ANALISIS BIOEKONOMI IKAN PELAGIS KECIL DI TELUK BANTEN Dwi Ernaningsih Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK USNI, Jakarta [email protected] Abstract: Small pelagic fish was important element in marine ecosystem, because of significant biomass on middle level food chain. Demand of small pelagic fish was enough large in the middle society, because it has low price and delicious. Along with rise needs of small pelagic fish, so this conservation takes care to sustainable utilization for next generation. Fisheries condition in Banten Bay ware multi gear and multi species in made this area big potentially to manage small pelagic fish resources. Bio-economic models can be knew exploitation status pelagic fisheries. Bio-economic models for fisheries resources to get optimal assumption to manage fisheries resources. Based on output the research ware (1) They were seven small pelagic fish species in Banten Bay: mackerel, menhaden, anchovy, yellow stripe scads, round scads, sardine, and blue-spot mullet; (2) Anchovy fish has rather big potential resources, but utilization level more than JTB (81,79%); (3) According to bioeconomic models of mackerel fish more profitable 4,8 milliard rupiahs. Keywords: bio-economics, small pelagic fish, banten bay Abstrak Ikan pelagis kecil merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang signifikan pada level menengah dari jaring makanan. Permintaan akan ikan pelagis kecil cukup besar di tengah masyarakat, mengingat harganya yang rekatif murah dan rasanya enak. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan ikan pelagis kecil ini, maka kelestariannya perlu dijaga agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Keadaan multi alat tangkap dan multi spesies di Teluk Banten menjadikan daerah tersebut berpotensi besar dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil. Melalui pendekatan bioekonomi dapat diketahui status eksploitasi dari perikanan pelagis tersebut. Permodelan bioekonomi untuk sumberdaya perikanan bertujuan untuk memperoleh pendugaan yang optimal dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa (1) Terdapat tujuh jenis ikan pelagis kecil yang ditemukan sepanjang tahun di Teluk Banten yaitu kembung, tembang, teri, selar, layang, lemuru, dan belanak; (2) Ikan teri memiliki potensi sumber daya yang cukup besar, namun tingkat pemanfaatannya telah melebihi JTB (81,79%); (3) Ikan kembung secara bioekonomi lebih menguntungkan yaitu sebesar 4,8 milyar rupiah. Kata kunci: bioekonomi, ikan pelagis kecil, Teluk Banten PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan pelagis kecil adalah kelompok besar ikan yang membentuk schooling di dalam kehidupannya dan mempunyai sifat berenang bebas dengan melakukan migrasi secara vertikal maupun horizontal mendekati permukaan dengan ukuran tubuh relatif kecil (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005). Beberapa contoh ikan pelagis kecil antara lain layang (Decapterus spp), kembung (Rastrelliger sp), siro (Amblygaster sirm), selar (Selaroides sp), tembang (Sardinella fimbriata), dan teri (Stolephorus spp) (Gafa et al. 1993; Widodo et al.1994 ; Pet-Soede et al. 1999). Kelompok ikan pelagis kecil umumnya bertubuh pipih memanjang dengan warna tuhuh yang relatif terang (Widodo et al. 1994; Fréon et al. 2005) dan melakukan aktivitas keseharian yang sangat bergantung pada kondisi lingkungan (Laevastu dan Hayes 1982; Widodo et al. 1994; Agbesi 2002; Hendiarti et al. 2005; Palomera et al. 2007). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol, baik dengan kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan pelagis kecil bersifat fototaksis positif (tertarik pada cahaya) dan tertarik benda-benda yang terapung. Ikan pelagis kecil cenderung bergerombol berdasarkan kelompok ukuran. Kebiasaan makan ikan pelagis Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia, Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-91 umumnya waktu matahari terbit dan saat matahari terbenam dan termasuk pemakan plankton, baik plankton nabati maupun plankton hewani. Ikan pelagis kecil merupakan elemen yang penting dalam ekosistem laut karena biomassa yang signifikan pada level menengah dari jaring makanan, sehingga memegang peranan penting menghubungkan tingkatan trofik atas dan bawah dalam struktur trofik (Bakun 1996, Cury et al. 2000; Fréon et al. 2005; Palomera et al. 2007). Sumberdaya ikan pelagis kecil diduga merupakan salah satu sumberdaya ikan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Hampir seluruh hasil tangkapan ikan pelagis kecil yang didaratkan di Indonesia dikonsumsi lokal karena harganya relatif murah dan rasanya enak, sehingga diduga kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan protein dari ikan bagi masyarakat sangatlah nyata. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan ikan pelagis kecil ini, maka kelestariannya perlu dijaga agar dapat dimanfaatkan secara terus menerus dan dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Prinsip dasar dalam pengelolaan sumberdaya ikan adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya ikan yang tidak hanya menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi bagi pengguna, namun tetap menjaga kelestariannya (keberlanjutan). Clark (1985) mengungkapkan bahwa pendekatan bioekonomi adalah pendekatan yang memadukan kekuatan ekonomi yang mempengaruhi industri penangkapan dan faktor biologi yang menentukan produksi suplai ikan. Pemakaian konsep ekonomi dimaksudkan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan tinjauan ekonomi. Lebih lanjut dikatakan bahwa pendekatan bioekonomi merupakan suatu bentuk pendekatan yang mengakomodasikan harga yang berubah karena perubahan volume produksi. Selain itu melalui pendekatan bioekonomi dapat diketahui profitabilitas dan produktifitas dari nelayan. Teluk Banten merupakan salah satu lokasi berkembangnya perikanan tradisional di wilayah Propinsi Banten, ditunjukkan dengan beragamnya alat tangkap yang digunakan untuk menangkap berbagai macam jenis ikan termasuk di dalamnya adalah ikan pelagis kecil (Resmiati et al, 2002). Kawasan Teluk Banten merupakan daerah pesisir yang dicirikan dengan beragamnya kegiatan pemanfaatan, diantaranya adalah perikanan (tangkap dan budidaya), perumahan, industri, dan pariwisata. Hal ini mengakibatkan terjadinya upaya reklamasi pantai dan buangan limbah industri maupun domestik ke Teluk Banten. Keadaan ini mengakibatkan terganggunya habitat ikan sehingga berdampak terhadap kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan nelayan, yang diindikasikan dengan 2 Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-9 menurunnya hasil tangkapan. Keadaan ini berakibat pada penurunan pendapatan sehingga kemiskinan menjadi hal yang biasa terjadi di kalangan masyarakat nelayan tradisional. Perumusan Masalah Pengelolaan sumber daya ikan dengan menggunakan pendekatan biologi (Maximum Sustainable Yield/MSY) telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson 1984). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumber daya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan kajian stok ikan yang memadukan pendekatan biologi dan pendekatan ekonomi (bioekonomi) ikan pelagis kecil yang ada di Teluk Banten. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui keadaan umum perikanan pelagis kecil di Teluk Banten; (2) Mengetahui potensi dan tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil; (3) Menganalisis bioekonomi ikan pelagis kecil yang ditemukan di Teluk Banten. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: (1)Pengembangan ilmu dan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan; (2) Pengambil kebijakan terkait dengan pengelolaan kawasan Teluk Banten terutama pengelolaan terhadap kegiatan perikanan tangkap; (3) Penelitian berikutnya, sebagai dasar penentuan strategi pengelolaan perikanan tangkap terutama pada kawasan teluk. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini hanya menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil dengan menggunakan pendekatan bioekonomi yang ada di Teluk Banten. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-April 2010 di Teluk Banten, yang terletak di Kabupaten Serang Provinsi Banten pada posisi 5°53’07”-6°01’49”LS dan 106°04’30”106°16’39”BT, dengan luas 19.556,213 Ha, berada lebih kurang 10 km sebelah utara kota Serang atau sekitar 60 km sebelah barat kota Jakarta. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode survei dengan teknik wawancara dan observasi atau supervisi langsung pada lokasi penangkapan ikan. Pengarahan wawancara serta ketepatan pengumpulan data yang dibutuhkan, berpedoman pada daftar pertanyaan terstruktur. Teknik penetapan sampling lokasi/wilayah dilakukan secara purposive didasarkan pada potensi dan daya dukung pengembangan komoditi sumberdaya ikan. Lokasi sampling yang diambil adalah Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berada pada kecamatan di sekitar Teluk Banten yaitu Kecamatan Kasemen (TPI Karangantu), Kramatwatu (TPI Terate), dan Bojonegara (TPI Kepuh dan TPI Wadas). Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengelompokan data primer didasarkan pada tujuan penelitian. Jenis dan sumber data primer yang dikumpulkan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan Sumber Data Primer No 1. Jenis Data Produksi hasil tangkapan 2. Upaya penangkapan 3. Jenis alat tangkap & metode penangkapan 4. Kapal penangkap 5. Nelayan 6. Informasi sosial, ekonomi & budaya 7. Informasi jaringan pasar hasil perikanan tangkap Sumber Data i) DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii) PPN Karangantu iii) TPI Terate, Wadas, Kepuh iv) Wawancara dengan nelayan i) DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii) PPN Karangantu iii) TPI Terate, Wadas, Kepuh iv) Wawancara dengan nelayan i) DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii) Wawancara dengan nelayan iii) Survei lapang i) DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii) Wawancara dengan nelayan DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang Keterangan Dikelompokkan berdasarkan jenis ikan dan alat tangkap selama 5 tahun terakhir. Data primer di lapangan diambil pada bulan Januari-April 2010 Dikelompokkan berdasarkan ukuran dan jenis alat tangkap yang dioperasikan Dikelompokkan berdasarkan ukuran kapal penangkap (LxBxD & GT kapal) Dikelompokkan berdasarkan nelayan tetap, pendatang, utama & sambilan i) BPS Provinsi Banten ii) Wawancara dengan nelayan dan masyarakat sekitar Teluk Banten i) DKP Provinsi Banten dan Kabupaten Serang ii) Wawancara dengan pedagang dan pengolah ikan Informasi yang terkait unit penangkapan ikan diperoleh dengan menggunakan wawancara dan penyebaran kuesioner. Kuisioner terdiri dari kuisioner unit penangkapan ikan, di dalamnya berisi tentang alat tangkap (jenis, dimensi, harga), kapal/perahu (jenis, dimensi, harga), alat bantu penangkapan, operasi penangkapan ikan (jumlah ABK, sistem bagi hasil, biaya dan waktu operasi penangkapan, metode operasi, komposisi hasil tangkapan pada waktu musim paceklik, sedang, dan puncak, daerah penangkapan, pemasaran hasil tangkapan), dan pembiayaan. Kuisioner kondisi sosial, ekonomi meliputi nilai ekonomi sumber daya perikanan, dan sosial ekonomi nelayan. Wawancara dilakukan terhadap nelayan yang ada di Karangantu, Terate, Wadas dan Kepuh, yang memiliki alat tangkap gill net (15 orang, atau 10% dari 146 orang), dogol (3 orang, atau 9% dari 32 orang), bagan perahu (4 orang, atau 8% dari 24 orang), bagan tancap (1 orang, atau 4% dari 52 orang), payang (6 orang, atau 5% dari 120 orang), pancing ulur (2 orang, atau 6% dari 24 orang), sero (1 orang, atau 2% dari 45 orang), dan rampus (6 orang, atau 7% dari 40 Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia, Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-93 orang). Jumlah sampel diambil secara purposive sampling sehingga dianggap mewakili populasi yang ada. Data sekunder bersumber dari berbagai hasil-hasil penelitian sebelumnya dan atau laporan-laporan institusional pada sejumlah sektor produksi yang ada. Sektor produksi yang dimaksud, tidak saja pada kelompok sektor primer akan tetapi juga mencakup kelompok sektor sekunder dan tersier. Jenis data sekunder yang dibutuhkan antara lain potensi kebutuhan pasar baik lokal/domestik maupun pasar ekspor, potensi ketersediaan sumber daya alam, harga produk untuk pasar lokal/domestik dan ekspor. Analisis Data Pendekatan biologi dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil menggunakan Surplus Production Method (Metode Produksi Surplus). Metode ini digunakan untuk menghitung potensi lestari (MSY) dan upaya (tingkat pemanfaatan) optimum dengan cara menganalisa hubungan upaya penangkapan (f) dengan hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE). Data yang diperlukan berupa data hasil tangkapan (catch) tiap jenis ikan pelagis kecil, dan upaya penangkapan (effort) berupa lama trip penangkapan tiap jenis alat tangkap. Pengolahan data melalui pendekatan Schaefer, dihitung dengan menggunakan alat bantu program Excel. Rumus yang digunakan adalah: Y qKf q 2 Kf 2 r Keterangan: Y = yield = hasil tangkapan ikan (ton) R = recruitment = rekruitmen (konstanta) K = carriying capacity = daya dukung lingkungan (konstanta) Q = fishing capacity = kapasitas penangkapan ikan (konstanta) F = effort = upaya penangkapan (trip) Y/f adalah hasil tangkapan per upaya penangkapan. Y adalah hasil tangkapan ikan (ton), yaitu keseluruhan hasil tangkapan suatu jenis ikan, sedangkan f adalah upaya penangkapan ikan standar, yaitu keseluruhan jumlah upaya penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap suatu jenis ikan tertentu. Jumlah trip penangkapan dari suatu armada penangkapan ikan biasanya merefleksikan upaya penangkapan yang dimaksud.Upaya penangkapan standar diperoleh dengan cara terlebih dahulu dilakukan perhitungan nilai FPI (Fishing Power Index) yang dihitung dengan menggunakan metode standarisasi alat tangkap (Guland, 1983). Bila dua kapal melakukan penangkapan terhadap sumberdaya yang sama dan dalam kondisi yang sama, maka daya tangkap relatif kapal A relatif terhadap kapal B adalah: PA(B) = CPUE dari kapal B CPUE dari kapal A Kapal A sering disebut sebagai kapal standar, sehingga apabila jumlah kapal A (NA) dan jumlah kapal B (NB) maka upaya penangkapan secara keseluruhan adalah: Ftotal 1.0 * NA PA( B) * NB Pendekatan bio-ekonomi menggunakan model Gordon-Schaefer (Clark, 1985). Asumsi dasar yang digunakan adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna. Harga ikan (p) dan biaya marginal upaya penangkapan masing-masing mencerminkan manfaat marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan. Berdasarkan asumsi tersebut, total penerimaan dari usaha penangkapan (TR) digambarkan dengan persamaan: TR pY Total biaya penangkapan (TC) digambarkan Mengingat sifat perikanan di daerah tropis khususnya di Indonesia adalah multispecies dan multigear, maka untuk menghitung potensi didasarkan pada perhitungan tiap spesies, sehingga dapat didekati dengan rumus: Upaya optimum: f msy 0.5 * a dan b hasil tangkapan maksimum pada tingkat fmsy adalah C msy 0.25 * dihitung a2 . Konstanta a dan b b dengan menggunakan persamaan Y a a bf jika f b f 4 Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-9 dengan persamaan: TC cf Penerimaan bersih (keuntungan) dari usaha penangkapan ikan ( ) adalah: TR TC pY cf HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Perikanan Pelagis Kecil di Teluk Banten Berdasarkan hasil pendataan seluruh jenis ikan yang didaratkan di ke-4 TPI terdapat 7 jenis ikan pelagis kecil (Tabel 2), produksi ikan per jenis alat tangkap (Tabel 3), dan upaya penangkapan tiap jenis alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 2 Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Teluk Banten Tahun 2005-2009 No Jenis Ikan Produksi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil (Ton) Tiap Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 1 Kembung 122,35 144,54 231,75 196,96 136,32 (Rastrelliger spp) 2 Tembang 211,56 280,14 328,91 360,80 288,73 (Sardinella fimbriata) 3 Teri 214,51 231,27 193,31 221,42 253,35 (Stolephorus spp) 4 76,60 90,83 135,58 107,00 134,08 Selar (Selar spp) 5 Layang 74,31 31,50 29,11 41,87 27,38 (Decapterus spp) 6 Lemuru 24,75 10,93 38,54 37,19 28,30 (Sardinella lemuru) 7 Belanak (Mugil 24,85 29,19 15,11 26,25 20,58 spp) Jumlah 865,02 92,01 1.133,42 1.106,21 972,03 Tembang, teri, dan selar merupakan jenis ikan yang menunjukkan peningkatan produksi tiap tahunnya. Teri merupakan jenis ikan yang memiliki fototaksis positif, sehingga dimanfaatkan oleh alat tangkap yang menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Penangkapan dilakukan pada saat bulan gelap di setiap bulan terutama untuk bagan Rata-rata Pertumbuhan(%) 8,17 9,89 5,09 18,02 -13,99 42,33 5,35 2,16 tancap, bagan perahu, dan payang bondet (hanya di Wadas). Peningkatan produksi ikan tiap tahunnya, ternyata dihasilkan dari alat tangkap gill net, yaitu sebesar 103,12%. Hal ini menunjukkan bahwa gill net merupakan alat tangkap yang paling produktif. Bagan perahu dan dogol juga mengalami pertumbuhan yang positif, masing-masing sebesar 41,16% dan 12,97% (Tabel 3). Tabel 3 Produksi Ikan Per Jenis Alat Tangkap Tahun 2005-2009 Jenis Alat Tangkap Rata-rata Pertumbuhan 2005 2006 2007 2008 2009 (%) Gill net 40,39 199,84 230,48 134,86 194,00 103,12 Dogol 773,71 810,56 1 128,05 767,66 1 073,86 12,97 Bagan Tancap 673,69 480,64 678,37 481,20 219,89 -17,72 Bagan Perahu 0 0 0 359,56 507,57 41,16 Payang 316,13 443,53 258,66 216,05 146,86 -12,47 Pancing Ulur 136,69 151,31 76,18 37,74 45,57 -17,17 Sero 0 0 0 333,70 144,79 -56,61 Rampus 0 6,56 0 97,55 33,00 -83,09 Jumlah 1.940,61 2.092,43 2.371,74 2.428,32 2.365,53 5,24 Sumber: data diolah dari PPP Karangantu, TPI Terate, TPI Wadas, dan TPI Kepuh (2010). Produksi Ikan Per Tahun (Ton) Produktivitas alat tangkap tidak dipisahkan dengan banyaknya penangkapan. Pada Tabel 4 terlihat bahwa penangkapan terbesar adalah gill net yang dapat upaya upaya setiap tahunnya mengalami peningkatan sebesar 45,29%, sedangkan tiga alat tangkap yang lain mengalami penurunan setiap tahunnya. Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia, Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-95 Tabel 4 Upaya Penangkapan Tiap Jenis Alat Tangkap Upaya Penangkapan (Trip) Per Tahun Jenis Alat Tangkap 2005 2006 2007 2008 Jaring Insang 910 1.013 1.328 2.305 Jaring Dogol 1.162 569 882 1.351 Bagan Tancap 1.637 1.188 2.049 4.068 Bagan Perahu 0 0 0 1,056 Jaring Payang 1.885 2.185 2.682 2.065 Pancing 705 568 980 249 Sero 0 0 0 1.859 Rampus 0 128 0 607 Produksi teri banyak dihasilkan dari bagan tancap dan bagan perahu. Bagan tancap banyak terdapat di perairan sebelah barat P. Panjang (daerah Kepuh) dan sebelah tenggara P. Panjang. Teri juga merupakan jenis ikan yang memiliki sifat fototaksis positif terhadap cahaya, sehingga sangat efektif apabila ditangkap dengan bagan. Penangkapan ikan menggunakan bagan hanya dilakukan pada malam hari (light fishery). Terutama pada saat bulan gelap, dan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Lampu berfungsi untuk mengumpulkan ikan pada satu titik atau tempat untuk kemudian dilakukan penangkapan. Brandt (1984), menyatakan bahwa keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan alat bantu cahaya ditentukan oleh teknik penangkapan, kondisi perairan dan lingkungan serta kualitas cahaya yang digunakan untuk memikat perhatian ikan. Produksi teri cukup dominan di Kepuh, Wadas, dan Karangantu. Teri selain dijual dalam bentuk segar juga diolah lebih lanjut dalam bentuk asin kering. Teri galer asin dijual ke pasar lokal yaitu Serang dan Rangkasbitung, sedangkan teri nasi untuk permintaan luar negeri (diekspor ke Jepang dan Singapura). Hal ini menunjukkan 2009 3.526 1.804 1,146 47 1.487 331 1.717 467 bahwa perikanan teri merupakan perikanan yang berpeluang untuk dikembangkan. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan Pelagis Kecil Berdasarkan analisis estimasi potensi sumberdaya ikan terhadap kelompok ikan pelagis kecil menggunakan metode surplus production terlihat bahwa tingkat pemanfaatan ikan teri di atas 80%, sudah melebihi dari jumlah tangkap yang diperbolehkan (JTB). Kondisi ini apabila terus dilanjutkan dengan penambahan upaya penangkapan akan membahayakan kondisi sumberdaya ikan, kondisi ini juga diperkuat dengan menurunnya produksi ikan tiap tahun sebesar 13,12%. Kondisi ini juga akan berdampak pada terjadinya penurunan pendapatan nelayan, karena sulitnya mendapatkan ikan.Jika hal ini dibiarkan terus menerus, maka kemiskinan nelayan akan bertambah. Empat jenis ikan tingkat pemanfaatannya lebih besar sama dengan 50% dan kurang dari 80% yaitu ikan lemuru, selar, kembung, dan layang, sedangkan belanak, dan tembang tingkat pemanfaatan di bawah 50%. Keenam jenis ikan pelagis kecil ini masih dapat dikembangkan (Tabel 5). Tabel 5 Hasil Analisis Potensi Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil (Schaefer) di Teluk Banten Jenis Ikan Pelagis Kecil Teri Lemuru Selar Kembung Layang Belanak Tembang Keterangan: Komponen C act (ton) 222,77 27,94 108,82 166,39 40,84 23,19 294,03 CMSY (ton/th) 272,36 36,28 146,84 263,27 76,85 48,71 633,18 EMSY (trip/th) 4.411 4.593 2.466 7.565 4.686 5.353 6.103 E act (trip/th) 3.110 2.593 2.642 4.416 6.263 4.705 6.945 TP (%) 81,79 77,01 74,11 63,20 53,14 47,61 46,44 TU (%) 70,51 56,46 107,14 58,37 133,65 87,89 113,80 C act: hasil tangkapan aktual; CMSY: produksi pada tingkat MSY; EMSY: upaya penangkapan pada tingkat MSY; E act: upaya penangkapan aktual; TP: tingkat pemanfaatan; TU: tingkat upaya penangkapan 6 Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-9 Analisis Bioekonomi Ikan Pelagis Kecil Berdasarkan hasil analisis model Gordon-Schaefer, diperoleh hasil bahwa usaha penangkapan ikan belanak merugi (kondisi aktual). Kondisi ini disebabkan oleh sedikitnya produksi (di bawah MSY), sedikitnya penerimaan, dan besarnya biaya produksi. Usaha penangkapan ikan kembung, teri, dan tembang masing-masing memiliki keuntungan pada tingkat MEY sebesar 4,8 milyar rupiah, 3,64 milyar rupiah, dan 1,75 milyar rupiah. Upaya penangkapan pada tingkat open acces, merupakan titik maksimum tidak dibolehkan melakukan penambahan upaya penangkapan dikarenakan usaha penangkapan akan merugi (zero rent). Adapun upaya penangkapan pada tingkat MEY dan MSY merupakan resource rent. Beberapa jenis ikan berada pada kondisi upaya penangkapan aktual lebih besar dari upaya penangkapan pada tingkat MEY dan MSY, yaitu tembang, selar, dan layang. Hasil perhitungan bioekonomi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil Analisis Bioekonomi (Gordon-Schaefer) Ikan Pelagis Kecil Jenis ikan Kriteria Aktual MEY Kembung Produksi (ton) 166,39 262,74 Effort (trip) 4.416 7.226 Keuntungan (juta Rp) 3.051,80 4.803,18 Tembang Produksi (ton) 294,03 632,16 Effort (trip) 6.495 5.858 Keuntungan (juta Rp) 708,47 1.750,03 Teri Produksi (ton) 222,77 272,34 Effort (trip) 3.110 4.371 Keuntungan (juta Rp) 2.960.75 3.611.02 Selar Produksi (ton) 108,82 146,58 Effort (trip) 3.642 2.362 Keuntungan (juta Rp) 478,05 673,85 Layang Produksi (ton) 40,84 76,54 Effort (trip) 6.263 4.388 Keuntungan (juta Rp) 333,51 808,73 Lemuru Produksi (ton) 27,94 36,21 Effort (trip) 2.593 3.206 Keuntungan (juta Rp) 74,88 71,36 Belanak Produksi (ton) 23,19 48,45 Effort (trip) 4.705 4.961 Keuntungan (juta Rp) -59,32 627,54 MSY 263,27 7.565 4.792.57 633,18 6.103 1.746,97 272,36 4.411 3.610.72 146,84 2.466 672,56 76,85 4.685 805,01 36,28 4.593 66,60 48,71 5.353 623,62 OA 45,16 14.451 0 97,63 11.716 0 9,71 8.742 0 23,62 4.725 0 18,28 8.776 0 6,19 8.776 0 13,23 9.922 0 Keterangan: MEY MSY OA : : : maximum economic yield maximum sustainable yield open acces Ikan kembung lebih menguntungkan terlihat dari keuntungan maksimum sebesar 4.803,18 juta rupiah yang diperoleh pada saat upaya penangkapan sebesar 7.226 trip dan hasil tangkapan sebanyak 262,74 ton/th. Berdasarkan kondisi ini, perikanan kembung masih berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatan dan keuntungannya. Pancing sebagai alat tangkap standar masih dapat dioptimalkan tingkat upayanya.Grafik bioekonomi ikan kembung dapat dilihat pada Gambar 1. Bagan tancap adalah alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan teri. Pemanfaatan terhadap ikan teri telah melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), sehingga tidak diperlukan lagi penambahan upaya penangkapan, meskipun berdasarkan data produksi memiliki trend meningkat setiap tahun (3,23%). Namun berdasarkan hasil analisis bioekonomi diperoleh bahwa keuntungan maksimum sebesar 3.611,02 juta rupiah dicapai pada saat trip penangkapan sebanyak 4.371 kali dan hasil tangkapan sebanyak 272,34 ton/th. Dengan demikian usaha penangkapan teri masih menguntungkan. Seiring dengan dilarangnya lampara dasar yang telah dimodifikasi, maka mulai berkembang “bagan congkel” yaitu bagan perahu yang dilengkapi dengan lampu sebanyak 10-13 buah, dan jumlah bagan tancap juga semakin berkurang. Kondisi ini bisa menggantikan keberadaan bagan tancap tanpa mengurangi jumlah produksinya, mengingat teri Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia, Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-97 merupakan komoditi dengan harga jual yang cukup tinggi yaltu Rp13.500,- per kg. Ikan tembang banyak tertangkap dengan dogol, tingkat pemanfaatannya sebesar 46,4%, upaya penangkapan aktual sebesar 6.495 trip/th telah melebihi upaya optimum (fmsy) sebesar 6.103 trip. Pada satu sisi berdasarkan analisis bioekonomi akan mendapatkan keuntungan maksimum sebesar 1.750,03 juta rupiah apabila upaya penangkapan sebanyak 5.858 kali trip dengan hasil tangkapan sebesar 632,16 ton/th. Phi=Rp4,8 milyar 6000 Namun faktanya keuntungan yang diperoleh sebesar 708,47 juta rupiah. Hal ini menunjukkan masih terdapat peluang untuk meningkatkan keuntungan tetapi tidak dengan penambahan upaya penangkapan. Strategi yang dilakukan adalah mengupayakan pengurangan upaya penangkapan sampai tingkat MEY sehingga dapat menekan biaya produksi. Perikanan tembang diarahkan ditangkap dengan payang, dan dogol diawasi jalur penangkapannya agar berada di luar teluk. MSY=263,27 ton MEY= 262,74 ton TR/TC (Rp) 5000 4000 3000 OA= 45,16 ton 2000 1000 0 0 2500 5000 7500 10000 12500 15000 17500 Effort (trip/th) Kembung TR (x1000000) TC (x1000000) Gambar 1 Grafik Bioekonomi Ikan Kembung Berkurangnya sumberdaya ikan pelagis kecil disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah sangat beragamnya alat tangkap yang digunakan, jumlah alat tangkap banyak, daerah penangkapan yang terbatas dan semakin sempit. Bagan apung (bagan congkel) dan payang tingker menggunakan fishing ground yang sama, kedua alat tangkap tersebut sama-sama menggunakan alat bantu lampu untuk mengumpulkan ikan tujuan tangkap. Dengan demikian kondisi ini juga harus dipecahkan, mungkin bisa diatur atau diarahkan fishing ground yang lebih jauh dari kawasan Teluk Banten tetapi masih dalam pengaturan wilayah tangkap Kabupaten Serang, yaitu sejauh 3 mil yang diukur dari pantai saat surut terendah. Bertolak dari keadaan tersebut maka pemerintah (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banten) hendaknya menata ulang lagi jenis dan jumlah alat tangkap, terutama untuk ikan pelagis kecil; tidak dibuka ijin baru untuk menangkap; serta mengoptimalkan upaya penangkapan (trip) tetapi dengan alat tangkap yang betul-betul efektif dan ramah lingkungan. Usulan seperti ini perlu dikaji kembali mengingat 8 Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-9 kebijakan yang akan dibuat melibatkan banyak pihak. Pemerintah bisa mengkaji kembali konsep sistem perikanan menurut Charles (2001) dan konsep Gulland (1991) di dalam pengelolaan perikanan tangkap. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah (1) Terdapat tujuh jenis ikan pelagis kecil yang ditemukan sepanjang tahun di Teluk Banten yaitu kembung, tembang, teri, selar, laying, lemuru, dan belanak; (2) Potensi sumber daya ikan teri cukup besar, namun tingkat pemanfaatannya sudah melebihi JTB yaitu sebesar 81,79%; (3)Ikan kembung secara biologi memiliki potensi yang lebih kecil dibandingkan teri namun secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu sebesar 4,8 milyar rupiah, dengan demikian secara bioekonomi lebih menguntungkan. Saran Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, saran yang dapat peneliti sampaikan adalah: (1) Mengoptimalkan penggunaan alat tangkap pancing untuk menangkap ikan kembung; (2) Pemerintah lebih serius dalam menata perikanan tangkap di Teluk Banten mengingat telah terjadi upaya tangkap lebih sehingga akan membahayakan kondisi sumberdaya ikan baik pelagis maupun demersal. TPI Terate. 2005-2009. Laporan Harian dan Bulanan Produksi Ikan yang Didaratkan Di TPI. Serang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang. TPI Wadas. 2005-2009. Laporan Bulanan Produksi Ikan yang Didaratkan Di TPI. Serang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang. TPI Kepuh. 2005-2009. Laporan Harian dan Bulanan Produksi Ikan yang Didaratkan Di TPI. Serang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang. DAFTAR PUSTAKA Brandt, A. L. 1984. Fish Catching Method of The Words. Fishing News Books ltd. London. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System.Saint Mary’s University. Halifax, Nova Scotia. Canada: Balckwell Science. Ltd. Clarck CW. 1985. Bioeconomic Modelling of Fisheries Management. John Wiley & Sons.Chichester-New York-BrisbaneToronto-Singapure. Hendiarti N. 2008.Hubungan antara Keberadaan Ikan Pelagis dengan Fenomena Oseanografi dan Perubahan Iklim Musiman Berdasarkan Analisis Data Penginderaan Jauh (The Existence of Pelagic Fish in Relation to Oceanographic Phenomenon and Seasonal Climate Change Based on Remote Sensing Data Analysis). Globe Volume 10 No.1 Juni 2008: 19-25. Gulland, J.A. 1991. Fish Stock Assesssment.A Manual of Basic Methods.Jhon Wiley & Sons.Chichester-New York-BrisbaneToronto-Singapore.223 p. Laevastu, T. and ML. Hayes. 1982. Fisheries Oceanography and Ecology Fishing News Books Ltd. England. 199 hlm. Resmiati T, Diana S, dan Astuty S. 2002. Komposisi Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Teluk Banten. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran Bandung. http://pustaka.unpad.ac.id/wp.content/ uploads/2009/07/komposisi_jenis _alat_tangkap pdf. (17 Juli 2009). Schaefer, M.B. 1957. Some Consideration of Population Dynamics and Economics in Relation to The Management of The Commercial Marine Fisheries, Journal of Fisheries Research Board of Canada, 1-1: 669-681. Jurnal Ilmiah Satya Negara Indonesia, Edisi Khusus Maret 2013, Hal. 1-99