MUTU TEPUNG IKAN RUCAH PADA BERBAGAI PROSES

advertisement
MUTU TEPUNG IKAN RUCAH PADA BERBAGAI PROSES PENGOLAHAN
pPP
Luthfi Assadad*, Arif R. Hakim, dan Tri N. Widianto
Loka Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pengolahan Hasil Perikanan
Jl. Imogiri Barat KM 11.5, Jetis - Bantul - DI Yogyakarta 55781
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Telah dilakukan sebuah penelitian untuk memanfaatkan ikan rucah dalam rangka pemanfaatan
hasil samping, penerapan konsep zero waste dan peningkatan nilai tambah menjadi produk
tepung ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu tepung ikan rucah (k imia,
mikrobiologi dan sensori) pada berbagai proses pengolahan. Ikan rucah diproses menjadi
tepung ikan dengan tiga perlakuan pengolahan yang berbeda, yaitu perebusan, pengukusan
dan presto. Suhu selama proses dicatat setiap lima menit dan bobot produk pa da setiap akhir
tahapan pengolahan ditimbang. Tepung ikan yang diperoleh dianalisis dengan parameter
pengujian kimia, mikrobiologi dan organoleptik sesuai Standar Nasional Indonesia SNI 01 -27151996. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kestabilan suhu selama proses dapat tercapai
pada perlakuan perebusan, dan rendemen akhir tertinggi pada perlakuan pengukusan, yaitu
sebesar 23.04% dari bobot awal. Seluruh perlakuan memberikan nilai kadar protein di atas 50%
dan kadar lemak di bawah 14% (memenuhi persyaratan S NI). Hasil pengujian mikrobiologi
terhadap tepung ikan rucah untuk semua perlakuan negatif Salmonella dan memenuhi
persyaratan SNI. Perlakuan perebusan mempunyai nilai tertinggi untuk parameter kenampakan
dan tekstur pada pengujian organoleptik. Secara umum, perlakuan perebusan memberikan
mutu tepung ikan rucah terbaik, dengan kadar air, protein, serat, abu, lemak, kalsium, fosfor
dan NaCl berturut-turut sebesar 5,62%, 58,02%, 1,46%, 15,79%, 13,39%, 4,36%, 4,13%, dan
0,36%.
Kata kunci: ikan rucah, metode pengolahan, SNI 01-2715-1996, tepung ikan
Pengantar
Ikan rucah merupakan hasil samping pengolahan utama ikan maupun dari hasil tangkapan
sampingan yang dipandang tidak memiliki nilai ekonomis (Murtidjo, 2001), sehingga cenderung
tidak diproses dan dibuang oleh pengolah atau nelayan. Jenis ikan ini memiliki kandungan
protein yang cukup tinggi (Nasran dan Tambunan, 1974; Moeljanto, 1982), sehingga dapat
dimanfaatkan untuk diproses menjadi suatu produk dalam rangka pemanfaatan hasil samping,
penerapan konsep zero waste dan peningkatan nilai tambah. Salah satu solusi yang bisa
dilakukan yaitu dengan memanfaatkan ikan rucah sebagai bahan baku tepung ikan.
Tepung ikan merupakan produk hasil pengeringan dan penggilingan dari ikan atau hasil
samping pengolahan ikan tanpa penambahan material apapun (Windsor, 2001). Proses
pengolahan tepung ikan sangat beragam, tergantung pada komposisi kimia dan ketersediaan
teknologi yang ada. Arifudin (2001) membagi proses pengolahan tepung ikan menjadi proses
kering dan proses basah berdasarkan kandungan lemak ikan, dimana proses basah dilakukan
dengan perebusan. Ariyani (2001), Basmal (2001), Murdinah (2001), Marsina dan Rahayu
(2001) melakukan penelitian pengolahan tepung ikan dengan proses perebusan yang
dilanjutkan dengan pengepresan, pengeringan dan penggilingan. Beberapa penelitian lain
menggunakan proses pengukusan (Windsor, 2001; Sipayung et al, 2015) dan presto (Orlando,
2008) sebagai proses utama untuk pembuatan tepung ikan. Perbedaan proses pengolahan
diduga mempengaruhi kualitas mutu tepung ikan yang dihasilkan.
Kajian mutu tepung ikan berdasarkan perbedaan proses pengolahan ini telah dilakukan oleh
beberapa penelitian terdahulu seperti Hutuely (2001), dan Susanto dan Nurhikmat (2008),
namun belum memberikan informasi mutu tepung ikan secara lengkap sebagaimana tercantum
dalam standar mutu tepung ikan SNI 01-2715-1996 (DSN, 1996). Penelitian ini bertujuan untuk
02
mengetahui mutu tepung ikan rucah (kimia, mikrobiologi dan sensori) pada berbagai proses
pengolahan.
Bahan dan Metode
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ikan rucah diperoleh dari pasar ikan di
pantai Depok - Bantul DIY. Sedangkan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
coolbox, timbangan (electronic kitchen scale, EK 5055), penjepit ikan, pisau, serok, kompor,
pengukus, alat presto, ember, nampan, grinder, blender (Philips HR 2116) dan termometer
multichannel (YCT - YC 747UD)
Bahan dan peralatan lain yang digunakan yaitu bahan dan peralatan untuk pengujian kimia,
sensori dan mikrobiologi berdasarkan SNI 01-2715-1996 (DSN, 1996), SNI 01-2346-2006
(BSN, 2006a), dan SNI 01-2332.2-2006 (BSN, 2006b)
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Loka Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pengolahan
Hasil Perikanan (LPPMPHP) pada bulan Februari 2015. Pengujian kimia dilakukan di
Laboratorium Kimia, Biokimia Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada, pengujian sensori dilakukan di laboratorium uji fisik LPPMPHP, dan
pengujian mikrobiologi (Salmonella) dilakukan di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu
Hasil Perikanan (LPPMHP) Dinas Kelautan dan Perikanan DIY.
Metode kerja (modifikasi dari Susanto dan Nurhikmat (2008)
Bahan utama berupa ikan rucah dicuci menggunakan air, lalu diolah dengan tiga macam
perlakuan, yaitu perebusan selama 30 menit, pengukusan selama 30 menit dan presto selama
15 menit; masing-masing tiga ulangan. Selama proses pengolahan dilakukan pengukuran suhu
(°C) setiap 5 menit. Selanjutnya, dilakukan proses penirisan dan penghalusan dengan
menggunakan grinder. Material dalam kondisi lumat kemudian dijemur di bawah sinar matahari
selama 2-3 hari hingga kering (estimasi kadar air < 10%). Kemudian, dilakukan proses
penepungan dengan menggunakan blender. Pada akhir masing-masing tahapan dilakukan
proses penimbangan untuk penentuan bobot rendemen. Prosedur kerja tersebut di atas
disajikan dalam bentuk diagram alir seperti terlihat pada Gambar 1.
Pengujian Produk
Tepung ikan yang sudah dihasilkan kemudian dianalisis berdasarkan parameter SNI 01-27151996, yang terdiri dari pengujian kimia (kadar air, abu, protein kasar, lemak, serat kasar,
kalsium, fosfor, dan NaCl), pengujian mikrobiologi (kandungan Salmonella menggunakan
metode kualitatif yang mengacu pada SNI 01-2332.2-2006), dan pengujian sensori (SNI 012346-2006).
Pengujian sensori menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 15 orang, dengan
menggunakan lembar penilaian sensori tepung ikan yang mengacu kepada SNI 01 -2346-2006
(petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori) (BSN, 2006 a). Data yang diperoleh disajikan
sebagai rata-rata dari nilai yang diberikan oleh panelis.
BAHAN
(ikan rucah)
PENCUCIAN
dengan menggunakan air
PEREBUSAN
30 menit
PENGUKUSAN
30 menit
PRESTO
15 menit
PENIRISAN
PENGHALUSAN
menggunakan grinder
PENGERINGAN
Sinar matahari, 2-3 hari
PENEPUNGAN
menggunakan blender
TEPUNG IKAN
Gambar 1. Proses pembuatan tepung (modifikasi dari Susanto dan Nurhikmat (2008)
Hasil dan Pembahasan
Tepung ikan adalah suatu produk padat yang dihasilkan dengan mengeluarkan sebagian besar
air, sebagian atau seluruh lemak dari bahan yang berupa daging ikan atau bagian ikan yang
biasanya dibuang (kepala ikan, isi perut, dan lain-lain). Tepung ikan merupakan salah satu hasil
pengawetan ikan dalam bentuk kering (Ilyas, 1982). Berbagai jenis ikan laut dapat diolah
menjadi tepung ikan, akan tetapi yang paling ekonomis adalah ikan -ikan kecil (rucah) yang
kurang disukai untuk dikonsumsi dan harganya relatif murah.
Kualitas tepung ikan tergantung dari bahan baku yang digunakan serta proses pembuatannya.
Pemanasan yang berlebihan menghasilkan tepung ikan yang berwarna coklat dan kadar protein
atau asam aminonya cenderung menurun atau menjadi rusak (Si tompul, 2004). Secara umum,
kualitas tepung ikan harus memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI 01 -2715-1992 yang telah
direvisi menjadi SNI 01-2715-1996, dengan klasifikasi menjadi 3 level kualitas, sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Standar Nasional Indonesia untuk
Komposisi
Kimia
a) air (%) maks
b) protein kasar (%) min
c) serat kasar (%) maks
d) abu (%) maks
e) lemak (%) maks
f) Ca (%)
g) P (%)
h) NaCl (%) maks
Mikrobiologi
Salmonella (pada 25 gr sampel)
Organoleptik
Nilai minimum
Sumber: SNI 01-2715-1996 (DSN, 1996)
produk tepung ikan
Mutu I
Mutu II
Mutu III
10
65
1,5
20
8
2,5-5,0
1,6 - 3,2
2
12
55
2,5
25
10
2,5-6,0
1,6 - 4,0
3
12
45
3
30
12
2,5-7,0
1,6 - 4,7
4
negatif
negatif
negatif
7
6
6
Penyusutan Bobot
Hasil percobaan menunjukkan bahwa penyusutan bobot bahan terjadi selama proses
pengolahan dan pada saat pengeringan. Saat proses pengolahan, sebagian material larut dan
pada saat pengeringan kadar air bahan berkurang secara signifikan, dim ana persentase bobot
bahan pada saat awal diproses dianggap 100% (A). Rendemen akhir (E) tertinggi dihasilkan
oleh perlakuan pengukusan (23,04±0,63%) dan terendah dihasilkan oleh perlakuan perebusan
(19,95±1,19%). Hal ini disebabkan karena pada proses pere busan, material mengalami kontak
langsung dengan medium pemanas berupa air, sehingga sebagian besar material larut. Hal ini
menyebabkan menurunnya persentase rendemen akhir (Murniyati dan Nurhayati, 2013). Grafik
penyusutan bobot bahan (%) selama proses pembuatan tepung ikan rucah disajikan pada
Gambar 2.
120,00
100,00
80,00
Perebusan
60,00
Pengukusan
40,00
Presto
20,00
A
B
C
D
Tahapan pembuatan
E
Gambar 2. Penyusutan bobot bahan (%) selama proses pembuatan tepung ikan rucah
Keterangan grafik: A. Bobot awal, B. Setelah pemasakan, C. Setelah penggilingan, D. Setelah
pengeringan, E. Setelah penepungan.
Suhu proses
Suhu saat proses berbeda-beda tergantung perlakuan yang dilakukan. Suhu untuk perlakuan
perebusan berkisar antara 75-92°C dengan rata-rata 86°C, suhu untuk perlakuan pengukusan
berkisar antara 47-99 °C dengan rata-rata 79 °C, sedangkan suhu untuk perlakuan presto
berkisar antara 59-72°C dengan rata-rata 67°C; sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Suhu
yang tercatat pada saat awal proses sangat bervariasi, hal ini terkait dengan proses buka -tutup
peralatan saat pemasukan bahan baku ke dalam alat pemasak.
120
100
80
Perebusan
60
Pengukusan
40
Presto
20
0
5
10
15
20
Waktu (menit)
25
30
Gambar 3. Grafik suhu pemasakan tepung ikan rucah
Untuk perlakuan perebusan dan pengukusan dengan kondisi tekanan udara 1 atm, suhu
mendekati titik didih pada tekanan udara normal 1 atm (100 °C) hampir tercapai, yaitu masingmasing sebesar 92 °C dan 99 °C untuk perlakuan perebusan dan pengukusan. Namun demikian,
suhu sebesar 100 °C sendiri tidak tercapai, mengingat pada kenyataannya ada beberapa faktor
yang berpengaruh, seperti tekanan udara, volume udara dan suhu di dalam alat presto,
maupun kondisi di luar alat presto. Secara umum, hal ini dapat diketahui melalui persamaan
gas ideal (hukum Gay Lussac) sebagai berikut
dimana P = tekanan, V = volume, T = suhu, C = konstanta kesebandingan gas; dan P ~ T.
Sehingga untuk menaikkan suhu, maka diperlukan tekanan yang lebih tinggi dari 1 atm, dimana
hal tersebut sulit terjadi pada proses perebusan dan pengukusan.Untuk perlakuan presto,
dengan menggunakan teori yang sama, idealnya dapat tercapai suhu di atas 100 °C. Mengingat
peralatan panci presto terbuat dari bahan stainless yang tebal dan kuat serta difungsikan
dengan penutupan yang rapat (Gambar 4), maka uap air yang yang dihasilkan saat proses
pendidihan tidak dapat keluar dan hanya terkumpul dalam panci presto. Uap air ini
menyebabkan tekanan air dalam panci presto naik, yang menyebabkan temperatur didihnya
juga naik menjadi di atas 100 °C (Tari, 2015). Namun demikian pada percobaan ini suhu
tersebut tidak tercapai. Hal ini diduga karena waktu yang diperlukan untuk menaikkan suhu
hingga mencapai di atas 100°C tidak dapat dipenuhi selama masa percobaan dengan perlakuan
presto selama 15 menit.
Gambar 4. Layout alat presto (Tari, 2015)
Mutu kimia
Hasil percobaan sebagaimana yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tepung ikan
rucah dengan perlakuan perebusan memiliki kadar protein tertinggi (58,02%) dan kadar serat
terendah (1,46%), tepung ikan rucah dengan perlakuan pengukusan memiliki kadar air dan
kadar abu terendah (masing-masing sebesar 5,49% dan 13,69%), tepung ikan rucah denga n
perlakuan presto memiliki kadar lemak terendah (12,59%).
Dengan mengacu kepada SNI 01-2715-1996, tepung ikan yang dihasilkan pada seluruh
perlakuan memenuhi standar SNI untuk parameter kadar air (mutu I), kadar serat (mutu II,
kecuali perlakuan presto), kadar abu (mutu I). Untuk parameter pengujian lemak, tepung ikan
rucah yang dihasilkan pada berbagai perlakuan memiliki kadar lemak di atas 12%, sehingga
tidak memenuhi standar SNI. Adapun untuk parameter protein, tepung ikan rucah yang
diperoleh dari perlakuan perebusan dan presto memenuhi standar mutu II, sedangkan tepung
ikan rucah yang diperoleh dari perlakuan pengukusan memenuhi standar mutu III.
Hasil ini juga menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan seluruh parameter pengujian kimia
didominasi oleh salah satu perlakuan. Dengan mempertimbangkan bahwa tepung ikan pada
umumnya digunakan sebagai bahan baku pakan dengan titik berat pada kandungan protein
(Irianto dan Soesilo, 2007), maka perlakuan perebusan memiliki mutu terbaik dibandingkan
dengan dua perlakuan lainnya.
Tabel 2. Kadar air, protein,
pemasakan
Perlakuan
Kadar
Air (%)
Perebusan
5,62±0,69
serat, abu dan lemak tepung ikan rucah pada berbagai perlakuan
Kadar
Protein
58,02±4,50
Kadar
Serat (%)
1,46±0,01
Kadar
Abu (%)
15,79±0,86
Kadar
Lemak (%)
13,39±5,74
Pengukusan
5,49±1,45
51,47±12,09
2,03±1,39
13,69±6,30
13,45±3,57
Presto
5,52±1,34
55,93±11,10
3,18±0,65
17,21±1,73
12,59±2,82
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kadar kalsium (Ca), fosfor dan NaCl tepung
ikan rucah untuk perlakuan perebusan berturut-turut sebesar 4,36%, 4,13%, dan 0,36%; untuk
perlakuan pengukusan berturut-turut sebesar 5,24%, 4,66%, dan 0,44%; dan untuk perlakuan
presto berturut-turut sebesar 4,60%, 4,65%, dan 0,65%; sebagaimana disajikan pada Gamba r
5.
Dengan mengacu kepada SNI 01-2715-1996, tepung ikan yang dihasilkan pada perlakuan
perebusan dan presto memiliki kandungan kalsium yang memenuhi SNI mutu I, tepung ikan
yang dihasilkan pada seluruh perlakuan memiliki kandungan fosfor yang memenuhi SN I mutu II
dan tepung ikan yang dihasilkan pada seluruh perlakuan memiliki kandungan NaCl yang
memenuhi SNI mutu I.
6,00
5,00
5,24
4,36
4,66
4,60
4,65
Perebusan
4,13
4,00
Pengukusan
3,00
Presto
2,00
0,65
0,44
1,00
0,36
Kalsium
Fosfor
Parameter Pengujian
NaCl
Gambar 5. Kandungan kalsium, fosfor dan NaCl tepung ikan rucah pada berbagai perlakuan
pemasakan
Mutu Mikrobiologi
Pengujian mikrobiologi untuk kandungan Salmonella menggunakan metode kualitatif yang
mengacu pada SNI 01-2332.2-2006. Pengujian terhadap tepung ikan rucah yang dihasilkan dari
berbagai perlakuan menunjukkan hasil yang negatif dan memenuhi persyaratan SNI 01 -27151996. Hal ini bersesuaian dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Saleh et al (1986). Hasil
pengujian selengkapnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengujian mikrobiologi
No
Perlakuan
1
Perebusan
2
Pengukusan
3
Presto
Hasil Pengujian
Negatif
Negatif
Negatif
Mutu Organoleptik
Berdasarkan hasil pengujian terhadap tepung ikan rucah diperoleh nilai kenampakan, bau dan
tekstur untuk perlakuan perebusan berturut-turut sebesar 7,53, 5,98, dan 5,76; untuk perlakuan
pengukusan berturut-turut sebesar 6,33, 6,56, dan 5,56; untuk perlakuan presto berturut-turut
sebesar 6,87, 6,64, dan 5,47.
Nilai minimum pengujian organoleptik tepung ikan menurut SNI 01-2715-1996 sebesar 6.
Dengan demikian, tepung ikan rucah memiliki nilai kenampakan yang memenuhi nilai minimum
SNI dan nilai tekstur yang tidak memenuhi nilai minimum SNI. Adapun untuk parameter bau,
hanya perlakuan perebusan dan pengukusan yang mampu memenuhi standar minimum nilai
SNI.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saleh et al (1986) menghasilkan tepung ikan rucah
dengan dengan nilai uji organoleptik sebesar 4,90. Secara umum, perlakuan perebusan
mempunyai nilai tertinggi untuk parameter kenampakan dan tekstur pada pengujian
organoleptik. Nilai organoleptik tepung ikan rucah pada berbagai perlakuan disajikan pada
Gambar 6.
8,00
7,53
6,87
7,00
6,33
6,00
6,56 6,64
5,98
5,76
5,56 5,47
5,00
Perebusan
4,00
Pengukusan
3,00
Presto
2,00
1,00
Kenampakan
Bau
Parameter uji
Tekstur
Gambar 6. Nilai organoleptik tepung ikan rucah pada berbagai perlakuan
Kesimpulan
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kestabilan suhu selama proses dapat tercapai pada
perlakuan perebusan, dan rendemen akhir tertinggi pada perlakuan pengukusan, yaitu sebesar
23.04% dari bobot awal. Seluruh perlakuan memberikan nilai kadar protein di atas 50% dan
kadar lemak di bawah 14% (memenuhi persyaratan SNI). Hasil pengujian mikrobiologi terhadap
tepung ikan rucah untuk semua perlakuan negatif Salmonella dan memenuhi persyaratan SNI.
Perlakuan perebusan mempunyai nilai tertinggi untuk parameter kenamp akan dan tekstur pada
pengujian organoleptik. Secara umum, perlakuan perebusan memberikan mutu tepung ikan
rucah terbaik, dengan kadar air, protein, serat, abu, lemak, kalsium, fosfor dan NaCl berturut turut sebesar 5,62%, 58,02%, 1,46%, 15,79%, 13,39%, 4,36%, 4,13%, dan 0,36%.
Daftar Pustaka
Arifudin, R. 2001. Tepung ikan. Dalam kumpulan hasil-hasil penelitian pascapanen perikanan
(edisi revisi). Editor: Endang Sri Heruwati, Farida Ariyani, dan Murniyati. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan Jakarta. Hlm 173-178
Ariyani, F. 2001. Tepung limbah kodok. Dalam kumpulan hasil-hasil penelitian pascapanen
perikanan (edisi revisi). Editor: Endang Sri Heruwati, Farida Ariyani, dan Murniyati.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan Jakarta. Hlm 165-167
Basmal, J. 2001. Tepung kepala udang. Dalam kumpulan hasil-hasil penelitian pascapanen
perikanan (edisi revisi). Editor: Endang Sri Heruwati, Farida Ariyani, dan Murniyati.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan Jakarta. Hlm 168-169.
BSN. 2006a. SNI 01-2346-2006 Petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori. Badan
Standardisasi Nasional. Jakarta. 136 hlm.
BSN. 2006b. SNI 01-2332.2-2006 Cara uji mikrobiologi - Bagian 2: Penentuan Salmonella pada
produk perikanan. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. 28 hal
DSN. 1996. SNI 01-2715-1996 Tepung ikan/bahan baku pakan. Dewan Standardisasi Nas ional.
Jakarta. 8 hal
Hutuely, L. 2001. Kajian faktor-faktor pengolahan, kandungan gizi, mutu dan umur simpan
tepung ikan cucut dan pari. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
106 hal.
Ilyas, S. 1982. Teknologi pemanfaatan lemuru selat Bali. Balai Penelitian Teknologi Perikanan.
Jakarta.
Irianto, H.E., I. Soesilo. 2007. Dukungan teknologi penyediaan produk perikanan. Makalah pada
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia 2007. Bogor.
Marsina, E., U. Rahayu. 2001. Pemanfaatan limbah cucut. Dalam kumpulan hasil-hasil
penelitian pascapanen perikanan (edisi revisi). Editor: Endang Sri Heruwati, Farida
Ariyani, dan Murniyati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan
Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta. Hlm 179-181
Moeljanto, R. 1982. Penggaraman dan Pengeringan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. 33 hal
Murdinah. 2001. Tepung kerang hijau. Dalam kumpulan hasil-hasil penelitian pascapanen
perikanan (edisi revisi). Editor: Endang Sri Heruwati, Farida Ariyani, dan Murniyati.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan Jakarta. Hlm 170-172
Murniyati, Nurhayati. 2013. Pengaruh pemanasan vakum dan konsentrasi NaOH terhadap mutu
tepung tulang ikan tuna sebagai bahan baku sumber kalsium. Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan V. Hlm 39-44
Murtidjo, B. A. 2001. Beberapa metode pengolahan tepung ikan. Kanisius. Yogyakarta. 77 hal
Nasran, S., P.R. Tambunan. 1974. Penelitian pemanfaatan trash fish. Dalam Laporan
perekayasaan teknologi pengolahan ikan non ekonomis BPPMHP. Direktorat Jenderal
Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Orlando,
A.R. 2008. Analisis pengujian mesin pembuat tepung
(http://repository.unand.ac.id/14781/, diakses tanggal 12 Mei 2015)
ikan
[online].
Saleh, M., M. D. Erlina, A. Sari, N. Hak. 1986. Mendapatkan cara pengolahan tepung ikan. 2.
Pengaruh mutu bahan mentah terhadap mutu dan daya awet tepung ikan. Jurnal
Penelitian Pasca Panen Perikanan No 55: 7 16.
Sipayung M. Y., Suparmi, Dahlia. Pengaruh suhu pengukusan terhadap sifat fisika kimia tepung
ikan rucah. JOM Faperikan UNRI Vol 2 (1): 1-13
Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik
Pertanian Vol 9(1): 33-37
Susanto A., A. Nurhikmat. 2008. Pengaruh proses perebusan, pengukusan dan pengepresan
terhadap kualitas tepung ikan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil
Penelitian Perikanan dan Kelautan. PP 05: 1-7
Tari. 2015. Cara kerja panci presto [online]. (http://www.mesinraya.co.id/cara-kerja-pancipresto.html, diakses tanggal 10 Juli 2015)
Windsor, M.L. 2001. Fish meal. Torry Advisory Note No. 49. Torry Research Station [online].
(http://www.fao.org/wairdocs/tan/x5926e/x5926e00.htm, diakses tanggal 12 Mei 2015)
Download