II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Bakteri Streptomyces Streptomyces merupakan bakteri yang menyerupai jamur berfilamen yang bersifat aerobik (Hopwood, 2007) dan tergolong dalam genus bakteri Gram positif yang memiliki materi genetik guanin dan sitosin cukup tinggi (69-73% mol) bila dibandingkan dengan bakteri lain seperti Eschercia coli hanya 50% (Bentley et al., 2002). Hal ini yang mendukung bakteri Streptomyces mampu membentuk substrat percabangan luas dan miselium aerial (Wendisch and Kutzner, 1992). Kebanyakan Streptomyces hidup sebagai saprofit dalam tanah, namun bakteri ini juga berhasil menghuni berbagai relung lainnya baik darat maupun perairan (Zhang et al., 1997). Perbedaan Streptomyces dengan bakteri lain yaitu pada media agar, koloni Streptomyces tumbuh secara perlahan yaitu koloni akan terlihat jelas pada inkubasi hari kedua atau hari ketiga. Koloni melekat erat pada permukaan media dan strukturnya kasar atau bertepung (Mathur et al., 2015) (Gambar 1), sedangkan bakteri lain tumbuh dengan cepat yaitu 24 jam inkubasi koloni sudah terlihat, serta struktur koloninya berlendir (Rao, 1994). Secara mikroskopis, hifa Streptomyces berbentuk ramping tanpa sekat dan berdiameter antara 0,5 – 2 µm sedangkan konidianya berasal dari hifa yang terfragmentasi kemudian membentuk rantai konidia dengan diameter antara 0,3 – 1,5 µm (Santhanam et al., 2013) (Gambar 1). Hain et al. (1997), mengatakan bahwa hifa dan konidia yang dimiliki oleh Streptomyces dapat menghasilkan pigmen serta aroma khas yang dapat dilihat pada media agar. Pigmen dan aroma khas yang hadir pada konidia beberapa spesies Streptomyces dapat meningkatkan kemampuan konidia untuk bertahan pada lingkungan yang tidak bersahabat (Chater and Chandra, 2006). Menurut Chi et al. (2011), hal tersebut juga dapat merangsang sel dan produksi metabolit sekunder. Ujung hifa menjadi bagian yang juga penting karena bagian ini dapat mensekresikan protein membran dan lipid, terutama di daerah apikal pertumbuhan (Flardh and Buttner, 2009). Xu et al. (2008), mengatakan bahwa ujung hifa 5 merupakan titik yang memiliki banyak fungsi. Di bagian ini, khususnya di daerah pertumbuhan apikal terjadi sekresi dan perakitan peptidoglikan serta komponen envelop sel lainnya, seperti asam teikoik, protein permukaan sel dan membran lipid. Berikut adalah klasifikasi Streptomyces sp. menurut Agrios (2005): Domain : Bacteria Phylum : Actinobacteria Classis : Actinomycetes Ordo : Actinomycetales Familia : Streptomycetaceae Genus : Streptomyces Spesies : Streptomyces sp. A B 2 1 Gambar 1. (A) Koloni Streptomyces sp. (Mathur et al., 2015) dan (B) Struktur mikroskopis (1. rantai konidia dan 2. hifa). Perbesaran 1.600 x, dengan Scanning Electron Micrographs (SEM) (Santhanam et al., 2013) Streptomyces tumbuh sebagai percabangan hifa dengan miselium aerial multinukleat yang secara berkala membentuk septa lalu menghasilkan rantai konidia uninukleat. Ketika konidia berada pada kondisi yang menguntungkan, seperti suhu, nutrisi dan kelembaban yang cocok maka tabung bakteri dan hifa akan berkembang, selanjutnya terjadi pertumbuhan dan siklus sel (Gambar 2) (Wendisch and Kutzner, 1992). Chater and Chandra (2006), mengatakan bahwa kemungkinan sel sporogen mengandung 50 atau lebih kromosom. Urutan, posisi, 6 dan pemisahan kromosom tersebut selama sporulasi terjadi secara linier yang melibatkan dua sistem yaitu ParAB dan FtsK. Sistem ini yang menyebabkan diferensiasi serta terbentuknya septa sel apikal yang membentuk rantai konidia. Gambar 2. Siklus hidup Streptomyces sp. (Brooks et al., 2012) Streptomyces sp. merupakan produsen antibiotik utama karena lebih dari 80% produk antibiotik berasal dari bakteri ini. Selain itu, Streptomyces sp. juga memiliki sumber potensi metabolit sekunder dan berbagai aktivitas biologis. Dilaporkan bahwa bakteri ini mensintesis lebih dari 7.000 jenis metabolit sekunder (Berdy, 2005). Metabolisme sekunder terjadi pada fase akhir pertumbuhan. Selain faktor genetik, kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhi ekspresi metabolit yang dihasilkan. Oleh sebab itu, metabolisme sekunder dapat terjadi akibat beberapa peristiwa seperti kekurangan nutrisi, penambahan induser, penurunan tingkat pertumbuhan, atau dapat dengan adanya sinyal yang dihasilkan oleh organisme lain di tanah (Bibb, 2005). Kehadiran sinyal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan regulasi yang berdampak pada diferensiasi morfologi dan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh bakteri Streptomyces (Chater et al., 2010). Adapun beberapa hal yang dapat mengatur pembentukan antibiotik yaitu nutrisi (nitrogen, fosfor, dan sumber karbon), logam 7 dan tingkat pertumbuhan (Bibb, 2005). Produksi antibiotik dapat terlibat pada proses penting lainnya seperti simbiosis Streptomyces sp. dengan tanaman yaitu tanaman dapat terlindungi dari serangan patogen, dan eksudat tanaman mendukung perkembangan Streptomyces sp. (Bosso et al., 2010). 1.2. Tanaman Familia Zingiberaceae Zingiberaceae merupakan salah satu famili terbesar dari kerajaan tumbuhan. Famili tumbuhan ini memiliki 47 genera dan hampir 2.000 spesies yang tersebar diseluruh dunia. Zingiberaceae tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Genera dan spesies Zingiberaceae banyak tersebar di kawasan Malesia (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Papua Nugini) (Sirirugsa, 1998). Beberapa spesies Zingiberaceae diketahui memiliki senyawa bioaktif yang digunakan sebagai obat tradisional untuk berbagai penyakit (Wohlmut, 2008). Berikut adalah klasifikasi tanaman famili Zingiberaceae menurut Mabberley (1997): Phylum : Angiospermae Class : Monokotiledonae (Liliopsida) Subclass : Zingiberidae Order : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Tanaman ini diketahui memiliki komponen kimia yang paling beragam seperti hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, ester, eter, lakton, oksida dan peroksida. Selain itu pada tanaman ini juga terdeteksi mengandung senyawa aromatik. Senyawa aromatik tersebut dihasilkan oleh struktur sekretori yang terletak di sel kortikal atau oleoresin yang menghasilkan minyak esensial. Struktur ini mengandung idioblas yang terletak di rimpang dan trikoma kelenjar daun. Minyak esensial ini dapat melindungi tanaman dari serangan mikroba pengganggu, membantu dalam hal penyerbukan karena mampu menarik serangga, atau dapat bertindak sebagai penolak serangga. Dengan demikian metabolit sekunder yang dihasilkan lebih berperan dalam ekologi daripada di fisiologi tanaman itu sendiri (Kojima et al., 1998). 8 Berbagai genus dari famili Zingiberaceae diketahui mengandung senyawa bioaktif yang bermanfaat seperti pada genus Curcuma yang diketahui memiliki senyawa kurkumin yang dapat bertindak sebagai antioksidan, anti kanker, dan anti inflamasi. Kurkuminoid dikenal juga dengan istilah diarilheptanoid berwarna yang terdapat pada rimpang tanaman yaitu sekitar 5% dari berat kering rimpang. Senyawa utama lainnya yaitu diferulol-metan, desmetoksi-kurkumin, bisdesmetoksi-kurkumin, dan dihidro-kurkumin sebanyak 50 – 60% yang terkandung di rimpang tanaman. Selain kurkumin, genus ini juga memiliki minyak atsiri sebanyak 5 - 6% yang terdiri dari mono dan seskuiterpen, termasuk zingiberin, kurkumin, α- dan β-turmeron (Evans, 2002). Genus Kaempferia dikenal sebagai obat untuk berbagai penyakit karena kandungan senyawa bioaktif yang dimiliki rimpang genus ini mengandung minyak atsiri dengan kandungan unsur etil-p-metoksi-e-sinamat, etil sinamat, sinamaldehid, kampen, l-Δ3-caren, borneol, p-metoksistiren dan pentadekan (Luger et al., 1996). Genus Alpinia juga memiliki minyak atsiri yang diketahui tersebar di daun, batang, dan rimpang. Kandungan khas dari minyak esensial yang terdapat pada genus ini adalah terpenoid dan penilpropanoid, ini termasuk monoterpenoid seperti α- dan β-pinene, geraniol, borneol, sitronelol, linalool, 1,8-cineole dan kamper, seskuiterpenoid termasuk eudesmol, sesquiphellandrene β dan curcumene, dan phenylpropanoids seperti metil eugenol (Tewari et al., 1999). Aroma yang dihasilkan oleh genus ini mengandung unsur empat isomer asetoksisineol dan 1'-acetoksikavikol asetat yang menghasilkan sensasi pedas (Kubota et al., 1999). Genus Zingiber memiliki metabolit sekunder yang terdapat pada rimpang, senyawa ini terdiri dari senyawa volatil, nonvolatil, dan senyawa fenolik nonvolatil. Senyawa – senyawa inilah yang memiliki aktivitas farmakologi (Jolad et al., 2005). Tanaman memiliki insting untuk mengoptimalkan pertumbuhannya melalui pertumbuhan akar sehingga dapat memperoleh unsur hara yang cukup. Tanaman juga menjalin kerja sama dengan mikroba sebagai usaha untuk perlindungan diri dari serangan organisme pengganggu. Oleh karena itu, tanaman juga akan menyediakan sumber nutrisi bagi mikroba yaitu dengan melepaskan eksudat ke 9 tanah sekitar rimpang. Hal ini juga dapat sebagai alat untuk menarik mikroba yang dikehendaki hidup di sana maupun mengusir mikroba pengganggu (Widyati, 2013). Mikroba yang berkolonisasi di rizosfer akan berdampak pada modifikasi fisik dan kimia tanah, hal ini tentunya akan mempengaruhi tanaman dan mikroba itu sendiri (Sylvia et al., 2005). 1.3. Antibiotik Antibiotik merupakan obat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik yang bekerja dengan membunuh bakteri disebut bakterisida, sedangkan antibiotik yang bekerja dengan mencegah bakteri bermultiplikasi disebut bakteriostatik (Chopra et al., 2002). Antibiotik pertama kali muncul sebagai terobosan terbaru dalam dunia kedokteran pada tahun 1928, yang ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Alexander Fleming (Taubes, 2008). Antibiotik dikatakan berspektrum luas bila berbagai macam infeksi dapat diobati dan berspektrum sempit bila hanya dapat mengobati beberapa jenis infeksi bakteri saja (Chopra et al., 2002). Antibiotik dengan jenis yang berbeda akan memberi pengaruh yang berbeda pada bakterinya dan dengan cara yang berbeda pula. Misalnya antibiotik melawan bakteri dengan menghambat kemampuan bakteri dalam mengubah glukosa menjadi energi, atau menghambat kemampuan bakteri dalam membentuk dinding selnya. Ketika hal ini terjadi maka bakteri akan mati dan tidak dapat bermultiplikasi (Kohanski et al., 2007). Tahun 1942, menjadi tahun pertama ditemukannya antibiotik yang berasal dari Streptomyces yaitu streptothricin dan dua tahun kemudian disusul dengan penemuan antibiotik kedua yang berasal dari Streptomyces yaitu streptomisin (Watve et al., 2001). 1.3.1. Mekanisme kerja antibiotik Mekanisme kerja antibiotik diawali dengan interaksi fisik antara molekul obat dengan target tertentu dalam bakteri. Interaksi ini akan menimbulkan perubahan pada tingkat biokimia, molekuler dan struktural bakteri (Taubes, 2008). Mekanisme ini akan bekerja pada sasaran seluler seperti: replikasi DNA, sintesis RNA, sintesis dinding sel, dan sintesis protein (Chopra et al., 2002). 10 A. Mekanisme antibiotik menghambat replikasi DNA Proses sintesis DNA, mRNA transkripsi, dan pembelahan sel pada bakteri memerlukan modulasi kromosom melalui enzim topoisomerase untuk mengkatalis reaksi membukanya untai dan penggabungan untai kembali (Espeli and Marians, 2004). Reaksi ini telah dieksploitasi oleh antibiotik kelas kuinolon sintetis, termasuk fluoroquinolon. Kuinolon merupakan antibiotik turunan asam nalidiksat sebagai produk sampingan dari sintesis klorokuin. Kuinolon memiliki beberapa generasi yaitu asam oxolinik (pertama), ciprofloxacin (kedua), levofloxacin (ketiga), dan gemifloxacin (keempat). Antibiotik kelas kuinolon bekerja dengan mengganggu pemeliharaan topologi kromosom dengan cara menjebak enzim topoisomerase II dan topoisomerase IV pada tahapan pembelahan DNA dan mencegah untai bergabung kembali (Drlica et al., 2008). Drlica and Snyder (1978), mengatakan bahwa kerentanan topoisomerase II dan topoisomerase IV terhadap kuinolon bervariasi di setiap spesies bakteri walaupun keduanya memiliki kesamaan fungsi yang umum. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pada bakteri Gram positif yang menjadi target utama kuinolon adalah topoisomerase IV (Munoz and Weinsten, 2008), sedangkan pada bakteri Gram negatif (misal: E. coli, dan Neisseria gonorrhea), yang menjadi target utama adalah topoisomerase II (Belland et al., 1994). B. Mekanisme antibiotik menghambat sintesis RNA Proses enzimatik sangat penting dalam pertumbuhan sel bakteri sehingga proses ini dapat menjadi target menarik bagi antibiotik. Rifampisin menghambat sintesis RNA dengan cara menghambat inisiasi transkripsi dan memblokir jalur pertumbuhan rantai ribonukleotida. Hal ini dapat terjadi karena Rifampisin menggunakan koneksi stabil dengan afinitas tinggi pada β-subunit di jalur kompleks RNA polimerase dan DNA yang menyebabkan situs aktif terpisah (Chopra et al., 2002). Rifampisin pertama kali diisolasi dari bakteri Gram positif Amycolatopsis mediterranei yang awalnya dikenal sebagai Streptomyces mediterranei pada tahun 1950-an. Rifampisin dengan karakter yang lebih kuat terisolasi dari mutagensis yang terjadi pada organisme ini. Rifampisin bersifat 11 bakterisida terhadap bakteri Gram positif dan bersifat bakteriostatik terhadap Gram negatif. Perbedaan tersebut telah dikaitkan dengan penyerapan antibiotik dan tidak afinitasnya antibiotik dengan β-subunit pada jalur RNA polimerase (Naryshkina et al., 2001). C. Mekanisme antibiotik menghambat sintesis dinding sel Dinding sel dapat memberikan kekuatan mekanik bagi bakteri itu sendiri, yaitu untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang dapat mengubah tekanan osmotiknya (Holtje, 1998). Sel bakteri dibungkus oleh lapisan peptidoglikan (murein) yang mengandung rantai asam N-acetilmuramik (MurNAc) dan residu N-asetilglukosamin (GlcNAc) yang berikatan silang melalui rantai sisi pentapeptida yang melekat pada MurNAc (Chopra et al., 2002). Gangguan sintesis atau struktur dapat menyebabkan hilangnya bentuk sel dan integritas yang diikuti oleh kematian sel (Holtje, 1998). Biosintesis peptidoglikan terjadi melalui tiga tahap. Tahap pertama melibatkan enzim yang terdapat pada sitoplasma atau dipermukaan sitoplasma untuk merakit unit monomer disakaridapeptida. Tahap kedua yaitu unit monomer ditransfer melintasi membran sitoplasma, dan tahap ketiga polimerasi unit monomer pada permukaan luar membran serta pengikatan peptidoglikan yang baru ke dinding sel yang sudah ada sebelumnya. Langkah ketiga dimanfaatkan sebagai target antibiotik melalui agen β-laktam dan glikopeptida (Park and Uehara, 2008). β-laktam dan glikopeptida merupakan salah satu kelas antibiotik yang dapat mengganggu langkah-langkah tertentu dalam homeostasis biosintesis dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel ini dapat mengakibatkan perubahan bentuk sel dan ukuran, dapat menginduksi respon stres sel dan pada akhirnya sel lisis (Park and Uehara, 2008). Beberapa antibiotik yang tergolong kelas β-laktam adalah penisilin, carbapenem dan sefalosporin. Antibiotik ini dapat menghambat pembentukan ikatan peptida yang dikatalis oleh enzim PBP (Penicillin-Binding Proteins) dengan cara memblokir ikatan silang dari unit peptidoglikan (Holtje, 1998). Aktivitas enzim transglikosilase dan PBP (juga dikenal sebagai transpeptidase) dapat memelihara lapisan peptidoglikan. Enzim 12 ini akan memperpanjang untaian glikan dari molekul peptidoglikan yang sudah ada dengan menambahkan pentapeptida disakarida (Park and Uehara, 2008). D. Mekanisme antibiotik menghambat sintesis protein Penerjemahan mRNA terjadi dalam tiga fase berurutan yaitu inisiasi, elongasi, dan terminasi yang melibatkan organel ribosom dan sitoplasma (Garrett, 2000). Organel ribosom terdiri atas dua subunit ribonukleo protein yaitu 50S dan 30S (Nissen et al., 2000). Ribosom ini dapat menjadi target antibiotik dalam menghambat sintesis protein. Antibiotik yang menghambat sintesis protein dibagi menjadi dua sub kelas yaitu 50S inhibitor dan 30S inhibitor. Kelas antibiotik yang termasuk sebagai 50S ribosom inhibitor yaitu makrolida (misalnya, eritromisin), streptogramin (misalnya, linkosamida dalfopristin-quinupristin), (misalnya, klindamisin), amphenikol (misalnya, kloramfenikol) dan oksazolidinon (misalnya, linezolid) (Katz and Ashley, 2005). Antibiotik 50S inhibitor ini bekerja dengan menghalangi inisiasi translasi protein atau translokasi tRNA peptidil, dan hal tersebut dapat menghambat reaksi peptidiltransferase untuk memanjangkan rantai peptida yang baru. Peristiwa ini melibatkan pemblokiran akses tRNA peptidil ke ribosom untuk melakukan proses selanjutnya, kemudian pemblokiran reaksi elongasi peptidiltransferase terjadi dan akhirnya akan memicu disosiasi peptidil tRNA (Vannuffel and Cocito, 1996). Antibiotik yang termasuk 30S ribosom inhibitor adalah tetrasiklin dan aminosiklitol. Tertrasiklin bekerja dengan menghalangi akses tRNA aminoasil ke ribosom sehingga tidak dapat melanjutkan proses selanjutnya (Chopra and Roberts, 2001). Sedangkan kelas aminosiklitol terdiri atas spektinomisin dan aminoglikosida (misalnya, streptomisin, kanamisin dan gentamisin). Antibiotik ini dapat mengikat komponen 16S rRNA dari subunit 30S. Khususnya, spektinomisin bekerja dengan menghambat faktor pengkatalis elongasi translokasi sehingga stabilitas peptidil tRNA untuk berikatan dengan ribosom menjadi terganggu, namun tidak menyebabkan kesalahan dalam menterjemahkan protein (Karimi and Ehrenberg, 1994). Sebaliknya, apabila interaksi 16S rRNA terjadi dengan aminoglikosida, maka hal ini dapat menginduksi terjadinya perubahan konformasi 13 dari kompleks yang terbentuk antara kodon mRNA dan aminoasil tRNA di ribosom, sehingga kesalahan penerjemahan protein dapat terjadi (Pape et al., 2000). Aminoglikosida akan menyebabkan kesalahan penerjemahan protein karena terjadi penggabungan asam amino yang tidak cocok ke dalam elongasi untaian peptida. Penerjemahan protein yang salah ini akan digabungkan ke dalam membran sitoplasma sehingga sifat permeabilitas sel menjadi lebih meningkat dan hal ini akan mempermudah akses antibiotik masuk kedalam sel. Semakin mudah antibioik masuk ke dalam sel maka penghambatan ribosom semakin meningkat dan sel bakteri akan mati (Fourmy et al., 1996). Aminoglikosida turunan alami merupakan satu-satunya kelas antibiotik yang memiliki sifat bakterisida yang luas. Sedangkan makrolid, streptogramin, spektinomisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan makrolida adalah antibiotik yang bersifat bakteriostatik, akan tetapi dapat bersifat bakterisida pada suatu bakteri (Fourmy et al., 1996). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Goldstein et al. (1990), bahwa kloramfenikol dan makrolida azitromisin telah menunjukan aktivitas bakterisida terhadap Haemophilus influenzae. 1.3.2. Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik Resistensi bakteri dapat dijelaskan melalui dua cara yaitu, (1) resistensi intrinsik, dimana secara alami suatu bakteri tidak memiliki situs target untuk antibiotik sehingga antibiotik tidak berpengaruh terhadap bakteri tersebut. Bakteri dapat secara alami memiliki permeabilitas rendah terhadap antibiotik karena adanya perbedaan sifat kimia antibiotik dengan struktur membran bakteri. (2) resistensi antibiotik yang dapat diperoleh oleh bakteri, dimana mekanisme resistensi yang diperoleh ini dapat melalui berbagai cara seperti yang diungkapkan oleh Fluit et al. (2001), yaitu sebagai berikut: a. Adanya enzim yang menginaktivasi agen antibiotik b. Kehadiran enzim alternatif lainnya ketika enzim utama dihambat oleh agen antibiotik 14 c. Terjadinya mutasi pada protein target antibiotik sehingga daya berikatan antibiotik pada bakteri rendah d. Terjadinya modifikasi pasca transkripsi atau pasca translasi pada bakteri yang menjadi target antibiotik sehingga ini dapat mengurangi pengikatan agen antibiotik. e. Pengurangan penyerapan zat antibiotik oleh bakteri f. Diaktifkannya protein efluk (pompa efluk) yang akan memompa dan mencegah masuknya antibiotik ke dalam sel bakteri g. Protein target antibiotik diproduksi berlebihan 1.4. Bakteri Acinetobacter baumannii Acinetobacter baumannii tergolong bakteri aerobik, Gram negatif, berbentuk batang, nonfermentasi, nonmotil, oksidase negatif, dan bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 20 – 300C. Secara makroskopis memiliki koloni berbentuk bulat dan berwarna putih berlendir (Ajao et al., 2011) (Gambar 3). Bakteri A. Baumannii memiliki sejarah perubahan taksonomi yaitu awalnya termasuk famili Neisseriaceae dan sekarang digolongkan dalam famili Moraxellaceae (Berlau et al., 1999). Bakteri ini dapat hidup di tanah, air, hewan, dan manusia. Umumnya bakteri ini ditemukan di lingkungan rumah sakit sebagai penyebab berbagai infeksi nosokomial oportunistik (Bergogne and Towner, 1996). Bakteri ini pertama kali terisolasi pada tahun 1911 dari sampel tanah yang dilakukan oleh Beijerink (Kuo et al., 2004) dan tahun 1986, taksonomi A. Baumannii telah diklasifikasikan (Bouvet et al., 1986). Berikut adalah klasifikasi A. baumannii menurut Bouvet et al. (1986): Domain : Bacteria Phylum : Proteobacteria Classis : Gammaproteobacteria Ordo : Pseudomonadales Familia : Moraxellaceae Genus : Acinetobacter Spesies : A. baumannii 15 Gambar 3. Isolat Acinetobacter baumannii (diameter koloni 0,5-2 mm) (Ajao et al., 2011) Wabah A. baumannii resisten terhadap antibiotik kelas carbapenem pertama kali terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1991 (Go et al., 1994). Tahun 1998, Isolat A. baumannii yang resisten terhadap antibiotik carbapenem diisolasi dari pasien leukemia di rumah sakit Taiwan. Setelah diamati, ternyata isolat tersebut resisten terhadap hampir semua antibiotik (seperti; sefalosporin, aztreonam, aminoglikosida dan ciprofloxacin) (Hsueh et al., 2002). Kemampuan dalam membentuk biofilm membuat patogen ini sulit dikendalikan. Pembentukan biofilm dikendalikan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya gen resisten antibiotik, kondisi pertumbuhan yang mendukung, dan kepadatan sel dalam mengkolonisasi (Gaddy and Actis, 2009). Seperti yang diungkapkan oleh Lee et al. (2008), bahwa kehadiran dan ekspresi salah satu gen yaitu gen blaPER-1dapat meningkatkan kemampuan membentuk biofilm diberbagai permukaan, baik permukaan biotik maupun abiotik (Gambar 4 dan 5). Bakteri A. baumannii resisten memiliki spektrum klinis luas diantaranya bakteremia, pneumonia, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringan lunak, infeksi aliran darah, endokarditis, abses intra abdominal, dan infeksi luka operasi (Howard et al., 2010). Bakteri A. baumannii dapat menular dari pasien satu ke pasien yang lain melalui kontak langsung maupun tidak langsung (D'Agata et al., 2000). Resiko yang lebih besar dari infeksi bakteri ini, yaitu selain mengalami infeksi sekunder, masa rawat pasien akan semakin 16 diperpanjang dan memungkinkan pasien memperoleh perawatan berupa makanan enteral (Mulin et al., 1995). Bahaya utama dari A. baumannii adalah kemampuannya yang dengan cepat resisten terhadap antibiotik, yang kemudian bergerak kearah multidrug resisten (Bergogne and Towner, 1996). Kejadian infeksi A. Baumannii telah menjadi masalah kesehatan di banyak negara (Landman et al., 2002). Gambar 4. Biofilm A. baumannii (in vitro) yang terbentuk pada permukaan penutup kaca setelah 24 jam inkubasi pada suhu 370C di media luriabertani broth. Perbesaran 5.000 x, dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Longo et al., 2014) Gambar 5. Biofilm polimikroba (A. baumannii, K. pnomuniae, dan P. aeruginosa) tumbuh dalam lumen kateter urin silikon yang diisolasi dari pasien rumah sakit di Roma. Perbesaran 10.000 x, dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) (Longo et al., 2014) 17 1.4.1. Mekanisme resistensi antibiotik pada Acinetobacter baumannii Mekanisme resistensi yang umum dapat terjadi melalui resistensi yang dimediasi oleh enzim, adaptasi genetik, pengaktifan protein efluk, dan perubahan struktur komponen membran luar sel bakteri (Cloete, 2003). Enzim yang memediasi resistensi antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk memproduksi enzim yang dapat mengubah senyawa antibiotik menjadi senyawa yang tidak toksik atau tidak aktif bagi sel bakteri itu sendiri (Ma et al., 1998). Protein efluk befungsi untuk memompa zat antibiotik keluar dari sel, menurunkan konsentrasi antibiotik dalam sel dan mencegah antibiotik bekerja mengenai target (Nikaido, 2009). Sedangkan untuk perubahan struktur membran, ini dapat terjadi pada porin dan enzim PBP (Penicillin-Binding Proteins) (Cloete, 2003). Porin merupakan suatu protein yang diproduksi di membran luar bakteri Gram negatif, berfungsi sebagai saluran difusi nonspesifik yang memungkinkan masuknya antibiotik yang efektif (Nikaido, 2009). Perubahan struktur membran sel ini memungkinkan sel untuk meningkatkan resistensi terhadap antibiotik karena antibiotik tidak dapat menembus membran sel dan tidak mampu mencapai situs targetnya (Cloete, 2003). Resistensi A. baumannii terhadap antibiotik aminoglikosida dimediasi oleh enzim AME (Aminoglycoside-Modifying Enzymes). Enzim – enzim yang termasuk adalah aph (aminoglikosida phosphotransferase), acc (aminoglikosida acetyltransferase), dan aad (aminoglikosida adeniltransferase) (Perez et al., 2007). Bakteri A. baumannii memiliki transposon yang memediasi pembentukan protein efluk. Mediasi ini melibatkan gen tetrasiklin A (TetA) dan tetrasiklin B (TetB) (Guardabassi et al., 2000). TetA berfungsi untuk pemompaan tetrasiklin, sedangkan TetB berfungsi untuk pemompaan baik tetrasiklin maupun minosiklin (Huys et al., 2005). Resistensi antibiotik tetrasiklin ini juga dapat didukung dengan adanya protein pelindung ribosom bakteri (Perez et al., 2007). Protein ini dikodekan oleh gen M tetrasiklin yang dapat melindungi ribosom sebagai target dari beberapa antibiotik yaitu tetrasiklin, minosiklin, dan doksiklin (Ribera et al., 2003). Modifikasi yang terjadi pada strutur DNA girase dapat menurunkan afinitas enzim terhadap kuinolon (Seward and Towner, 1998). Enzim yang ada 18 pada A. baumannii ini merupakan target kuinolon, namun karena tidak mampunya antibiotik melekat pada situs targetnya maka A. Baumannii menjadi resisten terhadap antibiotik kuinolon. Selain itu, modifikasi lipopolisakarida dalam sel A. baumannii juga akan menyebabkan bakteri resisten terhadap polimiksin (Perez et al., 2007). 1.5. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dianggap sebagai “gold standard” yaitu konsentrasi terendah suatu antibiotik dalam menghambat pertumbuhan mikroba. MIC digunakan untuk menentukan kerentanan serta menilai kinerja metode pengujian kerentanan suatu antibiotik terhadap mikroorganisme. Secara universal kisaran konsentrasi antibiotik diterima dalam menentukan MIC (Wahi and Singh, 2011). Kemampuan menghambat antibiotik terhadap mikroorganisme akan terlihat setelah inkubasi selama 24 jam dan apabila bakteri yang diuji bersifat anaerob yang memerlukan lama inkubasi untuk pertumbuhan, maka periode inkubasi diperpanjang. Metode yang dapat digunakan untuk menentukan MIC yaitu sumur difusi, kertas cakram, dan pengenceran (Andrews, 2001). 19