STRATEGI

advertisement
STRATEGI
15
Edisi Minggu Bisnis Indonesia
27 Februari 2011
Membangun aset
pengetahuan
D
SATYO FATWAN
Managing Partner Dunamis
Organization Services
Pertanyaan, saran,
kritik, dan komentar
dapat disampaikan ke
redaksi melalui:
[email protected] dan
www.bisnis.com
i bagian timur Belgia, dekat perbatasan
Belanda, berdiri pabrik Owens Corning yang
menghasilkan sekat kaca. Bisnisnya bersifat
musiman dan mengikuti siklus, sangat
dipengaruhi oleh jumlah pembangunan
perumahan atau komersial, serta proses
manufaktur yang kurang efisien.
Akibat masalah musiman dan proses, Owens
Corning menimbun persediaan dalam jumlah
besar. “Kami memerlukan gudang yang lebih
besar,” demikian menurut manajer pabrik.
Namun apa yang diinginkan oleh manajer
tersebut tidak pernah tercapai. Rich Karcher,
Direktur Keuangan Owens Corning,
mengatakan: “Kami harus menggantikan
persediaan barang dengan informasi.”
Dia memperkirakan persediaan dengan
rencana produksi dan menghubungkan
secara langsung pesanan yang datang
dengan jadwal pembelian dan
pembuatan. Karcher yakin
pabrik tersebut mampu
menghilangkan jumlah
persediaan bahan baku dan
barang jadi, sehingga
penambahan gudang
dapat ditiadakan.
Kemajuan di bidang
teknologi informasi
telah menggiring
dunia usaha
menemukan berbagai
cara untuk
memanfaatkannya sebagai
pengganti investasi yang
mahal dalam aset fisik. “Apabila
Anda harus mengulangi industri
perbankan dari awal, Anda tidak akan
menggunakan batu bata dan adonan semen,”
tutur Neal P. Miller, Manajer New Millenium
Fund milik Fidelity Investment.
Pada Desember 1993 –
Oktober 1995, Wells Fargo &
Company, salah satu bank
papan atas di AS, mengurangi
jumlah kantor cabangnya.
Setiap menutup kantor cabang,
Wells Fargo mendirikan sebuah ‘kantor cabang
mini’ di supermarket-supermarket California
yang memberikan pelayanan penuh dengan luas
hanya 400 kaki persegi —kurang dari seperlima
belas luas kantor cabang yang lama— dan
menambah 500 kios perorangan seluas 36 kaki
persegi.
Kita tahu zaman telah berganti. Kita juga
kerap mendengar bahwa manusia telah melalui
empat era yang berbeda-beda. Selain perbedaan
cara pandang, masing-masing era memacu
manusia menggunakan alat serta perilaku yang
berbeda pula.
Era pertama dalam sejarah manusia adalah
hunters and gatherers atau zaman berburu dan
mengumpulkan makanan. Alat yang digunakan
masih sederhana, yakni tombak dan panah.
Perilakunya pun lebih individualis. Para hunters
and gatherers dapat dipastikan tidak terbiasa
menyisakan makanan untuk jangka waktu
lama.
Kemudian, lahir era pertanian. Tombak dan
panah yang dianggap canggih pada masa
berburu menjadi tidak relevan. Peralihan dari
pemburu menjadi petani menuntut manusia
menggunakan alat baru seperti pacul dan
traktor. Hasil pertanian bisa mencapai 50 kali
lebih besar dari hasil berburu, sehingga orang
berlomba-lomba menjadi petani.
Waktu terus berjalan. Lahirlah sekelompok
manusia yang dapat melanjutkan sukses di
bidang pertanian dan mampu melakukan
inovasi-inovasi, disebut era industri. Selain
mampu memberi nilai tambah 50 kali lebih
besar dari era sebelumnya, pada era ini
keberadaan petani terpangkas hingga 90%
lebih.
Era baru telah lahir yaitu era knowledge
information. Pada era ini karyawan dilihat
sebagai aset perusahaan, bukan semata resource.
Sayangnya, kendati kita sudah bertransformasi
ke era knowledge information, kita masih
membawa peralatan dari era sebelumnya.
Salah satu peralatan yang tanpa sadar kita
bawa adalah financial and accounting
management. Ini terlihat
dari laporan keuangan
perusahaan di mana
manusia masuk
kategori
liabilities.
Dengan
BISNIS/ADI PURDIYANTO
kata lain,
perusahaan sudah memasuki
era pengetahuan tetapi pendekatan
yang dilakukan masih menggunakan
cara lama.
Instrumen yang selama ini dipakai di
era industri, sejatinya tidak cocok lagi
dengan era saat ini karena kita sudah deal
dengan para pekerja pengetahuan.
Penulis buku The 8th Habit, Stephen R.
Covey, menyatakan, harta paling berharga
perusahaan abad ke-20 adalah peralatan
produksinya. Adapun, harta yang paling
berharga dari institusi abad ke-21, entah
institusi itu bisnis atau bukan, adalah para
pekerja pengetahuannya dan produktivitas
mereka.
Gantikan barang & bangunan
Perusahaan berbasis pengetahuan berjalan
dengan cepat. Mungkin tidak memiliki aset
sebanyak perusahaan pada era industri.
Pengetahuan dan informasi telah menggantikan
tumpukan persediaan barang dan bangunan.
Aset fisik telah berevolusi menjadi aset
intelektual dan keberadaannya kini makin
diminati.
Sebutlah The Walt Disney dan Google Inc.
Siapa yang tak mengenal kedua perusahaan ini?
Keduanya sama-sama perusahaan publik.
Disney tercatat di New York Stock Exchange,
sementara Google terdaftar di Nasdaq.
Perusahaan perlu
menyediakan tempat diskusi
yang nyaman bagi kegiatan
berbagi pengetahuan.
Disney mewakili perusahaan yang aset
fisiknya bertebaran di mana-mana. Usianya pun
sudah cukup tua. Salah satu perusahaan
hiburan dan media terbesar di AS ini didirikan
pada 16 Oktober 1923. Sedangkan Google
masuk kategori perusahaan yang tak memiliki
aset fisik dan usianya jauh lebih muda dari
Disney. Google didirikan oleh Larry Page dan
Sergey Brin ketika masih mahasiswa di
Universitas Stanford pada 4 September 1998.
Yang menarik, kendati Google tidak memiliki
aset sebesar Disney, kapitalisasi pasarnya jauh
lebih tinggi. Kapitalisasi pasar Disney hanya
US$69,206 miliar, sementara Google tercatat
US$202,58 miliar atau nyaris tiga kali lebih
besar dibandingkan dengan Disney.
Mengapa demikian?
Itulah kehebatan aset intelektual yang menjadi kekuatan
Google. Thomas A. Stewart
mengatakan, ketika nilai
pasar saham suatu
perusahaan mencapai
tiga, empat, atau sepuluh kali harga bukunya, ini mewakili suatu
kesimpulan yang sederhana tetapi mengandung kebenaran: aset
fisik perusahaan berbasis pengetahuan memiliki
kontribusi yang lebih kecil
daripada aset tak berwujud
seperti bakat orang-orangnya,
efektivitas sistem manajemen, dan
hubungan pada pelanggan.
Hal ini sekaligus memberitahukan kita
bahwa bakat, kemampuan, keterampilan, dan ide (modal intelektual) yang
membuat Google pantas dikagumi.
Untuk sampai ke tujuan itu,
perusahaan perlu membangun
kepedulian di antara sesama karyawan
mengenai cara mengalirkan pengetahuan
melalui penerapan knowledge management
(KM).
Tentu saja, untuk mengembangkan pengetahuan dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen dalam perusahaan. Mengingat pengetahuan
bersifat kontekstual, maka pengetahuan di suatu
perusahaan tidak selalu cocok diterapkan di
perusahaan lain. Karena itu perusahaan perlu
mengidentifikasi dan memetakan pengetahuanpengetahuan unggul yang dimilikinya.
Agar pengetahuan-pengetahuan tersebut
tersebar secara merata, perusahaan perlu
menyediakan tempat diskusi yang nyaman bagi
kegiatan berbagi pengetahuan.
Banyak perusahaan yang terbukti mampu
berkembang pesat berkat penerapan KM yang
sesuai dengan strategi bisnis. Salah satunya PT
Unilever Indonesia Tbk. Perusahaan yang
beberapa kali memenangi ajang Most Admired
Knowledge Enterprise (MAKE) yang diselenggarakan oleh Dunamis Organizations Services, ini
menjadikan kegiatan knowledge sharing sebagai
bagian dari budaya perusahaan.
Download