TINJAUAN PUSTAKA A. Anemia Aplastik Definisi Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia An. An. An. An. Pasca defisiensi Hemolisis aplastik perdarahan + + + + + - Organomegali - + - - + - Perdarahan _ + + + + Gejala klinis Anemia _ leukemia ITP Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Perjalanan penyakit pada pria lebih berat dibandingkan pada perempuan. Klasifikasi Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Berdasarkan derajat pansitopenia darah tepi, anemia aplastik dapat diklasifikasikan menjadi tidak berat, berat, atau sangat berat Anemia Aplastik 1 Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5x109/l trombosit <20x109 /l retikulosit < 20x109 /l Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : - netrofil < 1,5x109/l - trombosit < 100x109/l - hemoglobin <10 g/dl b. Menurut etiologi Asal anemia aplastik telah dihubungkan dengan beberapa kejadian klinis terkait. Walaupun kebanyakan kasus anemia aplastik bersifat idiopatik, adanya riwayat medis memisahkan kasus idiopatik dari kasus dengan dugaan etiologi seperti paparan obat. Tabel klasifikasi anemia aplastik dan sitopenia tunggal : Didapat Diturunkan Anemia Aplastik Sekunder Anemia Fanconi's Radiasi Dyskeratosis congenita Obat dan zat kimia Sindrome Shwachman-Diamond Efek Reguler Reticular dysgenesis Reaksi idiosinkronasi Amegakaryocytic thrombocytopenia Virus Anemia aplastik familial Epstein-Barr virus Preleukemia (monosomy 7, etc.) Hepatitis (Hepatitis non-A, non-B, non-) Sindrom nonhematologic (Down's, Dubowitz, Seckel) Parvovirus B19 (transient aplastic crisis, Anemia Aplastik 2 PRCA) HIV-1 (AIDS) Penyakit Imun Eosinophilic fasciitis Hypoimmunoglobulinemia Thymoma/Karsinoma thymus Graft-versus-host disease pada immunodefisiensi Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria Kehamilan Idiopatik Cytopenias PRCA PRCA kongenital (Diamond-Blackfan anemia) Neutropenia/Agranulocytosis Idiopathic Kostmann's Syndrome Obat, Toxin Sindrom Shwachman-Diamond Pure white cell aplasia Reticular dysgenesis Thrombocytopenia Drugs, toxins Amegakaryocytic thrombocytopenia Amegakaryocytic idiopathix Thrombocytopenia tanpa radii Radiasi Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis. Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima Anemia Aplastik 3 radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik. Bahan-bahan Kimia Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia. Obat-obatan Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea. Obat-obatan yang menyebabkan anemia aplastik Agen yang secara rutin menyebabkan depresi sum-sum sebagai toksisitas utama pada dosis biasa atau paparan yang normal. Obat sitotoksik yang digunakan dalam kemoterapi kanker : alkylating agents, antimetabolites, antimitotics, beberapa antibiotic Agen yang biasanya namun tidak mutlak menyebabkan aplasia sum-sum: Benzene Agen yang terkait dengan anemia aplasia namun dengan kemungkinan yang relative rendah Chloramphenicol Insektisida Antiprotozoa: quinacrine dan chloroquine, mepacrine Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (termasuk phenylbutazone, indomethacin, ibuprofen, sulindac, aspirin) Anticonvulsants (hydantoins, carbamazapine, phenacemide, felbamate) Anemia Aplastik 4 Heavy metals (gold, arsenic, bismuth, mercury) Sulfonamides: beberapa antibiotics, obat antithyroid (methimazole, methylthiouracil, propylthiouracil), obat antidiabetes (tolbutamide, chlorpropamide), carbonic anhydrase inhibitors (acetazolamide dan methazolamide) Antihistamines (cimetidine, chlorpheniramine) D-Penicillamine Estrogens (kehamilan) Agen yang keterkaitan dengan anemia aplastik belum jelas: Antibiotik lainnya (streptomycin, tetracycline, methicillin, mebendazole, prochlorperazine, piperacetazine, trimethoprim/sulfamethoxazole, flucytosine) Sedatives dan tranquilizers (chlorpromazine, chlordiazepoxide, meprobamate, methyprylon) Allopurinol Methyldopa Quinidine Lithium Guanidine Potassium perchlorate Thiocyanate Carbimazole Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi. Anemia Aplastik 5 Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang. Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa. Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain 1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang. 2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH. 3. Kehamilan Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya. Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obatAnemia Aplastik 6 obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti. Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis). Patofisiologi Kegagalan sum-sum terjadi akibat kerusakan berat pada kompartemen sel hematopoetik. Pada anemia aplastik, tergantinya sum-sum tulang dengan lemak dapat terlihat pada morfologi spesimen biopsy dan MRI pada spinal. Sel yang membawa antigen CD34, marker dari sel hematopoietik dini, semakin lemah, dan pada penelitian fungsional, sel bakal dan primitive kebanyakan tidak ditemukan; pada pemeriksaan in vitro menjelaskan bahwa “kolam” sel bakal berkurang hingga < 1% dari normal pada keadaan yang berat. Suatu kerusakan intrinsik pada sel bakal terjadi pada anemia aplastik konstitusional: sel dari pasien dengan anemia Fanconi mengalami kerusakan kromosom dan kematian pada paparan terhadap beberapa agen kimia tertentu. Telomer kebanyakan pendek pada pasien anemia aplastik, dan mutasi pada gen yang berperan dalam perbaikan telomere (TERC dan TERT ) dapat diidentifikasi pada beberapa orang dewasa dengan anomali akibat kegagalan sumsum dan tanpa anomali secara fisik atau dengan riwayat keluarga dengan penyakit yang serupa. Anemia aplasia sepertinya tidak disebabkan oleh kerusakan stroma atau produksi faktor pertumbuhan. Anemia Aplastik 7 Kerusakan akibat Obat. Kerusakan ekstrinsik pada sumsum terjadi setelah trauma radiasi dan kimiawi seperti dosis tinggi pada radiasi dan zat kimia toksik. Untuk reaksi idiosinkronasi yang paling sering pada dosis rendah obat, perubahan metabolisme obat kemungkinan telah memicu mekanisme kerusakan. Jalur metabolisme dari kebanyakan obat dan zat kimia, terutama jika bersifat polar dan memiliki keterbatasan dalam daya larut dengan air, melibatkan degradasi enzimatik hingga menjadi komponen elektrofilik yang sangat reaktif (yang disebut intermediate); komponen ini bersifat toxic karena kecenderungannya untuk berikatan dengan makromolekul seluler. Sebagai contoh, turunan hydroquinones dan quinolon berperan terhadap cedera jaringan. Pembentukan intermediat metabolit yang berlebihan atau kegagalan dalam detoksifikasi komponen ini kemungkinan akan secara genetic menentukan namun perubahan genetis ini hanya terlihat pada beberapa obat; kompleksitas dan spesifitas dari jalur ini berperan terhadap kerentanan suatu loci dan dapat memberikan penjelasan terhadap jarangnya kejadian reaksi idiosinkronasi obat. Jejas Autoimun Penyembuhan pada fungsi sum-sum pada beberapa pasien yang dipersiapkan untuk transplantasi sum-sum dengan antilymphocyte globulin (ALG) menjelaskan bahwa anemia aplastik kemungkinan dimediasi imun. Seperti dengan hipotesis ini adalah seringnya kegagalan transplantasi sum-sum dari kembar syngeneic, kemoterapi sitotoksik tidak dilakukan, keadaan ini menyangkal absennya sel bakal sebagai penyebab dan keberadaan dari faktor resipien yang menciptakan kegagalan sum-sum. Data laboratorium mendukung peranan penting sistem imun pada anemia aplastik. Sel darah dan sel sum-sum tulang pada pasien dapat menekan pertumbuhan sel bakal normal dan diambilnya sel T yang diamati pada sum-sum tulang pasien anemia aplastik dapat memperbaiki pembentukan koloni in vitro. Peningkatan jumlah sel T sitotoksik yang aktif ditemukan pada pasien anemia aplastik dan biasanya menurun dengan terapi immunosupressif; penukuran sitokin menunjukkan respn imun TH1 (interferon γ dan tumor necrosis factor). Interferon dan TNF memicu ekspresi Fas pada sel CD34, menyebabkan apoptosis.; lokalisasi dari sel T yang teraktivasi pada sum-sum tulang dan produksi lokal pada faktor pelarut kemungkinan penting dalam kerusakan sel bakal. Kejadian sistem imun dini pada anemia aplastik belum dipahami dengan baik. Analisis ekspresi reseptor sel T menunjukkan oligoklonal dan respon sel T sitotoksik akibat antigen. Banyak antigen exogen berbeda sepertinya mampu untuk menginisiasi respon imun Anemia Aplastik 8 patologis, namun paling tidak beberapa sel T kemungkinan dapat membedakan self-antigen. Jarangnya anemia aplastik walaupun seringnya paparan zat pemicu (obat-obatan dan virus hepatitis) menandakan bahwa respon imun yang ditentukan secara genetic dapat mengkonversi respon fisiologis normal menjadi suatu proses autoimun abnormal yang berkelanjutan, termasuk polymorphisme pada histokompabilitas antigen, gen sitokin, dan gen yang mengatur polarisasi sel T dan fungsi efektor. Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering. Jenis Keluhan % Pendarahan 83 Lemah badan 80 Pusing 69 Jantung berdebar 36 Demam 33 Nafsu makan berkurang 29 Pucat 26 Sesak nafas 23 Penglihatan kabur 19 Telinga berdengung 13 Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70) Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacamAnemia Aplastik 9 macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis. Jenis Pemeriksaan Fisik % Pucat 100 Pendarahan 63 Kulit 34 Gusi 26 Retina 20 Hidung 7 Saluran cerna 6 Vagina 3 Demam 16 Hepatomegali 7 Splenomegali 0 Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat. Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien Anemia Aplastik 10 seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan. Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi. b. Pemeriksaan sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah. Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis. Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun. International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang Anemia Aplastik 11 yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan lemak. Diagnosa Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik. Diagnosa Banding Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel. Penyebab Pansitopenia Kelainan sumsum tulang Anemia aplastik Myelodisplasia Leukemia akut Myelofibrosis Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia Anemia megaloblastik Kelainan bukan sumsum tulang Hipersplenisme Sistemik lupus eritematosus Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia Anemia Aplastik 12 aplastik. Selain itu, prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler). Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi. Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang. Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik. Penatalaksanaan Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien Manajemen awal dari anemia aplastik : Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik. Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan. Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF. Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya Anemia Aplastik 13 donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik a. Pengobatan Suportif Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Anemia Aplastik 14 b. Terapi Imunosupresif Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada : - Anemia aplastik bukan berat - Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok - Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis. Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik. Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik Dosis test ATG : ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan. Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) : Asetaminofen 650 mg peroral Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus Hidrokortison 50 mg intravena perbolus Terapi ATG : ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG : Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness, tapering dosis setiap 2 minggu. Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau Anemia Aplastik 15 lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati. Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46%. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG. c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies) Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik. Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietikseperti Granulocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien. Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastik ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif. Anemia Aplastik 16 d. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif. Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali. Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari Anemia Aplastik 17 donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi. Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation (EBMT) adalah sebagai berikut : - Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3. - Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3 dan trombosit dibawah 100.000/mm3. - Refrakter : tidak ada perbaikan. Prognosis Pada anemia aplastik telah dibuat pengelompokan lain untuk membedakan antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih ringan dengan prognosis yang lebih baik. Penggunaan imunosupresif dapat meningkatkan keganasan sekunder. Pada penelitian diluar negeri dari 103 pasien yang diobati dengan ALG, 20 pasien diikuti jangka panjang berubah menjadi leukemia akut, mielodisplasia, PNH, dan adanya resiko terjadi hepatoma. Kejadian ini mungkin merupakan riwayat alamiah penyakit walaupun komplikasi tersebut Anemia Aplastik 18 DAFTAR PUSTAKA 1. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2006;637-43. 2. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25. 3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm 4. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8. Anemia Aplastik 19