1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gagal jantung merupakan sindroma kardiovaskular yang memiliki patofisiologi yang rumit, memerlukan pendekatan multidisiplin dan memiliki prognosis yang buruk. Walaupun telah ditemukan berbagai kemajuan dalam bidang tatalaksana gagal jantung, angka kematian pasien akibat gagal jantung tetaplah tinggi. Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan, 20% pasien akan meninggal dalam kurun waktu 1 tahun, dan 80% pasien berusia dibawah 65 tahun akan meninggal dalam kurun waktu 8 tahun (Lloyd et al, 2010). Anggaran kesehatan yang dibelanjakan untuk menangani perawatan pasien gagal jantung sendiri di Amerika Serikat pada tahun 2009 telah mencapai 37 miliar dolar Amerika Serikat. Karena lebih dari 80% dari pasien gagal jantung merupakan populasi berusia diatas 65 tahun, sebagian besar dari pasien-pasien tersebut menderita satu atau lebih penyakit komorbid (Lloyd et al, 2010). Menurut data dari Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE), dari 105.000 pasien dengan gagal jantung akut, 50-61% menderita penyakit jantung koroner, 69-77% menderita hipertensi, sekitar 46% menderita diabetes mellitus dan lebih dari 26-35% nya menderita gagal ginjal kronis (GGK) baik pada kelompok pasien dengan fraksi ejeksi jelek maupun masih baik (Adams et al., 2005). Apabila dilihat lebih dalam, 30% pasien dengan gagal jantung akut memiliki riwayat insufisiensi ginjal, 21% memiliki konsentrasi kreatinin serum 2.0 mg/dL, dan 9% memiliki kadar kreatinin serum 3.0 mg/dL (Heywood et al, 2007). Mc Alister dan kawan-kawan (McAlister et al, 2003), menemukan bahwa hanya 17% dari 754 pasien rawat jalan dengan gagal jantung memiliki bersihan kreatinin 90 mL/menit. dalam penelitian kohort yang dilakukannnya, 39% pasien dengan kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) IV dan 31% dengan kelas fungsional NYHA III memiliki bersihan kreatinin 30 mL/menit. Angka tersebut akan membesar ketika kita menyadari kerumitan dalam menangani kelebihan volume cairan pada pasien dengan komorbiditas penyakit ginjal. Disfungsi ginjal merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien gagal jantung dan merupakan faktor prognostik bebas yang kuat dalam menilai kejadian yang tidak diinginkan (Smith et al, 2006). Prevalensinya meningkat pada pasien yang datang dengan gagal jantung yang lebih berat. Hospitalisasi pada pasien dengan gagal jantung akut berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal lanjut pada 30-50% pasien, dan hal ini 1 2 berhubungan dengan pemanjangan lama rawat inap, peningkatan biaya kesehatan dan kejadian rawat ulang, serta kematian setelah pasien pulang (Marco, 2008). Pada tahun 2012, sebuah penelitian yang dilakukan Breidthardt dan kawan-kawan, kejadian acute kidney injury (AKI) sudah mulai terjadi sejak pasien masuk perawatan gawat darurat pada sekitar sepertiga pasien dengan gagal jantung dekompensasi akut/ acute decompensated heart failure (ADHF) yang akan terdeteksi saat pasien dirawat dirumah sakit. Sekitar 50% pasien dengan AKI tersebut akan memenuhi kriteria AKI dalam waktu 48 jam pertama dirumah sakit, dan hanya minoritas yang akan mengalami AKI setelah 48 jam (Breidthardt et al, 2012). Kreatinin serum merupakan penanda yang buruk dalam mendeteksi disfungsi ginjal tahap awal, dikarenakan konsentrasi serum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor-faktor non ginjal, seperti berat badan, ras, usia, jenis kelamin, volume total tubuh, obat-obatan, metabolisme otot dan intake protein (Coca et al, 2008). Penggunaan kreatinin serum bahkan lebih buruk dalam mendeteksi AKI, dikarenakan pasien tidak dalam kondisi basal, kreatinin serum akan jauh lebih tertinggal setelah terjadinya cedera ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum tidak mampu dimonitor hingga 48 -72 jam paska terjadinya kerusakan awal di ginjal (Coca et al, 2008). American Society of Nephrology telah menetapkan pengembangan penanda biokimiawi sebagai pendeteksi dini kejadian AKI sebagai prioritas. Beberapa penanda biokimiawi AKI telah berhasil diidentifikasi selama beberapa tahun terakhir dimana dapat meningkat pada kondisi cedera iskemia ginjal baik pada hewan coba maupun pada manusia dengan klinis AKI. Kemampuan penanda biokimiawi untuk memprediksi AKI telah diteliti secara intens pada beberapa kondisi klinis. Dalam aplikasi klinis penanda biokimiawi, penanda tersebut harus mampu membuktikan dapat lebih akurat dibandingkan baku emas pemeriksaan dengan menggunakan kreatinin serum (Hilde et al, 2012). Namun, walaupun investigasi terhadap penanda-penanda biokimiawi sangat intens dilakukan, utilitas dari penanda tersebut tetap belum menjadi dasar penegakan diagnosis, dan sebagian besar klinisi tidak memiliki akses terhadap pemeriksaan tersebut. Furosemide stress test (FST) merupakan pemeriksaan fungsional terbaru yang dinamis untuk menilai fungsi tubuler yang memiliki kemampuan prediktif untuk mengidentifikasi pasien yang kemungkinan akan mengalami perburukan menjadi AKI tahap lanjut. (Koyner et al, 2015). Penggunaan FST pada pasien dengan tanda-tanda awal AKI berguna dalam menentukan stratifikasi risiko progresifitas penurunan fungsi ginjal, dan diharapkan mampu untuk menjembatani klinisi terhadap kebutuhan pemeriksaan penanda biokimiawi 3 AKI yang cepat namun sulit untuk dijangkau. Peningkatan stratifikasi risiko pada pasien akan sangat krusial dalalm menentukan langkah terapi yang bertujuan melakukan penatalaksanaan AKI secara awal. 1.2 Rumusan Masalah Apakah furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada pasien dengan gagal jantung akut? 1.3 Tujuan Untuk mengetahui apakah pemeriksaan furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada pasien dengan gagal jantung akut. 1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritik Mengetahui furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosi AKI pada pasien dengan gagal jantung akut. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Dengan mengetahui kemampuan furosemide stress test sebagai penanda kejadian AKI pada pasien dengan gagal jantung akut maka dapat menjadi pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien tersebut lebih dini. 2. Mengetahui kemampuan furosemide stress test sebagai penanda kejadian AKI pada pasien dengan gagal jantung akut dibandingkan dengan penanda baku emas yaitu peningkatan kreatinin serum. 3. Sebagai bukti ilmiah penelitian selanjutnya mengenai penanda AKI pada gagal jantung akut.