bab ii landasan teori

advertisement
 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pemeliharaan
Tujuan dari suatu bangunan antara lain yaitu untuk mendukung kegiatan
atau sebagai prasarana bagi pengguna bangunan dalam melaksanakan kegiatan
sehari-hari
secara optimal. Bangunan diharapkan dapat bersifat fleksibel
mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam kegaiatan pengguna bangunan di
masa yang akan datang. Hal ini mendasari perlunya diadakan kegiatan
pemeliharaan bangunan. Kurangnya perhatian terhadap kegiatan pemeliharaan
yang dilakukan menyebabkan suatu kondisi atau dampak negatif berupa
menurunnya tingkat produktifitas kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
pengguna bangunan.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 24 Tahun 2008 tentang
Pedoman Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung mendefinisikan bahwa
pemeliharaan bangunan gedung adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan
gedung beserta prasarana dan sarananya agar bangunan gedung selalu laik fungsi.
Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya dan fungsi khusus adalah ketetapan mengenai pemenuhan persyaratan
adiministratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. Untuk mempertahankan
fungsi dan kegunaan bangunan secara utuh, maka upaya yang harus dilakukan
adalah melaksanakan kegiatan pemeliharaan bangunan yang dikelola secara baik
dan teratur. Pemeliharaan yang sesuai akan menjadikan bangunan tersebut sebagai
tempat yang baik untuk kegiatan pengguna bangunan. Kegiatan pemeliharaan
bangunan yang memadai dan sesuai standar juga akan menghasilkan umur
bangunan yang sesuai dengan perencanaan, nilai ekonomis dan kegunaan
ekonomis dari bangunan dan komponen-komponen di dalamnya. Tanpa adanya
kegiatan pemeliharaan, fungsi suatu bangunan akan mengalami degradasi seiring
berjalannya waktu.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 1
Faktor-faktor penyebab degradasi fungsi bangunan dikelompokkan sebagai
berikut:
1.
Kondisi Lingkungan
berada dan orientasi dari bangunan tersebut.
2.
Aktifitas Pengguna
Tingkat degradasi bergantung pada kondisi lingkungan daerah bangunan
3.
Tingkat degradasi bergantung pada faktor manusia maupun mekanikal
elektrikal (M/E) baik untuk penggunaan resmi atau tidak resmi.
Perubahan Standar
Tingkat degradasi bergantung pada perubahan-perubahan konstruksi rencana
berdasarkan kebutuhan dan selera yang berkembang pada pemilik atau
pengguna.
2.1.1. Pemeliharaan Bangunan Gedung
Umur bangunan semakin hari semakin bertambah tua. Agar kondisi
bangunan menjadi semakin indah, kokoh, dan terawat, bangunan membutuhkan
tindakan preventif yaitu dengan cara pemeliharaan yang terencana dengan baik.
Kondisi bangunan yang baik dan terawat dapat menjadi aset keamanan serta
kenyamanan bagi penghuni bangunan tersebut. Aspek-aspek dalam pemeliharaan
bangunan memiliki banyak manfaat. Adanya perawatan dengan konsep yang jelas
dan terencana akan membuat nilai bangunan tidak cepat menurun.
Menurut Hestin Mulyardi dan Rully Adi Saputra (2011), pemeliharaan
adalah suatu cara atau teknik yang tepat untuk menjaga kondisi atau komponen
bangunan agar selalu dalam keadaan prima sesuai fungsinya. Perawatan adalah
kegiatan memperbaiki dan atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen,
bahan bangunan, dan atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan
bangunan, dan atu prasarana-sarananya agar bangunan gedung tetap laik fungsi
dan kuratif setelah ada kerusakan atau masalah, baik pada tingkat ringan, sedang,
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 2
atau berat. Laik fungsi adalah kondisi bangunan gedung memenuhi persyaratan
administratif dan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetapkan.
Manfaat dari pemeliharaan bangunan:
1. Dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana produksi;
2. Menjaga kualitas produksi yang tepat guna, memenuhi apa yang dibutuhkan
oleh produk, dan tidak mengganggu kegiatan produksi;
3. Membantu mengurangi pemakaian dan penyimpanan di luar batas serta
menjaga modal untuk waktu yang ditentukan sesuai kebijakan;
4. Menggunakan biaya serendah mungkin dalam melaksanakan kegiatan
pemeliharaan bangunan secara efektif dan efisien.
Keberhasilan suatu bangunan dinilai dari kemampuan bangunan untuk ada
pada kondisi yang diharapkan. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa persyaratan,
antara lain:
1. Persyaratan Fungsional
Maksud dari persyaratan fungsional adalah persyaratan yang terkait dengan
fungsi bangunan. Setiap bangunan memiliki fungsional umum dan khusus yang
perlu dipenuhi. Persyaratan fungsional umum contohnya adalah bangunan
mampu melindungi pengguna dari lingkungan luar, sedangkan persyaratan
khusus sangat tergantung pada jenis dan fungsi bangunan tersebut.
2. Persyaratan Performance
Masing-masing bangunan memiliki persyaratan performance bangunan yang
sangat spesifik. Performance bangunan mencakup berbagai aspek, mulai dari
performance fisik luar bangunan, sampai pada elemen-elemen Mekanikal dan
Elektrikal (ME). Tindakan pemeliharaan bangunan sangat ditentukan oleh
tuntutan performance yang terkait dengan fungsi bangunan. Namun, seringkali
terjadi perbedaan standar performance bangunan menurut user dan owner,
terutama pada bangunan sewa.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 3
3. Persyaratan Menurut Undang-Undang
Persyaratan menurut undang-undang merupakan persyaratan yang tidak bisa
diabaikan, karena menyangkut regulasi dan legalitas. Persyaratan ini antara lain
adalah persyaratan ketinggian maksimum suatu bangunan, persyaratan
kekuatan struktur bangunan, dll.
4. Persyaratan Menurut Pengguna/User
Persyaratan
menurut
user
biasanya
berkaitan
dengan
kenyamanan.
Kenyamanan
user merupakan ukuran keberhasilan suatu bangunan. Biasanya
bangunan yang memiliki persyaratan pengguna adalah bangunan-bangunan
sewa dan bangunan-bangunan umum.
Secara umum, tujuan utama dari proses pemeliharaan adalah untuk
memperpanjang usia bangunan, menjamin ketersediaan perlengkapan yang ada
dan juga mendapatkan keuntungan dari investasi yang maksimal, menjamin
keselamatan manusia yang menggunakan bangunan tersebut, dan menjamin
kesiapan operasional dari setiap peralatan atau perlengkapan dalam menghadapi
situasi darurat seperti kebakaran.
Pemeliharaan bangunan dapat juga berfungsi sebagai antisipasi keadaan
darurat yang mungkin terjadi pada suatu bangunan. Keadaan darurat ini meliputi
kebakaran, bencana alam, perbuatan yang bersifat ancaman, gangguan terhadap
ketertiban umum, dan keadaan darurat lainnya seperti tidak berfungsinya instalasi
pada bangunan. Setiap respons atau tindakan yang diambil atas keadaan darurat
pada sebuah bangunan harus berdasarkan jenis keadaan darurat, tingkat bahaya,
resiko yang ada, dan prosedur khusus penangan keadaan darurat tersebut. Selain
itu, pekerjaan pemelihaaan ini bertujuan meminimalisasi kemungkinan ancaman
bahaya dari suatu proses atau bahan yang digunakan. Hal ini didasarkan atas segi
kepentingan manusia atau objek yang harus dilindungi.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 4
Menurut Modern Maintenance Management dalam Yatna Supriyatna
(2008), para ahli membagi kegiatan pemeliharaan dalam lima kategori, yaitu:
1. Pemeliharaan Reguler
Pemeliharaan ini dilaksanakan secara berlanjut agar interval waktu tertentu
yang telah direncanakan tergantung pada kualitas bahan dari komponen yang
digunakan pemeliharaan ini biasanya dilakukan secara harian.
2. Pemeliharaan Periodik
Merupakan pemeliharaan terencana untuk komponen yang masih digunakan.
Pemeliharaan ini dilakukan untuk komponen-komponen yang mempunyai
teknik pemeliharaan yang mempunyai teknik pemeliharaan dan keahlian
khusus, seperti pembersihan dan pergantian saluran AC, pemeriksaan sistem
keamanan terhadap kebakaran, dan lain-lain.
3. Pemeliharaan Jangka Panjang
Pemeliharaan ini dilakukan untuk memperpanjang usia ekonomis suatu
komponen dengan melakukan penggantian elemen dari komponen tersebut.
Contoh: penggantian kabel lift yang dilaksanakan 10-15 tahun.
4. Pemeliharaan Struktur Bangunan
Pemeliharaan ini dilakukan untuk mempertahankan suatu bangunan dan
struktur bangunan. Contoh: memperbaiki korosi yang terjadi pada permukaan
beton bertulang.
5. Pemeliharaan Darurat
Pemeliharaan ini dilakukan apabila terjadi kerusakan pada komponen yang
tidak diperkirakan sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi sistem
kerja komponen tersebut. Contoh: kerusakan sistem elektrikal akibat sambaran
petir.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 5
Pemeliharaan dapat pula diklasifikasikan pada gambar 2.1. berikut:
Maintenance
Planned
Maintenance
Unplanned
Maintenance
Preventive
Maintenance
Corrective
Maintenance
Scheduled
Maintenance
Condition
Based
Maintenance
Corrective
Maintenance
Gambar 2.1. Diagram Jenis-Jenis Pemeliharaan
Sumber: Handout Manajemen Pemeliharaan dan Operasional Gedung
Keterangan:
1) Planed Maintenance :
pemeliharaan
yang
diorganisasikan
dan
dilaksanakan dengan perencanaan, kontrol dan pengunaan laporan-laporan
untuk suatu rencana yang ditentukan sebelumnya,
2) Unplaned Maintenance : pemeliharaan yang dilaksanakan untuk rencana
yang tidak ditentukan sebelumnya
3) Preventive Maintenance : pemeliharaan yang dilaksakan pada interval
yang ditentukan sebelumnya atau yang sesuai untuk ktiretia yang
ditentukan dan ditujukan untuk mengurai kemungkinan kegagalan atau
degradasi performansi suatu bangunan
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 6
4) Corrective maintenance : pemeliharaan yang dilakukan setelah suatu
kegagalan terjadi dan ditujukan untuk memperbaiki suatu item untuk suatu
keadaan yang item tersebut dapat melakukan fungsinya yang diperlukan
5) Emergency maintenance : pemeliharaan yang diperlukan dengan segera
untuk menghindari akibat-akibat yang serius
6) Condition based maintenance : preventive maintenance yang dimulai dari
suatu haril pengetahuan kondisi suatu hal dari pemantauan rutin
7) Scheduled maintenance : preventive maintenance yang dilaksanakan untuk
suatu interval waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
2.1.2. Lingkup Pemeliharaan Bangunan Gedung
Pekerjaan
pemeliharaan
meliputi
jenis
pembersihan,
perapihan,
pemeriksaan, pengujian, perbaikan dan atau penggantian bahan atau perlengkapan
bangunan gedung, dan kegiatan sejenis lainnya
berdasarkan pedoman
pengoperasian dan pemeliharaan bangunan gedung.
Komponen bangunan yang dipelihara meliputi:
1. Pondasi bangunan.
2. Komponen struktur bangunan.
3. Dinding.
4. Pengecatan.
5. Atap.
6. Alat saniter.
7. Lantai.
8. Langit-langit.
9. Kusen, pintu, engsel, dan kunci.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 7
2.1.3. Proses Pemeliharaan dan Perbaikan Gedung
Proses pemeliharaan dan perbaikan gedung meliputi pengumpulan jenis
pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan yang akan dilakukan. Menurut Reginal
Lee, proses pemeliharaan dan perbaikan secara menyeluruh digambarkan seperti
gambar 2.2.
Perawatan setiap gedung terbagi menjadi dua jenis pekerjaan, yaitu:
1. Perawatan yang pelaksanaannya dapat ditunda sehingga akan dilaksanakan
sesuai
jadwal (schedule) yang dibuat terlebih dahulu, dan
2. Perawatan terhadap kerusakan yang tiba-tiba terjadi (contingency) dan harus
segera diperbaiki karena apabila tidak dilakukan akan menyebabkan kerusakan
lebih parah, gangguan pengguna gedung, operasional atau kegiatan pengguna
gedung berhenti, dan lain-lain.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 8
Longterm Program
User Request
Up-Date
NO
Annual Inspection
Preview
NO
Contingency
Allowance
Budget
Necy
YES
Own Labour
Priority
NO
YES
Time
Monthly Program
Within Budget
Normal
YES
Prepare Contract
Document
Weekly Program
Urgent
Tendering
Procedure
Daily Program
Emergency
Gambar 2.2. Integrasi Sistem Schedule and Contingency
Perawatan terjadwal direncanakan dengan mengelompokkan pekerjaan
sejenis, mengatur waktu pelaksanaannya, jumlah perawatan disesuaikan dengan
anggaran, dan penentuan pekerjaan yang akan ditangani sendiri dan yang akan
dikontrakkan. Lebih lanjut akan ditentukan proses pengadaan jasa sesuai dengan
aturan yang berlaku dan disiapkan dokumen kontraknya. Contoh pekerjaan seperti
pengecatan dinding, perkerasan jalan dengan paving blok, dan lain-lain.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 9
Perawatan yang bersifat contengency pada umumnya diterima dari laporan
penghuni atau pengguna ruang karena adanya kerusakan yang mengganggu
aktifitasnya. Kerusakan ini langsung disurvey, ditentukan metoda perbaikannya
dan bila perlu langsung diperbaiki atau perbaikannya ditunda sementara waktu.
Bila ditunda, harus dilakukan pengamanan terhadap gangguan kerusakan dan
dijelaskan kepada pengguna ruangan. Untuk perbaikan kerusakan yang segera
ditangani ini umumnya dibutuhkan dana taktis (dana yang dapat dipergunakan
dengan segera). Perawatan contingency ini pada umumnya terjadi pada kerusakan
utilitas
gedung, atau kerusakan pada bagian atau ruangan penting seperti
kerusakan pintu atau jendela ruangan yang berisi dokumen-dokumen penting.
2.2. Kerusakan Bangunan
Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen
bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah
manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa
bumi, atau sebab lain yang sejenis. Intensitas kerusakan bangunan dapat
digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yakni:
a. Kerusakan Ringan
Kerusakan ringan adalah kerusakan yang terjadi komponen non-struktural,
seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengisi.
Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan, biaya maksimumnya adalah sebesar
35% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang
berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.
b. Kerusakan Sedang
Kerusakan sedang adalah kerusakan yang terjadi pada sebagian komponen
non-struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dan
lain-lain. Perbaikan untuk tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum
adalah sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung
baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 10
c. Kerusakan Berat
Kerusakan berat adalah kerusakan yang terjadi pada sebagian besar komponen
bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah
diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Penentuan tingkat kerusakan didapat setelah berkonsultasi dengan instansi
setempat, biasanya dengan melakukan survey ke lapangan terhadap bangunan
gedung
yang mengalami kerusakan. Biaya maksimum perbaikannya adalah
sebesar 65% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru
yang berlaku, untuk tipe/klas yang sama.
Sifat kerusakan bangunan dapat dilihat dari pengaruh kerusakan terhadap
pengguna gedung dan dampak negatif dari kerusakan itu terhadap komponen
disekelilingnya. Walaupun suatu kerusakan kecil seperti kran air rusak, kerusakan
ini dampaknya sangat mengganggu aktivitas penghuni. Contoh kerusakan yang
mengakibatkan kerusakan komponen disekelilingnya adalah kebocoran atap,
walaupun kebocoran kecil, air yang masuk kedalam gedung dapat merusak langitlangit, mengotori dinding dan sebagainya. Sifat kerusakan dibagi menjadi:
a. Emergency
Kerusakan ini mempunyai pengaruh sangat tinggi terhadap aktivitas penghuni
dan kerusakan komponen lainnya pada gedung. Contoh dari kerusakan ini
adalah kerusakan kran air, atap bocor, instalasi listrik rusak, dan lain-lain.
b. Urgent
Kerusakan ini memiliki pengaruh tinggi terhadap aktivitas penghuni dan
kerusakan komponen lainnya pada gedung, contohnya adalah kerusakan pada
lantai keramik di bagian yang sering dilalui, kerusakan pada plafond, jalan
berlubang, atau paving blok lepas dan lain-lain.
c. Normal
Kerusakan kecil yang menyebabkan fungsi kurang sempurna atau penurunan
tampak pada komponen bangunan yang mempunyai pengaruh kecil ada
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 11
aktivitas penghuni. Contohnya adalah cat dinding, pintu atau bagian bangunan
kusam, dan lain-lain.
2.3. Biaya Operasional, Pemeliharaan, dan Perbaikan
Keterbatasan
dana
yang
tersedia,
menyebabkan
para
pemilik
bangunan/gedung cenderung kurang memerhatikan pemeliharaan bangunan sejak
awal perencanaan pembangunan. Akibatnya, pada saat gedung tersebut
mengalami
permasalahan, barulah pemilik gedung berupaya mencari cara untuk
melakukan kegiatan pemeliharaan dan perbaikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
perencanaan kapasitas pemeliharaan bangunan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Menentukan total kebutuhan perawatan.
b. Mengestimasi kebutuhan sparepart dan material.
c. Menentukan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan untuk semua jenis
pekerjaan perawatan.
d. Menentukan keahlian dan jumlah pekerja dari masing-masing keahlian yang
dibutuhkan.
e. Jika diperlukan, menyediakan rencana khusus untuk perlengkapan yang
menggunakan rencana khusus untuk perlengkapan yang menggunakan sistem
komputerisasi tinggi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kapasitas pemeliharaan
adalah menentukan kombinasi optimal dari keahlian dan perlengkapan dari
sumber daya yang tersedia pada organisasi tersebut. Kombinasi terbaik
menggunakan sumber daya tersebut ditentukan dengan ukuran biaya dan
ketersediaannya. Keahlian yang beragam akan memberikan perencana pilihan dan
alternatif yang lebih baik dalam mengoptimalkan kapasitas pemeliharaan. Pekerja
dengan keahlian beragam akan dapat diberdayakan pada lebih dari satu jenis
pekerjaan pemeliharaan.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 12
Pengelola bangunan secara umum menganggap pemeliharaan sebagai fungsi
tidak langsung dari biaya overhead. Kebanyakan dari mereka juga memiliki
kebijakan khusus yang mengatur biaya tidak langsung, dimana pemeliharaan
termasuk
ke dalam salah satunya. Untuk biaya pelaksanaan perawatan bangunan
gedung yang terdiri dari biaya kegiatan pemeliharaan dan perbaikan kecil
dibebankan pada anggaran rutin. Ketentuan mengenai besarnya presentase biaya
pelaksanaan perawataan per m2 yang meliputi presentasi biaya kegiatan
pemeliharaan dan perbaikan kecil terhadap harga satuan sesuai dengan tabel 2.1.
Tabel 2.1. Presentase Biaya Kegiatan Perawatan Pada Bangunan Gedung Pemerintah
Jumlah
Lantai
1
2
3
4
5
6
7
8
Prosentase Biaya Kegiatan Perawatan
Biaya Pemeliharaan
Biaya Perbaikan
Jumlah (%)
(%)
Kecil (%)
0.58
0.81
1.39
0.8
0.8
1.43
0.7
0.77
1.47
0.8
0.75
1.55
0.85
0.74
1.59
0.9
0.73
1.63
0.98
0.72
1.7
1.12
0.7
1.82
Sumber: Standar Biaya Belanja Pemerintah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011
Biaya pelaksanaan pemeliharaan dihitung berdasarkan jumlah lantai dan
luas bangunan, komponen biaya kegiatan pemeliharaan tersebut meliputi bahan,
alat utama, alat bantu, pajak, dan keuntungan. Apabila dilaksanakan oleh
pemborong, maka biaya pemeliharaan bangunan gedung besarnya 100% dari
biaya perawatan. Sedangkan, jika dilakukan dengan swakelola, maka biaya
pemeliharaan gedung besarnya pajak dan keuntungan 50% dari biaya
pemeliharaan.
Menurut Dinas Pekerjaan Umum khusus bangunan negara, seharusnya biaya
pemeliharaan yang dikeluarkan untuk suatu gedung adalah: biaya pemeliharaan
per m2 bangunan gedung setiap tahun = 2% dari harga satuan per m2
tertinggi yang berlaku. Besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung
tergantung pada fungsi dan klasifikasi bangunan. Klasifikasi bangunan dapat
dilihat pada tabel 2.2
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 13
Tabel 2.2. Klasifikasi Bangunan Gedung
1.
Bangunan Sederhana:
Gedung kantor yang sudah ada desain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan
jumlah lantai sampai dengan 2 lantai dengan luas sampai dengan 500 m2.

Bangunan rumah dinas tipe C, D dan E yang tidak bertingkat.

Gedung pelayanan kesehatan; puskesmas.

Gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai sampai dengan 2
lantai.

2.
Bangunan Tidak Sederhana:
 Gedung kantor yang belum ada desain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan
luas di atas 500 m2 atau gedung kantor bertingkat di atas 2 lantai.
 Bangunan rumah tipe A dan B atau rumah dinas tipe C, D dan E yang bertingkat.
 Gedung rumah sakit kelas A, B, C dan D.
 Gedung pendidikan tinggi universitas/akademi atau gedung pendidikan dasar/lanjutan
bertingkat di atas 2 lantai.
3.
Bangunan Khusus:
 Istana Negara dan rumah jabatan presiden dan wakil presiden.
 Wisma Negara.
 Gedung Instalasi Nuklir.
 Gedung Laboratorium.
 Gedung Terminal Udara/Laut/Darat.
 Stasiun Kereta Api.
 Stadion Olah Raga.
 Rumah Tahanan.
 Gedung Benda Berbahaya.
 Gedung Monumental.
 Gedung Pertahanan.
 Gedung kantor perwakilan negara RI di luar negeri.
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 14
Cost Breakdown Structure
Menurut Trixy Firsani dan Christiono Utomo (2012), pengkategorian
perhitungan biaya pada suatu bangunan dapat dilihat pada gambar 2.3., dimana
biaya tersebut dibagi menjadi empat kategori biaya, yaitu Biaya awal, Biaya
Energi, Biaya Operasional dan Perawatan, serta Biaya Penggantian.
Biaya Konstruksi
Biaya Perencanaan
Initial Cost
Jasa Profesi
Administrasi, dll.
Biaya Penggunaan Air
Energy Cost
Biaya Penggunaan
Listrik
Total Biaya
Replacement Cost
Biaya Penggantian
Komponen Bangunan
Perawatan Komponen
Bangunan
Operation &
Maintenance Cost
Operasional
Perawatan Bangunan
Gambar 2.3. Cost Breakdown Structure
Sumber: Analisa Life Cycle Cost, Trixy Firsani dan Christiono Utomo
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 15
2.4. Rumah Sakit
Menurut American Hospital Association dalam Wiku Adisasmito (2007),
batasan rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis profesional yang
terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan
pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis,
serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Sedangkan, menurut WHO
dalam
Wiku Adisasmito (2007), memberikan pengertian mengenai rumah sakit
dan peranannya sebagai berikut:
“The hospital is an integral part of social and medical organization, the
function of which is ti provide for population complete health care both
curative and preventive, and whose out patient services reach out to the
family and its home environment; the training of health workers and for biosocial research.”
Sesuai batasan di atas, maka rumah sakit merupakan bagian dari sistem
pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif
maupun preventif serta menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap
juga perawatan di rumah. Di samping itu, rumah sakit juga berfungsi sebagai
tempat pendidikan tenaga kesehatan dan tempat penelitian. Oleh karena itu, agar
dapat menjalankan fungsinya, rumah sakit harus bisa bekerja sama dengan
instansi lain di wilayahnya, baik instansi kesehatan maupun non-kesehatan.
2.5. Ruangan Pemulasaraan Jenazah dan Instalasi Forensik
Salah satu pelayanan pada Rumah Sakit adalah Instalasi Pemulasaraan
Jenazah dan Instalasi Forensik. Pada ruangan ini terdapat pelayanan yang
dikhususkan kepada jenazah. Menurut Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesahatan Republik Indonesia dalam Standar Kamar Jenazah,
pelayanan jasa yang dilakukan pada Ruang Pemulasaraan Jenazah dan Instalasi
Forensik adalah:
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 16
a. Pelayanan jenazah purna-pasien atau “mayat dalam”
Cakupan pelayanan ini berasal dari bagian akhir pelayanan kesehatan yang
dilakukan rumah sakit, setelah pasien dinyatakan meninggal, sebelum jenazah
diserahkan ke pihak keluarga atau pihak berkepentingan lainnya.
b. Pelayanan kedokteran forensik terhadap korban mati atau “mayat luar”
Rumah sakit pemerintah sering menjadi sarana bagi jenazah yang tidak dikenal
dan memerlukan pemeriksaan identitas dengan pemeriksaan forensik. Ada dua
jenis
pemeriksaan forensik, yaitu visum luar (pemeriksaan luar) maupun visum
dalam (pemeriksaan otopsi), keduanya dengan atau tanpa diikuti pemeriksaan
penunjang
seperti
patologi
anatomi,
radiologi,
farmakologi,
analisa
mikrobiologi, dan lain-lain. Pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam
dilakukan di ruang otopsi, keduanya dilakukan di meja otopsi.
c. Pelayanan sosial kemanusiaan lainnya, seperti pencarian orang hilang, rumah
duka/penitipan jenazah.
d. Pelayanan bencana atau peristiwa dengan korban meninggal massal.
e. Pelayanan untuk kepentingan keilmuan atau pendidikan.
2.5.1. Sarana
Sarana yang harus disediakan pada Kamar Jenazah terdiri dari:
1. Divisi Autopsi
Ruangan autopsi: Luas 14 m x 6 m = 84 m2
Kamar pendingin: Luas 3,5 m x 6 m = 21 m2 dapat menampung
sebanyak 12 jenazah.
2. Divisi Toksikologi
Luas 12 m x 6 m = 72 m2
3. Divisi Pathologi
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 17
Luas 6 m x 2,5 m = 15 m2
4. Divisi Anthropologi
Luas 3,5 m x 6 m = 21 m2
5. Divisi Serologi/Biomolekuler
Luas 6 m x 6 m = 36 m2
6. Divisi Odontologi
Luas 2 m x 6 m = 12 m2
2.5.2. Bangunan
Menurut Standar Kamar Jenazah yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik Depatemen Kesehatan RI tahun 2004, standar sebuah kamar
jenazah/instalasi forensik adalah sebagai berikut:
a. Area tertutup harus betul-betul tidak dapat diakses oleh orang yang tidak
berkepentingan; basement dapat digunakan untuk akses keluar Rumah Sakit.
b. Jalur Jenazah, berdinding keramik, berlantai yang tidak berpori, memiliki
sistem pembuangan limbah, sistem sirkulasi udara, sistem pendingin.
c. Hubungan antar jalur jenazah dengan petugas:
a) Ruang autopsi berhubungan langsung dengan ruang ganti pakaian,
dipisahkan dengan antiseptic footbath.
b) Melalui jalur keluar-masuk jenazah, pintu dalam.
d. Hubungan antara area tertutup dengan area terbuka:
a) Jalur masuk-keluar jenazah menggunakan pintu ganda.
b) Jalur petugas melalui:
1. Ruang administrasi forensik berhubungan dengan ruang administrasi
kamar jenazah.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 18
2. Kamar ganti pakaian dengan koridor (dapat melalui basement) dari ruang
pendidikan atau dari Rumah Sakit.
e. Ruang autopsi: minimalus, dalam arti tidak ada meja periksa yang fixed,
mempunyai sistem pendingin udara dan sistem aliran yang baik.
a) Tersedia lemari alat, lemari barang bukti, air bersih, saluran pembuangan air
limbah, kulkas dengan freezer, meja periksa organ, timbangan organ, dll.
b) Ruang autopsi infeksius memiliki sistem penghisap udara kebawah, lantai
sebaiknya tidak berpori.
c) Ruang autopsi viewing theatre, memiliki pembatas transparan berupa kaca
antara meja periksa dengan kursi penonton.
f. Ruang ganti pakaian dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet, terpisah lakilaki dan perempuan.
a) Antiseptic footbath.
b) Tempat cuci tangan dengan antiseptic.
c) Kamar ganti.
d) Kamar mandi dan WC.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/MenKes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit, Ruang Instalasi Forensik merupakan ruangan yang tergolong pada zona
dengan resiko tinggi. Ketentuan bangunan untuk operasional Ruang Instalasi
Forensik adalah sebagai berikut:
1. Dinding permukaan harus rata dan berwarna terang.
a. Dinding ruang laboratorium dibuat dari porselin atau keramik setinggi 1,50
meter dari lantai dan sisanya dicat warna terang.
b. Dinding ruang penginderaan medis harus berwarna gelap, dengan ketentuan
dinding disesuaikan dengan pancaran sinar yang dihasilkan dari peralatan
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 19
yang dipasang di ruangan tersebut, tembok pembatas antara ruang Sinar X
dengan kamar gelap dilengkapi dengan transfer cassette.
2. Lantai terbuat dari bahan yang kuat, mudah dibersihkan, kedap air, berwarna
terang, dan pertemuan antara lantai dengan dinding harus berbentuk konus.
3. Langit-langit terbuat dari bahan multipleks atau bahan yang kuat, warna terang,
mudah dibersihkan, kerangka harus kuat, dan tinggi minimal 2,70 meter dari
lantai.
4. Lebar
pintu minimal 1,20 meter dan tinggi minimal 2,10 meter, dan ambang
bawah jendela minimal 1,00 meter dari lantai.
Semua stop kontak dan saklar dipasang pada ketinggian minimal 1,40 meter
dari lantai.
2.6. Pengolahan Limbah
Limbah adalah sesuatu yang tidak dipakai, tidak digunakan, tidak disenangi
atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi
dengan sendirinya. Menurut Permenkes RI No. 1204 Tahun 2004, limbah rumah
sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam
bentuk padat, cair, dan gas. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang
berbentuk cair yang kemungkinan mengandung mikroorganisme patogen, bahan
kimia beracun dan radioaktivitas. Menurut Depkes RI, keterpaparan air limbah
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Keterpaparan kimiawi: hasil pembuangan limbah kimiawi dimanfaatkan oleh
mikroba yang terdapat di lingkungan air sebagai makanannya, selain itu limbah
kimiawi di dalam air membentuk suspensi koloid atau partikel. Bahan organik
dan garam anorganik masuk kedalam air secara domestik dan industrial
umumnya memberikan kontribusi terhadap pencemaran air. Pemeriksaan air
secara kimiawi digunakan tes BOD, COD, TSS, dan pH. Jika sekitar lima hari
limbah kimiawi menjadi karbon dioksida, secara konvensional bahan organik
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 20
mengalami dekomposisi yang menstabilisasi polutan organik dalam lingkungan
alamiahnya.
2. Keterpaparan Fisik: keterpaparan fisik air dapat dilihat dari bau, warna dari air
limbah keabu-abuan dan mengandung kerosin.
3. Keterpaparan Biologi: limbah berbahaya secara biologis jika terdapat
mikroorganisme patogen yang endemik yang memberi dampak pada kesehatan
masyarakat.
2.6.1. Jenis Limbah Rumah Sakit
Dari berbagai kegiatannya, rumah sakit menghasilkan berbagai macam
limbah yang berupa benda cair, padat, dan gas. Hal ini mempunyai konsekuensi
perlunya pengelolaan limbah rumah sakit sebagai bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah sakit. Limbah rumah
sakit dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu limbah medis dan limbah nonmedis. Limbah medis padat adalah limbah yang terdiri dari limbah benda tajam,
limbah infeksius, limbah laboratorium, limbah patologi atau jaringan tubuh,
limbah sitotoksis, limbah farmasi, dan limbah kimiawi.
1. Limbah Benda Tajam
Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi,
ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti
jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelasm
pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat
menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang
terbuang
mungkin
terkontaminasi
oleh
darah,
cairan
tubuh,
bahan
mikrobiologi, bahan beracun atau radio aktif. Limbah benda tajam mempunyai
potensi bahaya tambahan yang dapat menyebabkan infeksi atau cidera karena
mengandung bahan kimia beracun atau radio aktif. Potensi untuk menularkan
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 21
penyakit akan sangat besar bila benda tajam tadi digunakan untuk pengobatan
pasien infeksi atau penyakit infeksi.
2. Limbah Infeksius
Limbah infeksius adalah limbah yang berkaitan dengan pasien yang
memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan limbah
laboratorium yang berkaitan dengan mikrobiologi dari rumah sakit atau ruang
perawatan/isolasi
penyakit menular. Namun, beberapa instansi memasukkan
pula
bangkai hewan percobaan yang terkontaminasi atau yang diduga
terkontaminasi oleh organisme pathogen ke dalam kelompok limbah infeksius.
3. Limbah Laboratorium
Limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari
poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.
4. Limbah Jaringan Tubuh
Limbah jaringan tubuh meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh,
biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau otopsi.
5. Limbah Sitotoksik
Limbah sitotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau
tindakan sitotoksik dan harus dimusnahkan melalui incinerator pada suhu lebih
dari 1000oC. Tempat pengumpul sampah sitotoksik setelah dikosongkan harus
dibersihkan dan didesinfeksi.
6. Limbah Farmasi
Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obatan kadaluwarsa, obat-obat yang
terbuang karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang
terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh
masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh instansi bersangkutan
dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 22
7. Limbah Kimia
Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia
dalam tindakan medis, veterinari, laboraturium, proses sterilisasi, dan riset.
Pembuangan limbah kimia kedalam saluran air kotor dapat menimbulkan
korosi pada saluran, sementara bahan kimia lainnya dapat menimbulkan
ledakan. Limbah kimia yang tidak berbahaya dapat dibuang bersama–sama
dengan
limbah umum.
8. Limbah
Radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang
berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukledia. Limbah ini dapat
berasal dari antara lain :
1) Tindakan kedokteran nuklir, radiommunoassy dan bacterilogis dapat
berbentuk cairan, padat atau gas.
2) Penggunaan, penyimpanan dan pembuangan bahan radioaktif harus
memenuhi peraturan yang berlaku.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 23
2.6.2. Sumber Limbah Medis
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan memiliki ruangan atau unit
kerja yang dapat menghasilkan limbah yang dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Jenis Limbah/Sampah Menurut Sumbernya
No.
1.
Sumber/Area
Kantor/Administrasi
Kertas
Unit obtetric dan ruang perawatan
obstetric
Dressing (pembalut/pakaian), placenta, sponge
(spons/penggosok), ampul (pembengkakan), kapsul
perak nitrat, jarum syringe (alat semprot), disposable
masker (masker yang dapat dibuang), disposbale
drapes (tirai/kain yang dapat dibuang), sanitary
napkin (serbet), blood lancet disposable (pisau
bedah), disposable chateter (alat bedah), disposable
unit enema (alat suntik pada usus), disposable diaper
(popok), disposable underpad (alas/bantalan),
disposable glove (sarung tangan).
3.
Unit emergency dan bedah
termasuk ruang perawatan
Dressing
(pembalut/pakaian),
sponge
(spons/penggosok), jaringan tubuh termasuk ampuasi
ampul (pembengkakan) bekas, jarum syringe (alat
semprot), disposable masker (masker yang dapat
dibuang), disposbale drapes (tirai/kain yang dapat
dibuang), disposable kantong emesis, blood lancet
disposable (pisau bedah), disposable chateter (alat
bedah), disposable unit enema (alat suntik pada
usus), disposable diaper (popok), disposable
underpad (alas/bantalan), disposable glove (sarung
tangan), sarung bedah, kantong colosiomyi, drainase
set (alat pengaliran).
4.
Unit laboratorium, ruang mayat,
pathologi dan otopsi
Gelas terkontaminasi termasuk pipet patri dish,
wadah specimen, slide specimen (kaca/alat sorong),
jaringan tubuh, organ, tulang.
5.
Unit Isolasi
Bahn0bahan kertas yang mengandung buangan nasal
(hidung) dan sputum (dahak/air liur), dressing dan
bandages, disposable masker, sisa makanan,
perlengkapan makan.
6.
Unit Perawatan
Ampul, disposable syringe, kertas dan lain-lain.
7.
Unit Pelayanan
Karton, kertas pembungkus, kaleng, botol, sampah
dari ruang umum dan pasien, sisa makanan buangan.
8.
Unit Gizi/Dapur
Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan.
9.
Halaman RS
Sisa pembungkus, daun, ranting, debu.
2.
BAB II – LANDASAN TEORI
Jenis Limbah/Sampah
II - 24
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1204 Tahun 2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, maka limbah cair harus
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Kualitas limbah (efluen) rumah sakit yang akan di buang ke badan air atau
lingkungan harus memenuhi persyaratan baku mutu.
2. Efluen
sesuai
Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Nomor
Kep-
58/MenLH/12/1995
atau peraturan daerah setempat.
3. Limbah
cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai dengan
keterpaparan bahan kimia dan radiologi, volime, dan prosedur penanganan dan
penyimpangannya.
4. Saluran pembuangan limbah harus menggunkan sistem saluran tertutup, kedap
air, dan limbah harus mengalir dengan lancar, serta terpisah dengan saluran air
hujan.
5. Rumah sakit harus memiliki instalasi pengolahan limbah cair sendiri atau
bersama-sama secara kolektif dengan bangunan disekitarnya yang memenuhi
persyaratan teknis, apabila belum ada atau tidak terjangkau sistem pengolahan
air limbah perkotaan.
6. Perlu dipasang alat pengukur debit limbah cair untuk mengetahui debit harian
limbah yang dihasilkan.
7. Air limbah dari dapur harus dilengkapi penangkap lemak dan saluran air
limbah harus dilengkapi/ditutup dengan gril.
8. Air limbah yang berasal dari laboratorium harus diolah di Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL), bila tidak memiliki IPAL harus dikelola sesuai kebutuhan
yang berlaku melalui kerjasama dengan pihak lain atau pihak yang berwenang.
9. Frekuensi pemeriksaan kualitas limbah cair terolah dilakukan setiap bulan
sekali untuk swapantau dan minimal 3 bulan sekali uji petik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 25
10. Rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena
zat radioaktif, pengelolaannya dilakukan sesuai ketentuan BATAN.
11. Parameter radioaktif diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan bahan
radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
2.6.3. Keterpaparan dan Parameter Limbah Cair Rumah Sakit
Limbah rumah sakit merupakan limbah berbahaya apabila mencemari
lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena limbah yang dihasilkan pada
kegiatan operasional rumah sakit mengandung limbah infeksius, dan bahan kimia
yang dapat mengkontaminasi. Oleh karena itu, limbah rumah sakit harus diolah
sedemikian rupa agar memenuhi standar sebelum dibuang ke saluran pembuangan
kota. Keterpaparan limbah cair yang dihasilkan oleh rumah sakit adalah sebagai
berikut:
a.
BOD (Biochemical Oxygent Demand)
Menurut Umaly dan Culvin (1998), BOD adalah suatu karakteristik yang
menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk
mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik.
Pemeriksaan kandungan BOD dalam air olahan diperlukan untuk menentukan
beban pencemaran akibat air olahan yang dihasilkan. Faktor-faktor yang
memengaruhi kandungan BOD dalam air adalah jenis limbah, suhu air, derajat
keasaman, dan kondisi air secara keseluruhan.
Jenis limbah akan menentukan besar kecilnya BOD, apakah limbah tersebut
mudah membusuk atau tidak. Semakin mudah terjadi pembusukan/perombakan,
maka BOD akan semakin besar. Proses dekomposisi sangat dipengaruhi oleh suhu
air karena aktivitas mikroorganisme semakin tinggi pada suhu yang semakin
meningkat.
Derajat
keasaman
air
akan
sangat
menentukan
aktivitas
mikroorganisme, pada pH antara 6,5 – 8,3 aktivitas mikroorganisme sangat baik.
Pada pH yang sangat kecil atau besar, mikroorganisme tidak aktif bahkan mati.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 26
Sesuai dengan definisi BOD, kualitas air olahan yang mengandung BOD
tinggi maka semakin buruk. Sehingga, BOD dapat digunakan untuk menentukan
kepekatan limbah atau baik buruknya limbah, dan dapat pula digunakan sebagai
ukuran
kualitas limbah cair atau airr apabila tidak ada gangguan terhadap aktivitas
mikroorganisme. Bila limbah dibuang ke lingkungan harus dalam kondisi baik,
sebab proses pengolahan limbah akan terjadi di lingkungan apabila kandungan
polutan masih banyak.
b.
COD (Chemical Oxygent Demand)
Menurut Boyd (1990), COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk
mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan
organik ada yang sengaja diurai secara kimiawi menggunakan oksidator kuat.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara
alamiah dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan
berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air.
c.
TSS (Total Suspended Solid)
TSS adalah jumlah lumpur yang ada dalam limbah setelah mengalami proses
penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. Penentuan zat padat
tersuspensi berguna untuk mengetahui besarnya pencemaran air limbah domestik,
selain itu juga berfungsi untuk menentukan efisiensi dari Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL)
d.
Fosfat
Kandungan fosfat dalam air terdiri atas ortofosfat, polifosfat dan organik
fosfat, jumlah kandungan ketiga fosfat tersebut dinyatakan sebagai total fosfat.
Sumber fosfat di dalam air dapat berbentuk organik atau anorganik. Sumber
utama fosfat organik berasal dari makanan dan buangan rumah sakit, sedangkan
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 27
sumber fosfat anorganik berasal dari hasil buangan detergen. Fosfat sangat
diperlukan untuk pertumbuhan organisme dan merupakan faktor yang
menentukan produktivitas suatu perairan dan merupakan parameter untuk
mendeteksi
pencemaran air. Penentuan kadar fosfat dalam air bertujuan untuk
mencegah tingginya kadar fosfat, sehingga tidak merangsang pertumbuhan
tanaman air.
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2005 tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, pengukuran baku mutu kimia
limbah cair bagi kegiatan rumah sakit adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4. Standar Baku Mutu Limbah Rumah Sakit
No.
Parameter
Kadar Maksimum
Fisika
1.
30oC
Suhu
Kimia
1.
pH
6–9
2.
BOD
30 mg/liter
3.
COD
80 mg/liter
4.
TSS
30 mg/liter
5.
NH3 Bebas
0,1 mg/liter
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 1995
2.6.4. Teknologi Pengolahan Air Limbah
Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik umumnya
menggunakan teknologi pengolahan limbah secara biologis atau gabungan antara
proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara biologis tersebut dapat
dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara),
atau kombinasi aerobik dan anaerobik. Proses biologis anaerobik digunakan untuk
pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 28
Pengolahan air limbah secara biologis aerobik secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga, yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi, proses
biologis dengan biakan melekat, dan proses pengolahan dengan sistem lagoon
atau kolam.
Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan
dengan menggunakan aktifitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa
polutan
yang ada dalam air dan mikroorganisme yang digunakan dibiakan secara
tersuspensi di dalam suatu reaktor. Beberapa contoh proses pengolahan dengan
sistem ini adalah: proses lumpur aktif standar/konvensional (standard activated
sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch
(kolam oksidasi sistem parit), dan lainnya.
Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah
dimana mikroorganisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga
mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh
teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain adalah trickling filter,
rotating biological contactor, contact aeration, dan lainnya.
Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam
adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu
tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikroorganisme yang tumbuh
secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk
mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu
tinggal dapat juga digunakan proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan
air limbah ini adalah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabiliasasi.
2.6.5. Proses Biofilter Anaerob-Aerob
Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob adalah proses
pengolahan air limbah dengan cara menggabungkan proses biofilter anaerob dan
proses biofilter anaerob. Dengan menggunakan proses biofilter anaerob, polutan
organik yang ada di dalam air limbah akan terurai menjadi gas karbon dioksida
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 29
dan methan tanpa menggunakan energi, tetapi amoniak dan gas hidrogen sulfida
(H2S) tidak hilang. Oleh karena itu, jika hanya menggunakan proses anaerob,
hanya dapat menurunkan polutan organik (BOD, COD, dan TSS). Agar hasil
dapat memenuhi baku mutu air, maka olahan dari proses biofilter anaerob
olahan
selanjutnya diproses menggunakan biofilter aerob. Dengan proses biofilter aerob
polutan organik yang masih tersisa akan terurai menjadi gas karbon dioksida, dan
air. Sedangkan amoniak akan teroksidasi menjadi nitrit yang kemudian menjadi
nitrat, dan gas H2S akan diubah menjadi sulfat. Dengan menggunakan proses
biofilter
anaerob-aerob maka akan dihasilkan air olahan dengan kualitas yang baik
dengan menggunakan konsumsi energi yang lebih rendah. Keunggulan proses
pengolahan air limbah dengan biofilter anaerob-aerob antara lain adalah:
a. Pengelolaannya mudah.
b. Tidak perlu lahan yang luas.
c. Biaya operasinya rendah.
d. Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit.
e. Suplai udara untuk aerasi relatif kecil.
f. Dapat digunakan untuk air limbah dengan BOD yang cukup besar.
g. Dapat menghilangkan padatan tersuspensi dengan baik.
BAB II – LANDASAN TEORI
II - 30
Download