Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 260-273 VARIETAS KACANG TANAH TAHAN Aspergillus flavus SEBAGAI KOMPONEN ESENSIAL DALAM PENCEGAHAN KONTAMINASI AFLATOKSIN1) Astanto Kasno Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 e-mail: [email protected] PENDAHULUAN ; Kebiasaan mengonsumsi kacang tanah sesungguhnya merupakan kebiasaan yang sehat. Terdapat indikasi bahwa orang yang terbiasa mengonsumsi kacang tanah memiliki risiko rendah terkena penyakit jantung karena kacang tanah sarat kandungan gizi (protein, niasin, magnesium, vitamin C, mangan, dan khromium) dalam jumlah yang signifikan, tetapi miskin kolestrol. Biji kacang tanah yang diproses tanpa zat tambahan (aditif) tetap memiliki kadar kolestrol nol persen. Selain itu, minyak kacang tanah mengandung asam lemak tidak jenuh dengan kadar hingga 80% dan di dalamnya terdapat 40-45% asam linoleat. Asam lemak tidak jenuh berperan penting dalam mengatasi stroke, depresi serta memperbaiki dan mempertahankan struktur otak. Karena itu, mengonsumsi kacang tanah secara teratur sangat disarankan (NAS 1979; Mijerante dan Nelson 1986; Maesen dan Somaatmadja 1993). 1) Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 30 Juni 2003 di Bogor. Konsumsi kacang tanah di Indonesia terus meningkat, namun produksi dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan. Permintaan kacang tanah tahun 1991-2001 rata-rata sebesar 836.852 ton dipenuhi dari impor sebanyak 141.842 ton pada periode yang sama (Manurung 2002). Meskipun tergolong bahan pangan yang sehat, kacang tanah memiliki kelemahan sehingga manfaatnya menjadi kurang optimal jika tidak ditangani secara baik. Salah satu kelemahan kacang tanah adalah mudah terinfeksi cendawan toksigenik yang kemudian berkembang dan memproduksi mikotoksin. Cendawan toksigenik yang biasa menginfeksi kacang tanah adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Toksin yang dihasilkan disebut aflatoksin (Afla kependekan Aspergilus flavus). Di Indonesia, aflatoksin tergolong ke dalam mikotoksin utama yang banyak mengontaminasi produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak (Muhilal dan Karyadi 1985). Aflatoksin yang dihasilkan cendawan toksigenik tersebut yakni aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Dari jenis-jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 adalah yang paling toksik karena bersifat karsinogenik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia, mamalia, dan unggas. Gangguan akut berupa kanker hati yang sering berakhir dengan kematian (Mehan 1989; Swindale 1989). Kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah di Indonesia dilaporkan oleh banyak peneliti. Kacang tanah berupa polong segar, polong kering, biji, dan produk olahannya, baik olahan sederhana (kacang rebus, kacang garing, bungkil, oncom) maupun olahan modern (kacang atom, kacang mentega, pasta kacang, selai) umumnya terkontaminasi aflatoksin B1 di luar batas toleransi aman (Adenan et al. 1985; Dharmaputra et al. 1989; Zahari et al. 1991; Haryadi dan Setiaputra 1994; Bahri 2001). Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan diwujudkan dengan menetapkan standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000), serta ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar. Pada kacang tanah, kandungan aflatoksin menjadi penghambat nontarif dalam perdagangan internasional. Batas maksimum kandungan aflatoksin yang diizinkan berbeda antarnegara. FAO menetapkan 30 ppb, sedangkan negara maju seperti Amerika Serikat, MEE, dan Jepang menetapkan 0-5 ppb. Berbagai upaya untuk meminimalkan kandungan aflatoksin dalam produk pertanian perlu mendapatkan dukungan yang memadai dari berbagai pihak agar terhindar dari hambatan dalam pemasaran selain melindungi konsumen dalam negeri dan mancanegara. KACANG TANAH DI INDONESIA DEWASA INI Kacang tanah memiliki potensi besar sebagai produk pangan ekspor yang khas, dan kini menjadi sumber pendapatan penting bagi petani. Namun, hingga kini kacang tanah masih dipandang sebagai komoditas sampingan daripada tanaman pokok. Kacang tanah umumnya ditanam pada areal yang sempit dan terpencar dengan teknologi sederhana sehingga produktivitasnya rendah. Indikasinya, produksi kacang tanah dalam 10 tahun terakhir berfluktuasi dengan pertumbuhan rata-rata 1,43%, produktivitas tumbuh rata-rata 0,30%, dan luas panen tumbuh rata-rata 2,33%. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa peningkatan produksi lebih disebabkan oleh pertambahan luas tanam dengan sentuhan teknologi amat minimal. Produksi kacang tanah tahun 1997 tercatat 685.043 ton dari luas panen 624.890 ha. Pada tahun 2001, produksinya meningkat menjadi 709.770 ton dari luas panen 654.838 ha. Produktivitas tahun 1997 adalah 1,096 t/ha, tahun 2001 1,084 t/ ha dan rata-rata 1,075 t/ha pada periode 1997-2001 (Tabel 1), padahal berdasarkan hasil penelitian, produktivitasnya dapat mencapai 2,5-3,0 t/ha polong kering. Bila kemampuan petani dalam menyerap teknologi rata-rata 60% maka produktivitas kacang tanah masih dapat ditingkatkan menjadi 1,5-1,7 t/ha. Penyebab utama stagnasi produktivitas kacang tanah adalah tidak adanya rangsangan bagi petani untuk meningkatkan produksi. Selama periode 1997-2001, harga kacang tanah terus menurun, sedangkan biaya produksi makin meningkat. Neraca penyediaan dan permintaan kacang tanah periode 1996-2001 rata-rata negatif, artinya pada periode tersebut Indonesia merupakan negara net importir. Impor kacang tanah dalam periode 19962001 rata-rata 141.842 ton (Tabel 2) dengan nilai US$61.815 juta (Manurung 2002). Dari sekitar 23 juta ton produksi kacang tanah dunia, kawasan Asia dan Pasifik memberikan kontribusi sekitar Tabel 1. Produksi, luas panen, dan produktivitas kacang tanah, 1997-2004. Tahun Luas panen (ha) Produktivitas (t/ha) Produksi (t) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 624.890 646.469 624.980 683.554 654.838 629.630 724.400 800.000 1,096 1,063 1,055 1,077 1,084 1,098 1,175 1,200 685.043 687.688 659.586 736.517 709.770 691.404 829.550 871.200 Sumber: Manurung (2002). Tabel 2. Neraca produksi dan permintaan serta impor kacang tanah, 1996-2001. Tahun Produksi (t) 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 737.480 685.043 687.688 659.586 736.517 709.770 691.404 724.400 800.000 Permintaan (t) 942.348 880.282 750.506 773.936 847.479 826.560 874.224 895.404 917.789 Impor (t) Ekspor (t) 234.069 198.033 71.258 117.652 111.284 118.758 29.201 2.794 8.440 3.302 332 1.968 Sumber: Manurung (2002). 50%. Di kawasan Asia dan Pasifik, Cina memberikan kontribusi 55%, India 34%, Indonesia 5%, dan Vietnam 1,8% untuk periode tahun 1997-1999. Selama periode tersebut, laju pertumbuhan produksi di Cina cenderung meningkat, sedangkan India, Indonesia, dan Vietnam menunjukkan laju pertumbuhan produksi yang menurun, masing-masing 9,5%, 7,8%, dan 3,9% (Hutabarat dan Maeno 2002). Kebutuhan kacang tanah untuk konsumsi tahun 2004 sebesar 181.387 ton sesungguhnya telah tercukupi oleh pro- duksi dalam negeri. Namun, permintaan kacang tanah tidak hanya untuk konsumsi, tetapi juga untuk ekspor dan keperluan lain. Pada tahun 2004, diperkirakan produksi kacang tanah akan mencapai 800.000 ton. Untuk mencapai tingkat produksi tersebut, pilihannya adalah memperluas areal tanam serta meningkatkan produktivitas. Peluang mengembangkan produksi kacang tanah pada 52 kabupaten di 12 provinsi cukup besar. Hal tersebut memerlukan upaya keras dan kebijakan yang berpihak kepada petani sehingga mereka termotivasi untuk meningkatkan produksi sekaligus mendapatkan insentif yang diperlukan untuk menerapkan teknologi. Kebijakan harga, pemberian subsidi agroinput, diikuti dengan penghambatan nontarif untuk kandungan aflatoksin dan kebijakan teknis pendukungnya diyakini dapat memicu minat petani untuk meningkatkan produksi. Bila upaya tersebut dapat dilakukan, dapat dipastikan Indonesia akan terhindar dari serbuan kacang tanah impor. Pemenuhan kebutuhan melalui impor akan lebih mudah karena: (1) adanya fasilitas kredit impor produsen utama; (2) menjual kelebihan produksi dengan harga murah lebih menguntungkan daripada menyimpannya; (3) kacang tanah selalu tersedia di pasar internasional dengan mutu dan pasokan yang terjamin; dan (4) rente ekonominya lebih tinggi. VARIETAS, Aspergillus flavus DAN LINGKUNGAN Kementerian Pertanian hingga tahun 2002 telah melepas dan merekomendasikan 26 varietas unggul kacang tanah. Varietas yang dilepas pada tahun 1950-1970 memiliki keunggulan dalam daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit layu. Gajah, Kidang, Macan, dan Banteng adalah varietas kacang tanah yang dilepas pada periode tersebut dan masih ditanam petani hingga kini. Pada kurun waktu 1970-1986, selain daya hasil dan ketahanan terhadap panyakit layu, ketahanan terhadap penyakit karat dan penyakit daun mulai diperhatikan. Pelanduk, Tapir, Tupai, Rusa, Anoa, Mahesa, Landak, Simpai, Biawak, dan Komodo adalah varietas kacang tanah yang dilepas pada periode tersebut. Program pemuliaan kacang tanah pada periode 1986-2000 mulai memerhatikan faktor lingkungan abiotik, terutama cekaman kemasaman tanah, kekeringan, naungan, dan kahat hara terutama besi di tanah Alfisol alkalis. Varietas Kelinci, Badak, Zebra, Jerapah, Singa, dan Sima tergolong toleran kekeringan dan kondisi tanah masam serta agak tahan penyakit karat dan bercak daun. Varietas Panter toleran kekeringan dan agak tahan penyakit daun, varietas Turangga toleran naungan, dan varietas Kancil toleran kahat besi pada Alfisol alkalis. Menyongsong era pertanian kompetitif tahun 2002 yang menuntut syarat mutu hasil, mutu lingkungan, dan efisiensi sistem produksi, perbaikan varietas kacang tanah mulai diarahkan pada perbaikan mutu hasil, dengan fokus ketahanan terhadap A. flavus. A. flavus merupakan jamur saprofit, koloninya menghasilkan spora berwarna kehijauan, dan miselium yang semula berwarna putih tidak tampak lagi (Dwidjoseputro 1981). Selain A. flavus, biji kacang tanah sering terkontaminasi A. niger dan Penicillium sp. Kacang tanah varietas lokal dan varietas unggul lama seperti varietas Macan, peka terhadap A. flavus dan jamur lainnya (Gambar 1). Bila A. flavus telah memproduksi aflatoksin, biji kacang tanah akan terasa pahit bila dikonsumsi. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenali dari warna biji yang semakin coklat dan rasanya makin pahit. Infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin pada kacang tanah merupakan hasil interaksi antara varietas dan faktor lingkungan. Varietas kacang tanah yang secara genetik tahan terhadap infeksi A. flavus, polong dan bijinya memperlihatkan laju perkembangan, perkecambahan, dan produksi aflatoksin yang lebih rendah dibanding varietas rentan pada kondisi lingkungan yang sama. Beberapa genotipe kacang tanah memiliki kulit polong dan Varietas lokal Varietas Zebra Varietas Macan Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus (kehijauan), A. niger (hitam), dan Penicillium sp. (keabuan/ putih) pada biji kacang tanah varietas lokal, Zebra, dan Macan dengan umur simpan dua bulan (Kasno et al. 2002a). kulit ari biji yang mampu menahan penetrasi A. flavus sehingga dapat mengurangi produksi aflatoksin pada biji, namun beberapa genotipe lainnya tidak memiliki karakteristik tersebut. Fenomena tersebut membuka peluang pengembangan varietas kacang tanah tahan A. flavus. Bartz et al. (1978) menemukan keragaman kolonisasi A. flavus pada genotipe kacang tanah yang berbeda kepekaannya terhadap A. flavus sejalan dengan umur panen dan cara pengeringan. Pettit et al. (1989) menemukan adanya hubungan antara struktur dan komposisi biokimia kulit ari biji dengan kepekaan terhadap A. flavus. Genotipe kacang tanah yang tahan A. flavus memiliki kulit ari biji dengan susunan jaringan palisade yang kompak, hilumnya kecil, lapisan lilin pada permukaannya tebal, dan mengandung senyawa sejenis tanin. Kemampuan tanaman menghasilkan senyawa fitoaleksin terbukti dapat menghambat pembentukan aflatoksin dan menentukan ketahanan suatu varietas kacang tanah terhadap A. flavus (Wotton dan Strange 1985; Dorner et al. 1987 dalam Pettit et al. 1989). Mehan dan McDonald (1984) melaporkan, lima genotipe kacang tanah dapat digunakan sebagai sumber ketahanan terhadap A. flavus, termasuk di dalamnya varietas J11. Kacang tanah varietas J11 telah diintroduksi ke Indonesia pada tahun 1999 dan gen ketahanannya telah diintegrasikan ke dalam varietas Jerapah dan Mahesa. Keturunan galur-galur tahan A. flavus tersebut telah diuji daya hasilnya (Kasno et al. 2001, 2002a, 2002b). Pada genotipe kacang tanah yang tahan, koloni cendawan A. flavus pada biji hanya sedikit. Genotipe kacang tanah yang memiliki koloni cendawan sama atau kurang dari 15% dinyatakan tahan terhadap cendawan A. flavus (Mehan et al. 1981; Mehan 1989). Faktor lingkungan yang memengaruhi infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin pada kacang tanah dibedakan ke dalam faktor lingkungan yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kegiatan prapanen maupun pascapanen. Cekaman kekeringan dan suhu tanah tergolong ke dalam faktor yang langsung berpengaruh terhadap infeksi cendawan dan kontaminasi aflatoksin. Sementara itu, nutrisi dan serangan hama penyakit berpengaruh tidak langsung terhadap infeksi cendawan dan kontaminasi aflatoksin dalam kegiatan prapanen. Periode Kritis Kacang Tanah terhadap Infeksi A. flavus Kacang tanah yang ditanam pada tanah berpasir dan mengalami cekaman kekeringan pada stadia pembentukan polong dan pengisian biji sangat rentan terhadap infeksi A. flavus. Fase pengisian biji sangat sensitif terhadap cekaman suhu dan kekeringan. Suhu tanah optimum untuk perkembangan A. flavus berkisar antara 25,7-31,3 o C. Kisaran suhu optimum tersebut tercapai bila tanaman mengalami cekaman kekeringan pada umur 4-6 minggu sebelum dipanen. Pada suhu 25,7oC, biji kacang tanah utuh dan sehat akan terbebas dari infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin. Kontaminasi aflatoksin mulai terjadi pada suhu 26,3oC, dan kandungan aflatoksin terus meningkat sejalan dengan peningkatan suhu hingga mencapai 31,2oC. Bila suhu tanah melebihi suhu tersebut, kontaminasi aflatoksin tidak akan terjadi (Hill et al. 1985 dalam Ginting dan Beti 1996; Cole et al. 1995). Di Indonesia, kacang tanah umumnya ditanam pada lahan kering pada akhir musim hujan atau pada musim kemarau. Pada keadaan tersebut, tanaman akan mengalami cekaman kekeringan pada stadium reproduktif sekaligus cekaman suhu sehingga berpeluang besar terinfeksi A. flavus dan terkontaminasi aflatoksin. Pada fase pembentukan dan pengisian biji, tanaman kacang tanah memerlukan air dan kalsium (Ca). Tanaman yang mengalami kahat air dan Ca pada fase tersebut akan menghasilkan sedikit polong isi de- ngan biji keriput. Biji keriput umumnya mudah terinfeksi A. flavus. Sekitar 40% kacang tanah di Indonesia ditanam pada lahan kering Alfisol alkalis yang meskipun kaya Ca, kandungan unsur hara Fe sangat rendah sehingga tanaman mudah mengalami klorosis. Tanaman yang mengalami klorosis menghasilkan polong yang serupa dengan kahat Ca. Keadaan tersebut menyebabkan kacang tanah berpeluang besar terinfeksi A. flavus dan terkontaminasi aflatoksin. Sumber Inokulum Aspergillus flavus Bahan tanaman yang terinfeksi merupakan sumber inokulum A. flavus. Pettit et al. (1989) melaporkan bahwa infeksi A. flavus terjadi pada ginofor, baik yang masih menggantung di udara maupun yang telah menembus tanah hingga membentuk polong dan biji. Analisis tanah dari berbagai sentra kacang tanah menemukan 1.0005.000 spora A. flavus dalam setiap gram tanah. Penambahan inokulum pada daerah perakaran meningkatkan infeksi A. flavus (Mehan et al. 1988a). Kacang tanah yang ditanam petani Indonesia umumnya adalah varietas lokal dan varietas unggul lama yang rentan terhadap penyakit daun dan A. flavus, serta tidak toleran kekeringan. Selain itu, kacang tanah yang ditanam pada musim kemarau sering terserang hama trips, Empoasca, dan Aphis. Pada saat yang bersamaan, terjadi pula serangan penyakit karat dan bercak daun. Kesehatan tanaman yang kurang optimal akibat serangan hama dan penyakit ditengarai berasosiasi dengan kerentanan terhadap infeksi A. flavus. Tanaman yang tidak sehat karena serangan penyakit layu dan hama seperti rayap dan Empoasca, sebelum dipanen bijinya telah terinfeksi A. flavus 56,4-69,8% (Ahmed et al. 1989). Sekitar 60% dari luas panen kacang tanah tahun 2001 yang mencapai 654.838 ha berada pada kondisi tersebut, dan panen biasanya terjadi pada awal musim hujan. Kacang tanah yang dipanen pada musim hujan mengandung aflatoksin yang relatif tinggi (Cardona et al. 1989). Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin pada Proses Pascapanen Panen, pengeringan, kondisi penyimpanan, dan lama penyimpanan diketahui berpengaruh langsung terhadap infeksi A. flavus. Infeksi cendawan A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada biji kacang tanah pasti terjadi pada pertanaman yang mengalami cekaman kekeringan pada fase reproduktif, terutama pada 3-6 minggu menjelang panen (Cole et al. 1995). Cendawan akan berkembang biak pada biji apabila senyawa antimikroba, fitoaleksin, tidak terbentuk (Basha et al. 1994). Fitoaleksin hanya terbentuk jika aktivitas air pada biji (kernel water activity/K-aW) minimal 0,95. Dengan terbentuknya senyawa antimikroba tersebut, cendawan A. flavus yang masuk ke dalam biji akan berada pada kondisi dorman. Sebaliknya, pada rentang K-Aw antara 0,8-0,95 dengan suhu 25-36o C, cendawan A. flavus akan berkembang biak dan membentuk aflatoksin (Wotton and Strange 1985). Pengeringan merupakan kegiatan pascapanen yang paling kritis, terutama bila panen terjadi pada musim hujan. Kadar air biji kacang tanah pada saat panen berkisar 35-40%. Musim hujan dengan cuaca mendung dan kelembapan tinggi akan memperlambat proses pengeringan dengan energi surya, sebagaimana yang dilakukan petani kacang tanah di Indonesia. Kadar air substrat 15-20%, suhu 25-30oC, dan kelembapan nisbi 85% sangat kondusif bagi pertumbuhan dan perkecambahan A. flavus dan produksi aflatoksin (ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Laju produksi aflatoksin akan meningkat bila polong kacang tanah tidak segera dikeringkan dalam waktu 48 jam setelah panen (Cardona et al. 1989). Dharmaputra et al. (1989) melaporkan, 80% contoh biji kacang tanah dari Bogor yang berkadar air 3,6-11,0% mengandung aflatoksin B1 lebih dari 30 ppb. Kontaminasi aflatoksin sebanyak 0,43 ppm terdeteksi pada kacang tanah yang dirontok secara mekanis, dijemur empat hari bersama brangkasannya, dan disimpan selama 15 hari. Pada 45 hari penyimpanan, kandungan aflatoksin mencapai 108,5 ppm (Ilangantileke dan Lagunda 1989). Dharmaputra et al. (1989) melaporkan bahwa laju infeksi A. flavus dan produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh kadar air biji. Kacang tanah dengan kadar air 5-8% menunjukkan kandungan aflatoksin 275 ppb setelah disimpan tiga bulan (Quitco et al. 1989). Hal tersebut mengindikasikan kacang tanah yang disimpan telah terinfeksi A. flavus sejak di lapangan. Pollet et al. (1989) melaporkan bahwa contoh kacang tanah yang diambil dari tempat penyimpanan di tingkat petani memiliki persentase infeksi A. flavus yang lebih rendah daripada contoh yang diambil di pasar. Di Indonesia, untuk sampai ke pasar, kacang tanah memerlukan waktu 40110 hari setelah panen (Muhilal 1977 dalam Machmud 1989). Kerusakan mekanis polong saat panen karena tanah kering, perontokan, dan pembijian serta kerusakan karena kegiatan prapanen menjadi pembuka jalan bagi infeksi A. flavus dan kotaminasi aflatoksin (Blankenship et al. 1984). STRATEGI PENGENDALIAN A. flavus DAN PENCEGAHAN KONTAMINASI AFLATOKSIN Proses infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah mengisyaratkan adanya tiga faktor yang selalu ada bersama-sama agar terjadi kolonisasi A. flavus yang diikuti oleh produksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut adalah: (1) varietas kacang tanah yang peka, (2) cendawan A. flavus yang ganas dan agresif, dan (3) lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan, perkembangan, dan produksi aflatoksin. Ketiga faktor tersebut secara sederhana dapat digambarkan sebagai segitiga penyakit A. flavus (Gambar 2). Segitiga penyakit menunjukkan keharusan koinsidensi dan interaksi antara varietas peka, A. flavus agresif, dan lingkungan yang kondusif untuk menimbulkan penyakit (kolonisasi cendawan). Musim kemarau sebagai musim tanam raya, suhu tanah yang tinggi pada periode kritis, dan kebiasaan petani tidak segera menjemur kacang tanah setelah dipanen sangat kondusif bagi infeksi A. flavus. Mencermati kondisi tersebut, dua dari tiga komponen segitiga penyakit tersebut perlu mendapat perhatian, yakni varietas kacang tanah peka dan lingkungan tumbuh yang sangat kondusif bagi kolonisasi A. flavus. Dengan demikian, strategi pencegahan atau pengendalian penyakit yang disebabkan oleh A. flavus ialah dengan menanam varietas kacang tanah toleran/tahan A. flavus serta memperbaiki lingkungan tumbuh dan pengelolaan prapanen yang baik. Penggunaan Varietas Tahan A. flavus Ketahanan ialah tanggap aktif dan dinamis inang terhadap patogen yang menyerangnya. Ketahanan dan kepekaan timbul jika terjadi interaksi antara inang Varietas kacang tanah peka Penyakit A. flavus agresif Gambar 2. Segitiga penyakit Aspergillus flavus. Lingkungan kondusif dan patogen. Ketahanan dan kepekaan varietas merupakan ukuran relatif yang menggambarkan interaksi kacang tanah sebagai inang dan A. flavus sebagai patogen. Ketahanan inang tampak dari taraf perkembangan penyakit atau kolonisasi A. flavus. Cara-cara terlepasnya inang dari infeksi A. flavus karena terhindar dari infeksi bukan termasuk dalam lingkup mekanisme ketahanan. Manipulasi lingkungan tumbuh dan penggunaan jamur antagonis termasuk ke dalam kategori ini. Di Indonesia, ketahanan varietas kacang tanah terhadap A. flavus mulai mendapat perhatian sejak tahun 1976, dan pada tahun 1983 berhasil dilepas varietas Tupai. Menyongsong era pertanian kompetitif, mulai tahun 1999 hal tersebut mendapatkan perhatian yang serius. Upaya mendapatkan varietas toleran atau tahan diawali dengan evaluasi ketahanan terhadap A. flavus pada populasi galur generasi lanjut serta varietas toleran kekeringan dan tahan penyakit daun, dilanjutkan dengan integrasi gen tahan A. flavus yang terkandung pada varietas kacang tanah asal mancanegara ke dalam varietas yang teridentifikasi tahan A. flavus. Sembilan varietas kacang tanah teridentifikasi agak tahan dan tahan A. flavus (Tabel 3). Manipulasi Lingkungan Tumbuh Manipulasi lingkungan tumbuh merupakan cara mencegah terjadinya interaksi kacang tanah dengan A. flavus. Interaksi tersebut terjadi sejak tanaman di lapangan dan spora jamur tersebut terbawa polong atau biji ke ruang penyimpanan atau tempat pemasaran. Pettit et al. (1989) mendapatkan frekuensi isolasi A. flavus pada ginofor udara kacang tanah di lapangan sebesar 13-32% dan pada ginofor tanah yakni 5-22%. Pengujian pada polong tua mendapatkan hasil yang sama, yakni 1027%. Oleh karena itu, manipulasi lingkungan untuk mencegah interaksi kacang tanah dan A. flavus harus dimulai sejak tanaman di lapangan, saat panen, hingga penanganan pascapanen. Pengaturan waktu tanam dan pengairan agar tanaman terhindar dari cekaman kekeringan dan suhu terbukti efektif menekan laju infeksi A. flavus (Mehan et al. 1988b; Kasno et al. 2002a). Panen tepat waktu juga dapat menekan laju infeksi A. flavus. Varietas dan tingkat kemasakan biji memperlihatkan hubungan nyata dengan tingkat infeksi A. flavus. Waktu panen kacang tanah yang tepat untuk mencegah infeksi A. flavus adalah pada saat biji masak optimum yang ditandai oleh kandungan bahan kering dan komposisi biji yang maksimal. Hal tersebut secara visual dapat dikenali dari warna kulit polong yang agak gelap dan bila dikupas, bagian kulit polong memperlihatkan guratan hitam dengan latar belakang putih. Secara kuantitatif, hal tersebut terjadi bila nisbah biji-kulit (seedhull) telah maksimum (Mehan et al. 1986; Trustinah 1987). Panen terlalu awal akan memperoleh proporsi polong muda lebih banyak dan bila dikeringkan bijinya menjadi keriput dengan waktu pengeringan yang lebih lama. Biji muda lebih sensitif terhadap infeksi A. flavus dibandingkan biji tua. Sebaliknya, panen terlambat akan menyebabkan biji melekat pada kulit polong sehingga mudah rusak bila dikupas (Trustinah dan Kasno 1992). Biji keriput dan biji rusak sensitif terhadap infeksi A. flavus (Woodrof 1983 dalam Ginting dan Beti 1996). Pemeraman atau penundaan pengeringan polong/biji setelah dipanen dapat Tabel 3. Hasil dan ketahanan beberapa varietas kacang tanah terhadap Aspergillus flavus. Varietas (tahun dilepas) Hasil (t/ha) Ketahanan terhadap A.flavus Tupai (1983) 2,00 T Zebra (1992) 2,40 T Komodo (1992) 2,00 T Jerapah (1998) 2,00 AT Singa (1998) 2,30 T Sima (2001) 2,30 T Turangga (2001) 2,00 AT Kancil (2001) 1,85 AT Bima (2001) J11 (Cek) 1,70 1,60 AT T Keunggulan lain Tahan penyakit layu dan agak tahan penyakit karat Toleran penyakit daun dan responsif terhadap tambahan input Agak tahan penyakit daun, cocok di musim kemarau Toleran kekeringan dan lahan masam, agak tahan penyakit daun Agak tahan penyakit daun dan penyakit layu, toleran kekeringan dan adaptif lahan masam Agak tahan penyakit daun dan penyakit layu, toleran kekeringan dan adaptif lahan masam Agak tahan penyakit daun dan sesuai untuk tumpang sari Agak tahan penyakit daun dan toleran kahat besi pada tanah Alfisol alkalis Agak tahan layu dan sesuai untuk kacang BIGA AT= agak tahan dan T= tahan Sumber: Sumartini (2000); Kasno et al.(2003) memicu infeksi A. flavus. Pengolah kacang tanah di Jawa Tengah hanya bersedia membeli polong basah jika pada saat di pabrik waktunya tidak melebihi 24 jam setelah kacang tanah dipanen. Polong basah lebih dari 24 jam setelah dipanen akan menghasilkan kacang garing yang memiliki rasa tengik akibat oksidasi minyak. Kontaminasi aflatoksin biasanya terjadi pada kacang tanah yang tidak dikeringkan dalam waktu 48 jam setelah dipanen (Cardona et al. 1989). Oleh karena itu, mengeringkan polong basah sesegera mungkin setelah dipanen merupakan cara yang efektif mencegah terjadinya interaksi inang dengan A. flavus. Pengeringan polong secara tradisional dilakukan dengan pengasapan, terutama bila panen terjadi pada musim hujan. Pengeringan bertujuan menurunkan kadar air polong/biji dari sekitar 35-40% pada saat panen (bergantung umur masak) menjadi kadar air yang aman dari infeksi A. flavus. Kadar air substrat 15-20% sangat kondusif bagi A. flavus untuk menghasilkan aflatoksin. Biji kacang tanah dengan kadar air 5-8% masih terkontaminasi aflatoksin setelah disimpan tiga bulan (Cardona et al. 1989; ICAR 1987 dalam Ginting dan Beti 1996). Idealnya, pengeringan untuk mencegah infeksi A. flavus dilakukan hingga kadar air kurang dari 5%. Namun, meski dapat dilakukan, suhu dan kelembapan nisbi udara di Indonesia menjadi faktor pembatas sehingga menghasilkan kadar air biji seimbang pada kisaran 7-9%. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa penyimpanan merupakan titik kritis dalam mencegah infeksi A. flavus karena kacang tanah harus disimpan pada kadar air yang sangat rendah atau kadar air mutlak. Untuk itu perlu fasilitas penyimpanan yang canggih dengan biaya tinggi. Langkah praktis yang dapat dilakukan adalah memperpendek waktu tempuh kacang tanah dari petani ke konsumen yang memerlukan waktu 40-110 hari (Muhilal dan Nurjadi 1977 dalam Machmud 1989). KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Kontaminasi aflatoksin merupakan penghambat nontarif dalam perdagangan kacang tanah di pasar internasional. Varietas kacang tanah tahan A. flavus memiliki peran strategis sebagai titik masuk (entry point) dalam mencegah kontaminasi aflatoksin hingga batas yang dapat diterima dalam pasar global. 2. Varietas kacang tanah tahan A. flavus pada berbagai perlakuan pengelolaan pra- dan pascapanen memiliki insiden penyakit dan kontaminasi aflatoksin lebih rendah dibandingkan varietas rentan. Dengan demikian, varietas kacang tanah tahan A. flavus dapat digunakan sebagai komponen penting dalam pencegahan/pengendalian kontaminasi aflatoksin secara terpadu. 3. Strategi pengendalian A.flavus dan kontaminasi aflatoksin yang efisien adalah memadukan varietas kacang tanah dengan pengelolaan pra- dan pascapanen yang optimal. 4. Teknologi untuk meminimalkan infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah meliputi varietas agak tahan A. flavus serta pengelolaan pra- dan pascapanen yang optimal. Penerapan teknologi tersebut memerlukan kerja sama terpadu berbagai pihak terkait dalam agribisnis kacang tanah disertai kebijakan yang kondusif. Implikasi Kebijakan 1. Mengingat bahaya aflatoksin bagi kesehatan dan hambatan nontarif dalam perdagangan internasional, serta mengacu pada hasil penelitian dan teknologi yang tersedia, upaya jangka pendek untuk meminimalkan kontaminasi aflatoksin adalah: (a) sosialisasi pengendalian penyakit karat dan bercak daun pada petani yang masih menggunakan varietas lokal atau unggul lama; (b) mencegah infeksi A. flavus dan kontaminasi aflatoksin pada pertanaman kacang tanah musim hujan terutama dengan memperbaiki pengelolaan pascapanen, dan pada pertanaman musim kemarau melalui pengelolaan prapanen; (c) panen tepat waktu dan segera mengeringkan polong setelah panen bila ditujukan untuk konsumsi biji kering; dan (d) sosialisasi pengairan di sentra-sentra produksi kacang tanah yang memiliki fasilitas irigasi pompa air dalam, sumur pantek, atau irigasi teknis. 2. Dalam jangka menengah disarankan: (a) melakukan sosialisasi penggunaan varietas kacang tanah tahan A. flavus; varietas Jerapah, Sima, dan Turangga toleran terhadap kekeringan, agak tahan penyakit daun, dan agak tahan A. flavus; diikuti pengelolaan pra- dan pascapanen yang optimal; (b) memproduksi dan memperbaiki sistem distribusi benih bina varietas kacang tanah; dan (c) mengkaji berbagai lang- kah kebijakan yang dapat memacu petani meningkatkan produksi dan mendapat insentif yang memadai untuk menerapkan teknologi budi daya maju. DAFTAR PUSTAKA Adenan, H., S. Tsuboi, K. Kawamura, M.L. Cruz, H.W. Soeliadi, dan H. Suharto. 1985. Peranan aflatoksin B1 pada karsinoma hepatoseluler. Makalah dipresentasikan pada kongres PPHI, PGI, PEGI, Palembang, 1-3 Agustus 1985. Ahmed, N.E., Y.M.E. Younis, and K.M. Malik. 1989. Aspergillus flavus colonization and contamination of groundnut in Sudan. p. 255-262. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Bahri, S. 2001. Mewaspadai cemaran mikotoksin pada pakan dan produk peternakan di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. 15 hlm. Bartz, J.A., A.J. Norden, J.C. La Prade, and T.J. Demuynk. 1978. Seed tolerance in peanut to members of the Aspergillus flavus group fungi. Peanut Sci. 2: 5356. Basha, S.M., B.J. Cole, and S.K. Pancholy. 1994. A phytoalexin and aflatoxin producing peanut seed culture system. Peanut Sci. 21: 130-134. Blankenship, P.D., R.J. Cole, T.H. Sanders, and R.A. Hill. 1984. Effect of geocarpospere temperature on preharvest colonization of drought stress peanut by Aspergillus flavus and subsequent aflatoxin contamination. Mycopathologia 85: 69-74. Cardona, T.D., S.G. Ilangantileke, and A. Noomhorm. 1989. Aflatoxin research on grain in Asia: Its problems and possible solution. p. 378-394. Proc. of the 12th ASEAN Seminar on Grain Postharvest Technology. AGPP, Bangkok. Cole, R.J., J.W. Dorner, and C.C. Holbrook. 1995. Advances in mycotoxin elimination and resistance. p. 456-474. In H.E. Pattee and H.T. Stalker (Ed.). Adv. Peanut Sci. Am. Peanut Res. Edu. So., Stillwater. Dharmaputra, O.S., H.S.S. Tjitrosomo, H. Susilo, and Sulaswati. 1989. A. flavus and aflatoxin in peanut collected from three markets in Bogor, West Java, Indonesia. Proc. of the 12 th Asean Seminar on Grain Postharvest Technology, Surabaya, 29-31 August 1989. 111 pp. Dwidjoseputro. 1981. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jambatan, Jakarta. hlm. 135-134 Ginting, E. dan J.A. Beti. 1996. Upaya penyediaan bahan baku bebas aflatoksin mendukung agroindustri kacang tanah. Dalam N. Saleh, K.H. Hendroatmodjo, Heriyanto, A. Kasno, A.G. Manshuri, dan A. Winarto (Penyunting). Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisis Kacang Tanah di Indonesia, Malang, 18-19 Desember 1995. Edisi Khusus Balitkabi No. 7: 388-406. Haryadi, Y. and E. Setiaputra. 1994. Characterization of aflatoxin B1, B2, G1 and G2 in groundnut and groundnut products. p. 996-998. In Highley et al. (Eds.). Proc. of the 6th International Working Conferences on Storage Product Protection, Canberra, Australia, 17-23 April 1994. Vol 2. Hutabarat, B. and N. Maeno. 2002. Economic significance of legumes, roots and tuber crops in Asia and the Pacific, p. 41-52. Dalam M. Jusuf, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, A.A. Rahmianna, Heriyanto, Marwoto, I K. 272 Tastra, M.M. Adie, dan Hermanto (Penyunting). Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Risa-lah Seminar Hasil Penelitian, 2526 Juni 2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Ilangantileke, S.G. and R.E.A. Lagunda. 1989. A study on-farm groundnut postharvest handling systems. p. 138-146. Proc. of the Twelfth ASEAN Seminar on Grain Post Harvest Technology, Bangkok. Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, Sumartini, dan Trustinah. 2001. Pembentukan varietas kacang tanah hasil stabil dan beradaptasi luas. Studi kasus varietas Jerapah. Buletin Palawija 1: 1-14. Kasno, A. Trustinah, J. Purnomo, dan Moedjiono. 2002a. Seleksi galur kacang tanah toleran kekeringan, tahan penyakit daun dan Aspergillus flavus. Laporan Teknis 2001. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. Kasno, A., N. Nugrahaeni, J. Purnomo, dan Sumartini. 2002b. Tanggap fenotipik dan genotipik beberapa varietas kacang tanah dan populasi keturunannya terhadap cendawan Aspergillus flavus, hlm. 401-409 Dalam I.K. Tastra, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, M. Sudardjo, Heriyanto, J.S Utomo, dan A. Taufik (Penyunting). Peningkatan Produktivitas, Kualitas, Efisiensi dan Sistem Produksi Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Risalah Seminar Hasil Penelitian, 24-25 Juli 2001. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. Kasno, A., Trustinah, Sumartini, J. Purnomo, dan Moedjiono. 2003. Seleksi kacang tanah tahan A. flavus. hlm.198- Astanto Kasno 211. Dalam. A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmianna, Heriyanto, dan I.K. Tastra (Penyunting). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Prosiding Seminar Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. Machmud, M. 1989. Groundnut aflatoxin problems in Indonesia. p. 215-222. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Maesen, L.J.G. dan S. Somaatmadja. 1993. Prosea: Sumber Daya Nabati Asia Tenggara. I. Kacang-kacangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Manurung, R.M.H. 2002. Tantangan dan peluang pengembangan tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian dalam rangka mendukung ketahanan pangan. hlm. 19-40. Mehan, V.K., D. McDonald, S.N. Nigam, and B. Lalitha. 1981. Groundnut cultivars with seed resistance to invasion by Aspergillus flavus. Oleagineux 36: 501-505. Mehan, V.K. and D. McDonald. 1984. Research on the aflatoxin problem in groundnut at ICRISAT, India. Plant and Soil 79: 255-260. Mehan, V.K., D. McDonald, N. Ramakrisna, and J.H. Williams. 1986. Effect of genotype and date of harvest on infection of peanut seed by Aspergillus flavus and subsequent contamination with aflatoxin. Peanut Sci.13: 46-50. Mehan, V.K., D. McDonald, and N. Ramakrisna. 1988a. Effect of adding inoculum of Aspergillus flavus to pod zone soil on seed infection and aflatoxin contamination of peanut genotypes. Oleagineux 43: 21-28. Varietas kacang tanah tahan Aspergillus flavus ... Mehan, V.K., R.C.N. Rao, D. McDonald, and J.H. Williams. 1988b. Management of drought stress to improve field screening of peanuts for resistance to Aspergillus flavus. Phytophatology 78: 659-663. Mehan, V.K. 1989. Screening groundnut for resistance to seed invasion by and to aflatoxin production. p. 324-334. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Mijerante, W.B. and A.I. Nelson. 1986. Utilization of legumes as food. In E.S. Walis and D.E. Byth (Eds.). Food Legumes Improvement for Asian Farming System. ACIAR Proc. No. 18. Muhilal dan Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia X(1): 75-79. NAS. 1979. Tropical Legumes: Resources for the future. Nat. Acad. Sci., Washington, DC. Pettit, R.E., H.A. Azaizeh, R.A. Taber, J.B. Szerszen, and O.D. Smith. 1989. Screening groundnut cultivars for resistance to Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus and aflatoxin contamination, p. 191-303. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Pollet, A., C. Declert, W. Wiegant, J. Harkena, and E. de Lisdonk. 1989. Traditional groundnut storage and aflatoxin problems in Cote d’Ivoire: ecolocigal approach. p. 263-268. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. 273 Quitco, R., L. Bautista, and C. Bautista. 1989. Aflatoxin contamination of groundnut at post-production level of operation in the Philippines. p. 101110. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Sumartini. 2000. Evaluasi ketahahan varietas kacang tanah terhadap cendawan Aspergillus flavus. Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Malang. 7 hlm. Swindale, L.D. 1989. A general overview of the problem of aflatoxin contamination of groundnut. p. 3-10. In D. McDonald and V.K. Mehan (Eds.). Aflatoxin Contamination of Groundnut. ICRISAT, India. Trustinah. 1987. Perkembangan polong kacang tanah (Arachis hypogaea L.) pada berbagai umur panen. Penelitian Palawija 2: 56-60. Trustinah dan A. Kasno. 1992. Indeks masak galur kacang tanah F6. Penelitian Palawija 7(1): 70-78. Wotton, H.R. and R.N. Strange. 1985. Circumstantial evidence for phytoalexin involvement in the resistance of peanuts to Aspergillus flavus. J. Gen. Microbiol. 131: 487-494. Zahari, P., S. Bahri, and R. Maryam. 1991. Mycotoxin contamination of peanut after harvest in Sukabumi, West Java, Indonesia. 220 pp. In B.R. Champ, E. Highley, A.D. Hocking and J.J. Pitt. (Eds.). Proceeding of an International Conference held at Bangkok, Thailand, 23-26 April 1991.