BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pemeliharaan Tujuan dari suatu bangunan antara lain yaitu untuk mendukung kegiatan atau sebagai prasarana bagi pengguna bangunan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari secara optimal. Bangunan diharapkan dapat bersifat fleksibel mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam kegaiatan pengguna bangunan di masa yang akan datang. Hal ini mendasari perlunya diadakan kegiatan pemeliharaan bangunan. Kurangnya perhatian terhadap kegiatan pemeliharaan yang dilakukan menyebabkan suatu kondisi atau dampak negatif berupa menurunnya tingkat produktifitas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pengguna bangunan. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 24 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung mendefinisikan bahwa pemeliharaan bangunan gedung adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya dan fungsi khusus adalah ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan adiministratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Untuk mempertahankan fungsi dan kegunaan bangunan secara utuh, maka upaya yang harus dilakukan adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan bangunan yang dikelola secara baik dan teratur. Pemeliharaan yang sesuai akan menjadikan bangunan tersebut sebagai tempat yang baik untuk kegiatan pengguna bangunan. Kegiatan pemeliharaan bangunan yang memadai dan sesuai standar juga akan menghasilkan umur bangunan yang sesuai dengan perencanaan, nilai ekonomis dan kegunaan ekonomis dari bangunan dan komponen-komponen di dalamnya. Tanpa adanya kegiatan pemeliharaan, fungsi suatu bangunan akan mengalami degradasi seiring berjalannya waktu. BAB II – LANDASAN TEORI II - 1 Faktor-faktor penyebab degradasi fungsi bangunan dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kondisi Lingkungan berada dan orientasi dari bangunan tersebut. 2. Aktifitas Pengguna Tingkat degradasi bergantung pada kondisi lingkungan daerah bangunan 3. Tingkat degradasi bergantung pada faktor manusia maupun mekanikal elektrikal (M/E) baik untuk penggunaan resmi atau tidak resmi. Perubahan Standar Tingkat degradasi bergantung pada perubahan-perubahan konstruksi rencana berdasarkan kebutuhan dan selera yang berkembang pada pemilik atau pengguna. 2.1.1. Pemeliharaan Bangunan Gedung Umur bangunan semakin hari semakin bertambah tua. Agar kondisi bangunan menjadi semakin indah, kokoh, dan terawat, bangunan membutuhkan tindakan preventif yaitu dengan cara pemeliharaan yang terencana dengan baik. Kondisi bangunan yang baik dan terawat dapat menjadi aset keamanan serta kenyamanan bagi penghuni bangunan tersebut. Aspek-aspek dalam pemeliharaan bangunan memiliki banyak manfaat. Adanya perawatan dengan konsep yang jelas dan terencana akan membuat nilai bangunan tidak cepat menurun. Menurut Hestin Mulyardi dan Rully Adi Saputra (2011), pemeliharaan adalah suatu cara atau teknik yang tepat untuk menjaga kondisi atau komponen bangunan agar selalu dalam keadaan prima sesuai fungsinya. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan atu prasarana-sarananya agar bangunan gedung tetap laik fungsi dan kuratif setelah ada kerusakan atau masalah, baik pada tingkat ringan, sedang, BAB II – LANDASAN TEORI II - 2 atau berat. Laik fungsi adalah kondisi bangunan gedung memenuhi persyaratan administratif dan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan. Manfaat dari pemeliharaan bangunan: 1. Dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi; 2. Menjaga kualitas produksi yang tepat guna, memenuhi apa yang dibutuhkan oleh produk, dan tidak mengganggu kegiatan produksi; 3. Membantu mengurangi pemakaian dan penyimpanan di luar batas serta menjaga modal untuk waktu yang ditentukan sesuai kebijakan; 4. Menggunakan biaya serendah mungkin dalam melaksanakan kegiatan pemeliharaan bangunan secara efektif dan efisien. Keberhasilan suatu bangunan dinilai dari kemampuan bangunan untuk ada pada kondisi yang diharapkan. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa persyaratan, antara lain: 1. Persyaratan Fungsional Maksud dari persyaratan fungsional adalah persyaratan yang terkait dengan fungsi bangunan. Setiap bangunan memiliki fungsional umum dan khusus yang perlu dipenuhi. Persyaratan fungsional umum contohnya adalah bangunan mampu melindungi pengguna dari lingkungan luar, sedangkan persyaratan khusus sangat tergantung pada jenis dan fungsi bangunan tersebut. 2. Persyaratan Performance Masing-masing bangunan memiliki persyaratan performance bangunan yang sangat spesifik. Performance bangunan mencakup berbagai aspek, mulai dari performance fisik luar bangunan, sampai pada elemen-elemen Mekanikal dan Elektrikal (ME). Tindakan pemeliharaan bangunan sangat ditentukan oleh tuntutan performance yang terkait dengan fungsi bangunan. Namun, seringkali terjadi perbedaan standar performance bangunan menurut user dan owner, terutama pada bangunan sewa. BAB II – LANDASAN TEORI II - 3 3. Persyaratan Menurut Undang-Undang Persyaratan menurut undang-undang merupakan persyaratan yang tidak bisa diabaikan, karena menyangkut regulasi dan legalitas. Persyaratan ini antara lain adalah persyaratan ketinggian maksimum suatu bangunan, persyaratan kekuatan struktur bangunan, dll. 4. Persyaratan Menurut Pengguna/User Persyaratan menurut user biasanya berkaitan dengan kenyamanan. Kenyamanan user merupakan ukuran keberhasilan suatu bangunan. Biasanya bangunan yang memiliki persyaratan pengguna adalah bangunan-bangunan sewa dan bangunan-bangunan umum. Secara umum, tujuan utama dari proses pemeliharaan adalah untuk memperpanjang usia bangunan, menjamin ketersediaan perlengkapan yang ada dan juga mendapatkan keuntungan dari investasi yang maksimal, menjamin keselamatan manusia yang menggunakan bangunan tersebut, dan menjamin kesiapan operasional dari setiap peralatan atau perlengkapan dalam menghadapi situasi darurat seperti kebakaran. Pemeliharaan bangunan dapat juga berfungsi sebagai antisipasi keadaan darurat yang mungkin terjadi pada suatu bangunan. Keadaan darurat ini meliputi kebakaran, bencana alam, perbuatan yang bersifat ancaman, gangguan terhadap ketertiban umum, dan keadaan darurat lainnya seperti tidak berfungsinya instalasi pada bangunan. Setiap respons atau tindakan yang diambil atas keadaan darurat pada sebuah bangunan harus berdasarkan jenis keadaan darurat, tingkat bahaya, resiko yang ada, dan prosedur khusus penangan keadaan darurat tersebut. Selain itu, pekerjaan pemelihaaan ini bertujuan meminimalisasi kemungkinan ancaman bahaya dari suatu proses atau bahan yang digunakan. Hal ini didasarkan atas segi kepentingan manusia atau objek yang harus dilindungi. BAB II – LANDASAN TEORI II - 4 Menurut Modern Maintenance Management dalam Yatna Supriyatna (2008), para ahli membagi kegiatan pemeliharaan dalam lima kategori, yaitu: 1. Pemeliharaan Reguler Pemeliharaan ini dilaksanakan secara berlanjut agar interval waktu tertentu yang telah direncanakan tergantung pada kualitas bahan dari komponen yang digunakan pemeliharaan ini biasanya dilakukan secara harian. 2. Pemeliharaan Periodik Merupakan pemeliharaan terencana untuk komponen yang masih digunakan. Pemeliharaan ini dilakukan untuk komponen-komponen yang mempunyai teknik pemeliharaan yang mempunyai teknik pemeliharaan dan keahlian khusus, seperti pembersihan dan pergantian saluran AC, pemeriksaan sistem keamanan terhadap kebakaran, dan lain-lain. 3. Pemeliharaan Jangka Panjang Pemeliharaan ini dilakukan untuk memperpanjang usia ekonomis suatu komponen dengan melakukan penggantian elemen dari komponen tersebut. Contoh: penggantian kabel lift yang dilaksanakan 10-15 tahun. 4. Pemeliharaan Struktur Bangunan Pemeliharaan ini dilakukan untuk mempertahankan suatu bangunan dan struktur bangunan. Contoh: memperbaiki korosi yang terjadi pada permukaan beton bertulang. 5. Pemeliharaan Darurat Pemeliharaan ini dilakukan apabila terjadi kerusakan pada komponen yang tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sistem kerja komponen tersebut. Contoh: kerusakan sistem elektrikal akibat sambaran petir. BAB II – LANDASAN TEORI II - 5 Pemeliharaan dapat pula diklasifikasikan pada gambar 2.1. berikut: Maintenance Planned Maintenance Unplanned Maintenance Preventive Maintenance Corrective Maintenance Scheduled Maintenance Condition Based Maintenance Corrective Maintenance Gambar 2.1. Diagram Jenis-Jenis Pemeliharaan Sumber: Handout Manajemen Pemeliharaan dan Operasional Gedung Keterangan: 1) Planed Maintenance : pemeliharaan yang diorganisasikan dan dilaksanakan dengan perencanaan, kontrol dan pengunaan laporan-laporan untuk suatu rencana yang ditentukan sebelumnya, 2) Unplaned Maintenance : pemeliharaan yang dilaksanakan untuk rencana yang tidak ditentukan sebelumnya 3) Preventive Maintenance : pemeliharaan yang dilaksakan pada interval yang ditentukan sebelumnya atau yang sesuai untuk ktiretia yang ditentukan dan ditujukan untuk mengurai kemungkinan kegagalan atau degradasi performansi suatu bangunan BAB II – LANDASAN TEORI II - 6 4) Corrective maintenance : pemeliharaan yang dilakukan setelah suatu kegagalan terjadi dan ditujukan untuk memperbaiki suatu item untuk suatu keadaan yang item tersebut dapat melakukan fungsinya yang diperlukan 5) Emergency maintenance : pemeliharaan yang diperlukan dengan segera untuk menghindari akibat-akibat yang serius 6) Condition based maintenance : preventive maintenance yang dimulai dari suatu haril pengetahuan kondisi suatu hal dari pemantauan rutin 7) Scheduled maintenance : preventive maintenance yang dilaksanakan untuk suatu interval waktu yang telah ditentukan sebelumnya. 2.1.2. Lingkup Pemeliharaan Bangunan Gedung Pekerjaan pemeliharaan meliputi jenis pembersihan, perapihan, pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan atau penggantian bahan atau perlengkapan bangunan gedung, dan kegiatan sejenis lainnya berdasarkan pedoman pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung. Komponen bangunan yang dipelihara meliputi: 1. Pondasi bangunan. 2. Komponen struktur bangunan. 3. Dinding. 4. Pengecatan. 5. Atap. 6. Alat saniter. 7. Lantai. 8. Langit-langit. 9. Kusen, pintu, engsel, dan kunci. BAB II – LANDASAN TEORI II - 7 2.1.3. Proses Pemeliharaan dan Perbaikan Gedung Proses pemeliharaan dan perbaikan gedung meliputi pengumpulan jenis pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan yang akan dilakukan. Menurut Reginal Lee, proses pemeliharaan dan perbaikan secara menyeluruh digambarkan seperti gambar 2.2. Perawatan setiap gedung terbagi menjadi dua jenis pekerjaan, yaitu: 1. Perawatan yang pelaksanaannya dapat ditunda sehingga akan dilaksanakan sesuai jadwal (schedule) yang dibuat terlebih dahulu, dan 2. Perawatan terhadap kerusakan yang tiba-tiba terjadi (contingency) dan harus segera diperbaiki karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan kerusakan lebih parah, gangguan pengguna gedung, operasional atau kegiatan pengguna gedung berhenti, dan lain-lain. BAB II – LANDASAN TEORI II - 8 Longterm Program User Request Up-Date NO Annual Inspection Preview NO Contingency Allowance Budget Necy YES Own Labour Priority NO YES Time Monthly Program Within Budget Normal YES Prepare Contract Document Weekly Program Urgent Tendering Procedure Daily Program Emergency Gambar 2.2. Integrasi Sistem Schedule and Contingency Perawatan terjadwal direncanakan dengan mengelompokkan pekerjaan sejenis, mengatur waktu pelaksanaannya, jumlah perawatan disesuaikan dengan anggaran, dan penentuan pekerjaan yang akan ditangani sendiri dan yang akan dikontrakkan. Lebih lanjut akan ditentukan proses pengadaan jasa sesuai dengan aturan yang berlaku dan disiapkan dokumen kontraknya. Contoh pekerjaan seperti pengecatan dinding, perkerasan jalan dengan paving blok, dan lain-lain. BAB II – LANDASAN TEORI II - 9 Perawatan yang bersifat contengency pada umumnya diterima dari laporan penghuni atau pengguna ruang karena adanya kerusakan yang mengganggu aktifitasnya. Kerusakan ini langsung disurvey, ditentukan metoda perbaikannya dan bila perlu langsung diperbaiki atau perbaikannya ditunda sementara waktu. Bila ditunda, harus dilakukan pengamanan terhadap gangguan kerusakan dan dijelaskan kepada pengguna ruangan. Untuk perbaikan kerusakan yang segera ditangani ini umumnya dibutuhkan dana taktis (dana yang dapat dipergunakan dengan segera). Perawatan contingency ini pada umumnya terjadi pada kerusakan utilitas gedung, atau kerusakan pada bagian atau ruangan penting seperti kerusakan pintu atau jendela ruangan yang berisi dokumen-dokumen penting. 2.2. Kerusakan Bangunan Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang sejenis. Intensitas kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yakni: a. Kerusakan Ringan Kerusakan ringan adalah kerusakan yang terjadi komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengisi. Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan, biaya maksimumnya adalah sebesar 35% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama. b. Kerusakan Sedang Kerusakan sedang adalah kerusakan yang terjadi pada sebagian komponen non-struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dan lain-lain. Perbaikan untuk tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum adalah sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama. BAB II – LANDASAN TEORI II - 10 c. Kerusakan Berat Kerusakan berat adalah kerusakan yang terjadi pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Penentuan tingkat kerusakan didapat setelah berkonsultasi dengan instansi setempat, biasanya dengan melakukan survey ke lapangan terhadap bangunan gedung yang mengalami kerusakan. Biaya maksimum perbaikannya adalah sebesar 65% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas yang sama. Sifat kerusakan bangunan dapat dilihat dari pengaruh kerusakan terhadap pengguna gedung dan dampak negatif dari kerusakan itu terhadap komponen disekelilingnya. Walaupun suatu kerusakan kecil seperti kran air rusak, kerusakan ini dampaknya sangat mengganggu aktivitas penghuni. Contoh kerusakan yang mengakibatkan kerusakan komponen disekelilingnya adalah kebocoran atap, walaupun kebocoran kecil, air yang masuk kedalam gedung dapat merusak langitlangit, mengotori dinding dan sebagainya. Sifat kerusakan dibagi menjadi: a. Emergency Kerusakan ini mempunyai pengaruh sangat tinggi terhadap aktivitas penghuni dan kerusakan komponen lainnya pada gedung. Contoh dari kerusakan ini adalah kerusakan kran air, atap bocor, instalasi listrik rusak, dan lain-lain. b. Urgent Kerusakan ini memiliki pengaruh tinggi terhadap aktivitas penghuni dan kerusakan komponen lainnya pada gedung, contohnya adalah kerusakan pada lantai keramik di bagian yang sering dilalui, kerusakan pada plafond, jalan berlubang, atau paving blok lepas dan lain-lain. c. Normal Kerusakan kecil yang menyebabkan fungsi kurang sempurna atau penurunan tampak pada komponen bangunan yang mempunyai pengaruh kecil ada BAB II – LANDASAN TEORI II - 11 aktivitas penghuni. Contohnya adalah cat dinding, pintu atau bagian bangunan kusam, dan lain-lain. 2.3. Biaya Operasional, Pemeliharaan, dan Perbaikan Keterbatasan dana yang tersedia, menyebabkan para pemilik bangunan/gedung cenderung kurang memerhatikan pemeliharaan bangunan sejak awal perencanaan pembangunan. Akibatnya, pada saat gedung tersebut mengalami permasalahan, barulah pemilik gedung berupaya mencari cara untuk melakukan kegiatan pemeliharaan dan perbaikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan kapasitas pemeliharaan bangunan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menentukan total kebutuhan perawatan. b. Mengestimasi kebutuhan sparepart dan material. c. Menentukan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan untuk semua jenis pekerjaan perawatan. d. Menentukan keahlian dan jumlah pekerja dari masing-masing keahlian yang dibutuhkan. e. Jika diperlukan, menyediakan rencana khusus untuk perlengkapan yang menggunakan rencana khusus untuk perlengkapan yang menggunakan sistem komputerisasi tinggi. Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kapasitas pemeliharaan adalah menentukan kombinasi optimal dari keahlian dan perlengkapan dari sumber daya yang tersedia pada organisasi tersebut. Kombinasi terbaik menggunakan sumber daya tersebut ditentukan dengan ukuran biaya dan ketersediaannya. Keahlian yang beragam akan memberikan perencana pilihan dan alternatif yang lebih baik dalam mengoptimalkan kapasitas pemeliharaan. Pekerja dengan keahlian beragam akan dapat diberdayakan pada lebih dari satu jenis pekerjaan pemeliharaan. BAB II – LANDASAN TEORI II - 12 Pengelola bangunan secara umum menganggap pemeliharaan sebagai fungsi tidak langsung dari biaya overhead. Kebanyakan dari mereka juga memiliki kebijakan khusus yang mengatur biaya tidak langsung, dimana pemeliharaan termasuk ke dalam salah satunya. Untuk biaya pelaksanaan perawatan bangunan gedung yang terdiri dari biaya kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kecil dibebankan pada anggaran rutin. Ketentuan mengenai besarnya presentase biaya pelaksanaan perawataan per m2 yang meliputi presentasi biaya kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kecil terhadap harga satuan sesuai dengan tabel 2.1. Tabel 2.1. Presentase Biaya Kegiatan Perawatan Pada Bangunan Gedung Pemerintah Jumlah Lantai 1 2 3 4 5 6 7 8 Prosentase Biaya Kegiatan Perawatan Biaya Pemeliharaan Biaya Perbaikan Jumlah (%) (%) Kecil (%) 0.58 0.81 1.39 0.8 0.8 1.43 0.7 0.77 1.47 0.8 0.75 1.55 0.85 0.74 1.59 0.9 0.73 1.63 0.98 0.72 1.7 1.12 0.7 1.82 Sumber: Standar Biaya Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 Biaya pelaksanaan pemeliharaan dihitung berdasarkan jumlah lantai dan luas bangunan, komponen biaya kegiatan pemeliharaan tersebut meliputi bahan, alat utama, alat bantu, pajak, dan keuntungan. Apabila dilaksanakan oleh pemborong, maka biaya pemeliharaan bangunan gedung besarnya 100% dari biaya perawatan. Sedangkan, jika dilakukan dengan swakelola, maka biaya pemeliharaan gedung besarnya pajak dan keuntungan 50% dari biaya pemeliharaan. Menurut Dinas Pekerjaan Umum khusus bangunan negara, seharusnya biaya pemeliharaan yang dikeluarkan untuk suatu gedung adalah: biaya pemeliharaan per m2 bangunan gedung setiap tahun = 2% dari harga satuan per m2 tertinggi yang berlaku. Besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung tergantung pada fungsi dan klasifikasi bangunan. Klasifikasi bangunan dapat dilihat pada tabel 2.2 BAB II – LANDASAN TEORI II - 13 Tabel 2.2. Klasifikasi Bangunan Gedung 1. Bangunan Sederhana: Gedung kantor yang sudah ada desain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan jumlah lantai sampai dengan 2 lantai dengan luas sampai dengan 500 m2. Bangunan rumah dinas tipe C, D dan E yang tidak bertingkat. Gedung pelayanan kesehatan; puskesmas. Gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai sampai dengan 2 lantai. 2. Bangunan Tidak Sederhana: Gedung kantor yang belum ada desain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan luas di atas 500 m2 atau gedung kantor bertingkat di atas 2 lantai. Bangunan rumah tipe A dan B atau rumah dinas tipe C, D dan E yang bertingkat. Gedung rumah sakit kelas A, B, C dan D. Gedung pendidikan tinggi universitas/akademi atau gedung pendidikan dasar/lanjutan bertingkat di atas 2 lantai. 3. Bangunan Khusus: Istana Negara dan rumah jabatan presiden dan wakil presiden. Wisma Negara. Gedung Instalasi Nuklir. Gedung Laboratorium. Gedung Terminal Udara/Laut/Darat. Stasiun Kereta Api. Stadion Olah Raga. Rumah Tahanan. Gedung Benda Berbahaya. Gedung Monumental. Gedung Pertahanan. Gedung kantor perwakilan negara RI di luar negeri. Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya BAB II – LANDASAN TEORI II - 14 Cost Breakdown Structure Menurut Trixy Firsani dan Christiono Utomo (2012), pengkategorian perhitungan biaya pada suatu bangunan dapat dilihat pada gambar 2.3., dimana biaya tersebut dibagi menjadi empat kategori biaya, yaitu Biaya awal, Biaya Energi, Biaya Operasional dan Perawatan, serta Biaya Penggantian. Biaya Konstruksi Biaya Perencanaan Initial Cost Jasa Profesi Administrasi, dll. Biaya Penggunaan Air Energy Cost Biaya Penggunaan Listrik Total Biaya Replacement Cost Biaya Penggantian Komponen Bangunan Perawatan Komponen Bangunan Operation & Maintenance Cost Operasional Perawatan Bangunan Gambar 2.3. Cost Breakdown Structure Sumber: Analisa Life Cycle Cost, Trixy Firsani dan Christiono Utomo BAB II – LANDASAN TEORI II - 15 2.4. Rumah Sakit Menurut American Hospital Association dalam Wiku Adisasmito (2007), batasan rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis profesional yang terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Sedangkan, menurut WHO dalam Wiku Adisasmito (2007), memberikan pengertian mengenai rumah sakit dan peranannya sebagai berikut: “The hospital is an integral part of social and medical organization, the function of which is ti provide for population complete health care both curative and preventive, and whose out patient services reach out to the family and its home environment; the training of health workers and for biosocial research.” Sesuai batasan di atas, maka rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap juga perawatan di rumah. Di samping itu, rumah sakit juga berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan tempat penelitian. Oleh karena itu, agar dapat menjalankan fungsinya, rumah sakit harus bisa bekerja sama dengan instansi lain di wilayahnya, baik instansi kesehatan maupun non-kesehatan. 2.5. Ruangan Pemulasaraan Jenazah dan Instalasi Forensik Salah satu pelayanan pada Rumah Sakit adalah Instalasi Pemulasaraan Jenazah dan Instalasi Forensik. Pada ruangan ini terdapat pelayanan yang dikhususkan kepada jenazah. Menurut Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesahatan Republik Indonesia dalam Standar Kamar Jenazah, pelayanan jasa yang dilakukan pada Ruang Pemulasaraan Jenazah dan Instalasi Forensik adalah: BAB II – LANDASAN TEORI II - 16 a. Pelayanan jenazah purna-pasien atau “mayat dalam” Cakupan pelayanan ini berasal dari bagian akhir pelayanan kesehatan yang dilakukan rumah sakit, setelah pasien dinyatakan meninggal, sebelum jenazah diserahkan ke pihak keluarga atau pihak berkepentingan lainnya. b. Pelayanan kedokteran forensik terhadap korban mati atau “mayat luar” Rumah sakit pemerintah sering menjadi sarana bagi jenazah yang tidak dikenal dan memerlukan pemeriksaan identitas dengan pemeriksaan forensik. Ada dua jenis pemeriksaan forensik, yaitu visum luar (pemeriksaan luar) maupun visum dalam (pemeriksaan otopsi), keduanya dengan atau tanpa diikuti pemeriksaan penunjang seperti patologi anatomi, radiologi, farmakologi, analisa mikrobiologi, dan lain-lain. Pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam dilakukan di ruang otopsi, keduanya dilakukan di meja otopsi. c. Pelayanan sosial kemanusiaan lainnya, seperti pencarian orang hilang, rumah duka/penitipan jenazah. d. Pelayanan bencana atau peristiwa dengan korban meninggal massal. e. Pelayanan untuk kepentingan keilmuan atau pendidikan. 2.5.1. Sarana Sarana yang harus disediakan pada Kamar Jenazah terdiri dari: 1. Divisi Autopsi Ruangan autopsi: Luas 14 m x 6 m = 84 m2 Kamar pendingin: Luas 3,5 m x 6 m = 21 m2 dapat menampung sebanyak 12 jenazah. 2. Divisi Toksikologi Luas 12 m x 6 m = 72 m2 3. Divisi Pathologi BAB II – LANDASAN TEORI II - 17 Luas 6 m x 2,5 m = 15 m2 4. Divisi Anthropologi Luas 3,5 m x 6 m = 21 m2 5. Divisi Serologi/Biomolekuler Luas 6 m x 6 m = 36 m2 6. Divisi Odontologi Luas 2 m x 6 m = 12 m2 2.5.2. Bangunan Menurut Standar Kamar Jenazah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Depatemen Kesehatan RI tahun 2004, standar sebuah kamar jenazah/instalasi forensik adalah sebagai berikut: a. Area tertutup harus betul-betul tidak dapat diakses oleh orang yang tidak berkepentingan; basement dapat digunakan untuk akses keluar Rumah Sakit. b. Jalur Jenazah, berdinding keramik, berlantai yang tidak berpori, memiliki sistem pembuangan limbah, sistem sirkulasi udara, sistem pendingin. c. Hubungan antar jalur jenazah dengan petugas: a) Ruang autopsi berhubungan langsung dengan ruang ganti pakaian, dipisahkan dengan antiseptic footbath. b) Melalui jalur keluar-masuk jenazah, pintu dalam. d. Hubungan antara area tertutup dengan area terbuka: a) Jalur masuk-keluar jenazah menggunakan pintu ganda. b) Jalur petugas melalui: 1. Ruang administrasi forensik berhubungan dengan ruang administrasi kamar jenazah. BAB II – LANDASAN TEORI II - 18 2. Kamar ganti pakaian dengan koridor (dapat melalui basement) dari ruang pendidikan atau dari Rumah Sakit. e. Ruang autopsi: minimalus, dalam arti tidak ada meja periksa yang fixed, mempunyai sistem pendingin udara dan sistem aliran yang baik. a) Tersedia lemari alat, lemari barang bukti, air bersih, saluran pembuangan air limbah, kulkas dengan freezer, meja periksa organ, timbangan organ, dll. b) Ruang autopsi infeksius memiliki sistem penghisap udara kebawah, lantai sebaiknya tidak berpori. c) Ruang autopsi viewing theatre, memiliki pembatas transparan berupa kaca antara meja periksa dengan kursi penonton. f. Ruang ganti pakaian dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet, terpisah lakilaki dan perempuan. a) Antiseptic footbath. b) Tempat cuci tangan dengan antiseptic. c) Kamar ganti. d) Kamar mandi dan WC. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/MenKes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, Ruang Instalasi Forensik merupakan ruangan yang tergolong pada zona dengan resiko tinggi. Ketentuan bangunan untuk operasional Ruang Instalasi Forensik adalah sebagai berikut: 1. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang. a. Dinding ruang laboratorium dibuat dari porselin atau keramik setinggi 1,50 meter dari lantai dan sisanya dicat warna terang. b. Dinding ruang penginderaan medis harus berwarna gelap, dengan ketentuan dinding disesuaikan dengan pancaran sinar yang dihasilkan dari peralatan BAB II – LANDASAN TEORI II - 19 yang dipasang di ruangan tersebut, tembok pembatas antara ruang Sinar X dengan kamar gelap dilengkapi dengan transfer cassette. 2. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air, berwarna terang, dan pertemuan antara lantai dengan dinding harus berbentuk konus. 3. Langit-langit terbuat dari bahan multipleks atau bahan yang kuat, warna terang, mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi minimal 2,70 meter dari lantai. 4. Lebar pintu minimal 1,20 meter dan tinggi minimal 2,10 meter, dan ambang bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai. Semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40 meter dari lantai. 2.6. Pengolahan Limbah Limbah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak digunakan, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Permenkes RI No. 1204 Tahun 2004, limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun dan radioaktivitas. Menurut Depkes RI, keterpaparan air limbah dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Keterpaparan kimiawi: hasil pembuangan limbah kimiawi dimanfaatkan oleh mikroba yang terdapat di lingkungan air sebagai makanannya, selain itu limbah kimiawi di dalam air membentuk suspensi koloid atau partikel. Bahan organik dan garam anorganik masuk kedalam air secara domestik dan industrial umumnya memberikan kontribusi terhadap pencemaran air. Pemeriksaan air secara kimiawi digunakan tes BOD, COD, TSS, dan pH. Jika sekitar lima hari limbah kimiawi menjadi karbon dioksida, secara konvensional bahan organik BAB II – LANDASAN TEORI II - 20 mengalami dekomposisi yang menstabilisasi polutan organik dalam lingkungan alamiahnya. 2. Keterpaparan Fisik: keterpaparan fisik air dapat dilihat dari bau, warna dari air limbah keabu-abuan dan mengandung kerosin. 3. Keterpaparan Biologi: limbah berbahaya secara biologis jika terdapat mikroorganisme patogen yang endemik yang memberi dampak pada kesehatan masyarakat. 2.6.1. Jenis Limbah Rumah Sakit Dari berbagai kegiatannya, rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat, dan gas. Hal ini mempunyai konsekuensi perlunya pengelolaan limbah rumah sakit sebagai bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit. Limbah rumah sakit dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu limbah medis dan limbah nonmedis. Limbah medis padat adalah limbah yang terdiri dari limbah benda tajam, limbah infeksius, limbah laboratorium, limbah patologi atau jaringan tubuh, limbah sitotoksis, limbah farmasi, dan limbah kimiawi. 1. Limbah Benda Tajam Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelasm pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif. Limbah benda tajam mempunyai potensi bahaya tambahan yang dapat menyebabkan infeksi atau cidera karena mengandung bahan kimia beracun atau radio aktif. Potensi untuk menularkan BAB II – LANDASAN TEORI II - 21 penyakit akan sangat besar bila benda tajam tadi digunakan untuk pengobatan pasien infeksi atau penyakit infeksi. 2. Limbah Infeksius Limbah infeksius adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan mikrobiologi dari rumah sakit atau ruang perawatan/isolasi penyakit menular. Namun, beberapa instansi memasukkan pula bangkai hewan percobaan yang terkontaminasi atau yang diduga terkontaminasi oleh organisme pathogen ke dalam kelompok limbah infeksius. 3. Limbah Laboratorium Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular. 4. Limbah Jaringan Tubuh Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh, biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi. 5. Limbah Sitotoksik Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan sitotoksik dan harus dimusnahkan melalui incinerator pada suhu lebih dari 1000oC. Tempat pengumpul sampah sitotoksik setelah dikosongkan harus dibersihkan dan didesinfeksi. 6. Limbah Farmasi Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh instansi bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan. BAB II – LANDASAN TEORI II - 22 7. Limbah Kimia Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboraturium, proses sterilisasi, dan riset. Pembuangan limbah kimia kedalam saluran air kotor dapat menimbulkan korosi pada saluran, sementara bahan kimia lainnya dapat menimbulkan ledakan. Limbah kimia yang tidak berbahaya dapat dibuang bersama–sama dengan limbah umum. 8. Limbah Radioaktif Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukledia. Limbah ini dapat berasal dari antara lain : 1) Tindakan kedokteran nuklir, radiommunoassy dan bacterilogis dapat berbentuk cairan, padat atau gas. 2) Penggunaan, penyimpanan dan pembuangan bahan radioaktif harus memenuhi peraturan yang berlaku. BAB II – LANDASAN TEORI II - 23 2.6.2. Sumber Limbah Medis Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan memiliki ruangan atau unit kerja yang dapat menghasilkan limbah yang dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3. Jenis Limbah/Sampah Menurut Sumbernya No. 1. Sumber/Area Kantor/Administrasi Kertas Unit obtetric dan ruang perawatan obstetric Dressing (pembalut/pakaian), placenta, sponge (spons/penggosok), ampul (pembengkakan), kapsul perak nitrat, jarum syringe (alat semprot), disposable masker (masker yang dapat dibuang), disposbale drapes (tirai/kain yang dapat dibuang), sanitary napkin (serbet), blood lancet disposable (pisau bedah), disposable chateter (alat bedah), disposable unit enema (alat suntik pada usus), disposable diaper (popok), disposable underpad (alas/bantalan), disposable glove (sarung tangan). 3. Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan Dressing (pembalut/pakaian), sponge (spons/penggosok), jaringan tubuh termasuk ampuasi ampul (pembengkakan) bekas, jarum syringe (alat semprot), disposable masker (masker yang dapat dibuang), disposbale drapes (tirai/kain yang dapat dibuang), disposable kantong emesis, blood lancet disposable (pisau bedah), disposable chateter (alat bedah), disposable unit enema (alat suntik pada usus), disposable diaper (popok), disposable underpad (alas/bantalan), disposable glove (sarung tangan), sarung bedah, kantong colosiomyi, drainase set (alat pengaliran). 4. Unit laboratorium, ruang mayat, pathologi dan otopsi Gelas terkontaminasi termasuk pipet patri dish, wadah specimen, slide specimen (kaca/alat sorong), jaringan tubuh, organ, tulang. 5. Unit Isolasi Bahn0bahan kertas yang mengandung buangan nasal (hidung) dan sputum (dahak/air liur), dressing dan bandages, disposable masker, sisa makanan, perlengkapan makan. 6. Unit Perawatan Ampul, disposable syringe, kertas dan lain-lain. 7. Unit Pelayanan Karton, kertas pembungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan buangan. 8. Unit Gizi/Dapur Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan. 9. Halaman RS Sisa pembungkus, daun, ranting, debu. 2. BAB II – LANDASAN TEORI Jenis Limbah/Sampah II - 24 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, maka limbah cair harus mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1. Kualitas limbah (efluen) rumah sakit yang akan di buang ke badan air atau lingkungan harus memenuhi persyaratan baku mutu. 2. Efluen sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep- 58/MenLH/12/1995 atau peraturan daerah setempat. 3. Limbah cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan keterpaparan bahan kimia dan radiologi, volime, dan prosedur penanganan dan penyimpangannya. 4. Saluran pembuangan limbah harus menggunkan sistem saluran tertutup, kedap air, dan limbah harus mengalir dengan lancar, serta terpisah dengan saluran air hujan. 5. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau bersama-sama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan air limbah perkotaan. 6. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian limbah yang dihasilkan. 7. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air limbah harus dilengkapi/ditutup dengan gril. 8. Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), bila tidak memiliki IPAL harus dikelola sesuai kebutuhan yang berlaku melalui kerjasama dengan pihak lain atau pihak yang berwenang. 9. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah dilakukan setiap bulan sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB II – LANDASAN TEORI II - 25 10. Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena zat radioaktif, pengelolaannya dilakukan sesuai ketentuan BATAN. 11. Parameter radioaktif diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan. 2.6.3. Keterpaparan dan Parameter Limbah Cair Rumah Sakit Limbah rumah sakit merupakan limbah berbahaya apabila mencemari lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena limbah yang dihasilkan pada kegiatan operasional rumah sakit mengandung limbah infeksius, dan bahan kimia yang dapat mengkontaminasi. Oleh karena itu, limbah rumah sakit harus diolah sedemikian rupa agar memenuhi standar sebelum dibuang ke saluran pembuangan kota. Keterpaparan limbah cair yang dihasilkan oleh rumah sakit adalah sebagai berikut: a. BOD (Biochemical Oxygent Demand) Menurut Umaly dan Culvin (1998), BOD adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Pemeriksaan kandungan BOD dalam air olahan diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air olahan yang dihasilkan. Faktor-faktor yang memengaruhi kandungan BOD dalam air adalah jenis limbah, suhu air, derajat keasaman, dan kondisi air secara keseluruhan. Jenis limbah akan menentukan besar kecilnya BOD, apakah limbah tersebut mudah membusuk atau tidak. Semakin mudah terjadi pembusukan/perombakan, maka BOD akan semakin besar. Proses dekomposisi sangat dipengaruhi oleh suhu air karena aktivitas mikroorganisme semakin tinggi pada suhu yang semakin meningkat. Derajat keasaman air akan sangat menentukan aktivitas mikroorganisme, pada pH antara 6,5 – 8,3 aktivitas mikroorganisme sangat baik. Pada pH yang sangat kecil atau besar, mikroorganisme tidak aktif bahkan mati. BAB II – LANDASAN TEORI II - 26 Sesuai dengan definisi BOD, kualitas air olahan yang mengandung BOD tinggi maka semakin buruk. Sehingga, BOD dapat digunakan untuk menentukan kepekatan limbah atau baik buruknya limbah, dan dapat pula digunakan sebagai ukuran kualitas limbah cair atau airr apabila tidak ada gangguan terhadap aktivitas mikroorganisme. Bila limbah dibuang ke lingkungan harus dalam kondisi baik, sebab proses pengolahan limbah akan terjadi di lingkungan apabila kandungan polutan masih banyak. b. COD (Chemical Oxygent Demand) Menurut Boyd (1990), COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan organik ada yang sengaja diurai secara kimiawi menggunakan oksidator kuat. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air. c. TSS (Total Suspended Solid) TSS adalah jumlah lumpur yang ada dalam limbah setelah mengalami proses penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. Penentuan zat padat tersuspensi berguna untuk mengetahui besarnya pencemaran air limbah domestik, selain itu juga berfungsi untuk menentukan efisiensi dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) d. Fosfat Kandungan fosfat dalam air terdiri atas ortofosfat, polifosfat dan organik fosfat, jumlah kandungan ketiga fosfat tersebut dinyatakan sebagai total fosfat. Sumber fosfat di dalam air dapat berbentuk organik atau anorganik. Sumber utama fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah sakit, sedangkan BAB II – LANDASAN TEORI II - 27 sumber fosfat anorganik berasal dari hasil buangan detergen. Fosfat sangat diperlukan untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang menentukan produktivitas suatu perairan dan merupakan parameter untuk mendeteksi pencemaran air. Penentuan kadar fosfat dalam air bertujuan untuk mencegah tingginya kadar fosfat, sehingga tidak merangsang pertumbuhan tanaman air. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2005 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, pengukuran baku mutu kimia limbah cair bagi kegiatan rumah sakit adalah sebagai berikut: Tabel 2.4. Standar Baku Mutu Limbah Rumah Sakit No. Parameter Kadar Maksimum Fisika 1. 30oC Suhu Kimia 1. pH 6–9 2. BOD 30 mg/liter 3. COD 80 mg/liter 4. TSS 30 mg/liter 5. NH3 Bebas 0,1 mg/liter Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 1995 2.6.4. Teknologi Pengolahan Air Limbah Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik umumnya menggunakan teknologi pengolahan limbah secara biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara biologis tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara), atau kombinasi aerobik dan anaerobik. Proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi. BAB II – LANDASAN TEORI II - 28 Pengolahan air limbah secara biologis aerobik secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi, proses biologis dengan biakan melekat, dan proses pengolahan dengan sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikroorganisme yang digunakan dibiakan secara tersuspensi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini adalah: proses lumpur aktif standar/konvensional (standard activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit), dan lainnya. Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain adalah trickling filter, rotating biological contactor, contact aeration, dan lainnya. Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikroorganisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga digunakan proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah ini adalah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabiliasasi. 2.6.5. Proses Biofilter Anaerob-Aerob Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob adalah proses pengolahan air limbah dengan cara menggabungkan proses biofilter anaerob dan proses biofilter anaerob. Dengan menggunakan proses biofilter anaerob, polutan organik yang ada di dalam air limbah akan terurai menjadi gas karbon dioksida BAB II – LANDASAN TEORI II - 29 dan methan tanpa menggunakan energi, tetapi amoniak dan gas hidrogen sulfida (H2S) tidak hilang. Oleh karena itu, jika hanya menggunakan proses anaerob, hanya dapat menurunkan polutan organik (BOD, COD, dan TSS). Agar hasil dapat memenuhi baku mutu air, maka olahan dari proses biofilter anaerob olahan selanjutnya diproses menggunakan biofilter aerob. Dengan proses biofilter aerob polutan organik yang masih tersisa akan terurai menjadi gas karbon dioksida, dan air. Sedangkan amoniak akan teroksidasi menjadi nitrit yang kemudian menjadi nitrat, dan gas H2S akan diubah menjadi sulfat. Dengan menggunakan proses biofilter anaerob-aerob maka akan dihasilkan air olahan dengan kualitas yang baik dengan menggunakan konsumsi energi yang lebih rendah. Keunggulan proses pengolahan air limbah dengan biofilter anaerob-aerob antara lain adalah: a. Pengelolaannya mudah. b. Tidak perlu lahan yang luas. c. Biaya operasinya rendah. d. Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit. e. Suplai udara untuk aerasi relatif kecil. f. Dapat digunakan untuk air limbah dengan BOD yang cukup besar. g. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan baik. BAB II – LANDASAN TEORI II - 30