ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013 EVALUASI PENGGUNAAN KOMBINASI ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITOR DENGAN FUROSEMID TERHADAP FUNGSI GINJAL PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG Surya Dharma*, Sri Oktavia* dan Akmal, M. Hanif ** *Fakultas Farmasi Universitas Andalas ** Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai evaluasi penggunaan kombinasi angiotensin converting enzyme inhibitor dengan furosemid terhadap fungsi ginjal pasien gagal jantung kongestif di RSUP DR. M. Djamil Padang. Penelitian ini bersifat prospektif terhadap 46 pasien dan dikelompokkan berdasarkan fungsi ginjal, 30 pasien dengan fungsi ginjal terganggu dan 16 pasien dengan fungsi ginjal normal. Penelitian dilakukan dengan mengamati fungsi ginjal pasien sebelum dan setelah mendapat terapi kombinasi Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dengan furosemid. Parameter yang diamati adalah nilai ureum serum, bersihan kreatinin, dan kalium serum. Analisa dilakukan menggunakan piranti lunak pengolah data statistik dengan metode uji peringkat bertanda Wilcoxon untuk melihat perubahan fungsi ginjal sebelum dan sesudah terapi dan dilanjutkan dengan uji t sampel independent untuk melihat perbandingan perubahan fungsi ginjal antara pasien fungsi ginjal terganggu dengan pasien fungsi ginjal normal. Hasil penelitian menunjukkan terjadi perbaikan nilai bersihan kreatinin pada kedua kelompok pasien dengan rata-rata perbaikan pada pasien dengan fungsi ginjal normal lebih tinggi dibanding pasien dengan fungsi ginjal terganggu. Kata kunci: ACEI, furosemid, CHF dan fungsi ginjal. PENDAHULUAN Gagal jantung kongestif atau Congetive Heart Failure (CHF) merupakan sindrom yang kompleks yang dapat mengganggu kemampuan jantung untuk melaksanakan fungsi sebagai pompa untuk mendukung sirkulasi fisiologis. Sindrom CHF ditandai dengan gejala seperti sesak napas, kelelahan, dan tanda-tanda seperti retensi cairan (Dipiro, 2008). Gagal jantung kongetif (CHF) merupakan masalah kesehatan dengan angka kejadian yang tinggi terutama pada penderita lanjut usia. Dari hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit di Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan bahwa gagal jantung merupakan kasus ketiga terbanyak dari seluruh jenis penyakit jantung dengan jumlah kasus kunjungan rawat jalan sebanyak 38.438 orang dan kunjungan rawat inap sebanyak 18.585 orang (Depkes, 2009). Terapi lini pertama untuk pasien CHF adalah Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dan diuretik. ACEI pada gagal jantung ditujukan untuk semua pasien CHF karena tidak berfungsinya sistolik pada ventrikel kiri (left ventricular systolic dysfunction ). Disamping itu, ACEI juga digunakan untuk mengontrol tekanan darah pasien, sedangkan diuretik harus secara rutin digunakan untuk menghilangkan gejala kongestif dan retensi cairan pada pasien gagal jantung dengan titrasi dosis sesuai kebutuhan (NICE guideline, 2003). Penggunaan ACEI ditoleransi dengan baik, tapi bukan berarti tanpa efek samping. Salah satu efek samping ACEI yaitu meningkatkan kadar kalium dalam darah. Walaupun 279 ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013 peningkatannya kecil, jika pasien diterapi dengan thiazid atau spironolakton, hiperkalemia bisa terjadi. Jika terapi ACEI harus dikombinasi dengan diuretik, maka diuretik loop seperti fursemid menjadi pilihan dibandingkan denngan diuretik thiazid dan spironolakton (Dipiro,2008). Insidensi obat-obat yang dapat menginduksi kerusakan ginjal terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah obat yang ada saat ini. ACEI dan furosemid merupakan beberapa contoh dari banyak obat yang berkontribusi menimbulkan kerusakan ginjal. Sindrom yang biasa terjadi yaitu gagal ginjal akut (GGA) yang berkaitan dengan aksi angiotensin II pada arteri aferen untuk menjaga laju filtrasi glomerulus (GFR) pada tekanan perfusi yang rendah (Sing, et al., 2003). Penurunan GFR ini menyebabkan peningkatan nilai kreatinin serum yang merupakan salah satu dari beberapa parameter kerusakan ginjal (Dipiro, 2008). Sebelum menggunakan obat –obat golongan ACEI dan furosemid, disarankan untuk melakukan pemeriksaan terhadap fungsi ginjal dan elektrolit. Selain itu, selama pengobatan harus dilakukan pemantauan terhadap efek samping ACEI. Kondisi ini lebih sering terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dosis ACEI. Meskipun ACEI memiliki peran khusus dalam beberapa bentuk penyakit ginjal, termasuk penyakit ginjal kronis, namun ACEI kadang-kadang menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang dapat berlanjut dan menjadi parah. Seorang klinisi harus terlibat jika fungsi ginjal secara signifikan berkurang sebagai akibat dari pengobatan dengan ACEI (BNF, 2009). Selanjutnya, penggunaan furosemid perlu diperhatikan pada pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal karena furosemid merupakan salah obat yang dapat memperberat kerja ginjal dimana hampir 80% dieliminasi di ginjal (Anderson, et al., 2002). Para ahli menyarankan untuk melihat kejadian efek samping terhadap pasien secara spesifik, apalagi disertai dengan penggunaan diuretik kuat dosis tinggi. Obat-obat yang diekskresikan sebagian besar melalui ginjal, akan terakumulasi dengan adanya gangguan fungsi ginjal dan dapat menimbulkan efek toksik atau memperburuk keadaan ginjal pasien ( Shargel, 2005). Kimia darah (urea, kreatinin, dan elektrolit) harus di periksa sebelum terapi, satu minggu sampai dua minggu setelah terapi awal, dan di setiap titrasi dosis (Wemerec, 2008). Pada beberapa studi, juga telah dilaporkan terjadinya interaksi antara ACEI dengan furosemid. Kegagalan ginjal dan kejadian gagal ginjal akut dapat timbul dari penggunaan kedua obat ini secara bersamaan (Baxter, 2008). Oleh sebab itu, dirasa perlu mengamati fungsi ginjal pasien pada peggunaan kombinasi obat ini. Dari pembahasan di atas, peneliti ingin mengamati penggunaan kombinasi ACEI dengan furosemid terhadap fungsi ginjal pada pasien CHF yang mengalami gangguan fungsi ginjal dan kemudian dibandingkan dengan pasien CHF yang memiliki fungsi ginjal normal di bangsal interne RSUP Dr. M.Djamil Padang. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, yaitu dengan mengamati dan mengikuti perkembangan pasien selama masa rawatan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di bangsal ilmu penyakit dalam RSUP. Dr. M. Djamil Padang. Waktu penelitian dilakukan selama bulan April-Juni 2013. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain studi longitudinal. Longitudinal merupakan suatu desain penelitian dengan melakukan monitoring/ pemantauan terhadap terapi obat yang digunakan dan perbaikan klinis yang ditunjukkan oleh pasien setiap harinya. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara deskriptif dan statistik menggunakan piranti lunak (software) pengolah data statistik. 280 ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013 Penentuan sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah semua populasi yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini. Kriteria Inklusi Semua pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP. Dr. M. Djamil Padang yang didiagnosa gagal jantung kelas fungsional II dan III serta mendapatkan terapi obat golongan ACEI dan furosemid. Kriteria Ekslusi • Pasien dengan umur < 20 tahun • Pasien tidak lagi diterapi dengan ACEI dan furosemid (karena alergi atau adverse effect). • Pasien pulang atas permintaan sendiri (pulang paksa). • Pasien meninggal • Pasien yang mendapat terapi obat lain yang berpotensi kuat menimbulkan kerusakan ginjal (nefrotoksik). HASIL DAN DISKUSI Selama periode bulan April sampai Juni 2013, terdapat 91 orang pasien yang menderita gagal jantung kongestif. Dari jumlah tersebut, terdapat 59 orang yang mendapat terapi kombinasi ACEI dengan furosemid. Dengan memperhatikan kriteria pemilihan sampel, hanya 46 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan 13 pasien lainnya memiliki satu atau lebih dari kriteria eksklusi yang telah ditetapkan pada penelitian ini. Berdasarkan jenis kelamin, pasien laki-laki berjumlah 32 orang (69,56%) dan perempuan 14 orang (30,43%). Faktor resiko gagal jantung kongestif pada perempuan cenderung lebih rendah dibanding laki-laki karena perempuan memiliki hormon esterogen yang dapat menghasilkan high density lipoprotein (HDL) namun pada kondisi menurunnya atau hilangnya kadar estrogen pada perempuan pada saat menopause menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dan penurunan lemak total, sehingga wanita menopause lebih beresiko terkena penyakit jantung (Tatsanavivat, 1998). Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun CHF dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua seseorang maka akan semakin besar kemungkinan menderita CHF karena kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko CHF. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh data berdasarkan rentang usia yaitu usia 25-40 tahun 5 orang, usia 41-55 tahun 13 orang, usia 56-70 tahun 23 orang, dan usia ≥ 71 tahun sebanyak 5 orang. Pada penelitian ini, pasien gagal jantung kongestif yang mendapat terapi dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan fungsi ginjal yaitu pasien dengan fungsi ginjal normal dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Dari 46 pasien, didapatkan data pasien dengan fungsi ginjal normal sebanyak 34,78% (16 orang), sedangkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal sebanyak 65,22% (30 orang). Masing-masing kelompok data, dilakukan analisa terhadap perubahan fungsi ginjal setelah mendapat terapi obat dengan mengamati parameter fungsi ginjal diantaranya ureum serum dan kreatinin serum (Roesner & Bolton, 2006). Nilai kreatinin serum dikonversi menjadi bentuk nilai klirens kreatinin dengan menggunakan persamaan Cockroft and Gault (Shargel, 2005). Selain itu, kadar kalium juga diamati untuk melihat adanya kemungkinan timbulnya efek samping ACEI berupa retensi kalium. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan software pengolah data statistik dengan metode uji peringkat bertanda Wilcoxon. Rata- rata perubahan yang terjadi antara kedua kelompok data 281 ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013 dibandingkan dengan menggunakan uji t sampel independent. Pada analisa fungsi ginjal dengan melihat perubahan nilai bersihan kreatinin, ureum serum dan kalium serum sebelum dan sesudah terapi menggunakan uji peringkat bertanda wilcoxon, tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap ketiga parameter tersebut. Dari hasil diatas dapat dilihat bahwa penggunaan kombinasi ACEI dan furosemid tidak memperburuk fungsi ginjal pasien gagal jantung kongestif baik dengan fungsi ginjal normal maupun dengan fungsi ginjal terganggu. Selanjutnya, dilakukan uji t sampel independent terhadap nilai klirens kreatinin, ureum serum, dan kalium serum dengan membandingkan nilai rata-rata selisih perubahan sebelum dengan sesudah terapi. Analisa nilai perubahan ureum serum dan kalium serum, tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan. Namun, pada analisa terhadap nilai klirens kreatinin, didapatkan nilai signifikansi 0,043 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada perubahan nilai klirens kreatinin sebelum dan sesudah terapi antara pasien fungsi ginjal terganggu dengan pasien fungsi ginjal normal. Perbedaan yang signifikan tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai klirens kreatinin pada pasien fungsi ginjal terganggu dengan pasien fungsi ginjal normal. Perubahan ratarata klirens kreatinin pada pasien fungsi ginjal terganggu sebesar 8,95 ml/menit sedangkan perubahan rata-rata klirens kreatinin pada fungsi ginjal normal lebih tinggi yaitu 13,05 ml/menit. Hal ini menggambarkan bahwa pada kasus ini, penggunaan kombinasi ACEI dan furosemid memiliki sifat renoprotektif (memperbaiki fungsi ginjal). Penilaian terhadap penggunaan furosemid bisa dilakukan dengan mnghitung selisih volume cairan input dan output pasien. Obat akan efektif apabila selisih antara volume cairan yang dikonsumsi (input cairan) dengan volume cairan yang dikeluarkan (output cairan) memiliki selisih 0,5 ml/kgBB/jam (Staegemann, 2005). Menurut Jurnal Endokrin, furosemid dengan dosis tinggi akan meningkatkan volume urin sekitar 270 – 910 ml/hari dengan median 400 ml. Eksresi dari natrium meningkat dari 25 – 118 mmol dengan median 54 mmol (Rudolf, 2000). Pada penelitian yang dilakukan, dari 30 pasien gagal jantung kongestif dengan gangguan fungsi ginjal, hanya 15 orang pasien yang dapat dinilai keseimbangan cairannya dimana hanya 4 orang (26,67%) memiliki selisih input dan output cairan yang ≥ 400 ml dan 11 orang (73,33%) yang memiliki selisih < 400 ml. Dibandingkan dengan pasien yang ginjalnya normal, dari 16 pasien hanya 7 10 orang yang bisa dinilai keseimbangan cairannya dengan hasil 7 orang (70%) memiliki selisih input dan output ≥ 400 ml dan hanya 3 orang (30%) yang memiliki selisih input dan output < 400 ml. Jika dibandingkan hasil kedua kelompok ini, terlihat perbedaan dimana efektivitas lebih tinggi pada pasien fungsi ginjal normal dari pada pasien dengan fungsi ginjal terganggu. Disamping itu , jika dibandingkan volume cairan masing-masing kelompok, terlihat bahwa selisih cairan input dan output menunjukkan perbedaan yang cukup besar, dimana pasien dengan fungsi ginjal normal memiliki selisih volume input dan output yang lebih besar dibandingkan dengan selisih volume input dan output pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Hal ini disebabkan oleh kerusakan ginjal yang menyebabkan berkurangnya kemampuan ginjal mengekskresikan urin dan sebaliknya ginjal normal masih memiliki kemampuan yang baik dalam mengekresikan urin (Guyton & Hall, 1997). Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009). Dari penelitian ini, ditemukan beberapa interaksi obat dari terapi yang didapatkan pasien. Interaksi yang terjadi 282 ISSN: 2339-2592 Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains Farmasi dan Klinik III 2013 memiliki level signikansi sedang yang berarti bahwa penggunaan obat-obat tersebut secara bersamaan bisa dilanjutkan dengan tetap memonitor kondisi klinik dan respon terapi pasien. Jika terjadi efek dari interaksi tersebut, disarankan untuk mengganti salah satu dari obat yang ber interaksi tersebut. KESIMPULAN Penggunaan kombinasi ACEI dengan furosemid tidak memperburuk fungsi ginjal pasien gagal jantung yang terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan pada nilai ureum, klirens kreatinin dan nilai kalium sebelum dan sesudah terapi kombinasi ACE Inhibitor dengan furosemid pada pasien gagal jantung kongestif dengan fungsi ginjal normal. Penggunaan kombinasi ACEI dengan furosemid pada pasien gagal jantung kongestif ginjal normal dengan ginjal terganggu dapat memperbaiki fungsi ginjal dengan meningkatnya nilai klirens kreatinin pada kedua kelompok tersebut. Perubahan rata-rata klirens kreatinin sebelum dan sesudah terapi pada pasien fungsi ginjal terganggu sebesar 8,95 ml/menit sedangkan perubahan rata-rata klirens kreatinin pada fungsi ginjal normal lebih tinggi yaitu 13,05 ml/menit. DAFTAR PUSTAKA Anderson, SG & Rennke,HG. 2000. Therapeutic Advantage of Converting Enzyme Inhibitors In Arresting Progressive Renal Disease Associated With Systemic Hypertension In Rat. J Clin Invest. 77(6) : 1993-2000 Barnes, S., Cowie, M.,Mant, J.,Robert,J.,Saikh,H.Wiliam,S.et.al. 2003.NICE guideline : Chronic heart failure. Sarum ColourView. Salisbury, Wiltshire Baxter,K. 2008. Stockley’s Drug Interaction eight edition .London. Pharmaceutical Press British National Formulary. 2009. Cardiovasculer System. London : BMJ Group and RPS Publishing Depkes RI.2009. Sistem Informasi Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI Dipiro, JT. 2008. Pharmacotherapy. A Patophysiologic approach. 7th ed. Mc.GrawHills.New York. Guyton, AC & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Jakarta : EGC Rosner,M & Bolton, W. 2006. Renal Function Testing. American Journal of Kidney Diseases, Vol 47, No 1 (January), 174-183 Rudolf.Olden.2000. Acute effect of high dose on residual renal function in CAPD patients. J Clin Endocrinol Metab :339-347 Shargel, L & Yu, AB. 2005. Applied Biopharmaceutic and Pharmacokinetic. Appleton-CentuyCrofts Singh,N.P., Ganguli, A., & Prakash.A. 2003. Drug-induced Kidney Disease. JAPI 51. 970-980 Staegemann, N. 2005. Torsemide versus furosemide after continous renal replacement therapy due to acute renal failure in cardiac surgery patients. Department of anesthesiology and intensive care, University Hospital Charite, Berlin, Germany. 27(4) : 38592 Tatsanavivat P.1998. Prevalence of coronary heart disease and major cardiovascularRisk Factor in Thailand. International Journal of Epidemiology. 27: 405-409 Weish mendicine research centre. 2008. Treatment of chronic heart failure. Universitas hospital Landough: Penarth 283