Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 KAJIAN PENGGUNAAN KOMBINASI KAPTOPRIL DENGAN FUROSEMID TERHADAP PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DI BANGSAL JANTUNG RSUD RADEN MATTAHER JAMBI (EVALUATION USING COMBINATION OF CAPTOPRIL AND FUROSEMIDA ON CONGESTIVE HEART FAILURE PATIENTS AT RSUD RADEN MATTAHER JAMBI) Uce Lestari1*, Rasmala Dewi2, Riana2 Program Studi Farmasi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Jambi1 Program Studi Farmasi STIKES HI Jambi2 *E-mail : [email protected] ABSTRACT Congestive heart failure is a clinical syndrome and health problems with a high incidence, especially in elderly patients. Captopril and Furosemide are the drugs of choice are frequently used in patients with congestive heart failure. Irrational drug use in patients with heart failure can lead to a change in the therapeutic and cause toxic effects. This study is a descriptive, undertaken prospectively studied 19 patients. This research used quantitative data analysis. Data were tabulated based on the percentage of Kaptopril and Furosemide based on the percentage of drug Kaptopril and based on the type of drug Furosemide generic and patent drugs, the percentage of heart failure patients on combination therapy of Furosemide and Kaptopril based on the presence or absence of morbidities, the severity of the disease, gender and age range. Data analysis was done qualitatively. The data obtained were compared with the standards already set. Then consider the condition of the patient. The comparison and consideration of the patient will show the percentage of correct use combination of Captopril and Furosemide The results showed 100% right patiens, precise indication of 100%, 100% right dose, at the right intervals giving 100% and just in time for the provision of 60.98%. Keywords: congestive heart failure, Kaptopril, Furosemide. ABSTRAK Gagal jantung kongestif merupakan sindrom klinis dan masalah kesehatan dengan angka kejadian yang tinggi terutama pada penderita lanjut usia. Kaptopril dan furosemid adalah obat-obat pilihan yang sering digunakan pada pasien gagal jantung kongestif. Penggunaan obat yang tidak rasional pada pasien gagal jantung dapat mengakibatkan terjadinya perubahan efek terapi bahkan dapat menimbulkan efek toksik. Telah dilakukan penelitian mengenai kajian penggunaan kombinasi kaptopril dengan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif dibangsal jantung RSUD Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini bersifat deskriptif, dikerjakan secara prospektif terhadap 19 pasien. Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Data ditabulasi berdasarkan persentase obat kaptopril dan furosemid berdasarkan jenis obat generik dan obat paten, persentase pasien gagal jantung kongestif yang menggunakan terapi kombinasi kaptopril dan furosemid berdasarkan ada tidaknya penyakit penyerta, tingkat keparahan penyakit, jenis kelamin dan rentang umur. Dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Data yang diperoleh dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Lalu mempertimbangan kondisi pasien. Hasil perbandingan dan pertimbangan kondisi pasien akan menunjukan persentase ketepatan penggunaan kombinasi kaptopril dengan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif. Hasil penelitian menunjukkan, tepat pasien sebesar 100 %, tepat indikasi sebesar 100 %, tepat dosis sebesar 100 %, tepat interval pemberian sebesar 100 % dan tepat saat penggunaan obat sebesar 60,98 %. Kata kunci : gagal jantung kongestif, kaptopril, furosemid. 719 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 1. PENDAHULUAN Gagal jantung kongestif merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan darah yang cukup ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa dengan penyakit jantung [1,2] Di Indonesia gagal jantung kongestif masuk kedalam jenis PTM dan merupakan peringkat ke empat dari 10 besar penyebab kematian PTM Rawat Inap di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2009 dan 2010 [3]. Prevalensi gagal jantung di Inggris, Skandinavia, dan Amerika Serikat adalah sekitar 1 % secara keseluruhan dan 10 % pada manula. Tingkat mortalitas tahunan pada kasus yang berat lebih dari 50% [4]. Terapi lini pertama untuk pasien gagal jantung kongestif adalah Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) dan diuretik. ACEI pada gagal jantung ditujukan untuk semua pasien CHF karena tidak berfungsinya sistolik pada ventrikel kiri, disamping itu ACEI juga berguna untuk mengontrol tekanan darah sedangkan diuretik digunakan untuk menghilangkan gejala kongestif dan retensi cairan [5] Penggunaan ACEI ditoleransi dengan baik, tapi bukan berarti tanpa efek merugikan, terlebih jika dikombinasi dengan obat lain dan penggunaannya tidak tepat . Salah satu efek merugikan ACEI yaitu meningkatkan kadar kalium dalam darah. Pada beberapa studi juga telah dilaporkan terjadinya interaksi antara ACEI dengan furosemid. Kegagalan ginjal dan kejadian gagal ginjal akut dari penggunaan obat ini secara bersamaan [6,7]. Tujuan pengobatan adalah untuk memperoleh tanggapan (respon) farmakologi yang khas bagi suatu penyakit (manfaat terapi) yang sebesar-besarnya dengan resiko timbulnya efek merugikan yang sekecil mungkin. Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan. Keadaan ini semakin dirasa penting seiring dengan diketahuinya bahwa kemanjuran (efficacy) dan keamanan obat (safety) [8]. Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi, terhitung sejak bulan Januari sampai dengan September 2013 terdapat 73 pasien penderita gagal jantung kongestif, 24 diantaranya diberikan terapi kombinasi obat golongan ACE- Inhibitor dengan furosemid. Obat golongan ACEInhibitor yang paling sering ditemukan adalah kaptopril. Penelitian ini dilakukan di RSUD Raden Mattaher jambi, karena belum pernah ada penelitian tentang Kajian Penggunaan Kombinasi kaptopril dengan Furosemid Terhadap Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi. Selain itu, cukup banyak pasien gagal jantung kongestif yang diberikan kombinasi kaptopril dengan furosemid, sehingga hal ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang Kajian Penggunaan Kombinasi Kaptopril dengan Furosemid Terhadap Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi. 720 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 Mengingat tingkat kejadian gagal jantung di RSUD Raden Mattaher Jambi cukup tinggi dan pemberian kombinasi obat-obat gagal jantung yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan efek terapi bahkan dapat menimbulkan efek toksik maka perlu dilakukan penelitian tentang kajian rasionalitas penggunaan kombiasi kaptopril dengan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi selama tiga bulan, dari bulan Maret 2014 – Mei 2014 secara Deskriptif dan dikerjakan secara Prospektif terhadap populasi terbatas. Sampel yang akan dipilih adalah pasien gagal jantung kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi, Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Kriteria Inklusi :Pasien yang menderita penyakit gagal jantung kongestif yang diberi terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid. Kriteria Eksklusi : Pasien dengan kriteria inklusi tetapi data rekam medis tidak lengkap, pasien gagal jantung kongestif tetapi tidak mendapat terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid (karena alergi atau adverse effect), pasien meninggal. Jenis Data kualitatif yaitu data yang digunakan untuk mengetahui ketepatan penggunaan obat berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan [5]. Data kualitatif ini meliputi : Mengetahui ketepatan pasien, mengetahui ketepatan indikasi, mengetahui ketepatan dosis, mengetahui ketepatan interval, mengetahui ketepatan saat penggunaan obat. Sumber data terdiri dari Rekam medik pasien gagal jantung kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi yang menggunakan kombinasi kaptopril dengan furosemid, data pendukung, seperti : catatan perawat, resep, wawancara dengan pasien atau keluarga pasien. Penetapan Standar Penggunaan Kombinasi kaptopril dengan Furosemid : Drug Information Handbook Edisi 17(2009)- Standar pengobatan gagal jantung kongestif di RSUD Raden Mattaher, Pharmacotherphy Handbook (Dipiro,Edisi 6), Martindale Ed.36 dan lain-lain. Data dianalisis dengan dua cara analisis kuantitatif dan analisis kuanlitatif, dimana analisis kuantitatif dengan cara ditabulasi berdasarkan persentase penggunaan obat kaptopril dan furosemid berdasarkan jenis obat generik dan obat paten, persentase pasien gagal jantung kongestif yang menggunakan terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid berdasarkan ada tidaknya penyakit penyerta, berdasarkan tingkat keparahan penyakit, berdasarkan jenis kelamin dan berdasarkan rentang umur. Analisis kualitatif dengan cara dimana data ditabulasi kemudian dibandingkan hasil yang diperoleh dengan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Hasil 721 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 perbandingan akan menunjukan tepat atau tidak tepatnya penggunaan kombinasi kaptopril dengan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif yang ditinjau dari : ketepatan pasien, ketepatan indikasi, ketepatan dosis, ketepatan interval dan ketepatan penggunaan obat. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Persentase Ketepatan Penggunaan Kombinasi Kaptopril dengan Furosemid Terhadap Pasien Gagal Jantung Kongestif di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher Jambi No 1 2 3 4 5 Ketepatan Jumlah (pasien/obat) 19/41 19/41 19/41 19/41 19/41 Tepat Pasien Tepat Indikasi Tepat Dosis Tepat Interval Tepat Saat Penggunaan obat Persentase 100 % 100 % 100 % 100 % 60,98 % Analisis kuantitatif meliputi, analisis persentase obat kaptopril dan furosemid yang digunakan berdasarkan jenis obat generik dan obat paten, analisis jumlah pasien gagal jantung kongestif yang menggunakan kombinasi kaptopril berdasarkan ada tidaknya penyakit penyerta, analisis penggunaan kombinasi kaptopril berdasarkan tingkat keparahan penyakit gagal jantung kongestif, analisis penggunaan kombinasi kaptopril terhadap pasien gagal jantung kongestif berdasarkan jenis kelamin dan analisis penggunaan kombinasi kaptopril terhadap pasien gagal jantung kongestif berdasarkan rentang umur. Persentase penggunaan obat kaptopril dan furosemid pada pasien gagal jantung kongestif, dimana penggunaan obat yang paling banyak adalah jenis obat generik yaitu sebesar 68,29 % sedangkan obat merek dagang sebesar 31,71 %. Ini juga sesuai dengan PERMENKES RI No. HK. 02.02/MENKES/068/2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik difasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Pada pasien gagal jantung kongestif obat golongan ACE-Inhibitor yang digunakan adalah kaptopril generik, karena obat tersebut merupakan pilihan terapi berdasarkan formularium nasional BPJS yang ada di Indonesia dan di terapkan di RSUD Raden Mattaher Jambi [9]. Penyakit gagal jantung biasanya disertai dengan retensi cairan yang mengakibatkan udem, untuk itu diperlukan suatu diuretik untuk menangani hal tersebut, dan ini mungkin merupakan salah satu alasan tingginya penggunaan furosemid dalam pengobatan CHF di RSUD Raden Mattaher jambi. 722 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 Dari data penelitian yang diperoleh, ditemukan semua pasien gagal jantung kongestif memiliki penyekait penyerta, yaitu CHF + gangguan hati (cardiacliver, suspensi hepatoma dan hipoalbuminemia) sebesar 21,05 %, CHF + obstruksi dyspnoe 15,80 %, CHF + hipertensi 10,53 %, CHF + atrial fibrilasi 10,53 %, CHF + dislipidemia 10,53 %, CHF + angina pektoris 5,26 %, CHF + DM tipe II 5,26 %, CHF + bronkopneumonia 5,26 %, CHF + SOPT 5,26 %, CHF + enteritis akut 5,26 %, dan CHF + orthopnea 5,26 %. Sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa penyakit CHF lebih banyak disertai dengan komplikasi penyakit lain dibanding dengan tidak adanya komplikasi. Pada penelitian ini komplikasi yang paling banyak ditemukan adalah CHF dengan gangguan hati yaitu sebesar 21,05 %, hal ini di karenakan gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati, dalam hal ini terjadi penumpukan cairan pada jaringan perut yang membuatnya lebih sulit bagi hati berfungsi dengan benar. Sehingga lama kelamaan menyebabkan kerusakan hati [10] Dari data penelitian yang kami peroleh, Berdasarkan tingkat keparahan penyakit ditemukan CHF grade I sebesar 0 %, CHF grade II sebesar 26,32 %, CHF grade III sebesar 52,63 %, CHF grade IV sebesar 21,05 %. Persentase tingkat keparahan yang besar adalah CHF grade III yaitu sebesar 52,63 % ini karena pada umumnya pasien CHF yang berobat ke rumah sakit telah menunjukan gejala seperti sesak napas, bengkak pada tungkai, kelelahan dan memiliki aktivitas fisik yang sangat terbatas sehingga sangat membutuhkan penanganan rawat inap. Kemudian persentase CHF grade II yaitu sebesar 26,32 % ini karena pada CHF grade II terdapat beberapa jaringan pada jantung mengalami kerusakan seperti terjadi infarkmiokard dan disfungsi ventrikel kiri, yang kemungkinan berisiko mengalami gagal jantung sedangkan gejala timbul apabila pasien melakukan aktivitas fisik biasa dan akan nyaman pada saat istirahat artinya gejala belum terlalu jelas, hal inilah yang mungkin menyebabkan pasien lebih sedikit dirawat dirumah sakit. Pada CHF grade IV persentasenya lebih sedikit dari pasien CHF grade III, hal ini dikarenakan pada pasien ini pada saat istirahat saja gejala-gejala sudah tampak dan sedikit saja melakukan aktifitas dapat memperberat gejala, sehingga pasien harus mendapatkan penanganan khusus dari petugas medis dan beberapa pasien meninggal. Menurut NYHA (New York Heart Association) kaptopril digunakan untuk semua pasien gagal jantung kongestif mulai dari grade I sampai dengan grade IV sedangkan furosemid hanya digunakan pada pasien CHF mulai dari grade II sampai dengan grade IV. Hal ini karena pada CHF grade I tidak menunjukkan adanya gejala udem atau retensi cairan sehingga penggunaan furosemid tidak direkomendasikan, sedangkan penggunaan kaptopril pada pasien gagal jantung tanpa gejala obat ini diberikan untuk menunda atau 723 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 mencegah terjadinya gagal jantung, mengurangi resiko infarkmiokard dan kematian mendadak. Untuk semua derajat keparahan CHF, pengobatan segera meliputi penggunaan diuretik intravena dan vasodilator secara oral misalnya Angiotensin Converting Enzim Inhibitor/ACEI [10]. Kaptopril merupakan salah satu ACE-Inhibitor digunakan untuk semua tingkat keparahan gagal jantung, terutama disfungsi ventrikel kiri, tanpa memperdulikan gejala apa yang tampak kecuali di kontraindikasikan atau intoleransi [10] Dalam penggunaan obat kaptopril dan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif berdasarkan jenis kelamin, yang paling banyak menderita gagal jantung kongestif dan mendapat terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid adalah pasien lakilaki sebesar 63,16 % sedangkan pada perempuan sebesar 36,84 %. Hal ini dapat diartikan bahwa gagal jantung kongestif lebih banyak dialami oleh laki-laki daripada perempuan, karena faktor resiko gagal jantung kongestif pada perempuan cenderung lebih rendah di banding laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen yang dapat menghasilkan High Density Lipoprotein (HDL). Namun pada kondisi menurunnya atau hilangnya kadar estrogen pada perempuan pada saat monopouse menyebabkan peningkatan kadar trigliserida dan penurunan lemak total, sehingga wanita monopouse lebih beresiko terkena penyakit jantung [5,7]. Berdasarkan rentang umur, persentase pasien yang menderita gagal jantung kongestif dan mendapat terapi kombinasi kaptopril dengan furosemid paling banyak adalah pasien dengan rentang umur 45-64 tahun yaitu 63,16 % sedangkan 25-44 tahun sebesar 21,05 % dan umur ≥ 65 tahun sebanyak 15,79 %. Umur berpengaruh terhadap kejadian gagal jantung walaupun CHF dapat dialami orang dari berbagai golongan umur tetapi semakin tua seseorang maka akan semakin besar kemungkinan menderita CHF sesuai dengan teori yang ada bahwa semakin tua umur seseorang kekuatan pembuluh darah tidak seelastis saat muda dan juga timbulnya penyakit jantung yang lain pada usia lanjut yang merupakan faktor resiko CHF [5]. Dari hasil penelitian, untuk usia 65 keatas terjadi penurunan jumlah pasien yakni hanya 15 %, menurut Prof. Dr. Ida Bagus Wirawan, rata-rata umur manusia 67,4 tahun. Hal ini kemungkinan yang turut mempengaruhi kenapa diusia 65 tahun keatas jumlah pasien justru menjadi menurun. Pada analisis ketepatan pasien dari data yang ada ditemukan bahwa yang tepat pasien adalah 100 % dan yang tidak tepat sebesar 0 %. Dikatakan tepat pasien karena obat yang diberikan sesuai dengan penyakit yang diderita oleh pasien. Untuk melihat ketepatan pasien, parameter ketepatan pasien yang di gunakan adalah adanya riwayat alergi terhadap obat kaptopril dan furosemid atau salah satunya, kadar kalium serum 724 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 pasien, usia pasien, kadar kreatinin serum dan kadar kreatinin klirence pasien yang dihitung menggunakan rumus Cocroft-Gault, dapat dilihat pada lampiran 3, halaman 53. Tidak tepat pasien dapat diartikan bahwa obat yang diberikan kontraindikasi dengan pasien dan kemungkinan reaksi yang merugikan tinggi [9]. Penggunaan kaptopril di kontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap ACE-Inhibitor lainnya (misalnya pasien mengalami angioedema selama pengobatan dengan ACE-inhibitor lainnya), kehamilam, wanita menyusui, dan stenosis arteri renalis (Kemenkes, 2012), sedangkan furosemid kontraindikasi pada pasien yang mengalami defisiensi kalium (hipokalemia), pasien yang hipersensitif terhadap furosemid, glumerulonefritis akut, wanita hamil, dan anuria Pada analisis ketepatan indikasi dari data yang ada ditemukan bahwa yang tepat indikasi sebesar 100 % sedangkan yang tidak tepat sebesar 0 %. Tepat indikasi berarti obat yang diberikan sesuai dengan gejala dan diagnosa penyakit yang diderita oleh pasien. Dimana gejala utama gagal jantung kongestif adalah sesak nafas (terutama ketika bekerja), dan kelelahan, orthopnea, dyspnea, batuk, dan tingginya produksi cairan menyebabkan kongesti dan edema perifer yang bermanifestasi bengkak pada tungkai kaki [10]. Pada pasien CHF dengan Hipertensi penggunaan kaptopril sudah tepat karena dapat menurunkan tekanan darah melalui mekanisme aksi kaptopril yaitu menghambat ACE ( Angiostensin Converting Enzyme) yang dibutuhkan untuk mengubah angiostensin I yang belum aktif menjadi angiostensin II yang bersifat aktif. Karena pembentukan angiostensin II terhambat maka terjadi vasodilatasi, dan penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan serta mensekresi kalium. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah dan mengurangi beban jantung, baik afterload maupun pre-load. Pada pasien gagal jantung yang juga menderita dabetes militus tipe II tepat diberikan kaptopril karena dapat meningkatkan fungsi sel endotelium. Dimana diabetes militus dapat mengganggu vasodilatasi endotelhium dependent sehingga penderita diabetes militus berisiko tinggi mengalami aterosklerosis yang berakhir pada penyempitan pembuluh darah [10] Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) merupakan terapi lini pertama untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dengan atau tanpa gejala dan penghambat ACE juga terbukti mengurangi mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung kongestif yaitu semua derajat keparahan termasuk yang asimtomatik. Penggunaan diuretik diperlukan untuk mengurangi akumulasi edema terutama yang berada di paru. Penurunan kongesti vaskular paru dengan diuretik akan memperbaiki 725 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 oksigenisasi sehingga memperbaiki fungsi miokard. Edema yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif diatasi dengan diuretik kuat [8]. Pada analisis ketepatan dosis, ditemukan yang tepat dosis sebesar 100 %, dan tidak tepat dosis sebesar 0 %. Dalam penelitian ini ketepatan dosis didapatkan untuk masing-masing obat. Besar dosis ditentukan berdasarkan literatur, dengan menyetarakan bersihan kreatinin masing-masing pasien. Perhitungan bersihan kreatinin (CrCL) menggunakan rumus Cocroft dan Gault, hal ini dikarenakan berat badan pasien berada dalam rentang indeks ideal yang dihitung menggunakan tinggi badan pasien. Berdasarkan literatur, penyesuaian dosis pasien CHF yang menggunakan obat kaptopril dan furosemid yang mengalami kerusakan ginjal yaitu bila kadar ClCr berada diantara rentang 10-50 ml/menit maka penyesuaian dosisnya adalah dosis diturunkan 75 % dari dosis normal. Sementara jika nilai CrCl < 10 ml/menit dosis diturunkan 50 % dari dosis normal, sebagai contoh pada pasien dengan inisial YA (pasien nomor 12) diberikan kaptopril dengan dosis perhari 3 x 25 mg, nilai CrCl 19,92 ml/menit. Dosis yang diberikan tepat dikarenakan masih berada dalam rentang dosis yang boleh diberikan meskipun dosis telah diturunkan 75 % dari dosis normal. Analisa terhadap ketepatan dosis perlu dilakukan karena dosis yang terlalu rendah dapat menjadi masalah karena menyebabkan tidak efektifnya terapi sehingga pasien tidak sembuh atau bahkan memperbruk kondisi kesehatan. Begitu pula pemberian dosis yang terlalu tinggi di banding dosis terapinya, hal ini berbahaya karena dapat terjadi peningkatan resiko efek toksik dan bisa membahayakan kondisi pasien. Pada analisis ketepatan interval, ditemukan yang tepat interval pemberian sebesar 100 % dan tidak tepat interval sebesar 0 %. Dikatakan tepat interval pemberian, jika interval pemberian obat kaptopril dan furosemid sesuai dengan interval penggunaan obat berdasarkan Drug Information Handbook, Edisi 17 (2009). Ketepatan interval pemberian obat pada penelitian ini ditentukan berdasarkan literatur dan mempertimbangkan keadaan klinis pasien. Sebagai contoh Pada pasien nomor 10, berinisial RI dengan nomor MR 611597 pasien berusia 62 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas 4 hari yang lalu, nyeri dada dan bengkak pada kedua tungkai. Setelah di diagnosa pasien menderita CHF grade IV + dispnoe + DC. Pada pemeriksaan laboratorium, Nilai SCr 3,0 mg/dl dan nilai CrCL 23,47 ml/menit. Pasien di beri obat injeksi lasix 2 x 1 amp. Lasix yang berisi furosemid merupakan diuretik kuat yang digunakan pada pasien CHF untuk menghilangkan udem akibat retensi cairan. Berdasarkan literatur dan pertimbangan klinis interval pemberian sudah tepat dikarenakan pada kasus pasien RI dengan nilai CrCl 23,47 ml/menit pasien tidak harus 726 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 mendapatkan peningkatan dosis furosemid atau interval pemberian diperpendek untuk membantu kerja ginjal sebagaimana yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronis yang telah sampai pada stage V yang harus dilakukan peningkatan dosis yang diakibatkan fungsi nefron hanya 10 % sehingga membutuhkan bantuan furosemid untuk meringankan kerja ginjal. Pada analisis ketepatan saat penggunaan obat ditemukan yang tepat saat penggunaan sebesar 60,98 % sedangkan yang tidak tepat sebesar 39,02 %. Tidak tepat saat penggunaan dapat dilihat pada pasien nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 8, 9, 11,13,14,15, 17, 18 dan 19. Penggunaan obat kaptopril, dimana hampir seluruh pasien menggunakan tepat sesudah makan. Seharusnya kaptopril minum pada saat perut kosong yaitu 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan karena kaptopril berinteraksi dengan makanan sehingga bioavilabilitas kaptopril akan berkurang dan tidak tercapai efek terapi, oleh karena itu kaptopril diberikan sebelum makan [9]. 4. KESIMPULAN DAN PROSPEK Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 19 pasien gagal jantung kongestif yang menggunakan kombinasi kaptopril dengan furosemid di Bangsal Jantung RSUD Raden Mattaher jambi dari bulan Maret sampai bulan Mei 2014 dapat disimpulkan bahwa penggunaan kombinasi kaptopril dengan furosemid terhadap pasien gagal jantung kongestif sudah dikatakan rasional dalam kategori tepat pasien, tepat indikasi, tepat dosis dan tepat interval. Tetapi masih ada yang belum rasional yaitu dalam kategori tepat saat pemberian. Disarankan kepada pihak rumah sakit untuk lebih jelas dalam memberikan penjelesan mengenai saat penggunaan obat. karena kepatuhan pasien sangat menentukan keberhasilan terapi, diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk melakukan pencatatan terhadap status pasien dengan jelas dan lengkap agar tidak terjadi kesalahan pemahaman terhadap catatan medis yang dibuat serta dapat mempermudah jika dilakukan penelitian. 5. UCAPAN TERIMA KASIH 1. Direktur RSUD Raden Mattaher Jambi 2. Kepala Kesbanglitmas Propinsi Jambi 3. Seluruh pihak RSUD Raden Mattaher Jambi yang terkait 727 Prosiding SEMIRATA 2015 bidang MIPA BKS-PTN Barat Universitas Tanjungpura, Pontianak Hal. 719 - 728 6. DAFTAR PUSTAKA [1] Majid, Abdul. Analisis Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Rawat Inap Pulang Pasien Gagal Jantung Kongestif (Tesis). Depok: Universitas Indonesia,. 2010 [2] Santoso, A., & Mariyono, H.H., Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007: 90 [3] Kementrian Kesehatan RI. Formularium Spesialistik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. 2012 [4] Rubenstein, David. Wayne, David. & Bradley, John. Lectore Notes Kedokteran Klinik. (Edisi 6). Jakarta: Erlangga. 2005. [5] Depkes RI. Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan. Direktorat Bina Pengunaan Obat Rasional. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2008. [6] Oktavia, Sri., dkk .Evaluasi Penggunaan Kombinasi Acce Inhibitor Dengan Furosemid Terhadapa Fungsi Ginjal Pasien Gagal Jantung Kongestif Di RSUP Dr.M.Jamil Padang.2013. ISSN : 2339-2592. [7] Gray, Houn H. Dawkins, Keith D. Simp,son, Lain A. & Morgan, John M. Lecture Note Kardiologi. (Edisi 4). Erlangga: Jakarta.2005 [8] Siregar, C.J.P. “Farmasi Rumah Sakit” Teori penerapan. Jakarta: Buku Kedokteran.2005 [9] Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. (Edisi 1). Penerjemah: bagian farmakologi fakultas kedokteran univesitas airlangga. Jakarta: Salemba Medika. 2001. [10] Gilman, Goodman Alfred. .Dasar Farmokologi Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC. 2007. 728