Graw-Hill, Inc. Johansen L. 1968. Production Functions and the Concept of Capacity. In: Recent Research on the Function of Production, Namur France: Namur University Center for Study and Research. King. M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News Book. Great Britain. Kirkley JE, Squires D. 1998. Measuring Capacity and Capacity Utilization in Fisheries. Backgound paper prepared for FAO Technical Working Group on the Management of Fishing Capacity, La Jolla, USA, 15- 18 April 1998, 160 pp. Forthcoming, FAO Fisheries Report. 136 Kirkley JE, Squires D. 1999. Capacity and Capacity Utilization in Fishing Industries. Discussion Paper, University of California, Departemen of economics. San Diego. Kirkley JE, Squires D, Alam MF, Ishak HO. 2003. Excess Capacity and Asymmetric Information in Developing Country Fisheries: The Malaysian Purse Seine Fishery. American Agricultural Economics Association, 85:3. Klein LR. 1960. Some Theoretical Issues in the Measurement of Capacity. Econometrica, 28. Kula E. 1984. Derivation of Social Time Preference Rates for the US and Canada. Quarterly Journal of Economics, 99: 873-882. Lindebo E, Hoff A, Vestergaard N. 2002. Economic and Physical Measures of Capacity: A Comparative Analysis of Danish Trawlers. Mace PM. 1996. Developing and Sustaining World Fisheries Resources: The State of the Science and Management. Keynote Presentation, World Fisheries Congress, Sidney, Australia. National Marine Fisheries Service, Silver Spring, Maryland. Merta IGS. 1992. Dinamika Populasi Ikan Lemuru. Sardinella lemuru Bleeker 1853 di Perairan Selat Bali dan alternatif Pengelolaannya [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Merta IGS, Nurhakim S, Widodo J. 1998. Sumberdaya Perikanan Pelagis Kecil. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, Jakarta. Milon JW, Larkin SL, Ehrhardt NM. 1999. Bioeconomic Models of the Florida Commercial Spiny Lobster Fishery. Sea Grant Report Number 177. Florida Sea Grant College Program University of Florida, Gainesville, Florida. Monintja DR. 1994. Pengembangan Perikanan Tangkap Berwawasan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Seminar Pengembangan Agribisnis Perikanan Berwawasan Lingkungan pada Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, Agustus 1994, Jakarta. Monintja DR. 1997. Pengembangan Perikanan Tangkap yang Berkelanjutan: Catatan tentang Usaha Penangkapan Cakalang. Bahan Pelatihan Perencanaan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PK-SPL IPB-Ditjen Bangda. November-Desember 1997. Morrison CJ. 1993. A Microeconomic Approach to the Measurement of Economic Performance: Productivity Growth, Capacity Utilization, and Performance Indicators. Berlin: Springer-Verlag. Nontji. A. 1993. Laut Nusantara, Jakarta, Djambatan. 137 Nybakken JW. 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama. Pariwono JI. 1985. Tides and Tidal Phenomena in Asean Region, Australian Cooperative Programmes in Marine Sciences. Prelim. Rep. FIAM, South Australia. [Puslitbang Oseanologi LIPI] Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2001. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta. Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Volume I dan II, Jakarta, Bina Cipta. Seijo JC, Defeo O, Salas S. 1998. Fisheries Bioeconomics Theory, Modelling and Management. FAO Fisheries Technical Paper 368. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Kerjasama Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Badan Penelitian Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian, Jakarta, Indonesia. Tinungki GM. 2005. Evaluasi Model Produksi Surplus dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari untuk Menunjang Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali [disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Uktolseja JCB. et al. 1998. Sumberdaya Ikan Pelagis Besar. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Walden JB, Kirkley JE. 2000a. Measuring Technical Efficiency and Capacity in Fisheries by Data Envelopment Analysis Using the General Algebraic Modeling system (GAMS): A Workbook. NOAA Technical Memorandum NMFS-Ne-160. Walden JB, and Kirkley JE. 2000b. Measuring Capacity of the New England Otter Trawl Fleet. IIFET 2000 Proceedings, Oregon State University. Ward J. 2000. Capacity, Excess Capacity and Fisheries Management. IIFET 2000 Proceedings, Oregon State University. Ward JM, Kirkley JE, Metzner R, Pascoe S. 2004. Measuring and Assessing Capacity in Fisheries, Basic Concept and Management Options. FAO Fisheries Technical Paper. 4331:1. Rome. WCED. 1987. Our Common Future, New York. Oxford Univ. Press 137 Lampiran 1. Disagregasi hasil tangkapan perikanan pelagis besar Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 tenggiri 1 007.40 393.20 613.80 526.30 637.70 1 021.30 1 079.46 1 434.90 3 471.80 4 606.30 2 376.20 2 947.40 2 274.40 1 760.60 1 669.30 1 539.80 1 541.20 2 056.90 1 547.80 3 626.70 2 963.30 Produksi (ton) tuna cakalang 1 281.20 3 602.30 1 208.50 3 881.80 1 404.70 4 500.50 2 160.50 4 636.40 2 669.90 5 428.60 3 700.80 7 101.40 3 911.74 7 507.23 3 341.40 8 941.10 5 488.30 5 898.00 4 134.90 4 698.50 5 094.60 6 719.00 6 816.30 7 421.10 6 322.90 8 157.20 8 664.30 9 118.40 8 843.80 9 392.20 6 702.80 11 017.30 5 715.80 10 157.50 5 226.70 9 319.70 4 336.60 4 689.70 3 802.60 8 876.40 3 266.00 9 293.10 tongkol 3 150.80 3 595.70 4 696.70 5 148.00 5 544.60 7 355.50 7 774.76 9 533.20 6 395.70 5 032.40 6 025.60 6 587.00 7 209.70 7 996.20 8 903.20 11 301.40 9 864.20 12 601.00 4 778.40 12 088.30 8 736.40 Hasil tangkapan total alat tangkap Pukat Cincin dan Pancing Tonda Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Produksi total per alat tangkap(ton) Jumlah Pukat cincin Pancing Tonda 990.20 6.251.80 7 242.00 870.70 7.305.60 8 176.30 1 188.50 8.347.80 9 536.30 1 930.10 8.967.50 10 897.60 2 271.50 11 645.00 13 916.50 3 399.20 14 442.20 17 841.40 3 579.40 15 207.60 18 787.00 3 795.90 14 604.90 18 400.80 4 998.30 11 633.40 16 631.70 3 564.50 10 063.80 13 628.30 4 511.30 13 044.00 17 555.30 4 476.30 13 267.70 17 744.00 5 021.80 14 686.20 19 708.00 6 456.60 15 889.80 22 346.40 6 479.80 20 192.70 26 672.50 4 197.70 21 742.10 25 939.80 5 037.30 21 360.50 26 397.80 4 402.70 19 939.70 24 342.40 3 588.40 10 459.80 14 048.20 2 729.70 8 726.70 11 456.40 2 500.70 10 382.90 12 883.60 138 139 140 Lampiran 3. Disagregasi hasil tangkapan ikan pelagis kecil Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 layang 1 301.30 1 624.30 1 699.40 1 274.90 1 585.80 1 614.60 1 706.74 1 588.70 1 781.30 2 696.30 2 526.60 1 812.90 2 032.20 2 273.01 1 903.70 1 918.20 2 029.10 2 305.30 1 215.40 1 072.80 1 404.90 Produksi per jenis ikan (ton) selar teri tembang kembung 932.50 4 075.60 1 820.70 3 983.90 1 114.00 3 477.50 1 658.20 3 823.20 1 479.30 4 543.10 1 858.30 4 320.90 1 889.30 4 992.10 1 837.00 4 637.70 2 338.00 5 873.10 2 288.30 5 003.90 1 653.20 5 627.70 3 138.60 4 164.20 1 747.43 5 948.47 3 317.45 4 401.55 1 110.30 8 993.50 2 954.20 4 206.80 2 160.70 10 631.20 2 517.90 4 022.30 3 354.90 10 367.70 3 034.50 3 640.90 2 605.90 13 406.80 3 821.10 3 877.20 1 914.70 14 355.90 3 252.00 3 759.30 2 167.90 16 361.90 3 852.50 4 356.00 2 456.50 19 839.60 3 472.20 4 330.10 2 371.40 20 470.30 3 877.50 4 199.90 2 513.70 19 838.30 7 769.60 3 543.90 2 673.70 21 207.10 6 456.90 4 179.30 3 472.60 19 897.90 7 619.40 5 047.80 2 382.10 7 766.20 3 071.40 10 158.60 4 219.60 11 814.30 4 477.60 8 742.10 3 019.90 4 772.00 2 985.30 6 849.50 lemuru 401.40 283.50 380.00 434.80 357.40 348.20 338.04 236.40 270.90 291.30 454.50 511.10 683.70 850.20 906.00 1 490.10 1 233.90 1 233.90 673.40 1 192.00 1 141.20 Hasil tangkapan ikan pelagis kecil per alat tangkap (ton) Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Payang 2 620.90 2 974.50 4 385.10 4 413.90 4 827.60 5 480.30 5 770.80 6 710.30 10 042.80 10 816.40 9 057.70 5 926.80 8 718.90 9 283.30 8 474.40 10 150.90 10 910.20 13 348.10 6 847.10 11 388.80 8 261.90 Produksi per alat tangkap (ton) Pkt.pantai Pkt.cincin J.i.hanyut 3 148.80 990.20 1 852.20 2 477.50 870.70 1 332.80 3 090.10 1 188.50 1 373.30 3 045.40 1 930.10 2 451.40 3 352.10 2 271.50 2 057.90 3 073.40 3 399.20 1 874.30 3 236.30 3 579.40 1 973.60 3 746.90 3 795.90 2 067.80 2 869.40 4 998.30 2 021.70 3 817.20 3 564.50 3 105.40 3 875.40 4 511.30 2 057.70 4 549.10 4 476.30 2 046.40 4 124.40 5 021.80 2 251.60 4 445.00 6 456.60 2 046.40 4 761.60 6 479.80 2 251.60 3 767.00 4 197.70 2 398.40 3 368.30 5 037.30 2 526.80 4 079.30 4 402.70 2 613.20 2 548.80 3 588.40 4 295.50 6 667.10 2 729.70 4 083.80 6 590.90 2 500.70 2 257.90 Jumlah Bagan 6 325.10 5 757.80 6 161.30 6 687.30 7 630.20 7 894.90 8 313.30 9 477.90 10 739.40 16 766.40 18 432.50 21 365.10 24 232.40 26 857.10 22 260.80 26 016.30 27 566.90 27 691.10 17 857.00 27 576.10 21 591.40 14 937.20 13 413.30 16 198.30 18 528.10 20 139.30 21 722.10 22 873.40 25 798.80 30 671.60 38 114.90 37 934.60 38 363.70 44 349.10 49 440.40 44 503.60 46 745.10 51 178.20 53 605.00 33 099.20 52 584.10 42 164.00 140 Lampiran 3. lanjutan Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 layang selar 278.4 186.0 374.1 235.5 624.7 390.8 598.5 340.1 705.8 467.8 915.4 284.4 967.6 300.6 694.0 341.6 849.8 917.6 1 271.3 1 168.9 957.8 754.8 370.3 348.3 432.3 307.7 369.1 318.10 320.8 275.4 116.0 613.1 103.3 633.8 115.0 874.4 84.8 466.6 115.2 803.4 103.6 405.4 Share oleh payang Share oleh pukat pantai teri tembang kembung lemuru layang selar teri tembang kembung lemuru 24.4 234.0 537.1 143.7 12.9 299.7 765.1 127.2 121.7 52.7 38.6 292.6 578.1 131.2 13.3 301.2 523.5 103.3 92.7 17.3 74.4 457.6 847.7 92.9 20.2 322.1 707.2 110.0 206.2 9.4 133.4 455.4 771.1 104.6 34.5 587.1 809.6 96.5 196.6 32.5 238.3 592.2 819.0 15.0 54.2 667.8 912.7 154.8 162.5 41.1 332.7 711.5 523.7 78.4 43.7 451.0 865.7 173.9 139.4 25.5 351.7 752.1 553.6 82.7 46.2 476.7 915.0 183.8 147.3 27.0 516.6 307.7 447.8 35.1 71.9 288.1 1 715.1 225.7 68.3 4.9 518.7 625.4 977.5 36.2 52.3 99.9 1 999.2 62.2 65.8 3.6 638.9 1 016.3 920.0 43.8 57.8 114.7 1 472.9 77.3 75.7 4.0 639.6 1 016.0 1 482.0 157.2 101.0 146.6 992.4 85.1 144.4 6.2 915.9 379.9 1 053.6 262.2 104.5 120.8 994.0 88.2 168.2 7.7 1 070.0 478.8 1 379.4 163.0 71.8 113.2 1 199.8 107.7 208.1 8.1 683.9 255.7 1 447.6 231.3 27.1 69.9 1 528.2 106.2 145.5 13.3 562.0 214.9 1 073.0 228.5 17.9 61.8 1 397.5 124.7 165.1 31.5 731.2 2 559.2 879.3 874.9 12.3 16.2 1 557.8 88.6 99.6 18.3 435.1 1 592.6 872.4 598.5 20.3 26.6 1 032.9 100.8 142 150.3 558.1 2 038.1 1 715.8 508.4 34.2 20.5 825.3 80.6 165.7 27.5 362.1 706.4 1 087.9 234.0 41.9 15.1 562.6 70.3 164.9 27.6 561.1 418.1 643.7 230.0 31.4 23.5 1 462.6 173.1 125.6 15.7 423.1 244.8 743.7 253.0 29.6 34.6 590.2 178.2 116.7 21.6 141 Lampiran 3. lanjutan Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 layang 81.3 15.6 18.6 22.0 25.4 35.7 37.9 58.7 72.8 86.1 116.7 137.5 145.6 449.5 164.6 137.2 212.4 197.2 73.8 103.0 195.5 Share oleh pukat cincin Share oleh jaring insang hanyut selar teri tembang kembung lemuru layang selar teri tembang kembung lemuru 47.7 0.0 56.2 478.8 69.5 21.4 63.3 0.0 161.6 378.3 45.1 40.7 0.0 25.4 519.1 35.0 25.9 38.6 0.0 117.0 307.5 24.4 10.8 0.0 39.3 451.9 76.2 32.7 61.6 0.0 114.6 537.5 16.5 19.0 0.0 63.7 658.2 104.3 33.3 39.8 0.0 26.1 1 095.1 17.1 27.3 0.0 132.6 618.6 97.0 133.2 146.2 0.0 18.2 966.5 27.4 38.9 0.0 167.4 826.1 135.6 387.1 132.4 0.0 7.6 694.2 29.2 41.2 0.0 176.9 873.2 113.3 409.2 139.9 0.0 8.0 733.8 28.8 57.2 0.0 192.8 184.6 140.6 435.6 76.4 0.0 11.6 453.7 18.3 77.2 0.0 229.3 1 064.6 198.4 355.8 534.4 0.0 5.2 544.0 22.9 89.4 0.0 239.4 832.9 207.4 576.2 969.9 0.0 31.3 456.4 33.5 127.7 0.0 312.8 346.3 263.4 265.1 512.4 0.0 9.3 242.4 38.1 156.9 0.0 382.2 730.0 211.0 117.5 283.2 0.0 19.4 438.7 40.7 212.0 0.0 389.3 404.7 453.3 135.7 348.0 0.0 28.3 136.5 39.2 451.6 0.0 314.1 458.8 476.3 168.2 348.4 0.0 123.7 144.9 35.3 270.8 0.0 479.7 455.1 524.1 152.6 331.0 0.0 30.2 137.0 32.1 223.0 0.0 358.0 375.8 437.5 121.9 386.3 0.0 244.0 466.6 28.9 250.0 0.0 259.9 327.8 366.4 158.6 421.3 0.0 261.3 180.8 31.3 306.4 0.0 224.2 445.4 353.3 281.5 457.1 0.0 345.3 374.9 29.2 169.7 0.0 53.3 615.8 168.2 413.0 280.3 0.0 198.9 181.2 19.9 337.3 0.0 24.5 1 252.0 113.2 224.3 375.5 0.0 70.2 279.1 11.3 200.5 0.0 32.8 1 027.6 115.1 225.2 759.2 0.0 90.2 195.5 19.8 142 Lampiran 3. lanjutan Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 layang selar 587.8 87.5 736.8 147.8 566.5 105.4 319.2 72.7 149.0 61.2 34.4 107.2 36.4 113.3 99.7 232.0 242.5 190.5 589.0 741.0 921.0 557.6 960.5 675.8 1 080.4 771.0 1 114.1 803.3 1 156.5 1 183.5 1 448.6 1 104.6 1 447.6 1 213.8 1 496.1 1 648.6 497.1 1 309.7 570.1 1 478.4 688.1 1 232.3 Share oleh bagan teri tembang kembung lemuru 2 901.9 924.2 664.0 45.6 2 532.7 759.4 703.1 34.5 3 198.9 758.9 515.4 27.8 3 681.2 898.8 554.7 36.0 4 348.8 1 058.6 819.5 31.6 3 973.3 1 747.1 682.2 31.6 4 199.8 1 846.7 721.1 33.4 5 571.6 1 847.0 635.9 6.9 7 366.3 1 559.6 653.8 10.5 7 523.6 1 560.8 769.6 12.1 9 840.8 2 850.9 141.3 10.3 11 303.9 2 017.3 723.7 12.1 12 640.1 2 828.1 1 167.8 42.4 15 673.3 2 654.1 1 180.9 116.7 15 906.4 2 988.9 1 525.7 117.2 14 859.5 4 425.7 1 497.7 151.7 15 203.9 4 061.6 1 878.1 107.1 14 301.1 4 161.9 1 735.4 290.8 6 091.9 1 881.1 1 543.4 201.3 6 907.6 3 023.9 2 375.2 256.8 3 758.7 2 040.9 1 937.7 325.0 Jumlah 9 397.1 8 764.9 10 395.8 11 801.1 13 280.2 13 575.3 14 317.1 14 739.4 19 336.0 21 580.2 22 566.1 23 024.0 26 362.3 29 709.1 29 928.5 33 833.5 32 090.5 33 612.0 17 522.8 22 005.8 15 988.6 143 Standarisasi Effort untuk penangkapan ikan pelagis besar Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 payang 29 304.8 33 845.2 37 821.1 40 803.0 51 201.5 45 479.5 50 945.3 34 301.1 37 610.8 45 363.9 45 893.7 48 901.1 41 887.6 34 938.6 29 676.4 46 271.4 36 624.4 42 052.8 39 658.9 24 716.6 32 156.1 pk.pti 31 011.5 38 050.9 51 163.2 54 785.5 55 032.2 49 687.3 45 813.4 51 591.4 58 539.8 38 791.4 28 071.6 24 930.0 30 096.6 30 763.4 27 752.9 32 275.6 28 105.0 18 044.9 24 215.5 22 953.5 12 108.4 Effort pk.ccn 1 413.4 1 409.3 1 120.8 1 243.7 1 635.0 1 929.6 1 901.9 1 018.8 2 094.6 1 381.9 1 118.7 1 461.7 1 460.5 1 731.5 1 533.3 1 449.5 1 211.4 1 218.0 1 127.9 2 274.8 2 092.7 j.i.hanyut 21 927.4 27 233.5 31 227.6 29 705.8 47 221.7 47 161.7 48 450.6 34 540.3 51 002.2 49 882.4 36 220.7 31 855.2 20 827.7 21 225.8 18 461.9 32 202.3 23 874.6 33 603.3 43 039.3 22 146.5 37 471.7 bagan 37 306.1 38 005.7 40 577.7 44 755.0 52 969.9 55 274.1 56 517.5 67 276.6 68 904.5 60 904.5 66 035.7 67 086.8 75 555.6 83 435.7 96 604.8 95 492.1 89 557.7 99 420.6 67 574.5 55 644.8 44 756.0 payang 0.048 0.049 0.066 0.059 0.057 0.063 0.059 0.068 0.104 0.112 0.099 0.068 0.091 0.095 0.090 0.125 0.116 0.138 0.074 0.112 0.068 pk.pti 0.044 0.028 0.027 0.032 0.036 0.034 0.039 0.046 0.039 0.046 0.053 0.068 0.091 0.095 0.090 0.125 0.116 0.138 0.074 0.112 0.068 CPUE pk.ccn j.i.hanyut 0.519 0.031 0.451 0.019 0.532 0.024 0.697 0.041 0.562 0.027 0.624 0.027 0.653 0.027 0.622 0.029 0.784 0.029 1.053 0.041 1.043 0.029 1.107 0.028 1.099 0.033 1.242 0.039 1.235 0.037 1.057 0.039 1.169 0.044 1.253 0.044 0.958 0.025 0.804 0.043 0.751 0.034 bagan 0.140 0.129 0.127 0.124 0.122 0.119 0.123 0.125 0.145 0.185 0.217 0.234 0.245 0.258 0.237 0.246 0.267 0.238 0.171 0.263 0.223 payang 0.343 0.377 0.516 0.474 0.466 0.526 0.480 0.547 0.717 0.602 0.456 0.291 0.373 0.366 0.381 0.507 0.433 0.581 0.435 0.427 0.303 pk.pti 0.318 0.214 0.211 0.258 0.293 0.287 0.319 0.369 0.268 0.251 0.242 0.254 0.231 0.238 0.274 0.226 0.196 0.269 0.214 0.304 0.359 Indeks pk.ccn j.i.hanyut 3.715 0.219 3.489 0.146 4.177 0.192 5.610 0.328 4.600 0.224 5.244 0.223 5.312 0.221 4.987 0.231 5.390 0.197 5.684 0.224 4.809 0.136 4.731 0.121 4.481 0.135 4.810 0.150 5.217 0.156 4.296 0.158 4.379 0.165 5.272 0.186 5.619 0.149 3.064 0.165 3.367 0.154 bagan 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 144 lanjutan Tahun 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 payang 10 048.5 12 761.4 19 517.4 19 334.6 23 860.1 26 933.3 24 461.4 18 779.2 26 983.8 27 310.2 20 906.9 14 236.2 15 621.8 12 803.3 11 293.7 23 473.6 15 863.9 24 440.1 17 249.4 10 554.3 9 685.0 pk.pti 9 874.5 8 130.4 10 786.7 14 134.7 16 113.6 15 819.4 14 604.1 19 029.3 15 694.5 9 729.6 6 804.2 6 341.3 6 967.3 7 321.0 7 594.3 7 288.8 5 516.4 4 853.7 5 174.0 6 976.2 4 326.2 Standarisasi Effort pk.ccn 5 251.2 4 917.1 4 681.5 6 977.2 7 520.5 8 573.6 10 103.2 5 081.2 11 290.0 7 855.3 5 380.4 6 915.0 6 544.1 8 328.3 7 998.8 6 226.5 5 305.2 6 421.5 6 337.3 6 968.9 7 002.4 j.i.hanyut 4 794.5 3 970.5 5 984.4 9 746.6 10 575.6 10 524.8 10 730.8 7 980.4 10 052.6 11 159.5 4 921.1 3 845.3 2 804.1 3 177.9 2 883.6 5 072.7 3 944.9 6 529.6 6 410.6 3 657.4 5 747.6 bagan 37 306.1 38 005.7 40 577.7 44 755.0 52 969.9 55 274.1 56 517.5 67 276.6 68 904.5 60 904.5 66 035.7 67 086.8 75 555.6 83 435.7 96 604.8 95 492.1 89 557.7 99 420.6 67 574.5 55 644.8 44 481.6 Total standarisasi effort 67 274.7 67 785.0 81 547.6 94 948.1 111 039.7 114 821.0 116 417.0 118 146.6 132 925.3 116 492.5 104 048.3 98 424.6 107 492.7 115 066.1 126 375.2 137 553.6 120 188.2 141 395.4 102 745.8 83 801.6 71 243.1 145 Lampiran 4. Analisis CYP Pelagis Besar Data: E 15551.77 16506.70 21437.29 21842.77 25968.85 28758.25 24260.33 25989.80 21702.25 22567.17 24619.39 21898.34 22327.76 27378.11 21386.49 24847.36 23266.32 25794.07 23462.51 13386.47 E2 U 32058.47 37944.00 43280.06 47811.62 54727.11 53018.58 50250.13 47692.05 44269.42 47186.56 46517.73 44226.11 49705.87 48764.60 46233.85 48113.68 49060.39 49256.57 36848.97 26989.89 LNU 0.3958263 0.4267539 0.3834719 0.4007642 0.4324334 0.5019533 0.6289330 0.5729209 0.5609327 0.4348529 0.5233720 0.6179646 0.6557217 0.6156451 0.8157019 0.8185415 0.7808627 0.7190141 0.4402087 0.6534882 LNU1 -0.9267797 -0.8515478 -0.9584889 -0.9143820 -0.8383269 -0.6892482 -0.4637305 -0.5570076 -0.5781544 -0.8327475 -0.6474628 -0.4813241 -0.4220187 -0.4850846 -0.2037063 -0.2002312 -0.2473559 -0.3298743 -0.8205062 -0.4254308 -0.8515478 -0.9584889 -0.9143820 -0.8383269 -0.6892482 -0.4637305 -0.5570076 -0.5781544 -0.8327475 -0.6474628 -0.4813241 -0.4220187 -0.4850846 -0.2037063 -0.2002312 -0.2473559 -0.3298743 -0.8205062 -0.4254308 -0.3379380 Hasil VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 17 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNU 0.71268 0.1660 4.293 0.000 0.721 0.7323 0.7499 E2 -0.99193E-06 0.6117E-05 -0.1622 0.873-0.039 -0.0281 0.0795 CONSTANT -0.96389E-01 0.3167 -0.3043 0.765-0.074 0.0000 0.1708 DURBIN-WATSON = 1.9898 VON NEUMANN RATIO = 2.0945 RHO = -0.00906 RESIDUAL SUM = -0.49613E-02 RESIDUAL VARIANCE = 0.34454E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 2.6315 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.4808 RUNS TEST: 8 RUNS, 10 POS, 0 ZERO, 10 NEG NORMAL STATISTIC = -1.3784 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -6.6104 -11.2 A(1)=0 T-TEST -1.9448 -2.57 A(0)=A(1)=0 2.0930 3.78 AIC = -3.271 SC = -3.172 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -11.839 -18.2 A(1)=0 T-TEST -2.6837 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.5582 4.03 146 A(1)=A(2)=0 3.6117 5.34 AIC = -3.337 SC = -3.188 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -6.5460 -11.2 A(1)=0 T-TEST -2.0182 -2.57 A(0)=A(1)=0 2.2320 3.78 AIC = -3.287 SC = -3.187 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -11.857 -18.2 A(1)=0 T-TEST -2.6504 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.5365 4.03 A(1)=A(2)=0 3.5897 5.34 AIC = -3.337 SC = -3.188 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -5.1317 -11.2 A(1)=0 T-TEST -1.2695 -2.57 A(0)=A(1)=0 0.83276 3.78 AIC = 17.135 SC = 17.235 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -3.1745 -18.2 A(1)=0 T-TEST -0.92308 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 3.6070 4.03 A(1)=A(2)=0 5.3717 5.34 AIC = 16.818 SC = 16.967 --------------------------------------------------------------------------- 147 Lampiran 5. Analisis CYP Pelagis Kecil Data E 67274.74 67784.96 81547.63 94948.09 111039.7 114821.0 116417.0 118146.6 132925.3 116492.5 104048.3 98424.58 107492.7 115066.1 126375.2 137553.6 120188.2 141395.4 102745.8 83801.61 E2 U 135059.7 149332.6 176495.7 205987.8 225860.7 231238.0 234563.6 251071.9 249417.8 220540.8 202472.9 205917.3 222558.8 241441.3 263928.9 257741.8 261583.6 244141.2 186547.4 155044.7 LNU LNU1 0.1396800 0.1293000 0.1274800 0.1242900 0.1221200 0.1182300 0.1229800 0.1247600 0.1454700 0.1852500 0.2168800 0.2339300 0.2452500 0.2581900 0.2368200 0.2459700 0.2670000 0.2377200 0.1705500 0.2625900 -1.968380 -2.045590 -2.059790 -2.085140 -2.102750 -2.135120 -2.095720 -2.081400 -1.927820 -1.686050 -1.528410 -1.452750 -1.405490 -1.354050 -1.440440 -1.402560 -1.320500 -1.436680 -1.768760 -1.337150 -2.045590 -2.059790 -2.085140 -2.102750 -2.135120 -2.095720 -2.081400 -1.927820 -1.686050 -1.528410 -1.452750 -1.405490 -1.354050 -1.440440 -1.402560 -1.320500 -1.436680 -1.768760 -1.337150 -1.494220 VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 17 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNU 0.90180 0.9882E-01 9.125 0.000 0.911 0.9043 0.9143 E2 0.48097E-06 0.8514E-06 0.5649 0.580 0.136 0.0579 -0.0608 CONSTANT -0.24853 0.2869 -0.8661 0.398-0.206 0.0000 0.1455 DURBIN-WATSON = 1.9904 VON NEUMANN RATIO = 2.0951 RHO = -0.00524 RESIDUAL SUM = -0.18125E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.24374E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 2.2055 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.7872 RUNS TEST: 7 RUNS, 8 POS, 0 ZERO, 12 NEG NORMAL STATISTIC = -1.7270 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -0.11238 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -2.6404 -11.2 A(1)=0 T-TEST -1.2194 -2.57 A(0)=A(1)=0 1.0680 3.78 AIC = SC = --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -6.9846 -18.2 A(1)=0 T-TEST -1.7799 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.3195 4.03 -3.603 -3.504 148 A(1)=A(2)=0 1.6408 5.34 AIC = SC = --------------------------------------------------------------------------- -3.601 -3.452 VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 19 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -1.7332 -11.2 A(1)=0 T-TEST -0.77980 -2.57 A(0)=A(1)=0 0.73129 3.78 AIC = SC = --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -7.4927 -18.2 A(1)=0 T-TEST -2.1088 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.8862 4.03 A(1)=A(2)=0 2.3281 5.34 AIC = SC = --------------------------------------------------------------------------- -3.608 -3.509 -3.723 -3.574 VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 1 NO.OBS = 18 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST -3.0178 -2.57 A(0)=A(1)=0 4.6664 3.78 AIC = 19.353 SC = 19.501 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -2.2422 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.9036 4.03 A(1)=A(2)=0 4.2502 5.34 AIC = 19.464 SC = 19.662 --------------------------------------------------------------------------Hasil setelah dilakukan uji Sationary VARIABLE ESTIMATED STANDARD T-RATIO PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY NAME COEFFICIENT ERROR 15 DF P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS LNU 0.49782 0.2206 2.256 0.039 0.503 0.5041 0.4996 E2 -0.12662E-06 0.1876E-05 -0.6748 0.510-0.172 -0.1458 0.1641 CONSTANT -0.58102 0.5903 -0.9842 0.341-0.246 0.0000 0.3406 DURBIN-WATSON = 1.8293 VON NEUMANN RATIO = 1.9369 RHO = - 0.03471 RESIDUAL SUM = 0.91214E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.28976E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 2.4032 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.7510 149 RUNS TEST: 12 RUNS, 8 POS, 0 ZERO, 10 NEG NORMAL STATISTIC = 1.0395 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -0.23133 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 |_coint LnU1 LnU E2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1, 18 REQUIRED MEMORY IS PAR= 4 CURRENT PAR= 500 ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 18 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -2.6554 -11.2 A(1)=0 T-TEST -1.1332 -2.57 A(0)=A(1)=0 0.64222 3.78 AIC = -3.312 SC = -3.214 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -2.3238 -18.2 A(1)=0 T-TEST -0.80899 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 0.41627 4.03 A(1)=A(2)=0 0.62421 5.34 AIC = -3.198 SC = -3.051 --------------------------------------------------------------------------VARIABLE : LNU DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -2.1128 -11.2 A(1)=0 T-TEST -0.90616 -2.57 A(0)=A(1)=0 0.42431 3.78 AIC = -3.370 SC = -3.272 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST 1.9013 -18.2 A(1)=0 T-TEST 0.53944 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.0326 4.03 A(1)=A(2)=0 1.5340 5.34 AIC = -3.397 SC = -3.250 --------------------------------------------------------------------------- 150 VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 1 NO.OBS = 16 NULL TEST ASY. CRITICAL HYPOTHESIS STATISTIC VALUE 10% --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, NO TREND A(1)=0 T-TEST -3.3775 -2.57 A(0)=A(1)=0 5.7937 3.78 AIC = 18.834 SC = 18.979 --------------------------------------------------------------------------CONSTANT, TREND A(1)=0 T-TEST -3.3748 -3.13 A(0)=A(1)=A(2)=0 4.6070 4.03 A(1)=A(2)=0 6.8160 5.34 AIC = 18.830 SC = 19.023 --------------------------------------------------------------------------|_stop TYPE COMMAND 151 Lampiran 6. Output Maple untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar TAHUN 2004 > r:=0.888649773; k:=46018.414; q:=0.00002421; p:=8485; c:=2469.09; i:=0.15; r := 0.888649773 k := 46018.414 q := 0.00002421 p := 8485 c := 2469.09 i := 0.15 > f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f(x) := 0.888649773 ln⎛⎜ ⎝ ⎛ 46018.414 ⎞ 2194.156268 ln⎜ ⎟ x 46018.414 ⎞ ⎝ ⎠ = 0.15 ⎟ - 0.888649773 + x x (0.20542185 x - 2469.09) ⎠ > solve(f(x),x); 14305.95041 > g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; 46018.414 ⎞ 12710.07597 =0 g(x) := ln⎛⎜ ⎟ - 1.168795407 + x x ⎝ ⎠ > a:=fsolve(g(x),x); a := 24185.77848 > optx:=a; optx := 24185.77848 > h:=r*optx*ln(k/optx); h := 13825.74720 > E:=h/(q*optx); E := 23612.05311 > Go(y):=q*k*y*exp((-q/r)*y); Go(y) := 1.114105803 y e (-0.00002724357867 y) 152 Lampiran 7. Rezim pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil > r:=0.67055; K:=92986.64; q:=0.00000338; p:=6.385; c:=0.512; i:=0.15; r := 0.67055 K := 92986.64 q := 0.00000338 p := 6.385 c := 0.512 i := 0.15 > hs:=q*K*E*exp((-q/r)*E); hs := 0.3142948432 E e (-0.000005040638282 E) > Emax:=diff(hs,E); Emax := 0.3142948432 e (-0.000005040638282 E) - 0.000001584246618 E e (-0.000005040638282 E) > Esus:=solve(Emax=0,E); Esus := 1.983875740 105 > hsus:=q*K*Esus*exp((-q/r)*Esus); hsus := 22938.08935 > Xsus:=(hsus/(q*Esus)); Xsus := 34207.87316 > pisus:=p*hsus-c*Esus; pisus := 44885.2626 > pi:=p*hs-c*E; π := 2.006772574 E e (-0.000005040638282 E) - 0.512 E > Eoa:=solve(pi=0,E); Eoa := 0., 2.709891733 105 > Xoa:=(c/(p*q)); Xoa := 23724.24275 > hoa:=(Eoa*q*Xoa); hoa := 0., 21730.06370 > Eopt:=diff(pi,E); Eopt := 2.006772574 e (-0.000005040638282 E) - 0.00001011541466 E e (-0.000005040638282 E) - 0.512 153 > Eopt:=solve(Eopt=0,E); Eopt := 1.101831229 105 > TR:=p*hs; TR := 2.006772574 E e (-0.000005040638282 E) > TC:=c*E; TC := 0.512 E > plot({TC,TR},E=0..500000); > plot(hs,E=0..500000); 154 > hopt:=q*K*Eopt*exp((-q/r)*Eopt); hopt := 19872.29847 > Xopt:=(hopt/(q*Eopt)); Xopt := 53360.06179 > phiopt:=hopt*p-c*Eopt; phiopt := 70470.86678 > 155 Lampiran 8. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisik dari DMU Penangkapan ikan Pelagis Besar DMU 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Parameter Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Skor Data 15 551.77 6 155.80 11 341.01 16 506.70 7 044.30 11 728.32 21 437.29 8 220.60 13 317.41 21 842.77 8 753.80 13 420.26 25 968.85 11 229.80 14 259.27 28 758.25 14 435.30 14 635.58 24 260.33 15 258.12 13 955.71 25 989.80 14 890.10 14 262.63 21 702.25 12 173.50 13 385.06 22 567.17 9 813.40 13 594.44 24 619.39 12 885.10 14 024.42 21 898.34 13 532.40 13 434.06 22 327.76 14 640.80 13 538.21 27 378.11 16 855.20 14 466.96 21 386.49 17 445.00 13 304.25 24 847.36 20 338.60 Proyeksi 14 661.70 9 580.84 11 341.01 15 161.77 9 908.04 12 111.42 17 216.06 11 250.49 13 317.41 17 349.02 11 337.38 13 420.26 18 433.64 12 046.17 14 259.27 19 721.07 14 435.30 14 635.58 20 000.05 15 258.12 13 955.71 19 876.86 14 890.10 14 262.63 17 383.73 12 173.50 13 385.06 17 574.19 11 484.52 13 594.44 18 226.15 12 885.10 14 024.42 18 327.87 13 532.40 13 434.06 19 273.01 14 640.80 13 538.21 21 563.49 16 855.20 14 466.96 21 386.49 17 445.00 13 304.25 24 847.36 20 338.60 Perbedaan -890.70 3 425.04 0.00 -1 344.93 2 863.74 0.00 -4 221.23 3 029.89 0.00 -4 493.75 2 583.58 0.00 -7 535.21 816.37 0.00 -9 037.18 0.00 0.00 -4 260.27 0.00 0.00 -6 112.94 0.00 0.00 -4 318.52 0.0 0.00 -4 992.99 1 671.12 0.00 -6 393.25 0.00 0.00 -3 570.47 0.00 0.00 -3.054.76 0.00 0.00 -5 814.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Persen (%) -5.73 55.64 0.00 -8.15 40.65 0.00 -19.69 36.86 0.00 -20.57 29.51 0.00 -29.02 7.27 0.00 -31.42 0.00 0.00 -17.56 0.00 0.00 -23.52 0.00 0.00 -19.90 0.00 0.00 -22.12 17.03 0.00 -25.97 0.00 0.00 -16.30 0.00 0.00 -13.68 0.00 0.00 -21.24 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 156 Produksi Lestari 2000 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 2001 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 2002 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 2003 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 2004 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 14 066.67 23 266.32 18 167.80 13 751.22 25 794.07 18 546.30 14 230.88 23 462.51 10 328.40 13 793.27 13 386.47 8 747.90 10 355.05 13 603.42 9 702.50 10 460.87 14 066.67 22 266.35 18 167.80 13 751.22 22 785.03 18 546.30 14 230.88 17 831.23 11 652.50 13 793.27 13 386.47 8 747.90 10 355.05 13 603.42 9 702.50 10 460.87 0.00 -999 96 0.00 0.00 -3 009.04 0.00 0.00 -5 631.28 1 324 .10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -4.30 0.00 0.00 -11.67 0.00 0.00 -24.00 12.82 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 157 Lampiran 9. Potensi Perbaikan Efisiensi Fisik dari DMU Penangkapan ikan Pelagis Kecil DMU 1984 Parameter Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1985 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1986 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1987 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1988 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1989 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1990 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1991 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1992 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1993 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1994 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1995 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1996 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1997 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1998 Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 1999 Effort Skor Data 67 274.74 9 397.10 15 067.43 67 784.96 8 764.90 15 142.69 81 547.63 10 395.80 16 995.73 94 948.09 11 801.10 18 495.53 111 039.70 13 560.20 19 944.23 114 821.00 13 575.30 20 233.87 116 417.00 14 317.13 20 350.67 118 146.60 14 739.40 20 473.67 132 925.30 19 336.00 21 380.40 116.492.50 21 580.20 20 356.11 104 048.30 22 566.10 19 359.12 98 424.58 23 024.00 18 839.55 107 492.70 26 362.30 19 655.59 115 066.10 29 709.11 20 252.02 126 375.20 29 928.50 21 009.47 137 553.60 Proyeksi 67 274.74 9 397.10 15 067.43 67 610.78 9 444.04 15 142.69 75 884.45 10 599.72 16 995.73 82 648.58 11 801.10 18 495.53 89 334.46 13.560.20 19.944.23 90.585.60 13.575.30 20.233.87 91.277.24 14.317.13 20.350.67 91.914.29 14.739.40 20.473.67 96.987.98 19,336.00 21.380.40 93.888.53 21.580.20 20.356.11 91.585.09 22.566.10 19.359.12 90.321.90 23.024.00 18.839.55 99.936.40 26.362.30 19.655.59 111.785.00 29.709.11 20.252.02 112.879.00 29.928.50 21.009.47 126.716.20 Perbedaan 0.00 0.00 0.00 -174.18 679.14 0.00 -5 663.18 203.92 0.00 -12 299.50 0.00 0.00 -21 705.20 0.00 0.00 -24 235.40 0.00 0.00 -25 139.70 0.00 0.00 -26 232.30 0.00 0.00 -35 937.30 0.00 0.00 -22 603.90 0.00 0.00 -12 463.20 0.00 0.00 -8.102,68 0 0 -7.556.30 0.00 0.00 -3 281.13 0.00 0.00 -13 496.20 0.00 0.00 -10.837.40 Persen (%) 0.00 0.00 0.00 -0.26 7.75 0.00 -6.94 1.96 0.00 -12.95 0.00 0.00 -19.55 0.00 0.00 -21.11 0.00 0.00 -21.59 0.00 0.00 -22.20 0.00 0.00 -27.04 0.00 0.00 -19.40 0.00 0.00 -11.98 0.00 0.00 -8.23 0.00 0.00 -7.03 0.00 0.00 -2.85 0.00 0.00 -10.68 0.00 0.00 -7.88 158 2000 2001 2002 2003 2004 Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari Effort Produksi Aktual Produksi Lestari 33 833.50 21 614.43 120 188.20 32 090.50 20 614.13 141 395.40 33 612.00 21 791.81 102 745.80 17 522.80 19 242.75 83 801.61 22 005.80 17 268.10 71 682.64 15 988.60 15 701.73 33 833.50 21 733.79 120 188.20 32 090.50 20 614.13 125 975.10 33 612.00 21 791.81 87 321.52 17 522.80 19 242.75 83 801.61 22 005.80 17 268.10 71 682.64 15 988.60 15 701.73 0.00 119 357.10 0.00 0.00 0.00 -15 420.30 0.00 0.00 -15 424.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.55 0.00 0.00 0.00 -10.91 0.00 0.00 -15.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 159 Lampiran 10. Potensi Perbaikan Efisiensi moneter dari DMU Penangkapan ikan Pelagis Besar DMU Parameter 1984 Biaya Rente Biaya 1985 Rente 1986 Biaya Rente 1987 Biaya Rente 1988 Biaya Rente Biaya 1989 Rente 1990 Biaya Rente Biaya 1991 Rente 1992 Biaya Rente Biaya 1993 Rente 1994 Biaya Rente Biaya 1995 Rente 1996 Biaya Rente Biaya 1997 Rente 1998 Biaya Rente 1999 Biaya Rente 2000 Biaya Rente 2001 Biaya Rente 2002 Biaya Rente 2003 Biaya Rente 2004 Biaya Rente Skor Data Proyeksi 3 085 750 969 1 288 830 389 3 827 389 870 2 022 546 355 5 512 851 824 2 058 628 642 5 570 650 599 2 425 220 460 4 021 110 435 7 327 341 150 7 316 338 632 5 836 758 647 7 551 012 398 9 458 054 852 8 472 839 052 8 912 956 377 6 529 467 691 6 588 285 542 7 383 147 916 4 115 713 551 11 172 182 971 9 769 879 119 9 499 303 460 11 525 226 286 9 577 853 111 12 915 732 550 8 431 811 341 10 160 022 857 22 874 647 960 43 953 097 838 47 982 165 092 92 684 595 990 47 994 040 381 86 230 813 019 56 698 148 462 89 310 047 742 51 538 900 516 29 718 840 792 29 841 799 054 40 002 939 511 32 227 689 993 50 098 022 507 1 492 192 493 28 052 463 591 1 995 443 725 32 101 427 804 2 582 671 435 37 461 919 198 2 727 433 277 39 891 753 433 51 175 079 703 3 871 015 962 4 486 590 011 65 782 794 710 5 801 881 458 69 532 450 010 5 930 385 402 67 855 353 994 4 474 533 972 55 475 594 647 3 922 321 556 44 720 433 771 7 143 446 489 58 718 411 680 7 171 576 636 61 668 208 568 7 672 679 263 66 719 274 334 6 341 771 510 76 810 468 878 22 795 292 270 79 498 233 755 47 982 165 092 92 684 595 990 47 686 442 635 86 230 813 019 52 628 637 112 89 310 047 742 27 717 438 920 47 067 329 178 23 906 920 569 40 002 939 511 31 818 102 535 50 098 022 507 Perbedaan -1 593 558 476 26 763 633 202 -1 831 946 145 30 078 881 449 -2 930 180 389 35 403 290 556 -2 843 217 321 37 466 532 973 47 153 969 268 -3 456 325 188 -2 829 748 621 59 946 036 063 -1 749 130 940 60 074 395 157 -2 542 453 650 58 942 397 618 -2 054 933 719 48 887 309 105 -3 460 826 359 40 604 720 220 -4 028 736 482 48 948 532 561 -2 327 726 824 50 142 982 282 -1 905 173 848 53 803 541 784 -2 090 039 831 66 650 446 021 -79 355 690 35 545 135 917 0.00 0.00 -307 597 746 0.0 -4 069 511 350 0.00 -23 821 461 595 17 348 488 386 -5 934 878 485 0.00 -409 587 458 0.00 Persen (%) -51.64 999.99 -47.86 999.99 -53.15 999.99 -51.04 999.99 999.99 -47.17 -38.68 999.99 -23.16 635.17 -30.01 661.31 -31.47 742.03 -46.87 986.58 -36.06 501.01 -24.50 435.07 -19.89 416.57 -24.79 656.01 -0.35 80.87 0.00 0.00 -0.64 0.00 -7.18 0.00 -46.22 58.38 -19.89 0.00 -1.27 0.00 160 Lampiran 11. Potensi Perbaikan Efisiensi Moneter dari DMU Penangkapan ikan Pelagis Kecil DMU 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Parame ter Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Biaya Rente Skor Data Proyeksi Perbedaan 2 748 084 812 2 277 133 111 3 235 733 186 2 241 601 878 4 317 324 707 2 887 845 759 4 985 187 445 3 126 303 871 6 450 135 159 3 861 789 647 6 013 808 426 3 294 284 469 7 459 709 525 4 550 331 625 7 929 472 103 5 021 006 260 8 233 373 206 7 445 674 772 7 846 197 487 11 182 096 855 9 720 592 046 17 878 653 655 8 789 842 971 18 128 064 492 9 492 900 809 20 985 083 134 7 295 612 942 17 364 043 646 27 827 474 459 58 446 507 623 54 685 051 629 121 401591 590 51 040 917 030 127 367 827 383 63 985 471 332 135 138 417 336 46 464 563 905 57 274 961 361 38 459 914 398 93 753 677 108 34 747 287 539 67 339 923 461 1 437 663 450 37 297 275 228 1 567 009 540 34 788 060 960 2 061 325 577 41 261 135 224 2 320 614 702 46 838 798 639 2 950 136 217 53 820 701 232 2 662 950 175 53 880 633 430 3 435 949 936 56 824 971 330 3 704 999 404 58 500 969 288 4.485 615 263 76 744 965 341 5 443 800 392 85 652 239 401 7 895 861 913 89 565 295 945 7 700 938 011 91 382 710 075 8 719 439 480 104 632 000 000 7 054 875 533 117 916 000000 24 682 103 872 118 787 000 000 50 376 587 628 134 286 000 000 51 040 917 030 127 368 000 000 57 136 393 223 135 138 417 332 29 678 817 141 69 548 338 782 38 459 914 398 93 753 677 108 29 614 507 018 67 339 923 461 -1 310 421 362 35 020 142 117 -1 668 723 646 32 546 459 082 -2 255 999 130 38 373 289 465 -2 664 572 743 43 712 494 768 -3 499 998 941 49 958 911 585 -3 350 858 251 50 586 348 961 -4 023 759 590 52 274 639 705 -4 224 472 700 53 479 963 028 -3 747 757 943 69 299 290 569 -2 402 397 096 74 470 142 546 -1 824 730.133 71 686 642.290 -1 088 904.960 73 254 645.583 -773 461.329 83 647 405.479 -240 737.408 100 552 000 000 -3 145 370 587 60 340 299 121 -4 308 464 000 12 884 237 169 0.00 0.00 -6 849 078 109 0.00 -16 785 746 764 12 273 377 420 0 00 0 00 -5 132 780 521 0.00 Persen (%) -47.68 999.99 -51.57 999.99 -52.25 999.99 -53.45 999.99 -54.26 999.99 -55.72 999.99 -53.94 999.99 -53.28 999.99 -45.52 930.73 -30.62 665.98 -18.77 400.96 -12.39 404.10 -8.15 398.60 -3.30 579.08 -11.30 103.24 -7.88 10.61 0.00 0.00 -10.70 0.00 -36.13 21.43 0.00 0.00 -14.77 0.00 161 Lampiran 12. Efisiensi Teknis Input Kapal Motor Tonda Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 output Input Produksi pelagis besar Produksi ikan lainnya 8 436 7 950 7 045 7 608 7 803 9 604 7 138 8 011 8 917 8 320 9 574 8 994 7 914 7 829 8 774 7 438 7 668 8 742 9 224 15 472 13 254 13 451 14 637 11 984 10 378 10 491 9 665 9 473 10 123 9 554 10 736 9 079 10 188 9 897 9 995 10 670 11 729 9 426 7 625 7 586 12 392 10 645 8 489 9 288 2 812 2 650 2 348 2 536 2 601 5 171 3 844 2 003 1 957 1 826 2 102 1 974 1 737 1 718 1 926 2 892 2 982 2 466 2 602 1 719 2 339 2 374 3 213 2 631 1 831 1 851 1 444 1 415 1 513 1 428 1 604 1 357 1 522 1 479 1 493 1 595 1 753 1 663 2 151 2 140 1 690 1 452 1.158 1.267 Tonnase Panjang Kekuatan Upaya ABK /trip (org) kapal kapal mesin (pk) (GT) 10.6 8.8 6.0 7.0 9.0 12.6 10.0 8.0 9.0 7.0 10.0 8.0 7.0 7.0 8.0 8.0 7.5 7.4 8.0 10.0 9.0 8.0 8.0 9.0 10.0 9.0 8.0 8.5 9.0 11.5 10.0 8.3 8.2 9.0 10.0 10.0 6.8 4.5 5.0 7.0 11.4 4.0 4.3 1.6 13.0 12.0 12.5 11.5 12.0 17.0 13.0 11.0 12.0 11.0 13.0 11.0 11.0 11.0 12.0 11.0 11.0 11.0 11.0 15.0 14.0 16.2 13.0 14.0 13.5 15.2 14.0 15.0 15.1 14.8 13.0 11.7 12.0 13.0 14.0 14.0 15.0 10.0 10.0 12.0 13.0 10.0 10.0 8.0 33 22 16 16 22 40 40 33 33 33 33 33 22 33 33 16 16 16 22 22 16 16 33 33 24 16 16 22 24 33 33 22 22 22 33 33 16 12 23 23 16 22 23 14 12 12 12 12 12 22 17 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 17 15 14 14 14 14 14 13 12 13 12 13 15 13 12 13 22 22 23 22 18 18 18 18 18 18 3 3 3 3 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 Efisien si teknis input 1.00 0.98 1.00 1.00 0.96 1.00 0.97 0.71 0.66 0.67 0.65 0.73 0.69 0.63 0.65 0.97 1.00 0.97 0.97 1.00 1.00 1.00 1.00 0.82 0.72 0.82 0.80 0.66 0.72 0.64 0.73 0.70 0.78 0.71 0.66 0.71 0.90 1.00 0.95 0.80 0.96 1.00 0.79 1.00 162 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 10 842 9 023 7 523 7 873 8 393 7 979 9 333 11 388 9 995 8 838 10 798 10 480 10 441 12 947 10 008 11 464 14 988 11 863 12 610 9 854 11 917 10 749 11 629 12 321 12 199 12 929 13 458 13 066 17 768 16 620 15 520 12 214 12 931 8 804 8 977 14 291 11 474 8 998 1.479 1.592 2.376 2.486 2.650 2.520 1.647 2.010 1.764 1.560 1.906 1.849 1.843 2.205 1.629 1.866 2.440 1.931 2.053 1.604 2.103 1.897 2.052 2.174 2.153 2.282 2.375 2.306 3.136 2.266 2.116 2.155 2.281 1.554 2.681 2.522 2.025 2.250 10.3 5.0 8.1 11.7 11.7 8.1 8.3 14.8 10.1 10.2 9.1 10.0 9.8 6.6 10.2 6.1 10.1 10.1 12.4 10.6 11.5 11.5 12.4 12.6 12.8 13.3 12.7 5.9 11.8 11.3 9.2 12.6 7.7 8.9 9.1 9.5 9.3 5.6 14.7 11.0 12.7 16.2 16.2 12.8 12.0 12.0 12.9 13.0 11.7 12.8 12.5 12.6 13.5 12.8 14.1 13.9 15.6 14.0 16.0 14.8 15.5 16.0 16.2 16.3 15.8 11.0 15.0 15.5 14.5 15.8 13.1 12.4 13.8 14.7 13.7 10.5 33 16 22 33 33 22 22 33 22 22 16 22 16 16 33 33 22 22 33 16 40 22 33 33 33 33 33 33 37 37 33 33 26 22 33 33 23.4 22 14 18 18 18 18 18 13 13 13 12 12 12 12 22 22 22 15 12 12 18 22 12 12 14 12 12 12 23 12 12 12 12 22 12 16 12 12 18 5 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 4 4 3 4 4 4 3 0.64 0.88 0.74 0.67 0.72 0.78 0.72 0.80 0.73 0.65 1.00 0.93 0.96 1.00 0.67 0.81 1.00 0.87 0.86 0.89 0.80 0.78 0.80 0.83 0.84 0.89 0.92 1.00 1.00 0.96 1.00 0.84 0.90 0.79 0.75 0.98 0.82 0.95 163 Lampiran 13. Ukuran kapasitas dan kapasitas optimal kapal motor tonda Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 41 43 44 45 Output (kg) Produksi Produksi pelagis ikan besar lainnya Ukuran kapasitas (Theta) kapasitas 2 812 2 650 2 348 2 536 2 601 4 579 3 494 2 003 1 957 1 826 2 102 1 974 1 737 1 718 1 926 2 892 2 982 2 466 2 602 1 719 2 339 2 374 3 213 2 631 1 831 1 851 1 444 1 415 1 513 1 428 1 604 1 357 1 522 1 479 1 493 1 595 1 753 1 663 2 151 2 140 1 690 1 452 1 038 1 147 1 358 1.28 1.21 1.10 1.11 1.23 1.00 1.03 1.41 1.52 1.53 1.38 1.44 1.58 1.54 1.54 1.03 1.00 1.05 1.09 1.05 1.00 1.00 1.00 1.28 1.42 1.27 1.37 1.71 1.66 1.82 1.44 1.49 1.35 1.48 1.65 1.55 1.11 1.00 1.11 1.39 1.05 1.10 1.38 1.00 1.60 14 408.69 12 836.60 10 304.12 11 219.26 12 838.54 14 775.00 11 300.48 14 139.77 16 474.11 15 107.39 17 851.08 15 102.94 13 926.39 15 103.35 16 478.00 10 650.23 10 650.00 11 812.18 12 913.99 18 033.36 15 593.00 15 825.00 17 850.00 18 720.53 17 336.78 15 723.71 15 163.79 18 663.75 19 290.83 20 020.19 17 707.90 15 548.15 15 548.15 16 847.86 22 309.15 20 671.41 14 965.02 11 089.00 10 840.48 13 546.93 14 814.26 13 317.70 13 350.06 10 555,00 19 662.72 8 436 7 950 7 045 7 608 7 803 8 504 6 488 8 011 8 917 8 320 9 574 8 994 7 914 7 829 8 774 7 438 7 668 8 742 9 224 15 472 13 254 13 451 14 637 11 984 10 378 10 491 9 665 9 473 10 123 9 554 10 736 9 079 10 188 9 897 9 995 10 670 11 729 9 426 7 625 7 586 12 392 10 645 7 609 8 408 9 962 Input variabel upaya ABK Upaya ABK optimal optimal 12 12 12 12 12 22 17 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 17 15 14 14 14 14 14 13 12 13 12 13 15 13 12 13 22 22 23 22 18 18 18 18 18 18 14 3 3 3 3 3 5 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 5 15.48 17.42 18.68 19.49 17.42 22.00 16.83 12.26 12.92 11.84 14.00 11.84 14.96 11.84 12.92 18.00 18.00 18.05 14.91 29.30 14.00 14.00 14.00 16.41 22.57 14.00 16.63 29.29 30.86 18.94 12.66 24.01 24.70 26.65 14.30 14.30 20.86 22.00 17.05 18.65 19.71 19.21 18.97 18.00 18.35 3.91 3.41 3.11 3.30 3.41 5.00 3.82 3.36 3.69 3.38 4.00 3.38 3.37 3.38 3.69 3.00 3.00 3.20 3.20 5.12 4.00 4.00 4.00 4.30 4.44 4.00 4.00 5.12 5.32 5.14 4.39 4.26 4.35 4.64 4.76 4.76 4.00 4.00 3.30 3.65 4.00 3.64 3.63 3.00 5.09 164 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 9 023 7 523 7 873 8 393 7 979 9 333 11 388 9 995 8 838 10 798 10 480 10 441 10 797 10 008 9 744 14 988 11 863 12 610 9 854 10 217 10 749 11 629 12 321 12 199 12 929 13 458 13 066 17 768 16 620 15 520 12 214 12 931 8 804 8 977 14 291 11 474 8 998 1 592 2 376 2 486 2 650 2 520 1 647 2 010 1 764 1 560 1 906 1 849 1 843 1 905 1 629 1 586 2 440 1 931 2 053 1 604 1 803 1 897 2 052 2 174 2 153 2 282 2 375 2 306 3 136 2 266 2 116 2 155 2 281 1 554 2 681 2 522 2 025 2 250 1.26 1.37 1.74 1.63 1.31 1.41 1.25 1.40 1.59 1.12 1.32 1.22 1.00 1.60 1.32 1.02 1.27 1.44 1.35 1.59 1.45 1.52 1.47 1.50 1.42 1.34 1.00 1.00 1.10 1.10 1.47 1.14 1.54 1.38 1.19 1.29 1.11 13 364.29 13 718.63 18 024.66 18 033.22 13 774.69 15 525.72 16 747.50 16 403.81 16 501.63 14 177.66 16 311.27 14 923.85 14 702.00 20 181.29 17 555.61 17 758.52 17 559.76 21 099.05 15 411.01 22 235.72 18 273.47 20 837.69 21 322.15 21 526.20 21 628.62 21 136.25 15 371.00 20 904.00 20.812.37 19.417.24 21.136.80 17.281.97 15.920.25 16.076.38 20.007.47 17.427.21 12.462.78 18 18 18 18 18 13 13 13 12 12 12 12 22 22 22 15 12 12 18 22 12 12 14 12 12 12 23 12 12 12 12 22 12 16 12 12 18 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 5 5 5 4 4 3 4 4 4 3 20.38 19.58 21.96 21.96 19.98 20.07 17.84 21.57 21.73 19.82 21.40 21.76 22.00 12.01 25.08 26.15 25.79 24.61 14.01 16.70 24.71 25.97 26.80 27.12 27.29 26.46 23.00 12.00 14.89 17.20 26.45 21.93 20.74 16.66 20.40 22.90 16.27 3.61 3.65 4.70 4.70 3.69 3.98 4.19 4.21 4.24 3.70 4.19 3.95 4.00 4.53 4.64 4.74 4.69 5.46 4.00 5.41 4.72 5.30 5.43 5.48 5.51 5.38 4.00 5.00 5.24 5.00 5.38 4.41 4.08 4.16 4.98 4.48 3.34 165 Lampiran 14. Efisiensi kapal motor tonda dengan memasukkan nilai moneter (penerimaan dan biaya operasional) Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 41 43 44 45 Output Produksi Penerimaan (RP) (kg) 11 248 10 600 9 393 10 144 10 404 14 775 10 982 10 014 10 874 10 146 11 675 10 968 9 651 9 547 10 700 10 330 10 650 11 207 11 826 17 191 15 593 15 825 17 850 14 614 12 209 12 342 11 109 10 889 11 635 10 982 12 340 10 435 11 710 11 376 13 488 13 345 13 482 11 089 9 775 9 725 14 082 12 096 9 646 10 555 12 320 96 048 000 91 094 500 75 731 150 83 551 000 85 662 000 118 108 500 91 584 500 77 719 750 84 012 500 78 406 500 91 475 850 86 731 500 76 545 965 75 222 282 84 868 125 91 903 050 81 577 125 85 196 925 94 037 840 136 450 800 125 232 860 121 837 800 142 127 050 115 525 475 96 127 260 95 816 300 86 882 500 87 710 200 91 163 900 88 229 375 96 275 000 84 470 000 92 651 000 89 288 750 103 515 850 107 882 750 103 848 000 88 563 200 78 105 650 75 275 350 110 266 460 96 396 900 75 362 525 83 880 900 97 130 550 Input Upaya (trip) Efisiensi Biaya operasional (Rp) 12 12 12 12 12 22 17 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 17 15 14 14 14 14 14 13 12 13 12 13 15 13 12 13 22 22 23 22 18 18 18 18 18 18 14 32 715 000 33 150 000 31 424 000 31 545 000 32 226 000 49 082 000 39 410 000 25 756 000 25 748 500 26 347 500 25 909 000 24 166 000 24 079 450 24 859 500 27 406 500 30 994 500 28 487 500 27 271 500 27 779 500 50 238 000 56 956 500 49 158 000 54 078 000 48 600 500 42 195 500 40 979 500 41 234 000 42 871 000 43 971 000 45 877 000 46 398 500 42 669 000 41 768 150 41 425 000 38 263 000 38 999 000 34 830 500 36 454 500 28 387 000 27 690 000 50 842 500 32 699 000 31 724 000 29 226 000 32 781 000 0.78 0.73 0.63 0.69 0.70 0.53 0.53 0.68 0.74 0.67 0.78 0.79 0.70 0.67 0.68 0.65 0.65 0.72 0.74 0.80 0.69 0.77 0.82 0.72 0.65 0.69 0.64 0.59 0.64 0.57 0.60 0.57 0.67 0.63 0.52 0.55 0.67 0.53 0.60 0.61 0.60 0.65 0.47 0.58 0.69 166 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 10 615 9 898 10 359 11 043 10 499 10 980 13 398 11 759 10 398 12 704 12 329 12 283 14 702 11 637 13 330 17 428 13 794 14 662 11 458 14 020 12 646 13 682 14 495 14 351 15 210 15 832 15 371 20 904 18 886 17 636 14 369 15 123 10 358 11 658 16 813 13 499 11 248 82 863 350 78 639 325 80 874 500 86 022 875 81 212 750 86 860 000 106 372 250 95 675 000 84 720 750 100 625 000 96 990 000 97 140 000 112 200 000 92 065 500 95 101 225 144 196 950 109 451 700 114 348 454 96 645 590 111 642 350 100 317 860 106 998 125 118 165 050 112 869 100 119 519 875 127 490 048 125 552 000 172 318 000 150 107 000 142 973 250 114 226 717 118 405 022 83 257 430 89 632 730 134 446 872 106 161 429 89 881 298 18 18 18 18 18 13 13 13 12 12 12 12 22 22 22 15 12 12 18 22 12 12 14 12 12 12 23 12 12 12 12 22 12 16 12 12 18 21 192 000 23 611 500 24 339 500 24 499 500 23 599 500 24 517 500 23 321 500 32 141 000 31 412 000 32 131 000 33 056 000 31 877 000 38 862 500 33 116 500 39 996 000 51 187 000 49 356 000 48 377 000 36 198 000 39 115 500 38 222 500 38 968 020 51 084 000 48 852 000 47 358 000 44 712 000 45 320 000 54 863 000 51 894 000 51 147 000 44 766 195 37 314 757 32 212 000 28 274 000 52 116 875 43 021 461 33 428 083 0.87 0.73 0.74 0.79 0.77 0.80 1.00 0.76 0.71 0.84 0.81 0.82 0.57 0.61 0.50 0.82 0.71 0.76 0.62 0.54 0.76 0.81 0.69 0.74 0.80 0.87 0.64 1.00 0.94 0.88 0.78 0.71 0.69 0.72 0.83 0.76 0.60 167 Lampiran 15. Efisiensi Teknis Input Perahu Motor Tempel Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 41 43 44 output Produksi pelagis besar Produksi ikan lainnya 9 609.78 6 714.99 5 774.25 6 488.75 9 450.78 5 271.50 6 450.75 7 060.75 7 599.38 11 196.06 7 277.75 5 921.40 11 665.10 10 805.40 10 686.50 9 833.90 8 966.80 6 038.08 5 102.70 6 439.95 9 036.50 11 425.42 11 123.52 8 568.83 11 901.76 10 804.04 11 899.68 10 999.56 12 232.48 10 760.88 10 936.12 10 968.88 9 522.24 10 127.52 9 824.36 8 470.28 9 265.36 9 361.04 15 191.37 10 974.06 9 955.35 10 380.24 11 941.48 8 321.76 22 422.82 15 668.31 17 322.75 19 466.25 28 352.35 15 814.50 19 352.25 21 182.25 22 798.13 26 124.14 21 833.25 13 816.60 17 497.65 7 824.60 7 738.50 7 121.10 6 493.20 20 214,43 20 410.80 17 411.72 10 190.10 12 883.98 12 050.48 9 282.90 10 986.24 9 972.96 10 984.32 10 153.44 11 291.52 9 933.12 10 094.88 10 125.12 8 789.76 9 348.48 9 068.64 7 818.72 8 552.64 8 640.96 2 893.59 5 909.11 9 189.55 5 589.36 8 647.28 9 015.24 Input Tonnase Panjang Kekuatan Upaya ABK /trip (org) kapal kapal mesin (pk) (GT) 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 2 3 2 4 2 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 2 10 11 10 11 11 11 11 11 11 11 11 10 10 8 10 9 10 12 12 12 12 12 12 12 10 8 12 12 8 12 10 14 11 13 13 11 12 12 12 12 11 11 10 10 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 15 15 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 99 101 103 109 104 94 96 110 116 110 115 85 108 87 101 97 98 123 125 108 126 121 122 122 143 143 147 140 138 135 142 136 138 133 128 135 138 136 125 129 119 129 120 112 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 12 12 12 12 12 12 12 9 10 10 11 11 12 10 11 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 12 Efisien si teknis input 0.85 0.65 0.67 0.69 1.00 0.62 0.74 0.75 0.81 1.00 0.77 0.68 1.00 1.00 0.94 0.88 0.80 0.71 0.72 0.63 0.66 0.84 0.81 0.63 1.00 1.00 0.88 0.76 1.00 0.74 1.91 0.67 0.79 0.75 0.73 0.71 0.68 0.69 1.00 0.76 0.84 0.87 1.00 0.71 168 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 9 255.36 10 534.80 7 834.40 8 079.07 13 353.80 12 002.07 9 693.00 8 411.20 7 853.40 10 567.15 11 608.30 9 843.65 12 376.10 9 955.00 12 834.25 11 970.75 11 133.00 10 318.00 11 048.40 11 548.74 9 193.38 9 997.68 7 821.66 8 617.98 8 539.02 9 244.62 8 267.70 8 505.42 8 670.48 9 182.88 8 541,12 10 670.92 10 722.92 11 035.50 8 649.06 10 289.40 9 778.60 7 531.80 9 833.72 13 503.00 10 026.64 15 802.20 11 751.60 12 118.60 8 902.53 18 003.10 14 539.50 12 616.80 11 780.10 8 465.85 9 497.70 7 759.35 10 125.90 8 145.00 10 500.75 9 794.25 9 108.90 8 442.00 9 039.60 15 948.26 12 695.62 13 806.32 10 801.34 11 901.02 11 791.98 12 766.38 11 417.30 11 745.58 11 973.52 12 681.12 11 794.88 9 850.08 9 898.08 15 239.50 11 943.94 8 418.60 9 026.40 17 154.20 9 077.28 9 002.40 2 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 11 12 12 12 12 12 12 12 12 11 11 12 11 11 11 11 11 11 12 10 11 12 12 13 11 10 12 12 12 12 10 10 10 11 11 11 12 12 12 12 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 40 119 110 100 100 99 102 110 107 104 134 132 130 137 126 136 133 128 123 126 133 138 132 114 127 126 120 111 118 129 124 130 144 133 104 112 120 135 118 121 120 12 11 11 11 11 12 10 11 11 10 10 10 10 10 10 10 12 12 10 12 12 12 12 12 12 10 12 12 12 12 10 10 11 10 11 12 10 12 12 11 0.78 0.84 0.67 0.69 1.00 1.00 0.80 0.68 0.65 0.88 0.87 0.69 0.92 0.74 0.96 0.89 0.80 0.76 0.80 0.92 0.69 0.73 0.61 0.63 0.66 0.79 0.65 0.65 0.64 0.69 0.73 0.89 0.88 0.96 0.70 0.76 0.72 0,64 0.71 0.95 169 Lampiran 16. Efisiensi Perahu Motor Tempel Payang dengan memasukkan nilai moneter (penerimaan dan Biaya Operasional) No. Produksi (kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 41 43 44 32 033 22 383 23 097 25 955 37 803 21 086 25 803 28 243 30 398 37 320 29 111 19 738 29 163 18 630 18 425 16 695 15 460 26 253 25 514 23 852 19 277 24 309 23 174 17 852 22 888 20 277 22 884 21 153 23 424 20 694 21 031 21 094 18 312 19 476 18 893 16 289 17 818 18 002 18 085 16 883 19 145 15 970 20 589 17 377 Output Penerimaan (RP) 146 587 675 95 300 200 118 952 050 127 109 000 121 156 150 86 220 400 155 237 500 141 074 500 168 311 500 175 203 950 119 872 650 129 305 750 173 169 000 79 625 000 77 330 000 75 525 000 72 575 000 95 880 000 90 055 000 82 665 833 87 179 000 111 098 650 107 967 375 86 528 935 79 057 510 78 661 950 86 868 500 78 760 165 84 122 618 73 487 573 80 674 171 79 351 903 65 813 489 73 437 725 69 347 418 63 223 920 65 271 169 65 192 000 102 173 750 81 833 743 121 283 350 73 876 667 114 119 623 76 290 450 Input Upaya (trip) Biaya operasional (Rp) 99 101 103 109 104 94 96 110 116 110 115 85 108 87 101 97 98 123 125 108 126 121 122 122 143 143 147 140 138 135 142 136 138 133 128 135 138 136 125 129 119 129 120 112 22 537 500 22 982 500 23 530 500 24 794 500 23 763 000 21 595 500 21 920 000 25 140 000 26 390 000 25 480 000 26 162 500 19 337 500 24 570 000 21 522 500 24 660 000 23 776 000 24 100 500 27 973 500 28 403 500 24 570 000 28 764 000 27 529 500 27 573 000 27 765 000 33 367 500 33 267 500 34 152 500 32 624 000 17 940 000 27 075 000 21 425 000 17 000 000 24 403 500 23 529 000 22 747 500 19 195 000 20 345 000 20 722 500 29 107 500 30 047 500 27 682 500 30 017 500 28 075 000 26 030 000 Efisiensi 0.96 0.65 0.73 0.74 1.00 0.65 1.00 0.81 0.91 1.00 0.74 0.94 0.98 0.62 0.53 0.51 0.47 0.61 0.58 0.62 0.45 0.60 0.57 0.45 0.45 0.41 0.44 0.43 0.84 0.49 0.64 0.81 0.48 0.54 0.54 0.55 0.57 0.56 0.51 0.40 0.63 0.36 0.59 0.45 170 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 .. 19 282 26 337 19 586 20 198 22 256 30 005 24 233 21 028 19 634 19 213 21 106 17 243 22 502 18 100 23 335 21 765 20 242 18 760 20 088 27 497 21 889 23 804 18 623 20 519 20 331 22 011 19 685 20 251 20 644 21 864 20 336 20 521 20 621 26 275 20 593 18 708 18 805 24 506 18 911 22 506 75 541 700 145 743 374 92 686 500 96 630 667 119 417 500 118 337 313 112 520 867 85 186 100 80 408 250 77 892 614 86 399 712 65 006 491 89 026 655 69 351 625 81 893 625 80 461 075 75 401 020 79 532 615 73 659 500 97 196 463 81 904 162 89 337 504 78 724 371 83 971 184 81 378 552 77 808 500 77 990 316 75 818 716 92 645 461 82 218 071 75 732 500 74 012 031 74 587 016 125 249 322 86 776 017 68 783 914 66 608 904 94 769 028 74 868 141 114 491 510 119 110 100 100 99 102 110 107 104 134 132 130 137 126 136 133 128 123 126 133 138 132 114 127 126 120 111 118 129 124 130 144 133 104 112 120 135 118 121 120 27 697 500 25 635 000 23 260 000 23 315 000 23 037 500 23 795 000 25 590 000 24 837 500 24 135 000 23 831 000 23 454 000 23 162 500 31 847 500 29 345 000 31 590 000 30 952 500 22 803 000 21 882 000 22 413 000 35 077 500 36 255 000 35 772 000 32 168 000 34 336 500 34 773 000 21 370 000 31 017 500 32 712 000 35 487 500 34 187 000 23 042 500 33 352 875 21 086 750 23 707 962 25 193 571 25 609 731 21 993 750 26 982 333 33 351 000 27 807 000 . 0.46 0.82 0.58 0.61 0.75 0.84 0.65 0.56 0.54 0.53 0.60 0.48 0.47 0.41 0.48 0.46 0.58 0.57 0.58 0.58 0.45 0.51 0.47 0.46 0.46 0.66 0.51 0.48 0.47 0.50 0.57 0.40 0.63 0.76 0.54 0.47 0.55 0.59 0.45 0.60 171 Lampiran 17. Efisensi Teknis Input Kapal Motor Bagan Kapal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 41 43 44 45 output Input Produksi pelagis besar Produksi ikan lainnya 35 575 16 228 30 615 23 172 18 233 19 278 15 553 20 227 19 520 21 133 32 471 54 608 48 014 30 831 15 451 41 772 35 540 28 192 27 931 25 298 22 722 22 484 10 677 22 360 23 729 25 727 12 421 25 589 17 554 15 794 18 959 21 185 12 916 15 183 19 645 20 268 18 529 20 848 20 596 22 441 23 498 34 975 34 160 30 617 19 462 13 835 6 311 11 906 9 011 7 091 7 497 6 049 7 866 7 591 8 218 12 627 21 237 18 672 11 990 6 009 16 245 13 821 10 964 10 862 9 838 8 836 8 744 4 152 8 696 9 228 10 005 4 831 9 951 6 827 6 142 7 373 8 239 5 023 5 905 7 640 7 882 7 206 8 107 8 009 8 727 9 138 13 601 13 285 11 907 7 568 Tonnase Panjang Kekuatan Upaya ABK kapal kapal mesin /trip (org) (pk) (GT) 16 16 14 21 18 16 19 21 21 21 18 30 29 24 15 16 25 22 13 25 17 15 16 23 15 19 19 21 22 12 15 19 14 15 13 14 16 12 12 18 12 29 19 19 12 40 33 40 120 33 120 33 120 120 120 100 120 120 120 100 100 190 190 120 160 100 100 90 120 80 33 100 120 190 100 100 45 33 33 16 40 80 33 33 33 33 40 90 40 40 18 18 16 21 17 18 21 20 20 20 20 21 21 24 17 19 21 22 15 21 16 16 18 22 18 18 20 20 20 16 17 18 17 17 17 17 18 16 16 17 16 21 19 19 16 69 74 98 48 98 91 77 74 84 100 71 58 62 86 69 56 32 39 62 36 25 28 32 95 40 118 30 42 53 82 94 116 45 51 117 101 105 109 115 108 121 105 69 89 90 8 8 8 9 7 8 8 8 8 8 8 16 16 10 10 10 12 12 10 12 10 10 8 8 8 7 8 12 12 8 8 9 8 8 8 8 9 8 8 8 8 10 10 10 8 Efisien si teknis input 0.78 0.41 0.66 0.35 0.47 0.32 0.39 0.34 0.32 0.36 0.54 0.69 0.57 0.41 0.22 0.54 0.81 0.53 0.45 0.51 0.66 0.59 0.24 0.37 0.43 0.66 0.30 0.45 0.24 0.28 0.32 0.41 0.36 0.41 0.98 0.44 0.27 0.50 0.50 0.54 0.57 0.47 0.45 0.41 0.42 172 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 41 485 22 263 21 138 31 688 37 951 92 468 87 171 88 861 83 700 90 313 60 409 45 651 18 723 17 893 21 487 21 066 24 301 18 643 21 188 13 791 24 101 22 893 23 111 40 404 31 144 18 532 25 073 26 354 23 186 18 667 24 182 19 244 21 479 22 483 22 294 27 321 22 233 22 890 24 184 25 054 25 622 22 738 24 756 26 472 27 017 72 356 20 869 22 587 19 500 23 671 25 024 . 16 133 8 658 8 220 12 323 14 759 35 960 33 900 34 557 32 550 35 122 23 493 17 753 7 281 6 958 8 356 8 192 9 450 7 250 8 240 5 363 9 373 8 903 8 988 15 713 12 112 7 207 9 751 10 249 9 017 7 260 9 404 7 484 8 353 8 743 8 670 10 625 8 646 8 902 9 405 9 743 9 964 8 843 9 628 10 294 10 507 28 138 8 116 6 371 5 500 5 918 5 493 12 12 12 13 20 29 29 19 22 19 19 21 18 13 15 12 18 19 26 15 14 16 14 15 12 12 17 17 17 15 18 14 16 15 18 18 28 20 20 19 16 20 15 18 13 24 17 18 18 15 14 33 33 33 33 33 120 120 90 120 90 90 90 33 33 90 33 190 100 100 33 33 100 33 100 33 33 33 33 33 120 100 33 100 33 100 160 160 120 120 160 33 45 100 100 40 100 90 90 45 45 70 16 16 16 16 18 21 21 19 20 19 19 20 19 14 17 16 19 16 18 14 17 18 17 17 16 17 19 19 17 17 18 17 18 18 18 19 21 19 19 19 17 17 16 16 16 20 17 18 19 17 17 85 84 71 90 125 90 78 84 78 66 54 60 73 90 123 123 93 97 122 51 123 123 126 121 71 83 88 84 118 85 95 96 109 119 122 98 102 119 120 120 121 121 103 96 103 70 67 93 85 91 85 8 8 8 8 11 16 16 12 12 12 12 10 8 6 10 7 12 8 8 6 8 8 6 10 8 8 8 8 10 8 10 8 8 8 8 12 10 8 8 11 10 10 10 10 10 14 9 8 8 8 8 1.00 0.54 0.53 0.76 0.92 0.93 0.87 0.98 0.93 1.00 0.82 0.61 0.47 0.49 0.30 0.54 0.28 0.31 0.35 0.38 0.58 0.38 0.63 0.57 0.79 0.45 0.60 0.64 0.56 0.31 0.32 0.46 0.36 0.54 0.37 0.32 0.30 0.38 0.40 0.30 0.62 0.44 0.35 0.35 0.57 0.76 0.31 0.38 0.38 0.39 0.48 173 Lampiran 18. GAMS Output untuk Analisis DEA Perikanan Pelagis Besar GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:18:31 PAGE Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 1 sets i units is(i) selected unit j inputs and outputs ji(j) inputs jo(j) outputs Parameter data(i,j) unit input output vlo v lower bound ulo u lower bound norm normalizing constant Variables v(ji) input weights u(jo) output weights eff efficiency var dual convexicty lam(i) dual weights vs(ji) input duals us(jo) output duals Z positive variables u,v,vs,us,lam; Equations defe(i) efficiency definition - weighted output denom(i) weighted input lime(i) 'output / input < 1' dii(i,ji) input duals dio(i,jo) output dual defvar variable return to scale dobj dual objective; * primal model defe(is).. eff =e= sum(jo, u(jo)*data(is,jo)) - 1*var; denom(is).. sum(ji, v(ji)*data(is,ji)) =e= norm; lime(i).. sum(jo, u(jo)*data(i,jo)) =l= sum(ji, v(ji)*data(i,ji)) + var; 57 GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:18:31 PAGE Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) 58 * dual model 59 60 dii(is,ji).. sum(i, lam(i)*data(i,ji)) + vs(ji) =e= z*data(is,ji); 61 2 174 62 dio(is,jo).. sum(i, lam(i)*data(i,jo)) - us(jo) =e= data(is,jo); 63 64 defvar.. sum(i, lam(i)) =e= 1; 65 66 dobj.. eff =e= norm*z - vlo*sum(ji, vs(ji)) - ulo*sum(jo, us(jo)); 67 68 69 70 71 72 model deap primal / defe, denom,lime / 73 deadc dual with CRS / dobj, dii, dio / 74 deadv dual with VRS / dobj, dii, dio, defvar / 75 76 sets i units /1984*2004 / 77 j inputs and outputs /effort, prodact, prodsust / 78 ji(j) inputs / effort / 79 jo(j) outputs /prodact, prodsust / 80 81 82 Table data(i,j) 83 effort Prodact Prodsust 84 1984 15551.8 6155.80 11341.01 85 1985 17525.6 7479.10 12111.42 86 1986 21437.3 8220.60 13317.41 87 1987 21842.8 8753.80 13420.26 88 1988 25968.9 11229.80 14259.27 89 1989 28758.3 14435.30 14635.58 90 1990 24260.3 15258.12 13955.71 91 1991 25989.8 14890.10 14262.63 92 1992 23785.3 12173.50 13860.63 93 1993 25382.6 11037.70 14161.70 94 1994 26519.2 13879.40 14344.80 95 1995 21898.3 13532.40 13434.06 96 1996 22327.8 14640.80 13538.21 97 1997 27378.1 16855.20 14466.96 98 1998 21386.5 17445.00 13304.25 99 1999 24847.4 20338.60 14066.67 100 2000 23266.3 18167.80 13751.22 101 2001 25794.1 18546.30 14230.88 102 2002 23462.5 10328.40 13793.27 103 2003 13386.5 8747.90 10355.05 104 2004 13603.4 9702.50 10460.87 105 106 107 109 option limcol=0 // no column listing 110 limrow=0 // no row listing 111 solveopt=replace; // don't keep old var and equ values 112 113 175 GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:18:31 PAGE Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 var.fx = 0; // to run CRS with the primal model *var.lo = -inf; // to run VRS with the primal model *var.up = +inf; // to run VRS with the primal model vlo=1e-4; ulo=1e-4; norm=100; v.lo(ji) = vlo; u.lo(jo) = ulo; *deadc.solprint=2; *deadv.solprint=2; *deap.solprint=2; set ii(i) set of units to analyze / 1984,1994,2004 /; *ii(i) = yes; is(i) = no; // use to run all depots parameter rep summary report; loop(ii, is(ii) = yes; solve deap us lp max eff; rep(i,ii) = sum(jo, u.l(jo)*data(i,jo))/sum(ji, v.l(ji)*data(i,ji)); rep('MStat-p',ii) = deap.modelstat; solve deadc us lp min eff ; rep('MStat-d',ii) = deadc.modelstat; rep('obj-check',ii) = deadc.objval - deap.objval; is(ii) = no); rep(i,'Min') = smin(ii, rep(i,ii)); rep(i,'Max') = smax(ii, rep(i,ii)); rep(i,'Avg') = sum(ii, rep(i,ii))/card(ii); display rep; GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:18:31 PAGE Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) Execution ---- 150 PARAMETER rep summary report 1984 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 3 0.939 0.891 0.801 0.792 0.709 0.659 0.746 1994 0.724 0.727 0.654 0.664 0.653 0.686 0.824 2004 0.922 0.879 0.790 0.783 0.707 0.665 0.757 Min 0.724 0.727 0.654 0.664 0.653 0.659 0.746 Max 0.939 0.891 0.801 0.792 0.709 0.686 0.824 22 176 1991 0.711 0.765 1992 0.754 0.735 1993 0.721 0.659 1994 0.700 0.721 1995 0.795 0.837 1996 0.786 0.863 1997 0.686 0.788 1998 0.809 1.000 1999 0.737 0.971 2000 0.768 0.955 2001 0.717 0.883 2002 0.759 0.680 2003 1.000 0.955 2004 0.995 1.000 MStat-p 1.000 1.000 MStat-d 1.000 1.000 obj-check 2.84217E-14 + 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 0.720 0.755 0.718 0.705 0.802 0.797 0.699 0.831 0.763 0.790 0.737 0.755 1.000 1.000 1.000 1.000 0.711 0.735 0.659 0.700 0.795 0.786 0.686 0.809 0.737 0.768 0.717 0.680 0.955 0.995 0.765 0.755 0.721 0.721 0.837 0.863 0.788 1.000 0.971 0.955 0.883 0.759 1.000 1.000 Avg 0.862 0.832 0.748 0.746 0.690 0.670 0.776 0.732 0.748 0.699 0.709 0.811 0.815 0.724 0.880 0.824 0.838 0.779 0.731 0.985 0.998 EXECUTION TIME = 0.030 SECONDS 1.4 Mb WIN202-128 GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:18:31 PAGE Data Envelopment Analysis - DEA (DEA,SEQ=192) 23 177 Lampiran 19. GAMS Output untuk Efisiensi Teknis Input Pukat Cincin GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:29:38 PAGE General Algebraic Modeling System Compilation 1 1 Sets inout/spec1,spec2,fix1,fix2,fix3,var1,var2/ 2 Output(inout)/spec1,spec2/ 3 Input(inout)/fix1,fix2,fix3,var1,var2/ 4 Obs/1*15/ 5 Subobs(obs)/1*13/ 6 Actobs(obs); 7 Alias (subobs,subobs1); 8 Table act(obs,inout) input output table 9 10 spec1 spec2 fix1 fix2 fix3 var1 var2 11 1 11612.9 27950.6 25 21 120 51 15 12 2 20633.65 19642.85 30 22 120 45 15 13 3 16639.92 12448.58 23 17 100 56 13 14 4 18430.23 18318.17 27 22 160 56 14 15 5 8551.47 32948.90 25 20 100 46 15 16 6 8646.86 35036.24 26 21 160 49 19 17 7 9374.97 22847.03 24 19 160 47 14 18 8 20376.37 17657.83 25 20 120 51 14 19 9 19374.02 12056.28 26 21 120 47 14 20 10 17935.21 13088.16 25 20 120 68 13 21 11 11623.17 22009.93 26 21 120 69 14 22 12 12119.72 25497.48 25 20 120 62 13 23 13 17416.41 15754.09 25 20 120 55 14 24 25 ; 26 Variables 27 Lambda efficiency score 28 Weight(obs) intensity variable; 29 Positive variable weight; 30 Equations 31 Constr1(output,obs) DEA constraint for each output 32 Constr2(input,obs) DEA constraint for each input; 33 Constr1(output,actobs)..sum(subobs,weight(subobs)*act(subobs,output))=G= 34 act(actobs,output); 35 Constr2(input,actobs)..sum(subobs,weight(subobs)*act(subobs,input))=L= 36 lambda*act(actobs,input); 37 Parameter 38 Score1(obs) efficiency scores; 39 Model tedea/constr1,constr2/; 40 Loop(subobs1, 41 Actobs(obs)=no; 42 Actobs(subobs1)=yes; 43 Option LP=OSL; 44 Solve tedea minimizing lambda using LP; 45 Score1(subobs1)=lambda.l; 46 ); 47 Display score1; 178 GAMS Rev 128 Windows NT/95/98 07/13/06 12:29:38 PAGE General Algebraic Modeling System Execution ---- 80 47 PARAMETER Score1 efficiency scores 1 0.976, 7 0.836, 13 0.871 2 1.000, 8 1.000, EXECUTION TIME 3 0.977, 9 0.980, = 4 0.957, 5 1.000, 6 1.000 10 0.948, 11 0.849, 12 1.000 0.030 SECONDS 1.4 Mb WIN202-128 USER: GAMS Development Corporation, Washington, DC G871201:0000XX-XXX Free Demo, 202-342-0180, [email protected], www.gams.com DC9999 **** FILE SUMMARY INPUT C:\WINDOWS\GAMSDIR\INPUTTEPKTCINCIN2.GMS OUTPUT C:\WINDOWS\GAMSDIR\INPUTTEPKTCINCIN2.LST 179 Lampiran 20. Output Maple untuk perhitungan Surplus Produsen Pelagis Besar > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); 2c AC := α+ -4 β h + α 2 > A:=int(AC,h); c α ln(h) c A := 2β -4 β h + α 2 - β ⎛ c α ln⎝ -4 β h + α 2 ⎞ - α⎠ 2β + ⎛ c α ln⎝ α + 2 -4 β h + α ⎞⎠ 2β > PS:=p0*h0-A; PS := p0 h0 - c α ln(h) 2β + c -4 β h + α β 2 + ⎛ c α ln⎝ -4 β h + α 2 ⎞ - α⎠ 2β - ⎛ c α ln⎝ α + 2 -4 β h + α ⎞⎠ 2β > restart; > alpha:=1.1138270; beta:=0.000030340; p0:=8486; c:=2469.09; h:=10.461; α := 1.1138270 β := 0.000030340 p0 := 8486 c := 2469.09 h := 10.461 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 2217.329974 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(4*beta*h+alpha^2)); A := 3.906375434 108 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 3.905487714 108 Pelagis Kecil > restart; > alpha:=0.314429467; beta:=0.000001586; p0:=6385; c:=512.115; h:=15.640; 180 α := 0.314429467 β := 0.000001586 p0 := 6385 c := 512.115 h := 15.640 > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 1629.120696 > A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(4*beta*h+alpha^2)^(1/2)-1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(4*beta*h+alpha^2)); A := 4.589493085 108 > PS:=abs(p0*h-A); PS := 4.588494471 108