kepastian hukum kedudukan tenaga honorer dalam

advertisement
TESIS
KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORER
DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN
AYU PRILIA DIANTARI
NIM : 1090561018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORER
DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)
Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana
AYU PRILIA DIANTARI
NIM : 1090561018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama
: Ayu Prilia Diantari
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul tesis : Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari Plagiat. Apabila dikemudian hari
terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undang yang
berlaku.
Denpasar, 8 Juli 2013
Yang menyatakan
Ayu Prilia Diantari
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa karena atas berkat dan rahmatNya tesis yang berjudul “ Kepastian Hukum Kedudukan
Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian” dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama mengikuti
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Atas terselesaikannya tesis ini maka ijinkanlah penulis dengan segala kerendahan hati
menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, SpPD (KEMD)
sebagai Rektor Universitas
Udayana
2. Ibu Prof.Dr,dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana.
3. Bapak Prof.Dr.Drs. Johanes Usfunan, SH.MH, sebagai pembimbing I yang telah
berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa,SH.MH sebagai pembimbing II yang telah
berkenan membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.
5. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum.LLM sebagai Ketua Program Study
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
6. Bapak Dr. Putu Tuni Caka Bawa Landra, SH,MH sebagai sekretaris Program Study
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
iii
7. Seluruh staf dan dosen pada Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana yang telah membantu dalam memberikan ilmu
pengetahuan dan membantu proses administrasi selama perkuliahan di Universitas
Udayana.
8. Bapak Gde Widarmika, SE.MM, selaku Kepala Bidang Data dan Perencanaan
Pegawai dan staf, dan seluruh staf BKD,DIKLAT Kabupaten Badung yang telah
mendukung dan memberikan toleransi yang sangat besar kepada penulis selama
menyusun tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
9. Terima kasih kepada keluarga tercinta,orang tua Bapak I Made Sidia Wedasmara,
SH.MH, Ibu I Gusti Ayu Rai Wardhani, SH, Kakak Putu Ayu Ratna Wulandari,
SE,AK, adik Komang Trisdia Mahindra Yogi, Mbok Nengah, Mertua dan suami
tercinta dr. I Made Pasek Soma Gauthama yang telah mendukung secara moril dan
senantiasa ada disaat tersulit dalam menyelesaikan tesis ini.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang ikut memberikan
dorongan, semangat untuk terus maju menyelesaikan tesis ini dan memberikan
sumbangan ide dalam penulisan tesis ini.
Semoga segala bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan pahala oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna namun
besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua.
Denpasar, 8 Oktober 2013
Penulis
iv
Abstrak
Penulisan tesis ini mengkaji tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu pertama : apakah
semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP
No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) dan kedua : bagaimana tanggung
jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder serta
bahan hukum tersier .
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga honorer berdasarkan PP No. 48 Tahun
2005 tidak semua dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh tenaga honorer sebelum namanya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil,
selain
seleksi
administrasi
tenaga
honorer
juga
harus
melewati
tes
disiplin,integritas,kesehatan.
Tanggung jawab yang diberikan pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah dengan menggunakan pendekatan preventif yaitu :
pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah
bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dan memberikan santunan pensiun. Pemberian tanda
terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan
kemampuan dari daerah masing-masing.
Kata Kunci : Tenaga Honorer, Pemerintah Daerah, Tanggung Jawab.
v
abstract
This thesis examines the status of Honorary Power In Personnel System. The problems examined
in this study there are two: first: whether Honorary employee can be appointed as civil servants
and the second: how local government responsibilities for Honorary employee who are not
eligible for appointment as candidate for Civil Servants.
This research is a normative law using statutory approach and the conceptual approach.
Legal materials used in the study came from the research literature in the form of primary legal
materials, secondary and tertiary legal materials.
These results indicate that Honorary employee under PP. 48 of 2005 does not
automatically appointed as candidate for Civil Servants, there are requirements that must be met
by Honorary employee appointed before his name became candidates for Civil Servants, in
addition to the selection and administration of honorary workers also have to pass a test of
discipline, integrity, health.
Given the responsibility of government to Honorary employee who are not eligible for
appointment as Civil Servants is to use a preventive approach, namely: the government provides
job security for government agencies within the productive age for those who have a high
dedication and providing retirement benefits. Giving gratuities are charged to Expenditure
Budget and tailored to the capabilities of each area.
Keywords: Honorary employee, Local Government, Responsibility
vi
RINGKASAN
Tesis ini meneliti tentang Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian. Terdapat dua permasalahan yang diangkat dalam penyusunan tesis ini yakni :
1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005
2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak
dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Disamping membahas dua permasalahan tersebut juga membahas mengenai tujuan dan
manfaat dari penelitian ini guna kepentingan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam bidang
kepegawaian serta landasan teori yang menjadi dasar pemecahan permasalahan dengan
menggunakan konsep Negara hukum, teori kewenangan, asas desentralisasi, asas-asas umum
pemerintahan yang baik, teori penjenjangan norma.
Pada Bab II merupakan penjabaran dari landasan teori Bab I dengan membahas Tenaga
honorer, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Pembina Kepegawaian.
Tenaga honorer adalah Seseorang
yang
diangkat
oleh
Pejabat
Pembina
Kepegawaian yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan
memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada
instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pegawai Negeri
Sipil adalah Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, Pejabat Pembina Kepegawaian Pejabat yang berwenang
adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Pada Bab III membahas atas permasalahan pertama yang terdiri dari dua pembahasan
yaitu : Pengaturan Tenaga Honorer yang dapat dilihat pada UU No.43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi CPNS, Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman 2005, Peraturan
vii
Kepala BKN No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer serta Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang
Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Pembahasan
kedua tentang mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dimana tenaga honorer
dapat diangkat menjadi CPNS tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
PP No. 48 Tahun 2005, salah satu syaratnya adalah tenaga honorer maksimal berusia 46 tahun
dan minimal 19 tahun dengan memiliki masa kerja yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah, selain itu pemeriksaan berkas dilakukan dengan sangat teliti melalui proses
batching, editing, coding, dimasukan nama-nama ke dalam data base, dilakukan verifikasi dan
validasi yang dilakukan oleh BKN, Menpan, BKD dan Inspektorat daerah, sub bab ketiga
membahas mengenai kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005, dimana
dengan berlakunya PP No. 48 tahun 2005, Pasal 8 yang melarang pengangkatan tenaga honorer
setelah tahun 2005 maka kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tetap
berkedudukan sebagai tenaga honorer dan tidak bisa diangkat menjadi CPNS.
Pada Bab IV membahas dua permasalahan yaitu : Tanggung jawab pemerintah daerah
terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS secara preventif dengan cara
pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif di lingkungan instansi pemerintah
bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan
pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk uang ataupun cindera mata
sebagai tanda terima kasih daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada
Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
Pembahasan kedua mengenai pengaturan sengketa tenaga honorer, dimana apabila terjadi
tuntutan karena ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah dengan melakukan pengangkatan
tenaga honorer tersebut maka berdasarkan Pasal 1365 KUHP tenaga honorer dapat menutut ganti
rugi terhadap tindakan pemeritah yang dianggap merugikan tersebut dan berdasarkan Pasal 1
angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN Surat Keputusan yang dikeluarkan
pemerintah dapat digugat di PTUN dan dimohon pembatalan terhadap Surat Keputusan
pengangkatan tenaga honorer tersebut karena sifatnya illegal.
Pada Bab V Kesimpulan pertama : bahwa tidak semua tenaga honorer dapat diangkat
menjadi CPNS, tenaga honorer yang dapat diangkat apabila telah memenuhi syarat-syarat pada
PP No. 48 Tahun 2005 yaitu : Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah
viii
19 (sembilan belas) tahun, Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun
sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK Pengangkatan dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang, Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan,
BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan dokumen berupa :

DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja)

SPM (Surat Perintah Membayar)

SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga honorer

Daftar absensi
Kesimpulan kedua : Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat
diangkat menjadi CPNS dengan memberikan tanggung jawab secara preventif yaitu pemerintah
memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka
yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam
kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata
sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan
bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada
Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan pertama : Pemerintah daerah diharapkan tidak
melakukan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak
menimbulkan permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi yang
kosong dilingkungan pemerintah daerah dilakukan dengan penerimaan pegawai melalui jalur
umum saja, Kedua : Pemerintah daerah hendaknya
memenuhi tanggung jawabnya secara
preventif terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS untuk menjamin
kesejahteraan pegawai tetap terjamin dan pemerintah berpedoman pada Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul …………………………………………………………………
Halaman Persyaratan Gelar Megister ……………………………………………
i
Surat Persyaratan Bebas Plagiat ………………………………………………..
ii
Halaman Ucapan Terima Kasih …….…………………………………………..
iii
Halaman Abstrak ……….………………………………………………………
v
Halaman Abstract ……………………………………………………………….
vi
Ringkasan ………………………………………………………………………. vii
Halaman Daftar Isi ………………………………………………………………
BAB I
x
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang .................................................................................
1
2. Rumusan Masalah .............................................................................
7
3. Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
3.1. Tujuan Umum ............................................................................
7
3.2. Tujuan Khusus ...........................................................................
7
4. Manfaat Penelitian ..........................................................................
8
x
4.1. Manfaat Teoritis ........................................................................
8
4.2. Manfaat Praktis .........................................................................
8
5. Originalitas Penelitian ......................................................................
8
6. Landasan Teoritis ............................................................................. 15
6.1. Konsep Negara Hukum .............................................................
15
6.2. Teori Kewenangan ....................................................................
22
6.3. Asas Desentralisasi ....................................................................
29
6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ….…….………….
32
6.5 Teori Penjenjangan Norma ….…………………………………
35
7. Metode Penelitian ............................................................................
37
7.1. Jenis Penelitian ..........................................................................
37
7.2. Jenis Pendekatan ........................................................................
39
7.3. Sumber Bahan Hukum ..............................................................
41
7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................
44
7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum .................................................
45
BAB II PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA
1. Tenaga Honorer …………………………...............……………
xi
47
2. Pegawai Negeri Sipil ………….…………………..................….
55
3. Pejabat Pembina Kepegawaian …………..................…………..
74
BAB III PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI ………….
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL ….………………………….
1. Peraturan Tenaga Honorer ………….……………..……………
82
2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil ………….……...........................................
89
3. Kedudukan Tenaga Honorer ……….……………………..…….
99
BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH ….…………..
TERHADAP TENAGA HONORER ….…………………………..
1. Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah
Secara Preventif …………………………………………………
108
2.Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer ….
132
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan .................................................................................
131
2. Saran ..............................................................................................
132
DAFTAR BACAAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bupati diberi wewenang baik
secara terikat maupun wewenang bebas untuk mengambil keputusan-keputusan untuk
melakukan pelayanan umum, wewenang terikat artinya segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aturan dasar, sedangkan wewenang bebas
artinya pemerintah secara bebas menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan
yang akan dikeluarkan karena aturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima
wewenang1.
Wewenang pemerintah tersebut adalah penyelenggaraan pembangunan di
segala aspek termasuk didalamnya adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dan
pengangkatan tenaga honorer di daerah. Hal ini sesuai dengan amanat dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32
Tahun 2004).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan hak otonomi
kepada daerah untuk mengatur urusan pemerintahan di daerah. hal ini
1
Sadjijono, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta, hlm 59-60
1
dapat dilihat pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
yang menyatakan bahwa :
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
Memilih pimpinan daerah
Mengelola aparatur daerah
Mengelola kekayaan daerah
Memungut pajak dan retrebusi daerah
Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.
Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah
Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur urusan pemerintahan, Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Propinsi
dan
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten/Kota (yang selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 2007), juga mengatur
tentang pembagian urusan pemerintahan. Pada Bab III tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan, Pasal 5 ayat (1) menyatakan :
Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Kewenangan pemerintah berdasarkan Pasal 2 ayat (2) adalah : Politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama, sedangkan
yang menjadi urusan pemerintahan adalah : Pasal 2 ayat (4) menyatakan :
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga
puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi :
a. pendidikan
b. kesehatan
c. pekerjaan umum
2
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
perumahan
penataan ruang
perencanaan pembangunan
perhubungan,
lingkungan hidup
pertahanan
kependudukan dan catatan sipil
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
keluarga berencana dan keluarga sejahtera
sosial
ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
koperasi dan usaha kecil dan menengah
penanaman modal
kebudayaan dan pariwisata
kepemudaan dan olah raga
kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat
daerah, kepegawaian, dan persandian
u. pemberdayaan masyarakat dan desa
v. statistik
w. kearsipan
x. perpustakaan
y. komunikasi dan informatika
z. pertanian dan ketahanan pangan
aa. kehutanan
bb. energy dan sumber daya mineral
cc. kelautan dan perikanan,
dd. perdagangan
ee. perindustrian.
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU No. 43 Tahun 1999).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999
menyatakan:
3
ayat (1) :
Pegawai Negeri terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia
c. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia
ayat (2) : Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
terdiri dari :
a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan
b. Pegawai Negeri Sipil Daerah.
ayat (3) :
Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.
Manajemen Kepegawaian yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil
diatur pada UU No. 43 Tahun 1999) sedangkan pegawai yang tidak berkedudukan
sebagai Pegawai Negeri diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah.
Perekrutan terhadap tenaga honorer secara hukum memang diatur tetapi masih
bersifat terbatas, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini
Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun
2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43
tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil.
Salah satu masalah tenaga honorer ini adalah ketika diterbitkannya
PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan :
“Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat Pembina
Kepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarang
mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah”.
4
Permasalahan yang penulis temukan adalah pengangkatan tenaga
honorer di daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa kerja dari
tenaga honorer, pengangkatan tenaga honorer ini telah dibatasi sampai
dengan tahun 2005 karena setelah tahun 2005 sudah tidak ada lagi
pengangkatan
tenaga
honorer
ataupun
sejenisnya,
namun
pada
kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer maupun
kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi
dalam
bentuk
Surat
Keputusan
(SK)
Kepala
instansi
terkait,
ini
menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah
satunya SK Kepala Dinas Pendidikan No. 1751 Tahun 2012 tentang Guru
Kontrak Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung Tahun 2012 serta
Keputusan Bupati Badung No. 1316/01/HK/2005 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini
menyebabkan kepastian hukum kedudukan tenaga honorer sangat lemah.
Status hukum tenaga honorer perlu diperjelas dan dijamin kepastian
hukumnya karena disatu pihak pengangkatan tenaga honorer maupun
kontrak tetap dilakukan sedangkan dipihak lain muncul peraturan yang
melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, hal ini
menimbulkan permasalahan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum
bagi mereka yang diangkat menjadi tenaga honorer setelah tahun 2005
sedangkan
tenaga
mereka
sangat
5
dibutuhkan
didalam
kelancaran
administrasi pemerintahan, Pegawai yang berstatus bukan sebagai pegawai
negeri inilah yang harus mendapat perhatian karena kedudukannya sebagai
pegawai sangat tidak memiliki jaminan kepastian hukum. Hal ini sangat
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada Pasal 27 Ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan kesejahteraan tenaga
honorer karena sampai kapan mereka akan berstatus sebagai tenaga
honorer dan sampai kapan penggajian tenaga honorer yang dibebankan
kepada APBD akan diberikan, semua itu tidak ada kejelasan. Walaupun
pemerintah memiliki kewenangan diskresi atau Freies Ermessen yaitu
kebebasan yang dimiliki pemerintah untuk melakukan penyimpangan terhadap asas
legalitas, tetapi tindakan pemerintah juga harus dibatasi dan senantiasa bersandar
kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik agar membawa manfaat bagi
masyarakat.
Pejabat
adminisatrasi
pemerintahan
dituntut
harus
dapat
mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat kepada masyarakat. Dari
pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut
dengan
judul
“KEPASTIAN
HUKUM
KEDUDUKAN
HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN”.
6
TENAGA
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka
rumusan masalah yang akan dikaji sebagai berikut :
1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48
Tahun 2005 ?
2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga
honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil ?
3. Tujuan Penelitian
Secara garis besar tujuan penulisan dapat digolongkan menjadi dua
(2) macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Sesungguhnya kedua
tujuan ini saling berkaitan, saling mengisi antara yang satu dengan yang
lainnya.
3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji dan
menganalisa
mengenai
proses
pengangkatan
tenaga
honorer
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah
daerah.
7
3.2 Tujuan Khusus
a)
Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi antara PP No. 48
tahun 2005 dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh
Pejabat instansi di lingkungan pemerintah daerah.
b) Untuk mengetahui tanggung jawab yang dilakukan pemerintah
terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Manfaat Teoritis
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan ilmu hukum. Khususnya hukum kepegawaian sehingga
nantinya dapat merumuskan pemikiran yang bersifat teoritis dalam hal
pembuatan peraturan tentang kepegawaian.
4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
bagi aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan untuk
mewujudkan keadilan di bidang kepegawaian.
5. Orisinalitas Penelitian
Masalah dalam hal kepegawaian sangat menarik untuk dijadikan
objek penelitian terlebih lagi pegawai yang berstatus sebagai tenaga
honorer karena di Indonesia masih banyak terdapat pegawai yang berstatus
tenaga honorer yang sampai saat sekarang ini belum jelas statusnya dan
8
tuntutan mereka belum dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu penulis
sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kepastian Hukum
Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian, sejauh ini belum dilakukan
oleh orang lain dalam penelitian hukum, oleh karena itu judul penelitian ini belum
dikaji oleh peneliti-peneliti lainnya sehingga orisinalitas penelitian ini dapat penulis
pertanggungjawabkan.
Pertama : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Haryuni yang berjudul
“Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan” 2.
Perbandingan :
Haryuni :
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryuni membahas
mengenai permasalahan yang terjadi dalam pengangkatan
tenaga honorer menjadi CPNS di Aceh Selatan, kendala yang
ditemukan
dalam
penelitian
tersebut
adalah
persepsi
implementator yang berbeda terhadap tenaga honorer yang
bisa masuk database, tidak adanya koordinasi dengan setiap unit
organisasi dalam proses verifikasi dan penyusunan formasi, Hasil
2
Haryuni, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di
Lingkungan
Pemerintah
Kabupaten
Aceh
Selatan,
diakses
dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&
searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.
9
seleksi tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengangkatan
tenaga honorer, Penempatan tenaga honorer tidak sesuai dengan
kebutuhan riil masing-masing instansi.
Penulis :
dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pembahasan pada tenaga
honorer yang tidak dapat diangkat menjadi PNS yang disebabkan
pengangkatan honorer tersebut dilakukan melebihi batas tahun yang
ditentukan di dalam PP No. 48 Tahun 2005.
Kedua : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Rosanti, yang berjudul “Kebijakan Rekrutmen
Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di
Kabupaten Morowali”3.
Perbandingan :
Rosanti : Dalam penulisan tesis ini Rosanti meneliti tentang alasan Kabupaten
Morowali melakukan pengangkatan tenaga honorer pasca PP No. 48
Tahun 2005 alasannya adalah : adanya pertumbuhan organisasi
pemerintahan daerah dengan berdirinya Kabupaten Morowali pada tahun
1999 yang menimbulkan konflik pemindahan Ibukota, sehingga
berdampak pada kebutuhan jumlah pegawai, penerapan PP No. 41 tahun
3
Rosanti, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor
48
Tahun
2005
Di
Kabupaten
Morowali,
diakses
dari
morowali://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=opac&act=view&typ=html&perpus_id&perpus=searcing=tenaga honorer,pada tanggal 20 Agustus 2011.
10
2007 membuka peluang bagi pegawai untuk mengembangkan karir dan
kegiatan mutasi pegawai menyediakan ruang kosong bagi kebutuhan
Sumber Daya Manusia yang cukup besar untuk menunjang pelaksanaan
tugas pemerintahan. Hal ini kemudian menjadi alasan pemerintah daerah
melalui masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan
rekrutmen tenaga honorer. Namun demikian rekrutmen yang dilakukan
belum dilaksanakan secara baik sehingga menjadi kurang terkendali.
Dampak dari kebijakan ini terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan
secara umum kualitas sumber daya manusia membaik, kualitas pelayanan
publik cenderung membaik, namun jumlah tenaga honorer yang terus
bertambah memberikan tekanan besar pada APBD Kabupaten Morowali
sehingga melebihi kemampuan anggaran keuangan daerah. dalam tesis
tersebut Penulis menyarankan agar pemerintah daerah dalam memenuhi
kebutuhan SDM, rekrutmen tenaga honorer dilakukan perencanaan yang
matang dengan mempertimbangkan keadaan organisasi pemerintah
daerah, kemampuan keuangan daerah, visi dan misi daerah, kondisi sosial
masyarakat dan kebijakan pemerintah pusat dan propinsi. Perencanaan
pegawai harus betul-betul mencerminkan kebutuhan riil organisasi pemda,
sehingga diharapkan tidak terdapat lagi tenaga honorer yang tidak
memiliki kompetensi tetapi menjadi beban pemda.
Penulis : Dalam penelitian Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam
Sistem Kepegawaian disini lebih khusus membahas mengenai bagaimana
11
kedudukan tenaga honorer yang telah diangkat setelah tahun 2005, dengan
berlakunya PP No. 48 Tahun 2005 ini kepastian hukum kedudukan tenaga
honorer tersebut tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum, karena
pengangkatan mereka tidak sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang
telah dikeluarkan, dan membahas sejauh mana tanggung jawab yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagai pelaku yang melakukan
tindakan hukum pengangkatan tenaga honorer tersebut.
Ketiga :
penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2007, atas nama David Yudia Putra yang berjudul “ Implementasi
Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah
Propinsi Sumatera Barat”4.
Perbandingan :
David : Dalam tesis ini membahas mengenai bagaimana implementasi kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil serta
faktor-faktor
apa
yang
mempengaruhi
implementasi
kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini
4
David Yudia Putra yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer
menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat”, diakses dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&
searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.
12
adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, hal ini terjadi karena :1.
Persepsi implementor yang keliru menyebabkan terdapat beberapa tenaga
honorer yang tidak masuk data base. 2. Konsitensi dan koordinasi yang
lemah menyebabkan Formasi tahun 2006 yang telah ditetapkan, dari sisi
komposisinya tidak sesuai dengan prioritas pengangkatan Tenaga Honorer
menjadi
CPNS.
3.
Pengumuman
dalam
proses
perekrutan
tidak
menyebutkan bahwa formasi yang lowong harus dilamar oleh para tenaga
honorer, hal ini mengakibatkan beberapa tenaga honorer yang memenuhi
kualifikasi yang dipersyaratkan dalam formasi tersebut tidak bisa diangkat
menjadi CPNS, 4.Evaluasi yang tidak dilaksanakan secara benar dan tepat,
menyebabkan terdapat tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat tetap
diusulkan menjadi CPNS.
Penulis : Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pembahasan terhadap tenaga
honorer yang tidak masuk ke dalam data base karena pengangkatannya tidak
sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005.
Keempat : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2010, atas nama Padmawati dengan judul penelitian “Kajian
Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas
13
Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian”5.
Perbandingan :
Padmawati :
Dalam penelitian ini meneliti tentang keberadaan guru honorer di
Pemerintah Kota Surakarta tujuannya adalah untuk mengetahui
pengaturan tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta menurut UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian di Pemerintah
Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota
Surakarta menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Kepegawaian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada tesis
tersebut dapat disimpulkan bahwa di Kota Surakarta telah diselesaikan
pada tahun 2009 dimana guru honorer diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan dirinci dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
5
Padmawati, Loc.cit
14
Penulis : Dalam penelitian ini penulis membahas keberadaan tenaga honorer dengan
permasalahan yang terjadi, baik itu tenaga honorer yang berasal dari
tenaga guru, administrasi, kesehatan. Dimana keberadaan mereka tidak
masuk dalam data base dan tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena
pengangkatan mereka bertentangan dengan PP No. 48 Tahun 2008.
6.
Landasan Teoritis
Sebagai landasan dalam upaya pembahasan penelitian ini maka
penulis menggunakan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas dan pandangan
sarjana sebagai dasar untuk menjawab permasalahan yang dipaparkan
dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Konsep Negara hukum
2. Teori Kewenangan
3. Asas Desentralisasi
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
5. Teori Penjenjangan Norma
6.1 Konsep Negara Hukum
Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional
(sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum
adalah suatu personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas,
oleh sebab itu dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan
15
tatanan hukum nasional6. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 disebutkan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, ini
artinya bahwa “mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat dan Negara diatur
oleh hukum (baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis) sehingga baik anggota
masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut”7.
Konsep
negara
hukum
dianggap
sebagai
konsep
universal,
pada
implementasi memiliki karakter yang beragam hal ini disebabkan karena falsafah
bangsa, ideoligi negara dan lain-lain8. Dalam sistem hukum eropa kontinental (civil
law) negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, negara hukum menurut eropa
kontinental ini harus memenuhi empat syarat seperti yang dikatakan Freidrich Julius
Stahl dalam bukunya Ridwan HR adalah :
“ 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
4. Peradilan administrasi negara”9
6
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa,
Bandung, hlm.261.
7
Baharuddin Lopa, 1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang,
Jakarta, hlm 101.
8
9
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 1
Ibid, hlm 3
16
Unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana disampaikan oleh Sri
Soemantri meliputi :
1.
2.
3.
4.
Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus
berdasarkan atas hukum.
Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (warga negara)
Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlijke controle)10
Penjelasan unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Sri Soemantri
diatas memperjelas bahwa Negara Republik Indonesia bersistem konstitusional tidak
absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan konsep unsur dari negara hukum ini
pemerintah daerah yang telah mendapat hak otonomi tidak boleh sewenang-wenang
menjalankan kekuasaannya, pemerintah daerah harus tetap mengacu kepada
pemerintah pusat karena negara kita adalah negara kesatuan.
Unsur-unsur negara hukum pada konsep civil law yang dikemukakan oleh
para sarjana diatas memiliki kesamaan satu dengan yang lain, dengan adanya negara
hukum tugas pemerintah sangat luas yaitu mengutamakan kepentingan seluruh
masyarakat, setiap tindakan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang agar
tidak berbuat sewenang-wenang.
Sedangkan konsep negara hukum menurut anglo saxon (common law)
dikenal dengan istilah rule of law, menurut A.V Dicey dalam bukunya Ridwan HR,
10
Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni Bandung,
Bandung, hlm 29.
17
yang lahir dalam naungan sistem anglo saxon mengemukakan unsur-unsur Negara
hukum (rule of law) :
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremasi of the law) yaitu tidak adanya
kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam arti
bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).
Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.11
Dalam kaitan dengan penelitian ini kedua konsep negara hukum baik dari
civil law maupun common law sama-sama digunakan sebagai dasar teori dalam
penelitian ini, dalam konsep civil law dasar yang digunakan adalah Asas Legalitas
dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sedangkan dalam common law syarat yang
digunakan untuk memperkuat argumen teoritik dalam kaitan dengan judul penelitian
ini adalah supremasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Kedua konsep
civil law (rechtsstaat) dan common law (rule of law) sangat relevan dipergunakan
sebagai dasar pembenaran akademik.
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap
tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum selain itu tindakan
pemerintah tidak boleh dilakukan secara retroactive yaitu Asas yang melarang suatu
aturan berlaku surut.
11
Ridwan HR, Loc.cit.
18
Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum
pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan).
Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan yang
dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi
dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap
orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun tenaga
honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa
bersama dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak
Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan
oleh karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung
tinggi dan melindungi HAM12. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak
akan terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam
mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi
pelanggaran
terhadap
HAM,
namun
apabila
pemerintah
daerah
dalam
pelaksanaannya melanggar peraturan yang ada maka tindakan pemeritah tersebut
dapat dituntut ke Badan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adminitrative law
12
Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176.
19
takes several forms agencies can act somewhat like legislatures and somewhat like
court they may promulgate binding regulation goverment areas of their expertise or
they may decide matters involving particular litigants on a case by case basis.13
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di
daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum tata usaha
negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber
pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban pada orang lain.14
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila15.
Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan tetapi dituntut
untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.
Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum harus
ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum yang
13
Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research, West Group,hlm 206
14
Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan, Jakarta,
hlm 6-7.
15
Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia,
Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11.
20
berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan yang
tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila melanggar
hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak
boleh bertentangan dengan apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat hal ini
dilakukan untuk menjaga kesatuan bangsa.
Menurut Soehino melihat konsep negara kesatuan dari segi susunannya,
negara kesatuan adalah :
Negara yang tidak tersusun dari negara dengan demikian didalam negara kesatuan
ini hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai
kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.
Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan
segala sesuatu didalam negara itu16.
Dalam negara kesatuan kekuasaan negara terletak pada pemerintah pusat
bukan pada pemerintah daerah tetapi pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pejabat daerah berdasarkan hak otonom (dalam rangka
desentralisasi)17.
Menurut Moh. Mahfud MD konstitusi tidak boleh memberi pembatasan atas
HAM atau menjadikannya sebagai sisa kekuasaan pemerintahan semata sebaliknya
kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak
16
Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm 224.
17
Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya
Media Pratama, Jakarta, hlm 29.
21
dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesama warganya.18 Dengan
berpedoman kepada aturan maka kepastian hukum akan terjadi karena suatu
peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat
diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturanperaturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang
akan dilakukan pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan
keadaan.
6.2 Teori Kewenangan
Kewenangan (authority,gezag) dan wewenang (competence bevoegdheid),
wewenang berasal dari kata wenang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu),
sedangkan kewenangan juga diartikan sama.19 Dalam bukunya Ridwan HR tentang
Hukum Adminitrasi Negara, H.D Stout mengatakan:
Bevoegdheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kan
worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op de
verkrijging en uitoefening van bertuursrechtelijke bevoegdheden door
publiekrechtlijke rechtsubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer
(wewenang merupakan pengertian dari hukum organisasi pemerintahan yang
dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di
dalam hubungan hukum publik).
18
Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES,
Jakarta, hlm 159.
19
Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1150
22
Dengan adanya wewenang maka pemerintah pusat maupun daerah dapat
melakukan tindakan hukum pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara karena didalamnya terkandung hak dan kewajiban dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan ini maka
pemerintah daerah khususnya dapat mengatur daerahnya baik dalam hal urusan
rumah tangga daerah, aparatur pemerintahan daerah, mengelola kekayaan alamnya,
dll.
Menurut F.P.C.L Tonnaer pengertian kewenangan dalam bukunya Ridwan
HR menyatakan :
Overheidsbevoeghdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om
positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burger onderling
en tussen overhead en te scheppen (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan dengan
begitu dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negara).20
Pengertian kewenangan menurut Ridwan H.R. adalah “Kewenangan yang
biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau
bidang urusan tertentu yang bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan”.
Menurut
Achmad Sanusi pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk
wezen) dianggap sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai
20
Ridwan HR, Op cit , hlm 101.
23
wewenang hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif.21 Menurut S.F
Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan
hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.22 Jadi
kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang
lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (recht bevoegdheid).
Hebert A Simon memberikan pengertian wewenang adalah sebagai kekuasaan
untuk mengambil keputusan yang membimbing tindakan-tindakan individu lainnya.
Wewenang merupakan hubungan antara dua individu satunya “atasan” dan yang
lainnya “bawahan”23. Philipus M Hadjon mengatakan “wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas
hukum”24. Komponen pengaruh menekankan penggunaan wewenang dimaksudkan
untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum dimaksudkan
21
Satria, Pengertian
wewenang.html.
Wewenang,
http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertian-
22
SF. Marbun, 1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, hlm 154-155.
23
Herbert A Simon, 1984, Perilaku Adminitrasi, terjemahan Cetakan kedua, Penerbit PT. Bina
Aksara, Jakarta, hlm 195.
24
Philipus M Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm 135.
24
bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum yang jelas, sedangkan
komponen konformitas hukum dimaksudkan bahwa wewenang itu haruslah
mempunyai standar yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar
khusus untuk wewenang tertentu.
Secara teoritis kewenangan bersumber dari Peraturan Perundang –Undangan,
Dalam bukunya Ridwan HR, HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt menjelaskan
kewenangan diperoleh melalui tiga cara yaitu :
1. Atribusi
2. Delegasi
3.
Mandat25
Menurut Van Wijk dalam bukunya Hoofdstukken Van Administratif Recht
mengatakan :
Van delegative van bestuursbevoegdheden is sprake wanneer een bevoegdheid van
een bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander orgaan, dat die
bevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan.
delegatie impliceert dus overdracht wat aanvankelijke bevoegd heid van a was is
25
Ridwan HR, Op.cit, hlm 105, 1) atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, ini artinya bahwa wewenang untuk membuat
keputusan langsung bersumber pada Undang-Undang, kewenangan ini disebut dengan kewenangan
asli, 2) delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuat
keputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yang
memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). 3) mandat terjadi ketika
organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ini artinya
memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi
mandat dan tanggung jawab pemberi mandat bukan tanggung jawab mandataris
25
voortaan bevoegdheid van b”.26( terjemahan sendiri : kekuatan delegatif terjadi
ketika kekuatan dari sebuah badan administratif awal ditransfer/diberikan ke
tubuh yang akan menjalankan kekuasaan yang akan menjadi kekuatan yang
dimiliki oleh pihak yang menerima transferan/pihak yang diberi kekuatan).
Dalam kaitan dengan teori kewenangan dalam penelitian ini delegasi
merupakan wewenang yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini, pemerintah
pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah
dan aparatur di wilayahnya masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya
pemerintah daerah tidak boleh menciptakan wewenang baru namun hanya
menjalankan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat.
Setiap perbuatan pemerintah harus bertumpu pada suatu kewenangan yang
sah, tanpa adanya kewenangan yang sah pejabat atau badan usaha negara dalam hal
ini tidak akan dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.27
Selain kewenangan tersebut pemerintah juga memiliki kebebasan bertindak
melalui Freies Ermessen atau kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi ini tidak
dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang
melekat untuk bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan
tanggungjawab atas tindakan tersebut. Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman
26
Van Wijk, 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg,
hlm. 60
27
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising, Malang, hlm
77.
26
dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan discretion, yang artinya kebebasan
bertindak.
Laica Marsuki mengatakan Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang
diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, diembankan dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.28 Menurut Nata
Saputra Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi
Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada
berpegang teguh kepada ketentuan hukum.29
Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus
dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:
1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh
administratur negara
2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan
keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan
3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.
28
29
Sadjijono, Op.cit, hlm 70.
M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm.5
27
Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan
agar tidak terjadi kewenangan yang tidak terbatas, yaitu adanya kebebasan atau
keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri, untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, kewenangan pemerintah ini tidak boleh
mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum dan juga secara moral.
Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif)
dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
1. Apabila terjadi kekosongan hukum
2. Adanya kebebasan interprestasi
3. Adanya delegasi perundang-undangan
4. Demi pemenuhan kepentingan umum. 30
Dari penjelasan tersebut diketahui pemerintah memiliki kewenangan diskresi
tetapi tetap pada batas-batas yang ditentukan, batas-batas diskresi seorang pejabat
administrasi pemerintahan adalah memperhatikan :
1. Tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
2. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
3. Untuk kepentingan umum
4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam.
30
http://justkazz.blogspot.com/2010/02/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html
28
5. Konstitusi Undang-Undang belum jelas atau belum ada yang mengatur
6. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi
7. Adanya persetujuan dari masyarakat jika diskresi akan merugikan.
8. Dapat
dipertanggungjawabkan
sesuai
dengan
asas-asas
umum
pemerintahan yang baik.
6. 3 Asas Desentralisasi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 18 menentukan bahwa
:
“Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan”.
Ini artinya bahwa pemerintah daerah dapat menjalankan dan mengatur
pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat, kewenangan ini
diberikan agar pemerintah daerah lebih dapat memperhatikan dan memajukan
daerahnya dengan sumber pendapatan asli daerah yang dimiliki, setiap permasalahan
yang terjadi didaerah dapat segera teratasi dengan adanya hak otonomi tersebut.
J in het veld menyajikan beberapa kebaikan dari asas desentralisasi yaitu :
1.
2.
3.
4.
Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerah
dan penduduk yang beraneka ragam;
Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintah
pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan
kebutuhan setempat dan tidak mungkin mengetahui bagaimana
memenuhi kebutuhan tersebut;
Dengan desentralisasi dapat meringankan beban yang melampaui batas
dari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja;
Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karena
dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih
mempergunakan pengaruhnya daripada masyarakat luas;
29
5.
6.
Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta
dalam penyelenggaraan pemerintah tidak hanya sebagai objek;
Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam
melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku
pemerintah, ini dapat menghindari pemborosan dalam hal tertentu,
desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna31.
Daerah Otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Pemberian otonomi ini bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat karena pemerintah pusat tidak
mungkin dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa bantuan pemerintah
daerah.
Bagir Manan menyatakan dalam kaitan dengan otonomi daerah hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan
mengelola sendiri (zelbesturen) sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan
pemerintahan Negara secara keseluruhan.32
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :
31
J.In Het Veld, Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt leerbook
voor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, page 42.
32
Bagir Manan, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,
Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 Mei.
30
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Walaupun terjadi penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pemerintah tidak boleh mengingkari makna Negara
kesatuan. Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
Hazairin dalam bukunya Fauzan menyatakan desentralisasi adalah “suatu cara
pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah
pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerahdaerah dalam Negara sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan
sendiri”.33 Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah
“pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus
rumah tangganya sendiri”.34 Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah
“penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”35. Kemantapan
33
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45.
34
Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 38.
35
Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.7
31
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah
sampai kelurahan/desa berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan
pengaturan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi36.
Berdasarkan uraian diatas Indonesia menganut otonomi yang seluas-luasnya,
nyata dan bertanggung jawab, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
mengatur semua urusan pemerintah pusat, kecuali masalah politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama.
Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat
meningkatkan daerahnya baik dari segi pendapatan maupun sumber daya manusianya
sehingga dengan asas ini Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur aparatur daerahnya dengan baik, berupaya untuk terus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pemerintah
seperti perekrutan pegawai baik dari jalur umum maupun pengangkatan tenaga
honorer.
6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De
Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van
Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum
36
Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan
RI, Prestasi Pustaka,hlm 266.
32
bagi rakyat terhadap pemerintah37. Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah
karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan :
“Penyelenggaraan
pemerintahan
berpedoman
pada
asas-asas
umum
penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi,
asas efektivitas”.
Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik
yaitu :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel)
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel)
3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel)
4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel)
5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation,
motiveringsbeginsel).
6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of
competence, verbord van detournament depouvoir).
7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel)
8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of
arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur).
37
Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140.
33
9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
meeting raised expectation of gewekte verwachtingen).
10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the
consequences of an annulled decision herstel beginsel
11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle of
protecting the personal way of life, bescherming van de personlijk
levenssfeer).38
Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan
digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah daerah harus menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya
terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal
perekrutan pegawai baik itu melalui jalur umum maupun pengangkatan pegawai
honorer. Penulis dalam penelitian ini menggunakan asas kepastian hukum dan asas
keadilan karena :
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Negara.39 Asas kepastian hukum memiliki dua
aspek yaitu : aspek material yang berkaitan dengan kepercayaan, dimana asas
kepastian hukum menghalangi badan pemerintah menarik kembali keputusan
dan merubahnya. Aspek formal memberikan hak kepada yang berkepentingan
38
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung,
hlm 81.
39
Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, hlm 75.
34
untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya secara
tepat dan tidak adanya berbagai tafsiran.
2. Asas keadilan menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran, asas
keadilan menuntut tindakan pemerintah harus proposional, sesuai, seimbang
dan selaras dengan hak setiap orang.
6.5 Teori Penjenjangan Norma
Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.
Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada
norma yang lebih tinggi.40 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat
norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara
ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi
validitas dari norma hukum yang dibuat pertama.
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah
“superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan norma lain
adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang
40
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83.
35
lebih rendah.41 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat
dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan
yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. UndangUndang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan
yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.42
Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara
satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik
norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam
Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain.
Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan
menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi:
a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (general).
c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang
baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang
lama.43
41
Hans Kelsen, Op cit, hlm 179
42
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131
43
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7.
36
Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tesis ini sangat
penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi
secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu
antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan, sehingga pada teori
penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat legi
inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan
yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah :
7.1 Jenis Penelitian
Penelitian tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian
merupakan
jenis
penelitian
hukum
normatif,
menurut
Soejono Soekanto penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka dapat dikatakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif atau kepustakaan mencangkup : penelitian terhadap asasasas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum serta
37
sejarah hukum. 44 Morris L Cohen dan Kent C Olson “ legal research is an
essential component of legal practice. It is the process of finding the law
governs an activity and materials that explain or analyze that law” 45
(penelitian hukum merupakan bagian terpenting dari praktek hukum.
Penelitian hukum digunakan dalam proses penemuan hukum dalam hal
mengatur dan menerangkan isi hukum). Dalam penelitian ini mengkaji
tentang sistematik hukum yaitu konflik norma antara PP No. 48 tahun 2005
dengan Surat Keputusan Kepala Instansi. Menurut Amiruddin dan Zainal
Asikin menyatakan “penelitian hukum positif disebut juga penelitian
hukum doctrinal dimana acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia. Sumber datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.” 46
44
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 14.
45
Morris L Cohen, Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh Edition, West
Group,ST.Paul,Minn page 1.
46
Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hlm 118.
38
7.2 Jenis Pendekatan
Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah :
1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua UndangUndang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani, pendekatan ini juga bertujuan untuk mengetahui
sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun
horizontal, secara vertikal melihat bagaimana hierarkis peraturan
perundang-undangan tersebut, sedangkan secara horizontal diteliti
sejauh
mana
peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara
konsisten. Tujuannya adalah agar dalam penelitian ini dapat
mengetahui kelemahan pada peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam mengatur bidang-bidang tertentu.
2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaiatan dengan isu yang dihadapi
yang
telah
menjadi
putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menjadi kajian pokok
dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu keputusan. Ratio
decidendi atau reasoning ini digunakan sebagai referensi bagi penyusunan
argumentasi dalam pemecahan isu hukum. if you have one case name in a
39
subjek area, you should be able to use this piece of information to locate :
other cases, trough the case digests and citators, relevant legislation through
the encyclopaedias47 (jika anda memiliki suatu kasus maka harus
dibandingkan dengan kasus lain yang ada, melalui kasus tersebut dicerna
dengan peraturan yang relevan dan dengan ensiklopedia).
3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang mengenai
apa yang dipelajari dan perkembangan peraturan mengenai isu yang sedang
dihadapi. Pendekatan ini mengungkap filosofi dan pola pikir yang
melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.
4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang
suatu negara dengan Undang-Undang dari satu atau lebih negara lain
mengenai hal yang sama. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan diantara Undang-Undang tersebut.
5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Dalam pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,
dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di
47
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia, page 35.
40
dalam
ilmu
hukum
peneliti
akan
menemukan
ide-ide
yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Ini akan
dijadikan dasar untuk membangun argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi 48.
Dalam penelitian ini penulis penggunakan pendekatan undang-undang
dan pendekatan konseptual, karena dalam penelitian ini menelaah semua
peraturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani dan
mencari sinkronisasi peraturan baik secara vertikal maupun horizontal, selain
itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual mengkaji
terhadap teori-teori, definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan
pengertian dan landasan dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan
kepegawaian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Konsep Negara hukum, Teori Kewenangan, Asas Desentralisasi,
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Teori Penjenjangan
Norma.
7.3
Sumber Bahan Hukum
1.
Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti
norma dan kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
48
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya,
hlm.93-95
41
bahan hukum yang tidak dikodifikasi dan yurisprudensi dalam penelitian ini
bahan hukum primer yang digunakan adalah :
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
 Undang-Undang No. 43 tahun 1999 (yang selanjutnya disebut
UU No. 43 tahun 1999) tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169).
 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75).
 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang selanjutnya
disebut UU No. 32 tahun 2004) yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59).
 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160).

Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya
disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah
42
dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005
Tentang
Pengangkatan
Tenaga
Honorer
Menjadi
Calon
Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 122).

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan
Pemerintahan
Antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82).

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21
Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan
Tenaga Honorer Tahun 2005.

Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15
Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer.

Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun
2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di
Lingkungan Instansi Pemerintah.
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku
hukum, hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan buku, makalah, hasil penelitian
43
dalam bidang hukum, internet yang berkaitan dengan penelitian
yang penulis lakukan.
3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia. 49
7.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada dua yaitu50 :
a. Kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan
bacaan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau artikel,
impesum, halaman dan sebagainya)
b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan yang
dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti
menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan
penelitian.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan
mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam
kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang
dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya.
49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13
50
ibid, hlm 53
44
Selanjutnya bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui study kepustakaan
digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
7.5
Teknik Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan permasalahan yang dibahas
selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, sistematisasi
evaluasi, argumentasi.
Pendeskripsian atau penggambaran yang dilakukan untuk menentukan isu dan
makna dari suatu bahan hukum yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah kepegawaian baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Surat Keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma
terutama dalam hal ditemukan konflik norma. Dalam hal ini maka untuk
menyelesaikan konflik norma diantaranya dengan : pengingkaran (disavowal),
reinterpretasi, pembatalan (invalidation), pemulihan (remedy).
Setelah bahan hukum dapat diindentifikasi dengan jelas maka kemudian
dilakukan sistematisasi, pada tahap sistematisasi ini akan dilakukan pemaparan
berbagai pendapat hukum dan hubungan hierarki antara aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan
koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana
yang berhubungan agat dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang sudah
45
tersistematisasi, baik yang berasal dari pendapat sarjana maupun peraturan perundang
hukum lainnya selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau
argumentasi disesuaikan dengan koherensi terhadap permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini.
46
BAB II
PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kepegawaian yaitu : pengertian tenaga honorer, penggunaan
beberapa istilah yang berbeda di dalam menyebutkan tenaga yang bukan
berstatus sebagai Pegawai Negeri, adanya pengangkatan tenaga honorer
setelah tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap
kedudukan tenaga honorer yang diangkat tersebut serta pengangkatan
tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil yang tidak sesuai dengan
Pasal 3 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2005), selain itu juga akan membahas
pengertian Pegawai Negeri Sipil serta Pejabat Pembina Kepegawaian.
1.
Tenaga Honorer
Negara
adalah
suatu
organisasi
kekuasaan
atau
organisasi
kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu
harus ada pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang
hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation 51.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat UndangUndang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Negara
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa semua penduduknya agar
51
C.S.T. Kansil,1992, Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12
47
mentaati Undang-Undang serta Peraturan lainnya, untuk mewujudkan
kedaulatan tersebut dibutuhkan pemerintah yang berdaulat artinya bahwa
negara memiliki pemerintahan yang berwibawa, pemerintah harus diakui
oleh rakyatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
negara
lain,
dibutuhkan
untuk
aparatur
memiliki
yang
suatu
baik
dan
pemerintahan
handal
yang
untuk
berwibawa
menggerakkan
pemerintahan 52.
Sebagai suatu negara hukum, Indonesia dalam menjalankan setiap
tindakan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum, tujuannya agar
setiap tindakan pemerintah memiliki legitimasi sehingga kepastian hukum
tetap ditegakkan, hanya ada satu negara yang berkuasa yaitu pemerintah
pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, pemerintahan pusat inilah
yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu di
dalam negara tersebut walaupun dalam negara Indonesia terdapat asas
desentralisasi, kewenangan tetap ada pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah yang dilimpahkan kekuasaan tidak boleh sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya, segala tindakan pemerintah daerah harus
sesuai dengan aturan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, inilah yang
disebut sebagai hukum administrasi negara dimana pemerintah sebagai
52
Ni’matul Huda,2010, Ilmu Negara, Rajagrafindo,hlm32
48
penggerak negara harus sejalan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah untuk menciptakan negara yang kuat. Neil Hawke menyatakan
“Administrative law deals with the legal control of government and related
administrative powers”53 artinya hukum administrasi berkaitan dengan kontrol
terhadap pemerintah dan berkaitan dengan kekuasaan administrasi (terjemahan
sendiri). It has been seen that the essential task of administrative law is to provide a
legal control in relation to the exercise of administrative powers conferred on various
administrative agencies for all sorts of different purposes,54 artinya tugas penting dari
hukum adminitrasi adalah untuk memberikan kontrol dalam pelaksanaan kekuasaan
badan administrasi dalam segala tujuan (terjemahan sendiri).
Salah satu kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan aparatur yang baik dan
handal guna mewujudkan pemerintahan yang berdaulat adalah dalam
urusan
kepegawaian,
dimana pemerintah
daerah
dapat
mengangkat,
memindahkan dan memberhentikan pegawai baik berstatus pegawai negeri
maupun bukan pegawai negeri.
Pegawai memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting
dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan karena pegawai yang akan
53
Neil Hawke, 1998, Introduction To Administrative Law,Cavendish Publishing
Limited,London,Sidney.
54
Ibid, hlm 14
49
memberikan pelayanan kepada masyarakat, pegawai yang akan membantu
pemerintah
di
dalam
setiap
program-program
kerja
yang
telah
direncanakan setiap tahunnya dan pegawai merupakan bagian dari
pemerintah yang akan menjalankan pemerintahan. Kedudukan seseorang
sebagai pegawai secara yuridis formal harus ditetapkan melalui SK
Pengangkatan
sebagai
pegawai.
SK
Pengangkatan
tersebut
adalah
penetapan berlakunya hubungan dinas publik antara seorang pegawai
dengan Negara.
Hubungan dinas publik timbul untuk melakukan suatu atau beberapa
macam jabatan tertentu. Pengangkatan pegawai adalah titik temu antara
kehendak pemerintah dalam membutuhkan pegawai dan kehendak pegawai
untuk bekerja pada pemerintah. 55
Indonesia
adalah
negara
hukum
sehingga
segala
tindakan
pemerintah harus berdasarkan dan diatur oleh hukum maka untuk masalah
kepegawaian, pemerintah berpedoman pada UU No. 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepagawaian, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, selain itu pemerintah berpedoman pada Peraturan Pemerintah No
48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai
Negeri Sipil.
55
Riawan Tjandra, Op.cit, hlm 149
50
Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 selain Pegawai Negeri Sipil
pemerintah juga dapat mengangkat pegawai tidak tetap atau bukan Pegawai
Negeri Sipil. Di kutip dari tesis Padmawati tentang “Kajian Yuridis Status
Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas
Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999” menyebutkan :
Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina
kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas
tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban
APBN/APBD. Tenaga honorer atau yang sejenis yang dimaksud, termasuk guru
bantu, guru honorer, guru wiyata bhakti, pegawai honorer, pegawai kontrak,
pegawai tidak tetap, dan lain-lain yang sejenis dengan itu yang bertugas di bawah
naungan instansi pemerintah yang digaji dari APBN/APBD56.
Pegawai tidak tetap menurut UU No. 43 Tahun 1999 adalah :
Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan
tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis professional
dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi.
Tenaga honorer pada PP No 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipi, Pasal 1 angka 1 menyatakan
tenaga honorer adalah :
Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau
pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada
instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran
56
Padmawati, http://eprints.uns.ac.id/41/ , Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru
Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga
Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, pada tanggal 24
November 2010.
51
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Honorer dalam bahasa Inggris berasal dari kata honor yang artinya
kehormatan.
Honorarium
artinya
memberikan
honor
terhadap
hasil
kegiatan yang dilakukan seseorang. Dalam kamus bahasa Indonesia tenaga
honorer adalah tenaga yang dibayar dengan uang honorarium, pegawai
tetap artinya tenaga atau pegawai yang diangkat dan bekerja secara tetap
pada suatu lembaga (kantor, perusahaan) berdasarkan surat keputusan
pimpinan 57.
Penggunaan istilah antara UU No. 43 tahun 1999 dengan PP No. 48
Tahun 2005 secara verbal atau tersurat kata tersebut memang berbeda arti
tetapi secara tersirat ada sedikit kesamaan antara tenaga honorer dengan
pegawai tidak tetap yaitu : sama-sama bukan berstatus negeri atau bukan
pegawai tetap, sama- sama diberikan honor sebagai imbalan atas
pengabdian kepada negara atas jasa yang diberikan tanpa diberikan
tunjangan lainnya 58.
Penggunaan istilah untuk penyebutan pegawai yang bukan berstatus
Pegawai Negeri Sipil ini berbeda-beda, biasanya tenaga honorer sebutan
bagi mereka yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah, tenaga
57
Kamus bahasa Indonesia online, http:// kamusbahasaindonesia.org/honorer
58
http://pusatbahasa.diknas.go.id.kbbi/indexphp.
52
kontrak untuk mereka yang berstatus guru, pegawai tidak tetap bagi tenaga
medis, walaupun istilah yang berbeda tetapi kedudukan mereka sama yaitu
bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, menurut hemat penulis hendaknya
istilah yang digunakan harus diseragamkan dengan menggunakan istilah
pegawai tidak tetap sesuai dengan ketentuan istilah dalam Undang-Undang
sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penggunaan
istilah tersebut.
Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Penamaan
pegawai tidak tetap mempunyai arti sebagai pegawai di luar PNS dan pegawai
lainnya (tenaga kerja). Penamaan pegawai tidak tetap merupakan salah satu bentuk
antisipasi pemerintah terhadap banyaknya kebutuhan pegawai namun dibatasi oleh
dana APBD/APBN dalam penggajiannya.
Pengangkatan pegawai tidak tetap diserahkan pada kebutuhan dari masingmasing instansi namun sejak dikeluarkannya PP No. 48 tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil maka semua
Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi dilarang
mengangkat tenaga honorer atau sejenisnya kecuali ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pengangkatan tenaga honorer dibatasi sampai dengan tahun 2005 setelah itu
berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 tidak diperkenankan lagi untuk melakukan
pengangkatan tenaga honorer, namun pada kenyataannya banyak dilakukan
pengangkatan tenaga honorer dengan SK kepala instansi dan kepala daerah yang
53
menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan tenaga honorer, selain itu
permasalahan pada PP No. 48 Tahun 2005 adalah pengangkatan tenaga honorer
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini dilaksanakan sampai dengan tahun
anggaran 2009, namun sampai dengan tahun 2007 dalam hal proses pengangkatan
terdapat berbagai permasalahan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan PP. No.
48 tahun 2005. Pasal 3 ayat (1) berbunyi :
“ Pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil diprioritas bagi yang
melaksanakan tugas sebagai :
1. Tenaga guru
2. Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan
3. Tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan, peternakan
4. Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah”
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diatas artinya bahwa tenaga honorer dibutuhkan
untuk memenuhi formasi yang lowong agar kegiatan pelayanan dapat berjalan dengan
baik, tetapi sesuai dengan ketentuan PP No. 48 pengangkatan tenaga honorer itu
diutamakan untuk tenaga guru yang akan ditempat disekolah-sekolah yang ada di
daerah mengingat jumlah guru yang ada masih kurang dibanding jumlah sekolah dan
siswa yang ada khususnya bagi sekolah-sekolah yang ada di pedalaman, yang kedua
pengangkatan diutamakan kepada mereka yang bergelut pada bidang medis seperti
dokter, perawat, bidan yang biasanya ditempatkan pada puskesmas-puskesmas yang
ada di daerah, ketiga tenaga penyuluh untuk pertanian maupun peternakan dengan
tujuan dapat dengan cepat dan mudah membantu petani atau peternak di desa dalam
memberikan informasi terhadap masalah pertanian maupun peternakan, ketiga tenaga
54
tersebut diprioritaskan karena untuk mempercepat, mempermudah pelayanan kepada
masyarakat.
Pada PP No. 48 tahun 2005 Pasal 3 ayat (1) sudah diatur dengan jelas tenagatenaga yang diutamakan dalam pengangkatan tenaga honorer namun pada kenyataan
yang ada dilapangan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil ternyata didominasi oleh tenaga administrasi yang notabene di luar dari skala
prioritas yang termaktub dalam Pasal 3 ayat (1). Hal ini merupakan salah satu
kelemahan dari pengangkatan pegawai dari tenaga honorer karena peluang untuk
terjadinya kolusi maupun nepotisme sangat besar, kepentingan orang-orang tertentu
yang memiliki kekuasaan besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun
golongan sangat banyak terjadi, ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah
pusat agar tidak terjadi kecurangan dalam pengangkatan pegawai dan untuk
mendapatkan SDM yang berkualitas guna terciptanya negara yang maju.
2.
Pegawai Negeri Sipil
Kedudukan dan peranan dari pegawai negeri dalam setiap organisasi
pemerintah sangat menentukan sebab Pegawai Negeri Sipil adalah tulang punggung
pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Peranan dari Pegawai
Negeri Sipil seperti diistilahkan dalam dunia kemiliteran yang berbunyi not the gun,
the man behind the the gun yang artinya bukan senjata yang penting melainkan
manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang modern tidak mempunyai arti
55
apa-apa apabila manusia yang dipercaya menggunakan senjata itu melaksanakan
kewajibannya dengan benar59.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil menurut Kranenburg adalah pejabat yang
ditunjuk, pengertian ini tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan
mewakili seperti anggota parlemen, Presiden dan lain sebagainya. Menurut Logeman
Pegawai Negeri adalah setiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan
Negara, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pegawai berarti orang yang bekerja
pada pemerintah sedangkan negeri berarti Negara atau pemerintah, jadi Pegawai
Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau Negara.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil menurut Mahfud MD ada dua bagian yaitu :
1. Pengertian Stipulatif : pengertian yang bersifat stipulatif adalah pengertian
yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, sebagaimana
yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 Tahun
1999. Pengertian yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 berkaitan dengan
hubungan pegawai negeri dengan hukum administrasi sedangkan Pasal 3 ayat
(1) berkaitan dengan hubungan pegawai negeri dengan pemerintah atau
mengenal kedudukan pegawai negeri. Pengertian stipulatif selengkapnya
berbunyi :
Pasal 1 angka 1:“Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik
Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan,
59
Sri Hartini, dkk, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 31.
56
diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara
lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku”.
Pasal 3 ayat (1) : “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai aparatur Negara
bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara profesional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan
pembangunan”.
2. Pengertian ekstensif : dalam pengertian ini beberapa golongan yang
sebenarnya bukan Pegawai Negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999 tetapi
dalam hal ini
dianggap sebagai dan diperlakukan sama dengan Pegawai
Negeri artinya disamping stipulatif ada pengertian yang hanya berlaku pada
hal-hal tertentu. Contoh : pada ketentuan Pasal 92 KUHP yang berkaitan
dengan status anggota dewan rakyat , anggota dewan daerah dan kepala desa.
Menurut Pasal 92 KUHP dimana diterangkan bahwa yang termasuk dalam arti
Pegawai Negeri adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan
peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih tetapi diangkat
menjadi anggota dewan rakyat dan dewan daerah serta kepala-kepala desa dan
sebagainya. Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP sangatlah luas tetapi
pengertian tersebut hanya berlaku dalam hal ada orang-orang yang melakukan
kejahatan atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam
KUHP, jadi pengertian ini tidak termasuk alam hukum kepegawaian.
Pengertian stipulatif dan ekstensif merupakan penjabaran atas maksud dari
keberadaan Pegawai Negeri dalam hukum kepegawaian. Pengertian tersebut terbagi
dalam bentuk dan format yang berbeda namun pada akhirnya dapat menjelaskan
57
maksud pemerintah dalam memposisikan penyelenggara Negara dalam system
hukum yang ada karena pada dasarnya jabatan negeri akan selalu berkaitan dengan
penyelenggara Negara yaitu Pegawai Negeri.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil pada Undang-Undang No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 huruf c,d dan e adalah :
Huruf c :
“Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
negara atau daerah”.
Huruf d :
“Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah”.
Huruf e :
“Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat”.60
Dari beberapa pengertian Pegawai Negeri Sipil di atas dapat penulis
simpulkan bahwa Pegawai Negeri adalah seseorang yang bekerja dilingkungan
instansi pemerintah, diangkat berdasarkan syarat yang ditentukan oleh UndangUndang Kepegawaian dan digaji oleh Negara sesuai dengan pangkat dan golongan
pegawai yang bersangkutan.
Dari pengertian Pegawai Negeri di atas dapat dilihat unsur-unsur Pegawai
Negeri yaitu :
60
Jur Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Rajagrafindo Persada,
Jakarta, hlm.266.
58
1. Warga Negara Indonesia : telah memenuhi syarat Peraturan
Perundang-Undangan.
2. Diangkat oleh Pejabat Yang Berwenang : dalam pasal 1 angka 2 UU
No. 43 tahun 1999 menegaskan pejabat yang berwenang adalah
pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan,
dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku. Pada dasarkan kewenangan untuk
mengangkat Pegawai Negeri berada ditangan Presiden sebagai kepala
eksekutif, namun untuk sampai tingkat kedudukan/pangkat tertentu,
Presiden dapat mendelegasikan wewenangnya pada para Menteri atau
pejabat lain dan para Menteri dapat mendelegasikan kepada pejabat
lain di lingkungan masing-masing.
3. Diserahi tugas dalam jabatan negeri : Pegawai Negeri yang diangkat
dapat diserahi tugas baik dalam tugas dalam suatu jabatan negeri
maupun tugas negara lainnya. Tugas dalam jabatan negeri artinya yang
bersangkutan diberikan jabatan dalam
bidang eksekutif yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan jabatan tugas negara lainnya artinya jabatan diluar bidang
eksekutif seperti hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi. Pejabat yudikatif di level pengadilan negeri dan pengadilan
tinggi adalah Pegawai Negeri sedangkan Hakim Agung dan
Mahkamah (Agung dan Konstitusi) adalah pejabat negara.
59
4. Digaji menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku : gaji
adalah balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri
yang bersangkutan. Sebagai imbal jasa dari pemerintah kepada
pegawai yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan
sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan perlu diberikan gaji
yang layak baginya. Dengan adanya gaji maka akan menjamin
kelangsungan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan
sebab Pegawai Negeri tidak akan dibebani tentang masa depan yang
layak dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga dapat bekerja
secara profesional61.
Dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil
(selanjutnya disebut PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri
Sipil), Pasal 6 menyebutkan tentang syarat-syarat untuk dapat melamar sebagai
Pegawai Negeri Sipil yaitu :
1. Warga Negara Indonesia.
2. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya
35 (tiga puluh lima) tahun.
3. Tidak Pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan suatu tindakan hukum kejahatan.
4. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak
dengan hormat sebagai pegawai swasta.
61
Sri Hartini dkk, op.cit, hlm 35.
60
5. Tidak berkedudukan sebagai Calon/Pegawai Negeri.
6. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang
diperlukan.
7. Berkelakuan baik.
8. Bersedia ditempatkan diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia atau
negara lain yang ditentukan oleh Pemerintah.
9. Syarat lain ditentukan dalam persyaratan jabatan.
Berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) PP 98 Tahun 2000 Pengadaan Pegawai Negeri
Sipil menyebutkan :
Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah menjalankan masa percobaan sekurangkurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dalam jabatan dan pangkat
tertentu, apabila :
1. Setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik.
2. Telah memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil.
3. Telah lulus pendidikan dan pelatihan Prajabatan”.
Jenis- jenis Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No 43
Tahun 1999
“Pegawai Negeri adalah :
1. Pegawai Negeri Sipil
2. Anggota Tentara Nasional Indonesia
3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia”
Menurut UU No. 43 tahun 1999 Pasal 2 ayat (2) Pegawai Sipil dibagi menjadi
yaitu Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Daerah. Pengertian Pegawai
Negeri Pusat dan Pegawai Negeri Daerah adalah :
1. Pegawai Negeri Pusat : Pegawai Negeri Pusat adalah pegawai negeri yang
gajinya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja Negara dan
bekerja
pada
Departemen,
Lembaga
Pemerintah
Nondepartemen,
Kesekretariatan Lembaga Negara, Instansi vertikal di Propinsi, Kabupaten
61
Kota, Kepaniteraan Pengadilan atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan
tugan Negara lainnya.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah : pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai
Negeri Sipil daerah Propinsi, Kabupaten, Kota yang gajinya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pemerintah daerah atau
dipekerjakan di luar instansi induknya.
Jenis Pegawai Negeri yang kedua adalah Anggota TNI : Tentara Nasional
Indonesia merupakan komponen dalam pembelaan negara, pertahanan negara sebagai
salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan usaha mewujudkan satu kesatuan
pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Tugas TNI adalah : mempertahankan kedaulatan
negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan perang,
melaksanakan operasi militer serta ikut aktif memelihara perdamaian dunia. Jenis
pegawai negeri yang ketiga adalah anggota Polri : Polisi Republik Indonesia (Polri)
mempunyai fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian RI dipimpin oleh
Kapolri yang bertanggungjawab kepada Presiden.62
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan UU No. 43 tahun 1999 Pasal 3
ayat (1) adalah :
62
Harsono,2011, Sistem Administrasi Kepegawaian, Fokusmedia,Bandung, hlm 18.
62
“Sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata dalam
penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan”.
Dari Pasal tersebut kedudukan pegawai negeri didasarkan pada pokok-pokok
pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan tetapi
juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain
pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan tetapi juga harus
mampu menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat
banyak.
Pegawai Negeri mempunyai peranan amat penting sebab pegawai negeri
merupakan unsur aparatur Negara untuk menyelenggarakan pemerintah dan
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan Negara. Kelancaran pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan nasional terutama tergantung pada kesempurnaan
aparatur Negara yang pada pokoknya tergantung pada kesempurnaan Pegawai
Negeri.
Dalam hukum publik Pegawai Negeri Sipil bertugas membantu Presiden
sebagai kepala pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan, tugas
melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan
agar setiap Peraturan Perundang-Undangan ditaati oleh masyarakat. Di dalam
melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan pada umumnya kepada Pegawai
Negeri diberikan tugas kedinasan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai abdi
Negara seorang Pegawai Negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai
falsafah dan ideologi Negara, kepada Undang-Undang Dasar 1945, kepada Negara
63
dan kepada Pemerintah. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara, abdi
Negara dan abdi masyarakat dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan
baik karenanya ia harus mempunyai kesetiaan, ketaatan penuh terhadap Pancasila,
UUD 1945, Negara dan Pemerintah sehingga dapat memusatkan segala perhatian dan
pikiran serta mengarahkan segala daya upaya dan tenaganya untuk menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Untuk medapatkan sumber daya manusia yang baik sebagai Pegawai Negeri
Sipil maka ada beberapa proses tahapan yang dilalui sebelum seseorang menjadi
Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 43 tahun 1999
manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah :
“Keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat
profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian yang
meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan,
promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian”.
Dari pasal tersebut menjelaskan bagaimana proses perjalanan dari Pegawai
Negeri Sipil dalam manata kariernya. Manajemen dalam pasal tersebut membahas
mengenai masalah administrasi yang pada dasarnya berfungsi untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam
batas-batas kebijaksanaan umum yang telah dirumuskan. Secara etimologis
manajemen berasal dari kata manus (tangan) dan agree (melakukan) sehingga manage
adalah mengurus. Management is a distinct process consisting of planning,
organizing, actuating and controlling performance to determine and accomplish
stated objectives by the use of human being and other resources (manajemen adalah
64
suatu proses khusus yang terdiri atas perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah
ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber lainnya)63.
Manajemen kepegawaian meliputi kegiatan :
1. Perencanaan : planning didefinikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan
penentuan secara matang mengenai hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang
akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, dalam
perekrutan Pegawai Negeri Sipil harus ada rencana yang matang mengenai
pengadaan penyelenggaraan perekrutan Pegawai Negeri mengenai jumlah dan
susunan pangkat penerimaan, formasi, pendanaan, waktu penyelenggaraan dll.
2. Pengadaan : setelah adanya kepangkatan dan formasi yang telah ditentukan
dalam perencanaan, diadakan penerimaan pegawai untuk mengisi formasi
yang lowong. Pengadaan dapat dilakukan dengan perekrutan yang diatur pada
Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
11 Tahun 2002. Pengadaan pegawai dilakukan mulai dari tahap perencanaan,
pengumuman, pelamaran, peyaringan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri
Sipil sampai dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil. Secara prinsipil
pengadaan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan lebih
63
Sri Hartini, Op Cit, hlm 31
65
mengutamakan
kualitas
daripada
kuantitas,
pengadaan
menggunakan
pendekatan zero growth dimana pengadaan pegawai didasarkan untuk
mengganti pegawai yang pensiun sehingga pengadaan pegawai tidak harus
dilakukan setiap tahunnya. Para pelamar akan mengikuti tes tertulis sesuai
dengan formasi yang dilamar, setelah lulus tes kompetensi tersebut maka
Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil
harus memiliki penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik,
telah memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk dapat diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil, telah lulus Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan.
3. Pengembangan Kualitas : pengembangan kualitas merupakan suatu keharusan
dalam suatu organisasi untuk mencapai hasil maksimal dalam pelaksanaan
pekerjaannya. Untuk mencapai mencapai daya guna dan hasil guna yang
sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan
pengabdian, mutu keahlian, kemampuan dan ketrampilan.
4. Penempatan : penempatan pegawai adalah suatu proses yang tidak bisa
terpisahkan dengan pengadaan pegawai. Setelah proses pengadaan pegawai
yang diangkat harus ditempatkan pada unit organisasi tertentu yang
membutuhkan tenaga baru dan mengacu pada formasi yang ada. Pada
dasarnya setiap pegawai memiliki jabatan karena mereka direkrut berdasarkan
kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi.
66
Penempatan pegawai tidak selalu berarti penempatan pegawai baru tetapi bisa
pula berarti sebagai pengangkatan dalam jabatan, promosi, dan mutasi
(perpindahan). Mutasi atau perpindahan atau alih tugas dari suatu unit
organisasi ke unit organisasi lain dengan berdasarkan kepada : kebutuhan
organisasi, lamanya masa kerja, penyegaran organisasi dll.
5. Promosi : promosi merupakan suatu penghargaan (reward) yang diberikan
kepada pegawai yang berprestasi untuk memangku tanggung jawab yang lebih
besar berupa kenaikan pangkat atau jabatan. Kenaikan pangkat bertujuan
untuk mendorong/motivasi pegawai untuk lebih meningkatkan pengabdiannya
didalam melaksanakan tugas sehari-hari. Kenaikan pangkat ada dua yaitu :
kenaikan pangkat reguler adalah penghargaan yang diberikan kepada pegawai
yang telah memenuhi syarat yang ditentukan tanpa terikat pada jabatan.
Kenaikan pangkat pilihan adalah kepercayaan dan penghargaan yang
diberikan kepada pegawai atas prestasi kerja yang tinggi.
6. Penggajian : gaji adalah balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja
pegawai negeri yang bersangkutan. Sebagai imbal jasa dari pemerintah
kepada pegawai yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan
sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan perlu diberikan gaji yang
layak baginya. Dengan adanya gaji yang layak secara relatif akan menjamin
kelangsungan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan sebaga
pegawai negeri tidak lagi dibebani dengan pemikiran akan masa depan yang
67
layak dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga bisa bekerja dengan
profesional sesuai dengan tuntutan kerjanya.
7. Kesejahteraan : kesejahteraan adalah kompensasi yang pemberiannya tidak
tergantung
dari
jabatan/pekerjaan
PNS
dalam
rangka
peningkatan
kesejahteraan PNS. Kesejahteraan pegawai dapat berupa : cuti, perawatan,
tunjangan, uang suka duka.
8. Pemberhentian : bagian akhir dari proses manajemen pegawai adalah
pemberhentian dimana seluruh kegiatan berakhir disini. Hubungan antara
dinas dan mantan pegawai atau penerima pensiun terbatas pada hubungan
keluarga, kecuali apabila berkaitan dengan hak-hak penerima pensiun yang
diatur pada Peraturan Perundang-Undangan64.
Pegawai Negeri Sipil memiliki hak dan kewajiban, hak merupakan
konsekuensi dari kewajiban, secara logika keduanya memiliki hubungan timbal balik,
hak seseorang dapat dipenuhi karena telah menjalankan kewajiban sebagaimana yang
telah ditentukan sesuai dengan syarat untuk mendapatkan hak tersebut. Satjipto
Rahardjo menyatakan “antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang erat yang
satu mencerminkan adanya yang lain.65 Dalam Hukum Kepegawaian hak dan
64
Miftha Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hlm 27-46.
65
Satjipto Rahardjo, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 54.
68
kewajiban seorang Pegawai Negeri telah diatur secara normatif yang dituangkan pada
UU No. 43 Tahun 1999.
Kewajiban Pegawai Negeri Sipil berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 adalah :
1. Wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah
serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara kesatuan
Republik Indonesia. (Pasal 4)
2. Wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh
pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. (Pasal 5)
3. Wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia
jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undangundang. (Pasal 6).
Kewajiban pegawai Negeri adalah segala sesuatu yang wajib dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Sastra Djatmika kewajiban
pegawai negeri adalah :
1. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan
2. Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas
dalam jabatan melainkan dengan kedudukan sebagai pegawai negeri pada
umumnya.
3. Kewajiban-kewajiban lainnya
69
4. Elemen-elemen
penunjang
kewajiban
meliputi
kesetiaan,
ketaatan,
pengabdian, kesadaran, tanggung jawab, jujur, tertib, bersemangat dengan
memegang rahasia Negara dan melaksanakan tugas kedinasan66 :
1.
Kesetiaan berarti tekad dan sikap batin serta kesanggupan untuk
mewujudkan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
2.
Ketaatan berarti kesanggupan seseorang untuk mentaati segala peraturan
perundang-undangan dan peraturan (kedinasan) yang berlaku serta
kesanggupan untuk tidak melanggar larangan ditentukan.
3.
Pengabdian (terhadap Negara dan masyarakat) merupakan kedudukan dan
peranan Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam hubungan
formal baik dengan Negara secara keseluruhan maupun dengan
masyarakat secara khusus.
4.
Kesadaran berarti merasa, tahun dan ingat (pada keadaan yang
sebenarnya) atau keadaan ingat (tahu) akan dirinya.
5.
Jujur berarti lurus hati, tidak curang, (lurus adalah tegak benar) terus
tersng ( benar adanya). Kejujuran adalah ketulusan hati seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan
wewenang yang diberikan kepadanya atau keadaan wajib menanggung
66
Sastra Djatmika dan Marsono, 1995, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan,
Jakarta,hlm 103
70
segala sesuatunya apabila terdapat sesuatu hal, boleh dituntut dan
dipersalahkan.
6.
Menjunjung tinggi berarti memuliakan atau menghargai dan menaati
martabat bangsa. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan Negara
mengandung arti bahwa norma-norma yang hidup dalam bangsa dan
Negara Indonesia harus dihormati. Setiap pegawai negeri sipil harus
menghindari tindakan dan tingkah laku yang dapat menurunkan atau
mencemarkan kehormatan bangsa dan Negara.
7.
Cermat berarti (dengan seksama), dengan teliti dengan sepenuh minat
(perhatian).
8.
Tertib berarti menaati peraturan dengan baik, aturan yang bertalian dengan
baik.
9.
Semangat berarti jiwa kehidupan yang mendorong seseorang untuk bekerja
keras dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan tugas dalam rangka
pencapaian tujuan.
10. Rahasia berarti sesuatu yang tersembunyi ( hanya diketahui oleh seseorang
atau beberapa orang saja, ataupun sengaja disembunyikan supaya orang
lain tidak mengetahuinya). Rahasia dapat berupa rencana, kegiatan atau
tindakan yang akan, sedang atau telah dilaksanakan yang dapat
menimbulkan kerugian atau bahaya apabila diberitahukan kepada atau
diketahui oleh orang yang tidak berhak.
71
11. Tugas kedinasan berarti sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan
untuk dilakukan terhadap bagian pekerjaan umum yang mengurus sesuatu
pekerjaan tertentu.
Hak Pegawai Negeri Sipil, pada dasarnya adanya hak manusia karena
mempunyai berbagai kebutuhan yang merupakan pemacu bagi dirinya untuk
memenuhi kebutuhannya seperti bekerja untuk memperoleh uang bagi pemenuhan
kebutuhan. Hak pegawai negeri sipil berdasarkan Pasal 7 sampai dengan pasal 10 UU
No. 43 Tahun 1999 adalah :
Pasal 7 Ayat (1) : “ Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan
layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya.”
Ayat (2) : “Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil harus mampu
memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan”.
Ayat (3): “Gaji pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Pasal 8 : “Setiap Pegawai Negeri berhak atas cuti”
Pasal 9 Ayat (1) : “Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan
dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya berhak
memperoleh perawatan”.
Ayat (2): “Setiap pegawai negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat
rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang
mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun
juga, berhak memeproleh tunjangan”.
Ayat (3) : “Setiap pegawai negeri yang tewas, keluarganya berhak
memperoleh uang duka.”
Pasal 10 : “Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan berhak atas pensiun”.
Sebagai abdi negara yang selalu menjadi perhatian masyarakat luas, Pegawai
Negeri Sipil harus memiliki etika dalam menjalankan tugas-tugasnya baik itu dalam
bentuk norma hukum, kesopanan, kesusilaan dan agama. Etika berasal dari kata
72
Yunani yaitu ethos yang artinya kebiasaan atau watak, etika artinya pola perilaku atau
kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau
suatu organisasi tertentu.67 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menjabarkan
pokok-pokok etika Pegawai Negeri Sipil selain itu pemerintah membentuk KORPRI
dalam rangka meningkatkan kualitas Pegawai Negeri Sipil dengan membuat panca
prasetya KORPRI Pegawai Republik Indonesia sebagai kode etik pegawai Republik
Indonesia. Kode etik adalah sekumpulan norma, asas dan nilai yang menjadi
pedoman bagi anggota kelompok profesi tertentu dalam bersikap, berperilaku dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai anggota kelompok profesi tertentu. Panca
prasetya KORPRI adalah :
1.
Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2.
Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang
teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3.
Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
4.
Bertekad
memelihara
persatuan
dan
kesatuan
bangsa
serta
kesetiakawanan KORPRI.
67
Desi Fernanda, 2003, Etika Organisasi Pemerintah, Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia, Jakarta, hlm 2.
73
5.
Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan serta meningkatkan
kesejahteraan dan profesionalisme.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa Pegawai Negeri Sipil
adalah seseorang yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh UndangUndang untuk dapat bekerja pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah
yang gajinya dibebankan pada APBD dan APBN.
3. Pejabat Pembina Kepegawaian
Keberadaan Pegawai Negeri Sipil erat kaitannya dengan jabatan dan pejabat,
kedua kata ini memiliki perbedaan arti. Menurut R Soegijatno Tjakranegara jabatan
adalah subjek hukum yang mendukung hak dan kewajiban sebagai subjek hukum
maka jabatan dapat melakukan tindakan-tindakan hukum. Jabatan adalah pendukung
kekuasaan dalam negara hukum, jabatan sebagai kekuasaan dilandaskan atas hukum
dan setiap jabatan harus dirumuskan batas-batas tugas dan kekuasaannya sehingga
bersifat tetap dalam arti tidak berubah-ubah guna menjamin kepastian hukum.68
Pendapat lain mengenai jabatan seperti yang dinyatakan oleh Soenyoto Rais jabatan
adalah keseluruhan dari tugas, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang
secara keseluruhan dibebankan kepada seseorang. Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 43
tahun 1999 disebutkan :
“Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya jabatan dalam
68
R. Soegijatno Tjakranegara, 1992, Hukum Tata Usaha Dan Birokrasi Negara, Rineka Cipta Cet
I, Jakarta, hlm 96.
74
kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara dan kepaniteraan
pengadilan”.
Pasal 1 Angka 6 :
“Jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki
Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat yang ditentukan”.
Dari pengertian jabatan diatas bahwa seseorang yang sudah memiliki jabatan
sebagai Pegawai Negeri Sipil harus melaksanakan jabatan yang diberikan kepadanya
dengan baik, melaksanakan segala tugas, kewajiban dengan penuh tanggung jawab
untuk nantinya dapat menjadi pejabat yang mampu memimpin dan mengkoordinasi
bawahannya.
Pejabat adalah seseorang yang memiliki jabatan penting, seseorang yang
diserahkan kedudukan dalam sebuah organisasi/institusi baik formal maupun
informal dan turut melekat kewajiban dan hak dari kedudukan yang diberikan
tersebut69.
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 43 tahun 1999 tentang Undang-Undang
Pokok Kepegawaian disebutkan :
“Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan
mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil
berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”.
Pasal 1 Angka 3 disebutkan :
69
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101028195812AAEh88B
75
“Pejabat yang berwajib adalah pejabat yang karena jabatan atau tugasnya
berwenang melakukan tindakan hukum berdasarkan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku”.
Pasal 1 Angka 4 menyebutkan :
“Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat negara
lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2002 Pasal 1 angka 2
menyebutkan :
“Pejabat Pembina Kepegawaian adalah : Menteri, Jaksa Agung, Sekretaris Negara,
Sekretaris Kabinet, Sekretaris Militer, Sekretaris Presiden, Sekretaris Wakil
Presiden, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pimpinan Sekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara,
Gubernur dan Bupati/Walikota”.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, (yang
selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 2003) Pasal 1 angka 3 menyebutkan :
“Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/ Tinggi Negara, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional
serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat
struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga
Pemerintah Non Departemen”.
Pasal 1 angka 4 menyebutkan :
“Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi adalah Gubernur”.
Pasal 1 angka 5 menyebutkan :
“Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”.
76
Pasal 11 Ayat 1 UU No. 43 Tahun 1999 yang dimaksud “pejabat negara adalah :
1. Presiden dan Wakil Presiden
2. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Permusyawarahan Rakyat
3. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
4. Ketua,Wakil Ketua,Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung
serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan Peradilan
5. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung
6. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksan Keuangan
7. Menteri dan Jabatan Setingkat Menteri
8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang berkedudukan sebagai Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
9. Gubernur dan Wakil Gubernur
10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota
11. Pejabat lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang”.
Pejabat Negara ini tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan :
1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya (Pasal 2 Ayat1 PP
No. 9 Tahun 2003).
2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat di
lingkungannya (Pasal 2 Ayat 1 PP No. 9 Tahun 2003).
3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No.
43 Tahun 1999).
4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri
Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I
(I/b) sampai dengan Pembina Tingkat I (IV/b). (Pasal 6 Ayat (1) dan (2) PP No.
9 Tahun 2003).
5. Pejabat Pembina Kepegawaian pusat menentapkan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dari jabatan
struktural eselon II ke bawah di lingkungannya, karena untuk eselon I
pengangkatan, pemindahan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden.
(Pasal 11 dan 12 PP No. 9 Tahun 2003)
Pejabat Pembina Kepegawaian Propinsi menetapkan :
1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di daerahnya (Pasal 3 Ayat (1).
2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil.
3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No.
43 Tahun 1999).
4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di Daerahnya menjadi Juru
Muda Tingkat I (I/b) sampai dengan Pembina Tingkat I (IV/b).
77
5. Gubernur menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah yang
diperbantukan dilingkungan pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk menjadi
pembina golongan IV/a dan pembina tingkat I (IV/b).
6. Mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Daerah Propinsi dengan
persetujuan DPRD dan diajukan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 13 Ayat
(1) PP No. 9 Tahun 2003).
7. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil dalam jabatan struktural eselon II ke bawah.
Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah menetapkan :
1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di daerahnya (Pasal 3 Ayat (1).
2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil.
3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No.
43 Tahun 1999).
4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di daerahnya dan Pegawai
Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda
Tingkat I (I/b) sampai dengan Penata Tingkat I (III/d).
5. Mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dengan
persetujuan DPRD untuk mendapat ijin Gubernur (Pasal 14 Ayat (1) PP No. 9
Tahun 2003).
6. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil dalam jabatan struktural eselon II.
7. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri
Sipil dalam jabatan struktural eselon III ke bawah di lingkungan pemerintah
Kabupaten/Kota.
Sebagai pejabat negara Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari
jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I,
jabatan fungsional jenjang utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan
pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, pemberhentian sementara dari
jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I
di lingkungan pemerintah daerah propinsi. (pasal 18 PP No. 9 Tahun 2003).
Kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian diarahkan untuk menjamin
terselenggaranya tugas pemerintahan dan pembangunan secara berhasil guna dan
78
berdaya guna, tugas yang paling penting bagi Pejabat Pembina Kepegawaian adalah
harus mampu menjalankan manajemen kepegawaian dengan baik sehingga dapat
menciptakan sumber saya manusia yang baik, bermutu, memiliki ketrampilan bekerja
sehingga kompetisi yang baik dalam lingkungan kerja dapat terwujud dan tercipta
iklim kerja yang serasi, seimbang, guna menjamin kesejahteraan Pegawai.
Pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian baik pusat maupun daerah adalah :
1. Penetapan formasi dan pengadaan pegawai untuk mengisi formasi
yang kosong.
2. Kepangkatan, jabatan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil, dan
pengangkatan jabatan struktural serta pemberhentian pegawai.
3. Sumpah jabatan, kode etik dan peraturan disiplin pegawai.
4. Pendidikan dan pelatihan (diklat)
5. Kesejahteraan
6. Penghargaan70
Dari uraian dalam bab ini dapat dipahami bahwa istilah pegawai atau
tenaga kerja yang disebut human resources adalah manusia dalam usia
kerja (working ages) yang mampu menyelenggarakan pekerjaan fisik
ataupun mental. Pegawai sebagai personal administration artinya bahwa
70
Sastra Djatmika dan Marsono, 1985, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, yogyakarta, hlm
52
79
ada beberapa golongan masyarakat yang penghidupannya dilakukan dengan
bekerja pada kesatuan organisatorisnya yang salah satunya merupakan
kesatuan kerja pemerintahan guna mendapatkan imbalan berupa gaji untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Pegawai Negeri maupun Tenaga Honorer
harus berasal dari SDM yang baik guna mewujudkan negara maju dan
pemerintahan yang baik.
Pejabat Pembina Kepegawaian memiliki peranan penting dalam pengelolaan
aparaturnya karena, Pejabat Pembina Kepegawaian yang berhak untuk melakukan
manajemen kepegawaian, Pejabat Pembina Kepegawaian berhak untuk mengangkat,
memindahkan dan memberhentikan pegawai baik berstatus pegawai negeri maupun
tidak berstatus sebagai pegawai negeri, untuk mendapatkan SDM yang baik maka
Pejabat Pembina Kepegawaian harus mentaati peraturan
yang ada tidak
mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadi di dalam perekrutan pegawai.
Pegawai Negeri adalah mereka yang bekerja pada instansi pemerintah, diangkat
berdasarkan Surat Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang serta mendapatkan gaji dari
anggaran pendapatan belanja negara maupun daerah, selain itu mereka berhak atas
hak-hak yang telah diatur oleh Undang-Undang seperti hak untuk cuti, hak untuk
mendapatkan uang pensiunan serta penghargaan lain berupa kenaikan pangkat sesuai
dengan masa pengabdian, sedangkan pegawai yang bukan berstatus Pegawai Negeri
baik itu tenaga honorer, kontrak, pegawai tidak tetap adalah mereka yang diangkat
oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau Kepala Instansi yang digaji berdasarkan
80
anggaran daerah tidak mendapatkan kenaikan pangkat, tidak mendapatkan uang
pensiunan dan bekerja sesuai dengan lamanya perjanjian kerja yang telah disepakati
bersama.
Penggunaan istilah yang berbeda untuk menyebutkan mereka yang berstatus
bukan Pegawai Negeri menimbulkan arti yang berbeda-beda di masyarakat oleh
sebab itu menurut hemat penulis bahwa penggunaan istilah tenaga honorer, tenaga
kontrak maupun pegawai tidak tetap harus diseragamkan agar tidak menimbulkan
multitafsir sehingga kepastian hukum tetap terjaga.
81
BAB III
PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI CALON PEGAWAI
NEGERI SIPIL
Dalam bab ini akan dibahas mengenai hal-hal penting tentang peraturan
tenaga honorer diantaranya
Pokok-Pokok Kepegawaian, Pengangkatan Tenaga
Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pedoman Pendataan Dan Pengolahan
Tenaga Honorer Tahun 2005, Pedoman Audit Tenaga Honorer, Pendataan Tenaga
Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Selain itu pada bab ini
dibahas juga mengenai mekanisme pengangkatan tenaga honorer, tidak semua tenaga
honorer dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri, kedudukan tenaga honorer yang
tidak dapat diangkat menjadi PNS akan tetap berstatus sebagai tenaga honorer.
1. Pengaturan Tenaga Honorer
Peraturan tenaga honorer dapat dilihat pada Undang-Undang Pokok
Kepegawaian yaitu UU No.43 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005
tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil,
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005, Peraturan Kepala BKN No.
15 Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer, serta Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang
Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah.
82
UU No. 43 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa selain
Pegawai Negeri Sipil, Pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak
tetap, ini artinya bahwa pejabat pembina kepegawaian tidak hanya mempunyai
kewenangan untuk mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan UU
No. 43 tahun 1999 tetapi juga berhak mengangkat pegawai tidak tetap, tujuannya
adalah untuk memenuhi kekurangan sumber daya manusia pada setiap instansi yang
membutuhkan. Pengaturan mengenai honorer ini kemudian diperjelas dengan
dikeluarkannya PP No. 48 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan PP No. 43
Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005
Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Pada Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Honorer mengatur
mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil,
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah. Perubahan PP
48 Tahun 2005 ke PP No. 43 Tahun 2007 dapat dilihat pada :
1. Pasal 3 pada PP No. 48 Pasal 3 ayat (1) pengangkatan tenaga honorer menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil diprioritaskan pada : tenaga guru, tenaga
kesehatan, tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan dan peternakan dan
tenaga teknis lainnya yang dibutuhkan pemerintah. Sedangkan pada PP No.
43 Tahun 2007 diubah menjadi, tenaga honorer yang diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil adalah : tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh
83
di bidang pertanian, perikanan, peternakan, tenaga teknis lainnya yang sangat
dibutuhkan pemerintah.
Pasal 3 ayat (2) PP No. 48 Tahun 2005 : Pengangkatan tenaga honorer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada usia dan masa kerja
sebagai berikut :
a) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam)
tahun dan mempunyai masa kerja 20 (dua puluh) tahun atau lebih
secara terus menerus.
b) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam)
tahun dan mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun atau lebih
sampai dengan kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara terus
menerus.
c) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 40 (empat puluh) tahun dan
mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih sampai dengan
kurang dari 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus.
d) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun
dan mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih sampai dengan
kurang dari 5 (lima) tahun secara terus menerus.
Pasal 3 ayat (2) dan (3) PP No. 43 Tahun 2007 :
Ayat (2) Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada:
84
a) usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19
(sembilan belas) tahun; dan
b) masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun secara
terus menerus.
Ayat (3) Masa kerja terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b tidak berlaku bagi dokter yang telah selesai menjalani masa bakti
sebagai pegawai tidak tetap.
2. Pasal 4 PP No 48 Tahun 2005 : pengangkatan tenaga honorer dilakukan
melalui tes administasi, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi.
Selain itu tenaga honorer juga wajib mengisi/menjawab daftar pertanyaan
mengenai pengetahuan tata pemerintahan /kepemimpinan yang baik,
pengangkatan tenaga honorer ini mengutamakan yang berusia paling
tinggi atau masa kerja lebih banyak. Sedangkan pada Pasal 4 PP No. 43
Tahun 2007 : bahwa pengangkatan tenaga honorer hanya melalui tes
administrasi tanpa dijelaskan apa yang dimaksud dengan tes administasi,
pengangkatan tenaga honorer di prioritaskan bagi mereka yang
mempunyai masa kerja lebih dari lama atau yang menjelang usia 46 tahun
(batas usia disebutkan dengan jelas).
3. Ketentuan Pasal 10 PP No. 48 Tahun 2005 mengenai materi tes honorer
dihapus pada PP No. 43 Tahun 2007.
4. Pasal 11 PP No. 48 Tahun 2005 mengenai biaya pelaksanaan
pengangkatan tenaga honorer dibebankan kepada APBN sedangkan pada
85
Pasal 11 PP No 43 Tahun 2005 biaya pengangkatan dibebankan pada
APBN apabila pada instansi pusat dan APBD apabila pada instansi
daerah.
Dalam bab I halaman 4 telah diuraikan bahwa pada PP No. 48 Tahun 2005
pada Pasal 8 yang menyatakan :
“Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat Pembina
Kepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarang
mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah”.
Dari peraturan tentang tenaga honorer tersebut mengatur tentang larangan
adanya pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, namun setelah tahun 2005
muncul Surat Keputusan kepala instansi dan kepala daerah yang mengangkat tenaga
honorer, dalam hal ini terjadi pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah
dengan Surat Keputusan kepala instansi dan kepala daerah, hal ini telah diuraikan
sebelumnya pada bab I halaman 32 tentang teori penjenjangan norma, dimana aturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Jenjang
Perundang-undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada
Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan berwenang yang
membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-Undang juga dibedakan
dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan
hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang yang lebih tinggi71.
71
Soeroso, Loc Cit
86
Peraturan lain yang mengatur masalah tenaga honorer adalah Peraturan
Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan
dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Pedoman pendataan dan pengolahan
tenaga honorer ini bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan pendataan dan
pengolahan tenaga honorer. Selain itu dikeluarkan juga Surat Edaran Menteri
Pendayagunaan Apa`ratur Negara No. 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga
Honorer Yang Berkerja Di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Peraturan lain adalah dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Kepegawaian
Daerah Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer, tujuan dari
dikeluarkannya Peraturan BKN ini, karena dari hasil penelitian lapangan yang
dilakukan pada beberapa Provinsi/Kabupaten/Kota ditemukan pengangkatan tenaga
honorer oleh Pejabat Pembina Kepegawaian secara fiktif dan untuk lebih menjamin
akurasi data tenaga honorer, baik yang telah maupun yang akan diangkat menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil perlu dilakukan audit tenaga honorer secara menyeluruh
pada instansi pemerintah.
Seperti yang dinyatakan oleh Neil Hawke pada uraian bab II halaman 43
menyatakan “Administrative law deals with the legal control of government and
related administrative powers”72 It has been seen that the essential task of
administrative law is to provide a legal control in relation to the exercise of
72
Neil Hawke, Loc Cit.
87
administrative powers conferred on various administrative agencies for all sorts of
different purposes,73. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa adanya hukum
administrasi ini adalah untuk mengetahui kewenangan pemerintah serta batasan dari
kewenangan tersebut agar kewenangan pemerintah tidak menjadi kekuasaan yang
tidak terbatas, seperti misalnya kewenangan diskresi, walaupun pemerintah memiliki
kewenangan diskresi untuk menentang peraturan yang ada tetapi ada batasan terhadap
kewenangan diskresi, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi pemerintah agar dapat
melakukan discretion of power, hal ini sesuai dengan penjelasan pada Bab I halaman
24-27.
Menurut hemat penulis, ketentuan mengenai kewenangan harus diperhatikan
oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya mengemban PP No. 48 Tahun
2005, yang secara jelas melarang adanya pengangkatan pegawai di luar dari PNS
setelah tahun 2005, sehingga dapat mencegah penyalahgunaan wewenang dalam
pengangkatan tenaga honorer tersebut dan pengangkatan tenaga honorer tidak
dilandasi faktor kolusi yaitu permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum
antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara (Pasal 1 angka 4 UU No. 28
Tahun 1999) dan nepotisme yaitu setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di
73
Ibid, hlm 14
88
atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 angka 5 UU No. 28 Tahun
1999). Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap Sumber Daya Manusia yang
dihasilkan, semakin baik memilih Sumber Daya Manusia untuk menjalankan
pemerintahan maka semakin baik pula pemerintahan yang dihasilkan sehingga
nantinya dapat mewujudkan clean government and good governance.
2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil
Berdasarkan Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005, Pengangkatan
tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk menyelesaikan
masalah pegawai honorer yang berprestasi, berdedikasi, bekerja terus-menerus dan
dibiayai oleh APBN/APBD. Pengangkatan tenaga honorer dilakukan secara bertahap
mulai tahun anggaran 2005 dan paling lambat tahun anggaran 2009. Pengangkatan
yang dilakukan harus sangat teliti mengingat ini merupakan hal yang sangat sensitif
sehingga diperlukan kecermatan dari pemerintah pusat.
Teliti artinya adalah pemerintah dalam melakukan pengangkatan dari tenaga
honorer ke Calon Pegawai Negeri Sipil harus sangat hati-hati, cermat, dan seksama
dalam memeriksa berkas-berkas sebagai syarat dari tenaga honorer untuk dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, mengingat semua tenaga honorer
memiliki keinginan untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sehingga
berbagai cara dapat dilakukan agar nama mereka dapat lebih dulu diangkat dari pada
nama yang lainnya, mulai dari pemalsuan berkas, bermain curang dengan
mengedepankan orang penting/pejabat dapat dilakukan bagi mereka yang ingin
89
segera diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, segala cara dapat dilakukan
untuk mendapatkan keuntungan.
Dengan berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, salah
satunya yaitu Asas Kecermatan, menjadi dasar pelaksanaan oleh Pemerintah dalam
melakukan pemeriksaan berkas tenaga honorer harus secara cermat dan tegas, agar
tidak terpengaruh dan tetap pada aturan hukum yang telah ditentukan karena tindakan
pemerintah harus berdasarkan asas legalitas untuk menciptakan keadilan, seperti yang
dijelaskan pada bab I halaman 17 mengenai legalitas.
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar
dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap
tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum. Dengan penerapan asas
legalitas ini oleh pemerintah, maka tindakan yang dilakukan akan jelas dan memiliki
kepastian hukum karena asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah
sehingga persamaan perlakuan pada setiap orang terutama pegawai, baik itu yang
berstatus pegawai negeri maupun pegawai honorer akan terwujud sehingga hak asasi
mereka sebagai pegawai akan terjaga.
Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
dilaksanakan secara objektif artinya pengangkatan ini dilakukan secara benar tanpa
dipengaruhi oleh pendapat atau pandangan secara pribadi atau oleh orang lain, harus
dilaksanakan berdasarkan atas syarat-syarat yang telah ditentukan, serta tidak
membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan atau daerah sehingga akan
90
diperoleh Calon Pegawai Negeri Sipil yang professional, jujur,bertanggung jawab,
netral, dan memiliki kompetensi sesuai dengan tugas/jabatan yang akan diduduki.
Dengan adanya PP No 48 Tahun 2005 yang melarang adanya pengangkatan
tenaga honorer setelah tahun 2005 maka instansi pusat ataupun pemerintah daerah
tidak diperkenankan lagi untuk mengangkat tenaga honorer dengan alasan apapun
(huruf A angka 1d Peraturan BKN No. 21 Tahun 2005). Namun kenyataannya masih
ada pegawai honorer yang diangkat sampai dengan tahun 2012 dan status mereka
akan tetap menjadi tenaga honorer sampai adanya peraturan baru yang mengganti
bunyi pasal 8 PP No. 48 tahun 2005.
Jumlah tenaga honorer yang ada di daerah seperti pada Pemerintah Daerah
Kabupaten Badung sejumlah 2235 yang masuk dalam data base menjadi data final
yang mendasar pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil oleh pemerintah yang
akan diselesaikan sampai dengan tahun 2009, bagi tenaga honorer yang namanya
tidak masuk dalam data base karena pengangkatannya diatas tahun 2005, maka
mereka akan tetap sebagai tenaga honorer.
Kebijakan pemerintah tahun 2005 sampai tahun 2009 adalah menyelesaikan
tenaga honorer yang telah masuk ke dalam data base, menurut Widjaja pengangkatan
ini bertujuan untuk memberantas KKN74.
74
Widjaja,2005, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm
66.
91
Oleh sebab itu menurut hemat penulis ada beberapa hal penting berkaitan
dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dibatasi
oleh pemerintah pusat sejak 2005 dan Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat
menyelesaikan pengangkatan tersebut sampai tahun 2009 yaitu :
1.
Mempercepat pemberantasan KKN serta peningkatan kualitas
pelayanan publik artinya pada era reformasi ini banyak terjadi perubahan
ditatanan nasional negara, perubahan yang sangat menonjol adalah keinginan
rakyat agar pemerintahan diselenggarakan secara baik, transparan dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga aparatur negara harus
membebaskan diri dari keterikatan pada salah satu partai politik yang
memerintah pemerintah (netral).
Aparatur negara harus menanamkan jiwa pengabdian kepada bangsa,
negara dan pemerintah sebagai abdi masyarakat dan abdi negara, untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik maka produktivitas aparatur selain
diukur dengan kinerja pelaksanaan tugas jabatan atau pekerjaan juga perlu
diukur dengan manfaat dan dampaknya dalam masyarakat baik dalam
pemberian pelayanan maupun dari kegiatan pengelolaan kebijakan yang
harus dilakukan masing-masing.
Dengan jiwa pengabdian akan menyentuh etika publik dan
akuntabilitas publik dan kredibilitas aparat dalam pengelolaan kebijakan
dengan memperhatikan kemungkinan pelaksanaan prinsip reinventing yang
92
menekankan system intervensi lebih baik mensetir daripada mendayung
ataupun dalam pemberian pelayanan prima.
2.
Peningkatan aparatur artinya tantangan yang dihadapi manajemen
pemerintahan pada kenyataaan pada saat ini adalah kualitas pelayanan publik
yang masih rendah, pola perencanaan dan pengukuran kinerja yang belum
terstruktur dengan baik, kebocoran anggaran, tingginya tingkat korupsi dan
buruknya
birokrasi
karena
belum
diterapkan
prinsip-prinsip
good
governance, masalah korupsi terkait erat dengan buruknya birokrasi.
Sistem pengawasan baik internal maupun eksternal belum mantap
serta hubungan keduanya belum jelas. Pada aspek Sumber Daya Manusia
aparatur, profesionalisme dan manejemen kepegawaian masih merupakan
masalah. Hal itu dapat dilihat belum optimalnya adopsi dan aplikasi
manajemen sumber daya manusia aparatur yang berbasis kompetensi.
Fakta yang memprihatinkan adalah belum banyak dirumuskan standar
kompetensi yaitu kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara
konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang dimiliki oleh seorang pegawai.
Selain kompetensi, tantangan pada sumber daya manusia aparatur
juga meliputi jumlah dan distribusi menurut lembaga dan daerah. Penataan
perlu dilakukan
untuk mewujudkan jumlah/komposisi yang tepat sesuai
dengan kebutuhan baik dari sisi internal maupun eksternal pemerintah
93
sehingga pemerataan pegawai dapat terwujud untuk optimalnya pelayanan
kepada masyarakat.
3.
Menyelesaikan masalah tenaga honorer artinya banyak tenaga honorer
yang mengabdi dalam rentan waktu yang cukup lama, mereka mengabdikan
dirinya untuk negara walaupun mendapatkan upah yang kecil, banyak
diantara mereka yang berdedikasi tinggi, berprestasi, namun memiliki tingkat
kesejahteraan yang masih kurang, oleh sebab itu negara memberikan
perhatian untuk meningkatkan taraf hidup mereka menjadi lebih baik dengan
melakukan pendataan untuk dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2007 yang merupakan perubahan atas PP No.
48 Tahun 2005 mengatur bahwa pengangkatan honorer menjadi CPNS diprioritaskan
bagi tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan,
peternakan serta tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Tenaga honorer dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PP No. 48 tahun 2005,
tenaga honorer harus melewati beberapa tahapan administrasi sebelum dapat
dinyatakan memenuhi syarat atau tidak untuk diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil hal ini sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang didukung oleh
beberapa peraturan tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil.
Pelaksanaan pendataan tenaga honorer dan pengolahannya dilakukan di
daerah dengan dikoordinasikan oleh Gubernur dan data yang sudah diolah kemudian
94
disampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (yang selanjutnya
disebut MENPAN) dan Badan Kepegawaian Negara (yang selanjutnya disebut
BKN).
Berdasarkan kriteria tentang tenaga honorer maka dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut :
1. Batas usia untuk dapat masuk ke dalam data base adalah berusia paling
tinggi 46 tahun dan paling rendah 19 tahun pada 1 Januari 2006.
2. Memiliki masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit satu tahun
secara terus – menerus dan tidak terputus pada 31 Desember 2005. (diatur
pada Pasal 3 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2007)
3. Surat Keputusan pengangkatan tenaga honorer harus diangkat oleh pejabat
yang berwenang, pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai
kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai
negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat
yang berwenang di propinsi adalah Gubernur dan pejabat berwenang di
Kabupaten adalah Bupati.
Setelah memenuhi syarat adminitrasi sebagaimana disebutkan pada halaman diatas
maka akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Batching yaitu kegiatan mengelompokkan formulir pendataan tenaga
honorer 2005 yang telah diisi dengan jumlah tertentu dalam satu bandle.
2.
Editing yaitu kegiatan memeriksa isian formulir pendataan tenaga
honorer 2005 dan memberikan tanda edit pada isian yang akan di rekam.
95
3.
Coding yaitu kegiatan memberi kode untuk isian uraian formulir
pendataan tenaga honorer 2005.
4.
Setelah itu maka tenaga honorer akan masuk nama-namanya ke dalam
data base. Data base adalah kumpulan data tenaga honorer dari berbagai
instansi pemerintah yang telah tercatat di BKN dan mendapatkan nomor
induk tenaga honorer (NITH).
5.
Dilakukan verifikasi yaitu kegiatan memeriksa kembali kesesuaian daftar
tenaga honorer tahun 2005 yang dicetak dari database dengan daftar
tenaga honorer tahun 2005 yang diusulkan.
6.
Validasi yaitu kegiatan membandingkan antara isian dalam formulir
pendataan tenaga honorer 2005 dengan data yang ada dalam database file
apakah sama atau tidak dengan program atau secara manual.
Pendataan dan verifikasi tenaga honorer dilakukan oleh BKN, karena BKN
bertugas menyelenggarakan menajemen Pegawai Negeri Sipil yang berupa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
75
Perencanaan kepegawaian
Pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil
Administrasi kepegawaian
Pengawasan dan pengendalian
Penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian
Mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil
Memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani
kepegawaian pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah75.
Sri Hartati,Op Cit,hlm 25
96
Tujuan verifikasi dan validasi adalah untuk mendapatkan kebenaran formal
dan material atas kedudukan dan keberadaan tenaga honorer, mendapatkan data riil
yang dibayarkan dari APBN/APBD dan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan
nepotisme. Kegiatan pengecekan ini dibentuk anggota tim verifikasi dan validasi
yang terdiri dari : BKN,
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (yang
selanjutnya disebut BPKP), Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi yang didampingi oleh pejabat inspektorat dan biro
kepegawaian/BKD serta tim pendataan tenaga honorer dari masing-masing instansi.
Audit adalah kegiatan mengumpulkan informasi factual dan signifikan
melalui proses interaksi secara sistematis, objektif, dan terdokumentasi yangt
berorientasi pada asas nilai manfaat.
Tim pemeriksa akan mengecek :
1. Surat
Keputusan
pengangkatan
pertama
tenaga
tenaga
honorer
honorer,
dilakukan
memeriksa
oleh
Pejabat
apakah
Pembina
Kepegawaian atau pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dan
melaksanakan tugas di lingkungan instansi pemerintah.
2. Bukti aktif bekerja secara terus-menerus
3. Pengecekan pada dokumen berupa :

DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja) : dokumen anggaran yang
berisi pendapatan dan belanja setiap perangkat daerah yang
digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran.
97

SPM (Surat Perintah Membayar) : dokumen yang digunakan oleh
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk mencairkan
dana yang bersumber dan DASK.

SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) : dokumen yang dibuat oleh
pengguna anggaran untuk mempertanggungjawabkan uang yang
digunakan yang bersumber dari APBN/APBD.
4. Cek fisik keberadaan tenaga honorer
5. Daftar absensi
6. Dokumen – dokumen lain yang dibutuhkan (sumber : Pedoman Audit
Tenaga Honorer, Peraturan Kepala BKN No. 15 Tahun 2008).
Berdasarkan langkah-langkah sebagaimana diuraikan, maka dilakukan
pengecekan oleh tim audit untuk melakukan wawancara langsung terhadap tenaga
honorer dan Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang menandatangani
Surat Keputusan Pengangkatan Tenaga Honorer, kemudian laporan hasil audit akan
ditandatangani oleh seluruh anggota Tim diketahui oleh Kepala BKD, Inpektur
Inspektorat Propinsi/Kabupaten/Kota.
Hasil verifikasi dan validasi tenaga honorer dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam proses pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil, jika tidak memenuhi maka dinyatakan tidak dapat dipertimbangkan.
Tenaga honorer yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah memalsu atau
memberikan data dan keterangan yang tidak benar dalam proses pendataan dan
98
pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dikenakan sanksi pemberhentian
tidak dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri Sipil.
3. Kedudukan Tenaga Honorer
Kedudukan adalah tempat atau posisi, martabat atau tingkat orang, atau status
pegawai untuk melakukan pekerjaan atau jabatan.
Tenaga honorer adalah mereka yang diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian atau Kepala instansi yang terkait untuk menjalankan tugas-tugas
tertentu pada instansi pemerintah, tenaga honorer ini tidak berstatus sebagai PNS,
mereka diangkat dengan alasan untuk memenuhi kekurangan jumlah pegawai pada
instansi di pemerintah daerah.
Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengangkat pegawai
honorer di daerahnya sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mengatur urusan aparatur daerahnya berdasarkan asas desentralisasi.
Desentralisasi berasal dari bahasa latin “de” yang berarti lepas dan “centrum”
yang artinya pusat, desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi sebab kata “de”
untuk menolak kata sebelumnya. Menurut Joeniarto asas desentralisasi adalah asas
yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah
lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga
sendiri yang biasanya disebut swatantra atau otonomi.76
76
Pipin syarifin, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, hlm 89.
99
Hazairin menyatakan desentralisasi adalah “suatu cara pemerintahan yang
sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah pusat diserahkan kepada
kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerah-daerah dalam Negara
sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan sendiri”.77 Dari sudut
ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah “pelimpahan kekuasaan
pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya
sendiri”.78
Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah “penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”79. Kemantapan penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah sampai kelurahan/desa
berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan pengaturan prinsip
negara kesatuan dan desentralisasi80.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :
77
Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45.
78
Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm 38.
79
Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm.7
80
Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan
RI, Prestasi Pustaka,hlm 266.
100
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dari pendapat para sarjana di atas setiap pengertian desentralisasi terdapat
kata penyerahan yang merupakan sifat pemberian kewenangan kepada daerah otonom
untuk menjalankan segala kebijaksanaan, perencanaan dan pembiayaan
namun
sebagai negara kesatuan kewenangan daerah penerima otonom tersebut tidak serta
merta lepas dari pemerintah pusat karena kewenangan tertinggi tetap berada pada
pemerintah pusat hal ini dilakukan agar kesatuan bangsa tetap terjaga dan prinsip
negara kesatuan tetap dipegang teguh oleh setiap daerah.
Penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, berupa
wewenang delegasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya
penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada
pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans)
kepada yang menerima delegasi (delegataris) dalam penyelenggaraan pemerintah
tidak boleh mengingkari makna Negara kesatuan.
Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia
sehingga setiap peraturan yang dibuat harus sesuai dengan peraturan yang ada
diatasnya dan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat tidak boleh melebihi
101
kewenangan yang diberikan pemerintah pusat tersebut. Seperti yang diungkapkan
oleh Siswanto dalam bukunya hukum Pemerintah Daerah di Indonesia menyatakan :
“Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang,
kewajiban dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan
antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah
lainnya. Kebijakan daerah yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum serta
peraturan daerah lainnya”81.
Dengan berdasarkan pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan
bahwa pemerintah daerah berhak untuk mengelola aparatur daerahnya khususnya
masalah kepegawaian baik itu PNS maupun yang bukan PNS. Pengelolaan
kepegawaian khususnya pegawai yang bukan berstatus sebagai PNS menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah berdasarkan asas desentralisasi dan kewenangan
delegasi yang diberikan oleh pemerintah pusat, selama pelaksanaannya tidak
menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi.
Permasalahan yang menarik untuk penulis bahas adalah dengan adanya
kewenangan delegasi yang dimiliki Pemerintah Daerah untuk mengangkat tenaga
honorer, sampai sekarang masih ada pengangkatan tenaga honorer, padalah sesuai
dengan ketentuan PP No. 48 Tahun 2005 sudah ada larangan untuk mengangkat
tenaga honorer, tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil adalah mereka yang telah memiliki masa kerja minimal 1 tahun per tahun 2005,
81
Siswanto, Loc cit, hlm 39.
102
sehingga bagi tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tidak dapat diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, tenaga honorer yang diangkat setelah tahun
2005 akan tetap berkedudukan sebagai tenaga honorer selama belum ada peraturan
yang mengaturnya.
Hal ini memang menimbulkan kerugian kepada tenaga honorer tersebut
karena disatu sisi pengangkatan terhadap tenaga honorer, kontrak, PTT masih tetap
dilakukan oleh pemerintah dengan Surat Keputusan Kepala Instansi maupun surat
Kepala Daerah, padahal sudah ada larangan dari PP. No 48 Tahun 2005, tindakan
pemerintah ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam bidang kepegawaian,
sedangkan tindakan pemerintah seharusnya berdasarkan pada asas legalitas yang
memiliki kepastian hukum.
Selain itu juga dampak negatif yang diakibatkan dari adanya pengangkatan
tenaga honorer ini adalah besarnya jumlah belanja pegawai yang harus dikeluarkan
oleh daerah karena dipergunakan untuk membayar gaji pegawai khususnya bagi
tenaga honorer, karena pembayaran tenaga honorer diambil melalui APBD, hal ini
dapat mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan daerah karena dana yang
tersedia dipergunakan untuk menutupi belanja pegawai yang besar, ini akan
menimbulkan kerugian bagi daerah itu sendiri.
Dalam muatan penyusunan peraturan maupun kebijakan harus memenuhi
beberapa asas, salah satunya adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum. Asas
keadilan yang dimaksud adalah bahwa setiap materi Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali,
103
sedangkan asas kepastian hukum yang dimaksud adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
dapat
menimbulkan
ketertiban
dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.82
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila83.
Sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem konstitusional yaitu pemerintahan
berdasarkan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan tidak
terbatas)84. Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan
tetapi dituntut untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan
rakyat. Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum
harus ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan
yang tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila
melanggar hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah dalam mengangkat tenaga honorer, tidak boleh bertentangan dengan apa yang
sudah diberikan oleh pemerintah pusat, apabila ketentuan dalam PP No. 48 Tahun
2005 itu melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 seharusnya
82
Pipin Syarifin, Op cit, hlm 18
83
Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia,
Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11.
84
Bachsan Mustaa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm 178,
104
pemerintah daerah tidak melakukan pengangkatan lagi, hal ini untuk menjaga
kesatuan bangsa.
Pemerintah Daerah seharusnya memperhatikan asas legalitas
yang
merupakan salah satu prinsip utama dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan
Negara, secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan dianut setiap
Negara hukum. Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan
yang dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas
menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada
setiap orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun
pegawai honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan
terjaga.
Dengan berpedoman pada peraturan maka kepastian hukum akan terwujud
karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
pemerintah dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu. Tindakan pemerintah
transparan tanpa ada yang ditutupi. Dengan melihat pada peraturan-peraturan yang
berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang akan dilakukan
pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan. Dengan
tindakan pemerintah yang sesuai dengan asas legalitas yang otomatis akan
memberikan suatu kepastian hukum pada pegawai, maka Hak Asasi Manusia
khususnya pegawai baik itu PNS maupun bukan berstatus PNS akan dapat
terlindungi.
105
Setiap manusia berhak atas pekerjaan, penghidupan yang layak, dihargai
dengan diperlakukan secara adil dalam kehidupannya, karena manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan memiliki Hak Asasi yang harus dihormati oleh siapa saja.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa bersama
dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi
Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan oleh
karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung tinggi
dan melindungi HAM85. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak akan
terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam
mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap HAM dalam kepegawaian.
Tenaga honorer yang tidak masuk dalam data base karena tidak memenuhi
syarat dan tidak sesuai dengan ketentuan dari PP No. 48 Tahun 2005, dimana
pengangkatannya setelah tahun 2005 maka kedudukannya akan tetap sebagai tenaga
honorer sampai batas waktu pengabdiannya berakhir kepada daerah dimana mereka
bekerja dan tidak dapat menuntut untuk dapat diangkat menjadi PNS karena
pengangkatannya sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tenaga honorer dapat diangkat
menjadi CPNS apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam PP No. 48 Tahun 2005,
serta Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005, setelah memenuhi syarat maka
85
Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176.
106
nama tenaga honorer akan masuk ke dalam data base yang kemudian akan diseleksi
untuk dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Setelah mereka
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk dapat menjadi PNS
dibutuhkan waktu maksimal 2 Tahun masa percobaan sesuai dengan UU No. 43
Tahun 1999 yang dijabarkan pada PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai
Negeri Sipil, Pasal 14 yaitu Calon Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat
menjadi Pegawai Negeri Sipil harus memiliki prestasi kerja yang bernilai baik, sehat
jasmani dan rohani, serta telah lulus pada diklat prajabatan.
Tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 namanya tidak dapat
masuk ke dalam data base sehingga mereka tetap berkedudukan sebagai tenaga
honorer dan tidak bisa menuntut untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil karena
pengangkatan sebagai honorer tidak memenuhi ketentuan dari PP No. 48 Tahun
2005.
107
BAB IV
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP TENAGA
HONORER
Pada bab IV ini akan dibahas mengenai tanggung jawab yang diberikan oleh
pemerintah secara preventif untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer dan
membahas peraturan penyelesaian sengketa tenaga honorer.
1.
Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah Secara
Preventif
Penyelesaian masalah tenaga honorer secara preventif dalam bagian ini
mengenai tindakan pemerintah dalam hal ini Bupati Badung dalam mengeluarkan
keputusan perlu dilakukan secara cermat, sehingga keputusan yang dikeluarkan itu
tidak menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam kaitan
dengan pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 merupakan tindakan illegal
karena tidak memenuhi ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Untuk itu dalam membuat keputusan, pemerintah daerah senantiasa harus
berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan menjadikan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai pedoman dalam menetapkan
keputusan penerimaan tenaga honorer.
Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tulisan ini sangat
penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi
108
secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu
antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan
oleh kepala daerah maupun kepala instansi.
Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara
satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik
norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam
Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain.
Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkanlah suatu teori yang disebut Stufenbau
Theorie.
Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.
Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada
norma yang lebih tinggi.86 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat
norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara
ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi
validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan antara norma yang
mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi dan subordinasi.
86
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83.
109
Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi
sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang lebih rendah.87
Jenjang
Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada
Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang yang
membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-Undang juga dibedakan
dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan
hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.88
Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian
dengan menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi:
a. Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya.
b. Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang bersifat umum (general).
c. Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang
baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang
lama.89
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati maupun Kepala
Instansi di Daerah secara jelas melanggar dan bertentangan dengan PP No.
87
Hans Kelsen, Op cit, hlm 179
88
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131
89
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7.
110
48 tahun 2005, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang
dipergunakan adalah
lex superior derogat legi inferiori yang artinya dengan
sistem piramida, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan
peraturan
yang
lebih
tinggi,
peraturan
yang
lebih
tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang berdasarkan
sifatnya menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah
adalah keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah yang bersifat
sepihak, dikatakan sepihak karena tindakan pemerintah tersebut tergantung pada
kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada pihak lain dan tidak
diharuskan ada persesuaian kehendak dengan pihak lain.
Keputusan dan ketetapan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya
pelanggaran hukum terhadap warga Negara, oleh sebab itu diperlukan perlindungan
hukum bagi warga Negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Terlebih lagi
pemerintah memiliki kewenangan Freies Ermessen, pemberian wewenang ini
bertujuan agar ada suatu relaksasi dari kekakuan legislasi namun kewenangan ini
dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh
pemerintah.
Tindakan yang dilakukan pemerintah dengan mengangkat pegawai diluar
ketentuan PP No. 48 Tahun 2005 dapat digugat karena sudah menimbulkan kerugian
bagi pegawai yang diangkat karena disatu sisi tenaga mereka dibutuhkan untuk
111
bekerja di instansi pemerintah tetapi tidak ada jaminan hari tua maupun jaminan
kesejahteraan kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004
tentang PTUN mengatur tentang badan atau badan hukum perdata dapat menuntut
ganti rugi terhadap pemerintah atas kerugian yang dialami karena keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku.
Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas
hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas
legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan
oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat
pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah
keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.
Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut :
1. Perbuatan Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun
sebagai alat perlengkapan pemerintahan
2. Perbuatan
tersebut
dilaksanakan
dalam
rangka
menjalankan
fungsi
pemerintahan.
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.
112
Tindakan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum khususnya
dalam hal menimbulkan kerugian kepada masyarakat dibutuhkan adanya
suatu tanggung jawab oleh pemerintah.
Pertanggungjawaban berasal dari tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (jika ada sesuatu hal, dapat dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan). Tanggung Jawab Pemerintahan adalah kewajiban penataan hukum
(compulsory compliance) dari negara atau pemerintah atau pejabat pemerintah atau
pejabat lain yang menjalankan fungsi pemerintahan sebagai akibat adanya suatu
keberatan, gugatan, judicial review, yang diajukan oleh seseorang, masyarakat, badan
hukum perdata baik melalui penyelesaian pengadilan atau di luar pengadilan untuk
pemenuhan berupa:
1.
Pembayaran sejumlah uang (subsidi, ganti rugi, tunjangan, dsb)
2.
Menerbitkan atau membatalkan/mencabut suatu keputusan atau peraturan,
dan
3.
Tindakan-tindakan
lain
yang
merupakan
pemenuhan
kewajibannya,
misalnya untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif dan efisien.
Penyelesaian masalah tenaga honorer secara preventif bertujuan agar tercipta
kedamaian antara pemerintah dan pegawai, tanpa harus menempuh jalur pengadilan,
karena pemerintah dan aparaturnya harus mengedepankan asas kerukunan dalam
menjalankan pemerintahan agar tercipta hubungan yang serasi, harmonis.
113
Perlindungan hukum preventif adalah diberikannya kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Perlindungan hukum preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa90.
Bagi tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena
pengangkatannya diatas tahun 2005 dan telah menyalahi aturan pada PP No. 48 tahun
2005 maka tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam
memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya adalah : tidak melakukan
pengangkatan tenaga honorer, tenaga kontrak maupun pegawai tidak tetap lagi sesuai
dengan yang diamanatkan PP No. 48 tahun 2005, pemerintah memberikan jaminan
kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang
memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun
dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun
cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah, karena telah mengabdikan hidupnya
untuk bekerja dan bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih
tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan
kemampuan dari daerah masing-masing.
90
Titik Triwulan dan Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta, hlm 362.
114
Dengan dilakukannya hal tersebut maka fungsi pemerintah akan dapat
terwujud, pemerintah memiliki fungsi :
1. Fungsi pengaturan/fungsi regulasi adalah suatu fungsi untuk menciptakan
kondisi yang tepat sehingga menjadi kondusif bagi berlangsungnya
berbagai akitivitas selain terciptanya tatanan sosial yang baik diberbagai
kehidupan masyarakat.
2. Fungsi pelayanan akan menimbulkan kenyamanan dalam masyarakat.
3. Fungsi pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan
pembangunan terciptanya kemakmuran dalam masyarakat.
Salah satu peran pemerintah adalah melindungi wilayah, aparaturnya dari
segala bentuk penindasan, perlindungan adalah bentuk perbuatan untuk memberikan
tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa
aman terhadap ancaman sekitarnya91. Dengan berpedoman pada Asas-Asas Umum
Pemerintaha Yang Baik maka peran pemerintah ini akan dapat terlaksana.
Pemerintah adalah pelindung masyarakat, tempat untuk mengadu dan
mendapatkan solusi atas permasalahan yang ada, oleh sebab itu pemerintah harus
jujur, cermat dan teliti dalam mengambil setiap keputusan khususnya dalam hal
pengangkatan tenaga honorer agar tidak terjadi keuntungan pada awalnya namun
akhirnya menimbulkan kerugian terhadap pegawai honorer yang diangkat tersebut.
91
Lies Sulistiani, 2009, Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban,
Wahana Multiguna Mandiri, hlm.20.
115
government in the broader sense is charged with the maintenance of the peace and
security of the state within an without. it must therefore,have,first, military power or
the means of making laws: thirdly,financial,power or the ability to extract sufficient
money from the comunity to defray the cost of defending the state and of enforcing
the law it makes on the state behalf
92
(pemerintahan dalam arti luas dibebankan
dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara dengan atau tanpa, karena itu
pemerintah harus memiliki, pertama : kekuatan militer dalam arti membuat undangundang, kekuasaan dalam keuangan, untuk membiayai biaya membela negara dan
penegakan hukum).
2. Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer
Dalam setiap kehidupan bersama pasti akan muncul sengketa, demikian juga
hubungan antara pemerintah dan rakyat/aparaturnya. Namun dengan mengedepankan
asas kerukunan yang dipegang sebagai suatu prinsip tentunya sedapat mungkin
menghindari sengketa, jalan musyawarah ditempuh pertama kali dan diutamakan
dalam menyelesaikan masalah sebelum proses pengadilan yang merupakan jalan
terakhir dalam menyelesaikan konflik.
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian menyatakan bahwa pemerintah berperan dalam melaksanakan
92
C.F Strong, 1951, Modern Political Constitutions, Sidgwick and Jackson Limited, London, page
6.
116
manajemen
kepegawaian
yaitu
berupaya
meningkatkan
efisiensi,
efektivitas, derajat professional penyelenggaraan tugas, fungsi, kewajiban
dalam bidang kepegawaian, pemerintah juga berperan dalam perencanaan
pengadaan pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penempatan pegawai
serta promosi jabatan pegawai, memberikan gaji dan bertanggung jawab
atas kesejahteraan pegawai serta berperan dalam pemberhentian pegawai
baik karena pensiun, pelanggaran disiplin pegawai atau meninggal dalam
melaksanakan tugas negara.
Dalam melaksanakan perannya ini pemerintah harus berpedoman
kepada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik seperti yang telah
dijelaskan pada bab I halaman 30. Istilah asas umum pemerintahan yang baik
pertama diperkenalkan oleh De Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan
istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha
peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah93.
Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini diakui
dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara,
93
Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140.
117
keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam UU No. 32
Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan :
“Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum
penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
efisiensi, asas efektivitas”.
Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam suatu negara,
karena pemerintah yang akan memimpin rakyatnya untuk bersama-sama
membangun Negara, oleh sebab itu maka setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan atas hukum.
Hukum sebagai sarana atau instrument untuk mengatur hak dan kewajiban
subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya
dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Selain itu hukum juga
melindungi subjek hukum. Sudikno Mertokusomo mengatakan hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi
hukum harus dilaksanakan.
Hukum mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negaranya adalah hukum administrasi Negara atau hukum perdata. Pemerintah
memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari hukum publik dan sebagai
pejabat dari jabatan pemerintahan. Pada saat pemerintah melakukan tindakan hukum
dalam kapasitas sebagai wakil dari badan hukum tindakan tersebut diatur dan tunduk
118
pada ketentuan hukum keperdataan sedangkan pada saat pemerintah bertindak dalam
kapasitasnya sebagai pejabat tindakan itu diatur dan tunduk pada hukum administrasi
Negara.
Subjek hukum selaku pemikul hak dan kewajiban baik itu manusia, badan
hukum dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan dan
kewenangan yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat tindakan hukum ini akan
menimbulkan suatu hubungan hukum yang nantinya akan membawa akibat hukum.
Agar hubungan hukum ini dapat berjalan dengan baik maka setiap subjek hukum
harus mentaati hukum sebagai pedoman didalam melakukan hubungan hukum
tersebut.
Dalam pelaksanaan tindakan pemerintah tidak selamanya berjalan dengan
baik, kemungkinan adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum sangat besar
sehingga hukum memiliki peran besar dalam perlindungan bagi warga negaranya, dan
kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya dengan berdasarkan atas hukum.
Salah satu hubungan hukum yang timbul dari subjek hukum ini adalah
hubungan antara pegawai pemerintah dengan pemerintah itu sendiri. Penelitian ini
membahas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah untuk mengatur aparatur
daerahnya, kewenangan pemerintah adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum
positif karena pemerintah memiliki kekuasaan dalam bidang pemerintahan.
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang menimbulkan hubungan
hukum adalah melakukan pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 dengan
mengabaikan ketentuan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005 yang melarang adanya
119
pengangkatan tenaga honorer, kontrak maupun pegawai tidak tetap setelah tahun
2005. Tindakan pemerintah ini menimbulkan akibat hukum yaitu ketidakpastian
hukum terhadap pegawai yang diangkat karena pemerintah telah mengabaikan hukum
sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum agar tercipta keharmonisan,
kesimbangan dan keadilan.
Pegawai sebagai aparatur daerah memiliki hak asasi untuk mendapatkan
kehidupan yang layak, tindakan pemerintah yang mengangkat pegawai honorer,
kontrak maupun pegawai tidak tetap yang melanggar PP No. 48 tahun 2005
menimbulkan kerugian karena dapat dikatakan pegawai honorer, kontrak maupun
tidak tetap diangkat secara illegal menentang peraturan yang ada sehingga pegawai
tersebut tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, selain itu tidak ada
jaminan kepastian sampai kapan mereka akan bekerja pada instansi pemerintah
tersebut.
HAM sering didefinisikan hak-hak yang melekat pada sifat manusia, sehingga
tanpa hak tidak mungkin memiliki hak sebagai manusia, hak-hak tersebut tidak dapat
dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable). Hak Asasi Manusia
bersifat universal sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh
diabaikan, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dirampas.
Hak Asasi Manusia menurut Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia adalah :
“ Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
120
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Menurut penulis bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal
dan pikiran yang dapat menentukan baik dan buruk suatu perbuatan, manusia
dianugerahkan Hak Asasi agar setiap hidup dapat dihargai, dihormati, dijunjung
tinggi oleh sesama manusia dimuka bumi. Hak Asasi Manusia ini harus diatur tegas
dalam perundang-undangan agar setiap pelanggaran dapat ditindak tegas sehingga
manusia tetap selalu menghormati sesama manusia.
Salah satu Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 adalah mengenai hak untuk
mendapatkan pekerjaan. Dalam pasal tersebut berbunyi “ setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Dengan berdasarkan pada UndangUndang Dasar maka setiap pegawai berhak atas penghidupan yang layak dari kerja
yang dilakukan selama mengabdi kepada pemerintah.
Ada tiga macam perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian
yaitu :
1. Perbuatan pemerintah dalam hal pembuatan peraturan perundangundangan
2. Perbuatan pemerintah dalam penerbitan ketetapan
3. Perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan
Namun dalam permasalahan pengangkatan tenaga honorer ini bukanlah
termasuk tindakan Freies Ermessen karena syarat-syarat dari kewenangan diskresi
121
tersebut tidak terpenuhi. Dengan adanya perbuatan pemerintah yang menimbulkan
kerugian maka perlu adanya perlindungan hukum bagi rakyat, prinsip perlindungan
hukum bagi rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang
berdasarkan Pancasila.
Pada bidang keilmuan diberikan perlindungan atas tindakan pemerintah yang
merugikan tersebut yaitu perlindungan hukum dalam bidang perdata bahwa
pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik yang melakukan tindakantindakan hukum dalam bidang perdata apabila melakukan perbuatan melawan hukum
maka pemerintah dihukum untuk membayar ganti rugi. Hal ini sesuai dengan pasal
1365 KUHperdata yang menyebutkan :
“ tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Ada dua perbuatan melawan hukum oleh penguasa yaitu :
1. Perbuatan penguasa melanggar undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku.
2. Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang
seharusnya dipatuhi.
Dalam mengatasi masalah tenaga honorer di daerah pemerintah daerah,
bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pegawai yang
tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil yang tidak dapat diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil disebabkan karena adanya pertentangan antara PP dengan SK
122
yang dikeluarkan oleh kepala instansi. Dalam hal ini pemerintah telah melakukan
pelanggaran terhadap PP No. 48 Tahun 2005 yang melarang adanya pengangkatan
tenaga honorer atau sejenisnya dan ini bukanlah termasuk kewenangan diskresi
pemerintah, karena secara tegas dan jelas dalam PP No. 48 Tahun 2005 tidak boleh
ada pengangkatan sedangkan pemerintah daerah tetap melakukan pengangkatan.
Apabila upaya preventif menemui jalan buntu maka terhadap tindakan
pemerintah terhadap (pegawai honorer, pegawai kontrak dan pegawai tidak tetap)
dapat menggugat pemerintah ke Pengadilan. Penyelesaian sengketa tenaga honorer
melalui jalur pengadilan adalah jalan akhir yang dapat ditempuh oleh tenaga honorer
terhadap tindakan pemerintah yang dianggap merugikan tersebut.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
Negara baik di pusat maupun daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha
Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Sengketa tata usaha lahir apabila ada seseorang atau badan hukum
perdata merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan.
Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan ini dapat melalui Pengadilan umum
maupun Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pengadilan umum adalah pengadilan yang menyelesaikan sengketa pidana
dan perdata selain itu diberikan wewenang menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul dalam bidang hukum lain termasuk sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan
umum ditempuh apabila pemerintah melakukan tindakan hukum sebagai wakil dari
123
badan hukum sedangkan pengadilan administrasi ditempuh apabila pemerintah
bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat.
Setelah lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu
UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004, orang
beranggapan bahwa semua sengketa Tata Usaha Negara dapat diselesaikan melalui
pengadilan ini, tetapi setelah berlakunya Undang-Undang tersebut masih memberikan
wewenang pada Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara yang bersifat umum-abstak, sedangkan di Peradilan Tata Usaha Negara
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang bersifat individual-kongkret.
Sengketa tata usaha Negara yang dapat diselesaikan melalui pengadilan umum
adalah :
1. Sengketa Tata Usaha Negara
yang timbul sehubungan dengan
dikeluarkannya suatu keputusan yang memuat peraturan yang bersifat
perdata. Contohnya jual beli yang berkaitan antara seseorang dengan
pemerintah.
2. Sengketa Tata Usaha Negara
yang timbul sehubungan dengan
dilaksanakannya suatu keputusan yang masih memerlukan persetujuan.
Artinya disini adalah keputusan tersebut dapat berlaku apabila telah
disetujui oleh instansi lain karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam
akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu.
3. Sengketa Tata Usaha Negara
yang timbul sehubungan dengan
dilaksanakannya putusan Peradilan Tata Usaha Negara.
124
4. Sengeketa Tata Usaha Negara yang timbul sehubungan dengan perbuatan
nyata badan/pejabat tata usaha Negara.94
Dalam kasus ini tenaga honorer yang tidak puas dengan tindakan preventif
dari pemerintah dan mengajukan gugatan ke pengadilan maka pengadilan yang dapat
menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, karena
tindakan pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh kepala daerah dan kepala
instansi dalam mengeluarkan SK pengangkatan setelah tahun 2005 bersifat final dan
indivudial. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya Profesor Johanes Usfunan, ada
empat kategori norma – norma hukum salah satunya adalah individual-kongkrit
seperti yang dikandung oleh keputusan Tata Usaha Negara yang berupa penetapan
tertulis SK pengangkatan dan pemberhentian pegawai, SK pajak tambahan.95
Kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara
itu tidak abstrak, tetapi berwujud ditujukannya jelas. Bersifat Individual artinya
Keputusan Tata Usaha Negara tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju. Bersifat Final artinya sudah definitive dan menimbulkan
akibat hukum.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Tata Usaha Negara adalah sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
94
95
Ibid, hlm 11
Johanes Usfunan, Op cit, hlm 29.
125
Pasal 1 angka 3 :
“Keputusan tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan/pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum”.
Pasal 3 (1) :
“Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengelurkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajiban maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara”.
Pasal 3 (2) :
“Jika suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan data peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang
dimaksud”.
Pasal 3 (3)
“Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka setelah lewat jangka
waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonanbadan atau pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Pengadilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa
antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat
dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga
negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari
hak-hak individu.
126
2. Memberikan perlindungan hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada
kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.96
Pengadilan administrasi atau PTUN merupakan suatu badan peradilan yang
menyelesaikan sengketa administrasi. Fungsi peradilan administrasi Negara adalah :
1. Fungsi penasehatan tujuannya adalah untuk meminimalisir terjadinya
sengketa antara rakyat dengan pemerintah. Nasehat diberikan kepada
rakyat dan pemerintah agar mengurangi sengketa antara kedua belah
pihak.
2. Fungsi perujukan artinya bahwa penyelesaian sengketa dilakukan secara
damai
agar
keserasian
antara
rakyat
dan
pemerintah
tetap
terjaga.penyelesaian sengketa secara damai tidak berarti meninggalkan
prinsip-prinsip atau aturan hukum yang berlaku. Para pihak yang
bersengketa secara aktif mencari dan akhirnya menyadari prinsip dan
ketentuan hukum yang sebenarnya dalam hal yang disengketakan, dengan
demikian tidak ada menang kalah tetapi saling pengertian dan saling
menyadari akan hakikat peraturan yang berlaku.
Gugatan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara adalah gugatan tentang
sah dan tidak sah, maka sebenarnya untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha
96
Riawan Tjandra, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, hlm 1.
127
Negara tidak dikenal adanya perdamaian, tetapi jika terjadi perdamaian diluar sidang
pemeriksaan maka sesuai surat Edaran Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk :
a.
Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka
untuk umum dengan menyebutkan alasan pencabutan.
b.
Jika pencabutan dikabulkan maka hakim memerintahkan agar panitera
mencoret gugatan dari registrasi perkara.
c.
Perintah pencoretan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.97
3. Fungsi peradilan adalah fungsi terakhir dilakukan apabila jalan
musyawarah sudah tidak dapat dijalankan.
Sebelum menggunakan ketentuan Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986
untuk menempuh gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu harus
dilihat ketentuan Pasal 48 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal suatu
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif.
Upaya adminitratif tersebut adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu Keputusan
Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri. Upaya
adminitrasi ini ada dua yaitu :
97
Wiyono, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 109
128
1. Banding administrasi : penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara secara
administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari
yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan : penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara secara administrasi
yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan itu.
Apabila Keputusan Tata Usaha Negara tidak menyediakan penggunaan upaya
administrasi sebagaimana Pasal 48 ayat 1 maka sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 dapat
digunakan prosedur gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini
bertujuan agar dilakukan pengujian dari aspek yuridis yang bersifat menilai legalitas
suatu keputusan oleh badan peradilan administrasi murni.
Keputusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
memuaskan maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding ke Pengadian
Tinggi Tata Usaha Negara, pemeriksaan di tingkat banding merupakan pemeriksaan
judex facti tingkat terakhir, pada tingkat ini pemeriksaan dilakukan secara
keseluruhan, baik mengenai fakta-fakta, penerapan hukumnya dan putusan akhir yang
telah diputuskan oleh hakim tingkat pertama.
Pemeriksaan tingkat banding bersifat devolutif artinya pengadilan tingkat
tinggi memindahkan dan mengulangi kembali seluruh pemeriksaan perkara yang
pernah dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama.
Apabila para pihak ada yang mengajukan keberatan atas keputusan di tingkat
banding maka akan diajukan pada tingkat Mahkamah Agung, upaya hukum yang
129
dapat dilakukan di Mahkamah Agung adalah
memohon peninjauan kembali.
Peninjauan hukum kembali merupakan upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan
oleh para pihak yang berperkara.
Putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali dapat berupa :
1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan membatalkan putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali dan kemudian memeriksa dan
memutuskan kembali perkaranya.
2. Menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan.
130
BAB V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
1.
Tidak semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil, tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu :
1. Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19
(sembilan belas) tahun.
2. Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun
sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK
Pengangkatan dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
3. Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan,
BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan
dokumen berupa :

DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja)

SPM (Surat Perintah Membayar)

SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga
honorer

Daftar absensi
131
2.
Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan memberikan tanggung
jawab secara preventif yaitu pemerintah memberikan jaminan kerja selama
usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki
dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam
kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun
cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan
hidupnya untuk bekerja dan bersama-sama membangun daerah. Pemberian
tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan
disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
2.
1.
Saran
Pemerintah daerah diharapkan tidak melakukan pengangkatan tenaga honorer
sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak menimbulkan
permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi
yang kosong dilingkungan pemerintah daerah hendaknya dilakukan dengan
penerimaan pegawai melalui jalur umum saja.
2.
Pemerintah daerah hendaknya memenuhi tanggung jawabnya secara preventif
terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil untuk menjamin kesejahteraan pegawai dan pemerintah berpedoman
132
pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan
pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.
133
DAFTAR BACAAN
A. BUKU
Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit
Rajagrafindo Persada, Jakarta .
PT.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
Basah,Sjachran, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di
Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung.
Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Cohen,Morris L and Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh
Edition, West Group,ST.Paul,Minn
Djatmika, Sastra dan Marsono, 1995, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan,
Jakarta.
Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising,
Malang
Fauzan, Muhammad, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang
Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Fernanda,Desi,2003, Etika Organisasi Pemerintah, Lembaga Administrasin Negara,
Jakarta.
Hadjon, M, Philipus, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Intoduction
To The Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hutchinson, Terry, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia.
Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan
Nuansa, Bandung.
134
Kansil, C.S.T,Drs. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai
Pustaka, Jakarta, 1984.
Lubis,Solly, 1992, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung.
Lopa, Baharuddin,1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan
Bintang, Jakarta.
Mahfud, Moh. MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Pustaka LP3ES, Jakarta.
Manan, Bagir, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka
Otonomi Daerah, Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad,
Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Surabaya.
Marbun, SF,1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Muslimin, Amrah, 1982 , Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok
Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung.
Mulyadi,Arief, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara
Kesatuan RI, Prestasi Pustaka.
Muchsan,1982, Hukum Kepegawaian, Bina Aksara, Jakarta.
Mertokusumo,Sudikno, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Pide, Mustari, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI,
Gaya Media Pratama, Jakarta.
Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
135
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sadjijino, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta.
Simon A, Herbert 1984, Perilaku Adminitrasi, Cetakan kedua, terjemahan, Penerbit
PT. Bina Aksara, Jakarta.
Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni
Bandung.
Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.Thoha, Mitfah, 2007,
Manajemen Kepegawaian Di Indonesia, Kencana Pranada Group, Jakarta.
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunaryo, Siswanto, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta.
Situmorang,Viktor M, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar
Grafika, Jakarta.
Syarifin ,Pipin dan Jubaedah, Dedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka
Setia, Bandung.
Strong, C.F 1951, Modern Political Constitutions, Sidgwick and Jackson Limited,
London.
Thoha, Miftah,2005, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana, Jakarta.
Tayibnapis, Burhanudin A, 1986, Administrasi Kepegawaian;Suatu Tinjauan
Analitik, Penerbit Pradnya Paramitha, Jakarta.
Usfunan, Johanes Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan,
Jakarta.
Veld, In Het Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt
leerbook voor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna
Sitanggang.
136
Wijk,Van 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V,
Culemborg.
Widjaja,A.W, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
B. ARTIKEL ELEKTRONIK (INTERNET)
Haryuni, 2009, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan,
diakses
dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&
perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review
.
Padmawati, 2010 Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah
Kota Surakarta Pada Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota
Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang PokokPokok
Kepegawaian,
diakses
dari:http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=ht
ml&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=re
view.
Putra, David Yudia, 2007, Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS
Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, diakses dari
http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&
perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review
.
Pratiwi,Wulan, 2008 Pengaruh Kapasitas Sumber Daya Aparatur Birokrasi
Terhadap Peningkatan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah Sebuah
Kajian Terhadap Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon
Pegawai
Negeri
Sipil
Tahun
2005-2009,
diakses
dari
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-107923.pdf.
Rosanti, 2009, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di Kabupaten, diakses dari
Morowalihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&t
yp=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&
op=review.
137
Satria, Pengertian Wewenang, http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertianwewenang.html
C. PERATURAN
Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI
No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169).
.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160).
Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut
PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan
Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 122).
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82).
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun
2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun
2005.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15 Tahun
2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer.
138
Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010
tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi
Pemerintah.
139
Download