Prosiding Sejarah.indd - USD Repository

advertisement
ilII
SEil{IilNH $N$It}ilSL
$I-Iilt}fiITT$II:
PB[}GRAM STUDI SEJRHSH
KAJIAII IIIURTAFI Bfi]'I P$$I$I
MATA
PE LAIAHRT*I
$EIAHAH
UI KUHIKULUM 2OI3
Editor:
Dr. Agus Mulgana
Dr. Dgah Kumalasari, M.Pd
Dr. Aman
Didukung oleh:
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Fakuhas llmu Sosial
U niversitas Negeri Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah
se-Indonesia:
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah
di Kurikulum 2013
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah
se-Indonesia:
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah
di Kurikulum 2013
Diedit oleh:
Dr. Agus Mulyana (UPI Bandung)
Dr. Dyah Kumalasari, M. Pd. (UNY)
Dr. Aman (UNY)
Tim Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Yogyakarta, 2016
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian
Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013; ed. 1 - Yogyakarta
2016
x + 627 hlm; 21 x 29.7 cm
ISBN: 978-602-60420-0-2
Judul:
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia:
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013
Copyright © 2016 Dr. Agus Mulyana, Dr. Dyah Kumalasari, & Dr. Aman (eds.)
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved
Cetakan pertama: Oktober 2016
Desain sampul: Intania P.
Penata letak: Yosie A.
Penerbit:
Tim Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta
Jl. Colombo. No. 1, Kampus Karangmalang 55281
Daftar Isi
Kata Pengantar........................................................................................................... ix
Peran Sejarah sebagai Basis untuk Membangun Karakter Peserta Didik
melalui Biografi Tokoh................................................................................................1
Nasionalisme Indonesia Awal Abad XX sebagai Pembelajaran Pendidikan
dalam Masyarakat Multikulturalisme Indonesia.................................................13
Kombinasi Model Simulasi dan Pendekatan Value Clarification Technic (VCT)
dalam Pembelajaran Sejarah....................................................................................22
Pembelajaran Sejarah Lokal, Nilai-Nilai dan Aplikasi.........................................32
Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel Di Kabupaten Bandung
untuk Meningkatkan Rasa Nasionalisme..............................................................39
Dari Perselisihan Menuju Kedamaian: Memahami Nilai-Nilai Resolusi Konflik
melalui Pembelajaran Sejarah..................................................................................51
Reinforcement Nilai-Nilai Lokal dalam Naskah Gelumpai...................................58
Fraksi Nasional: Multikulturalisme untuk Indonesia Merdeka yang
Terpinggirkan dalam Pembelajaran Sejarah..........................................................64
Pengembangan Materi Sejarah Lokal pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia
dalam Kurikulum Nasional di Sekolah Menengah Kejuruan............................ 74
Peran Guru Sejarah Dalam Pendidikan Nilai: (Suatu Refleksi)..........................81
Pembelajaran Sejarah Berbasis Muatan Kearifan Lokal sebagai Sarana Peserta
Didik Mendapatkan Hidden Value yang Dapat Dijadikan Pelajaran dalam
Memaknai Kehidupan Sehari-Hari.........................................................................91
Kain Tapis dalam Enrichment Muatan Lokal Lampung...................................105
Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya dalam Membangun Karakter Bangsa.112
Multikulturalisme dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Integrasi
Sosial ........................................................................................................................120
Model Group Investigation sebagai Strategi dalam Pembelajaran Sejarah...129
Pembelajaran Sejarah di SMK dalam Konteks Globalisasi................................ 137
Implementasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Pedagogi Reflektif untuk
Membangun Semangat Integrasi dalam Kemajemukan.................................... 147
vi | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
Folklor Sebagai Alternatif dalam Mengembangkan Materi Pembelajaran
Sejarah yang Bermakna .........................................................................................156
Kesenian Wayang Gantung Tionghoa di Singkawang dalam Pembelajaran
Sejarah....................................................................................................................... 165
Penanaman Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah melalui Ceritera Fabel
di Relief Candi Jago................................................................................................. 173
Peran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) dalam Operasi
Seroja di Timor Timur Tahun 1975-1979...............................................................183
Folklor sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Karakter
(Studi Analisis Teks pada Satua Bali)..................................................................204
Peranan Materi Sejarah Lokal dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasional
pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia................................................................ 214
Internalisasi Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam Pembelajaran Sejarah di
Sekolah......................................................................................................................220
Mengembangkan Keterampilan Intelektual Sejarah Dengan Strategi
Pembelajaran Kontekstual–REACT Histori.........................................................228
Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme dan Nasionalisme melalui
Pembelajaran Sejarah Pergerakan Siswa-Siswa Stovia ......................................237
Perspektif Pendidikan Multikultural: Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal
untuk Meningkatkan Sikap Solidaritas Sosial pada Pendidikan Sejarah .......243
Pemetaan Situs Cagar Budaya dan Revitalisasi Wisata Sejarah Banyumas
sebagai Alternatif Belajar Sejarah..........................................................................255
Kompetensi Sarjana Pendidikan Sejarah dalam Implementasi Kurikulum
Nasional Pendidikan Sejarah SMA.......................................................................263
Pengaruh Penggunaan Metode Group Investigation (GI) dan Think Pair Share
(TPS) Terhadap Prestasi Belajar Sejarah Ditinjau dari Metakognitif Siswa
Kelas XI-IIS SMA Negeri di Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2014/2015....
273
Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Sejarah melalui Penerapan Metode
Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing pada Siswa Kelas X-2
SMAN Darussholah Singojuruh Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014......
290
Materi Pembelajaran Sejarah Lokal, Antara Keharusan dan Ketersediaan....302
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | vii
Sejarah dan Pembelajarannya di Masa Depan....................................................308
Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Tipe The Power Of Two dan
CIRC untuk Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa terhadap Pendekatan/
Teori Sejarah Sosial Guna Menentukan Konstruksi Teori/Pendekatan pada
Suatu Karya Sejarah................................................................................................ 317
Membangun Jati Diri Bangsa melalui Sejarah Lokal: Peranan Yogyakarta pada
Masa Revolusi Kemerdekan Tahun 1945-1950 ...................................................330
Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Kelas Xi SMU
Muhammadiyah di Kota Mataram.......................................................................340
Implementasi Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Pendidikan Multikultural.349
Pembelajaran Sejarah melalui Project Based Learning.................................... 364
Menempatkan Sejarah Tionghoa dalam Ruang Kurikulum Sejarah Indonesia
yang Berbasis Multikulturalisme..........................................................................371
Pembelajaran Sejarah untuk Penanaman Nilai-Nilai Lokal..............................382
Kaitan Antara Implementasi Pembelajaran Sejarah Saintifik Kurikulum 2013
dengan Aktivitas Belajar Mengajar di SMA: Kasus Sejarah Sosial Kota Kudus...
389
Penilaian Kelayakan dan Efektifitas Maket Kerajaan Mataram Islam sebagai
Media Pembelajaran Sejarah di SMA...................................................................405
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Kerajaan Demak Bintoro................425
Membentuk Kewarganegaraan Digital yang Berkarakter melalui Pendidikan...
436
Pertempuran 5 Jam di Kalianda: Mempertahanan Republik Indonesia di Pintu
Gerbang Sumatera ..................................................................................................448
Integrasi Sejarah Lokal dalam Paket Pengajaran Sejarah Nasional.................458
Kurikulum dan Religious Skill........................................................................... 465
Menumbuhkan Karakter Kebangsaan dalam Pendidikan dan Pembelajaran
Sejarah ......................................................................................................................478
Meningkatkan Rasa Solidaritas Kebangsaan Siswa melalui Pendekatan Relasi
Antar Etnis dalam Pembelajaran Sejarah.............................................................487
Rundown Acara Seminar Nasional dan Workshop............................................509
Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013........................................................ 511
Kurikulum Pendidikan Sejarah dan Program Pendidikan Guru Sejarah.......538
Kebijakan Implementasi Kurikulum 2013: Peluang dan Tantangan................562
Parallel Session Kelompok A Seminar Nasional Prodi Pendidikan Sejarah .614
Notulen Prosiding B................................................................................................ 618
Parallel Session Ruang C Rektorat UNY............................................................622
Susunan Panitia.......................................................................................................627
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | ix
Kata Pengantar
Dr. Dyah Kumalasari,M.Pd
Ketua Prodi.Pendidikan Sejarah
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah sehingga buku Prosiding Seminar nasional dengan tema
“Kajian kesesuaian kurikulum pendidikan sejarah di Perguruan Tinggi
dan kurikulum sejarah di sekolah” yang diselenggarakan oleh Program Studi
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, pada
tanggal 19-20 Oktober 2016 dapat diselesaikan dengan baik.
Buku prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian,opini dan
gagasan para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia baik negeri
maupun swasta, serta para mahasiswa program S2 dan S3. Artikel yang masuk
pada panitia telah diseminarkan, dan direview oleh panitia, serta direvisi oleh
penulis artikel yang bersangkutan. Tersusunnya buku Prosiding ini tentu atas
partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak . Oleh karenanya dalam kesempatan
ini perkenankanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Rektor UNY, bapak Rochmat Wahab, MPd. MA. yang telah memberikan
ijin atas penyelenggaraan seminar nasional ini.
2. Dekan FIS UNY, Prof. Ajat Sudrajat,M.Ag yang telah banyak membantu
dan memfasilitasi sehigga acara ini terlaksana dengan baik
3. Panitia penyelenggara yang telah menyukseskan seminar nasional ini.
4. Para Pembicara utama maupun pembicara pendamping, dosen dan
mahasiswa penyumbang artikel dan peserta seminar nasional yang
telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini
Semoga buku Prosiding ini bermanfaat bagi para penulis dan pembaca
dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, juga diharapkan
dapat menjadi tambahan referensi dalam upaya penguatan posisi mata pelajaran
sejarah dalam dalam proses penguatan jati diri bangsa dan negara.
Kami menyadari bahwa buku prosiding masih jauh dari kesempurnaan,oleh
karena itu kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi
penyempurnaan buku prosiding ini.
Yogyakarta, Oktober 2016
Ketua Prodi. Pendidikan Sejarah
Dr. Dyah Kumalasari, M. Pd
NIP.19770618 2003312 2 001
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 371
Menempatkan Sejarah Tionghoa dalam Ruang Kurikulum
Sejarah Indonesia yang Berbasis Multikulturalisme
Hendra Kurniawan
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Keberadaan masyarakat Tionghoa sejak masa silam memiliki kontribusi
berharga bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sayangnya dalam
penulisan sejarah Indonesia selama ini, kenyataan tersebut belum
dihadirkan sepenuhnya. Kajian sejarah Tionghoa perlu mendapat tempat
dalam kurikulum untuk menyemai sikap multikulturalisme di kalangan
generasi muda. Maka artikel ini bertujuan (1) mendeskripsikan posisi
sejarah Tionghoa dalam sejarah Indonesia dan (2) menjelaskan pentingnya
landasan sosial budaya dalam pengembangan kurikulum mata pelajaran
Sejarah Indonesia dengan memberi ruang kajian sejarah Tionghoa guna
menyemai sikap multikulturalisme.
Penulisan dilakukan secara deskriptif analitis dengan studi pustaka.
Hasilnya diperoleh: (1) Pada setiap periode sejarah Indonesia, masyarakat
Tionghoa memiliki kontribusi yang berharga. (2) Memberi ruang kajian
sejarah Tionghoa dalam kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia berarti
memerhatikan situasi sosial budaya sebagai landasan pengembangan
kurikulum yang dapat menumbuhkan sikap multikulturalisme pada
generasi muda.
Kata kunci: sejarah Tionghoa, sejarah Indonesia, kurikulum,
multikulturalisme.
A.Pendahuluan
Struktur masyarakat Indonesia begitu unik. Secara horizontal terdapat
kesatuan-kesatuan sosial atas dasar ikatan primordial, seperti suku, agama,
budaya, asal daerah, hingga hubungan darah. Secara vertikal, struktur masyarakat
Indonesia ditandai adanya perbedaan antara lapisan atas dengan lapisan bawah
(Nasikun, 1984:30). Artinya sebagaimana diungkap oleh Furnivall dalam La
Ode (2012:1), masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk
(plural society). Meskipun berpotensi positif namun apabila keanekaragaman
tidak disikapi secara bijak dapat berujung pada konflik dan disintegrasi.
372 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
Kenyataannya dalam situasi tertentu tatkala kesadaran hidup bersama
tak lagi dibina, maka perbedaan sering menyulut api konflik. Ikatan primordial
menjadi simpul-simpul pemisah yang tidak mudah terurai. Perbedaan suku,
agama, budaya, hingga daerah tempat tinggal selama ini masih memicu konflik.
Jika tidak dikelola dengan baik, hubungan antarsuku maupun etnis dan agama
yang sehari-hari tampak erat dapat menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu
bisa meledak dan mengancam keharmonisan hidup bermasyarakat.
Negara persatuan dengan kebangsaan yang multikultural seperti Indonesia
dapat bertahan jika ada keseimbangan dalam pemenuhan prinsip kebebasan,
kesetaraan, dan persaudaraan antarelemen bangsa (Yudi Latif, 2011:383).
Cita-cita masyarakat madani (civil society) dapat diwujudkan melalui proses
penyemaian demokrasi. Melalui demokrasi, setiap orang dihargai sebagai
individu yang unik, khas, dan berbeda satu sama lain sehingga muncul sikap
penghargaan terhadap keanekaragaman.
Kesadaran akan realitas kebangsaan yang plural merupakan hal yang
sangat penting bagi negara ini. Benedict Anderson (2001:8) mengemukakan
bahwa bangsa atau nasion adalah komunitas terbayang karena para anggotanya
tidak mengenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka, bahkan tidak
mendengar tentang anggota yang lain itu, namun dalam benak setiap anggota
bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928 meyakinkan kita bahwa entitas kebangsaan Indonesia
sudah ada jauh sejak sebelum negara ini berdiri.
Kesadaran akan semangat kebangsaan yang berbhinneka tunggal ika itu
dapat ditumbuhkan melalui pendidikan. Keberagaman merupakan keniscayaan
sebagai anugerah Tuhan yang tidak dapat dimungkiri apalagi ditiadakan dan
kemudian hendak dipersamakan. Salah satu dari sekian banyak keberagaman
yang mewarnai bangsa Indonesia yakni keberadaan masyarakat Tionghoa.
Dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah
bangsa ini. Masalahnya kenyataan itu jarang diungkap, apabila diungkap pun
hanya dalam porsi kecil dan kurang menyenangkan.
Situasi ini juga terjadi dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Ada upaya
meminggirkan bahkan melenyapkan kontribusi masyarakat Tionghoa dalam
sejarah Indonesia. Dalam era sekarang diperlukan perubahan paradigma dengan
menempatkan peran masyarakat Tionghoa dalam sejarah Indonesia sesuai
porsinya secara jujur dan proporsional. Apalagi pembelajaran Sejarah Indonesia
yang menjadi mata pelajaran wajib dalam Kurikulum 2013 berfokus pada upaya
penanaman karakter dalam diri peserta didik. Salah satunya yakni penyadaran
akan kenyataan hidup bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Dalam konteks
ini penerimaan masyarakat terhadap kelompok minoritas Tionghoa sebagai
bagian dari bangsa sepenuhnya masih perlu ditumbuhkan.
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 373
B.Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia
Perbedaan etnis, khususnya yang berhubungan dengan Tionghoa, sering
menjadi akar konflik dalam masyarakat Indonesia setelah masalah perbedaan
agama. Masyarakat Tionghoa masih dianggap sebagai kelompok pendatang yang
bersifat apolitik dan asosial. Masyarakat Tionghoa yang sudah ada jauh sebelum
kolonialisme Belanda, dicap tidak memiliki peran dalam sejarah nasional, rasa
nasionalismenya terhadap Indonesia rendah, dan dituduh oportunis-bunglon
dengan berada di pihak kolonial demi keselamatan diri sendiri. Pemikiran ini
begitu lekat, akibatnya Tionghoa sebagai “pendatang” yang jumlahnya paling
banyak dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia sering menjadi korban
situasi.
Dibanding dengan pendatang Arab, India, dan Eropa, keberadaan Tionghoa
di Nusantara lebih dulu ada sejak berabad-abad yang lalu. Orang Tionghoa
berdagang, mencari penghidupan, beranak cucu, bahkan sampai berkalang
tanah di Indonesia. Tidak sedikit pula yang menikah dengan perempuan
setempat dan berketurunan. Tionghoa peranakan ini sudah sepenuhnya
menganggap Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya. Hampir pada setiap
masa, keberadaan Tionghoa memberi pengaruh bagi perjalanan sejarah bangsa
ini.
Fakta yang begitu kuat ini mendasari perlunya menempatkan sejarah
Tionghoa dalam konteks sejarah Indonesia. Menyitir Sartono Kartodirdjo
dalam Agus Mulyana dan Darmiasti (2009:5) bahwa Sejarah Nasional Indonesia
merupakan “sejarah dari dalam”. Sejarah nasional harus mampu menguraikan
berbagai kekuatan yang memengaruhi perkembangan masyarakat. Termasuk
aktivitas dari berbagai golongan masyarakat bukan hanya dari kaum elite dan
kelompok tertentu saja yang jumlahnya mayoritas. Sejarah nasional harus
mengarah pada integrasi bangsa dengan menghadirkan peranan berbagai
kelompok dan golongan yang juga turut mewarnai kemajemukan.
Sartono Kartodirdjo (1995:4) juga mengungkapkan bahwa sejarah
nasional merupakan suatu unit yang terdiri atas kompleksitas unsur-unsur
etnis, linguistik, religius, kultural, yudisial, dan sebagainya yang melalui proses
perkembangan sejarah terwujud sebagai suatu kesatuan. Termasuk juga etnisetnis yang dianggap pendatang seperti Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya
memiliki peran dalam Sejarah Nasional Indonesia. Suhartono W. Pranoto
(2010:92) menyebut sejarah etnis sebagai ethnohistory yang menyangkut aspek
sosial, ekonomi, kebudayaan, kepercayaan hubungan, dan perubahan sosial.
Sebagai bagian dari bangsa yang majemuk ini, maka dinamika sejarah sosial
masyarakat Tionghoa juga patut diungkap dalam sejarah nasional Indonesia.
Menurut Benny G. Setiono (2008:21) orang Tionghoa mulai berdatangan
ke Nusantara pada abad IX, zaman Dinasti Tang. Mereka datang untuk mencari
374 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
penghidupan yang lebih baik dengan jalan berdagang atau bertani. Sementara
Kong Yuanzhi (2005:1-12) menyebut sebagian besar bangsa Indonesia berasal
dari daerah Yunnan di Tiongkok barat daya yang menyebar menjadi Proto
Melayu dan Deutro Melayu. Artinya ada jalinan hubungan darah antara orang
Tionghoa dengan sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia (Benny G.
Setiono, 2008:13). Inilah salah satu poin penting bahwa masalah asli-tidak asli,
pribumi-nonpribumi menjadi sangat tidak relevan untuk dipersoalkan. Secara
antropologis, semua penduduk Indonesia saat ini sebenarnya nonpribumi
dan bukan asli dari Indonesia. Bedanya hanya soal waktu leluhurnya mulai
berdatangan menghuni Nusantara (Benny G. Setiono, 2008:16).
Masyarakat pendatang dari Tiongkok ini disebut dengan istilah Tionghoa.
Istilah ini diciptakan oleh kalangan mereka sendiri di Indonesia. Maka secara
linguistik, istilah Tionghoa dan Tiongkok tidak dikenali di luar masyarakat
Indonesia. Tionghoa dan Tiongkok adalah istilah bahasa Indonesia yang khas.
Christianto Wibisono menjelaskan bahwa istilah Tionghoa dan Tiongkok
berasal dari bahasa Kanton, salah satu bahasa di Tiongkok yang digunakan oleh
orang Tionghoa di Indonesia. Dalam bahasa Kanton, Tionghoa artinya orang
Cina dan Tiongkok artinya negara Cina (Choirul Mahfud, 2013:51).
Selain perkembangan agama Buddha pada masa Sriwijaya, melalui
perdagangan dan relasi yang intim, Tionghoa juga turut berperan dalam
perkembangan agama Islam. Ini dibuktikan melalui ekspedisi Cheng Ho ke
Nusantara. Awalnya penyebaran Islam masih terbatas pada komunitas Tionghoa
sendiri. Akan tetapi kemudian muncul Walisanga yang diduga memiliki asal
usul Sino-Javanese. Mereka mulai melebur dalam mazhab Syafi’i yang lebih
kompatibel dan mampu mengapresiasi tradisi masyarakat Jawa. Jalinan
perkawinan Sino-Javanese melahirkan keturunan baru yang cakap berbahasa
dan berbudaya Jawa (Sumanto Al Qurtuby, 2003:177). Akulturasi dalam SinoJavanese Muslim Culture tampak dalam masjid-masjid kuno bergaya arsitektur
Tionghoa, kelenteng, makam kuno, hingga keberadaan bedug, baju koko, dan
budaya non benda lainnya.
Keharmonisan ini rusak tatkala Belanda dengan kongsi dagangnya VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie) berkuasa di Nusantara. Keberadaan
Tionghoa sebagai pedagang yang ulet, tekun, senang bekerja keras, hidup
sederhana, dan diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat menjadi
ancaman bagi VOC. Onghokham (2008:2) mencatat bahwa VOC kemudian
mencoba mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa dalam berdagang.
VOC menerbitkan keputusan soal penetapan zona tinggal (wijkenstelsel)
-Pecinan- serta sistem surat jalan (passenstelsel).
Tentu saja kebijakan yang menekan ini tidak disenangi oleh orang-orang
Tionghoa. Mereka melakukan protes dan merencanakan sebuah perlawanan.
Rencana ini terendus oleh VOC di bawah Gubernur Jenderal Valckenier,
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 375
akibatnya terjadi tragedi pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Muara
Angke tahun 1740. Peristiwa ini berimbas di Jawa dengan terjadinya Geger
Pacinan tahun 1740-1743. Dalam Geger Pacinan, kekuatan pasukan Tionghoa
dengan Jawa bersatu menghadapi VOC yang saat itu menjalin hubungan erat
dengan pihak Keraton Mataram. VOC kewalahan menghadapi perlawanan
pasukan Jawa-Tionghoa ini yang konon jauh lebih kuat daripada perlawanan
Diponegoro (1825-1830).
Tangguhnya persatuan antara masyarakat Jawa dengan Tionghoa membuat
Belanda tidak senang. Sebagai solusi Belanda kemudian membagi masyarakat
Indonesia ke dalam tiga strata. Melalui ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregelling
Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, penduduk Hindia
Belanda dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) golongan Eropa atau Belanda,
(2) golongan Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, dan India, dan (3) golongan
bumiputera (Frans H. Winarta dalam Chris Verdiansyah, 2007:viii). Situasi ini
dipelihara oleh Belanda sehingga melahirkan rasa perbedaan status dan memicu
perpecahan. Sejarah yang selama ini menorehkan keyakinan bahwa masyarakat
Nusantara yang majemuk sejak dulu hidup berdampingan secara damai mulai
terancam.
Meskipun kondisi sosial masyarakat sengaja diperburuk dengan cara
memecah-belah gaya Belanda, namun memasuki masa pergerakan nasional,
masyarakat Tionghoa juga ambil peranan dalam upaya meraih kemerdekaan
Indonesia. Terutama melalui Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dengan tokohnya
Liem Koen Hian. Partai ini dengan tegas menyatakan ikut aktif memperjuangkan
tercapainya Indonesia merdeka. Tercatat pula Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928 ternyata dihadiri beberapa orang Tionghoa. Mereka ialah Kwee
Thiam Hong (Daud Budiman), Ong Khai Siang, Jong Liauw Tjoan Hok, Tjio Jin
Kwee, dan Muhammad Chai (Benny G. Setiono, 2008:504).
Pada masa selanjutnya, beberapa tokoh Tionghoa juga terlibat dalam
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian, Oie Tjong Hauw,
Oei Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa ikut menjadi anggota BPUPKI. Selanjutnya
ketika PPKI dibentuk, juga terdapat tokoh Tionghoa yang terlibat yakni Drs.
Yap Tjwan Bing (Benny G. Setiono, 2008:543, 545). Setelah Republik Indonesia
berdiri, beberapa tokoh Tionghoa juga dilibatkan sebagai menteri dalam kabinetkabinet yang dibentuk. Tersebutlah nama Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, David G.
Cheng, Siauw Giok Tjhan, dan lainnya. Di bidang militer muncul nama Laksda
TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan alias Jahja Daniel Dharma. Belum lama ini,
John Lie diangkat sebagai pahlawan nasional atas jasanya menumpas kelompok
separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan PRRI/Permesta.
Tahun 1950-an status kewarganegaraan Tionghoa di Indonesia mulai
diatur bersama pemerintah Tiongkok. Masalah kewarganegaraan pada waktu
itu mendapat sorotan karena adanya status dwi kewarganegaraan yang secara
376 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
otomatis dimiliki oleh warga Tionghoa di Indonesia. Mereka wajib memilih
untuk kembali ke Tiongkok atau ikut Republik Indonesia. Kebanyakan dari
mereka menjatuhkan pilihan pada opsi kedua karena sudah berabad-abad
masyarakat Tionghoa hidup menyatu di Indonesia.
Pada masa Orde Baru, kebijakan asimilasi diterapkan sebagai upaya
meniadakan segala aspek kehidupan masyarakat Tionghoa agar menjadi sama
dengan lainnya. Upaya pembauran dan dorongan kawin campur dilakukan agar
praktik asimilasi dapat segera terwujud. Tentu saja tidak semudah itu, nilainilai budaya dan pola sosial masyarakat Tionghoa sudah terinternalisasi dalam
diri masing-masing. Kebebasan budaya dikekang (genosida budaya) apalagi
kesempatan dalam bidang sosial politik jelas hanya mimpi belaka. Masyarakat
Tionghoa mengalami diskriminasi dari pemerintah Orde Baru.
Bahkan pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Presidium Kabinet
Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 memutuskan
untuk menggunakan kembali istilah Cina. Pada masa kolonial Belanda, dalam
sentimen yang emosional, istilah Cina sering diucapkan dengan aksen yang
penuh rasa kebencian. Cara yang sama ditiru oleh Orde Baru yang naifnya
bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan perasaan superior dan
inferior antara Tionghoa dengan pribumi (Leo Suryadinata dalam Choirul
Mahfud, 2013:51).
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru telah menempatkan
masyarakat Tionghoa pada posisi yang penuh dilema. Tionghoa hanya diberi
peran dalam bidang ekonomi sehingga melulu dianggap sebagai binatang
ekonomi (economic animal). Potensi konflik antaretnis (anti Cina) juga terus
dipelihara. Akibatnya beberapa di antara mereka yang berkemampuan ekonomi
di atas rata-rata cenderung bersikap eksklusif dan antipatif. Puncaknya ketika
Kerusuhan Mei 1998 meletus akibat krisis moneter, orang Tionghoa menjadi
sasaran amuk massa.
Mencermati berbagai fakta sejarah ini maka sangat tidak masuk akal
apabila Tionghoa disebut tidak memiliki peran dan sumbangsih dalam sejarah
bangsa. Tionghoa memiliki sense of belonging terhadap negara di mana mereka
tinggal. Kini mulai banyak tokoh Tionghoa yang diterima oleh masyarakat
dalam aktivitas politik yang dilakukannya. Masyarakat Tionghoa juga mulai
merasakan kebebasan dalam bidang budaya, sosial, bahkan politik. Meskipun
jalan itu tak selalu mulus, masih sangat berliku, penuh kerikil, dan tertatih.
Posisi Tionghoa setara dengan suku atau etnis lainnya yang turut
membentuk negara dan membangun bangsa ini. Sudah selayaknya jika
Tionghoa memperoleh porsi dan kesempatan yang sama untuk diungkap peran
dan keterlibatannya dalam perjalanan Sejarah Nasional Indonesia. Masyarakat
Tionghoa telah menjadi produk sejarah. Jumlahnya mencapai jutaan orang,
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 377
belum lagi mereka yang peranakan. Inilah yang semakin menguatkan kenyataan
sejarah mengenai keberadaan dan peran orang Tionghoa di Indonesia yang
tidak dapat diabaikan.
C.Sejarah Tionghoa dalam Kurikulum Berbasis Multikulturalisme
Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan dari mata
pelajaran. Kurikulum menyediakan sejumlah pengalaman belajar dalam sebuah
program kegiatan yang terencana. Lebih dari itu, Oemar Hamalik (2011:6-8)
menjelaskan bahwa kurikulum juga menjadi sarana reproduksi kultural bagi
generasi penerus. Artinya tak hanya transfer knowledge namun juga meneruskan
nilai-nilai kultural masyarakat pada generasi selanjutnya. Terkait dengan ini
kurikulum berfungsi untuk membangun suatu tatanan sosial untuk semakin
meningkatkan kualitas masyarakat.
Terkait pemahaman ini, pengembangan kurikulum perlu sungguh-sungguh
memerhatikan landasan sosial budaya masyarakat selain landasan filosofi,
epistemologi, psikologi, dan pedagogi. Faktor sosial budaya penting untuk
merealisasikan pendidikan sebagai sarana penerus nilai-nilai dalam masyarakat
yang tidak lepas dari kenyataan sosial dan budayanya. Kurikulum harus disusun
berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat meliputi nilai, adat, cita-cita, dan
semua dimensi kebudayaan yang ada (Oemar Hamalik, 2011:103).
Pengembangan kurikulum di Indonesia perlu memerhatikan situasi
multikultural bangsa. Masdar Hilmy dalam Choirul Mahfud (2011:78-79)
berpandangan bahwa keragaman budaya bagi bangsa Indonesia merupakan
kenyataan sosial yang sayangnya tidak dibarengi penerimaan positif. Kini
kondisi sosial masyarakat yang senantiasa berubah telah mengubah pula
persepsi terhadap orang Tionghoa dan budayanya. Budaya Tionghoa sekarang
ini dapat ditampilkan dengan bebas dan dinikmati oleh masyarakat luas. Raihan
kebebasan dari belenggu masa Orde Baru ini tentunya perlu disikapi antara lain
dengan semakin memupuk persaudaraan satu sama lain.
Terkait dengan realita saat ini, maka memberi ruang pada kajian Tionghoa
sesuai dengan porsinya secara wajar dalam sejarah Indonesia patut diupayakan.
Memori positif mengenai harmoni hidup bersama perlu mulai ditumbuhkan
secara sadar dan nyata bukan abstraksi keilmuan belaka. Pendidikan menjadi
sarana paling tepat, dalam konteks ini melalui kurikulum mata pelajaran
Sejarah Indonesia. Pembelajaran sejarah harus mampu menumbuhkan sikap
multikultural. Tentu tidak melulu soal Tionghoa namun juga minoritasminoritas lainnya yang selama ini juga mengalami keterasingan dari Sejarah
Nasional.
Oemar Hamalik (2011:103) juga menekankan bahwa kurikulum harus
disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat. Bukan
378 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
hanya dimaksudkan untuk membudayakan peserta didik, namun juga sejalan
dengan upaya mengawetkan (menjaga, melestarikan) kebudayaan (dan
harmoni sosialnya dalam masyarakat) itu sendiri. Maka kurikulum harus
disusun berdasarkan kebudayaan nasional yang mencakup perkembangan
kebudayaan lokal sebagai bentuk integrasi kebudayaan nasional. Sekalipun
masih terasa adanya sukuisme dan penonjolan lokalitas atau etnisitas dalam arti
sempit semata-mata dikarenakan masih berkembangnya proses perwujudan
kebudayaan nasional yang terintegrasi.
Perubahan sosial politik di Indonesia sejak Reformasi yang menggulingkan
rezim Orde Baru juga membuka kebebasan berpikir termasuk demokratisasi
pendidikan. Kehidupan yang demokratis harus menjiwai isi kurikulum. Dengan
demokratisasi pendidikan, kurikulum harus mampu membebaskan manusia
dari keterbelakangan sebagaimana pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan
yang membebaskan (Herry Widyastono, 2014:33). Hadirnya kajian Tionghoa
dalam kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia menjadi salah satu bentuk
pendidikan yang membebaskan. Apalagi sebelumnya segala hal yang berbau
Tionghoa dilarang oleh pemerintah Orde Baru.
Jika terkait dengan kurikulum belum memungkinkan, maka ada satu cara
yang mungkin dilakukan guru yakni mengembangkan bahan ajar yang telah ada
dengan memasukkan beberapa kajian sejarah Tionghoa yang relevan. Apalagi
dalam Kurikulum 2013 digariskan pentingnya mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa, maka pengembangan bahan ajar juga sedapat mungkin
memberi ruang pada siswa untuk aktif dan kritis. Siswa dapat ditantang untuk
ikut mencari sumber-sumber belajar guna menggali informasi secara mandiri
mengenai suatu materi dan mengkajinya secara kritis melalui pembelajaran
konstruktivistik. Hal ini akan memberi kebebasan pada siswa untuk memperoleh
pengalaman belajar secara langsung dan bermakna.
Djoko Suryo dalam Aman (2011:97) menegaskan pengembangan bahan ajar
sejarah bertolak pada beberapa wilayah kajian. Antara lain sejarah peradaban
dan kebudayaan; sebagai sumber pemahaman nilai dan makna kelangsungan
hidup manusia dalam berdialog dengan lingkungan alam sekitar dan zamannya.
Kajian ini sarat dengan nilai multikulturalisme. Juga sejarah sosial atau sejarah
masyarakat; merupakan sejarah dari bawah (history from bellow) yang berpusat
pada golongan tertentu, masyarakat, dan orang kecil (minoritas, marginal) yang
akan melengkapi gambaran dinamika dan proses perkembangan masyarakat
secara luas, lengkap, dan kontinu. Kajian ini sarat dengan nilai humanisme.
Memunculkan sejarah Tionghoa dalam pembelajaran Sejarah Indonesia jelas
menjadi perwujudan dari upaya menghadirkan kedua wilayah kajian tersebut.
Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah Indonesia berfokus pada upaya
penanaman nilai-nilai karakter. Terutama strategis dalam pembentukan watak
dan peradaban bangsa yang bermartabat, membentuk manusia Indonesia yang
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 379
memiliki rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Aman (2011:101) mencatat
materi ajar sejarah haruslah memuat hal-hal sebagai berikut:
1. Nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme,
nasionalisme, dan semangat pantang menyerah.
2. Khazanah peradaban bangsa-bangsa sebagai bahan pendidikan yang
mendasar bagi pembentukan peradaban bangsa di masa depan.
3. Kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritas sebagai perekat
bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa.
4. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan untuk mengatasi krisis
multidimensional yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung
jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan
hidup.
Dengan demikian mempelajari sejarah Tionghoa dalam Sejarah Indonesia
diharapkan semakin memupuk sikap menghargai dan menerima keberadaan
etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sebagaimana etnis lainnya.
Siswa juga diajak untuk menyadari betapa kayanya peradaban bangsa Indonesia
sejak dulu yang secara sosial budaya mempertontonkan dinamika kehidupan
bersama yang harmonis. Dalam semangat multikulturalisme, siswa juga
semakin ditumbuhkan kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritasnya
untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Sekaligus mendidik kaum
muda untuk menghindari terjadinya konflik antaretnis.
D.Kesimpulan
Perjalanan panjang sejarah bangsa ini mencatat bahwa sejak zaman
Nusantara hingga entitas kebangsaan Indonesia terbentuk, sudah didapati
komunitas masyarakat Tionghoa. Pada setiap masanya, masyarakat Tionghoa
mengambil peranan dan memiliki kontribusi yang berharga. Sayangnya
selama ini Tionghoa hampir tidak pernah disebut dalam sejarah Indonesia,
kalau pun disebut cenderung pada persoalan yang menyudutkan dan kurang
menyenangkan. Padahal sebagai bagian dari bangsa ini, tidak ada alasan untuk
menolak kehadiran Tionghoa dalam penulisan Sejarah Nasional secara jujur,
seimbang, dan sesuai dengan porsi semestinya.
Memberi ruang kajian sejarah Tionghoa dalam kurikulum mata pelajaran
Sejarah Indonesia berarti memerhatikan situasi sosial budaya sebagai landasan
pengembangan kurikulum. Kebhinnekaan bangsa ini merupakan kenyataan
yang tidak dapat diingkari. Hal ini bukan penghalang justru menjadi kekayaan
bagi khazanah budaya dan dinamika kehidupan sosial masyarakat. Dengan
menyadari situasi sosial budaya yang ada ini diharapkan dapat menumbuhkan
380 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
sikap multikulturalisme pada generasi muda. Sehingga persatuan, persaudaraan,
dan solidaritas dapat terus dibina dalam rangka integrasi bangsa.
Daftar Pustaka
Agus Mulyana dan Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia: Dari MagisReligius Hingga Strukturis. Bandung: Refika Adhitama.
Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities: Komunitas-komunitas
Terbayang. Yogyakarta: INSIST.
Benny G. Setiono. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia.
Chris Verdiansyah (Ed.). 2007. Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Pengalaman
dan Tinjauan Kritis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______. 2013. Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Herry Widyastono. 2014. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah dari
Kurikulum 2004, 2006, ke Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara.
Kong, Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer.
La Ode, M.D. 2012. Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak
dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Oemar Hamalik. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis
Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
Sartono Kartodirdjo. 1995. Kebangsaan, Sejarah Nasional, dan Proses Integrasi.
Dalam P.J. Suwarno (Ed.), Seri Proklamasi: Negara dan Nasionalisme Indonesia
(hlm. 4-10). Jakarta: PT Grasindo.
Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 381
Sumanto Al Qurtuby. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan
Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI. Jakarta:
Inspeal Ahimsakarya Press Indonesia dan Perhimpunan INTI.
Yudi Latif. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
622 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
Parallel Session Ruang C Rektorat UNY
Sesi 1
1. Bapak Fajar Deska Nugraha, S.Pd.
“Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel di Kabupaten
Bandung untuk Meningkatkan Rasa Nasionalisme”
2. Bapak Muarif Nur Riski, S.Pd.
“Materi Pembelajaran Sejarah Lokal Antara Keharusan dan Ketersediaan”
Tambahan materi: 4. Guru kurang mengintegrasikan materi sejarah
lokal (keterbatasan pembelajaran sejarah lokal)
3. Ibu Annisa Yuliana, S.Pd.
“Pembelajaran Sejarah Lokal, Nilai-nilai dan Aplikasinya”
4. Ibu Salvetri, S.Pd.
“Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya dalam Membangun Karakter
Bangsa”
5. Bapak Muhammad Ully
“Pengembangan Materi Sejarah Lokal Pada Mata Pelajaran Sejarah
Indonesia Dalam Kurikulum Nasional Di Sekolah Menengah Kejuruan”
Diskusi:
Bapak Nuraedi
Berikan satu bagian penting dari sejarah lokal yang merupakan local
genius yang dapat diangkat menjadi kebanggaan daerah dan Indonesia?
Temuan apa saja yang telah ditemukan di daerah masing-masing?
Jawaban:
Annisa: Adat sandi sara, sandi bersara kita bulo (Sumatra Barat), ketika
ingin memecahkan masalah yaitu dengan musyawarah. Menunjukkan
karakter bermusywarah
Bapak Wawan
Masukan untuk Fajar: Sejarah nasional ada yang diangkat dari sejarah
lokal.
Pertanyaan: Kunjungan yang bagaimana yang dapat meningkatkan
nasionalisme? Adakah lokalitas peninggalan Prianger Stelsel di
lingkungan siswa?
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 623
Jawaban:
Fajar:
Sejarah lokal ada yang bertentangan antar satu daerah dengan daerah
lain. Peristiwa sejarah lokal yang dapat menjadi perekat bangsa
dengan sebuah empati. Ketika kunjungan suatu tempat apakah dapat
menimbulkan empati bagi siswa. Contohnya jalan kereta api di Soreah
yang mana saat ini menjadi lingkungan kumuh.
Tanggapan: Belum masuk dalam nasionalisme, namun lebih pada unsur
empati. (pak wawan)
Pertanyaan untuk Muarif:
Apakah cukup hanya dengan proyek-proyek kerjasama untuk
meningkatkan ketersediaan sumber sejarah lokal?
Jawaban: Tambahan solusi yaitu guru dapat berkolaborasi dengan
siswa dengan menugaskan siswa untuk menuliskan sejarah lokal
daerah masing-masing. Dengan demikian siswa dapat lebih memahami
lokalitas daerahnya.
Tanggapan: penulisan sejarah lokal tersisa dari para akademisi, guru,
kuncen. Hasil tugas siswa tersebut dapat dijadikan sinopsis dan
dikembangkan yang menghasilkan suatu hasil penelitian yang dapat
membantu guru dalam membuat penelitian tentang sejarah lokal
melalui bantuan siswanya.
Pertanyaan untuk Annisa:
Apakah nilai-nilai tersebut diajarkan? Bagaimana mengajarkannya?
Jawaban: Sebelum nilai-nilai diajarkan, siswa harus belajar sendiri
terlebih dahulu. Setelah didiskusikan di kelas, baru guru bertugas
menerangkan nilai-nilai tersebut. Kemudian melalui kunjungan harus
ada keterkaitan antar guru dan siswa, agar ketika siswa mengunjungi
tempat bersejarah lebih mengena.
Pertanyaan untuk Salvetri:
Apakah betul karakter yang ditanamkan sesuai? Bagaimana penanaman
karakter yang dimaksud? Apakah hanya silogisme?
Jawaban: Tujuan pembelajaran salah satunya untuk membentuk
nasionalisme dan karakter. Dapat melalui materi ketika masuknya islam
di nusantara. dapat dilihat aspek toleransi (nilai toleransi). Sehingga
dapat membentuk pendidikan karakter.
624 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
Pertanyaan untuk M.Ully
Lokal yang bagaimana yang dapat mendekatkan dengan anak SMK?
Jawaban: Untuk pembelajaran sejarah lokal bagi SMK yaitu melalui
wirausaha dengan mengingat peristiwa sejarah yang tak lepas dari nilainilai wirausaha.
Tanggapan: Guru sejarah harus bisa mempragmatiskan nilai-nilai
sejarah dalam kehidupan siswa. Guru dapat menyisihkan nilai-nilai
yang sesuai dengan materi yang diajarkan dan dekat dengan siswa
namun jangan dipaksakan, jangan mengada-ada. Guru harus lebih
banyak mengeksplorasi maetri dalam sejarah nasional.
Penanya 3: Tarunasema
Sejarah lokal dapat memunculkan semangat kedaerahan yang berlebihan.
Bagaimana cara sejarah lokal bisa tidak mendorong disintegrasi?
Bagaimana semangat bushido saat ini?
Jawaban: bushido merupakan sikap bagi militer Jepang. Yang dapat
diambil yaitu kecintaan masyarakat Jepang bagi bangsanya contohnya
melalui tokoh samurai, dapat juga dari disiplin, tanggung jawab dll.
Tanggapan: bagaimana jika contoh bushido menjadi contoh karakter
sehari-hari bagi siswa? Nanti banyak pemuda yang bunuh diri. Namun
yang dapat diambil positifnya yaitu sikap tanggungjwab.
Tidak semua nilai dari luar belum tentu sesuai dengan yang ada
Indonesia (pak wawan).
Apakah pernah melakukan kajian teks dari buku teks? Karena ternyata
masih ada penanaman nilai yang belum sesuai. Misalnya: contoh
perilaku masa praakasara yang kurang sesuai diterapkan pada saat ini.
Penulisan sejarah lokal harus dari seorang yang memiliki kredibilitas
yang memumpuni, akan menyusahkan guru karena terlalu teoritis.
Dari biarkan guru dengan siswa yang mengkaji sejarah lokal daerahnya.
Lokal agar tidak terpecah-pecah, harus mengangkat simbol-simbol
nasional namun jangan melupakan kearifan lokalnya.
Local genuis setiap daerah bermacam-macam (multikultural).
Sesi 2
1. Ibu Murdiyah Winarti dan Bapak Wawan Darmawan
“Membangun Jati Diri Bangsa Melalui Sejarah Lokal Peranan Yogyakarta
Pada Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950”
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 625
2. Ibu Dr. Tuty Maryati
“Folklor Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-nilai
Karakter (Studi Analis Teks Pada Satua Bali)
3. Bapak Een Saputra, S.Pd.
“Folklor Sebagai Alternatif dalam Mengembangkan Materi Pembelajaran
Sejarah”
4. Bapak Hari Naredi, M.Pd
“Menumbuhkan Karakter”
Diskusi:
Pak wawan:
Ketika kita masuk dalam sejarah yang menjadi masalah yaitu metodologi
penyampaiannya. Penyampaian materi sejarah harus dapat membuat
siswa menjiwai setiap peristiwa sejarah.
Folklor hanya dipercayai oleh masyarakat yang mempercayainya, karena
setiap daerah belum tentu sama dalam menyikapi sebuah folklor.
Selain era globalisasi, hal-hal seperti mitos sudah tidak dipercayai. Jadi
bagaimana folklor dapat digunakan pada era global?
Sejarah tidak lepas dari fakta, fakta yang bagaimana yang dipelajari
dalam sejarah?
Jawaban:
Hari Naredi:
Perlu pemikiran keluar dari zona nyaman, dimana sejarah harus dapat
menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa. Cooperative learning
bisa diterapkan dalam proses pembelajaran agar siswa menjadi lebih
aktif.
Tuty Maryati:
Kebudayaan tidak bisa dinilai/dibandingkan. Mengapa folklor? Karena
meskipun sekecil apapun, tetap saja siswa harus tahu mengenai lokalitas
daerahnya.
Een Saputra:
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam menyajikan
suatu folklor yaitu memilih folklor yan memiliki nilai-nilai yang
sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Kemudian dalam
menanggapi masyarakat global, folklor dapat diintegrasikan dengan
masyarakat yang masih percaya akan hal-hal yang terdapat dalam
626 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia
folklor. Namun sebenarnya masyarakat global dapat mengambil
nilai-nilai dari folklor yang disampaikan, karena nilai-nilai dalam
folklor bersifat universal. Mengenai fakta, tidak semua folklor
dapat dijadikan sumber dalam penulisan ilmiah. Salah satunya
yaitu petuah yang biasanya digunakan untuk menulis hipotesis.
Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 627
Susunan Panitia
Pelindung
: Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag
Penanggung jawab
: Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd
Ketua
: Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M.Pd Sekretaris
: Zulkarnain, M.Pd
Keuangan
: Diana Trisnawati, M.Pd
Sekretariat
: Danu Eko Agustinova, M.Pd
Wisnu Barata, ST
Arif Oky Isfian, S.Pd
Nur Laili Tri Wulansari, S.Pd
Aprilia Wulandari, S.Pd
Eko Setyo Nugroho, S.Pd
Konsumsi
: Sri Murtini
Perlengkapan
: Edi Purwanto
Wahyu Tri Nugroho
Download