ilII SEil{IilNH $N$It}ilSL $I-Iilt}fiITT$II: PB[}GRAM STUDI SEJRHSH KAJIAII IIIURTAFI Bfi]'I P$$I$I MATA PE LAIAHRT*I $EIAHAH UI KUHIKULUM 2OI3 Editor: Dr. Agus Mulgana Dr. Dgah Kumalasari, M.Pd Dr. Aman Didukung oleh: Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Fakuhas llmu Sosial U niversitas Negeri Yogyakarta Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 Diedit oleh: Dr. Agus Mulyana (UPI Bandung) Dr. Dyah Kumalasari, M. Pd. (UNY) Dr. Aman (UNY) Tim Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Yogyakarta, 2016 Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013; ed. 1 - Yogyakarta 2016 x + 627 hlm; 21 x 29.7 cm ISBN: 978-602-60420-0-2 Judul: Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia: Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 Copyright © 2016 Dr. Agus Mulyana, Dr. Dyah Kumalasari, & Dr. Aman (eds.) Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang All Rights Reserved Cetakan pertama: Oktober 2016 Desain sampul: Intania P. Penata letak: Yosie A. Penerbit: Tim Penerbit Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Jl. Colombo. No. 1, Kampus Karangmalang 55281 Daftar Isi Kata Pengantar........................................................................................................... ix Peran Sejarah sebagai Basis untuk Membangun Karakter Peserta Didik melalui Biografi Tokoh................................................................................................1 Nasionalisme Indonesia Awal Abad XX sebagai Pembelajaran Pendidikan dalam Masyarakat Multikulturalisme Indonesia.................................................13 Kombinasi Model Simulasi dan Pendekatan Value Clarification Technic (VCT) dalam Pembelajaran Sejarah....................................................................................22 Pembelajaran Sejarah Lokal, Nilai-Nilai dan Aplikasi.........................................32 Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel Di Kabupaten Bandung untuk Meningkatkan Rasa Nasionalisme..............................................................39 Dari Perselisihan Menuju Kedamaian: Memahami Nilai-Nilai Resolusi Konflik melalui Pembelajaran Sejarah..................................................................................51 Reinforcement Nilai-Nilai Lokal dalam Naskah Gelumpai...................................58 Fraksi Nasional: Multikulturalisme untuk Indonesia Merdeka yang Terpinggirkan dalam Pembelajaran Sejarah..........................................................64 Pengembangan Materi Sejarah Lokal pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia dalam Kurikulum Nasional di Sekolah Menengah Kejuruan............................ 74 Peran Guru Sejarah Dalam Pendidikan Nilai: (Suatu Refleksi)..........................81 Pembelajaran Sejarah Berbasis Muatan Kearifan Lokal sebagai Sarana Peserta Didik Mendapatkan Hidden Value yang Dapat Dijadikan Pelajaran dalam Memaknai Kehidupan Sehari-Hari.........................................................................91 Kain Tapis dalam Enrichment Muatan Lokal Lampung...................................105 Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya dalam Membangun Karakter Bangsa.112 Multikulturalisme dalam Pembelajaran Sejarah untuk Meningkatkan Integrasi Sosial ........................................................................................................................120 Model Group Investigation sebagai Strategi dalam Pembelajaran Sejarah...129 Pembelajaran Sejarah di SMK dalam Konteks Globalisasi................................ 137 Implementasi Pembelajaran Sejarah Berbasis Pedagogi Reflektif untuk Membangun Semangat Integrasi dalam Kemajemukan.................................... 147 vi | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia Folklor Sebagai Alternatif dalam Mengembangkan Materi Pembelajaran Sejarah yang Bermakna .........................................................................................156 Kesenian Wayang Gantung Tionghoa di Singkawang dalam Pembelajaran Sejarah....................................................................................................................... 165 Penanaman Nilai Karakter dalam Pembelajaran Sejarah melalui Ceritera Fabel di Relief Candi Jago................................................................................................. 173 Peran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) dalam Operasi Seroja di Timor Timur Tahun 1975-1979...............................................................183 Folklor sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Karakter (Studi Analisis Teks pada Satua Bali)..................................................................204 Peranan Materi Sejarah Lokal dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasional pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia................................................................ 214 Internalisasi Nilai-Nilai Multikulturalisme dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah......................................................................................................................220 Mengembangkan Keterampilan Intelektual Sejarah Dengan Strategi Pembelajaran Kontekstual–REACT Histori.........................................................228 Penanaman Nilai-Nilai Multikulturalisme dan Nasionalisme melalui Pembelajaran Sejarah Pergerakan Siswa-Siswa Stovia ......................................237 Perspektif Pendidikan Multikultural: Revitalisasi Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Meningkatkan Sikap Solidaritas Sosial pada Pendidikan Sejarah .......243 Pemetaan Situs Cagar Budaya dan Revitalisasi Wisata Sejarah Banyumas sebagai Alternatif Belajar Sejarah..........................................................................255 Kompetensi Sarjana Pendidikan Sejarah dalam Implementasi Kurikulum Nasional Pendidikan Sejarah SMA.......................................................................263 Pengaruh Penggunaan Metode Group Investigation (GI) dan Think Pair Share (TPS) Terhadap Prestasi Belajar Sejarah Ditinjau dari Metakognitif Siswa Kelas XI-IIS SMA Negeri di Kabupaten Ponorogo Tahun Ajaran 2014/2015.... 273 Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Sejarah melalui Penerapan Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Snowball Throwing pada Siswa Kelas X-2 SMAN Darussholah Singojuruh Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014...... 290 Materi Pembelajaran Sejarah Lokal, Antara Keharusan dan Ketersediaan....302 Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | vii Sejarah dan Pembelajarannya di Masa Depan....................................................308 Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Tipe The Power Of Two dan CIRC untuk Meningkatkan Pemahaman Mahasiswa terhadap Pendekatan/ Teori Sejarah Sosial Guna Menentukan Konstruksi Teori/Pendekatan pada Suatu Karya Sejarah................................................................................................ 317 Membangun Jati Diri Bangsa melalui Sejarah Lokal: Peranan Yogyakarta pada Masa Revolusi Kemerdekan Tahun 1945-1950 ...................................................330 Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Sejarah Kelas Xi SMU Muhammadiyah di Kota Mataram.......................................................................340 Implementasi Pembelajaran Sejarah Terintegrasi Pendidikan Multikultural.349 Pembelajaran Sejarah melalui Project Based Learning.................................... 364 Menempatkan Sejarah Tionghoa dalam Ruang Kurikulum Sejarah Indonesia yang Berbasis Multikulturalisme..........................................................................371 Pembelajaran Sejarah untuk Penanaman Nilai-Nilai Lokal..............................382 Kaitan Antara Implementasi Pembelajaran Sejarah Saintifik Kurikulum 2013 dengan Aktivitas Belajar Mengajar di SMA: Kasus Sejarah Sosial Kota Kudus... 389 Penilaian Kelayakan dan Efektifitas Maket Kerajaan Mataram Islam sebagai Media Pembelajaran Sejarah di SMA...................................................................405 Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Kerajaan Demak Bintoro................425 Membentuk Kewarganegaraan Digital yang Berkarakter melalui Pendidikan... 436 Pertempuran 5 Jam di Kalianda: Mempertahanan Republik Indonesia di Pintu Gerbang Sumatera ..................................................................................................448 Integrasi Sejarah Lokal dalam Paket Pengajaran Sejarah Nasional.................458 Kurikulum dan Religious Skill........................................................................... 465 Menumbuhkan Karakter Kebangsaan dalam Pendidikan dan Pembelajaran Sejarah ......................................................................................................................478 Meningkatkan Rasa Solidaritas Kebangsaan Siswa melalui Pendekatan Relasi Antar Etnis dalam Pembelajaran Sejarah.............................................................487 Rundown Acara Seminar Nasional dan Workshop............................................509 Pendidikan Sejarah dalam Kurikulum 2013........................................................ 511 Kurikulum Pendidikan Sejarah dan Program Pendidikan Guru Sejarah.......538 Kebijakan Implementasi Kurikulum 2013: Peluang dan Tantangan................562 Parallel Session Kelompok A Seminar Nasional Prodi Pendidikan Sejarah .614 Notulen Prosiding B................................................................................................ 618 Parallel Session Ruang C Rektorat UNY............................................................622 Susunan Panitia.......................................................................................................627 Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | ix Kata Pengantar Dr. Dyah Kumalasari,M.Pd Ketua Prodi.Pendidikan Sejarah Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayah sehingga buku Prosiding Seminar nasional dengan tema “Kajian kesesuaian kurikulum pendidikan sejarah di Perguruan Tinggi dan kurikulum sejarah di sekolah” yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, pada tanggal 19-20 Oktober 2016 dapat diselesaikan dengan baik. Buku prosiding ini memuat sejumlah artikel hasil penelitian,opini dan gagasan para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta, serta para mahasiswa program S2 dan S3. Artikel yang masuk pada panitia telah diseminarkan, dan direview oleh panitia, serta direvisi oleh penulis artikel yang bersangkutan. Tersusunnya buku Prosiding ini tentu atas partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak . Oleh karenanya dalam kesempatan ini perkenankanlah kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. Rektor UNY, bapak Rochmat Wahab, MPd. MA. yang telah memberikan ijin atas penyelenggaraan seminar nasional ini. 2. Dekan FIS UNY, Prof. Ajat Sudrajat,M.Ag yang telah banyak membantu dan memfasilitasi sehigga acara ini terlaksana dengan baik 3. Panitia penyelenggara yang telah menyukseskan seminar nasional ini. 4. Para Pembicara utama maupun pembicara pendamping, dosen dan mahasiswa penyumbang artikel dan peserta seminar nasional yang telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan ini Semoga buku Prosiding ini bermanfaat bagi para penulis dan pembaca dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Selain itu, juga diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam upaya penguatan posisi mata pelajaran sejarah dalam dalam proses penguatan jati diri bangsa dan negara. Kami menyadari bahwa buku prosiding masih jauh dari kesempurnaan,oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku prosiding ini. Yogyakarta, Oktober 2016 Ketua Prodi. Pendidikan Sejarah Dr. Dyah Kumalasari, M. Pd NIP.19770618 2003312 2 001 Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 371 Menempatkan Sejarah Tionghoa dalam Ruang Kurikulum Sejarah Indonesia yang Berbasis Multikulturalisme Hendra Kurniawan Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta [email protected] Abstrak Keberadaan masyarakat Tionghoa sejak masa silam memiliki kontribusi berharga bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sayangnya dalam penulisan sejarah Indonesia selama ini, kenyataan tersebut belum dihadirkan sepenuhnya. Kajian sejarah Tionghoa perlu mendapat tempat dalam kurikulum untuk menyemai sikap multikulturalisme di kalangan generasi muda. Maka artikel ini bertujuan (1) mendeskripsikan posisi sejarah Tionghoa dalam sejarah Indonesia dan (2) menjelaskan pentingnya landasan sosial budaya dalam pengembangan kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia dengan memberi ruang kajian sejarah Tionghoa guna menyemai sikap multikulturalisme. Penulisan dilakukan secara deskriptif analitis dengan studi pustaka. Hasilnya diperoleh: (1) Pada setiap periode sejarah Indonesia, masyarakat Tionghoa memiliki kontribusi yang berharga. (2) Memberi ruang kajian sejarah Tionghoa dalam kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia berarti memerhatikan situasi sosial budaya sebagai landasan pengembangan kurikulum yang dapat menumbuhkan sikap multikulturalisme pada generasi muda. Kata kunci: sejarah Tionghoa, sejarah Indonesia, kurikulum, multikulturalisme. A.Pendahuluan Struktur masyarakat Indonesia begitu unik. Secara horizontal terdapat kesatuan-kesatuan sosial atas dasar ikatan primordial, seperti suku, agama, budaya, asal daerah, hingga hubungan darah. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai adanya perbedaan antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nasikun, 1984:30). Artinya sebagaimana diungkap oleh Furnivall dalam La Ode (2012:1), masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (plural society). Meskipun berpotensi positif namun apabila keanekaragaman tidak disikapi secara bijak dapat berujung pada konflik dan disintegrasi. 372 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia Kenyataannya dalam situasi tertentu tatkala kesadaran hidup bersama tak lagi dibina, maka perbedaan sering menyulut api konflik. Ikatan primordial menjadi simpul-simpul pemisah yang tidak mudah terurai. Perbedaan suku, agama, budaya, hingga daerah tempat tinggal selama ini masih memicu konflik. Jika tidak dikelola dengan baik, hubungan antarsuku maupun etnis dan agama yang sehari-hari tampak erat dapat menjadi bahaya laten yang sewaktu-waktu bisa meledak dan mengancam keharmonisan hidup bermasyarakat. Negara persatuan dengan kebangsaan yang multikultural seperti Indonesia dapat bertahan jika ada keseimbangan dalam pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan antarelemen bangsa (Yudi Latif, 2011:383). Cita-cita masyarakat madani (civil society) dapat diwujudkan melalui proses penyemaian demokrasi. Melalui demokrasi, setiap orang dihargai sebagai individu yang unik, khas, dan berbeda satu sama lain sehingga muncul sikap penghargaan terhadap keanekaragaman. Kesadaran akan realitas kebangsaan yang plural merupakan hal yang sangat penting bagi negara ini. Benedict Anderson (2001:8) mengemukakan bahwa bangsa atau nasion adalah komunitas terbayang karena para anggotanya tidak mengenal sebagian besar anggota lain, tidak bertatap muka, bahkan tidak mendengar tentang anggota yang lain itu, namun dalam benak setiap anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 meyakinkan kita bahwa entitas kebangsaan Indonesia sudah ada jauh sejak sebelum negara ini berdiri. Kesadaran akan semangat kebangsaan yang berbhinneka tunggal ika itu dapat ditumbuhkan melalui pendidikan. Keberagaman merupakan keniscayaan sebagai anugerah Tuhan yang tidak dapat dimungkiri apalagi ditiadakan dan kemudian hendak dipersamakan. Salah satu dari sekian banyak keberagaman yang mewarnai bangsa Indonesia yakni keberadaan masyarakat Tionghoa. Dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Masalahnya kenyataan itu jarang diungkap, apabila diungkap pun hanya dalam porsi kecil dan kurang menyenangkan. Situasi ini juga terjadi dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Ada upaya meminggirkan bahkan melenyapkan kontribusi masyarakat Tionghoa dalam sejarah Indonesia. Dalam era sekarang diperlukan perubahan paradigma dengan menempatkan peran masyarakat Tionghoa dalam sejarah Indonesia sesuai porsinya secara jujur dan proporsional. Apalagi pembelajaran Sejarah Indonesia yang menjadi mata pelajaran wajib dalam Kurikulum 2013 berfokus pada upaya penanaman karakter dalam diri peserta didik. Salah satunya yakni penyadaran akan kenyataan hidup bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Dalam konteks ini penerimaan masyarakat terhadap kelompok minoritas Tionghoa sebagai bagian dari bangsa sepenuhnya masih perlu ditumbuhkan. Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 373 B.Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Perbedaan etnis, khususnya yang berhubungan dengan Tionghoa, sering menjadi akar konflik dalam masyarakat Indonesia setelah masalah perbedaan agama. Masyarakat Tionghoa masih dianggap sebagai kelompok pendatang yang bersifat apolitik dan asosial. Masyarakat Tionghoa yang sudah ada jauh sebelum kolonialisme Belanda, dicap tidak memiliki peran dalam sejarah nasional, rasa nasionalismenya terhadap Indonesia rendah, dan dituduh oportunis-bunglon dengan berada di pihak kolonial demi keselamatan diri sendiri. Pemikiran ini begitu lekat, akibatnya Tionghoa sebagai “pendatang” yang jumlahnya paling banyak dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia sering menjadi korban situasi. Dibanding dengan pendatang Arab, India, dan Eropa, keberadaan Tionghoa di Nusantara lebih dulu ada sejak berabad-abad yang lalu. Orang Tionghoa berdagang, mencari penghidupan, beranak cucu, bahkan sampai berkalang tanah di Indonesia. Tidak sedikit pula yang menikah dengan perempuan setempat dan berketurunan. Tionghoa peranakan ini sudah sepenuhnya menganggap Indonesia sebagai tanah tumpah darahnya. Hampir pada setiap masa, keberadaan Tionghoa memberi pengaruh bagi perjalanan sejarah bangsa ini. Fakta yang begitu kuat ini mendasari perlunya menempatkan sejarah Tionghoa dalam konteks sejarah Indonesia. Menyitir Sartono Kartodirdjo dalam Agus Mulyana dan Darmiasti (2009:5) bahwa Sejarah Nasional Indonesia merupakan “sejarah dari dalam”. Sejarah nasional harus mampu menguraikan berbagai kekuatan yang memengaruhi perkembangan masyarakat. Termasuk aktivitas dari berbagai golongan masyarakat bukan hanya dari kaum elite dan kelompok tertentu saja yang jumlahnya mayoritas. Sejarah nasional harus mengarah pada integrasi bangsa dengan menghadirkan peranan berbagai kelompok dan golongan yang juga turut mewarnai kemajemukan. Sartono Kartodirdjo (1995:4) juga mengungkapkan bahwa sejarah nasional merupakan suatu unit yang terdiri atas kompleksitas unsur-unsur etnis, linguistik, religius, kultural, yudisial, dan sebagainya yang melalui proses perkembangan sejarah terwujud sebagai suatu kesatuan. Termasuk juga etnisetnis yang dianggap pendatang seperti Tionghoa, Arab, India, dan sebagainya memiliki peran dalam Sejarah Nasional Indonesia. Suhartono W. Pranoto (2010:92) menyebut sejarah etnis sebagai ethnohistory yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, kebudayaan, kepercayaan hubungan, dan perubahan sosial. Sebagai bagian dari bangsa yang majemuk ini, maka dinamika sejarah sosial masyarakat Tionghoa juga patut diungkap dalam sejarah nasional Indonesia. Menurut Benny G. Setiono (2008:21) orang Tionghoa mulai berdatangan ke Nusantara pada abad IX, zaman Dinasti Tang. Mereka datang untuk mencari 374 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia penghidupan yang lebih baik dengan jalan berdagang atau bertani. Sementara Kong Yuanzhi (2005:1-12) menyebut sebagian besar bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunnan di Tiongkok barat daya yang menyebar menjadi Proto Melayu dan Deutro Melayu. Artinya ada jalinan hubungan darah antara orang Tionghoa dengan sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia (Benny G. Setiono, 2008:13). Inilah salah satu poin penting bahwa masalah asli-tidak asli, pribumi-nonpribumi menjadi sangat tidak relevan untuk dipersoalkan. Secara antropologis, semua penduduk Indonesia saat ini sebenarnya nonpribumi dan bukan asli dari Indonesia. Bedanya hanya soal waktu leluhurnya mulai berdatangan menghuni Nusantara (Benny G. Setiono, 2008:16). Masyarakat pendatang dari Tiongkok ini disebut dengan istilah Tionghoa. Istilah ini diciptakan oleh kalangan mereka sendiri di Indonesia. Maka secara linguistik, istilah Tionghoa dan Tiongkok tidak dikenali di luar masyarakat Indonesia. Tionghoa dan Tiongkok adalah istilah bahasa Indonesia yang khas. Christianto Wibisono menjelaskan bahwa istilah Tionghoa dan Tiongkok berasal dari bahasa Kanton, salah satu bahasa di Tiongkok yang digunakan oleh orang Tionghoa di Indonesia. Dalam bahasa Kanton, Tionghoa artinya orang Cina dan Tiongkok artinya negara Cina (Choirul Mahfud, 2013:51). Selain perkembangan agama Buddha pada masa Sriwijaya, melalui perdagangan dan relasi yang intim, Tionghoa juga turut berperan dalam perkembangan agama Islam. Ini dibuktikan melalui ekspedisi Cheng Ho ke Nusantara. Awalnya penyebaran Islam masih terbatas pada komunitas Tionghoa sendiri. Akan tetapi kemudian muncul Walisanga yang diduga memiliki asal usul Sino-Javanese. Mereka mulai melebur dalam mazhab Syafi’i yang lebih kompatibel dan mampu mengapresiasi tradisi masyarakat Jawa. Jalinan perkawinan Sino-Javanese melahirkan keturunan baru yang cakap berbahasa dan berbudaya Jawa (Sumanto Al Qurtuby, 2003:177). Akulturasi dalam SinoJavanese Muslim Culture tampak dalam masjid-masjid kuno bergaya arsitektur Tionghoa, kelenteng, makam kuno, hingga keberadaan bedug, baju koko, dan budaya non benda lainnya. Keharmonisan ini rusak tatkala Belanda dengan kongsi dagangnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berkuasa di Nusantara. Keberadaan Tionghoa sebagai pedagang yang ulet, tekun, senang bekerja keras, hidup sederhana, dan diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat menjadi ancaman bagi VOC. Onghokham (2008:2) mencatat bahwa VOC kemudian mencoba mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa dalam berdagang. VOC menerbitkan keputusan soal penetapan zona tinggal (wijkenstelsel) -Pecinan- serta sistem surat jalan (passenstelsel). Tentu saja kebijakan yang menekan ini tidak disenangi oleh orang-orang Tionghoa. Mereka melakukan protes dan merencanakan sebuah perlawanan. Rencana ini terendus oleh VOC di bawah Gubernur Jenderal Valckenier, Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 375 akibatnya terjadi tragedi pembantaian massal orang-orang Tionghoa di Muara Angke tahun 1740. Peristiwa ini berimbas di Jawa dengan terjadinya Geger Pacinan tahun 1740-1743. Dalam Geger Pacinan, kekuatan pasukan Tionghoa dengan Jawa bersatu menghadapi VOC yang saat itu menjalin hubungan erat dengan pihak Keraton Mataram. VOC kewalahan menghadapi perlawanan pasukan Jawa-Tionghoa ini yang konon jauh lebih kuat daripada perlawanan Diponegoro (1825-1830). Tangguhnya persatuan antara masyarakat Jawa dengan Tionghoa membuat Belanda tidak senang. Sebagai solusi Belanda kemudian membagi masyarakat Indonesia ke dalam tiga strata. Melalui ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregelling Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1854-2, S. 1855-2 jo. 1, penduduk Hindia Belanda dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) golongan Eropa atau Belanda, (2) golongan Timur Asing, termasuk Tionghoa, Arab, dan India, dan (3) golongan bumiputera (Frans H. Winarta dalam Chris Verdiansyah, 2007:viii). Situasi ini dipelihara oleh Belanda sehingga melahirkan rasa perbedaan status dan memicu perpecahan. Sejarah yang selama ini menorehkan keyakinan bahwa masyarakat Nusantara yang majemuk sejak dulu hidup berdampingan secara damai mulai terancam. Meskipun kondisi sosial masyarakat sengaja diperburuk dengan cara memecah-belah gaya Belanda, namun memasuki masa pergerakan nasional, masyarakat Tionghoa juga ambil peranan dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia. Terutama melalui Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dengan tokohnya Liem Koen Hian. Partai ini dengan tegas menyatakan ikut aktif memperjuangkan tercapainya Indonesia merdeka. Tercatat pula Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 ternyata dihadiri beberapa orang Tionghoa. Mereka ialah Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong Khai Siang, Jong Liauw Tjoan Hok, Tjio Jin Kwee, dan Muhammad Chai (Benny G. Setiono, 2008:504). Pada masa selanjutnya, beberapa tokoh Tionghoa juga terlibat dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian, Oie Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa ikut menjadi anggota BPUPKI. Selanjutnya ketika PPKI dibentuk, juga terdapat tokoh Tionghoa yang terlibat yakni Drs. Yap Tjwan Bing (Benny G. Setiono, 2008:543, 545). Setelah Republik Indonesia berdiri, beberapa tokoh Tionghoa juga dilibatkan sebagai menteri dalam kabinetkabinet yang dibentuk. Tersebutlah nama Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, David G. Cheng, Siauw Giok Tjhan, dan lainnya. Di bidang militer muncul nama Laksda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan alias Jahja Daniel Dharma. Belum lama ini, John Lie diangkat sebagai pahlawan nasional atas jasanya menumpas kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) dan PRRI/Permesta. Tahun 1950-an status kewarganegaraan Tionghoa di Indonesia mulai diatur bersama pemerintah Tiongkok. Masalah kewarganegaraan pada waktu itu mendapat sorotan karena adanya status dwi kewarganegaraan yang secara 376 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia otomatis dimiliki oleh warga Tionghoa di Indonesia. Mereka wajib memilih untuk kembali ke Tiongkok atau ikut Republik Indonesia. Kebanyakan dari mereka menjatuhkan pilihan pada opsi kedua karena sudah berabad-abad masyarakat Tionghoa hidup menyatu di Indonesia. Pada masa Orde Baru, kebijakan asimilasi diterapkan sebagai upaya meniadakan segala aspek kehidupan masyarakat Tionghoa agar menjadi sama dengan lainnya. Upaya pembauran dan dorongan kawin campur dilakukan agar praktik asimilasi dapat segera terwujud. Tentu saja tidak semudah itu, nilainilai budaya dan pola sosial masyarakat Tionghoa sudah terinternalisasi dalam diri masing-masing. Kebebasan budaya dikekang (genosida budaya) apalagi kesempatan dalam bidang sosial politik jelas hanya mimpi belaka. Masyarakat Tionghoa mengalami diskriminasi dari pemerintah Orde Baru. Bahkan pemerintah Orde Baru melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 memutuskan untuk menggunakan kembali istilah Cina. Pada masa kolonial Belanda, dalam sentimen yang emosional, istilah Cina sering diucapkan dengan aksen yang penuh rasa kebencian. Cara yang sama ditiru oleh Orde Baru yang naifnya bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan perasaan superior dan inferior antara Tionghoa dengan pribumi (Leo Suryadinata dalam Choirul Mahfud, 2013:51). Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru telah menempatkan masyarakat Tionghoa pada posisi yang penuh dilema. Tionghoa hanya diberi peran dalam bidang ekonomi sehingga melulu dianggap sebagai binatang ekonomi (economic animal). Potensi konflik antaretnis (anti Cina) juga terus dipelihara. Akibatnya beberapa di antara mereka yang berkemampuan ekonomi di atas rata-rata cenderung bersikap eksklusif dan antipatif. Puncaknya ketika Kerusuhan Mei 1998 meletus akibat krisis moneter, orang Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mencermati berbagai fakta sejarah ini maka sangat tidak masuk akal apabila Tionghoa disebut tidak memiliki peran dan sumbangsih dalam sejarah bangsa. Tionghoa memiliki sense of belonging terhadap negara di mana mereka tinggal. Kini mulai banyak tokoh Tionghoa yang diterima oleh masyarakat dalam aktivitas politik yang dilakukannya. Masyarakat Tionghoa juga mulai merasakan kebebasan dalam bidang budaya, sosial, bahkan politik. Meskipun jalan itu tak selalu mulus, masih sangat berliku, penuh kerikil, dan tertatih. Posisi Tionghoa setara dengan suku atau etnis lainnya yang turut membentuk negara dan membangun bangsa ini. Sudah selayaknya jika Tionghoa memperoleh porsi dan kesempatan yang sama untuk diungkap peran dan keterlibatannya dalam perjalanan Sejarah Nasional Indonesia. Masyarakat Tionghoa telah menjadi produk sejarah. Jumlahnya mencapai jutaan orang, Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 377 belum lagi mereka yang peranakan. Inilah yang semakin menguatkan kenyataan sejarah mengenai keberadaan dan peran orang Tionghoa di Indonesia yang tidak dapat diabaikan. C.Sejarah Tionghoa dalam Kurikulum Berbasis Multikulturalisme Kurikulum dalam arti sempit diartikan sebagai kumpulan dari mata pelajaran. Kurikulum menyediakan sejumlah pengalaman belajar dalam sebuah program kegiatan yang terencana. Lebih dari itu, Oemar Hamalik (2011:6-8) menjelaskan bahwa kurikulum juga menjadi sarana reproduksi kultural bagi generasi penerus. Artinya tak hanya transfer knowledge namun juga meneruskan nilai-nilai kultural masyarakat pada generasi selanjutnya. Terkait dengan ini kurikulum berfungsi untuk membangun suatu tatanan sosial untuk semakin meningkatkan kualitas masyarakat. Terkait pemahaman ini, pengembangan kurikulum perlu sungguh-sungguh memerhatikan landasan sosial budaya masyarakat selain landasan filosofi, epistemologi, psikologi, dan pedagogi. Faktor sosial budaya penting untuk merealisasikan pendidikan sebagai sarana penerus nilai-nilai dalam masyarakat yang tidak lepas dari kenyataan sosial dan budayanya. Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat meliputi nilai, adat, cita-cita, dan semua dimensi kebudayaan yang ada (Oemar Hamalik, 2011:103). Pengembangan kurikulum di Indonesia perlu memerhatikan situasi multikultural bangsa. Masdar Hilmy dalam Choirul Mahfud (2011:78-79) berpandangan bahwa keragaman budaya bagi bangsa Indonesia merupakan kenyataan sosial yang sayangnya tidak dibarengi penerimaan positif. Kini kondisi sosial masyarakat yang senantiasa berubah telah mengubah pula persepsi terhadap orang Tionghoa dan budayanya. Budaya Tionghoa sekarang ini dapat ditampilkan dengan bebas dan dinikmati oleh masyarakat luas. Raihan kebebasan dari belenggu masa Orde Baru ini tentunya perlu disikapi antara lain dengan semakin memupuk persaudaraan satu sama lain. Terkait dengan realita saat ini, maka memberi ruang pada kajian Tionghoa sesuai dengan porsinya secara wajar dalam sejarah Indonesia patut diupayakan. Memori positif mengenai harmoni hidup bersama perlu mulai ditumbuhkan secara sadar dan nyata bukan abstraksi keilmuan belaka. Pendidikan menjadi sarana paling tepat, dalam konteks ini melalui kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia. Pembelajaran sejarah harus mampu menumbuhkan sikap multikultural. Tentu tidak melulu soal Tionghoa namun juga minoritasminoritas lainnya yang selama ini juga mengalami keterasingan dari Sejarah Nasional. Oemar Hamalik (2011:103) juga menekankan bahwa kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya dalam masyarakat. Bukan 378 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia hanya dimaksudkan untuk membudayakan peserta didik, namun juga sejalan dengan upaya mengawetkan (menjaga, melestarikan) kebudayaan (dan harmoni sosialnya dalam masyarakat) itu sendiri. Maka kurikulum harus disusun berdasarkan kebudayaan nasional yang mencakup perkembangan kebudayaan lokal sebagai bentuk integrasi kebudayaan nasional. Sekalipun masih terasa adanya sukuisme dan penonjolan lokalitas atau etnisitas dalam arti sempit semata-mata dikarenakan masih berkembangnya proses perwujudan kebudayaan nasional yang terintegrasi. Perubahan sosial politik di Indonesia sejak Reformasi yang menggulingkan rezim Orde Baru juga membuka kebebasan berpikir termasuk demokratisasi pendidikan. Kehidupan yang demokratis harus menjiwai isi kurikulum. Dengan demokratisasi pendidikan, kurikulum harus mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan sebagaimana pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan yang membebaskan (Herry Widyastono, 2014:33). Hadirnya kajian Tionghoa dalam kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia menjadi salah satu bentuk pendidikan yang membebaskan. Apalagi sebelumnya segala hal yang berbau Tionghoa dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Jika terkait dengan kurikulum belum memungkinkan, maka ada satu cara yang mungkin dilakukan guru yakni mengembangkan bahan ajar yang telah ada dengan memasukkan beberapa kajian sejarah Tionghoa yang relevan. Apalagi dalam Kurikulum 2013 digariskan pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, maka pengembangan bahan ajar juga sedapat mungkin memberi ruang pada siswa untuk aktif dan kritis. Siswa dapat ditantang untuk ikut mencari sumber-sumber belajar guna menggali informasi secara mandiri mengenai suatu materi dan mengkajinya secara kritis melalui pembelajaran konstruktivistik. Hal ini akan memberi kebebasan pada siswa untuk memperoleh pengalaman belajar secara langsung dan bermakna. Djoko Suryo dalam Aman (2011:97) menegaskan pengembangan bahan ajar sejarah bertolak pada beberapa wilayah kajian. Antara lain sejarah peradaban dan kebudayaan; sebagai sumber pemahaman nilai dan makna kelangsungan hidup manusia dalam berdialog dengan lingkungan alam sekitar dan zamannya. Kajian ini sarat dengan nilai multikulturalisme. Juga sejarah sosial atau sejarah masyarakat; merupakan sejarah dari bawah (history from bellow) yang berpusat pada golongan tertentu, masyarakat, dan orang kecil (minoritas, marginal) yang akan melengkapi gambaran dinamika dan proses perkembangan masyarakat secara luas, lengkap, dan kontinu. Kajian ini sarat dengan nilai humanisme. Memunculkan sejarah Tionghoa dalam pembelajaran Sejarah Indonesia jelas menjadi perwujudan dari upaya menghadirkan kedua wilayah kajian tersebut. Di sisi lain, mata pelajaran Sejarah Indonesia berfokus pada upaya penanaman nilai-nilai karakter. Terutama strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, membentuk manusia Indonesia yang Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 379 memiliki rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Aman (2011:101) mencatat materi ajar sejarah haruslah memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah. 2. Khazanah peradaban bangsa-bangsa sebagai bahan pendidikan yang mendasar bagi pembentukan peradaban bangsa di masa depan. 3. Kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritas sebagai perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa. 4. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan untuk mengatasi krisis multidimensional yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. 5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian mempelajari sejarah Tionghoa dalam Sejarah Indonesia diharapkan semakin memupuk sikap menghargai dan menerima keberadaan etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia sebagaimana etnis lainnya. Siswa juga diajak untuk menyadari betapa kayanya peradaban bangsa Indonesia sejak dulu yang secara sosial budaya mempertontonkan dinamika kehidupan bersama yang harmonis. Dalam semangat multikulturalisme, siswa juga semakin ditumbuhkan kesadaran persatuan, persaudaraan, dan solidaritasnya untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Sekaligus mendidik kaum muda untuk menghindari terjadinya konflik antaretnis. D.Kesimpulan Perjalanan panjang sejarah bangsa ini mencatat bahwa sejak zaman Nusantara hingga entitas kebangsaan Indonesia terbentuk, sudah didapati komunitas masyarakat Tionghoa. Pada setiap masanya, masyarakat Tionghoa mengambil peranan dan memiliki kontribusi yang berharga. Sayangnya selama ini Tionghoa hampir tidak pernah disebut dalam sejarah Indonesia, kalau pun disebut cenderung pada persoalan yang menyudutkan dan kurang menyenangkan. Padahal sebagai bagian dari bangsa ini, tidak ada alasan untuk menolak kehadiran Tionghoa dalam penulisan Sejarah Nasional secara jujur, seimbang, dan sesuai dengan porsi semestinya. Memberi ruang kajian sejarah Tionghoa dalam kurikulum mata pelajaran Sejarah Indonesia berarti memerhatikan situasi sosial budaya sebagai landasan pengembangan kurikulum. Kebhinnekaan bangsa ini merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari. Hal ini bukan penghalang justru menjadi kekayaan bagi khazanah budaya dan dinamika kehidupan sosial masyarakat. Dengan menyadari situasi sosial budaya yang ada ini diharapkan dapat menumbuhkan 380 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia sikap multikulturalisme pada generasi muda. Sehingga persatuan, persaudaraan, dan solidaritas dapat terus dibina dalam rangka integrasi bangsa. Daftar Pustaka Agus Mulyana dan Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia: Dari MagisReligius Hingga Strukturis. Bandung: Refika Adhitama. Aman. 2011. Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSIST. Benny G. Setiono. 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: TransMedia. Chris Verdiansyah (Ed.). 2007. Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Choirul Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _______. 2013. Manifesto Politik Tionghoa di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Herry Widyastono. 2014. Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah dari Kurikulum 2004, 2006, ke Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. Kong, Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. La Ode, M.D. 2012. Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali. Oemar Hamalik. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina, dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. Sartono Kartodirdjo. 1995. Kebangsaan, Sejarah Nasional, dan Proses Integrasi. Dalam P.J. Suwarno (Ed.), Seri Proklamasi: Negara dan Nasionalisme Indonesia (hlm. 4-10). Jakarta: PT Grasindo. Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 381 Sumanto Al Qurtuby. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV-XVI. Jakarta: Inspeal Ahimsakarya Press Indonesia dan Perhimpunan INTI. Yudi Latif. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 622 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia Parallel Session Ruang C Rektorat UNY Sesi 1 1. Bapak Fajar Deska Nugraha, S.Pd. “Kunjungan Sejarah Lokal Peninggalan Preanger Stelsel di Kabupaten Bandung untuk Meningkatkan Rasa Nasionalisme” 2. Bapak Muarif Nur Riski, S.Pd. “Materi Pembelajaran Sejarah Lokal Antara Keharusan dan Ketersediaan” Tambahan materi: 4. Guru kurang mengintegrasikan materi sejarah lokal (keterbatasan pembelajaran sejarah lokal) 3. Ibu Annisa Yuliana, S.Pd. “Pembelajaran Sejarah Lokal, Nilai-nilai dan Aplikasinya” 4. Ibu Salvetri, S.Pd. “Pembelajaran Sejarah: Kontribusinya dalam Membangun Karakter Bangsa” 5. Bapak Muhammad Ully “Pengembangan Materi Sejarah Lokal Pada Mata Pelajaran Sejarah Indonesia Dalam Kurikulum Nasional Di Sekolah Menengah Kejuruan” Diskusi: Bapak Nuraedi Berikan satu bagian penting dari sejarah lokal yang merupakan local genius yang dapat diangkat menjadi kebanggaan daerah dan Indonesia? Temuan apa saja yang telah ditemukan di daerah masing-masing? Jawaban: Annisa: Adat sandi sara, sandi bersara kita bulo (Sumatra Barat), ketika ingin memecahkan masalah yaitu dengan musyawarah. Menunjukkan karakter bermusywarah Bapak Wawan Masukan untuk Fajar: Sejarah nasional ada yang diangkat dari sejarah lokal. Pertanyaan: Kunjungan yang bagaimana yang dapat meningkatkan nasionalisme? Adakah lokalitas peninggalan Prianger Stelsel di lingkungan siswa? Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 623 Jawaban: Fajar: Sejarah lokal ada yang bertentangan antar satu daerah dengan daerah lain. Peristiwa sejarah lokal yang dapat menjadi perekat bangsa dengan sebuah empati. Ketika kunjungan suatu tempat apakah dapat menimbulkan empati bagi siswa. Contohnya jalan kereta api di Soreah yang mana saat ini menjadi lingkungan kumuh. Tanggapan: Belum masuk dalam nasionalisme, namun lebih pada unsur empati. (pak wawan) Pertanyaan untuk Muarif: Apakah cukup hanya dengan proyek-proyek kerjasama untuk meningkatkan ketersediaan sumber sejarah lokal? Jawaban: Tambahan solusi yaitu guru dapat berkolaborasi dengan siswa dengan menugaskan siswa untuk menuliskan sejarah lokal daerah masing-masing. Dengan demikian siswa dapat lebih memahami lokalitas daerahnya. Tanggapan: penulisan sejarah lokal tersisa dari para akademisi, guru, kuncen. Hasil tugas siswa tersebut dapat dijadikan sinopsis dan dikembangkan yang menghasilkan suatu hasil penelitian yang dapat membantu guru dalam membuat penelitian tentang sejarah lokal melalui bantuan siswanya. Pertanyaan untuk Annisa: Apakah nilai-nilai tersebut diajarkan? Bagaimana mengajarkannya? Jawaban: Sebelum nilai-nilai diajarkan, siswa harus belajar sendiri terlebih dahulu. Setelah didiskusikan di kelas, baru guru bertugas menerangkan nilai-nilai tersebut. Kemudian melalui kunjungan harus ada keterkaitan antar guru dan siswa, agar ketika siswa mengunjungi tempat bersejarah lebih mengena. Pertanyaan untuk Salvetri: Apakah betul karakter yang ditanamkan sesuai? Bagaimana penanaman karakter yang dimaksud? Apakah hanya silogisme? Jawaban: Tujuan pembelajaran salah satunya untuk membentuk nasionalisme dan karakter. Dapat melalui materi ketika masuknya islam di nusantara. dapat dilihat aspek toleransi (nilai toleransi). Sehingga dapat membentuk pendidikan karakter. 624 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia Pertanyaan untuk M.Ully Lokal yang bagaimana yang dapat mendekatkan dengan anak SMK? Jawaban: Untuk pembelajaran sejarah lokal bagi SMK yaitu melalui wirausaha dengan mengingat peristiwa sejarah yang tak lepas dari nilainilai wirausaha. Tanggapan: Guru sejarah harus bisa mempragmatiskan nilai-nilai sejarah dalam kehidupan siswa. Guru dapat menyisihkan nilai-nilai yang sesuai dengan materi yang diajarkan dan dekat dengan siswa namun jangan dipaksakan, jangan mengada-ada. Guru harus lebih banyak mengeksplorasi maetri dalam sejarah nasional. Penanya 3: Tarunasema Sejarah lokal dapat memunculkan semangat kedaerahan yang berlebihan. Bagaimana cara sejarah lokal bisa tidak mendorong disintegrasi? Bagaimana semangat bushido saat ini? Jawaban: bushido merupakan sikap bagi militer Jepang. Yang dapat diambil yaitu kecintaan masyarakat Jepang bagi bangsanya contohnya melalui tokoh samurai, dapat juga dari disiplin, tanggung jawab dll. Tanggapan: bagaimana jika contoh bushido menjadi contoh karakter sehari-hari bagi siswa? Nanti banyak pemuda yang bunuh diri. Namun yang dapat diambil positifnya yaitu sikap tanggungjwab. Tidak semua nilai dari luar belum tentu sesuai dengan yang ada Indonesia (pak wawan). Apakah pernah melakukan kajian teks dari buku teks? Karena ternyata masih ada penanaman nilai yang belum sesuai. Misalnya: contoh perilaku masa praakasara yang kurang sesuai diterapkan pada saat ini. Penulisan sejarah lokal harus dari seorang yang memiliki kredibilitas yang memumpuni, akan menyusahkan guru karena terlalu teoritis. Dari biarkan guru dengan siswa yang mengkaji sejarah lokal daerahnya. Lokal agar tidak terpecah-pecah, harus mengangkat simbol-simbol nasional namun jangan melupakan kearifan lokalnya. Local genuis setiap daerah bermacam-macam (multikultural). Sesi 2 1. Ibu Murdiyah Winarti dan Bapak Wawan Darmawan “Membangun Jati Diri Bangsa Melalui Sejarah Lokal Peranan Yogyakarta Pada Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1950” Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 625 2. Ibu Dr. Tuty Maryati “Folklor Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-nilai Karakter (Studi Analis Teks Pada Satua Bali) 3. Bapak Een Saputra, S.Pd. “Folklor Sebagai Alternatif dalam Mengembangkan Materi Pembelajaran Sejarah” 4. Bapak Hari Naredi, M.Pd “Menumbuhkan Karakter” Diskusi: Pak wawan: Ketika kita masuk dalam sejarah yang menjadi masalah yaitu metodologi penyampaiannya. Penyampaian materi sejarah harus dapat membuat siswa menjiwai setiap peristiwa sejarah. Folklor hanya dipercayai oleh masyarakat yang mempercayainya, karena setiap daerah belum tentu sama dalam menyikapi sebuah folklor. Selain era globalisasi, hal-hal seperti mitos sudah tidak dipercayai. Jadi bagaimana folklor dapat digunakan pada era global? Sejarah tidak lepas dari fakta, fakta yang bagaimana yang dipelajari dalam sejarah? Jawaban: Hari Naredi: Perlu pemikiran keluar dari zona nyaman, dimana sejarah harus dapat menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa. Cooperative learning bisa diterapkan dalam proses pembelajaran agar siswa menjadi lebih aktif. Tuty Maryati: Kebudayaan tidak bisa dinilai/dibandingkan. Mengapa folklor? Karena meskipun sekecil apapun, tetap saja siswa harus tahu mengenai lokalitas daerahnya. Een Saputra: Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam menyajikan suatu folklor yaitu memilih folklor yan memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan masyarakat yang bersangkutan. Kemudian dalam menanggapi masyarakat global, folklor dapat diintegrasikan dengan masyarakat yang masih percaya akan hal-hal yang terdapat dalam 626 | Prosiding Seminar Nasional Program Studi Pendidikan Sejarah se-Indonesia folklor. Namun sebenarnya masyarakat global dapat mengambil nilai-nilai dari folklor yang disampaikan, karena nilai-nilai dalam folklor bersifat universal. Mengenai fakta, tidak semua folklor dapat dijadikan sumber dalam penulisan ilmiah. Salah satunya yaitu petuah yang biasanya digunakan untuk menulis hipotesis. Kajian Muatan dan Posisi Mata Pelajaran Sejarah di Kurikulum 2013 | 627 Susunan Panitia Pelindung : Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.Ag Penanggung jawab : Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd Ketua : Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M.Pd Sekretaris : Zulkarnain, M.Pd Keuangan : Diana Trisnawati, M.Pd Sekretariat : Danu Eko Agustinova, M.Pd Wisnu Barata, ST Arif Oky Isfian, S.Pd Nur Laili Tri Wulansari, S.Pd Aprilia Wulandari, S.Pd Eko Setyo Nugroho, S.Pd Konsumsi : Sri Murtini Perlengkapan : Edi Purwanto Wahyu Tri Nugroho