TESIS KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN AYU PRILIA DIANTARI NIM : 1090561018 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2013 KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH) Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana AYU PRILIA DIANTARI NIM : 1090561018 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Ayu Prilia Diantari Program Studi : Ilmu Hukum Judul tesis : Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undang yang berlaku. Denpasar, 8 Juli 2013 Yang menyatakan Ayu Prilia Diantari ii UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya tesis yang berjudul “ Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama mengikuti pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. Atas terselesaikannya tesis ini maka ijinkanlah penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada : 1. Bapak Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, SpPD (KEMD) sebagai Rektor Universitas Udayana 2. Ibu Prof.Dr,dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. 3. Bapak Prof.Dr.Drs. Johanes Usfunan, SH.MH, sebagai pembimbing I yang telah berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa,SH.MH sebagai pembimbing II yang telah berkenan membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik. 5. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum.LLM sebagai Ketua Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. 6. Bapak Dr. Putu Tuni Caka Bawa Landra, SH,MH sebagai sekretaris Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. iii 7. Seluruh staf dan dosen pada Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah membantu dalam memberikan ilmu pengetahuan dan membantu proses administrasi selama perkuliahan di Universitas Udayana. 8. Bapak Gde Widarmika, SE.MM, selaku Kepala Bidang Data dan Perencanaan Pegawai dan staf, dan seluruh staf BKD,DIKLAT Kabupaten Badung yang telah mendukung dan memberikan toleransi yang sangat besar kepada penulis selama menyusun tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. 9. Terima kasih kepada keluarga tercinta,orang tua Bapak I Made Sidia Wedasmara, SH.MH, Ibu I Gusti Ayu Rai Wardhani, SH, Kakak Putu Ayu Ratna Wulandari, SE,AK, adik Komang Trisdia Mahindra Yogi, Mbok Nengah, Mertua dan suami tercinta dr. I Made Pasek Soma Gauthama yang telah mendukung secara moril dan senantiasa ada disaat tersulit dalam menyelesaikan tesis ini. 10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang ikut memberikan dorongan, semangat untuk terus maju menyelesaikan tesis ini dan memberikan sumbangan ide dalam penulisan tesis ini. Semoga segala bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan pahala oleh Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna namun besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua. Denpasar, 8 Oktober 2013 Penulis iv Abstrak Penulisan tesis ini mengkaji tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu pertama : apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) dan kedua : bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder serta bahan hukum tersier . Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga honorer berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 tidak semua dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh tenaga honorer sebelum namanya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, selain seleksi administrasi tenaga honorer juga harus melewati tes disiplin,integritas,kesehatan. Tanggung jawab yang diberikan pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah dengan menggunakan pendekatan preventif yaitu : pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dan memberikan santunan pensiun. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing. Kata Kunci : Tenaga Honorer, Pemerintah Daerah, Tanggung Jawab. v abstract This thesis examines the status of Honorary Power In Personnel System. The problems examined in this study there are two: first: whether Honorary employee can be appointed as civil servants and the second: how local government responsibilities for Honorary employee who are not eligible for appointment as candidate for Civil Servants. This research is a normative law using statutory approach and the conceptual approach. Legal materials used in the study came from the research literature in the form of primary legal materials, secondary and tertiary legal materials. These results indicate that Honorary employee under PP. 48 of 2005 does not automatically appointed as candidate for Civil Servants, there are requirements that must be met by Honorary employee appointed before his name became candidates for Civil Servants, in addition to the selection and administration of honorary workers also have to pass a test of discipline, integrity, health. Given the responsibility of government to Honorary employee who are not eligible for appointment as Civil Servants is to use a preventive approach, namely: the government provides job security for government agencies within the productive age for those who have a high dedication and providing retirement benefits. Giving gratuities are charged to Expenditure Budget and tailored to the capabilities of each area. Keywords: Honorary employee, Local Government, Responsibility vi RINGKASAN Tesis ini meneliti tentang Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian. Terdapat dua permasalahan yang diangkat dalam penyusunan tesis ini yakni : 1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Disamping membahas dua permasalahan tersebut juga membahas mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian ini guna kepentingan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam bidang kepegawaian serta landasan teori yang menjadi dasar pemecahan permasalahan dengan menggunakan konsep Negara hukum, teori kewenangan, asas desentralisasi, asas-asas umum pemerintahan yang baik, teori penjenjangan norma. Pada Bab II merupakan penjabaran dari landasan teori Bab I dengan membahas Tenaga honorer, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Pembina Kepegawaian. Tenaga honorer adalah Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pegawai Negeri Sipil adalah Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, Pejabat Pembina Kepegawaian Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pada Bab III membahas atas permasalahan pertama yang terdiri dari dua pembahasan yaitu : Pengaturan Tenaga Honorer yang dapat dilihat pada UU No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman 2005, Peraturan vii Kepala BKN No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer serta Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Pembahasan kedua tentang mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dimana tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam PP No. 48 Tahun 2005, salah satu syaratnya adalah tenaga honorer maksimal berusia 46 tahun dan minimal 19 tahun dengan memiliki masa kerja yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, selain itu pemeriksaan berkas dilakukan dengan sangat teliti melalui proses batching, editing, coding, dimasukan nama-nama ke dalam data base, dilakukan verifikasi dan validasi yang dilakukan oleh BKN, Menpan, BKD dan Inspektorat daerah, sub bab ketiga membahas mengenai kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005, dimana dengan berlakunya PP No. 48 tahun 2005, Pasal 8 yang melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 maka kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tetap berkedudukan sebagai tenaga honorer dan tidak bisa diangkat menjadi CPNS. Pada Bab IV membahas dua permasalahan yaitu : Tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS secara preventif dengan cara pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif di lingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk uang ataupun cindera mata sebagai tanda terima kasih daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing. Pembahasan kedua mengenai pengaturan sengketa tenaga honorer, dimana apabila terjadi tuntutan karena ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah dengan melakukan pengangkatan tenaga honorer tersebut maka berdasarkan Pasal 1365 KUHP tenaga honorer dapat menutut ganti rugi terhadap tindakan pemeritah yang dianggap merugikan tersebut dan berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN Surat Keputusan yang dikeluarkan pemerintah dapat digugat di PTUN dan dimohon pembatalan terhadap Surat Keputusan pengangkatan tenaga honorer tersebut karena sifatnya illegal. Pada Bab V Kesimpulan pertama : bahwa tidak semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS, tenaga honorer yang dapat diangkat apabila telah memenuhi syarat-syarat pada PP No. 48 Tahun 2005 yaitu : Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah viii 19 (sembilan belas) tahun, Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK Pengangkatan dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan, BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan dokumen berupa : DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja) SPM (Surat Perintah Membayar) SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga honorer Daftar absensi Kesimpulan kedua : Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS dengan memberikan tanggung jawab secara preventif yaitu pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing. Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan pertama : Pemerintah daerah diharapkan tidak melakukan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi yang kosong dilingkungan pemerintah daerah dilakukan dengan penerimaan pegawai melalui jalur umum saja, Kedua : Pemerintah daerah hendaknya memenuhi tanggung jawabnya secara preventif terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS untuk menjamin kesejahteraan pegawai tetap terjamin dan pemerintah berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. ix DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ………………………………………………………………… Halaman Persyaratan Gelar Megister …………………………………………… i Surat Persyaratan Bebas Plagiat ……………………………………………….. ii Halaman Ucapan Terima Kasih …….………………………………………….. iii Halaman Abstrak ……….……………………………………………………… v Halaman Abstract ………………………………………………………………. vi Ringkasan ………………………………………………………………………. vii Halaman Daftar Isi ……………………………………………………………… BAB I x PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ................................................................................. 1 2. Rumusan Masalah ............................................................................. 7 3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7 3.1. Tujuan Umum ............................................................................ 7 3.2. Tujuan Khusus ........................................................................... 7 4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8 x 4.1. Manfaat Teoritis ........................................................................ 8 4.2. Manfaat Praktis ......................................................................... 8 5. Originalitas Penelitian ...................................................................... 8 6. Landasan Teoritis ............................................................................. 15 6.1. Konsep Negara Hukum ............................................................. 15 6.2. Teori Kewenangan .................................................................... 22 6.3. Asas Desentralisasi .................................................................... 29 6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ….…….…………. 32 6.5 Teori Penjenjangan Norma ….………………………………… 35 7. Metode Penelitian ............................................................................ 37 7.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 37 7.2. Jenis Pendekatan ........................................................................ 39 7.3. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 41 7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 44 7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................. 45 BAB II PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA 1. Tenaga Honorer …………………………...............…………… xi 47 2. Pegawai Negeri Sipil ………….…………………..................…. 55 3. Pejabat Pembina Kepegawaian …………..................………….. 74 BAB III PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI …………. CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL ….…………………………. 1. Peraturan Tenaga Honorer ………….……………..…………… 82 2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ………….……........................................... 89 3. Kedudukan Tenaga Honorer ……….……………………..……. 99 BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH ….………….. TERHADAP TENAGA HONORER ….………………………….. 1. Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah Secara Preventif ………………………………………………… 108 2.Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer …. 132 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ................................................................................. 131 2. Saran .............................................................................................. 132 DAFTAR BACAAN xii BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bupati diberi wewenang baik secara terikat maupun wewenang bebas untuk mengambil keputusan-keputusan untuk melakukan pelayanan umum, wewenang terikat artinya segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aturan dasar, sedangkan wewenang bebas artinya pemerintah secara bebas menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkan karena aturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang1. Wewenang pemerintah tersebut adalah penyelenggaraan pembangunan di segala aspek termasuk didalamnya adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dan pengangkatan tenaga honorer di daerah. Hal ini sesuai dengan amanat dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004). Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan hak otonomi kepada daerah untuk mengatur urusan pemerintahan di daerah. hal ini 1 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta, hlm 59-60 1 dapat dilihat pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah yang menyatakan bahwa : Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Memilih pimpinan daerah Mengelola aparatur daerah Mengelola kekayaan daerah Memungut pajak dan retrebusi daerah Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Selain UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur urusan pemerintahan, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (yang selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 2007), juga mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan. Pada Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 5 ayat (1) menyatakan : Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Kewenangan pemerintah berdasarkan Pasal 2 ayat (2) adalah : Politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama, sedangkan yang menjadi urusan pemerintahan adalah : Pasal 2 ayat (4) menyatakan : Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi : a. pendidikan b. kesehatan c. pekerjaan umum 2 d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. perumahan penataan ruang perencanaan pembangunan perhubungan, lingkungan hidup pertahanan kependudukan dan catatan sipil pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak keluarga berencana dan keluarga sejahtera sosial ketenagakerjaan dan ketransmigrasian koperasi dan usaha kecil dan menengah penanaman modal kebudayaan dan pariwisata kepemudaan dan olah raga kesatuan bangsa dan politik dalam negeri otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian u. pemberdayaan masyarakat dan desa v. statistik w. kearsipan x. perpustakaan y. komunikasi dan informatika z. pertanian dan ketahanan pangan aa. kehutanan bb. energy dan sumber daya mineral cc. kelautan dan perikanan, dd. perdagangan ee. perindustrian. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU No. 43 Tahun 1999). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 menyatakan: 3 ayat (1) : Pegawai Negeri terdiri dari : a. Pegawai Negeri Sipil b. Anggota Tentara Nasional Indonesia c. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia ayat (2) : Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri dari : a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah. ayat (3) : Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Manajemen Kepegawaian yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil diatur pada UU No. 43 Tahun 1999) sedangkan pegawai yang tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah. Perekrutan terhadap tenaga honorer secara hukum memang diatur tetapi masih bersifat terbatas, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Salah satu masalah tenaga honorer ini adalah ketika diterbitkannya PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan : “Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. 4 Permasalahan yang penulis temukan adalah pengangkatan tenaga honorer di daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa kerja dari tenaga honorer, pengangkatan tenaga honorer ini telah dibatasi sampai dengan tahun 2005 karena setelah tahun 2005 sudah tidak ada lagi pengangkatan tenaga honorer ataupun sejenisnya, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer maupun kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait, ini menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah satunya SK Kepala Dinas Pendidikan No. 1751 Tahun 2012 tentang Guru Kontrak Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung Tahun 2012 serta Keputusan Bupati Badung No. 1316/01/HK/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini menyebabkan kepastian hukum kedudukan tenaga honorer sangat lemah. Status hukum tenaga honorer perlu diperjelas dan dijamin kepastian hukumnya karena disatu pihak pengangkatan tenaga honorer maupun kontrak tetap dilakukan sedangkan dipihak lain muncul peraturan yang melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, hal ini menimbulkan permasalahan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi mereka yang diangkat menjadi tenaga honorer setelah tahun 2005 sedangkan tenaga mereka sangat 5 dibutuhkan didalam kelancaran administrasi pemerintahan, Pegawai yang berstatus bukan sebagai pegawai negeri inilah yang harus mendapat perhatian karena kedudukannya sebagai pegawai sangat tidak memiliki jaminan kepastian hukum. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 27 Ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan kesejahteraan tenaga honorer karena sampai kapan mereka akan berstatus sebagai tenaga honorer dan sampai kapan penggajian tenaga honorer yang dibebankan kepada APBD akan diberikan, semua itu tidak ada kejelasan. Walaupun pemerintah memiliki kewenangan diskresi atau Freies Ermessen yaitu kebebasan yang dimiliki pemerintah untuk melakukan penyimpangan terhadap asas legalitas, tetapi tindakan pemerintah juga harus dibatasi dan senantiasa bersandar kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik agar membawa manfaat bagi masyarakat. Pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat kepada masyarakat. Dari pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dengan judul “KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN”. 6 TENAGA 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji sebagai berikut : 1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 ? 2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ? 3. Tujuan Penelitian Secara garis besar tujuan penulisan dapat digolongkan menjadi dua (2) macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Sesungguhnya kedua tujuan ini saling berkaitan, saling mengisi antara yang satu dengan yang lainnya. 3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisa mengenai proses pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah daerah. 7 3.2 Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi antara PP No. 48 tahun 2005 dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat instansi di lingkungan pemerintah daerah. b) Untuk mengetahui tanggung jawab yang dilakukan pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. 4. Manfaat Penelitian 4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum. Khususnya hukum kepegawaian sehingga nantinya dapat merumuskan pemikiran yang bersifat teoritis dalam hal pembuatan peraturan tentang kepegawaian. 4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan untuk mewujudkan keadilan di bidang kepegawaian. 5. Orisinalitas Penelitian Masalah dalam hal kepegawaian sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian terlebih lagi pegawai yang berstatus sebagai tenaga honorer karena di Indonesia masih banyak terdapat pegawai yang berstatus tenaga honorer yang sampai saat sekarang ini belum jelas statusnya dan 8 tuntutan mereka belum dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian, sejauh ini belum dilakukan oleh orang lain dalam penelitian hukum, oleh karena itu judul penelitian ini belum dikaji oleh peneliti-peneliti lainnya sehingga orisinalitas penelitian ini dapat penulis pertanggungjawabkan. Pertama : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Haryuni yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan” 2. Perbandingan : Haryuni : Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryuni membahas mengenai permasalahan yang terjadi dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS di Aceh Selatan, kendala yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah persepsi implementator yang berbeda terhadap tenaga honorer yang bisa masuk database, tidak adanya koordinasi dengan setiap unit organisasi dalam proses verifikasi dan penyusunan formasi, Hasil 2 Haryuni, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, diakses dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1& searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011. 9 seleksi tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengangkatan tenaga honorer, Penempatan tenaga honorer tidak sesuai dengan kebutuhan riil masing-masing instansi. Penulis : dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pembahasan pada tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi PNS yang disebabkan pengangkatan honorer tersebut dilakukan melebihi batas tahun yang ditentukan di dalam PP No. 48 Tahun 2005. Kedua : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Rosanti, yang berjudul “Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di Kabupaten Morowali”3. Perbandingan : Rosanti : Dalam penulisan tesis ini Rosanti meneliti tentang alasan Kabupaten Morowali melakukan pengangkatan tenaga honorer pasca PP No. 48 Tahun 2005 alasannya adalah : adanya pertumbuhan organisasi pemerintahan daerah dengan berdirinya Kabupaten Morowali pada tahun 1999 yang menimbulkan konflik pemindahan Ibukota, sehingga berdampak pada kebutuhan jumlah pegawai, penerapan PP No. 41 tahun 3 Rosanti, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di Kabupaten Morowali, diakses dari morowali://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=opac&act=view&typ=html&perpus_id&perpus=searcing=tenaga honorer,pada tanggal 20 Agustus 2011. 10 2007 membuka peluang bagi pegawai untuk mengembangkan karir dan kegiatan mutasi pegawai menyediakan ruang kosong bagi kebutuhan Sumber Daya Manusia yang cukup besar untuk menunjang pelaksanaan tugas pemerintahan. Hal ini kemudian menjadi alasan pemerintah daerah melalui masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan rekrutmen tenaga honorer. Namun demikian rekrutmen yang dilakukan belum dilaksanakan secara baik sehingga menjadi kurang terkendali. Dampak dari kebijakan ini terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan secara umum kualitas sumber daya manusia membaik, kualitas pelayanan publik cenderung membaik, namun jumlah tenaga honorer yang terus bertambah memberikan tekanan besar pada APBD Kabupaten Morowali sehingga melebihi kemampuan anggaran keuangan daerah. dalam tesis tersebut Penulis menyarankan agar pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan SDM, rekrutmen tenaga honorer dilakukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan keadaan organisasi pemerintah daerah, kemampuan keuangan daerah, visi dan misi daerah, kondisi sosial masyarakat dan kebijakan pemerintah pusat dan propinsi. Perencanaan pegawai harus betul-betul mencerminkan kebutuhan riil organisasi pemda, sehingga diharapkan tidak terdapat lagi tenaga honorer yang tidak memiliki kompetensi tetapi menjadi beban pemda. Penulis : Dalam penelitian Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian disini lebih khusus membahas mengenai bagaimana 11 kedudukan tenaga honorer yang telah diangkat setelah tahun 2005, dengan berlakunya PP No. 48 Tahun 2005 ini kepastian hukum kedudukan tenaga honorer tersebut tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum, karena pengangkatan mereka tidak sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang telah dikeluarkan, dan membahas sejauh mana tanggung jawab yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagai pelaku yang melakukan tindakan hukum pengangkatan tenaga honorer tersebut. Ketiga : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 2007, atas nama David Yudia Putra yang berjudul “ Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat”4. Perbandingan : David : Dalam tesis ini membahas mengenai bagaimana implementasi kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini 4 David Yudia Putra yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat”, diakses dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1& searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011. 12 adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, hal ini terjadi karena :1. Persepsi implementor yang keliru menyebabkan terdapat beberapa tenaga honorer yang tidak masuk data base. 2. Konsitensi dan koordinasi yang lemah menyebabkan Formasi tahun 2006 yang telah ditetapkan, dari sisi komposisinya tidak sesuai dengan prioritas pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS. 3. Pengumuman dalam proses perekrutan tidak menyebutkan bahwa formasi yang lowong harus dilamar oleh para tenaga honorer, hal ini mengakibatkan beberapa tenaga honorer yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dalam formasi tersebut tidak bisa diangkat menjadi CPNS, 4.Evaluasi yang tidak dilaksanakan secara benar dan tepat, menyebabkan terdapat tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat tetap diusulkan menjadi CPNS. Penulis : Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pembahasan terhadap tenaga honorer yang tidak masuk ke dalam data base karena pengangkatannya tidak sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005. Keempat : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 2010, atas nama Padmawati dengan judul penelitian “Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas 13 Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian”5. Perbandingan : Padmawati : Dalam penelitian ini meneliti tentang keberadaan guru honorer di Pemerintah Kota Surakarta tujuannya adalah untuk mengetahui pengaturan tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta menurut UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian di Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada tesis tersebut dapat disimpulkan bahwa di Kota Surakarta telah diselesaikan pada tahun 2009 dimana guru honorer diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. 5 Padmawati, Loc.cit 14 Penulis : Dalam penelitian ini penulis membahas keberadaan tenaga honorer dengan permasalahan yang terjadi, baik itu tenaga honorer yang berasal dari tenaga guru, administrasi, kesehatan. Dimana keberadaan mereka tidak masuk dalam data base dan tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena pengangkatan mereka bertentangan dengan PP No. 48 Tahun 2008. 6. Landasan Teoritis Sebagai landasan dalam upaya pembahasan penelitian ini maka penulis menggunakan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas dan pandangan sarjana sebagai dasar untuk menjawab permasalahan yang dipaparkan dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Konsep Negara hukum 2. Teori Kewenangan 3. Asas Desentralisasi 4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik 5. Teori Penjenjangan Norma 6.1 Konsep Negara Hukum Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum adalah suatu personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas, oleh sebab itu dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan 15 tatanan hukum nasional6. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 disebutkan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, ini artinya bahwa “mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat dan Negara diatur oleh hukum (baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis) sehingga baik anggota masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut”7. Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada implementasi memiliki karakter yang beragam hal ini disebabkan karena falsafah bangsa, ideoligi negara dan lain-lain8. Dalam sistem hukum eropa kontinental (civil law) negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, negara hukum menurut eropa kontinental ini harus memenuhi empat syarat seperti yang dikatakan Freidrich Julius Stahl dalam bukunya Ridwan HR adalah : “ 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu 3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan 4. Peradilan administrasi negara”9 6 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm.261. 7 Baharuddin Lopa, 1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, hlm 101. 8 9 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 1 Ibid, hlm 3 16 Unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana disampaikan oleh Sri Soemantri meliputi : 1. 2. 3. 4. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasarkan atas hukum. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (warga negara) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlijke controle)10 Penjelasan unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Sri Soemantri diatas memperjelas bahwa Negara Republik Indonesia bersistem konstitusional tidak absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan konsep unsur dari negara hukum ini pemerintah daerah yang telah mendapat hak otonomi tidak boleh sewenang-wenang menjalankan kekuasaannya, pemerintah daerah harus tetap mengacu kepada pemerintah pusat karena negara kita adalah negara kesatuan. Unsur-unsur negara hukum pada konsep civil law yang dikemukakan oleh para sarjana diatas memiliki kesamaan satu dengan yang lain, dengan adanya negara hukum tugas pemerintah sangat luas yaitu mengutamakan kepentingan seluruh masyarakat, setiap tindakan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang agar tidak berbuat sewenang-wenang. Sedangkan konsep negara hukum menurut anglo saxon (common law) dikenal dengan istilah rule of law, menurut A.V Dicey dalam bukunya Ridwan HR, 10 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hlm 29. 17 yang lahir dalam naungan sistem anglo saxon mengemukakan unsur-unsur Negara hukum (rule of law) : 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremasi of the law) yaitu tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum. 2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.11 Dalam kaitan dengan penelitian ini kedua konsep negara hukum baik dari civil law maupun common law sama-sama digunakan sebagai dasar teori dalam penelitian ini, dalam konsep civil law dasar yang digunakan adalah Asas Legalitas dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sedangkan dalam common law syarat yang digunakan untuk memperkuat argumen teoritik dalam kaitan dengan judul penelitian ini adalah supremasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Kedua konsep civil law (rechtsstaat) dan common law (rule of law) sangat relevan dipergunakan sebagai dasar pembenaran akademik. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum selain itu tindakan pemerintah tidak boleh dilakukan secara retroactive yaitu Asas yang melarang suatu aturan berlaku surut. 11 Ridwan HR, Loc.cit. 18 Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan). Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan yang dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun tenaga honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa bersama dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan oleh karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM12. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak akan terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi pelanggaran terhadap HAM, namun apabila pemerintah daerah dalam pelaksanaannya melanggar peraturan yang ada maka tindakan pemeritah tersebut dapat dituntut ke Badan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adminitrative law 12 Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176. 19 takes several forms agencies can act somewhat like legislatures and somewhat like court they may promulgate binding regulation goverment areas of their expertise or they may decide matters involving particular litigants on a case by case basis.13 Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.14 Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila15. Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan tetapi dituntut untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum harus ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum yang 13 Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research, West Group,hlm 206 14 Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm 6-7. 15 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11. 20 berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan yang tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila melanggar hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan bangsa. Menurut Soehino melihat konsep negara kesatuan dari segi susunannya, negara kesatuan adalah : Negara yang tidak tersusun dari negara dengan demikian didalam negara kesatuan ini hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan. Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu didalam negara itu16. Dalam negara kesatuan kekuasaan negara terletak pada pemerintah pusat bukan pada pemerintah daerah tetapi pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pejabat daerah berdasarkan hak otonom (dalam rangka desentralisasi)17. Menurut Moh. Mahfud MD konstitusi tidak boleh memberi pembatasan atas HAM atau menjadikannya sebagai sisa kekuasaan pemerintahan semata sebaliknya kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak 16 Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm 224. 17 Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit Gaya Media Pratama, Jakarta, hlm 29. 21 dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesama warganya.18 Dengan berpedoman kepada aturan maka kepastian hukum akan terjadi karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturanperaturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang akan dilakukan pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan. 6.2 Teori Kewenangan Kewenangan (authority,gezag) dan wewenang (competence bevoegdheid), wewenang berasal dari kata wenang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu), sedangkan kewenangan juga diartikan sama.19 Dalam bukunya Ridwan HR tentang Hukum Adminitrasi Negara, H.D Stout mengatakan: Bevoegdheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op de verkrijging en uitoefening van bertuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtlijke rechtsubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer (wewenang merupakan pengertian dari hukum organisasi pemerintahan yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik). 18 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta, hlm 159. 19 Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1150 22 Dengan adanya wewenang maka pemerintah pusat maupun daerah dapat melakukan tindakan hukum pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku, kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara karena didalamnya terkandung hak dan kewajiban dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan ini maka pemerintah daerah khususnya dapat mengatur daerahnya baik dalam hal urusan rumah tangga daerah, aparatur pemerintahan daerah, mengelola kekayaan alamnya, dll. Menurut F.P.C.L Tonnaer pengertian kewenangan dalam bukunya Ridwan HR menyatakan : Overheidsbevoeghdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burger onderling en tussen overhead en te scheppen (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan dengan begitu dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).20 Pengertian kewenangan menurut Ridwan H.R. adalah “Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan”. Menurut Achmad Sanusi pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk wezen) dianggap sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai 20 Ridwan HR, Op cit , hlm 101. 23 wewenang hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif.21 Menurut S.F Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.22 Jadi kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu. Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (recht bevoegdheid). Hebert A Simon memberikan pengertian wewenang adalah sebagai kekuasaan untuk mengambil keputusan yang membimbing tindakan-tindakan individu lainnya. Wewenang merupakan hubungan antara dua individu satunya “atasan” dan yang lainnya “bawahan”23. Philipus M Hadjon mengatakan “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum”24. Komponen pengaruh menekankan penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum dimaksudkan 21 Satria, Pengertian wewenang.html. Wewenang, http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertian- 22 SF. Marbun, 1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hlm 154-155. 23 Herbert A Simon, 1984, Perilaku Adminitrasi, terjemahan Cetakan kedua, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm 195. 24 Philipus M Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm 135. 24 bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum yang jelas, sedangkan komponen konformitas hukum dimaksudkan bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar khusus untuk wewenang tertentu. Secara teoritis kewenangan bersumber dari Peraturan Perundang –Undangan, Dalam bukunya Ridwan HR, HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt menjelaskan kewenangan diperoleh melalui tiga cara yaitu : 1. Atribusi 2. Delegasi 3. Mandat25 Menurut Van Wijk dalam bukunya Hoofdstukken Van Administratif Recht mengatakan : Van delegative van bestuursbevoegdheden is sprake wanneer een bevoegdheid van een bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander orgaan, dat die bevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan. delegatie impliceert dus overdracht wat aanvankelijke bevoegd heid van a was is 25 Ridwan HR, Op.cit, hlm 105, 1) atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, ini artinya bahwa wewenang untuk membuat keputusan langsung bersumber pada Undang-Undang, kewenangan ini disebut dengan kewenangan asli, 2) delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). 3) mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ini artinya memberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberi mandat dan tanggung jawab pemberi mandat bukan tanggung jawab mandataris 25 voortaan bevoegdheid van b”.26( terjemahan sendiri : kekuatan delegatif terjadi ketika kekuatan dari sebuah badan administratif awal ditransfer/diberikan ke tubuh yang akan menjalankan kekuasaan yang akan menjadi kekuatan yang dimiliki oleh pihak yang menerima transferan/pihak yang diberi kekuatan). Dalam kaitan dengan teori kewenangan dalam penelitian ini delegasi merupakan wewenang yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini, pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah dan aparatur di wilayahnya masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya pemerintah daerah tidak boleh menciptakan wewenang baru namun hanya menjalankan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Setiap perbuatan pemerintah harus bertumpu pada suatu kewenangan yang sah, tanpa adanya kewenangan yang sah pejabat atau badan usaha negara dalam hal ini tidak akan dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.27 Selain kewenangan tersebut pemerintah juga memiliki kebebasan bertindak melalui Freies Ermessen atau kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi ini tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang melekat untuk bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan tanggungjawab atas tindakan tersebut. Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman 26 Van Wijk, 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg, hlm. 60 27 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising, Malang, hlm 77. 26 dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan discretion, yang artinya kebebasan bertindak. Laica Marsuki mengatakan Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diembankan dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.28 Menurut Nata Saputra Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum.29 Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu diskresi adalah: 1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh administratur negara 2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan 3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum. 28 29 Sadjijono, Op.cit, hlm 70. M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm.5 27 Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi kewenangan yang tidak terbatas, yaitu adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, kewenangan pemerintah ini tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif) dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu: 1. Apabila terjadi kekosongan hukum 2. Adanya kebebasan interprestasi 3. Adanya delegasi perundang-undangan 4. Demi pemenuhan kepentingan umum. 30 Dari penjelasan tersebut diketahui pemerintah memiliki kewenangan diskresi tetapi tetap pada batas-batas yang ditentukan, batas-batas diskresi seorang pejabat administrasi pemerintahan adalah memperhatikan : 1. Tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan 2. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia 3. Untuk kepentingan umum 4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam. 30 http://justkazz.blogspot.com/2010/02/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html 28 5. Konstitusi Undang-Undang belum jelas atau belum ada yang mengatur 6. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi 7. Adanya persetujuan dari masyarakat jika diskresi akan merugikan. 8. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 6. 3 Asas Desentralisasi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 18 menentukan bahwa : “Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Ini artinya bahwa pemerintah daerah dapat menjalankan dan mengatur pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat, kewenangan ini diberikan agar pemerintah daerah lebih dapat memperhatikan dan memajukan daerahnya dengan sumber pendapatan asli daerah yang dimiliki, setiap permasalahan yang terjadi didaerah dapat segera teratasi dengan adanya hak otonomi tersebut. J in het veld menyajikan beberapa kebaikan dari asas desentralisasi yaitu : 1. 2. 3. 4. Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam; Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut; Dengan desentralisasi dapat meringankan beban yang melampaui batas dari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja; Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada masyarakat luas; 29 5. 6. Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintah tidak hanya sebagai objek; Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah, ini dapat menghindari pemborosan dalam hal tertentu, desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna31. Daerah Otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Pemberian otonomi ini bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat karena pemerintah pusat tidak mungkin dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa bantuan pemerintah daerah. Bagir Manan menyatakan dalam kaitan dengan otonomi daerah hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelbesturen) sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan Negara secara keseluruhan.32 Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa : 31 J.In Het Veld, Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt leerbook voor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, page 42. 32 Bagir Manan, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 Mei. 30 “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Walaupun terjadi penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintah tidak boleh mengingkari makna Negara kesatuan. Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. Hazairin dalam bukunya Fauzan menyatakan desentralisasi adalah “suatu cara pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerahdaerah dalam Negara sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan sendiri”.33 Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah “pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri”.34 Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”35. Kemantapan 33 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45. 34 Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 38. 35 Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7 31 penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah sampai kelurahan/desa berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan pengaturan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi36. Berdasarkan uraian diatas Indonesia menganut otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur semua urusan pemerintah pusat, kecuali masalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama. Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat meningkatkan daerahnya baik dari segi pendapatan maupun sumber daya manusianya sehingga dengan asas ini Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur aparatur daerahnya dengan baik, berupaya untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pemerintah seperti perekrutan pegawai baik dari jalur umum maupun pengangkatan tenaga honorer. 6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum 36 Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka,hlm 266. 32 bagi rakyat terhadap pemerintah37. Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan : “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi, asas efektivitas”. Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik yaitu : 1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel) 2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel) 3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel) 4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel) 5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation, motiveringsbeginsel). 6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of competence, verbord van detournament depouvoir). 7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel) 8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur). 37 Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140. 33 9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised expectation of gewekte verwachtingen). 10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision herstel beginsel 11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life, bescherming van de personlijk levenssfeer).38 Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah daerah harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal perekrutan pegawai baik itu melalui jalur umum maupun pengangkatan pegawai honorer. Penulis dalam penelitian ini menggunakan asas kepastian hukum dan asas keadilan karena : 1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara.39 Asas kepastian hukum memiliki dua aspek yaitu : aspek material yang berkaitan dengan kepercayaan, dimana asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintah menarik kembali keputusan dan merubahnya. Aspek formal memberikan hak kepada yang berkepentingan 38 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung, hlm 81. 39 Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm 75. 34 untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya secara tepat dan tidak adanya berbagai tafsiran. 2. Asas keadilan menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran, asas keadilan menuntut tindakan pemerintah harus proposional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. 6.5 Teori Penjenjangan Norma Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi.40 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang 40 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83. 35 lebih rendah.41 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. UndangUndang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.42 Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain. Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi: a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general). c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lama.43 41 Hans Kelsen, Op cit, hlm 179 42 Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131 43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7. 36 Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tesis ini sangat penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat legi inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. 7. Metode Penelitian Metode yang digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah : 7.1 Jenis Penelitian Penelitian tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian merupakan jenis penelitian hukum normatif, menurut Soejono Soekanto penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dapat dikatakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencangkup : penelitian terhadap asasasas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum serta 37 sejarah hukum. 44 Morris L Cohen dan Kent C Olson “ legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law governs an activity and materials that explain or analyze that law” 45 (penelitian hukum merupakan bagian terpenting dari praktek hukum. Penelitian hukum digunakan dalam proses penemuan hukum dalam hal mengatur dan menerangkan isi hukum). Dalam penelitian ini mengkaji tentang sistematik hukum yaitu konflik norma antara PP No. 48 tahun 2005 dengan Surat Keputusan Kepala Instansi. Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin menyatakan “penelitian hukum positif disebut juga penelitian hukum doctrinal dimana acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia. Sumber datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.” 46 44 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 14. 45 Morris L Cohen, Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh Edition, West Group,ST.Paul,Minn page 1. 46 Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm 118. 38 7.2 Jenis Pendekatan Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah : 1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua UndangUndang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, pendekatan ini juga bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun horizontal, secara vertikal melihat bagaimana hierarkis peraturan perundang-undangan tersebut, sedangkan secara horizontal diteliti sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. Tujuannya adalah agar dalam penelitian ini dapat mengetahui kelemahan pada peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam mengatur bidang-bidang tertentu. 2. Pendekatan Kasus (Case Approach) Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaiatan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu keputusan. Ratio decidendi atau reasoning ini digunakan sebagai referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. if you have one case name in a 39 subjek area, you should be able to use this piece of information to locate : other cases, trough the case digests and citators, relevant legislation through the encyclopaedias47 (jika anda memiliki suatu kasus maka harus dibandingkan dengan kasus lain yang ada, melalui kasus tersebut dicerna dengan peraturan yang relevan dan dengan ensiklopedia). 3. Pendekatan Historis (Historical Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang mengenai apa yang dipelajari dan perkembangan peraturan mengenai isu yang sedang dihadapi. Pendekatan ini mengungkap filosofi dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari. 4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach) Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang suatu negara dengan Undang-Undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan diantara Undang-Undang tersebut. 5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Dalam pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di 47 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia, page 35. 40 dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Ini akan dijadikan dasar untuk membangun argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi 48. Dalam penelitian ini penulis penggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, karena dalam penelitian ini menelaah semua peraturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani dan mencari sinkronisasi peraturan baik secara vertikal maupun horizontal, selain itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual mengkaji terhadap teori-teori, definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan pengertian dan landasan dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan kepegawaian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Konsep Negara hukum, Teori Kewenangan, Asas Desentralisasi, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Teori Penjenjangan Norma. 7.3 Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti norma dan kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, 48 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya, hlm.93-95 41 bahan hukum yang tidak dikodifikasi dan yurisprudensi dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 43 tahun 1999 (yang selanjutnya disebut UU No. 43 tahun 1999) tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang selanjutnya disebut UU No. 32 tahun 2004) yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59). Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160). Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah 42 dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 122). Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82). Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer. Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. 2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku hukum, hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum. Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku, makalah, hasil penelitian 43 dalam bidang hukum, internet yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan. 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia. 49 7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada dua yaitu50 : a. Kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahan bacaan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau artikel, impesum, halaman dan sebagainya) b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan yang dipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu peneliti menyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporan penelitian. Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya. 49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13 50 ibid, hlm 53 44 Selanjutnya bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui study kepustakaan digunakan sebagai pendukung hasil penelitian. 7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan permasalahan yang dibahas selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, sistematisasi evaluasi, argumentasi. Pendeskripsian atau penggambaran yang dilakukan untuk menentukan isu dan makna dari suatu bahan hukum yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah kepegawaian baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma terutama dalam hal ditemukan konflik norma. Dalam hal ini maka untuk menyelesaikan konflik norma diantaranya dengan : pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), pemulihan (remedy). Setelah bahan hukum dapat diindentifikasi dengan jelas maka kemudian dilakukan sistematisasi, pada tahap sistematisasi ini akan dilakukan pemaparan berbagai pendapat hukum dan hubungan hierarki antara aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana yang berhubungan agat dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang sudah 45 tersistematisasi, baik yang berasal dari pendapat sarjana maupun peraturan perundang hukum lainnya selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau argumentasi disesuaikan dengan koherensi terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. 46 BAB II PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepegawaian yaitu : pengertian tenaga honorer, penggunaan beberapa istilah yang berbeda di dalam menyebutkan tenaga yang bukan berstatus sebagai Pegawai Negeri, adanya pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan tenaga honorer yang diangkat tersebut serta pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil yang tidak sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2005), selain itu juga akan membahas pengertian Pegawai Negeri Sipil serta Pejabat Pembina Kepegawaian. 1. Tenaga Honorer Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu harus ada pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation 51. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat UndangUndang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Negara mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa semua penduduknya agar 51 C.S.T. Kansil,1992, Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12 47 mentaati Undang-Undang serta Peraturan lainnya, untuk mewujudkan kedaulatan tersebut dibutuhkan pemerintah yang berdaulat artinya bahwa negara memiliki pemerintahan yang berwibawa, pemerintah harus diakui oleh rakyatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara lain, dibutuhkan untuk aparatur memiliki yang suatu baik dan pemerintahan handal yang untuk berwibawa menggerakkan pemerintahan 52. Sebagai suatu negara hukum, Indonesia dalam menjalankan setiap tindakan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum, tujuannya agar setiap tindakan pemerintah memiliki legitimasi sehingga kepastian hukum tetap ditegakkan, hanya ada satu negara yang berkuasa yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu di dalam negara tersebut walaupun dalam negara Indonesia terdapat asas desentralisasi, kewenangan tetap ada pada pemerintah pusat, pemerintah daerah yang dilimpahkan kekuasaan tidak boleh sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya, segala tindakan pemerintah daerah harus sesuai dengan aturan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, inilah yang disebut sebagai hukum administrasi negara dimana pemerintah sebagai 52 Ni’matul Huda,2010, Ilmu Negara, Rajagrafindo,hlm32 48 penggerak negara harus sejalan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan negara yang kuat. Neil Hawke menyatakan “Administrative law deals with the legal control of government and related administrative powers”53 artinya hukum administrasi berkaitan dengan kontrol terhadap pemerintah dan berkaitan dengan kekuasaan administrasi (terjemahan sendiri). It has been seen that the essential task of administrative law is to provide a legal control in relation to the exercise of administrative powers conferred on various administrative agencies for all sorts of different purposes,54 artinya tugas penting dari hukum adminitrasi adalah untuk memberikan kontrol dalam pelaksanaan kekuasaan badan administrasi dalam segala tujuan (terjemahan sendiri). Salah satu kewenangan yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan aparatur yang baik dan handal guna mewujudkan pemerintahan yang berdaulat adalah dalam urusan kepegawaian, dimana pemerintah daerah dapat mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai baik berstatus pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri. Pegawai memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan karena pegawai yang akan 53 Neil Hawke, 1998, Introduction To Administrative Law,Cavendish Publishing Limited,London,Sidney. 54 Ibid, hlm 14 49 memberikan pelayanan kepada masyarakat, pegawai yang akan membantu pemerintah di dalam setiap program-program kerja yang telah direncanakan setiap tahunnya dan pegawai merupakan bagian dari pemerintah yang akan menjalankan pemerintahan. Kedudukan seseorang sebagai pegawai secara yuridis formal harus ditetapkan melalui SK Pengangkatan sebagai pegawai. SK Pengangkatan tersebut adalah penetapan berlakunya hubungan dinas publik antara seorang pegawai dengan Negara. Hubungan dinas publik timbul untuk melakukan suatu atau beberapa macam jabatan tertentu. Pengangkatan pegawai adalah titik temu antara kehendak pemerintah dalam membutuhkan pegawai dan kehendak pegawai untuk bekerja pada pemerintah. 55 Indonesia adalah negara hukum sehingga segala tindakan pemerintah harus berdasarkan dan diatur oleh hukum maka untuk masalah kepegawaian, pemerintah berpedoman pada UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepagawaian, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, selain itu pemerintah berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil. 55 Riawan Tjandra, Op.cit, hlm 149 50 Berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 selain Pegawai Negeri Sipil pemerintah juga dapat mengangkat pegawai tidak tetap atau bukan Pegawai Negeri Sipil. Di kutip dari tesis Padmawati tentang “Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999” menyebutkan : Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN/APBD. Tenaga honorer atau yang sejenis yang dimaksud, termasuk guru bantu, guru honorer, guru wiyata bhakti, pegawai honorer, pegawai kontrak, pegawai tidak tetap, dan lain-lain yang sejenis dengan itu yang bertugas di bawah naungan instansi pemerintah yang digaji dari APBN/APBD56. Pegawai tidak tetap menurut UU No. 43 Tahun 1999 adalah : Pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis professional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Tenaga honorer pada PP No 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipi, Pasal 1 angka 1 menyatakan tenaga honorer adalah : Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran 56 Padmawati, http://eprints.uns.ac.id/41/ , Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, pada tanggal 24 November 2010. 51 Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Honorer dalam bahasa Inggris berasal dari kata honor yang artinya kehormatan. Honorarium artinya memberikan honor terhadap hasil kegiatan yang dilakukan seseorang. Dalam kamus bahasa Indonesia tenaga honorer adalah tenaga yang dibayar dengan uang honorarium, pegawai tetap artinya tenaga atau pegawai yang diangkat dan bekerja secara tetap pada suatu lembaga (kantor, perusahaan) berdasarkan surat keputusan pimpinan 57. Penggunaan istilah antara UU No. 43 tahun 1999 dengan PP No. 48 Tahun 2005 secara verbal atau tersurat kata tersebut memang berbeda arti tetapi secara tersirat ada sedikit kesamaan antara tenaga honorer dengan pegawai tidak tetap yaitu : sama-sama bukan berstatus negeri atau bukan pegawai tetap, sama- sama diberikan honor sebagai imbalan atas pengabdian kepada negara atas jasa yang diberikan tanpa diberikan tunjangan lainnya 58. Penggunaan istilah untuk penyebutan pegawai yang bukan berstatus Pegawai Negeri Sipil ini berbeda-beda, biasanya tenaga honorer sebutan bagi mereka yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah, tenaga 57 Kamus bahasa Indonesia online, http:// kamusbahasaindonesia.org/honorer 58 http://pusatbahasa.diknas.go.id.kbbi/indexphp. 52 kontrak untuk mereka yang berstatus guru, pegawai tidak tetap bagi tenaga medis, walaupun istilah yang berbeda tetapi kedudukan mereka sama yaitu bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil, menurut hemat penulis hendaknya istilah yang digunakan harus diseragamkan dengan menggunakan istilah pegawai tidak tetap sesuai dengan ketentuan istilah dalam Undang-Undang sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap penggunaan istilah tersebut. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. Penamaan pegawai tidak tetap mempunyai arti sebagai pegawai di luar PNS dan pegawai lainnya (tenaga kerja). Penamaan pegawai tidak tetap merupakan salah satu bentuk antisipasi pemerintah terhadap banyaknya kebutuhan pegawai namun dibatasi oleh dana APBD/APBN dalam penggajiannya. Pengangkatan pegawai tidak tetap diserahkan pada kebutuhan dari masingmasing instansi namun sejak dikeluarkannya PP No. 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil maka semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi dilarang mengangkat tenaga honorer atau sejenisnya kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pengangkatan tenaga honorer dibatasi sampai dengan tahun 2005 setelah itu berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005 tidak diperkenankan lagi untuk melakukan pengangkatan tenaga honorer, namun pada kenyataannya banyak dilakukan pengangkatan tenaga honorer dengan SK kepala instansi dan kepala daerah yang 53 menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan tenaga honorer, selain itu permasalahan pada PP No. 48 Tahun 2005 adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini dilaksanakan sampai dengan tahun anggaran 2009, namun sampai dengan tahun 2007 dalam hal proses pengangkatan terdapat berbagai permasalahan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan PP. No. 48 tahun 2005. Pasal 3 ayat (1) berbunyi : “ Pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil diprioritas bagi yang melaksanakan tugas sebagai : 1. Tenaga guru 2. Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan 3. Tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan, peternakan 4. Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah” Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diatas artinya bahwa tenaga honorer dibutuhkan untuk memenuhi formasi yang lowong agar kegiatan pelayanan dapat berjalan dengan baik, tetapi sesuai dengan ketentuan PP No. 48 pengangkatan tenaga honorer itu diutamakan untuk tenaga guru yang akan ditempat disekolah-sekolah yang ada di daerah mengingat jumlah guru yang ada masih kurang dibanding jumlah sekolah dan siswa yang ada khususnya bagi sekolah-sekolah yang ada di pedalaman, yang kedua pengangkatan diutamakan kepada mereka yang bergelut pada bidang medis seperti dokter, perawat, bidan yang biasanya ditempatkan pada puskesmas-puskesmas yang ada di daerah, ketiga tenaga penyuluh untuk pertanian maupun peternakan dengan tujuan dapat dengan cepat dan mudah membantu petani atau peternak di desa dalam memberikan informasi terhadap masalah pertanian maupun peternakan, ketiga tenaga 54 tersebut diprioritaskan karena untuk mempercepat, mempermudah pelayanan kepada masyarakat. Pada PP No. 48 tahun 2005 Pasal 3 ayat (1) sudah diatur dengan jelas tenagatenaga yang diutamakan dalam pengangkatan tenaga honorer namun pada kenyataan yang ada dilapangan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata didominasi oleh tenaga administrasi yang notabene di luar dari skala prioritas yang termaktub dalam Pasal 3 ayat (1). Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari pengangkatan pegawai dari tenaga honorer karena peluang untuk terjadinya kolusi maupun nepotisme sangat besar, kepentingan orang-orang tertentu yang memiliki kekuasaan besar untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun golongan sangat banyak terjadi, ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat agar tidak terjadi kecurangan dalam pengangkatan pegawai dan untuk mendapatkan SDM yang berkualitas guna terciptanya negara yang maju. 2. Pegawai Negeri Sipil Kedudukan dan peranan dari pegawai negeri dalam setiap organisasi pemerintah sangat menentukan sebab Pegawai Negeri Sipil adalah tulang punggung pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Peranan dari Pegawai Negeri Sipil seperti diistilahkan dalam dunia kemiliteran yang berbunyi not the gun, the man behind the the gun yang artinya bukan senjata yang penting melainkan manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang modern tidak mempunyai arti 55 apa-apa apabila manusia yang dipercaya menggunakan senjata itu melaksanakan kewajibannya dengan benar59. Pengertian Pegawai Negeri Sipil menurut Kranenburg adalah pejabat yang ditunjuk, pengertian ini tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, Presiden dan lain sebagainya. Menurut Logeman Pegawai Negeri adalah setiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan Negara, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pegawai berarti orang yang bekerja pada pemerintah sedangkan negeri berarti Negara atau pemerintah, jadi Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau Negara. Pengertian Pegawai Negeri Sipil menurut Mahfud MD ada dua bagian yaitu : 1. Pengertian Stipulatif : pengertian yang bersifat stipulatif adalah pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang tentang Pegawai Negeri, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) UU No. 43 Tahun 1999. Pengertian yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 berkaitan dengan hubungan pegawai negeri dengan hukum administrasi sedangkan Pasal 3 ayat (1) berkaitan dengan hubungan pegawai negeri dengan pemerintah atau mengenal kedudukan pegawai negeri. Pengertian stipulatif selengkapnya berbunyi : Pasal 1 angka 1:“Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, 59 Sri Hartini, dkk, 2008, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 31. 56 diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku”. Pasal 3 ayat (1) : “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai aparatur Negara bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan”. 2. Pengertian ekstensif : dalam pengertian ini beberapa golongan yang sebenarnya bukan Pegawai Negeri menurut UU No. 43 Tahun 1999 tetapi dalam hal ini dianggap sebagai dan diperlakukan sama dengan Pegawai Negeri artinya disamping stipulatif ada pengertian yang hanya berlaku pada hal-hal tertentu. Contoh : pada ketentuan Pasal 92 KUHP yang berkaitan dengan status anggota dewan rakyat , anggota dewan daerah dan kepala desa. Menurut Pasal 92 KUHP dimana diterangkan bahwa yang termasuk dalam arti Pegawai Negeri adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat dan dewan daerah serta kepala-kepala desa dan sebagainya. Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP sangatlah luas tetapi pengertian tersebut hanya berlaku dalam hal ada orang-orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran jabatan dan tindak pidana lain yang disebut dalam KUHP, jadi pengertian ini tidak termasuk alam hukum kepegawaian. Pengertian stipulatif dan ekstensif merupakan penjabaran atas maksud dari keberadaan Pegawai Negeri dalam hukum kepegawaian. Pengertian tersebut terbagi dalam bentuk dan format yang berbeda namun pada akhirnya dapat menjelaskan 57 maksud pemerintah dalam memposisikan penyelenggara Negara dalam system hukum yang ada karena pada dasarnya jabatan negeri akan selalu berkaitan dengan penyelenggara Negara yaitu Pegawai Negeri. Pengertian Pegawai Negeri Sipil pada Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 huruf c,d dan e adalah : Huruf c : “Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah”. Huruf d : “Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah”. Huruf e : “Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat”.60 Dari beberapa pengertian Pegawai Negeri Sipil di atas dapat penulis simpulkan bahwa Pegawai Negeri adalah seseorang yang bekerja dilingkungan instansi pemerintah, diangkat berdasarkan syarat yang ditentukan oleh UndangUndang Kepegawaian dan digaji oleh Negara sesuai dengan pangkat dan golongan pegawai yang bersangkutan. Dari pengertian Pegawai Negeri di atas dapat dilihat unsur-unsur Pegawai Negeri yaitu : 60 Jur Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.266. 58 1. Warga Negara Indonesia : telah memenuhi syarat Peraturan Perundang-Undangan. 2. Diangkat oleh Pejabat Yang Berwenang : dalam pasal 1 angka 2 UU No. 43 tahun 1999 menegaskan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pada dasarkan kewenangan untuk mengangkat Pegawai Negeri berada ditangan Presiden sebagai kepala eksekutif, namun untuk sampai tingkat kedudukan/pangkat tertentu, Presiden dapat mendelegasikan wewenangnya pada para Menteri atau pejabat lain dan para Menteri dapat mendelegasikan kepada pejabat lain di lingkungan masing-masing. 3. Diserahi tugas dalam jabatan negeri : Pegawai Negeri yang diangkat dapat diserahi tugas baik dalam tugas dalam suatu jabatan negeri maupun tugas negara lainnya. Tugas dalam jabatan negeri artinya yang bersangkutan diberikan jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan jabatan tugas negara lainnya artinya jabatan diluar bidang eksekutif seperti hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Pejabat yudikatif di level pengadilan negeri dan pengadilan tinggi adalah Pegawai Negeri sedangkan Hakim Agung dan Mahkamah (Agung dan Konstitusi) adalah pejabat negara. 59 4. Digaji menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku : gaji adalah balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan. Sebagai imbal jasa dari pemerintah kepada pegawai yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan perlu diberikan gaji yang layak baginya. Dengan adanya gaji maka akan menjamin kelangsungan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan sebab Pegawai Negeri tidak akan dibebani tentang masa depan yang layak dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga dapat bekerja secara profesional61. Dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil), Pasal 6 menyebutkan tentang syarat-syarat untuk dapat melamar sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu : 1. Warga Negara Indonesia. 2. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun. 3. Tidak Pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan suatu tindakan hukum kejahatan. 4. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta. 61 Sri Hartini dkk, op.cit, hlm 35. 60 5. Tidak berkedudukan sebagai Calon/Pegawai Negeri. 6. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan. 7. Berkelakuan baik. 8. Bersedia ditempatkan diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh Pemerintah. 9. Syarat lain ditentukan dalam persyaratan jabatan. Berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) PP 98 Tahun 2000 Pengadaan Pegawai Negeri Sipil menyebutkan : Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah menjalankan masa percobaan sekurangkurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dalam jabatan dan pangkat tertentu, apabila : 1. Setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik. 2. Telah memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. 3. Telah lulus pendidikan dan pelatihan Prajabatan”. Jenis- jenis Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No 43 Tahun 1999 “Pegawai Negeri adalah : 1. Pegawai Negeri Sipil 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia” Menurut UU No. 43 tahun 1999 Pasal 2 ayat (2) Pegawai Sipil dibagi menjadi yaitu Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Daerah. Pengertian Pegawai Negeri Pusat dan Pegawai Negeri Daerah adalah : 1. Pegawai Negeri Pusat : Pegawai Negeri Pusat adalah pegawai negeri yang gajinya dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Nondepartemen, Kesekretariatan Lembaga Negara, Instansi vertikal di Propinsi, Kabupaten 61 Kota, Kepaniteraan Pengadilan atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugan Negara lainnya. 2. Pegawai Negeri Sipil Daerah : pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil daerah Propinsi, Kabupaten, Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pemerintah daerah atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Jenis Pegawai Negeri yang kedua adalah Anggota TNI : Tentara Nasional Indonesia merupakan komponen dalam pembelaan negara, pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan usaha mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Tugas TNI adalah : mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah, melindungi kehormatan dan keselamatan perang, melaksanakan operasi militer serta ikut aktif memelihara perdamaian dunia. Jenis pegawai negeri yang ketiga adalah anggota Polri : Polisi Republik Indonesia (Polri) mempunyai fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian RI dipimpin oleh Kapolri yang bertanggungjawab kepada Presiden.62 Kedudukan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan UU No. 43 tahun 1999 Pasal 3 ayat (1) adalah : 62 Harsono,2011, Sistem Administrasi Kepegawaian, Fokusmedia,Bandung, hlm 18. 62 “Sebagai unsur aparatur Negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas Negara, pemerintahan dan pembangunan”. Dari Pasal tersebut kedudukan pegawai negeri didasarkan pada pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan tetapi juga harus mampu menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak. Pegawai Negeri mempunyai peranan amat penting sebab pegawai negeri merupakan unsur aparatur Negara untuk menyelenggarakan pemerintah dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan Negara. Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional terutama tergantung pada kesempurnaan aparatur Negara yang pada pokoknya tergantung pada kesempurnaan Pegawai Negeri. Dalam hukum publik Pegawai Negeri Sipil bertugas membantu Presiden sebagai kepala pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan, tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan agar setiap Peraturan Perundang-Undangan ditaati oleh masyarakat. Di dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan pada umumnya kepada Pegawai Negeri diberikan tugas kedinasan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai abdi Negara seorang Pegawai Negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Negara, kepada Undang-Undang Dasar 1945, kepada Negara 63 dan kepada Pemerintah. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik karenanya ia harus mempunyai kesetiaan, ketaatan penuh terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah sehingga dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran serta mengarahkan segala daya upaya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Untuk medapatkan sumber daya manusia yang baik sebagai Pegawai Negeri Sipil maka ada beberapa proses tahapan yang dilalui sebelum seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 43 tahun 1999 manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah : “Keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi dan kewajiban kepegawaian yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan dan pemberhentian”. Dari pasal tersebut menjelaskan bagaimana proses perjalanan dari Pegawai Negeri Sipil dalam manata kariernya. Manajemen dalam pasal tersebut membahas mengenai masalah administrasi yang pada dasarnya berfungsi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang perlu dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan dalam batas-batas kebijaksanaan umum yang telah dirumuskan. Secara etimologis manajemen berasal dari kata manus (tangan) dan agree (melakukan) sehingga manage adalah mengurus. Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating and controlling performance to determine and accomplish stated objectives by the use of human being and other resources (manajemen adalah 64 suatu proses khusus yang terdiri atas perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber lainnya)63. Manajemen kepegawaian meliputi kegiatan : 1. Perencanaan : planning didefinikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang mengenai hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan, dalam perekrutan Pegawai Negeri Sipil harus ada rencana yang matang mengenai pengadaan penyelenggaraan perekrutan Pegawai Negeri mengenai jumlah dan susunan pangkat penerimaan, formasi, pendanaan, waktu penyelenggaraan dll. 2. Pengadaan : setelah adanya kepangkatan dan formasi yang telah ditentukan dalam perencanaan, diadakan penerimaan pegawai untuk mengisi formasi yang lowong. Pengadaan dapat dilakukan dengan perekrutan yang diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002. Pengadaan pegawai dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pengumuman, pelamaran, peyaringan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil sampai dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil. Secara prinsipil pengadaan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan lebih 63 Sri Hartini, Op Cit, hlm 31 65 mengutamakan kualitas daripada kuantitas, pengadaan menggunakan pendekatan zero growth dimana pengadaan pegawai didasarkan untuk mengganti pegawai yang pensiun sehingga pengadaan pegawai tidak harus dilakukan setiap tahunnya. Para pelamar akan mengikuti tes tertulis sesuai dengan formasi yang dilamar, setelah lulus tes kompetensi tersebut maka Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil harus memiliki penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik, telah memenuhi syarat kesehatan jasmani dan rohani untuk dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, telah lulus Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan. 3. Pengembangan Kualitas : pengembangan kualitas merupakan suatu keharusan dalam suatu organisasi untuk mencapai hasil maksimal dalam pelaksanaan pekerjaannya. Untuk mencapai mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu keahlian, kemampuan dan ketrampilan. 4. Penempatan : penempatan pegawai adalah suatu proses yang tidak bisa terpisahkan dengan pengadaan pegawai. Setelah proses pengadaan pegawai yang diangkat harus ditempatkan pada unit organisasi tertentu yang membutuhkan tenaga baru dan mengacu pada formasi yang ada. Pada dasarnya setiap pegawai memiliki jabatan karena mereka direkrut berdasarkan kebutuhan untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang ada dalam organisasi. 66 Penempatan pegawai tidak selalu berarti penempatan pegawai baru tetapi bisa pula berarti sebagai pengangkatan dalam jabatan, promosi, dan mutasi (perpindahan). Mutasi atau perpindahan atau alih tugas dari suatu unit organisasi ke unit organisasi lain dengan berdasarkan kepada : kebutuhan organisasi, lamanya masa kerja, penyegaran organisasi dll. 5. Promosi : promosi merupakan suatu penghargaan (reward) yang diberikan kepada pegawai yang berprestasi untuk memangku tanggung jawab yang lebih besar berupa kenaikan pangkat atau jabatan. Kenaikan pangkat bertujuan untuk mendorong/motivasi pegawai untuk lebih meningkatkan pengabdiannya didalam melaksanakan tugas sehari-hari. Kenaikan pangkat ada dua yaitu : kenaikan pangkat reguler adalah penghargaan yang diberikan kepada pegawai yang telah memenuhi syarat yang ditentukan tanpa terikat pada jabatan. Kenaikan pangkat pilihan adalah kepercayaan dan penghargaan yang diberikan kepada pegawai atas prestasi kerja yang tinggi. 6. Penggajian : gaji adalah balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja pegawai negeri yang bersangkutan. Sebagai imbal jasa dari pemerintah kepada pegawai yang telah mengabdikan dirinya untuk melaksanakan sebagian tugas pemerintahan dan pembangunan perlu diberikan gaji yang layak baginya. Dengan adanya gaji yang layak secara relatif akan menjamin kelangsungan pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan sebaga pegawai negeri tidak lagi dibebani dengan pemikiran akan masa depan yang 67 layak dan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga bisa bekerja dengan profesional sesuai dengan tuntutan kerjanya. 7. Kesejahteraan : kesejahteraan adalah kompensasi yang pemberiannya tidak tergantung dari jabatan/pekerjaan PNS dalam rangka peningkatan kesejahteraan PNS. Kesejahteraan pegawai dapat berupa : cuti, perawatan, tunjangan, uang suka duka. 8. Pemberhentian : bagian akhir dari proses manajemen pegawai adalah pemberhentian dimana seluruh kegiatan berakhir disini. Hubungan antara dinas dan mantan pegawai atau penerima pensiun terbatas pada hubungan keluarga, kecuali apabila berkaitan dengan hak-hak penerima pensiun yang diatur pada Peraturan Perundang-Undangan64. Pegawai Negeri Sipil memiliki hak dan kewajiban, hak merupakan konsekuensi dari kewajiban, secara logika keduanya memiliki hubungan timbal balik, hak seseorang dapat dipenuhi karena telah menjalankan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan sesuai dengan syarat untuk mendapatkan hak tersebut. Satjipto Rahardjo menyatakan “antara hak dan kewajiban terdapat hubungan yang erat yang satu mencerminkan adanya yang lain.65 Dalam Hukum Kepegawaian hak dan 64 Miftha Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 27-46. 65 Satjipto Rahardjo, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 54. 68 kewajiban seorang Pegawai Negeri telah diatur secara normatif yang dituangkan pada UU No. 43 Tahun 1999. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999 adalah : 1. Wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 4) 2. Wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. (Pasal 5) 3. Wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undangundang. (Pasal 6). Kewajiban pegawai Negeri adalah segala sesuatu yang wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Sastra Djatmika kewajiban pegawai negeri adalah : 1. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan 2. Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan melainkan dengan kedudukan sebagai pegawai negeri pada umumnya. 3. Kewajiban-kewajiban lainnya 69 4. Elemen-elemen penunjang kewajiban meliputi kesetiaan, ketaatan, pengabdian, kesadaran, tanggung jawab, jujur, tertib, bersemangat dengan memegang rahasia Negara dan melaksanakan tugas kedinasan66 : 1. Kesetiaan berarti tekad dan sikap batin serta kesanggupan untuk mewujudkan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. 2. Ketaatan berarti kesanggupan seseorang untuk mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan (kedinasan) yang berlaku serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan ditentukan. 3. Pengabdian (terhadap Negara dan masyarakat) merupakan kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam hubungan formal baik dengan Negara secara keseluruhan maupun dengan masyarakat secara khusus. 4. Kesadaran berarti merasa, tahun dan ingat (pada keadaan yang sebenarnya) atau keadaan ingat (tahu) akan dirinya. 5. Jujur berarti lurus hati, tidak curang, (lurus adalah tegak benar) terus tersng ( benar adanya). Kejujuran adalah ketulusan hati seseorang dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya atau keadaan wajib menanggung 66 Sastra Djatmika dan Marsono, 1995, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta,hlm 103 70 segala sesuatunya apabila terdapat sesuatu hal, boleh dituntut dan dipersalahkan. 6. Menjunjung tinggi berarti memuliakan atau menghargai dan menaati martabat bangsa. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan Negara mengandung arti bahwa norma-norma yang hidup dalam bangsa dan Negara Indonesia harus dihormati. Setiap pegawai negeri sipil harus menghindari tindakan dan tingkah laku yang dapat menurunkan atau mencemarkan kehormatan bangsa dan Negara. 7. Cermat berarti (dengan seksama), dengan teliti dengan sepenuh minat (perhatian). 8. Tertib berarti menaati peraturan dengan baik, aturan yang bertalian dengan baik. 9. Semangat berarti jiwa kehidupan yang mendorong seseorang untuk bekerja keras dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan tugas dalam rangka pencapaian tujuan. 10. Rahasia berarti sesuatu yang tersembunyi ( hanya diketahui oleh seseorang atau beberapa orang saja, ataupun sengaja disembunyikan supaya orang lain tidak mengetahuinya). Rahasia dapat berupa rencana, kegiatan atau tindakan yang akan, sedang atau telah dilaksanakan yang dapat menimbulkan kerugian atau bahaya apabila diberitahukan kepada atau diketahui oleh orang yang tidak berhak. 71 11. Tugas kedinasan berarti sesuatu yang wajib dikerjakan atau ditentukan untuk dilakukan terhadap bagian pekerjaan umum yang mengurus sesuatu pekerjaan tertentu. Hak Pegawai Negeri Sipil, pada dasarnya adanya hak manusia karena mempunyai berbagai kebutuhan yang merupakan pemacu bagi dirinya untuk memenuhi kebutuhannya seperti bekerja untuk memperoleh uang bagi pemenuhan kebutuhan. Hak pegawai negeri sipil berdasarkan Pasal 7 sampai dengan pasal 10 UU No. 43 Tahun 1999 adalah : Pasal 7 Ayat (1) : “ Setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya.” Ayat (2) : “Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraan”. Ayat (3): “Gaji pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal 8 : “Setiap Pegawai Negeri berhak atas cuti” Pasal 9 Ayat (1) : “Setiap pegawai negeri yang ditimpa oleh sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya berhak memperoleh perawatan”. Ayat (2): “Setiap pegawai negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memeproleh tunjangan”. Ayat (3) : “Setiap pegawai negeri yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka.” Pasal 10 : “Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak atas pensiun”. Sebagai abdi negara yang selalu menjadi perhatian masyarakat luas, Pegawai Negeri Sipil harus memiliki etika dalam menjalankan tugas-tugasnya baik itu dalam bentuk norma hukum, kesopanan, kesusilaan dan agama. Etika berasal dari kata 72 Yunani yaitu ethos yang artinya kebiasaan atau watak, etika artinya pola perilaku atau kebiasaan yang baik dan dapat diterima oleh lingkungan pergaulan seseorang atau suatu organisasi tertentu.67 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menjabarkan pokok-pokok etika Pegawai Negeri Sipil selain itu pemerintah membentuk KORPRI dalam rangka meningkatkan kualitas Pegawai Negeri Sipil dengan membuat panca prasetya KORPRI Pegawai Republik Indonesia sebagai kode etik pegawai Republik Indonesia. Kode etik adalah sekumpulan norma, asas dan nilai yang menjadi pedoman bagi anggota kelompok profesi tertentu dalam bersikap, berperilaku dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai anggota kelompok profesi tertentu. Panca prasetya KORPRI adalah : 1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara. 3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan. 4. Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI. 67 Desi Fernanda, 2003, Etika Organisasi Pemerintah, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Jakarta, hlm 2. 73 5. Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah seseorang yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh UndangUndang untuk dapat bekerja pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah yang gajinya dibebankan pada APBD dan APBN. 3. Pejabat Pembina Kepegawaian Keberadaan Pegawai Negeri Sipil erat kaitannya dengan jabatan dan pejabat, kedua kata ini memiliki perbedaan arti. Menurut R Soegijatno Tjakranegara jabatan adalah subjek hukum yang mendukung hak dan kewajiban sebagai subjek hukum maka jabatan dapat melakukan tindakan-tindakan hukum. Jabatan adalah pendukung kekuasaan dalam negara hukum, jabatan sebagai kekuasaan dilandaskan atas hukum dan setiap jabatan harus dirumuskan batas-batas tugas dan kekuasaannya sehingga bersifat tetap dalam arti tidak berubah-ubah guna menjamin kepastian hukum.68 Pendapat lain mengenai jabatan seperti yang dinyatakan oleh Soenyoto Rais jabatan adalah keseluruhan dari tugas, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab yang secara keseluruhan dibebankan kepada seseorang. Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 43 tahun 1999 disebutkan : “Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya jabatan dalam 68 R. Soegijatno Tjakranegara, 1992, Hukum Tata Usaha Dan Birokrasi Negara, Rineka Cipta Cet I, Jakarta, hlm 96. 74 kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara dan kepaniteraan pengadilan”. Pasal 1 Angka 6 : “Jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat yang ditentukan”. Dari pengertian jabatan diatas bahwa seseorang yang sudah memiliki jabatan sebagai Pegawai Negeri Sipil harus melaksanakan jabatan yang diberikan kepadanya dengan baik, melaksanakan segala tugas, kewajiban dengan penuh tanggung jawab untuk nantinya dapat menjadi pejabat yang mampu memimpin dan mengkoordinasi bawahannya. Pejabat adalah seseorang yang memiliki jabatan penting, seseorang yang diserahkan kedudukan dalam sebuah organisasi/institusi baik formal maupun informal dan turut melekat kewajiban dan hak dari kedudukan yang diberikan tersebut69. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No. 43 tahun 1999 tentang Undang-Undang Pokok Kepegawaian disebutkan : “Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku”. Pasal 1 Angka 3 disebutkan : 69 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20101028195812AAEh88B 75 “Pejabat yang berwajib adalah pejabat yang karena jabatan atau tugasnya berwenang melakukan tindakan hukum berdasarkan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku”. Pasal 1 Angka 4 menyebutkan : “Pejabat negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2002 Pasal 1 angka 2 menyebutkan : “Pejabat Pembina Kepegawaian adalah : Menteri, Jaksa Agung, Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Sekretaris Militer, Sekretaris Presiden, Sekretaris Wakil Presiden, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Sekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur dan Bupati/Walikota”. Menurut Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, (yang selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 2003) Pasal 1 angka 3 menyebutkan : “Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kepala Kepolisian Negara, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/ Tinggi Negara, Kepala Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional serta Pimpinan Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh pejabat struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen”. Pasal 1 angka 4 menyebutkan : “Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi adalah Gubernur”. Pasal 1 angka 5 menyebutkan : “Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”. 76 Pasal 11 Ayat 1 UU No. 43 Tahun 1999 yang dimaksud “pejabat negara adalah : 1. Presiden dan Wakil Presiden 2. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Permusyawarahan Rakyat 3. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat 4. Ketua,Wakil Ketua,Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua badan Peradilan 5. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung 6. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksan Keuangan 7. Menteri dan Jabatan Setingkat Menteri 8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh 9. Gubernur dan Wakil Gubernur 10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota 11. Pejabat lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang”. Pejabat Negara ini tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan : 1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya (Pasal 2 Ayat1 PP No. 9 Tahun 2003). 2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya (Pasal 2 Ayat 1 PP No. 9 Tahun 2003). 3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999). 4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I (I/b) sampai dengan Pembina Tingkat I (IV/b). (Pasal 6 Ayat (1) dan (2) PP No. 9 Tahun 2003). 5. Pejabat Pembina Kepegawaian pusat menentapkan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Pusat di lingkungannya dari jabatan struktural eselon II ke bawah di lingkungannya, karena untuk eselon I pengangkatan, pemindahan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Presiden. (Pasal 11 dan 12 PP No. 9 Tahun 2003) Pejabat Pembina Kepegawaian Propinsi menetapkan : 1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di daerahnya (Pasal 3 Ayat (1). 2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil. 3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999). 4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di Daerahnya menjadi Juru Muda Tingkat I (I/b) sampai dengan Pembina Tingkat I (IV/b). 77 5. Gubernur menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diperbantukan dilingkungan pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk menjadi pembina golongan IV/a dan pembina tingkat I (IV/b). 6. Mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Daerah Propinsi dengan persetujuan DPRD dan diajukan kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 13 Ayat (1) PP No. 9 Tahun 2003). 7. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural eselon II ke bawah. Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah menetapkan : 1. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil di daerahnya (Pasal 3 Ayat (1). 2. Mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil. 3. Mengangkat Pegawai Tidak Tetap di Lingkunganya (Pasal 2 Ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999). 4. Menetapkan kenaikan pangkat Pegawai Negeri Sipil di daerahnya dan Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di lingkungannya untuk menjadi Juru Muda Tingkat I (I/b) sampai dengan Penata Tingkat I (III/d). 5. Mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan DPRD untuk mendapat ijin Gubernur (Pasal 14 Ayat (1) PP No. 9 Tahun 2003). 6. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural eselon II. 7. Menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural eselon III ke bawah di lingkungan pemerintah Kabupaten/Kota. Sebagai pejabat negara Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I di lingkungan pemerintah daerah propinsi. (pasal 18 PP No. 9 Tahun 2003). Kewenangan Pejabat Pembina Kepegawaian diarahkan untuk menjamin terselenggaranya tugas pemerintahan dan pembangunan secara berhasil guna dan 78 berdaya guna, tugas yang paling penting bagi Pejabat Pembina Kepegawaian adalah harus mampu menjalankan manajemen kepegawaian dengan baik sehingga dapat menciptakan sumber saya manusia yang baik, bermutu, memiliki ketrampilan bekerja sehingga kompetisi yang baik dalam lingkungan kerja dapat terwujud dan tercipta iklim kerja yang serasi, seimbang, guna menjamin kesejahteraan Pegawai. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang dapat dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian baik pusat maupun daerah adalah : 1. Penetapan formasi dan pengadaan pegawai untuk mengisi formasi yang kosong. 2. Kepangkatan, jabatan, pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil, dan pengangkatan jabatan struktural serta pemberhentian pegawai. 3. Sumpah jabatan, kode etik dan peraturan disiplin pegawai. 4. Pendidikan dan pelatihan (diklat) 5. Kesejahteraan 6. Penghargaan70 Dari uraian dalam bab ini dapat dipahami bahwa istilah pegawai atau tenaga kerja yang disebut human resources adalah manusia dalam usia kerja (working ages) yang mampu menyelenggarakan pekerjaan fisik ataupun mental. Pegawai sebagai personal administration artinya bahwa 70 Sastra Djatmika dan Marsono, 1985, Hukum Kepegawaian Indonesia, Liberty, yogyakarta, hlm 52 79 ada beberapa golongan masyarakat yang penghidupannya dilakukan dengan bekerja pada kesatuan organisatorisnya yang salah satunya merupakan kesatuan kerja pemerintahan guna mendapatkan imbalan berupa gaji untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pegawai Negeri maupun Tenaga Honorer harus berasal dari SDM yang baik guna mewujudkan negara maju dan pemerintahan yang baik. Pejabat Pembina Kepegawaian memiliki peranan penting dalam pengelolaan aparaturnya karena, Pejabat Pembina Kepegawaian yang berhak untuk melakukan manajemen kepegawaian, Pejabat Pembina Kepegawaian berhak untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai baik berstatus pegawai negeri maupun tidak berstatus sebagai pegawai negeri, untuk mendapatkan SDM yang baik maka Pejabat Pembina Kepegawaian harus mentaati peraturan yang ada tidak mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadi di dalam perekrutan pegawai. Pegawai Negeri adalah mereka yang bekerja pada instansi pemerintah, diangkat berdasarkan Surat Keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang serta mendapatkan gaji dari anggaran pendapatan belanja negara maupun daerah, selain itu mereka berhak atas hak-hak yang telah diatur oleh Undang-Undang seperti hak untuk cuti, hak untuk mendapatkan uang pensiunan serta penghargaan lain berupa kenaikan pangkat sesuai dengan masa pengabdian, sedangkan pegawai yang bukan berstatus Pegawai Negeri baik itu tenaga honorer, kontrak, pegawai tidak tetap adalah mereka yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau Kepala Instansi yang digaji berdasarkan 80 anggaran daerah tidak mendapatkan kenaikan pangkat, tidak mendapatkan uang pensiunan dan bekerja sesuai dengan lamanya perjanjian kerja yang telah disepakati bersama. Penggunaan istilah yang berbeda untuk menyebutkan mereka yang berstatus bukan Pegawai Negeri menimbulkan arti yang berbeda-beda di masyarakat oleh sebab itu menurut hemat penulis bahwa penggunaan istilah tenaga honorer, tenaga kontrak maupun pegawai tidak tetap harus diseragamkan agar tidak menimbulkan multitafsir sehingga kepastian hukum tetap terjaga. 81 BAB III PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL Dalam bab ini akan dibahas mengenai hal-hal penting tentang peraturan tenaga honorer diantaranya Pokok-Pokok Kepegawaian, Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Pedoman Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005, Pedoman Audit Tenaga Honorer, Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Selain itu pada bab ini dibahas juga mengenai mekanisme pengangkatan tenaga honorer, tidak semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri, kedudukan tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi PNS akan tetap berstatus sebagai tenaga honorer. 1. Pengaturan Tenaga Honorer Peraturan tenaga honorer dapat dilihat pada Undang-Undang Pokok Kepegawaian yaitu UU No.43 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005, Peraturan Kepala BKN No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer, serta Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. 82 UU No. 43 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa selain Pegawai Negeri Sipil, Pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap, ini artinya bahwa pejabat pembina kepegawaian tidak hanya mempunyai kewenangan untuk mengangkat Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan UU No. 43 tahun 1999 tetapi juga berhak mengangkat pegawai tidak tetap, tujuannya adalah untuk memenuhi kekurangan sumber daya manusia pada setiap instansi yang membutuhkan. Pengaturan mengenai honorer ini kemudian diperjelas dengan dikeluarkannya PP No. 48 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan PP No. 43 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Pada Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2005 tentang Honorer mengatur mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah. Perubahan PP 48 Tahun 2005 ke PP No. 43 Tahun 2007 dapat dilihat pada : 1. Pasal 3 pada PP No. 48 Pasal 3 ayat (1) pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil diprioritaskan pada : tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan dan peternakan dan tenaga teknis lainnya yang dibutuhkan pemerintah. Sedangkan pada PP No. 43 Tahun 2007 diubah menjadi, tenaga honorer yang diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah : tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh 83 di bidang pertanian, perikanan, peternakan, tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah. Pasal 3 ayat (2) PP No. 48 Tahun 2005 : Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada usia dan masa kerja sebagai berikut : a) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara terus menerus. b) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 10 (sepuluh) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 20 (dua puluh) tahun secara terus menerus. c) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 40 (empat puluh) tahun dan mempunyai masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 10 (sepuluh) tahun secara terus menerus. d) Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun dan mempunyai masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih sampai dengan kurang dari 5 (lima) tahun secara terus menerus. Pasal 3 ayat (2) dan (3) PP No. 43 Tahun 2007 : Ayat (2) Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: 84 a) usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun; dan b) masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus. Ayat (3) Masa kerja terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi dokter yang telah selesai menjalani masa bakti sebagai pegawai tidak tetap. 2. Pasal 4 PP No 48 Tahun 2005 : pengangkatan tenaga honorer dilakukan melalui tes administasi, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi. Selain itu tenaga honorer juga wajib mengisi/menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan /kepemimpinan yang baik, pengangkatan tenaga honorer ini mengutamakan yang berusia paling tinggi atau masa kerja lebih banyak. Sedangkan pada Pasal 4 PP No. 43 Tahun 2007 : bahwa pengangkatan tenaga honorer hanya melalui tes administrasi tanpa dijelaskan apa yang dimaksud dengan tes administasi, pengangkatan tenaga honorer di prioritaskan bagi mereka yang mempunyai masa kerja lebih dari lama atau yang menjelang usia 46 tahun (batas usia disebutkan dengan jelas). 3. Ketentuan Pasal 10 PP No. 48 Tahun 2005 mengenai materi tes honorer dihapus pada PP No. 43 Tahun 2007. 4. Pasal 11 PP No. 48 Tahun 2005 mengenai biaya pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer dibebankan kepada APBN sedangkan pada 85 Pasal 11 PP No 43 Tahun 2005 biaya pengangkatan dibebankan pada APBN apabila pada instansi pusat dan APBD apabila pada instansi daerah. Dalam bab I halaman 4 telah diuraikan bahwa pada PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan : “Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Dari peraturan tentang tenaga honorer tersebut mengatur tentang larangan adanya pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, namun setelah tahun 2005 muncul Surat Keputusan kepala instansi dan kepala daerah yang mengangkat tenaga honorer, dalam hal ini terjadi pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan kepala instansi dan kepala daerah, hal ini telah diuraikan sebelumnya pada bab I halaman 32 tentang teori penjenjangan norma, dimana aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Jenjang Perundang-undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-Undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi71. 71 Soeroso, Loc Cit 86 Peraturan lain yang mengatur masalah tenaga honorer adalah Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Pedoman pendataan dan pengolahan tenaga honorer ini bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan pendataan dan pengolahan tenaga honorer. Selain itu dikeluarkan juga Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Apa`ratur Negara No. 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Berkerja Di Lingkungan Instansi Pemerintah. Peraturan lain adalah dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer, tujuan dari dikeluarkannya Peraturan BKN ini, karena dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan pada beberapa Provinsi/Kabupaten/Kota ditemukan pengangkatan tenaga honorer oleh Pejabat Pembina Kepegawaian secara fiktif dan untuk lebih menjamin akurasi data tenaga honorer, baik yang telah maupun yang akan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil perlu dilakukan audit tenaga honorer secara menyeluruh pada instansi pemerintah. Seperti yang dinyatakan oleh Neil Hawke pada uraian bab II halaman 43 menyatakan “Administrative law deals with the legal control of government and related administrative powers”72 It has been seen that the essential task of administrative law is to provide a legal control in relation to the exercise of 72 Neil Hawke, Loc Cit. 87 administrative powers conferred on various administrative agencies for all sorts of different purposes,73. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa adanya hukum administrasi ini adalah untuk mengetahui kewenangan pemerintah serta batasan dari kewenangan tersebut agar kewenangan pemerintah tidak menjadi kekuasaan yang tidak terbatas, seperti misalnya kewenangan diskresi, walaupun pemerintah memiliki kewenangan diskresi untuk menentang peraturan yang ada tetapi ada batasan terhadap kewenangan diskresi, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi pemerintah agar dapat melakukan discretion of power, hal ini sesuai dengan penjelasan pada Bab I halaman 24-27. Menurut hemat penulis, ketentuan mengenai kewenangan harus diperhatikan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan tugasnya mengemban PP No. 48 Tahun 2005, yang secara jelas melarang adanya pengangkatan pegawai di luar dari PNS setelah tahun 2005, sehingga dapat mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pengangkatan tenaga honorer tersebut dan pengangkatan tenaga honorer tidak dilandasi faktor kolusi yaitu permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara (Pasal 1 angka 4 UU No. 28 Tahun 1999) dan nepotisme yaitu setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di 73 Ibid, hlm 14 88 atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara (Pasal 1 angka 5 UU No. 28 Tahun 1999). Hal ini nantinya akan berpengaruh terhadap Sumber Daya Manusia yang dihasilkan, semakin baik memilih Sumber Daya Manusia untuk menjalankan pemerintahan maka semakin baik pula pemerintahan yang dihasilkan sehingga nantinya dapat mewujudkan clean government and good governance. 2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005, Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil bertujuan untuk menyelesaikan masalah pegawai honorer yang berprestasi, berdedikasi, bekerja terus-menerus dan dibiayai oleh APBN/APBD. Pengangkatan tenaga honorer dilakukan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005 dan paling lambat tahun anggaran 2009. Pengangkatan yang dilakukan harus sangat teliti mengingat ini merupakan hal yang sangat sensitif sehingga diperlukan kecermatan dari pemerintah pusat. Teliti artinya adalah pemerintah dalam melakukan pengangkatan dari tenaga honorer ke Calon Pegawai Negeri Sipil harus sangat hati-hati, cermat, dan seksama dalam memeriksa berkas-berkas sebagai syarat dari tenaga honorer untuk dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, mengingat semua tenaga honorer memiliki keinginan untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sehingga berbagai cara dapat dilakukan agar nama mereka dapat lebih dulu diangkat dari pada nama yang lainnya, mulai dari pemalsuan berkas, bermain curang dengan mengedepankan orang penting/pejabat dapat dilakukan bagi mereka yang ingin 89 segera diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, segala cara dapat dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, salah satunya yaitu Asas Kecermatan, menjadi dasar pelaksanaan oleh Pemerintah dalam melakukan pemeriksaan berkas tenaga honorer harus secara cermat dan tegas, agar tidak terpengaruh dan tetap pada aturan hukum yang telah ditentukan karena tindakan pemerintah harus berdasarkan asas legalitas untuk menciptakan keadilan, seperti yang dijelaskan pada bab I halaman 17 mengenai legalitas. Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum. Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah, maka tindakan yang dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun pegawai honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga. Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dilaksanakan secara objektif artinya pengangkatan ini dilakukan secara benar tanpa dipengaruhi oleh pendapat atau pandangan secara pribadi atau oleh orang lain, harus dilaksanakan berdasarkan atas syarat-syarat yang telah ditentukan, serta tidak membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan atau daerah sehingga akan 90 diperoleh Calon Pegawai Negeri Sipil yang professional, jujur,bertanggung jawab, netral, dan memiliki kompetensi sesuai dengan tugas/jabatan yang akan diduduki. Dengan adanya PP No 48 Tahun 2005 yang melarang adanya pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 maka instansi pusat ataupun pemerintah daerah tidak diperkenankan lagi untuk mengangkat tenaga honorer dengan alasan apapun (huruf A angka 1d Peraturan BKN No. 21 Tahun 2005). Namun kenyataannya masih ada pegawai honorer yang diangkat sampai dengan tahun 2012 dan status mereka akan tetap menjadi tenaga honorer sampai adanya peraturan baru yang mengganti bunyi pasal 8 PP No. 48 tahun 2005. Jumlah tenaga honorer yang ada di daerah seperti pada Pemerintah Daerah Kabupaten Badung sejumlah 2235 yang masuk dalam data base menjadi data final yang mendasar pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil oleh pemerintah yang akan diselesaikan sampai dengan tahun 2009, bagi tenaga honorer yang namanya tidak masuk dalam data base karena pengangkatannya diatas tahun 2005, maka mereka akan tetap sebagai tenaga honorer. Kebijakan pemerintah tahun 2005 sampai tahun 2009 adalah menyelesaikan tenaga honorer yang telah masuk ke dalam data base, menurut Widjaja pengangkatan ini bertujuan untuk memberantas KKN74. 74 Widjaja,2005, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm 66. 91 Oleh sebab itu menurut hemat penulis ada beberapa hal penting berkaitan dengan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dibatasi oleh pemerintah pusat sejak 2005 dan Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat menyelesaikan pengangkatan tersebut sampai tahun 2009 yaitu : 1. Mempercepat pemberantasan KKN serta peningkatan kualitas pelayanan publik artinya pada era reformasi ini banyak terjadi perubahan ditatanan nasional negara, perubahan yang sangat menonjol adalah keinginan rakyat agar pemerintahan diselenggarakan secara baik, transparan dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga aparatur negara harus membebaskan diri dari keterikatan pada salah satu partai politik yang memerintah pemerintah (netral). Aparatur negara harus menanamkan jiwa pengabdian kepada bangsa, negara dan pemerintah sebagai abdi masyarakat dan abdi negara, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik maka produktivitas aparatur selain diukur dengan kinerja pelaksanaan tugas jabatan atau pekerjaan juga perlu diukur dengan manfaat dan dampaknya dalam masyarakat baik dalam pemberian pelayanan maupun dari kegiatan pengelolaan kebijakan yang harus dilakukan masing-masing. Dengan jiwa pengabdian akan menyentuh etika publik dan akuntabilitas publik dan kredibilitas aparat dalam pengelolaan kebijakan dengan memperhatikan kemungkinan pelaksanaan prinsip reinventing yang 92 menekankan system intervensi lebih baik mensetir daripada mendayung ataupun dalam pemberian pelayanan prima. 2. Peningkatan aparatur artinya tantangan yang dihadapi manajemen pemerintahan pada kenyataaan pada saat ini adalah kualitas pelayanan publik yang masih rendah, pola perencanaan dan pengukuran kinerja yang belum terstruktur dengan baik, kebocoran anggaran, tingginya tingkat korupsi dan buruknya birokrasi karena belum diterapkan prinsip-prinsip good governance, masalah korupsi terkait erat dengan buruknya birokrasi. Sistem pengawasan baik internal maupun eksternal belum mantap serta hubungan keduanya belum jelas. Pada aspek Sumber Daya Manusia aparatur, profesionalisme dan manejemen kepegawaian masih merupakan masalah. Hal itu dapat dilihat belum optimalnya adopsi dan aplikasi manajemen sumber daya manusia aparatur yang berbasis kompetensi. Fakta yang memprihatinkan adalah belum banyak dirumuskan standar kompetensi yaitu kemampuan bersikap, berpikir, dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang pegawai. Selain kompetensi, tantangan pada sumber daya manusia aparatur juga meliputi jumlah dan distribusi menurut lembaga dan daerah. Penataan perlu dilakukan untuk mewujudkan jumlah/komposisi yang tepat sesuai dengan kebutuhan baik dari sisi internal maupun eksternal pemerintah 93 sehingga pemerataan pegawai dapat terwujud untuk optimalnya pelayanan kepada masyarakat. 3. Menyelesaikan masalah tenaga honorer artinya banyak tenaga honorer yang mengabdi dalam rentan waktu yang cukup lama, mereka mengabdikan dirinya untuk negara walaupun mendapatkan upah yang kecil, banyak diantara mereka yang berdedikasi tinggi, berprestasi, namun memiliki tingkat kesejahteraan yang masih kurang, oleh sebab itu negara memberikan perhatian untuk meningkatkan taraf hidup mereka menjadi lebih baik dengan melakukan pendataan untuk dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan PP No. 43 Tahun 2007 yang merupakan perubahan atas PP No. 48 Tahun 2005 mengatur bahwa pengangkatan honorer menjadi CPNS diprioritaskan bagi tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan, peternakan serta tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah. Tenaga honorer dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam PP No. 48 tahun 2005, tenaga honorer harus melewati beberapa tahapan administrasi sebelum dapat dinyatakan memenuhi syarat atau tidak untuk diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil hal ini sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang didukung oleh beberapa peraturan tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Pelaksanaan pendataan tenaga honorer dan pengolahannya dilakukan di daerah dengan dikoordinasikan oleh Gubernur dan data yang sudah diolah kemudian 94 disampaikan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (yang selanjutnya disebut MENPAN) dan Badan Kepegawaian Negara (yang selanjutnya disebut BKN). Berdasarkan kriteria tentang tenaga honorer maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut : 1. Batas usia untuk dapat masuk ke dalam data base adalah berusia paling tinggi 46 tahun dan paling rendah 19 tahun pada 1 Januari 2006. 2. Memiliki masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit satu tahun secara terus – menerus dan tidak terputus pada 31 Desember 2005. (diatur pada Pasal 3 ayat (2) PP No. 43 Tahun 2007) 3. Surat Keputusan pengangkatan tenaga honorer harus diangkat oleh pejabat yang berwenang, pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat yang berwenang di propinsi adalah Gubernur dan pejabat berwenang di Kabupaten adalah Bupati. Setelah memenuhi syarat adminitrasi sebagaimana disebutkan pada halaman diatas maka akan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Batching yaitu kegiatan mengelompokkan formulir pendataan tenaga honorer 2005 yang telah diisi dengan jumlah tertentu dalam satu bandle. 2. Editing yaitu kegiatan memeriksa isian formulir pendataan tenaga honorer 2005 dan memberikan tanda edit pada isian yang akan di rekam. 95 3. Coding yaitu kegiatan memberi kode untuk isian uraian formulir pendataan tenaga honorer 2005. 4. Setelah itu maka tenaga honorer akan masuk nama-namanya ke dalam data base. Data base adalah kumpulan data tenaga honorer dari berbagai instansi pemerintah yang telah tercatat di BKN dan mendapatkan nomor induk tenaga honorer (NITH). 5. Dilakukan verifikasi yaitu kegiatan memeriksa kembali kesesuaian daftar tenaga honorer tahun 2005 yang dicetak dari database dengan daftar tenaga honorer tahun 2005 yang diusulkan. 6. Validasi yaitu kegiatan membandingkan antara isian dalam formulir pendataan tenaga honorer 2005 dengan data yang ada dalam database file apakah sama atau tidak dengan program atau secara manual. Pendataan dan verifikasi tenaga honorer dilakukan oleh BKN, karena BKN bertugas menyelenggarakan menajemen Pegawai Negeri Sipil yang berupa : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 75 Perencanaan kepegawaian Pengembangan kualitas sumber daya Pegawai Negeri Sipil Administrasi kepegawaian Pengawasan dan pengendalian Penyelenggaraan dan pemeliharaan informasi kepegawaian Mendukung perumusan kebijaksanaan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil Memberikan bimbingan teknis kepada unit organisasi yang menangani kepegawaian pada instansi pemerintah pusat dan pemerintah daerah75. Sri Hartati,Op Cit,hlm 25 96 Tujuan verifikasi dan validasi adalah untuk mendapatkan kebenaran formal dan material atas kedudukan dan keberadaan tenaga honorer, mendapatkan data riil yang dibayarkan dari APBN/APBD dan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kegiatan pengecekan ini dibentuk anggota tim verifikasi dan validasi yang terdiri dari : BKN, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (yang selanjutnya disebut BPKP), Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang didampingi oleh pejabat inspektorat dan biro kepegawaian/BKD serta tim pendataan tenaga honorer dari masing-masing instansi. Audit adalah kegiatan mengumpulkan informasi factual dan signifikan melalui proses interaksi secara sistematis, objektif, dan terdokumentasi yangt berorientasi pada asas nilai manfaat. Tim pemeriksa akan mengecek : 1. Surat Keputusan pengangkatan pertama tenaga tenaga honorer honorer, dilakukan memeriksa oleh Pejabat apakah Pembina Kepegawaian atau pejabat lain di lingkungan instansi pemerintah dan melaksanakan tugas di lingkungan instansi pemerintah. 2. Bukti aktif bekerja secara terus-menerus 3. Pengecekan pada dokumen berupa : DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja) : dokumen anggaran yang berisi pendapatan dan belanja setiap perangkat daerah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran. 97 SPM (Surat Perintah Membayar) : dokumen yang digunakan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk mencairkan dana yang bersumber dan DASK. SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) : dokumen yang dibuat oleh pengguna anggaran untuk mempertanggungjawabkan uang yang digunakan yang bersumber dari APBN/APBD. 4. Cek fisik keberadaan tenaga honorer 5. Daftar absensi 6. Dokumen – dokumen lain yang dibutuhkan (sumber : Pedoman Audit Tenaga Honorer, Peraturan Kepala BKN No. 15 Tahun 2008). Berdasarkan langkah-langkah sebagaimana diuraikan, maka dilakukan pengecekan oleh tim audit untuk melakukan wawancara langsung terhadap tenaga honorer dan Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang menandatangani Surat Keputusan Pengangkatan Tenaga Honorer, kemudian laporan hasil audit akan ditandatangani oleh seluruh anggota Tim diketahui oleh Kepala BKD, Inpektur Inspektorat Propinsi/Kabupaten/Kota. Hasil verifikasi dan validasi tenaga honorer dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, jika tidak memenuhi maka dinyatakan tidak dapat dipertimbangkan. Tenaga honorer yang terbukti secara sah dan meyakinkan telah memalsu atau memberikan data dan keterangan yang tidak benar dalam proses pendataan dan 98 pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dikenakan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Negeri Sipil. 3. Kedudukan Tenaga Honorer Kedudukan adalah tempat atau posisi, martabat atau tingkat orang, atau status pegawai untuk melakukan pekerjaan atau jabatan. Tenaga honorer adalah mereka yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau Kepala instansi yang terkait untuk menjalankan tugas-tugas tertentu pada instansi pemerintah, tenaga honorer ini tidak berstatus sebagai PNS, mereka diangkat dengan alasan untuk memenuhi kekurangan jumlah pegawai pada instansi di pemerintah daerah. Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengangkat pegawai honorer di daerahnya sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan aparatur daerahnya berdasarkan asas desentralisasi. Desentralisasi berasal dari bahasa latin “de” yang berarti lepas dan “centrum” yang artinya pusat, desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi sebab kata “de” untuk menolak kata sebelumnya. Menurut Joeniarto asas desentralisasi adalah asas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri yang biasanya disebut swatantra atau otonomi.76 76 Pipin syarifin, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, hlm 89. 99 Hazairin menyatakan desentralisasi adalah “suatu cara pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerah-daerah dalam Negara sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan sendiri”.77 Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah “pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri”.78 Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI”79. Kemantapan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah sampai kelurahan/desa berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan pengaturan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi80. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa : 77 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45. 78 Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 38. 79 Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.7 80 Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka,hlm 266. 100 “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dari pendapat para sarjana di atas setiap pengertian desentralisasi terdapat kata penyerahan yang merupakan sifat pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk menjalankan segala kebijaksanaan, perencanaan dan pembiayaan namun sebagai negara kesatuan kewenangan daerah penerima otonom tersebut tidak serta merta lepas dari pemerintah pusat karena kewenangan tertinggi tetap berada pada pemerintah pusat hal ini dilakukan agar kesatuan bangsa tetap terjaga dan prinsip negara kesatuan tetap dipegang teguh oleh setiap daerah. Penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, berupa wewenang delegasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuat keputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris) dalam penyelenggaraan pemerintah tidak boleh mengingkari makna Negara kesatuan. Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia sehingga setiap peraturan yang dibuat harus sesuai dengan peraturan yang ada diatasnya dan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat tidak boleh melebihi 101 kewenangan yang diberikan pemerintah pusat tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Siswanto dalam bukunya hukum Pemerintah Daerah di Indonesia menyatakan : “Penyelenggaraan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya serta atas kuasa peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum serta peraturan daerah lainnya”81. Dengan berdasarkan pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak untuk mengelola aparatur daerahnya khususnya masalah kepegawaian baik itu PNS maupun yang bukan PNS. Pengelolaan kepegawaian khususnya pegawai yang bukan berstatus sebagai PNS menjadi tanggung jawab pemerintah daerah berdasarkan asas desentralisasi dan kewenangan delegasi yang diberikan oleh pemerintah pusat, selama pelaksanaannya tidak menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi. Permasalahan yang menarik untuk penulis bahas adalah dengan adanya kewenangan delegasi yang dimiliki Pemerintah Daerah untuk mengangkat tenaga honorer, sampai sekarang masih ada pengangkatan tenaga honorer, padalah sesuai dengan ketentuan PP No. 48 Tahun 2005 sudah ada larangan untuk mengangkat tenaga honorer, tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah mereka yang telah memiliki masa kerja minimal 1 tahun per tahun 2005, 81 Siswanto, Loc cit, hlm 39. 102 sehingga bagi tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 akan tetap berkedudukan sebagai tenaga honorer selama belum ada peraturan yang mengaturnya. Hal ini memang menimbulkan kerugian kepada tenaga honorer tersebut karena disatu sisi pengangkatan terhadap tenaga honorer, kontrak, PTT masih tetap dilakukan oleh pemerintah dengan Surat Keputusan Kepala Instansi maupun surat Kepala Daerah, padahal sudah ada larangan dari PP. No 48 Tahun 2005, tindakan pemerintah ini menimbulkan ketidakpastian hukum dalam bidang kepegawaian, sedangkan tindakan pemerintah seharusnya berdasarkan pada asas legalitas yang memiliki kepastian hukum. Selain itu juga dampak negatif yang diakibatkan dari adanya pengangkatan tenaga honorer ini adalah besarnya jumlah belanja pegawai yang harus dikeluarkan oleh daerah karena dipergunakan untuk membayar gaji pegawai khususnya bagi tenaga honorer, karena pembayaran tenaga honorer diambil melalui APBD, hal ini dapat mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan daerah karena dana yang tersedia dipergunakan untuk menutupi belanja pegawai yang besar, ini akan menimbulkan kerugian bagi daerah itu sendiri. Dalam muatan penyusunan peraturan maupun kebijakan harus memenuhi beberapa asas, salah satunya adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum. Asas keadilan yang dimaksud adalah bahwa setiap materi Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali, 103 sedangkan asas kepastian hukum yang dimaksud adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.82 Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila83. Sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem konstitusional yaitu pemerintahan berdasarkan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism (kekuasaan tidak terbatas)84. Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan tetapi dituntut untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum harus ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan yang tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila melanggar hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengangkat tenaga honorer, tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat, apabila ketentuan dalam PP No. 48 Tahun 2005 itu melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 seharusnya 82 Pipin Syarifin, Op cit, hlm 18 83 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia, Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11. 84 Bachsan Mustaa, 2003, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 178, 104 pemerintah daerah tidak melakukan pengangkatan lagi, hal ini untuk menjaga kesatuan bangsa. Pemerintah Daerah seharusnya memperhatikan asas legalitas yang merupakan salah satu prinsip utama dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan Peraturan Perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum. Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan yang dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun pegawai honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga. Dengan berpedoman pada peraturan maka kepastian hukum akan terwujud karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu. Tindakan pemerintah transparan tanpa ada yang ditutupi. Dengan melihat pada peraturan-peraturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang akan dilakukan pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan keadaan. Dengan tindakan pemerintah yang sesuai dengan asas legalitas yang otomatis akan memberikan suatu kepastian hukum pada pegawai, maka Hak Asasi Manusia khususnya pegawai baik itu PNS maupun bukan berstatus PNS akan dapat terlindungi. 105 Setiap manusia berhak atas pekerjaan, penghidupan yang layak, dihargai dengan diperlakukan secara adil dalam kehidupannya, karena manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki Hak Asasi yang harus dihormati oleh siapa saja. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa bersama dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan oleh karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM85. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak akan terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi pelanggaran terhadap HAM dalam kepegawaian. Tenaga honorer yang tidak masuk dalam data base karena tidak memenuhi syarat dan tidak sesuai dengan ketentuan dari PP No. 48 Tahun 2005, dimana pengangkatannya setelah tahun 2005 maka kedudukannya akan tetap sebagai tenaga honorer sampai batas waktu pengabdiannya berakhir kepada daerah dimana mereka bekerja dan tidak dapat menuntut untuk dapat diangkat menjadi PNS karena pengangkatannya sudah tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa tenaga honorer dapat diangkat menjadi CPNS apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam PP No. 48 Tahun 2005, serta Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005, setelah memenuhi syarat maka 85 Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176. 106 nama tenaga honorer akan masuk ke dalam data base yang kemudian akan diseleksi untuk dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Setelah mereka diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk dapat menjadi PNS dibutuhkan waktu maksimal 2 Tahun masa percobaan sesuai dengan UU No. 43 Tahun 1999 yang dijabarkan pada PP No. 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil, Pasal 14 yaitu Calon Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil harus memiliki prestasi kerja yang bernilai baik, sehat jasmani dan rohani, serta telah lulus pada diklat prajabatan. Tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 namanya tidak dapat masuk ke dalam data base sehingga mereka tetap berkedudukan sebagai tenaga honorer dan tidak bisa menuntut untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil karena pengangkatan sebagai honorer tidak memenuhi ketentuan dari PP No. 48 Tahun 2005. 107 BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP TENAGA HONORER Pada bab IV ini akan dibahas mengenai tanggung jawab yang diberikan oleh pemerintah secara preventif untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer dan membahas peraturan penyelesaian sengketa tenaga honorer. 1. Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah Secara Preventif Penyelesaian masalah tenaga honorer secara preventif dalam bagian ini mengenai tindakan pemerintah dalam hal ini Bupati Badung dalam mengeluarkan keputusan perlu dilakukan secara cermat, sehingga keputusan yang dikeluarkan itu tidak menimbulkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam kaitan dengan pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 merupakan tindakan illegal karena tidak memenuhi ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu dalam membuat keputusan, pemerintah daerah senantiasa harus berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan menjadikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai pedoman dalam menetapkan keputusan penerimaan tenaga honorer. Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tulisan ini sangat penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi 108 secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala daerah maupun kepala instansi. Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain. Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkanlah suatu teori yang disebut Stufenbau Theorie. Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi.86 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi dan subordinasi. 86 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83. 109 Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang lebih rendah.87 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-Undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.88 Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi: a. Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang lebih rendah tingkatannya. b. Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundangundangan yang bersifat umum (general). c. Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lama.89 Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati maupun Kepala Instansi di Daerah secara jelas melanggar dan bertentangan dengan PP No. 87 Hans Kelsen, Op cit, hlm 179 88 Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131 89 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7. 110 48 tahun 2005, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat legi inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak, dikatakan sepihak karena tindakan pemerintah tersebut tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak dengan pihak lain. Keputusan dan ketetapan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga Negara, oleh sebab itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga Negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Terlebih lagi pemerintah memiliki kewenangan Freies Ermessen, pemberian wewenang ini bertujuan agar ada suatu relaksasi dari kekakuan legislasi namun kewenangan ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran kehidupan masyarakat oleh pemerintah. Tindakan yang dilakukan pemerintah dengan mengangkat pegawai diluar ketentuan PP No. 48 Tahun 2005 dapat digugat karena sudah menimbulkan kerugian bagi pegawai yang diangkat karena disatu sisi tenaga mereka dibutuhkan untuk 111 bekerja di instansi pemerintah tetapi tidak ada jaminan hari tua maupun jaminan kesejahteraan kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 tentang PTUN mengatur tentang badan atau badan hukum perdata dapat menuntut ganti rugi terhadap pemerintah atas kerugian yang dialami karena keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang berlaku. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : 1. Perbuatan Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan 2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan. 3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi 4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. 112 Tindakan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum khususnya dalam hal menimbulkan kerugian kepada masyarakat dibutuhkan adanya suatu tanggung jawab oleh pemerintah. Pertanggungjawaban berasal dari tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika ada sesuatu hal, dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan). Tanggung Jawab Pemerintahan adalah kewajiban penataan hukum (compulsory compliance) dari negara atau pemerintah atau pejabat pemerintah atau pejabat lain yang menjalankan fungsi pemerintahan sebagai akibat adanya suatu keberatan, gugatan, judicial review, yang diajukan oleh seseorang, masyarakat, badan hukum perdata baik melalui penyelesaian pengadilan atau di luar pengadilan untuk pemenuhan berupa: 1. Pembayaran sejumlah uang (subsidi, ganti rugi, tunjangan, dsb) 2. Menerbitkan atau membatalkan/mencabut suatu keputusan atau peraturan, dan 3. Tindakan-tindakan lain yang merupakan pemenuhan kewajibannya, misalnya untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif dan efisien. Penyelesaian masalah tenaga honorer secara preventif bertujuan agar tercipta kedamaian antara pemerintah dan pegawai, tanpa harus menempuh jalur pengadilan, karena pemerintah dan aparaturnya harus mengedepankan asas kerukunan dalam menjalankan pemerintahan agar tercipta hubungan yang serasi, harmonis. 113 Perlindungan hukum preventif adalah diberikannya kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa90. Bagi tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena pengangkatannya diatas tahun 2005 dan telah menyalahi aturan pada PP No. 48 tahun 2005 maka tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan pertanggungjawaban atas tindakannya adalah : tidak melakukan pengangkatan tenaga honorer, tenaga kontrak maupun pegawai tidak tetap lagi sesuai dengan yang diamanatkan PP No. 48 tahun 2005, pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah, karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing. 90 Titik Triwulan dan Gunadi Widodo, 2011, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta, hlm 362. 114 Dengan dilakukannya hal tersebut maka fungsi pemerintah akan dapat terwujud, pemerintah memiliki fungsi : 1. Fungsi pengaturan/fungsi regulasi adalah suatu fungsi untuk menciptakan kondisi yang tepat sehingga menjadi kondusif bagi berlangsungnya berbagai akitivitas selain terciptanya tatanan sosial yang baik diberbagai kehidupan masyarakat. 2. Fungsi pelayanan akan menimbulkan kenyamanan dalam masyarakat. 3. Fungsi pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat dan pembangunan terciptanya kemakmuran dalam masyarakat. Salah satu peran pemerintah adalah melindungi wilayah, aparaturnya dari segala bentuk penindasan, perlindungan adalah bentuk perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya91. Dengan berpedoman pada Asas-Asas Umum Pemerintaha Yang Baik maka peran pemerintah ini akan dapat terlaksana. Pemerintah adalah pelindung masyarakat, tempat untuk mengadu dan mendapatkan solusi atas permasalahan yang ada, oleh sebab itu pemerintah harus jujur, cermat dan teliti dalam mengambil setiap keputusan khususnya dalam hal pengangkatan tenaga honorer agar tidak terjadi keuntungan pada awalnya namun akhirnya menimbulkan kerugian terhadap pegawai honorer yang diangkat tersebut. 91 Lies Sulistiani, 2009, Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban, Wahana Multiguna Mandiri, hlm.20. 115 government in the broader sense is charged with the maintenance of the peace and security of the state within an without. it must therefore,have,first, military power or the means of making laws: thirdly,financial,power or the ability to extract sufficient money from the comunity to defray the cost of defending the state and of enforcing the law it makes on the state behalf 92 (pemerintahan dalam arti luas dibebankan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan negara dengan atau tanpa, karena itu pemerintah harus memiliki, pertama : kekuatan militer dalam arti membuat undangundang, kekuasaan dalam keuangan, untuk membiayai biaya membela negara dan penegakan hukum). 2. Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer Dalam setiap kehidupan bersama pasti akan muncul sengketa, demikian juga hubungan antara pemerintah dan rakyat/aparaturnya. Namun dengan mengedepankan asas kerukunan yang dipegang sebagai suatu prinsip tentunya sedapat mungkin menghindari sengketa, jalan musyawarah ditempuh pertama kali dan diutamakan dalam menyelesaikan masalah sebelum proses pengadilan yang merupakan jalan terakhir dalam menyelesaikan konflik. Berdasarkan Pasal 1 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa pemerintah berperan dalam melaksanakan 92 C.F Strong, 1951, Modern Political Constitutions, Sidgwick and Jackson Limited, London, page 6. 116 manajemen kepegawaian yaitu berupaya meningkatkan efisiensi, efektivitas, derajat professional penyelenggaraan tugas, fungsi, kewajiban dalam bidang kepegawaian, pemerintah juga berperan dalam perencanaan pengadaan pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penempatan pegawai serta promosi jabatan pegawai, memberikan gaji dan bertanggung jawab atas kesejahteraan pegawai serta berperan dalam pemberhentian pegawai baik karena pensiun, pelanggaran disiplin pegawai atau meninggal dalam melaksanakan tugas negara. Dalam melaksanakan perannya ini pemerintah harus berpedoman kepada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik seperti yang telah dijelaskan pada bab I halaman 30. Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah93. Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, 93 Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140. 117 keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan : “Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi, asas efektivitas”. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam suatu negara, karena pemerintah yang akan memimpin rakyatnya untuk bersama-sama membangun Negara, oleh sebab itu maka setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum. Hukum sebagai sarana atau instrument untuk mengatur hak dan kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Selain itu hukum juga melindungi subjek hukum. Sudikno Mertokusomo mengatakan hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Hukum mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negaranya adalah hukum administrasi Negara atau hukum perdata. Pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari hukum publik dan sebagai pejabat dari jabatan pemerintahan. Pada saat pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitas sebagai wakil dari badan hukum tindakan tersebut diatur dan tunduk 118 pada ketentuan hukum keperdataan sedangkan pada saat pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat tindakan itu diatur dan tunduk pada hukum administrasi Negara. Subjek hukum selaku pemikul hak dan kewajiban baik itu manusia, badan hukum dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat tindakan hukum ini akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang nantinya akan membawa akibat hukum. Agar hubungan hukum ini dapat berjalan dengan baik maka setiap subjek hukum harus mentaati hukum sebagai pedoman didalam melakukan hubungan hukum tersebut. Dalam pelaksanaan tindakan pemerintah tidak selamanya berjalan dengan baik, kemungkinan adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum sangat besar sehingga hukum memiliki peran besar dalam perlindungan bagi warga negaranya, dan kewajiban pemerintah untuk melindungi warganya dengan berdasarkan atas hukum. Salah satu hubungan hukum yang timbul dari subjek hukum ini adalah hubungan antara pegawai pemerintah dengan pemerintah itu sendiri. Penelitian ini membahas kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah untuk mengatur aparatur daerahnya, kewenangan pemerintah adalah kemampuan untuk melaksanakan hukum positif karena pemerintah memiliki kekuasaan dalam bidang pemerintahan. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah yang menimbulkan hubungan hukum adalah melakukan pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005 dengan mengabaikan ketentuan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005 yang melarang adanya 119 pengangkatan tenaga honorer, kontrak maupun pegawai tidak tetap setelah tahun 2005. Tindakan pemerintah ini menimbulkan akibat hukum yaitu ketidakpastian hukum terhadap pegawai yang diangkat karena pemerintah telah mengabaikan hukum sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum agar tercipta keharmonisan, kesimbangan dan keadilan. Pegawai sebagai aparatur daerah memiliki hak asasi untuk mendapatkan kehidupan yang layak, tindakan pemerintah yang mengangkat pegawai honorer, kontrak maupun pegawai tidak tetap yang melanggar PP No. 48 tahun 2005 menimbulkan kerugian karena dapat dikatakan pegawai honorer, kontrak maupun tidak tetap diangkat secara illegal menentang peraturan yang ada sehingga pegawai tersebut tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, selain itu tidak ada jaminan kepastian sampai kapan mereka akan bekerja pada instansi pemerintah tersebut. HAM sering didefinisikan hak-hak yang melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak tidak mungkin memiliki hak sebagai manusia, hak-hak tersebut tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable). Hak Asasi Manusia bersifat universal sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dirampas. Hak Asasi Manusia menurut Pasal 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah : “ Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib 120 dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Menurut penulis bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki akal dan pikiran yang dapat menentukan baik dan buruk suatu perbuatan, manusia dianugerahkan Hak Asasi agar setiap hidup dapat dihargai, dihormati, dijunjung tinggi oleh sesama manusia dimuka bumi. Hak Asasi Manusia ini harus diatur tegas dalam perundang-undangan agar setiap pelanggaran dapat ditindak tegas sehingga manusia tetap selalu menghormati sesama manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 adalah mengenai hak untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam pasal tersebut berbunyi “ setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Dengan berdasarkan pada UndangUndang Dasar maka setiap pegawai berhak atas penghidupan yang layak dari kerja yang dilakukan selama mengabdi kepada pemerintah. Ada tiga macam perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian yaitu : 1. Perbuatan pemerintah dalam hal pembuatan peraturan perundangundangan 2. Perbuatan pemerintah dalam penerbitan ketetapan 3. Perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan Namun dalam permasalahan pengangkatan tenaga honorer ini bukanlah termasuk tindakan Freies Ermessen karena syarat-syarat dari kewenangan diskresi 121 tersebut tidak terpenuhi. Dengan adanya perbuatan pemerintah yang menimbulkan kerugian maka perlu adanya perlindungan hukum bagi rakyat, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pada bidang keilmuan diberikan perlindungan atas tindakan pemerintah yang merugikan tersebut yaitu perlindungan hukum dalam bidang perdata bahwa pemerintah sebagai wakil dari badan hukum publik yang melakukan tindakantindakan hukum dalam bidang perdata apabila melakukan perbuatan melawan hukum maka pemerintah dihukum untuk membayar ganti rugi. Hal ini sesuai dengan pasal 1365 KUHperdata yang menyebutkan : “ tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Ada dua perbuatan melawan hukum oleh penguasa yaitu : 1. Perbuatan penguasa melanggar undang-undang dan peraturan formal yang berlaku. 2. Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi. Dalam mengatasi masalah tenaga honorer di daerah pemerintah daerah, bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pegawai yang tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil disebabkan karena adanya pertentangan antara PP dengan SK 122 yang dikeluarkan oleh kepala instansi. Dalam hal ini pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap PP No. 48 Tahun 2005 yang melarang adanya pengangkatan tenaga honorer atau sejenisnya dan ini bukanlah termasuk kewenangan diskresi pemerintah, karena secara tegas dan jelas dalam PP No. 48 Tahun 2005 tidak boleh ada pengangkatan sedangkan pemerintah daerah tetap melakukan pengangkatan. Apabila upaya preventif menemui jalan buntu maka terhadap tindakan pemerintah terhadap (pegawai honorer, pegawai kontrak dan pegawai tidak tetap) dapat menggugat pemerintah ke Pengadilan. Penyelesaian sengketa tenaga honorer melalui jalur pengadilan adalah jalan akhir yang dapat ditempuh oleh tenaga honorer terhadap tindakan pemerintah yang dianggap merugikan tersebut. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara baik di pusat maupun daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Sengketa tata usaha lahir apabila ada seseorang atau badan hukum perdata merasa dirugikan sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan ini dapat melalui Pengadilan umum maupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan umum adalah pengadilan yang menyelesaikan sengketa pidana dan perdata selain itu diberikan wewenang menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam bidang hukum lain termasuk sengketa Tata Usaha Negara. Pengadilan umum ditempuh apabila pemerintah melakukan tindakan hukum sebagai wakil dari 123 badan hukum sedangkan pengadilan administrasi ditempuh apabila pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat. Setelah lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu UU No. 5 Tahun 1986 yang kemudian dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004, orang beranggapan bahwa semua sengketa Tata Usaha Negara dapat diselesaikan melalui pengadilan ini, tetapi setelah berlakunya Undang-Undang tersebut masih memberikan wewenang pada Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang bersifat umum-abstak, sedangkan di Peradilan Tata Usaha Negara menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang bersifat individual-kongkret. Sengketa tata usaha Negara yang dapat diselesaikan melalui pengadilan umum adalah : 1. Sengketa Tata Usaha Negara yang timbul sehubungan dengan dikeluarkannya suatu keputusan yang memuat peraturan yang bersifat perdata. Contohnya jual beli yang berkaitan antara seseorang dengan pemerintah. 2. Sengketa Tata Usaha Negara yang timbul sehubungan dengan dilaksanakannya suatu keputusan yang masih memerlukan persetujuan. Artinya disini adalah keputusan tersebut dapat berlaku apabila telah disetujui oleh instansi lain karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu. 3. Sengketa Tata Usaha Negara yang timbul sehubungan dengan dilaksanakannya putusan Peradilan Tata Usaha Negara. 124 4. Sengeketa Tata Usaha Negara yang timbul sehubungan dengan perbuatan nyata badan/pejabat tata usaha Negara.94 Dalam kasus ini tenaga honorer yang tidak puas dengan tindakan preventif dari pemerintah dan mengajukan gugatan ke pengadilan maka pengadilan yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, karena tindakan pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh kepala daerah dan kepala instansi dalam mengeluarkan SK pengangkatan setelah tahun 2005 bersifat final dan indivudial. Seperti yang dijelaskan dalam bukunya Profesor Johanes Usfunan, ada empat kategori norma – norma hukum salah satunya adalah individual-kongkrit seperti yang dikandung oleh keputusan Tata Usaha Negara yang berupa penetapan tertulis SK pengangkatan dan pemberhentian pegawai, SK pajak tambahan.95 Kongkrit artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud ditujukannya jelas. Bersifat Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara tidak ditujukan untuk umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Bersifat Final artinya sudah definitive dan menimbulkan akibat hukum. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Tata Usaha Negara adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986. 94 95 Ibid, hlm 11 Johanes Usfunan, Op cit, hlm 29. 125 Pasal 1 angka 3 : “Keputusan tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum”. Pasal 3 (1) : “Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengelurkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajiban maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara”. Pasal 3 (2) : “Jika suatu badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagai mana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud”. Pasal 3 (3) “Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka setelah lewat jangka waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonanbadan atau pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.” Pengadilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah : 1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu. 126 2. Memberikan perlindungan hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.96 Pengadilan administrasi atau PTUN merupakan suatu badan peradilan yang menyelesaikan sengketa administrasi. Fungsi peradilan administrasi Negara adalah : 1. Fungsi penasehatan tujuannya adalah untuk meminimalisir terjadinya sengketa antara rakyat dengan pemerintah. Nasehat diberikan kepada rakyat dan pemerintah agar mengurangi sengketa antara kedua belah pihak. 2. Fungsi perujukan artinya bahwa penyelesaian sengketa dilakukan secara damai agar keserasian antara rakyat dan pemerintah tetap terjaga.penyelesaian sengketa secara damai tidak berarti meninggalkan prinsip-prinsip atau aturan hukum yang berlaku. Para pihak yang bersengketa secara aktif mencari dan akhirnya menyadari prinsip dan ketentuan hukum yang sebenarnya dalam hal yang disengketakan, dengan demikian tidak ada menang kalah tetapi saling pengertian dan saling menyadari akan hakikat peraturan yang berlaku. Gugatan untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara adalah gugatan tentang sah dan tidak sah, maka sebenarnya untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha 96 Riawan Tjandra, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm 1. 127 Negara tidak dikenal adanya perdamaian, tetapi jika terjadi perdamaian diluar sidang pemeriksaan maka sesuai surat Edaran Mahkamah Agung RI memberikan petunjuk : a. Penggugat mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan menyebutkan alasan pencabutan. b. Jika pencabutan dikabulkan maka hakim memerintahkan agar panitera mencoret gugatan dari registrasi perkara. c. Perintah pencoretan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.97 3. Fungsi peradilan adalah fungsi terakhir dilakukan apabila jalan musyawarah sudah tidak dapat dijalankan. Sebelum menggunakan ketentuan Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 untuk menempuh gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu harus dilihat ketentuan Pasal 48 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal suatu Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan Peraturan Perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif. Upaya adminitratif tersebut adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri. Upaya adminitrasi ini ada dua yaitu : 97 Wiyono, 2007, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 109 128 1. Banding administrasi : penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara secara administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. 2. Keberatan : penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara secara administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu. Apabila Keputusan Tata Usaha Negara tidak menyediakan penggunaan upaya administrasi sebagaimana Pasal 48 ayat 1 maka sesuai dengan Pasal 53 ayat 1 dapat digunakan prosedur gugatan langsung ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini bertujuan agar dilakukan pengujian dari aspek yuridis yang bersifat menilai legalitas suatu keputusan oleh badan peradilan administrasi murni. Keputusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara tidak memuaskan maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan banding ke Pengadian Tinggi Tata Usaha Negara, pemeriksaan di tingkat banding merupakan pemeriksaan judex facti tingkat terakhir, pada tingkat ini pemeriksaan dilakukan secara keseluruhan, baik mengenai fakta-fakta, penerapan hukumnya dan putusan akhir yang telah diputuskan oleh hakim tingkat pertama. Pemeriksaan tingkat banding bersifat devolutif artinya pengadilan tingkat tinggi memindahkan dan mengulangi kembali seluruh pemeriksaan perkara yang pernah dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama. Apabila para pihak ada yang mengajukan keberatan atas keputusan di tingkat banding maka akan diajukan pada tingkat Mahkamah Agung, upaya hukum yang 129 dapat dilakukan di Mahkamah Agung adalah memohon peninjauan kembali. Peninjauan hukum kembali merupakan upaya hukum terakhir yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berperkara. Putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali dapat berupa : 1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dan membatalkan putusan yang dimohonkan peninjauan kembali dan kemudian memeriksa dan memutuskan kembali perkaranya. 2. Menolak permohonan peninjauan kembali dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak beralasan. 130 BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Tidak semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, tenaga honorer yang dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu : 1. Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun. 2. Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK Pengangkatan dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. 3. Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan, BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan dokumen berupa : DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja) SPM (Surat Perintah Membayar) SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga honorer Daftar absensi 131 2. Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan memberikan tanggung jawab secara preventif yaitu pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing. 2. 1. Saran Pemerintah daerah diharapkan tidak melakukan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi yang kosong dilingkungan pemerintah daerah hendaknya dilakukan dengan penerimaan pegawai melalui jalur umum saja. 2. Pemerintah daerah hendaknya memenuhi tanggung jawabnya secara preventif terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk menjamin kesejahteraan pegawai dan pemerintah berpedoman 132 pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari. 133 DAFTAR BACAAN A. BUKU Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta . PT. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Basah,Sjachran, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Cahyadi, Antonius dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Cohen,Morris L and Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh Edition, West Group,ST.Paul,Minn Djatmika, Sastra dan Marsono, 1995, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Effendi, Lutfi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising, Malang Fauzan, Muhammad, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta. Fernanda,Desi,2003, Etika Organisasi Pemerintah, Lembaga Administrasin Negara, Jakarta. Hadjon, M, Philipus, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Intoduction To The Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hutchinson, Terry, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia. Kelsen, Hans, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa, Bandung. 134 Kansil, C.S.T,Drs. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984. Lubis,Solly, 1992, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung. Lopa, Baharuddin,1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta. Mahfud, Moh. MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES, Jakarta. Manan, Bagir, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya. Marbun, SF,1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Muslimin, Amrah, 1982 , Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung. Mulyadi,Arief, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka. Muchsan,1982, Hukum Kepegawaian, Bina Aksara, Jakarta. Mertokusumo,Sudikno, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Pide, Mustari, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta. Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. 135 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sadjijino, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta. Simon A, Herbert 1984, Perilaku Adminitrasi, Cetakan kedua, terjemahan, Penerbit PT. Bina Aksara, Jakarta. Soemantri, Sri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung. Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.Thoha, Mitfah, 2007, Manajemen Kepegawaian Di Indonesia, Kencana Pranada Group, Jakarta. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sunaryo, Siswanto, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Situmorang,Viktor M, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika, Jakarta. Syarifin ,Pipin dan Jubaedah, Dedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung. Strong, C.F 1951, Modern Political Constitutions, Sidgwick and Jackson Limited, London. Thoha, Miftah,2005, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana, Jakarta. Tayibnapis, Burhanudin A, 1986, Administrasi Kepegawaian;Suatu Tinjauan Analitik, Penerbit Pradnya Paramitha, Jakarta. Usfunan, Johanes Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan, Jakarta. Veld, In Het Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt leerbook voor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna Sitanggang. 136 Wijk,Van 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg. Widjaja,A.W, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Raja Grafindo Persada, Jakarta B. ARTIKEL ELEKTRONIK (INTERNET) Haryuni, 2009, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, diakses dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html& perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review . Padmawati, 2010 Kajian Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang PokokPokok Kepegawaian, diakses dari:http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=ht ml&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=re view. Putra, David Yudia, 2007, Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, diakses dari http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html& perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review . Pratiwi,Wulan, 2008 Pengaruh Kapasitas Sumber Daya Aparatur Birokrasi Terhadap Peningkatan Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah Sebuah Kajian Terhadap Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2005-2009, diakses dari http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/metadata-107923.pdf. Rosanti, 2009, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di Kabupaten, diakses dari Morowalihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&t yp=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1& op=review. 137 Satria, Pengertian Wewenang, http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertianwewenang.html C. PERATURAN Undang-Undang No. 43 tahun 1999 tentang Perubahan atas UU RI No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169). . Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75). Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160). Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 122). Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82). Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer. 138 Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. 139