4 TINJAUAN PUSTAKA Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) EPEC merupakan salah satu penyebab diare terbanyak pada anak-anak di bawah usia 5 tahun yang menyebabkan kesakitan dan kematian di negara-negara berkembang (Clarke et al. 2002). Karakter sel EPEC sama dengan E. coli pada umumnya. Bakteri gram negatif ini berbentuk batang pendek, motil dengan flagela peritrikus. EPEC dapat memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas (Madigan et al. 2006). Knutton et al. (1987) menyatakan pelekatan EPEC akan menyebabkan luka dan kerusakan mikrovili membran mukosa usus. Kenny et al. (1997) melaporkan bahwa interaksi EPEC dengan sel inang menginduksi terjadinya fosforilasi tirosin pada protein Tir, yang diikuti translokasinya ke membran sel inang. Protein Tir merupakan reseptor intimin yang berperan untuk membentuk ikatan yang erat antara sel EPEC dengan inangnya. Patogenesis utama pada EPEC adalah kerusakan yang disebut attaching and effacing (A/E) yang ditandai dengan sinyal pelekatan dari bakteri pada epitel usus (Nougayrede et al. 2003 dalam Afset et al. 2004). Cravioto et al. (1979) melaporkan bahwa 80% strain EPEC melekat pada sel HEp2-monolayer dan pelekatan sel HEp2 lebih umum terjadi dengan EPEC daripada dengan E. coli enterotoksik atau dengan E. coli yang merupakan flora normal usus manusia. EPEC dapat melekat pada sel HEp-2 atau sel HeLa dengan pola terlokalisir atau merata. Pola terlokalisir pada sel HEp-2 pada EPEC E2348 (Serotipe O127:H6) dikodekan oleh plasmid 60-megadalton (pMAR2). Keberadaan plasmid ini dan ekspresinya berkorelasi dengan kemampuan E2348 menyebabkan diare pada sukarelawan orang dewasa (Echeverria et al. 1987). EPEC menempel erat pada sel usus yang menyebabkan hilangnya mikrovili usus dan selaput membran usus di sekitar bakteri. Interaksi EPEC dengan sel usus terjadi melalui 3 fase. Fase pertama adalah pelekatan tidak kuat (non-intimate binding) yang diperantarai oleh Bundle forming pilus (Bfp). Fase kedua adalah pelekatan EPEC yang meningkatkan aktivitas enzim tirosin kinase dan menaikkan ion Ca di dalam sel. Fase ketiga adalah pelekatan yang kuat antara sel bakteri dan sel inang. Fase kedua dan fase ketiga dapat menyebabkan perubahan ultrastruktur pada sel usus dan rusaknya mikrovili. Kerusakan mikrovili merusak fungsinya sebagai penyerap makanan dan kenaikan ion 5 Ca di dalam sel akan menyebabkan pelepasan ion Na dan K sehingga penderita kehilangan banyak cairan dan garam-garamnya (Goosney et al. 1999). Gen eae yang terletak pada daerah patogenisitas locus of enterocyte effacement (LEE) dan gen bfpA yang terletak pada plasmid disebut dengan faktor pelekatan EPEC (EAF) digunakan untuk mengklasifikasi kelompok bakteri ini menjadi strain khas (typical) dan tidak khas (atypical). Strain E. coli dari genotip A/E (eae+) mempunyai plasmid EAF (bfp A+) diklasifikasikan sebagai EPEC khas. Pada umumnya strain EPEC termasuk pada serotipe O. Strain yang tidak mempunyai plasmid EAF (bfp-) diklasifikasikan sebagai EPEC tidak khas. Pada umumnya hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa penderita diare mempunyai EPEC tidak khas lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang sehat dan sudah dilaporkan bahwa EPEC tidak khas berhubungan dengan diare endemik (Afset et al. 2004). Antibiotik β-laktam Pada tahun 1929 Alexander Fleming menemukan antibiotik dari kapang Penicillium notatum yang dinamakan penisilin. Dari segi struktur kimia penisilin termasuk antibiotik β-laktam. Cincin penisilin merupakan cincin β-laktam segi empat dan satu cincin tiazolidin segi lima (Schunack et al. 1990). Cincin β-laktam merupakan kunci aktivitas antibiotik β-laktam karena sangat reaktif. Antibiotik βlaktam mempunyai selektivitas yang sangat tinggi dan tidak toksik untuk sel inang. Tetapi, karena strukturnya yang sangat kompleks, beberapa orang alergi terhadap senyawa β-laktam ini. (Madigan et al. 2006). Antibiotik ini berfungsi sebagai penghambat transpeptidase (terbentuknya ikatan silang antar peptida) pada pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri melalui pembukaan cincin laktam (Nogrady 1992). Dinding sel bakteri tidak hanya berfungsi untuk menentukan bentuk bakteri, tetapi juga untuk melindungi sel. Lapisan peptidoglikan pada bakteri dibentuk dari rantai liner dari N-asetil Glukosamin (NAG) dan A-asetil Muramat (NAM). Subunit NAG dan NAM saling berikatan silang dihubungkan oleh asam amino rantai pendek yang mengandung D-alanin, D-glutamin dan asam mesodiaminopimelat (lipid II). Pada tahap transpeptidasi akhir dibantu oleh enzim DD-transpeptidase membran 6 yang disebut juga dengan protein pengikat penisilin (PBPs). Antibiotik β-laktam merupakan analog D-alanin D-alanin dan menjadi pseudosubstrat pada PBPs. Antibiotik β-laktam yang berikatan dengan PBPs menyebabkan cincin β-laktam terhidrolisis dan menyebabkan lapisan peptidoglikan tidak terbentuk (Mattagne et al. 1998). Enzim β-laktamase Ancaman yang paling berbahaya dalam hal terapi dengan antibiotik, terutama pemakaian antibiotik β-laktam adalah munculnya galur bakteri yang resisten. Sebab utama munculnya resistensi ini adalah pembentukan enzim β-laktamase (penisilinase). Pada bakteri Gram positif enzim ini diekskresikan ke dalam media pertumbuhan, tetapi pada bakteri Gram negatif enzim ini tetap berada dalam sel (Nogrady 1992). Enzim β-laktamase menginaktifkan antibiotik β-laktam dengan cara menghidrolisis cincin β-laktam sehingga dihasilkan produk yang tidak aktif, yaitu asam penisiloat. Struktur enzim β-laktamase mirip dengan PBPs dan mempunyai kemampuan menghidrolisis cincin β-laktam. Enzim ini disekresi di periplasma dan dapat merusak antibiotik β-laktam sebelum mencapai target (Gambar 1) (Massova & Mobashery, 1998 dalam Mackenzie 2007). Gambar 1 Mekanisme enzim β-laktamase dalam menginaktifkan antibiotik β-laktam (Massova & Mobashery 1998 dalam Mackenzie 2007). Berdasarkan sekuen nukleotidanya β-laktamase dikelompokkan ke dalam 4 kelas, yaitu kelas A, B, C dan D. Enzim kelas A, C dan D memiliki serin pada sisi aktifnya, sedangkan kelas B memiliki 4 atom zinc pada sisi aktifnya (Livermore 1995). Pembentukan enzim β- laktamase dikendalikan oleh plasmid R, bakteri yang resisten akan mengalihkan daya resistennya melalui konjugasi sehingga species bakteri yang dulu mudah dikendalikan dengan penisilin menjadi resisten dan menimbulkan masalah pengobatan yang serius (Nogrady 1992). 7 Enzim β-laktamase telah mengalami perkembangan dan mutasi yang menyebabkan resistensinya terhadap antibiotik β-laktam semakin kuat. TEM-1 dan SME-1 merupakan salah satu contoh β-laktamase hasil mutasi. Dilaporkan bahwa tiga generasi terbaru antibiotik β-laktam mampu dihidrolisis oleh TEM-1 β- laktamase (Kang et al. 2000). TEM-1 dan SME-1 merupakan β-laktamase kelas A yang ditemukan pada bakteri Gram negatif. Kedua enzim tersebut mampu menghidrolisis penisilin dan cephalosporin, tetapi tidak bisa menghidrolisis cephalosporin generasi ke-3. SME-1 mempunyai spektrum yang lebih luas daripada TEM-1 dalam hal katalisasi hidrolisis antibiotik karbapenem (Zhang dan Palzkill 2003). β-laktamase selain ditemukan pada EPEC, juga tersebar luas pada bakteri gram positif dan negatif, baik yang patogen maupun yang tidak patogen. Produksi enzim β-laktamase pada bakteri tidak patogen disertai dengan produksi senyawa penghambatnya, contohnya pada Streptomyces. Sebaliknya, bakteri patogen seperti EPEC tidak mampu memproduksi senyawa penghambat β-laktamase tersebut. (Georgepapadakou 1993). Senyawa Anti β-laktamase Masalah resistensi bakteri penghasil β-laktamase dapat diatasi dengan ditemukannya beberapa senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa spesies Streptomyces, diantaranya S. gadanensis, S. clavuligerus yang menghasilkan senyawa anti β-laktamase dengan berat molekul 17-kDa. S. exfoliatus SMF 19 yang menghasilkan protein anti β-laktamase βLIP-I dan βLIP-II masing-masing dengan berat molekul 48 kDa dan 33 kDa (Kim dan Lee 1994). Disamping protein anti βlaktamase, metabolit lain yang berfungsi sebagai senyawa anti β-laktamase adalah asam klavulanat (Reading dan Cole 1977), sulbaktam, azobaktam (Vilaar et al. 2001), asam olivanat dan tinamisin (Kim dan Lee 1994). Senyawa protein dengan kemampuan menghambat aktivitas β-laktamase pertama kali diisolasi dari S. gadanensis, kemudian dikenal dengan BLIP dan diproduksi Streptomyces secara ekstraselular. Doran et al. (1990) menyatakan bahwa BLIP menyebabkan degradasi proteolitik β-laktamase. BLIP yang dihasilkan oleh S. clavuligerus merupakan protein dengan 165 asam amino dan merupakan inhibitor protein yang potensial untuk β-laktamase kelas A, termasuk TEM-1 dan 8 SME-1 (Zhang dan Palzkill 2003). BLIP menghambat enzim β-laktamase baik pada bakteri gram positif maupun gram negatif. BLIP menghambat pembentukan dinding sel bakteri dengan bereaksi dengan PBPs dari Enterococcus faecalis (Sun et al. 2005). Menurut Lim et al. (2001) BLIP merupakan komponen dari sinyal untuk jalur inisiasi sporulasi. Afinitas BLIP yang tinggi terhadap TEM-1 menunjukkan bahwa secara in vivo target BLIP secara struktural mirip dengan enzim β-laktamase. Reading dan Cole (1977) berhasil mengisolasi suatu senyawaan nonprotein penghambat β-laktamase dari Streptomyces clavuligerus yang dikenal dengan asam klavulanat. Asam klavulanat sebagai salah satu jenis antibiotik β-laktam memiliki aktivitas antibakteri yang rendah, tetapi mampu menghambat β-laktamase pada konsentrasi yang rendah. Asam klavulanat sering dikombinasikan dengan antibiotik β-laktam lain yang memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan tinggi, tetapi mudah dihidrolisisoleh β-laktamase. Kombinasi yang telah digunakan di antaranya amoksiklavam, yaitu gabungan asam klavulanat dengan amoksilin (Vree et al. 2002). Streptomyces clavuligerus ATCC 27064 (NRRL 3585) diketahui dapat menghasilkan senyawa yang menghambat β-laktamase yaitu senyawa yang dinamakan asam klavulanat, asam Z-(2R, 5R)-3-( β-hidroksietilidene)-7-oxo-4-oxα1-azabicyclo-[3,2,0] heptane-2-carboksilat. Asam klavulanat berbeda dengan 4 klavam yang lain karena mempunyai stereokimia C-5R yang berlawanan dengan stereokimia C-5S klavam lainnya. Selain itu gugus karboksil pada posisi C-3 tidak didapatkan pada klavam yang lain (Thai et al. 2001). Asam klavulanat merupakan antibiotik lemah, tetapi mempunyai kemampuan menghambat kelas A dan beberapa kelas D dari serin-β-laktamase. Asam klavulanat beraksi sebagai pseudosubstrat menempati sisi aktif serin dari β-laktamase untuk waktu yang cukup lama untuk mencegah proses degragadasi antibiotik β-laktam. Pada konsentrasi yang tinggi, asam klavulanat mengikat β-laktamase secara ireversibel dan membentuk komplek asil-enzim yang stabil (Brown et al. 1996 dalam Mackenzie 2007). Mekanisme penghambatan enzim β-laktamase oleh asam klavulanat dapat diterangkan dengan model reaksi asam klavulanat dengan SHV-1 (salah satu kelas A dari β-laktamase) (Gambar 2). Pengikatan asam klavulanat terjadi pada ikatan hidrogen di gugus karboksil C7 dari asam klavulanat ke situs katalitik serin (Ser70) 9 dan rantai utama nitrogen, seperti Ala237 dari enzim β-laktamase. Setelah beberapa jam enzim β-laktamase akan dihambat secara ireversibel melalui proses asilasi kovalen pada Ser130 dari enzim β-laktamase (Padayatti et al. 2005 dalam Mackenzie 2007). Gambar 2 Skema umum yang menggambarkan kompleksitas penghambatan βlaktamase oleh asam klavulanat (Padayatti et al. 2005 dalam Mackenzie 2007). Streptomyces Streptomyces spp. berbentuk filamen dengan diameter 0.5 – 1 μm, panjang dan umumnya pada fase vegetatif dindingnya tidak bersekat. Pertumbuhan Streptomyces terjadi pada ujung filamen. Filamen aerial yang disebut sporophores dibentuk seiring dengan perumbuhan koloni. Spora Streptomyces disebut konidia. Spora Streptomyces dibuat dengan membentuk sekat dinding sel pada sporophora multinukleat diikuti dengan pemisahan sel menjadi spora (Madigan et al. 2006). Streptomyces merupakan kemoorganotrof, bersifat katalase positif dan dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. Streptomyces merupakan bakteri tanah Gram positif yang dimasukkan dalam kelompok aktinomisetes. Streptomyces bersifat aerob obligat dimana pertumbuhan pada kultur cair biasanya distimulasi dengan adanya aerasi. Sporulasi umumnya tidak terjadi pada kultur cair tetapi hanya jika organisme tersebut tumbuh pada permukaan agar atau substrat padat lainnya. Umumnya 10 Streptomyces hidup di tanah, sedikit yang dapat hidup di lingkungan akuatik. Bau tanah yang khas disebabkan oleh metabolit Streptomyces yang disebut geosmin (Madigan et al. 2006). Streptomyces spp. mempunyai kemampuan memproduksi antibiotik dan senyawa bioaktif. Sekarang banyak antibiotik yang dikembangkan untuk kepentingan komersial diisolasi dari Streptomyces (Lestari 2006). Contoh Streptomyces yang dapat menghasilkan antibiotik β-laktam adalah S. griseus yang menghasilkan sefemisin A dan B, S. lactamduran menghasilkan sefamisin C, S. alcalophilus sp nov menghasilkan nokardisin, S. clavuligerus menghasilkan asam klavulanat, S. cattleya menghasilkan tienamisin dan S. olivarus ATCC 21379 yang menghasilkan asam olivanat (Elander dan Aoki dalam Morin dan Gorman 1982).