PRESENTASI MENTERI KESEHATAN RI

advertisement
KEYNOTE SPEECH MENTERI KESEHATAN RI
PADA SEMINAR “ ICPD +15”
(Jakarta, 28 Juli 2009)
Yang saya hormati,
Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan
Perwakilan UNFPA
Para Pembicara, dan peserta seminar sekalian,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat
Allah SWT, karena hanya atas segala Rakhmat dan Hidayah-Nya,
kita sekalian dalam keadaan sehat walafiat dapat hadir di tempat ini
dalam acara SEMINAR “ICPD +15” yang diselenggarakan oleh
Yayasan Kesehatan Perempuan bekerjasama dengan UNFPA.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin mengucapkan
terima kasih, dan menyampaikan penghargaan yang setinggitingginya, atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan
kemajuan yang telah dicapai dan akan dilakukan pemerintah
Indonesia oleh Departemen Kesehatan RI dan “Lintas Sektor” dan
“Stake Holder” terkait setelah 15 tahun ikut menyetujui dan
menandatangani Kesepakatan ICPD tersebut.
1
Hadirin para peserta seminar yang berbahagia,
Kesehatan Reproduksi mendapat perhatian khusus secara global
sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional
tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference
on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun
1994. Sekitar 179 negara berpartisipasi dalam konferensi tersebut
termasuk Indonesia. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah
disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian
populasi dan penurunan fertilitas/keluarga berencana menjadi
pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta hak-hak
reproduksi.
Dengan demikian pengendalian kependudukan
telah
bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan
kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki - laki dan perempuan
sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksi; kesetaraan
gender, martabat dan pemberdayaan perempuan.
Indonesia menyepakati definisi kesehatan reproduksi sejak tahun
1996 yaitu suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Namun luasnya ruang
lingkup kesehatan reproduksi menuntut penanganan secara lintas
program dan lintas sektor serta keterlibatan LSM, organisasi profesi
dan semua pihak yang terkait. Saratnya aspek sosiobudaya dalam
kesehatan reproduksi juga menuntut perlunya adaptasi yang sesuai
2
dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Adapun ruang lingkup
Kesehatan Reproduksi meliputi:
 Kesehatan Ibu dan Anak
 Keluarga Berencana
 Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual
(IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk HIV/AIDS
 Pencegahan dan Penanggulangan Komplikasi Aborsi
 Kesehatan Reproduksi Remaja
 Pencegahan dan Penanganan Infertilitas
 Kanker dan osteoporosis pada Usia Lanjut
 Berbagai
aspek
kesehatan
reproduksi
lainnya,
misalnya
kekerasan berbasis gender, infertilitas, mutilasi genital, dll.
Dalam penerapannya, pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan
secara integratif, dan dikategorikan dalam paket pelayanan sebagai
berikut:
a. Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) yang
terdiri atas komponen-komponen : 1). Kesehatan Ibu dan Anak;
2). Keluarga Berencana; 3). Kesehatan Reproduksi Remaja; 4).
Pencegahan
dan
Penanggulangan
IMS-ISR,
termasuk
HIV/AIDS.
b. Paket Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK),
yang terdiri atas PKRE ditambah dengan Kesehatan Reproduksi
pada Usia Lanjut.
3
Dewasa ini kesehatan reproduksi masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang cukup besar skalanya di Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dari data dan fakta pada beberapa komponen
kesehatan reproduksi, misalnya pada Program KIA. Salah satu
indikator pentingnya adalah angka kematian ibu (AKI). Dalam kurun
waktu dua dasa warsa (Data SDKI) AKI menurun dari 370/100.000
kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 228/100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2006 - 2007. Namun demikian, AKI di Indonesia
masih
tertinggi
dibandingkan
dengan
negara-negara
ASEAN.
Keberhasilan ini didukung dengan makin meningkatnya pelayanan
kesehatan ibu hamil yg telah menjangkau hampir semua ibu hamil,
terlihat dari indikator Akses pelayanan telah mencapai 93%,
persalinan oleh tenaga kesehatan 80,3% (Data Depkes 2008). Data
lainnya adalah angka kematian bayi (AKB) yang juga masih cukup
tinggi. AKB pada saat ini mencapai 26,9 per 1000 kelahiran hidup.
Beberapa faktor yang menghambat upaya percepatan penurunan
AKI dan AKB terutama adalah: 1) belum semua fasilitas kesehatan
mampu memberikan pelayanan kesehatan ibu berkualitas; 2) belum
dimanfaatkannya secara optimal fasilitas kesehatan yang tersedia
oleh masyarakat; 3) belum semua desa mempunyai infrastruktur
yang mendukung bagi terlaksananya pelayanan kesehatan (seperti
jalan, air, listrik, dll).
Hadirin peserta seminar yang saya hormati,
Dari hasil survei diketahui, bahwa penyebab utama kematian ibu
sebenarnya dapat dicegah melalui pengenalan dini dan akses
terhadap pelayanan yang berkualitas. Bukti-bukti telah menunjukkan
4
bahwa 80% kematian ibu disebabkan karena komplikasi kebidanan
yang merupakan penyebab langsung kematian ibu. Penyebab
langsung tersebut adalah: 1) Perdarahan sekitar persalinan, 2)
Eklampsia, 3) Infeksi, 4) Keguguran terkomplikasi, dan 5) Persalinan
lama. Sedangkan anemia yang terjadi pada 40% ibu hamil
merupakan penyebab tidak langsung utama kematian ibu. Penyebab
tidak langsung lainnya adalah kehamilan yang terjadi pada ibu hamil
kelompok risiko tinggi, yaitu ibu hamil dengan keadaan “4 Terlalu”
(terlalu muda, terlalu banyak, terlalu dekat, dan terlalu tua) dan faktor
“3 Terlambat” (terlambat deteksi dini, terlambat merujuk, dan
terlambat mendapat pelayanan).
Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia termasuk yang
dianggap berhasil di tingkat internasional. Hal ini terlihat dari
kontribusinya terhadap penurunan pertumbuhan penduduk, sebagai
akibat dari penurunan angka kesuburan total (total fertility rate, TFR).
Menurut SDKI, TFR pada kurun waktu 1967-1970 menurun dari 5,6
menjadi hampir setengahnya dalam 30 tahun, yaitu 2,6 pada periode
1997- 2002. Demikian juga pencapaian cakupan pelayanan KB
(contraceptive prevalence rate, CPR) dengan berbagai metode
meningkat menjadi 60,3% pada tahun 2002-2003, dan menjadi 61,4
% pada SDKI 2007.
Walaupun data SDKI 2002-2003 menunjukkan keberhasilan program
KB, dari sumber data yang sama terungkap bahwa perempuan
berstatus kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin
menjarangkan kelahiran berikutnya tetapi tidak menggunakan cara
5
kontrasepsi (unmet need) masih cukup tinggi yaitu 8,6% dan menjadi
9% pada SDKI 2007. Penyebab masih tingginya angka ini, antara lain
kualitas informasi dan pelayanan KB, serta missed opportunity
pelayanan KB pada pasca-persalinan. Proporsi drop-out akseptor KB
(discontinuation rate) adalah 20,7%.
Hal ini menunjukkan bahwa
masih jauh lebih banyak terjadi kehamilan yang perlu dihindari dan
kesadaran berKB pada pasangan yang paling membutuhkan belum
cukup mantap.
Para hadirin yang saya hormati,
Masalah kesehatan reproduksi remaja selain
berdampak secara
fisik, juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi,
keadaan ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam jangka panjang.
Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap
remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan
bangsa pada akhirnya. Permasalahan kesehatan reproduksi pada
remaja antara lain:
 kehamilan tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada
aborsi yang tidak aman dan komplikasinya.
 kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu
dan bayi, dan
 masalah IMS termasuk infeksi HIV/AIDS.
Kehamilan remaja kurang dari 20 tahun berisiko kematian ibu dan
bayi 2-4 kali lebih tinggi dibanding kehamilan pada perempuan
berusia 20-35 tahun. (masa reproduksi sehat).
6
Permasalahan kesehatan reproduksi yang berkaitan dengan infeksi
menular
seksual,
termasuk
HIV-AIDS,
saat
ini
mempunyai
kecenderungan meningkat. Kasus HIV yang tercatat sampai dengan
Maret 2009 adalah HIV 6668 orang
orang.
Perilaku
seksual
yang
dan penderita AIDS 16964
berisiko
pada
laki-laki
telah
menempatkan perempuan (isteri) dalam posisi yang berisiko pula
terhadap penularan infeksi menular seksual, termasuk HIV-AIDS.
Saudara-saudara sekalian,
Isu lain yang terkait dengan kesehatan reproduksi adalah masalah
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Ketimpangan gender
menempatkan posisi perempuan menjadi subordinasi pria dan
memikul beban ganda sehingga dapat mengakibatkan: lebih banyak
perempuan didera kemiskinan daripada laki-laki; tingkat pendidikan
perempuan lebih rendah sehingga kurang dapat menunjang hidupnya
termasuk rendahnya kemampuan untuk “menyiasati” hidupnya;
kurangnya akses perempuan terhadap informasi; dan lemahnya
kendali perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam berbagai
aspek kehidupan. Hal-hal tersebut di atas, secara langsung maupun
tidak langsung memberikan akibat dan dampak buruk terhadap
kesehatan jasmani, rohani, maupun psikososial perempuan.
Rendahnya status dan penerimaan peran gender yang tidak
menguntungkan bagi perempuan menempatkannya sebagai korban
kekerasan di rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan dapat
mengakibatkan gangguan fisik, psikis dan mental, di samping
7
gangguan fungsi reproduksi bahkan ada yang berakhir dengan
kecacatan dan kematian. Perempuan mengalami hambatan dalam
menjangkau pelayanan kesehatan antara lain karena kemiskinan dan
ketidaksetaraan gender.
Hal ini berpengaruh buruk terhadap
kesehatan perempuan sepanjang siklus hidupnya.
Para peserta Seminar yang saya hormati
Untuk pemenuha hak dan pelayanan kesehatan reproduksi Depkes
bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen
Pendidikan, Departemen Sosial dan BKKBN telah meluncurkan
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi 2004-2009
yaitu: (1) Menempatkan upaya kesehatan menjadi salah satu prioritas
Pembangunan nasional; (2) Melaksanakan percepatan upaya
kesehatan dan pemenuhan hak reproduksi ke seluruh Indonesia; (3)
Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan
terpadu
melalui
pendekatan
siklus
hidup;
(4)
Menggunakan
pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya
kesehatan reproduksi; (5) Menyediakan pelayanan kesehatan
reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin.
Berdasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan, maka upaya
peningkatan kesehatan reproduksi yang dapat dilakukan oleh sektor
kesehatan antara lain adalah: 1) Memantapkan dan mengarahkan
kembali anggaran untuk kesehatan, meliputi: penyediaan jaminan
kesehatan bagi masyarakat miskin (melalui program JAMKESMAS),
8
mendukung anggaran di daerah dengan dana dekonsentrasi yang
khusus untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Gizi dan KB; 2)
Meningkatkan
upaya
kesehatan
reproduksi
melalui
aspek
legal/hukum; 3) Melaksanakan Pengarus-utamaan Gender Bidang
Kesehatan
(PUG-BK)
termasuk
kesehatan
reproduksi;
4)
Meningkatkan kualitas dan memperluas pelayanan kesehatan
perempuan, khususnya penanganan korban kekerasan terhadap
perempuan; 5) Memantapkan program Kesehatan Reproduksi dalam
rangka
mencapai
melaksanakan
Tujuan
Strategi
Pembangunan
Nasional
Kesehatan
Milenium
dengan
Reproduksi
yang
Responsif Gender.
Hadirin peserta seminar yang saya hormati,
Kegiatan yang telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI
setelah 15 tahun ikut menyetujui dan menandatangani kesepakatan
ICPD Kairo 1994.
 Mengakselerasi penurunan AKI & AKB melalui strategi
”Making Pregnancy Safer” yang difokuskan pada kegiatan :
1. P4K (Persiapan dan Pencegahan Komplikasi)
Program ini melibatkan suami dan masyarakat dalam
mengatasi terlambat 1 & 2 dengan stiker pada ibu hamil
dengan target seluruh desa.
2. Program Desa Siaga diharapkan tercapai di seluruh
Indonesia dimana goverment response bertemu dengan
community
response
terdiri
dari
Poskesdes
dan
pemberdayaan masyarakat.
9
3. Kemitraan bidan dengan dukun akan meningkatkan
persalinan
oleh
tenaga
kesehatan
dan
mengalihfungsikan dukun.
4. Pelayanan gratis bagi ibu hamil dan klien KB miskin
melalui ”Jamkesmas” yang meliputi 70 juta rakyat
Indonesia.
5. Pelayanan KB berkualitas melalui semua pelayanan
kesehatan yang ada dengan indikator SPM (Standar
Pelayanan Minimal) CPR 70% tingkat kabupaten/kota
dan merupakan pelayanan pokok Puskesmas.
6. Pelayanan Emergency di Puskesmas (PONED) mencapai
100% dan Rumah Sakit
Kabupaten/Kota (PONEK)
mencapai 75% pada tahun 2009 termasuk ketersediaan
darah di RS 100%.
7. Melaksanakan program-program terkait yang masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat seperti
malaria, TBC, gizi, tetanus neonatorum, bahkan sifilis
dan AIDS serta kecacingan secara terintegrasi
8. Merencanakan persiapan bagi calon pengantin.
 Memasukkan secara eksplisit program kesehatan reproduksi
kedalam RUU kesehatan , RPJMN 2010-2014 dan Renstra
DEPKES serta menyusun POA Universal Akses 2015.
 Melarang tenaga kesehatan melakukan perusakan alat genitalia
perempuan yang tidak bertanggung jawab dan akan menjajagi
fatwa MUI mengenai sunat perempuan sesuai ajaran syariah.
 Skrining Kanker leher rahim dan mamae di akselerasi dengan
lahirnya Subdit Kanker pada tahun 2005.
10
Masalah kesehatan reproduksi merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian.
Karena dengan
memberikan perhatian yang besar terhadap kesehatan reproduksi
merupakan investasi jangka panjang dalam upaya peningkatan
kualitas bangsa. Oleh karena itu, penanganan masalah kesehatan
reproduksi
perlu
dilaksanakan
secara
bersama-sama
dalam
perspektif gender dengan upaya peningkatan status kesehatan,
keadilan dan kesetaraan gender, serta upaya peningkatan hak dan
kesehatan
reproduksi
baik
bagi
perempuan
dan
laki-laki.
Keberhasilan dalam penanganan masalah kesehatan reproduksi ini
sangat dipengaruhi oleh desain upaya yang efektif dan efisien dari
semua sektor dan pihak terkait yang dikoordinasikan secara sinkron
dan integratif. Saya berharap kegiatan ini dapat mencapai tujuan
yang diinginkan.
Demikian Keynote Speech “ ICPD +15” pada seminar setengah hari
ini.
Sekian dan terimakasih atas perhatiannya,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
MENTERI KESEHATAN RI,
Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K).
11
12
Download