Bab 2 Kajian Pustaka Kemiskinan Kemiskinan berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan muncul karena sumber daya manusia yang tidak berkualitas, begitu pula sebaliknya. Membangun pengertian kemiskinan bukanlah perkara yang mudah karena kemiskinan mencakup berbagai macam dimensi. Dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi menurut ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan Absolut Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidak mampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. “Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US $ 1 perkapita per hari yang diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, yaitu lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas 13 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG tersebut di atas adalah garis kemiskinan absolut. (Anonim 1, Tahun 2010) (http://statmisker. wordpress. com/2010/08/13/ kemiskinan-absolut-absolute-poverty/) Kemiskinan merupakan konsep yang, bermatra multidimensional. Dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, kemiskinan dapat diukur secara langsung berdasar tolok ukur nyata, dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kkalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia tersebut di atas yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut. Dari kenyataan seperti di atas, kemudian muncul beberapa ketentuan mengenai kemiskinan, yaitu: Biro Pusat Statistik (BPS): tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kkalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kkalori ini berlaku untuk susunan umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk. Menurut Sajogya (1975), tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah 14 Bab 2 Kajian Pustaka kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan. Kemiskinan Struktural Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatankegiatan kemasyarakatan. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, (2004) misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya. Faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat 15 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan “kemiskinan struktural”. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya. Teori Kemiskinan, menurut Michael Sherraden (2006: 46-54) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yang saling bertentangan dan satu kelompok teori yang tidak memihak (middle ground), yaitu teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu (behavioral), teori yang mengarah pada struktur sosial, dan yang satu teori mengenai budaya miskin. Menurutnya Teori yang memfokuskan pada tingkah laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan capital manusia (human capital). Teori ini disajikan dalam teori ekonomi neo-klasik, yang berasumsi bahwa manusia bebas mengambil keputusan untuk dirinya sen diri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan dengan teori sosiologi fungsionalis, bahwa ketidak setaraan itu tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi masyarakat secara keseluruhan. Terori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Teori Struktural yang bertolak belakang dengan terori perilaku memandang bahwa hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penin16 Bab 2 Kajian Pustaka dasan terhadap kelompok miskin oleh kelompok kapitalis. Variasi teori struktural ini terfokus pada topik seperti ras, gender atau ketidaksinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam ketidakterkaitannya dengan ras. Teori budaya miskin yang dikembangkan oleh Oscar Lewis (2004) ini mengatakan bahwa gambaran budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan, mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Michael Sherraden (2006) bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield). Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur sosial. Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur sosial. Abhijit V. Banerjee dan Esther Duflo (2011) dalam bukunya yang berjudul Poor Economics: A Radical Rethinking of the Way to Fight Glohal Poverty mengajukan "pertanyaan-pertanyaan penting" berhubungan dengan kemiskinan global seperti berikut ini:"Apa yang menjadi penyebab utama kemiskinan? Berapa banyak keyakinan yang harus kita letakkan dalam pasar bebas? Apakah demokrasi baik bagi orang miskin? Apakah bantuan asing memiliki peran untuk dimainkan? Banerjee dan Esther Duflo (2011: 3) berkata bahwa Jeffrey Sachs adalah seorang ahli yang memiliki jawaban bagi semua pertanyaan tersebut: "Negara-negara miskin adalah miskin karena daerah mereka terlalu panas, tidak subur, diselimuti oleh wabah malaria, seringkali daerah mereka terisolir; yang mana hal-hal tersebut membuat sulit bagi mereka untuk menjadi produktif tanpa dimulainya 17 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG investasi besar untuk membantu mereka menghadapi masalah-masalah endemik tersebut. Namun tentu saja mereka tidak dapat menyediakan investasi tersebut karena mereka miskin mereka ini berada dalam apa yang disebut oleh para ekonom "poverty trap" atau "perangkap kemiskinan" dari Stephen C. Smith (2005:11) mengatakan bahwa istilah "poverty trap" dapat disebut juga "kemiskinan struktural." (Edi Purwanto, 2012) Jeffrey D. Sachs adalah adalah orang yang sangat optimis dengan teorinya. Ia memulai pendahuluan bukunya yang berjudul The End of Poverty (2005) dengan berkata, "Saat ini lebih dari delapan juta orang di seluruh dunia mati setiap tahunnya karena mereka terlalu miskin untuk bertahan hidup. Generasi kita dapat memilih untuk mengakhiri kemiskinan ekstrim itu sebelum tahun 2025" (Sachs, 2005:1). Orang miskin yang sangat miskin setidaknya tidak memiliki enam kapital utama yaitu: 1. Human capital-kesehatan, nutrisi, dan keahlian dibutuhkan setiap orang untuk menjadi produktif secara ekonomi (Sachs, 2005: 5-10). 2. Business capital: teknologi atau permesinan, berbagai fasilitas, alatalat transportasi bermotor sangat diperlukan dalam pertanian, industri dan jasa (Sachs, 2005:41). 3. Infrastructure: pembangunan jalan-jalan, air dan sanitasi, bandara dan pelabuhan, dan sistem telekomunikasi, adalah penting demi produktivitas bisnis (Sachs, 2005:181). 4. Natural capital. Sumber daya alam 5. Public institutional capital: hukum komersial, sistem yudisial, berbagai pelayanan dan ke-bijakan pemerintah dibutuhkan menjadi penopang pembagian kerja yang penuh damai dan makmur (Sachs, 2005:12-14). 6. Knowledge capital: pengetahuan saintifik dan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dalam bisnis dan mempromosikan physical dan natural capital. (Sachs, 2005:15-16). 18 Bab 2 Kajian Pustaka Menurut Jeffrey Sachs keenam kapital yang absen dari antara orang miskin itulah yang menjadi perangkap kemiskinan sehingga orang miskin sulit keluar dari kemiskinannya. Sachs (2005:245) berkata bahwa orang miskin mulai dengan tingkat kapital yang sangat rendah per orang, dan kemudian menemukan diri mereka sendiri terperangkap dalam kemiskinan karena rasio kapital per orang secara nyata turun dari generasi ke generasi. Jumlah kapital per orang itu justru akan menurun seiring dengan populasi yang bertumbuh lebih cepat dari pada kapital itu terakumulasi. Dalam perangkap kemiskinan ini Sachs menyatakan bahwa perlu uluran tangan dari luar, misalnya bantuan asing, untuk membebaskan orang-orang miskin dari kemiskinan tersebut sebelum akhirnya mereka bisa mandiri dan bebas dari perangkap kemiskinan. Sumber : Diolah dari Jeffrey D.Sach 2005 Gambar 2.1 Skema Jeffrey D.Sach’s Poverty Traps Smith (2005:12) menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak semua kemiskinan di segala waktu dan tempat adalah suatu perangkap. Kemiskinan mungkin bersifat sementara dan dalam beberapa kasus orang dapat berusaha dan berhasil untuk keluar dari kemiskinan. Namun kemiskinan menjadi suatu perangkap ketika suatu lingkaran setan kemiskinan menggagalkan usaha-usaha orang miskin. Dalam 19 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG bukunya yang berjudul Ending Global Poverty (2005) ini Stephen C. Smith memberikan enambelas perangkap kemiskinan utama yang memperangkap orang miskin menjadi budak dalam lingkaran setan kemiskinan. Powerlessness traps. Kondisi tidak berdaya (power-lessness) adalah perangkap kemiskinan yang sangat nyata. Mohammad Yunus (dalam Smith, 2005:17) berkata, "Orang miskin tetap dalam kemiskinan bukan karena mereka mau, namun karena banyak penghalang yang dibangun mengelilingi mereka oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari kemiskinan mereka." Menurut Smith (2005:17) yang dimaksudkan Yunus di sini adalah para tuan tanah, para rentenir, para pejabat korup, dan lainya yang melihat dunia akan menjadi lebih baik bagi me-reka jika kemiskinan terus berlangsung daripada kemiskinan itu harus diakhiri. Enambelas perangkap utama kemiskinan (poverty traps) tersebut di antaranya adalah sebagai berikut ini: Sumber : Diolah dari Stephen C.Smith. 2005: 12-17 Gambar 2.2 Skema Stephen C.Smith’s Poverty Traps 20 Bab 2 Kajian Pustaka Amartya Sen (1999: 88-89) menyatakan bahwa kebutuhan keluarga memunculkan banyak komplikasi dengan income approach untuk menjelaskan masalah kemiskinan. Jika pendapatan keluarga digunakan tidak sebanding dengan kebutuhan beberapa anggota keluarga dan tidak termasuk anggota keluarga yang tidak dianggap penting (misalnya anak perempuan dalam kultur tententu), maka meningkatnya deprivasi anak-anak perempuan tersebut mungkin tidak nampak berkaitan dengan pendapatan keluarga. Dengan demikian deprivasi anak-anak perempuan tersebut dapat dilihat sebagai deprivasi kapabilitas daripada didasarkan pada analisis pendapatan. Isu tentang ketidaksetaraan gender tidak dapat diterapkan di sini. Akhirnya Amartya Sen (1999: 89) menyatakan bahwa deprivasi relatif berkaitan dengan pendapatan dapat menghasilkan deprivasi absolut berkaitan dengan kapabilitas. Amartya Sen (1999: 92) menyimpulkan bahwa berbahaya memandang kemiskinan secara sempit berkaitan dengan deprivasi pendapatan, dan kemudian membenarkan bahwa investasi dalam pendidikan, pelayanan kesehatan dan sebagainya dapat dijadikan dasar untuk menjadi sarana mengakhiri kemiskinan, karena kemiskinan disebabkan oleh karena menurunnya pendapatan. Sebaliknya mereka menawarkan observasi-observasi dan pengalaman-pengalaman lokal untuk mengeksplorasi bagaimana sesungguhnya orang miskin di negara-negara miskin mengatasi kemiskinan mereka: apa yang mereka ketahui, apa yang mereka lihat (atau tidak lihat) untuk lakukan, apa yang mereka harapkan dari diri mereka sendiri dan dari orang lain, dan bagaimana mereka membuat pilihanpilihan yang dapat mereka buat. Kelihatannya ada banyak hal kecil namun sangat penting untuk dimenangkan, beberapa dapat dimenangkan secara pribadi dan beberapa melalui tindakan bersama, yang keduanya dapat menambahkan keuntungan besar bagi orangorang miskin dunia. Saya sungguh terpesona dan diyakinkan." Abhijit Vinayak Banerjee dan Esther Duflo menyimpulkan tulisan mereka dengan memberikan beberapa usulan pemikiran dalam lima kunci pelajaran untuk memahami masalah kemiskinan. 21 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG Pertama, orang miskin sering tidak dapat kritis (mengkritisi) terhadap informasi dan mempercayai apa yang tidak benar. Mereka tidak yakin tentang manfaat dari imunisasi anak-anak mereka; mereka berpikir ada nilai yang terlalu kecil di dalam apa yang dipelajari pada beberapa tahun pertama mengikuti pendidikan; mereka tidak tahu berapa banyak pupuk yang mereka harus gunakan; mereka tidak tahu cara termudah terkena HIV; mereka tidak tahu apa yang para politisi kerjakan di kantor mereka. Ketika apa yang mereka percayai ternyata tidak benar, akhirnya mereka justru membuat keputusan-keputusan yang salah (Banerjee & Duflo 2011: 268). Kedua, orang miskin menanggung tanggungjawab terlalu banyak aspek dari kehidupan mereka. Lebih kaya keadaan Anda, lebih "benar" keputusan-keputusan yang Anda buat. Orang miskin tidak memiliki air gallon, dan oleh sebab itu tidak dapat memanfaatkan khlor yang pemerintah kota masukkan dalam air yang disediakan. Jika mereka ingin air minum bersih, mereka harus menyaringnya sendiri (Banerjee & Duflo, 2011: 169). Ketiga, ada alasan-alasan yang baik bahwa beberapa pasar bukan untuk orang miskin, atau bahwa orang miskin menghadapi harga buruk. Keempat, negara-negara miskin bukan bernasib gagal karena mereka miskin, atau karena mereka telah memiliki sejarah yang buruk. Namun banyak dari kegagalan ini paling tidak disebabkan oleh karena konspirasi para elit yang memegang kendali ekonomi dan perancang kebijakan (Banerjee & Duflo, 2011: 270-271). Akhirnya, harapanharapan mereka pupus seiring dengan kepercayaan mereka yang terkhianati. Anak-anak berhenti sekolah ketika guru mereka (dan kadang-kadang orangtua mereka) mengatakan kepada mereka bahwa mereka tidak cukup cerdas untuk mengikuti kurikulum pelajaran yang diberikan; para pembeli hasil kebun mereka tidak berusaha meminta agar mereka membayar hutang-hutang mereka agar mereka cepat terikat hutang kembali; para perawat berhenti bekerja karena tak seorangpun mengharapkan kehadiran mereka di sana; partisipasi politik yang tak seorangpun harapkan tidak tertarik untuk mencoba 22 Bab 2 Kajian Pustaka meningkatkan kehidupan rakyat. Menurut Banerjee "mengubah harapan-harapan tidaklah mudah, namun itu bukan berarti tidak mungkin" (Banerjee & Duflo, 2011: 271). Dapat dikatakan saat ini dapat dikenal adanya 4 teori tentang kemiskinan yaitu: pertama sering juga disebut sebagai teori kemiskinan individual (the individual of poverty), teori kedua sering juga disebut sebagai teori budaya kemiskinan (the culture of poverty), teori ketiga disebut sebagai teori kemiskinan struktural (the structural of poverty), dan teori keempat sering juga disebut sebagai the cycle of poverty (siklus kemiskinan) yang sering disebut-sebut sebagai “The Vicious Circles of economics and Political Poverty” atau Lingkaran Setan Kemiskinan (Martinussen, John. 1997: 299) Dilihat dari penyebabnya Bradshaw (2005) menjelaskan adanya 5 jenis kemiskinan. “In this paper five theories of poverty are distilled from the literature. It will be shown that these theories of poverty place its origin from 1) individual deficiencies, 2) cultural belief systems that support subcultures in poverty, 3 political-economic distortions, 4) geographical disparities, or 5) cumulative and circumstantial origins”. Pendekatan Yang Dapat Digunakan Dalam Studi Tentang Kemiskinan Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemiskinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektif yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada di lingkungannya. Pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan 23 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG pendapat atau pandangan orang miskin sendiri. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective. Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangkan pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. 24 Bab 2 Kajian Pustaka Kemiskinan secara ekonomi dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan ini dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumber daya yang tersedia dan membandingkannya dengan ukuran baku. Kemiskinan sosial dapat diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur sosial yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat. Kemiskinan sosial dibedakan berdasarkan faktor yang menyebabkan kemiskinan itu terjadi. Sedangkan kemiskinan politik menekankan pada akses terhadap kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud mencakup tatanan sistem sosial yang dapat menentukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan alokasi penggunaan sumber daya. Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengahtengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap keje-nuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah: Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “in-come-poverty” Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakan-akan hanyalah masalah ekonomi 25 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk me-menuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997. Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah sematamata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional. “For that reason, it is important to look Social Capital, Household Welfare and Poverty in Indonesia, membership conditions (voluntary or not, payment of fees, etc.) and the degree of effective participation in associations before inferring social capital effects. The analysis below will include some of these aspects” (Christiaan Grootaert, 1999: 7) Teori Modal Sosial dalam Modal Komunitas Modal Sosial didefinisikan oleh Michie (ed) 2001 sebagai berikut: “…Social Capital is a resource for individual and collective actors located in the netwok of their more or less durable social relations..” 26 Bab 2 Kajian Pustaka Modal sosial adalah sumber daya bagi aktor individual dan kelompok yang berada di dalam jejaring relasi sosial mereka yang dapat bertahan dalam kurun waktu yang relatif lama. Modal Sosial (Social Capital) merupakan bagian dari Modal Komunitas (Community Capital). Seperti diketahui, terdapat beberapa bentuk modal lain yang sudah cukup dikenal selama ini yaitu Modal Manusia (Human capital), Modal/Sumber Daya Alam (Natural Capital) dan Modal financial/ekonomi (Financial/ economic Capital). Faktor internal berupa pola organisasi sosial yang tumbuh dalam suatu setting dengan kepercayaan tradisional, pola-pola pembagian kekuasaan dalam masyarakat, pola/ sistem produksi dan reproduksi serta nilai-nilai dan norma itu sendiri. Faktor yang lebih luas dapat diklasifikasikan sebagai faktor eksternal seperti pengaruh agama, globalisasi, urbanisasi, kebijakan pemerintah, hukum dan perundang-undangan, ekspansi pendidikan, politik dan pemerintahan serta nilai-nilai universal seperti nilai demokrasi, persamaan, kebebasan, dan keadaban merupakan kumpulan determinan yang saling pengaruh mempengaruhi dengan unsur-unsur pokok Modal Sosial. Grootaert & van Bastelaer (eds.) (2002), menyatakan bahwa Modal sosial memiliki berbagai persamaan dengan bentuk-bentuk modal tradisional. Modal sosial, seperti modal fisik, berakumulasi sebagai cadangan yang menghasilkan satu aliran keuntungan (dalam bentuk: pertukaran informasi, dan pengambilan keputusan dan kegiatan bersama). Seperti modal fisik, cadangan ini menuntut investasi awal dan perawatan rutin, dalam bentuk interaksi sosial berulang atau perilaku pemupukan kepercayaan. Modal sosial bisa berlangsung bertahun-tahun untuk membangun dan lebih mudah dirusak. Untuk mengukur Modal Sosial, dapat dipakai Alat Pengukur Modal Sosial yang disebut SOCAT (The Social Capital Assessment Tool). Pendekatan ini mengukur modal sosial pada tingkat mikro dan 27 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG meso. SOCAT ini terdiri dari tiga unit data, yaitu komunitas, rumahtangga, dan organisasi. Selanjutnya Grootaert (2002), menyatakan SOCAT menandai tingkat keberagaman internal menurut 7 kriteria: 1. kinship (kekerabatan), 2. religious (agama), 3. gender (jenis kelamin), 4. Age (umur), 5. political affiliation (afiliasi) politik, 6. pekerjaan, dan 7. pendidikan. Desain dan uji lapangan SOCAT merupakan langkah pertama pengembangan satu ukuran tunggal modal sosial. Alat ini meliputi modal sosial kognitif dan struktural, menyatukan ukuran kuantitatif dan kualitatif yang dibuat bersama dan berulang-ulang, dan sahih serta handal dalam konteks komunitas, rumahtangga, dan lembaga mana pun. Tujuan kunci SOCAT adalah menyumbang pemahaman tentang bagaimana ukuran modal sosial tingkat komunitas, rumahtangga dan organisasi, berinteraksi dengan indikator pembangunan lain, apakah memperbaiki atau memperburuk pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam hal pendidikan., hal ini menguraikan mengenai fasilitas sekolah, staf pengajar, dan akses komunitas terhadap sumber daya ini lewat partisipasi sekolah. Data ini bisa menggambarkan hubungan antara modal manusia dengan modal sosial. Community Development Dalam penggunaan bahasa Indonesia terdapat satu masalah, yakni hanya ada satu kata 'masyarakat' untuk menerjemahkan kata Inggris 'community' dan 'society'. Dalam buku ini secara umum dipakai kata 'masyarakat' untuk keduanya, tetapi memakai kata 'komunitas' secara terbatas jika ingin menekankan bahwa yang dimaksud adalah bukan 'society' tapi 'community'. Buku ini juga tidak mau terjebak pada konsistensi 'community' untuk selalu diterjemahkan menjadi 'komunitas' dan (sehingga) 'society' selalu menjadi 'masyarakat'. Hal ini akan mereduksi arti kata 'masyarakat' dalam bahasa Indonesia (yang sebenarnya juga berarti 'community'). Juga sudah banyak kelaziman yang memang tidak konsisten, misalnya masyarakat lokal (ini dari local 28 Bab 2 Kajian Pustaka community; tidak ada local society), berbasis masyarakat (community based; tidak ada society based), masyarakat sipil/madani (ini dari civil society; tidak ada civil community). Saya merasa pengamat/peminat bidang sosial/ masyarakat akan tahu konteks kata 'masyarakat' yang sedang dipakai dalam kalimat: apakah berarti community atau society. Pada Buku Community Development (Pengembangan Masyarakat) ini telah memantapkan posisinya sebagai standar buku teks teori dan praktik pengembangan masyarakat di Australia sejak edisi pertamanya pada 1995. Edisi berbahasa Indonesia ini merupakan terjemahan dari edisi ketiga (2006). Para pengarangnya percaya bahwa pengembangan struktur-struktur berbasis masyarakat telah menjadi komponen kunci dari strategi-strategi untuk perubahan di seluruh dunia. Di sini para pengarang menguraikan berbagai teori ekologi, sosial dan politik guna membangun perspektif ekologis dan perspektif keadilan sosial/HAM secara teguh untuk menjadi landasan dalam praktik pengembangan masyarakat. Buku tersebut berpertdapat bahwa pendekatan satu dimensi, misalnya ekonomi, kepada pengembangan masyarakat akan berpeluang besar menemui kegagalan dalam pengertian keutuhan masyarakat Oleh karena itu, di sini dipromosikan suatu bentuk "pengembangan masyarakat terpadu" yang melibatkan enam dimensi masyarakat, yaitu sosial, ekonomi, poilitik, kultural, lingkungan hidup dan spiritual/ personal. Semua itu untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai pembangunan yang seimbang. Dengan mendiskusikan 26 prinsip kunci pengembangan masyarakat buku ini menunjukkan dengan jelas sifat bidang bidang dan pekerjaan pengembangan masyarakat yang lintas sektoral yang, karena itu, terbuka bagi orang-orang dari segala bidang untuk melibatkan diri. Para praktisi masyarakat akan sangat terbantu, dengan membaca buku tersebut, untuk melakukan analisis kekuatan-kekuatan dalam masyarakat dan mengidentifikasi struktur-struktur yang melemahkan dan merugikan masyarakat, untuk kemudfan menetapkan strategi (yang mencakup proses dan tujuan) pemberdayaan masyarakat 29 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG yang memadai sehingga terwujud kesejahteraan masyarakat yang sesuai dengan keberlanjutan ekologis bumi dan keadilan sosial/HAM. Krisis yang diangkat oleh Profesor Ife dan Dr. Tesoriero dalam buku tersebut, yaitu krisis ekologis dan krisis keadilan sosial/HAM, bukan sekadar 'terjadi' juga di negeri ini tetapi terjadi pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Kegiatan-kegiatan pembangunan pada berbagai sektor telah banyak mengakibatkan kerusakan alam yang serius di darat dan di laut, dan pada saat yang sama telah memporakporandakan sistem-sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, di seluruh Indonesia (Sastrawan Manulang, 2012). Layanan-layanan bagi masyarakat dalam sektor-sektor pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, perhubungan dan energi, baik dari pemerintah terlebih lagi dari swasta, sungguh tidak mudah dijangkau masyarakat. Sebagian besar rakyat, terutama mereka yang tergolong miskin, yaitu sebanyak 40 (standar nasional versi EPS) sampai 100 (standar internasional versi Bank Dunia) juta orang, tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup pokok. Selain itu, fakta-fakta seperti sampah yang tidak terkelola dengan baik, tata kota (termasuk di desa-desa) dan lalu lintas yang semrawut, keberadaan pengemis dan anak jalanan, dan konflik-konflik dengan kekerasan yang menyangkut buruh, pedagang kaki lima, pelajar, mahasiswa dan kelompok agama yang masih terus terjadi dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat kita belum mampu mengorganisasi diri dengan baik untuk menyelesaikan masalahmasalah. Inilah ketidakberdayaan masyarakat yang nyata. Lewat buku 'pengembangan masyarakat' (Community Development)2 kedua penulis dengan berani menawarkan jalan keluar dari kedua krisis tersebut, yaitu dengan melaksanakan alternatifalternatif pembangunan berbasis masyarakat. Ini membuat kita bertanya, "Mana mungkin masyarakat menyelesaikan masalah-masalah sebesar itu?" dan "Apa itu sebenarnya pengembangan masyarakat?" Ife dan Tesoriero dengan baik membuka wawasan pembaca tentang apa sebenarnya ruang lingkup dari ranah yang disebut sebagai pengem30 Bab 2 Kajian Pustaka bangan masyarakat. Kegiatan pengembangan masyarakat dapat dilakukan lewat atau dalam berbagai sektor pertanian, perdagangan, kehutanan, industri, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, lalulintas dan sebagainya dan skala. Meskipun demikian, label 'pengembangan masyarakat' tidak selalu menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar pro-masyarakat. Pemahaman yang keliru mengenai konsep dan konteks pengembangan masyarakat dapat mengakibatkan hal yang fatal yaitu ketika kegiatan/program yang dilaksanakan bukan memberdayakan masyarakat walaupun mungkin, misalnya, meningkatkan pendapatan sekelompok orang tetapi justru memperkuat struktur-struktur yang menindas. Dalam buku tersebut terdapat 26 prinsip pengembangan masyarakat yang dapat dipakai untuk menilai apakah suatu kegiatan memperbaiki atau memperburuk keadaan masyarakat. Akan tetapi, hendaknya kita tidak memakainya sebagai daftar periksa yang hanya tinggal memilih 'cek' atau 'silang'. Sifatnya yang kualitatif justru seharusnya membuat kita sangat berhati-hati untuk tidak terlalu menyederhanakan dalam memberikan penilaian. Oleh karena itulah buku ini sejak awal memperingatkan para pekerja masyarakat untuk terlebih dahulu memahami konsep-konsep dasar dari teori-teori sosialpolitik dan ekologi secara memadai. Pemahaman yang memadai itu juga memang diperlukan agar pekerja masyarakat tidak naif dan beranggapan bahwa pengembangan masyarakat hanya memerlukan modal ketulusan hati merpati untuk menolong kaum lemah. Karena kenyataannya, masyarakat manusia sering seperti belantara yang penuh tipu-muslihat dan kekejaman dan memang inilah inti masalahnya yang perlu dihadapi dengan pengetahuan, kearifan, keberanian dan kekuatan. Globalisasi (Era kesejagadan) budaya telah diikuti oleh pola globalisasi ekonomi. Sebuah budaya universal sedang muncul, dipropagandakan melalui media global yang bekerja serta dikendalikan oleh modal antar bangsa. Televisi, musik, arsitektur, makanan, minuman, pakaian, film, olahraga, berbagai bentuk rekreasi, McDonald’s, Coca Cola, musik barat populer, dan toko pizza. 31 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG Di hadapan globalisasi budaya ini, masyarakat sangat sulit untuk mempertahankan budaya lokal yang unik milik mereka sendiri. Di antara pengembangan masyarakat dan Pembangunan Kebudayaan, terdapat empat komponen yaitu: pelestarian dan nilai-nilai budaya lokal, pelestarian dan nilai-nilai budaya asli, multi-kultural, dan budaya partisipasi. Masyarakat setempat perlu bertanggung jawab untuk melindungi dan memulihkan kembali lingkungan fisik. Kadangkala isu lingkungan dibawa bersama dengan isu sebuah aktivitas masyarakat setempat. Kuncinya adalah sebuah keberanian dan perhatian terhadap lingkungan orang-orang bersama pada tingkat masyarakat setempat. Kedewasaan kepribadian, ini penting di dalam pembicaraan mengenai pengembangan atau pembangunan masyarakat setempat. Masyarakat setempat merupakan sebuah komunitas yang baik dalam konteks pengembangan kepribadian ketimbang struktur birokrasi yang lebih impersonal. Gagasan pengembangan kepribadian selalu berkaitan dengan berbagai aktifitas dan perkembangan perseorangan secara menyeluruh. Sebuah catatan penting yaitu kedewasaan kepribadian seseorang berkaitan dengan cara pandang terhadap masalah-masalah sosial. Sebuah ancangan berbasis komunitas dapat berfungsi di sini apabila seseorang saling bertemu dan berinteraksi pada masyarakat setempat. Pembangunan Rohani dan kedewasaan kepribadian merupakan aspek yang sangat penting di dalam pengembangan masyarakat setempat. Sebuah ancangan yang efektif bagi pembangunan masyarakat setempat apabila mempertimbangkan keenam aspek tersebut secara keseluruhan/secara holistik. Secara garis besar, dasar-dasar di sini bukanlah suatu hal yang dikerjakan secara berurutan, melainkan berkembang di dalam masyarakat setempat itu sendiri, tergantung pula dari keanekaragaman masyarakat setempat itu. Pada dasarnya ada 26 Prinsip Pengembangan Masyarakat, secara singkat menurut Jim Ife, (2002) dan Jim Ife & Frank 32 Bab 2 Kajian Pustaka Tesoriero (2012), sebagai berikut: Holisme, prinsip dari holisme diterapkan pada seluruh aspek pengembangan masyarakat setempat; Berkelanjutan; Keanekaragaman; Pengembangan Organik, berlawanan dengan perkembangan mekanistik yang mengacu tentang perbedaan sebuah mesin dan sebuah tanaman; Keseimbangan pembangunan, mengacu pada gagasan enam aspek pengembangan masyarakat setempat secara terintegratif, dengan memperhatikan prinsip-prinsip keadilan social; Mengarah pada susunan/struktur ketidakberuntungan. Secara alamiah, gender, kelas, ras/etnisitas, merupakan konteks khusus dalam masyarakat setempat (pendekatan struktural); Mengarah pada percakapan ketidak beruntungan (dari sudut pandang struktur kekuasaan); Penguasaan; Penjabaran kebutuhan; HAM; Penilaian Pengetahuan Setempat; Penilaian Budaya setempat. Globalisasi kebudayaan sedang merampok identitas budaya masyarakat setempat di seluruh dunia; Penilaian Sumber Daya Lokal. Negara kesejahteraan mengabaikan sumber daya lokal dan mencari dukungan kemana saja, umumnya dari pemerintah; Penilaian Ketrampilan setempat; Penilaian Proses setempat. Budaya masyarakat setempat, tradisi dan lingkungan; Proses, hasil dan bayangan ke depan; Kesatuan proses; Pertumbuhan Kesadaran; Partisipasi; Kerjasama dan Kesepakatan; Langkah Pembangunan; Damai dan Tanpa Kekerasan; Keterlibatan; Membangun masyarakat setempat; Keterkaitan Lokal dan Global; Anti Penjajahan. Pandangan atau uraian Jim Ife tersebut mencerminkan ringkasan buku secara keseluruhan. Telah tercantum sederetan daftar prinsip-prinsip pengembangan masyarakat setempat. Bagaimanapun setiap prinsip tersebut di atas sangatlah kompleks dan problematik. Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat membutuhkan adaptasi, pertimbangan, sesuai dengan kebutuhan konteks nya. Pada gilirannya diperlukan peran nyata para pekerja masyarakat setempat dan dibutuhkan ketrampilan untuk mengisi peran tersebut. 33 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG Peran Negara Dalam sistem kapitalisme, para pengusaha adalah economic animals yang serakah, yang akan mengejar keuntungan bagi dirinya sebanyak-banyaknya. Tapi justru karena itu, mereka juga menjadi kreatif dan agresif dalam berusaha. Seperti yang dinyatakan oleh Kwik Kian Gie dalam Budiman (1989): Pemikiran saya adalah kaum kapitalis ini memang business animals dengan segala perangkatnya sebagai animals. Tetapi mereka sangat berguna bagi masyarakat, kalau kita pandai mengendalikan, mempermainkan dan mengarah kannya untuk kepentingan rakyat. Mereka ini manusia yang sangat inventif, penuh dengan inisiatif, manusia pencipta hal-hal yang besar all out, berani mengambil resiko besar. Karena itu, mereka juga all out dalam metode-metodenya. Kalau perlu mereka akan main kotor, melanggar peraturan bilamana aparat pemerintah meleng sedikit saja. Seandainya pemerintah lihai, pemerintah pasti menang, karena mempunyai kekuasaan memaksa. Dengan pernyataan ini, tampak dengan jelas bahwa Kwik tergolong intelektual Indonesia yang menganut aliran kapitalisme. Seperti juga pemikir-pemikir kapitalis yang lain, maka dia melihat peran pemerintah atau negara sangat besar untuk mencegah akibai negatif dari sistem ini. Kalau saja ada kemauan baik dari pemerintah, maka "pemerintah pasti menang, karena mempunyai kekuasaan memaksa". Tapi di sinilah persoalannya terletak. Pemerintah memang memiliki kekuatan memaksa yang besar, paling sedikit pemerintah Indonesia sekarang ini. Tapi adakah kemauan untuk menggunakan kekuasaan pemaksa tersebut untuk menghasilkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan rakyat kecil? Bercerita tentang kermauan, kita tidak bisa bicara hanya tentang proses psikologis untuk menumbuhkan kesadaran saja. Kita juga harus berbicara tentang kaitan-kaitan sosial atau kondisi material yang dapat atau tidak dapat menghasilkan kesadaran dari kemauan tersebut. Pemerintah atau negara mungkin tidak memiliki kesadaran untuk.membela rakyat kecil. Misalnya para pemimpin negara ber34 Bab 2 Kajian Pustaka anggapan bahwa yang penting dalam pembangunan adalah meningkatkan laju pertumbuhan, supaya kita cepat kaya. Kalau memang begitu, maka yang perlu dilakukan adalah gerakan penyadaran bahwa pemerataan hasil-hasil pembangunan perlu dilakukan demi kelestarian pembangunan itu sendiri. Bagaimana kalau terjadi pemberontakan sosial? Bukankah usaha pertumbuhan yang dilakukan jadi sia-sia saja? Karena itu melayani kepentingan rakyat kecil perlu. Atau para pemimpin negara ini dapat disadarkan melalui pendekatan moral dan agama. Adalah tidak pantas, secara. moral dan agama, untuk menelantarkan orang-orang miskin. Karena itu, pemerataan harus dilakukan di samping pertumbuhan. Tapi mungkin pula terjadi, masalahnya bukan masalah kesadaran, melainkan kepentingan. Para pemimpin negara sadar bahwa pemerataan dalam pembangunan memang harus dilaksanakan. Tapi, pembangunan dengan pemerataan akan dapat mengurangi pembagian rejeki bagi dirinya. Karena itu, lebih menguntungkan bagi para pemimpin negara untuk mengutamakan pembangunan dengan pertumbuhan yang tinggi, dengan pemerataan dilakukan seperlunya saja untuk mencegah pemberontakan sosial. Dalam hal ini, yang jadi masalah bukanlah kesadaran, tetapi kepentingan para pemimpin negara yang terkait erat dengan sistem ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan yang tinggi, Pada titik ini, kita sebenarnya sedang berbicara tentang hakikat negara. Apa dan siapa sebenarnya negara? Kwik Kian Gie (1986: 89 dalam Budiman, 1989) terlalu sederhana mengambil asumsi bahwa negara selalu mendahulukan kepentingan umum. Negara seakan-akan selalu adalah lembaga yang netral, yang tidak memiliki wajah atau warna sendiri. Negara seakan-akan tidak memiliki kepentingannya sendiri. Karena itu, sebelum berbicara tentang kemungkinan negara menciptakan dan melaksanakan kebijakan pemerataan pembangunan, maka kita perlu mengkaji kembali hakikat dari negara. Asas paradigma modernisasi ialah anggapan bahwa evolusi atau perkembangan suatu masyarakat didorong oleh perimbangan antara 35 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG jumlah penduduk dan sumber-sumber daya (resources), dan persaingan antara Negara tetangga. Semakin terbatas ketersediaan sumber-sumber daya karena jumlah penduduk yang meningkat, semakin tinggi persaingan antara Negara tetangga. Situasi ini menuntut perbaikan dalam pola kerja dan pembagian tugas demi mencapai keefisienan kerja dan peningkatan daya produksi. Ini bermakna bahwa evolusi (masyarakat) merupakan suatu peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan diri, yakni upaya untuk mengontrol sumber-sumber daya dan mendapatkan lebih besar kenyamanan lingkungan; suatu kemajuan yang bertahap dari tradisional ke modern (Parsons, 1996, dan Suwartiningsih, 2010: 2). Teori modernisasi beranggapan bahwa untuk menjadi modern, semua masyarakat mestilah melalui satu garis tahapan evolusi, seperti nampak dalam definisi modernisasi oleh Bandix (1963: 12 dalam Suwartiningsih 2010), yakni ‘a type of social change since the eighteenth century consisting in the economic and political advance of some pioneering society and subsequent changes in follower cosieties’. Proses menjadi modern bisa berlangsung lambat atau cepat bergantung kepada kondisi internal masyarakat tersebut, terutama aspek mental budaya. Dikatakan demikian, karena kemiskinan dan keterbelakangan pada suatu masyarakat dipandang sebagai hasi dari sistem sosial dan mental budaya dari masyrakat tersebut. Oleh karena itu, untuk menjadikan proses modernisasi lebih cepat, maka relasi antara masyarakat terbelakang dengan masyarakat maju adalah penting. Sedangkan pembangunan disamakan dengan modernisasi, karena ia mencerminkan keinginan suatu bangsa untuk mencapai “taraf yang sama dengan’ bangsa lain yang lebih maju (Suwartiningsih, 2010: 3). Teori modernisasi ini telah ditentang oleh banyak sarjana karena teori ini dianggap tidak sesuai untuk menjelaskan keadaan dan situasi pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Sebagai gantinya para sarjana tersebut mengajukan teori ketergantungan (dependency theory) yang dipelopori oleh Andre G. Frank pada tahun 1969. Teori ketergantungan ini bermula di Negara-negara Amerika Latin, dimana keadaan dan situasi di kawasan itu mempunyainciri tersendiri, yang 36 Bab 2 Kajian Pustaka member inspirasi kepada Frank untuk menyusun teori tersebut. Menurut teori ini, kemiskinan dan keterbelakangan rakyat di Negara dunia ketiga adalah akibat dari kapitalisme yang sudah berlaku sejak zaman kolonial, bukan karena faktor mental budaya sebagaimana anggapan teori modernisasi. Karena sistem pertukaran yang tidak seimbang dalam kapitalisme (didalam kepustakaan capital-isme dikenal sebagai ‘pola produksi kapitalisme’), maka rakyat bergantung kepada kaum kapitalis di aras Negara, manakala Negara juga bergantung kepada kaum kapitalis di aras dunia, yakni negara-negara maju. Oleh karena itu, maka pembangunan menurut teori ini adalah perihal mengatasi ‘pola produksi kapitalisme’ tersebut (Lauer, 2001: 415-417, dan Suwartiningsih, 2010: 3). Dalam buku hasil penelitian pada orang miskin di TPA Jatibarang Semarang, strategi yang digunakan di sana diuraikan bahwa, AGIL sebagai Survival Strategy (Strategi Bertahan Hidup) Komunitas Pemulung Modal yang dimiliki oleh para pemulung di TPA sampah Jatibarang adalah pilar-pilar kebertahanan hidupnya. Pertanyaan lanjut, bagaimana para pemulung itu mengelola modal yang dimilikinya sehingga bisa bertahan hidup sebagai suatu komunitas? Untuk membahas persoalan ini, penulis menggunakan model AGIL, dari Parsons sebagai kerangka acuan perbincangan. Menurut Parsons suatu masyrakat dapat bertahan apabila mempunyai empat sub sistem, yaitu: Adaptation (penyesuaian), Goal attainment (pencapaian tujuan), Integration (integrasi), dan Latent/arah panduan. (Suwartiningsih 2010: 323). Dalam membangun kemampuan untuk bertahan hidup, struggle to life untuk survive digunakan survival strategy-Adaptive Strategy. Untuk mampu survive di medan yang bisa jadi sama sekali berbeda dari waktu atau daerah asalnya, mereka harus mampu berimprovisasi, memodifikasi situasi, beradaptasi dengan kondisi dan mengatasi (overcome) seluruh permasalahan yang muncul. Improvisasi ini meliputi pengkajian berbagai kemungkinan dari usaha yang dilihat dari perspektif yang berbeda. Bila ternyata di lapangan sumber daya (resources) yang dimiliki tidak sepenuhnya cocok (match) dengan 37 SURVIVAL STRATEGY KOMUNITAS MAKAM GUNUNG BRINTIK SEMARANG medan yang dihadapi, maka harus siap me-modify sumber daya tersebut sehingga bisa optimal menopang usaha yang dilakukan. Ketika sudah berimprovisasi dan memodifikasi resources secara maksimal, namun lapangan tetap tidak mudah ditaklukkan, tetap tidak bersahabat dengan usaha baru, maka waktunya untuk beradaptasi dengan lingkungan usaha yang berbeda tersebut. Setelah inipun masalah-demi masalah baru tetap akan bermunculan; maka harus mampu mengovercome (mengatasi) setiap masalah yang muncul tersebut pada waktunya siap untuk bertahan hidup, survive, bahkan berkembang. Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat dibuat kerangka teori sebagai berikut: Layanan Sensitivity Sensitivity EKOSISTEM SOCIAL SYSTEM Adaptive Capacity Adaptive Capacity Pengelolaan Adaptive Strategy Gambar 2.3 Skema Coupled Ecosystem – Social System Dalam rangka the struggle for life in society involved the competition for money and status among groups and individuals, terdapat kerentanan pasangan sistem manusia-lingkungan terhadap hilangnya layanan ekosistem. Pengurangan sensitivitas tersebut dapat menumbuhkan kemampuan adaptasinya misalnya tumbuhnya sumberdaya manusia (antara lain tumbuhnya modal sosial) 38 Bab 2 Kajian Pustaka “Reducing sensitivity to their effects and increasing adaptive capacity (e.g.-exempli gratia raising human capital)“ (Locatelli,B.,PramovaE., 2010) Mengutip pendapat Locatelli et.al (2010) terdapat pemikiran sebagai berikut: “In recent years, there has been a growing interest in ecosystem based adaptation EBA).EBA addresses the role of environmental services in reducing the vulnerability of natural resource dependent societies to climate change in a multisectoral and multiscale approach (Locatelli, B., RojasV., SalinasZ., 2008) Kerangka pikir penelitian dapat disampaikan sebagai berikut: Komunitas Makam Gunung Brintik Survival Strategy Survive dan Berkembang Modal Komunitas dan potensi lokal Gambar 2.4 Kerangka Pikir Penelitian 39