Revisi Skripsi Izza FIX

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Kresek oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae
Gejala Penyakit Kresek
Kresek sebenarnya merupakan sebutan untuk gejala penyakit hawar daun
bakteri yang sudah parah, yaitu ketika tanaman sudah mulai berwana kuning pucat,
kelabu dan layu. Penyakit ini merupakan penyakit yang menyerang pembuluh
dan menyebabkan infeksi sistemik pada tanaman padi.
Patogen mencapai
jaringan pembuluh, terutama xilem, di mana patogen tersebut melakukan
multiplikasi kemudian menyebar ke seluruh tanaman (Nino-Liu et al. 2006).
Gejala penyakit kresek timbul 1-2 minggu setelah padi dipindah dari persemaian
(Semangun 1991). Gejala penyakit diawali dengan bercak kuning yang kemudian
berubah menjadi kelabu dan putih jerami pada ujung dan tepi daun pada daun
yang telah berkembang sempurna. Bercak akan meluas ke sepanjang urat daun,
bergabung, dan menjadi klorosis kemudian nekrosis yang akhirnya disebut hawar.
Hawar berwarna putih hingga abu-abu buram dan memanjang mulai dari ujung
daun hingga sepanjang urat dan tepi daun. Daun terlihat mengering dan helaian
daunnya melengkung.
Patogen Penyakit Kresek
Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Swings et al. 1990) adalah bakteri patogen
tanaman yang menyebabkan penyakit hawar daun pada padi, yang juga dikenal
dengan sebutan penyakit kresek. Semua spesies bakteri Xanthomonas merupakan
patogen dan hanya ditemukan bila berasosiasi dengan tumbuhan atau bahan
tumbuhan (Agrios 2005). Bakteri ini berbentuk batang lurus dengan panjang 1,23,0 µm dan lebar 0,4-1,0 µm, bergerak dengan satu bulu cambuk polar, dan
termasuk gram negatif. Koloni bakteri X. oryzae pv. oryzae yang tumbuh pada
media agar YDCA biasanya berwarna kuning, cembung, mukoid, dan sebagian
besar tumbuh dengan lambat (Schaad et al. 2000). Warna kuning dikarenakan
bakteri memproduksi pigmen xanthomonadin (Schaad et al. 2000).
Bakteri X. oryzae pv. oryzae masuk ke daun dan melalui hidatoda pada
ujung dan tepi daun (Nino-Liu et al. 2006). Bakteri dapat pula menginfeksi
5
melalui luka-luka pada daun akibat pemotongan, luka karena gesekan antar daun,
dan luka karena serangga (Semangun 1991). Menurut Singh & Mathur (2004),
bakteri X. oryzae pv. oryzae dapat terbawa benih dan bertahan dalam waktu yang
cukup lama, karena bakteri berada pada fase dorman ketika berada dalam benih.
Bakteri ini terdapat dalam endosperma benih dan dapat bertahan di benih selama
0,16-0,9 tahun (Agarwa & Sinclair 1987) atau 2-6 bulan (Singh & Mathur 2004).
Menurut Suryadi et al. (2006), masih banyak contoh benih padi yang berasal dari
beberapa lokasi di Indonesia yang teryata positif terinfeksi X. oryzae pv. oryzae
setelah diuji. Hasil pengujian laboratorium dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih (BPSB) telah menunjukkan adanya penyakit terbawa benih yang
disebabkan oleh X. oryzae pv. oryzae, yang berkorelasi dengan serangan peyakit
hawar daun bakteri di lapang (Balai Pengembangan Mutu Benih Tanaman Pangan
dan Hortikultura 2007 dalam Ilyas et al. 2007).
Namun demikian, lamanya
bakteri X. oryzae pv. oryzae bertahan dalam benih padi dan penyebaran serta
penularannya melalui benih masih menjadi kontroversi (Mew et al. 1989; NinoLiu et al. 2006).
Pengendalian Penyakit Kresek
Pengendalian penyakit kresek umumnya adalah dengan menanam varietasvarietas padi yang tahan (Semangun 1991; Hifni & Kardin 1998). Selain itu, juga
dengan tidak melakukan pemotongan ujung daun pada bibit padi yang dipindah
dari persemaian, memindah bibit pada umur tidak kurang dari 40 hari, dan
pemupukan yang seimbang (Semangun 1991). Penggunaan senyawa kimia atau
bakterisida, seperti nickel dimethyl dithiocarbamate, dithianone, dan phenazine,
dapat dilakukan jika diperlukan (Gnanamanickam et al. 1994).
Aktinomiset
Aktinomiset adalah bakteri gram positif yang memiliki kandungan G+C
(Guanine-Cytosine) yang tinggi (>55%) dalam DNA-nya.
Secara morfologi,
bakteri ini mirip cendawan karena membentuk miselium yang bercabang dan
membentuk spora. Aktinomiset mempunyai dua jenis miselium, yaitu miselium
substrat dan miselium aerial (Holt et al. 1994).
Aktinomiset pada awalnya
6
dianggap sebagai kelompok peralihan, antara bakteri dan cendawan, tetapi
sekarang diakui sebagai organisme prokariotik. Sebagian besar aktinomiset hidup
bebas, sebagai bakteri saprofit yang dapat ditemukan tersebar secara luas di tanah,
air, dan mengkolonisasi tanaman.
Beberapa jenis aktinomiset diketahui
merupakan bakteri endofit pada tanaman (Hasegawa et al. 2006).
Populasi
aktinomiset telah banyak ditemukan pada berbagai jenis tanah, baik tanah rizosfer
maupun non-rizosfer (Crawford et al. 1993; Gesheva 2002), tanah pertanian
(Oskay et al. 2004; Jeffrey 2008), tanah hutan (Kanti 2005), serta tanah gua
(Nakaew et al 2009), dan sebagian besar adalah genus Streptomyces.
Aktinomiset sangat umum dijumpai di rizosfer hingga lapisan tanah dalam.
Isolasi aktinomiset dari jaringan tanaman dan lahan pertanian sering kali diperoleh
aktinomiset yang bersifat saprofitik. Sangat sedikit aktinomiset yang diketahui
menjadi patogen tanaman (Schaad et al. 2000). Contoh aktinomiset yang menjadi
patogen tanaman adalah Streptomyces scabies penyebab penyakit kudis pada
kentang, S. acidiscabies, dan S. ipomoeae penyebab penyakit Streptomyces soil
rot pada ubi.
Aktinomiset berperan penting sebagai penghasil antibiotik.
Antibiotik
adalah molekul-molekul yang dapat menghentikan pertumbuhan mikroba, baik
bakteri maupun cendawan, atau bahkan sama sekali membunuhnya (Walsh 2003).
Antibiotik yang menghentikan atau menghambat pertumbuhan bakteri disebut
bakteriostatik, contohnya kloramfenikol. Antibiotik yang menyebabkan kematian
sel bakteri disebut bakterisida, contohnya penisilin.
Menurut Walsh (2003),
antibiotik dapat mematikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain
melalui beberapa cara, yaitu dengan penghambatan biosintesis dinding sel,
penghambatan
sintesis
protein,
penghambatan
sintesis
DNA/RNA,
dan
penghambatan sintesis prekusor DNA/RNA.
Hingga saat ini sebagian besar antibiotik yang dikenal dihasilkan oleh
aktinomiset, seperti Streptomyces, dan juga beberapa jenis cendawan seperti
Penicillium (Agrios 2005). Antibiotik yang sangat penting dalam pengendalian
penyakit tumbuhan adalah streptomisin, tetrasiklin, dan sikloheksimida (Agrios
2005). Streptomisin atau streptomisin sulfat, yang dijual sebagai Agrimycin dan
Phytomycin dan digunakan untuk penyemprotan, menunjukkan daya kerja dengan
7
spektrum luas terhadap bakteri patogen tumbuhan penyebab penyakit bercak,
hawar, dan busuk.
Aktinomiset juga diketahui menghasilkan bakteriosin
(Akhdiya & Susilawati 2008). Bakteriosin adalah zat antibakteri yang dihasilkan
oleh strain bakteriosinogenik tertentu dari banyak spesies bakteri. Bakteriosin
merupakan protein yang sangat spesifik yang menghambat dan menyebabkan
terjadinya lisis hanya terhadap strain bakteri indikator tertentu.
Antibiotik,
terutama
streptomisin,
pertama
kali
digunakan
untuk
mengendalikan bakteri patogen tanaman pada tahun 1950 (Agrios 2005). Segera
setelah itu, antibiotik sikloheksimida terbukti efektif terhadap beberapa cendawan
patogen tanaman.
Pada tahun 1967, antibiotik tetrasiklin terbukti dapat
mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh molikut (Agrios 2005).
Beberapa tahun kemudian, antibiotik ini juga terbukti dapat mengendalikan
penyakit tanaman akibat bakteri fastidiosa yang hidup dalam xilem tanaman inang.
Selain sebagai agens hayati, aktinomiset juga telah mulai diteliti sebagai
bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Beberapa hasil penelitian membuktikan
bahwa di samping mampu menekan pertumbuhan patogen, aktinomiset mampu
memacu pertumbuhan tanaman selada (Crawford et al. 1993), perkecambahan
mentimun (Meguro et al. 2006), dan tomat (Patil et al. 2011). Aktinomiset
diketahui dapat menghasilkan beberapa hormon pertumbuhan seperti auksin
indole-3-acetic acid (IAA), asam pteridic, dan siderofor yang menguntungkan
tanaman (Doumbou et al. 2002; Khamna et al. 2010; Nimnoi et al. 2010). Hal ini
menunjukkan bahwa selain sebagai agens hayati, aktinomiset juga berpotensi
sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.
Download