Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Upaya mengatasi kemiskinan telah dilakukan melalui berbagai program, misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No 5/1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multi dimensional, diluncurkan Program Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Pemiskinan Perkotaan (P2KP). Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi. Hal itu karena: Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Seperti bantuan berupa beras untuk rakyat miskin dan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang 1 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga programprogram pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Lemahnya koordinasi dan tingginya ego sektoral menjadi penyebab mengapa kemiskinan terus terpelihara. Bantuan Negara tersebut juga diterima oleh masyarakat di Makam Gunung Brintik Semarang Seluruhnya ada 218 KK yang tergolong miskin dari 377 KK di Kampung Wonosari, Wilayah Gunung Brintik, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan. Tidak semua yang miskin tadi mendapat BLT, karena antara lain tidak memiliki KTP. Bantuan Negara tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Jumlah Kepala Keluarga (KK) Miskin dari Komunitas Makam Gunung Brintik Penerima Bantuan Langsung Tunai di RW III1 RT RW KK Miskin 01 III 11 02 III 15 03 III 18 04 III 30 05 III 23 06 III 22 07 III 21 08 III 29 09 III 27 10 III 22 Jumlah 218 Sumber: Data Primer Tahun 2010 1 KK BLT 4 7 6 13 8 17 6 14 11 11 107 Total KK 37 25 43 43 31 45 40 43 40 30 377 Wilayah Gunung Brintik, Kampung Wonosari, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan 2 Bab 1 Pendahuluan Pada mulanya wilayah Gunung Brintik ini kosong. Sebagai bagian dari kawasan Bergota yang merupakan makam/ kuburan di pinggir Kali Semarang itu secara berangsur, perlahan tetapi pasti, menjadi hunian penduduk yang berasal dari berbagai daerah. Para pendatang pada mulanya adalah orang-orang yang kurang beruntung dalam hidupnya. Mereka tinggal di dalam kuburan itu. Ada pula yang memanfaatkan lahan kosong di tepian kuburan untuk berteduh ataupun singgah. Para pendatang ini beraneka ragam latar belakangnya, ada tuna wisma/gelandangan, pengemis/ pengamen, pemulung, broken-home, ataupun orang yang sengaja datang dari berbagai daerah memanfaatkan lahan kosong di sekitar makam bahkan juga masyarakat sekitar Semarang. Hasil wawancara tanggal 4 Januari 2010, dan 15 Mei 2012 dengan mantan Ketua RT 01 yang bertempat tinggal di kaki Gunung Brintik mengatakan bahwa: “…Di daerah Gunung Brintik paling banyak secara umum adalah serabutan, mulai dari yang paling sederhana pengemis, kemudian sampai dengan buroh-buroh (…maksudnya tenaga buruh dengan pekerjaan seadanya) yang secara pasti tidak setiap hari, buruh pembuat bunga tukang becak juga ada. Hanya sangat sedikit yang punya pekerjaan tetap baik swasta maupun PNS bahkan di atas pun (…maksudnya kawasan hunian dalam makam di RT yang baru berkembang, RT 10.) tidak ada PNS, jadi semua serba serabutan (Wawancara dengan mantan Ketua RT 01 pada tanggal 15 Mei 2012. Sekitar tahun 1970-an wilayah Gunung Brintik (area pemakaman) termasuk di dalam Kelurahan Bergota. Pada mulanya ada 6 RT dan pada tahun 70-an itu sudah ada RT/RK. Pada sekitar tahun 1985-an yaitu jamannya Walikota Bapak Sutrisno Suharto, ada pemekaran wilayah, Gunung Brintik masuk RW III Kampung Wonosari wilayah Kelurahan Randusari Kecamatan Semarang Selatan. Tahun 2006 mulai dibentuk RT 10 dengan ketua RT yang sering berganti-ganti. “Katanya berat jadi Ketua RT 10” (Wawancara dengan 3 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG mantan Ketua RT 01 pada tanggal 15 Mei 2012). sehingga sulit diperoleh nama yang pasti. Dari alamat KTP warga RT 10 itu masih banyak yang beralamat di RT lain. Mereka tidak digusur tetapi justru menata Gunung Brintik menjadi hunian mereka. Fenomena ini menarik, karena di lokasi-lokasi lain justru digusur seperti di tepian Sungai Banjir Kanal Barat, sekitar daerah Jl. Kokrosono, dan di sekitar Taman Srigunting di daerah Kota Lama. Untuk itu penelitian tentang Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang menarik untuk dilakukan. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas maka, rumusan penelitian ini adalah: Bagaimanakah terbentuknya komunitas makam Gunung Brintik Semarang dan bagaimanakah mereka dapat survive bahkan berkembang dan diakui Negara? Tujuan Penelitian a. Menjelaskan terbentuknya komunitas makam Gunung Brintik Semarang dan bagaimana mereka dapat survive bahkan berkembang dan diakui Negara b. Membentuk satu model survival strategy/ Strategi Ketahanmalangan/ kebertahanan hidup Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang Batasan-Batasan Konsep Penelitian Survival strategy Herbeth Spencer, (1820-1903) adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah survival of the fittest, sebagai bentuk persaingan abadi untuk bertahan dalam kehidupan. Hal itu ia tuangkan dalam bukunya Principles of Biology pada tahun 1864 sekitar 250 tahun 4 Bab 1 Pendahuluan yang telah lalu. Menurut Spencer, hu kum persaingan dalam bertahan hidup tak hanya terjadi dalam dunia biologi, tetapi juga di dunia ekonomi. Bahkan, Charles Darwin (dalam bukunya yang berjudul On the Origin of Species yang dipublikasikan pada tahun 1859) mengungkapkan persaingan untuk terus hidup merupakan hukum besi seleksi sejarah alam semesta dalam teori evolusinya tertulis dalam buku Raymond Scupin dan Christopher R. DeCourse tahun 1992 berjudul Anthropology: A Global Perspective, halaman 25-27. Kehidupan manusia dan alam merupakan hasil pertarungan abadi dan mekanisme evolusi itu dikenal sebagai seleksi alam atau natural selection. Pemikiran Darwin itu mendukung teori-teori sosial yang melahirkan sosio-biologi. “One of the first attempts to link sociology and biology resulted:' a distortion of Darwin's ideas to support social theories. Social Darwinism made use of some of his key phrases, such as "favored races and "struggle for life." The Social Darwinists saw society as an organism that became more perfect through the natural selection of favored individuals. Herbert Spencer (1820-1903), one of the leader proponents of Social Darwinism, originated the phrase "survival of the fittest." To him, the struggle for life in society involved the competition for money and status among groups and individuals. The wealthier and bettereducated social classes were obviously the fitter because they had succeeded in the competition. Spencer's theorieblended into a system of social ethics that stressed the need to avoid interfering with the chances of these "superior classes.” (Weston, Louise (ed). 1977: 98) Siapa yang menang, dia akan terus bertahan. Mereka yang kalah akan tersingkir dan tergilas oleh hukum besi sejarah kehidupan umat manusia di dunia. Hukum besi alam dalam sejarah umat manusia: survival of the fittest, diartikan sebagai hukum persaingan untuk terus bertahan hidup. Berjuang, the struggle for life in society involved the competition for money and status among groups and individuals. Light and Keller, 1982 menulis: 5 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG ”Herbert Spencer (1820-1903), ...He argued that the elements of any society are constantly adapting to changing circumstances in an effort to survive. In this respect, societies were much like the evolving biological organisms that Charles Darwin was describing. Interestingly, it was Spencer, not Darwin, who coined the phrase "survival of the fittest." By this he meant that through natural selection (a gradual weeding out of the weak and inappropriate), only the optimal social arrangements would eventually remain. In which he drew parallels between his economic theories and Darwin's biological, evolutionary ones, writing, “This survival of the fittest, ...to express in mechanical terms, is that which Mr. Darwin has called 'natural selection', or the preservation of favored races in the struggle for life”. Istilah survival strategy oleh Suwartiningsih (2010) diartikan sebagai strategi kebertahanan hidup. AGIL sebagai Survival Strategy (Strategi Bertahan Hidup) Komunitas Pemulung. Modal yang dimiliki oleh para pemulung di TPA sampah Jatibarang adalah pilar-pilar kebertahanan hidupnya. Pertanyaan lanjut, bagaimana para pemulung itu mengelola modal yang dimilikinya sehingga bisa bertahan hidup sebagai suatu komunitas. Untuk membahas persoalan ini, digunakan model AGIL dari Parsons sebagai kerangka acuan perbincangan. Menurut Parsons suatu masyrakat dapat bertahan apabila mempunyai empat sub sistem, yaitu: Adaptation (penyesuaian), Goal attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latent/arah panduan. (Suwartiningsih 2010: 323). Hasil penelitian oleh Suwartiningsih (2010) pada orang miskin, pemulung di TPA Sampah Jatibarang Semarang) menunjukkan absennya Negara pada Survival Strategy di sana, sedangkan pada masyarakat di Gunung Brintik ini ada kehadiran yang mengintervensi negara dan LSM, serta kuatnya partisipasi komunitas. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh penulis pada tahun 2010 yang berjudul Modal Sosial dan Pendidikan Untuk Orang Miskin menjelaskan bahwa penanaman nilai-nilai dapat meningkatkan pendapatan para penyandang masalah kesejahteraan sosial di Kota Semarang. 6 Bab 1 Pendahuluan Komunitas Kata komunitas (community) dalam strategi kebertahanan hidup (survival strategy) komunitas makam Gunung Brintik Semarang, dapat berarti masyarakat setempat. Komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa “organisme” yang berbagi lingkungan, yang umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas makam Gunung Brintik Semarang, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, resiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak". Komunitas dapat terbentuk berdasarkan lokasi atau tempat. Wilayah atau tempat sebuah komunitas dapat dilihat sebagai tempat dimana sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis ataupun berdasarkan minat. Komunitas merupakan tempat orang-orang berkumpul dan berbicara tentang kesamaan minat yang mereka miliki. Kehadiran Dalam hal ini, kehadiran bukan sekedar campur tangan. Kehadiran bertujuan memfasilitasi, memperbaiki fungsi sosial kelompok sasaran perubahan. Ketika fungsi sosial seseorang berfungsi dengan baik, diasumsikan bahwa kondisi sejahtera akan semakin mudah dicapai. Kondisi sejahtera dapat terwujud manakala jarak antara harapan dan kenyataan tidak terlalu lebar. Melalui kehadiran, hambatan-hambatan sosial yang dihadapi kelompok sasaran perubahan akan diatasi. Dengan kata lain, kehadiran berupaya memperkecil jarak antara harapan lingkungan dengan kondisi riil Donor relations with local institutions: how can one work with local institutions most effectively? This last theme aims to extract the operational lessons from the previous analyses and to illuminate whether and how donor organizations can invest in social capital by supporting local institutions. A first 7 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG lesson will relate to the range of local institutions relevant for a specific type of service delivery. (Ms. Gracie M. Ochieng May 1998, Working papers no1 http://www.worldbank.org/socialdevelopment, Washington, DC :The World Bank. Social Development.) Selanjutnya, menurut Ochieng tersebut di atas intervensi merupakan upaya perubahan terencana terhadap individu, kelompok, maupun komunitas. Dikatakan 'perubahan terencana' agar upaya bantuan yang diberikan dapat dievaluasi dan diukur keberhasilannya. Intervensi dapat pula diartikan sebagai suatu upaya untuk mem perbaiki keberfungsian sosial dari kelompok sasaran perubahan, dalam hal ini, individu, keluarga, dan kelompok di wilayah Gunung Brintik. Keberfungsian sosial menunjuk pada kondisi di mana seseorang dapat berperan sebagaimana seharusnya sesuai dengan harapan lingkungan dan peran yang dimilikinya. Istilah ‘kehadiran’ digunakan untuk menggarisbawahi dua pertimbangan Pertama, individu merupakan bagian dari sistem sosial sehingga walaupun metode bantuan utama adalah terapi psikologi yang bersifat individu, lingkungan sosialnya juga perlu diberikan intervensi dalam bentuk ‘perlakuan’. Hal ini didasari pandangan bahwa klien akan dikembalikan kepada lingkungan asalnya kelak setelah ‘sembuh’. Apabila lingkungan sosialnya tidak dipersiapkan untuk menerima klien kembali, dikhawatirkan kondisi klien kembali seperti semula sebelum mendapat penanganan. Kedua, kehadiran menunjuk pada area kehadiran dan tujuan. Kehadiran Negara Terhadap Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik berisi tentang membangun dengan hati. Membangun tanpa menggusur. Peran negara terhadap masyarakat miskin yang terpinggirkan. Memberikan bantuan uang tunai, pangan, dan papan/bangunan, bahan/alat usaha, regulasi &kebijakan. Kehadiran NGO’s Terhadap Survival Strategy Komunitas Makam Gunung Brintik. berupa strategi LSM dalam Peningkatan Kesejahteraan Komunitas Makam Gunung Brintik. memberikan 8 Bab 1 Pendahuluan bantuan uang tunai, pangan, papan/bangunan, bahan/alat usaha, penanaman nilai-nilai, dan pendampingan belajar. Partisipasi Partisipasi (participation) adalah pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dalam defenisi tersebut kunci pemikirannya adalah keterlibatan mental dan emosi. Partisipasi adalah suatu gejala demokrasi dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Partisipasi adalah suatu keterlibatan mental dan emosi serta fisik peserta dalam memberikan respon terhadap kegiatan yang melaksanakan dalam proses belajar mengajar serta mendukung pencapaian tujuan dan bertanggung jawab atas keterlibatannya. Bentuk partisipasi yang nyata yaitu: Partisipasi uang untuk memperlancar usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan. Partisipasi harta benda yaitu partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda, biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga yaitu partisipasi yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelak sanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan suatu program. Partisipasi keterampilan, yaitu memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat yang membutuhkannya. (Ife, Jim. dan Tesoriero, Frank. 2012: 294-298) Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan penge-tahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya. 9 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG Di dalam partisipasi terdapat unsur-unsur keterlibatan peserta didik dalam segala kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar, kemauan peserta didik untuk merespon dan berkreasi dalam kegiatan yang dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Partisipasi siswa dalam pembelajaran sangat penting untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang sudah direncakan bisa dicapai semaksimal mungkin. Partisipasi seharusnya ada dalam proses belajar, sebab tanpa partisipasi tidak ada keaktifan anak didik yang belajar. Setiap anak didik pasti aktif dalam belajar. Yang membedakannya adalah kadar/bobot keaktifan anak didik dalam belajar. Ada keaktifan itu dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Disini perlu kreativitas guru dalam mengajar agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Penggunaan strategi dan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Metode belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif karena siswa lebih berperan serta lebih terbuka dan sensitif dalam kegiatan belajar Partisipasi vertikal adalah suatu bentuk kondisi tertentu dalam masyarakat yang terlibat di dalamnya atau mengambil bagian dalam suatu program pihak lain, dalam hubungan mana masyarakat berada sebagai posisi bawahan. Partisipasi horizontal adalah di mana masyarakatnya tidak mustahil untuk mempunyai prakarsa dimana setiap anggota/kelompok masyarakat berpartisipasi secara horizontal antara satu dengan yang lainnya, baik dalam melakukan usaha bersama, maupun dalam rangka melakukan kegiatan dengan pihak lain. Partisipasi seperti ini merupakan tanda permulaan tumbuhnya masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri. Komunitas Makam Gunung Brintik Semarang terkonsentrasi dalam empat relung kehidupan, yaitu: 1. Relung pertama adalah relung Pedagang Kaki Lima (PKL). Hampir sepertiga wilayah itu berada di lereng dan dataran dekat dengan Tugu Muda dimanfaatkan untuk bangunan Gereja dan sekolah milik 10 Bab 1 Pendahuluan Yayasan Pangudi Luhur, SMP Dominico Savio, dan TK/SD Bernardus. Di lingkungan Gereja ada bangunan pelayanan kesehatan Yayasan Sosial Soegijapranata, dan Unit Penjahitan. 2. Relung kedua adalah relung komunitas miskin yang sedang berkembang. Banyak pendatang dan penghuni tidak menetap, dan atau belum ber KTP. Mereka menghuni areal makam berpenghuni jarang (rencana menjadi RT 10 (kondisi awal th.2010). Pekerjaan mereka serabutan. “Community development has a variety of strategies available to meet the needs of those persons and groups who are less advantaged, usually in poverty. Community developers help all communities, but their passion lies disproportionately with people who do not have adequate personal resources to meet their needs or with communities with large populations of people who need assistance.“ (Bradshaw, 2006) 3. Relung ketiga adalah relung Persatuan Pedagang dan Jasa (PPJS) Mereka tinggal di areal tepian sungai dan tepian jalan di antara Gunung Brintik dan Jl.Dr.Sutomo. 4. Relung keempat adalah relung kehidupan komunitas yang relatif mapan, telah survive, dan berkembang. Mereka menghuni areal pemukiman padat penghuni berbatasan dengan areal makam Bergota di dekat RS Dr. Karyadi Semarang. 11