Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang

advertisement
II. KERANGKA TEORI
2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Konsep Infrastruktur
Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut
pandang dan kepentingannya. Tidak ada kesamaan pandangan antar lembaga,
negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi,
infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam
aktivitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini
mendorong timbulnya pembedaan infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi
(economic overhead capital) dan infrastruktur sosial (social overhead capital)
(Torrissi 2008).
Infrastruktur ekonomi seperti jalan, jaringan irigasi, pelabuhan, lapangan
terbang, jaringan listrik, dan jaringan komunikasi, merupakan jenis infrastruktur
yang berperan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dan
pemerintah, dan sekaligus berfungsi sebagai input dalam proses produksi pada
berbagai aktivitas ekonomi. Infrastruktur sosial seperti jasa pendidikan dan
pelayanan kesehatan, berperan untuk meningkatkan kualitas SDM yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kesehatan dan produktivitas
tenaga kerja.
Ahli keuangan mendefinisikan infrastruktur berdasarkan kemampuannya
dalam meningkatkan penerimaan dan derajat profitabilitas atau tingkat subsidi
yang diperlukan suatu jenis infrastruktur. Para politisi dan ahli administrasi publik
umumnya mendefinisikan infrastruktur dari perspektif kepemilikan dan pelaku
yang bertanggung jawab menyediakannya. Dari sisi ini, infrastruktur dapat
dibedakan menjadi public infrastructure dan private infrastructure. Para ahli
konstruksi umumnya menfokuskan pada karakteristik fisik dari suatu jaringan
atau aset infrastruktur seperti jalan, rel kereta, pelabuhan dan peralatan
pemeliharaannya, pembangkit tenaga listrik, jaringan komunikasi dan sebagainya.
Penyedia jasa infrastruktur lebih menitikberatkan perhatiannya pada kebutuhan
masyarakat terhadap ketersediaan infrastruktur dan tujuan komersial dari proyek
infrastruktur
yang
dikerjakannya.
Pengguna
jasa
infrastruktur
seperti
rumahtangga, perusahaan dan pemerintah, tidak terlalu peduli dengan berbagai
14
definisi dan klasifikasi infrastruktur. Mereka lebih memperhatikan kemungkinan
terbaik yang dapat diperoleh dari ketersediaan infrastruktur, dengan jumlah yang
cukup dan harga yang terjangkau (Delis 2008).
Investasi di bidang infrastruktur sering dibedakan antara jasa infrastruktur
dan fasilitas infrastruktur. Jasa infrastruktur merupakan penawaran komoditas jasa
yang dihasilkan dari penyediaan infrastruktur seperti listrik, air bersih, saluran
limbah, informasi dan jasa pengangkutan. Fasilitas infrastruktur secara umum
merupakan suatu jaringan penghubung dan nodal dari dua jenis aset yaitu aset
tetap infrastruktur dan peralatan yang digunakan untuk menyediakan komoditas
pada jaringan tersebut. Nodal merupakan tempat dimana jasa infrastruktur
dibangkitkan, diproduksi dan dikonsumsi. Jaringan penghubung merupakan media
transmisi atau sebagai penghubung guna mendistribusikan jasa infrastruktur
hingga mencapai pengguna akhir (konsumen).
Penelitian ini memfokuskan perhatian pada konsep infrastruktur dari sisi
ilmu ekonomi yang menempatkan infrastruktur sebagai barang modal fisik.
Dengan perspektif ini, infrastruktur berguna dalam memenuhi konsumsi bagi
rumahtangga, produsen dan pemerintah serta berperan sebagai input dalam proses
produksi. Pembiayaan infrastruktur bersumber dari kebijakan stimulus fiskal yang
dilaksanakan pemerintah dalam rangka mengantisipasi dampak negatif krisis
ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia tahun 2009.
2.1.2 Penyediaan dan Pembiayaan Infrastruktur
Penyediaan dan pembiayaan infrastruktur dalam perekonomian dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Hal ini bergantung pada karakteristik
konsumsi dari infrastrukturnya. Berdasarkan karakteristik konsumsinya, seluruh
barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian dapat dibedakan menjadi
barang privat (swasta) dan barang publik. Barang privat adalah barang yang
penggunaannya bersaing dan memiliki sifat pengecualian, sebaliknya barang
publik tidak memiliki sifat persaingan (non-rivalry) dan pengecualian (nonexcludable). Konsekuensi dari pengertian ini adalah sumberdaya ekonomi yang
ada teralokasi untuk memproduksi kedua jenis barang tersebut. Secara sederhana
alokasi sumberdaya untuk menghasilkan barang privat dan barang publik dapat
15
diilustrasikan dengan menggunakan kurva kemungkinan produksi (Possibility
Production Curve atau PPC), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1.
barang privat
Pr1
Q1
PPC
Pr2
Q2
0
Pu1
Pu2
Barang Publik
Sumber: Stiglitz, 2000
Gambar 2.1 Kurva kemungkinan produksi barang privat dan barang publik
Kurva PPC menggambarkan kemungkinan produksi dua jenis barang
dengan memanfaatkan seluruh sumberdaya yang ada dalam perekonomian (full
employment). Apabila sumberdaya dialokasikan untuk menyediakan barang privat
sebanyak 0Pr1 maka sumberdaya yang tersisa akan digunakan untuk menyediakan
barang publik sebanyak 0Pu1. Alokasi ini menghasilkan penggunaan sumberdaya
yang optimal pada titik Q1. Setiap perubahan alokasi akan menggeser posisi
penggunaan sumberdaya optimal di sepanjang garis PPC.
Barang publik dapat dibedakan menurut barang publik murni (pure public
goods) dan barang publik tidak murni (impure public goods). Barang publik
disebut sebagai barang publik murni, jika barang tersebut dapat memberikan
manfaat bagi sejumlah pengguna pada waktu bersamaan dan seorang individu
tidak akan dapat mengecualikan individu lain menggunakannya. Sementara
barang publik disebut sebagai barang publik tidak murni, jika pemakaian barang
publik tertentu dalam waktu yang bersamaan dapat menimbulkan kepadatan
(Miles dalam Delis 2008). Dengan demikian barang publik murni memiliki dua
karakteristik utama yaitu non-excludability dan non-rivalry (Mangkusoebroto
2001). Dalam kenyataannya cukup sulit mendapatkan barang yang memenuhi
kedua syarat non-excludability dan non-rivalry secara penuh.
16
Konsep barang publik murni secara lebih mendalam dapat dipahami dengan
membuat rangkaian kesatuan jenis barang secara berturut-turut dari barang privat
murni, yaitu barang yang dihasilkan melalui mekanisme persaingan sempurna dan
pengecualian dapat dilakukan pada tingkat biaya nol. Kemungkinan pembagian
terhadap konsumsi suatu unit barang di antara dua rumahtangga yang berbeda
diilustrasikan oleh Gambar 2.2. Pada barang publik murni memungkinkan bagi
kedua rumahtangga untuk memaksimumkan konsumsinya dari satu unit barang
yang sama. Sebaliknya, barang privat murni harus dibagi di antara rumahtangga
yang ada. Kemungkinan konsumsi terhadap barang publik tidak murni terletak di
antara batasan kedua jenis barang tersebut.
Pure public goods
Konsumsi
1
Impure public goods
Pure private goods
1 Konsumsi
0
Sumber: Stiglitz, 2000
Gambar 2.2 Kemungkinan konsumsi suatu barang
Pengklasifikasian
infrastruktur
menjadi
infrastruktur
publik
dan
infrastruktur privat berkaitan dengan pengkategorian barang atas barang publik
dan barang privat seperti gambaran di atas. Klasifikasi infrastruktur tidak
berkenaan dengan kepemilikan barang. Tidak ada persoalan yang berarti tentang
pemilik fasilitas infrastruktur, karena pada akhirnya jasa infrastruktur digunakan
oleh semua individu. Bagaimana setiap individu mengkonsumsi jasa infrastruktur
dan bagaimana kesediaan konsumen tersebut membayar kompensasi kepada pihak
penyedia merupakan indikator kunci dalam pembuatan keputusan investasi
infrastruktur. Karakteristik konsumsi akan menentukan luasnya cakupan dan
permintaan jasa infrastruktur dan menjadi pokok dalam menggerakkan investasi
dalam bidang infrastruktur.
17
Penyediaan infrastruktur juga ditentukan oleh derajat pembangunan yang
telah dicapai oleh suatu negara selain karakteristik konsumsinya. Dilihat dari
fungsinya infrastruktur merupakan penunjang kegiatan sektor-sektor lainnya dan
dapat membantu mengefisienkan alokasi sumber-sumber ekonomi untuk
menghasilkan output yang optimal. Dengan fungsi demikian jasa yang dihasilkan
oleh infrastruktur harus disediakan dalam jumlah yang mencukupi dan merata
antar sektor maupun lokasi, agar kegiatan di semua sektor dapat berjalan dengan
baik. Pada tahap awal proses pembangunan, peran jasa infrastruktur sebagai the
promoting sector lebih menonjol daripada perannya sebagai the serving sector.
Sebagai sektor pendorong sektor lainnya, infrastruktur selalu dibangun
mendahului pembangunan sektor-sektor lainnya. Pada kondisi awal inilah peran
pemerintah dalam penyediaan infrastruktur lebih dominan. Pada tahap selanjutnya
ketika ekonomi telah berjalan normal, sehingga membutuhkan jasa infrastruktur
yang cukup, maka swasta mulai berperan secara berkesinambungan. Kondisi ini
didukung oleh tingkat profitabilitas yang dapat diperoleh oleh pihak swasta atas
investasinya di bidang infrastruktur tersebut.
2.1.3 Model Pertumbuhan Ekonomi Keynesian
Peran investasi dalam perekonomian, termasuk investasi infrastruktur, dapat
dibedakan menurut perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan
perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan komponen pengeluaran
agregat sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur, merupakan bagian faktor
produksi dalam fungsi produksi sektoral maupun agregat. Berdasarkan katagori
tersebut penjelasan teoritis mengenai peran investasi dapat dilihat dari sisi
permintaan dalam model ekonomi makro dan dari sisi penawaran yang
direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi.
Model ekonomi makro Keynesian menitikberatkan perhatiannya dari sisi
permintaan atau pengeluaran agregat. Model ekonomi ini muncul sebagai koreksi
atas model pertumbuhan yang menekankan perhatiannya dari sisi penawaran.
Model ekonomi ini juga merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi
dalam jangka pendek dari sisi pengeluaran agregat. Identitas produk nasional
18
bruto (PNB) Keynesian dinyatakan sebagai berikut (Branson 1979 dalam Delis
2008):
………………. (2.1)
Keterangan:
= Total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
= Total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan)
terhadap barang investasi
= Total belanja pemerintah terhadap barang dan jasa
= Ekspor bersih barang dan jasa
= Tabungan swasta bruto
= Penerimaan pajak bersih
= Total pembayaran transfer ke luar negeri
Persamaan (2.1) tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi keseimbangan,
maka total pengeluaran agregat setara dengan total pendapatan agregat dan
keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan
suatu perekonomian. Pada kondisi keseimbangan ini nilai ekspor bersih sama
dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga persamaan di atas dapat diubah
menjadi:
………………. (2.2)
Apabila
seluruh
komponen
pengeluaran
dan
pendapatan
agregat
dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas
pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:
………………. (2.3)
Keterangan:
′
;
0,
………………. (2.3a)
;
′
0,
………………. (2.3b)
;
′
0,
………………. (2.3c)
;
………………. (2.3d)
;
………………. (2.3e)
;
………………. (2.3f)
19
Pada persamaan (2.3a) hingga (2.3c), penerimaan pajak ( ), total
pengeluaran konsumsi ( ) dan total tabungan semuanya merupakan fungsi dari
pendapatan, dimana;
′
adalah marginal propensity to tax (MPT);
′
adalah
marginal propensity to consume (MPC); dan ′ adalah marginal propensity to
save (MPS). Pada persamaan (2.3d) dan (2.3e) investasi swasta dan pengeluaran
pemerintah diasumsikan sebagai peubah eksogen. Dengan cara mensubstitusikan
komponen tersebut pada persamaan (2.3), didapat persamaan pengeluaran agregat
riil sebagai berikut:
………………. (2.4)
Penurunan fungsi pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g
dan i pada persamaan (2.4) akan menghasilkan efek pengganda (multiplier effect)
pendapatan dari perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran
pemerintah sebagai berikut:
………………. (2.5)
Setiap perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran
pemerintah pada persamaan (2.5), akan mengakibatkan perubahan pendapatan
nasional sebesar hasil kali efek pengganda dengan kenaikan komponen
pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran
pemerintah bergantung kepada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin
kecil MPT, maka semakin besar dampaknya terhadap pendapatan nasional.
Kenaikan pengeluaran pemerintah untuk pembentukan modal publik (penyediaan
infrastruktur publik) akan memengaruhi pendapatan nasional dan permintaan
agregat melalui proses efek pengganda. Efeknya semakin besar bila pemerintah
melaksanakan kebijakan anggaran defisit dalam membiayai pengeluarannya
terutama jika digunakan untuk pengeluaran yang bersifat produktif seperti
penyediaan infrastruktur publik (Abimanyu 2005).
Perhitungan pendapatan nasional di Indonesia memperlakukan pengeluaran
pemerintah (G) sebagai pengeluaran konsumtif, seperti belanja pegawai dan
belanja barang, tidak termasuk belanja modal atau investasi infrastruktur yang
dilakukan pemerintah. Investasi infrastruktur yang dilakukan pemerintah maupun
swasta tercakup di dalam komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB).
20
Hal ini terjadi karena perhitungan pendapatan nasional di Indonesia dilakukan
dengan pendekatan produksi, dimana investasi merupakan bagian dari output
masing-masing sektor yang tidak dikonsumsi baik sebagai permintaan akhir
maupun permintaan antara. Dengan pendekatan ini, maka dampak ekonomi makro
dari alokasi investasi infrastruktur akan ditentukan oleh besaran pengganda
komponen pengeluaran investasi, bukan komponen pengeluaran pemerintah
sebagaimana lazimnya.
2.1.4 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar
Model pertumbuhan Harrod dan Domar dalam Jhingan (2008) atau lebih
dikenal
dengan
model
pertumbuhan
Harrod-Domar
merupakan
model
pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang. Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan
peran
ganda
investasi
dalam
proses
pertumbuhan
ekonomi.
Investasi
memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam
jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok
kapital
dan
meningkatkan
kapasitas
produksi
sehingga
investasi
juga
memengaruhi penawaran agregat. Domar hendak menjawab tingkat investasi yang
diperlukan agar peningkatan permintaan agregat setara dengan kapasitas produksi
sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan (Jhingan 2008).
Model Domar menyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama
dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan
pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I)
dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju
pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan
permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS
(s) terhadap COR atau Capital Output Rasio (k) dan dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:
∆
∆
∆
………………. (2.6)
Keterangan:
∆
= Laju pertumbuhan permintaan agregat (output)
21
∆
∆
= Laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat)
= Laju peningkatan investasi
Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan menjadi
pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan, dan pertumbuhan alamiah.
Pertumbuhan aktual (the actual growth=
∆
) adalah laju pertumbuhan
sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan
∆
rasio tambahan kapital output ( ). Kedua besaran ini dianggap konstan dan
∆
melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju
pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial.
Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap
memadai guna menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan antara
permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Pada laju pertumbuhan ini,
permintaan agregat dianggap cukup tinggi, sehingga dapat menjamin terjualnya
seluruh kapasitas produksi yang ada. Dengan kata lain, output aktual akan sama
dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan
ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai bila output aktual, output potensial,
permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama
(Mankiw 2007).
Perekonomian dalam keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama
dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan
ekuilibrium jangka panjang. Apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada
laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian mengalami
kelebihan kapasitas yang dapat menciptakan depresi jangka panjang. Sebaliknya
jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual
melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, perekonomian
mengalami inflasi jangka panjang.
Harrod menyimpulkan bahwa teorema ketidakseimbangan (disequilibrium
theorem) yang menyatakan bahwa dalam proses pertumbuhan ekonomi
terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu
keadaan keseimbangan (equilibrium). Kesimpulan tersebut dilatarbelakangi oleh
fakta bahwa kondisi keseimbangan jarang terjadi. Selama proses pertumbuhan
22
ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang dapat memperbaiki kondisi
penyimpangan tersebut kembali menjadi stabil atau mencapai keseimbangan.
Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat dicapai
melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk
menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini
sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang
dapat meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas
kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang.
2.1.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow
Teori pertumbuhan Solow dalam Mankiw (2007) merupakan salah satu teori
pertumbuhan
ekonomi
neoklasik
yang
populer.
Teori
ini
merupakan
pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari
sisi penawaran. Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses
peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung
dalam jangka panjang. Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari
interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor
produksi tersebut terdiri dari tanah, tenaga kerja, kapital dan kemajuan teknologi.
Teori pertumbuhan ekonomi biasanya lebih menfokuskan perhatiannya pada
peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi
kontinyu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing
sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi antar
faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi. Asumsiasumsi tersebut mengantarkan kepada pemahaman bahwa perekonomian akan
mencapai keseimbangan dan stabilitas pertumbuhan dalam jangka panjang.
Solow menekankan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam setiap
proses produksi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
(sustain). Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu
terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
23
Kemajuan teknologi juga diasumsikan terkandung dalam tenaga kerja yang
disebut tenaga kerja efektif (effective labor) atau labor augmenting.
Dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant returns to scale output
akan meningkat dengan proporsi yang sama jika kapital dan tenaga kerja
digandakan. Dari anggapan tersebut, model Solow diformulasikan sebagai suatu
hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari
kapital per tenaga kerja efektif, yaitu:
………………. (2.7)
Keterangan:
= Output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
= Kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
= Total output
= Kapital
= Tenaga kerja
= Efektivitas tenaga kerja (pengetahuan)
= Tenaga kerja efektif (labor augmented)
Menurut Solow, output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu
konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi
bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi
menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama
mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja
efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan
investasi break-even. Investasi break-even adalah investasi yang diperlukan untuk
mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan teknologi serta menggantikan
penyusutan sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap.
Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur
pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika
perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even.
Sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.3, apabila tingkat stok kapital per tenaga
kerja efektif rendah, maka investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih
besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga
kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital
24
per tenaga kerja efektif keseimbangan. Sebaliknya pada tingkat stok kapital per
tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil
dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja
efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per
tenaga kerja keseimbangan. Dengan demikian stok kapital per tenaga kerja efektif
selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*.
Investasi per unit
tenaga kerja efektif
Investasi break-even
Investasi aktual
k*
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 2.3 Investasi aktual dan break-even
Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja
efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual
sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total,
tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar
jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan teknologi. Stok kapital
per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan
teknologi.
Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa
akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu
suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada
pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya
ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan
teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow.
2.1.6 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian
Menurut Keynes intensitas kegiatan perekonomian ditentukan oleh besaran
pengeluaran agregat (konsumsi maupun investasi). Tingkat belanja tersebut pada
25
periode tertentu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat
optimum tercapainya kondisi full employment. Hal ini karena investasi yang
dilakukan pihak swasta lebih kecil daripada tabungan yang dibutuhkan dalam
perekonomian. Bagi Keynes, pasar bebas tidak mampu menjamin tercapainya
kondisi full employment, sebagaimana yang diteorikan oleh Adam Smith, untuk
itu perlu intervensi pemerintah dalam perekonomian.
Alasan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian (Stiglitz 2000)
adalah untuk: (1) menjamin kepastian hukum melalui berbagai peraturan yang
tidak mampu dihasilkan oleh sektor swasta; (2) mengkoreksi adanya kegagalan
pasar yang disebabkan imperfect competition, public goods, externality, dan
asymmetric information; dan (3) adanya merit goods, yaitu barang yang tetap
harus disediakan walaupun tidak diminta masyarakat (Musgrave dan Peggy 1990).
Selaras dengan pendapat Keynes, Musgrave menyatakan bahwa fungsi
pemerintah dalam perekonomian modern adalah untuk memenuhi tiga fungsi,
yaitu pertama, fungsi alokasi, pemerintah harus mengupayakan pengalokasian
sumberdaya ekonomi secara efisien. Kedua, fungsi distribusi, pemerintah harus
menjamin terciptanya distribusi pendapatan yang merata dan terwujudnya
keadilan sosial. Ketiga, fungsi stabilisasi, pemerintah berkewajiban menjaga
kondisi perekonomian dalam keadaan full employment dan menjalankan kebijakan
ekonomi makro. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata
pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya.
Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan
informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas
birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Priyarsono et al 2007).
2.1.7 Teori Perkembangan Belanja Pemerintah
Rostow dan Musgrave mengembangkan teori yang menghubungkan
perkembangan belanja pemerintah dengan tahapan pembangunan ekonomi.
Menurut keduanya, pembangunan ekonomi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap
awal, tahap menengah, dan tahap lebih lanjut. Tahap awal pembangunan ditandai
dengan dominannya investasi pemerintah dalam perekonomian. Pada tahap awal
ini, pemerintah bertanggung jawab menyediakan berbagai jenis infrastruktur yang
26
dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian dan menarik investasi swasta.
Infrastruktur fisik maupun non fisik, seperti jaringan jalan, jembatan, pelabuhan,
bandara, listrik, air bersih dan komunikasi merupakan investasi awal yang harus
disediakan pemerintah. Dari sisi non fisik, perbaikan kualitas sumberdaya
manusia seperti, pendidikan, keterampilan dan kesehatan harus diseimbangkan
dengan pengembangan infrastruktur fisik yang ada.
Pada
tahap
menengah,
peran
pemerintah
tetap
diperlukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mencapai tahap tinggal landas yang
ditandai dengan semakin membesarnya porsi sektor swasta dalam pembangunan
ekonomi. Namun peran pemerintah tetap lebih besar daripada swasta karena
semakin meningkatnya peran swasta, maka timbulnya resiko kegagalan pasar
semakin besar. Pada kondisi ini pemerintah dituntut menyediakan barang publik
yang semakin beragam untuk tetap menstimulus bertumbuhnya kegiatan ekonomi.
Terakhir adalah tahap lebih lanjut. Pada tahap ini peran pemerintah mulai bergeser
dari penyedia prasarana menjadi penyedia layanan sosial dan jaminan
kesejahteraan bagi masyarakat.
Wagner mengemukakan teori tentang perkembangan porsi belanja
pemerintah terhadap PDB. Menurut Wagner dalam suatu perekonomian jika
pendapatan per kapitanya meningkat, maka secara relatif belanja pemerintah juga
ikut meningkat. Hukum Wagner ini dikenal dengan the law of expanding state
expenditure. Ia mendasarkan teorinya atas pengamatan pada negara-negara maju.
Dijelaskan bahwa peranan pemerintah semakin meningkat karena pemerintah
harus mengatur hubungan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Wagner
juga mendasarkan pandangannya atas organic theory of state. Teori ini
mengasumsikan pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari
anggota masyarakat lainnya. Formulasi teori Wagner dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
……………….. (2.8)
Keterangan:
= Pengeluaran pemerintah per kapita
= Pendapatan per kapita
1,2, … n = Waktu/periode
27
Lebih lanjut, Peacock dan Wiseman (1961) mengemukakan teori tentang
perkembangan belanja pemerintah yang terbaik. Dasar pemikirannya adalah
adanya pandangan bahwa pemerintah selalu berusaha memperbesar belanjanya.
Pada situasi lain masyarakat tidak menyukai tindakan pemerintah tersebut karena
beresiko terhadap peningkatan pungutan pajak yang akan ditanggung oleh
masyarakat. Masyarakat mempunyai tingkat toleransi atas besaran belanja
pemerintah yang mengakibatkan perubahan pada tingkat kesediaan masyarakat
untuk membayar pajak. Menurut Mangkoesoebroto (2001) perkembangan belanja
pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain perubahan permintaan
atas barang publik, perubahan aktifitas pemerintah dalam menghasilkan barang
publik dan perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi, perubahan kualitas barang publik, dan perubahan harga faktor produksi.
2.1.8 Teori Defisit Pemerintah
Selisih antara penerimaan dan belanja pemerintah akan membentuk
tabungan maupun defisit yang tergantung besaran nilai selisihnya. Tabungan
terbentuk apabila penerimaan pemerintah lebih besar daripada belanjanya. Jika
belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaannya maka anggaran akan
mengalami defisit. Untuk membiayai defisit pemerintah biasanya melakukan
peminjaman (utang) baik dalam bentuk utang dalam negeri maupun utang luar
negeri. Tiga sumber terjadinya defisit yaitu (1) tingkat pembangunan ekonomi,
dimana peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai motor penggerak
pembangunan ekonomi, (2) laju penerimaan pemerintah tidak secepat laju
pengeluarannya dan bersifat tidak stabil, dan (3) disiplin anggaran yang tidak
terjaga dengan baik.
Menurut Kunarjo (2001) paling tidak terdapat enam dampak negatif akibat
defisit anggaran terhadap kondisi perekonomian yang saling terkait satu dengan
lainnya, yaitu (1) tingkat bunga akan meningkat, (2) memburuknya neraca
pembayaran akibat turunnya kinerja ekspor, (3) menimbulkan terjadinya inflasi,
(4) berkurangnya pendapatan riil masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya
tingkat tabungan dan konsumsi, (5) pengangguran meningkat, dan (6) turunnya
investasi yang disusul dengan rendahnya pertumbuhan. Terdapat dua cara untuk
28
membiayai defisit, yaitu dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi
penerimaan dapat dilakukan dengan cara meminjam dari perbankan dalam negeri,
meminjam dari non perbankan dalam negeri atau menerbitkan obligasi, meminjam
dari luar negeri, meningkatkan penerimaan pajak dan mencetak uang. Sedangkan
dari sisi pengeluaran dapat ditempuh dengan cara mengurangi subsidi, menghemat
pengeluaran rutin maupun pembangunan, selektif terhadap pengeluaran
pembangunan dan mengurangi pengeluaran untuk program yang tidak produktif
dan tidak efisien.
Kebijakan stimulus fiskal yang dijalankan pemerintah dalam rangka
mengantisipasi dampak krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia
berdampak pada peningkatan defisit APBN. Defisit APBN 2009 meningkat dari
Rp51.3 triliun (1.0 persen terhadap PDB) menjadi Rp136.9 triliun (2.6 terhadap
PDB). Efek defisit bagi perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari dua
asumsi, yaitu perekonomian suatu negara tersebut merupakan perekonomian
tertutup (closed economy) dan perekonomian terbuka (open economy). Pada
perekonomian tertutup kenaikan defisit akibat peningkatan belanja pemerintah (G)
dapat dijelaskan melalui kurva AD-AS (aggregate demand-aggregate supply).
LRAS
SRAS1
Harga
SRAS0
C
P1
P'
B
AD1
P0
A
AD0
Output
Y*
Y'
Sumber: Lipsey et al, 1997
Gambar 2.4 Crowding out investasi yang disebabkan anggaran defisit
Peningkatan defisit (belanja pemerintah) akan menggeser kurva AD ke
kanan atas, yaitu dari AD0 ke AD1. Semula perekonomian dalam keseimbangan
jangka pendek, yaitu berada di titik A, perpotongan antara kurva AD0 dan SRAS0,
29
atau pada titik Y potensial (Y*). Pergeseran (shifter) kurva AD tersebut
mengakibatkan terciptanya keseimbangan baru di titik B. Keseimbangan baru
tersebut meningkatkan Y (output) dan P (harga), sehingga mendorong terjadinya
inflasi, dari P0 ke P'. Dari sisi penawaran, inflasi akan menyebabkan biaya
produksi meningkat, maka akan menggeser kurva SRAS ke kiri atas, yaitu dari
SRAS0 ke SRAS1 (Gambar 2.4). Hal ini menciptakan keseimbangan jangka
panjang berubah menjadi di titik C, yaitu pada titik Y* tetapi dengan tingkat harga
yang lebih tinggi (P1). Pada keseimbangan jangka panjang baru tersebut (titik C),
tingkat harga yang tinggi mendorong permintaan uang meningkat. Melalui
mekanisme transmisi kenaikan permintaan uang nominal, pada kondisi jumlah
uang beredar tetap, akan menyebabkan tingkat bunga naik dan menurunkan
investasi. Dengan demikian akan terjadi efek crowding out investasi.
Pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, peningkatan
defisit biasanya dibiayai melalui pinjaman luar negeri. Beban utang luar negeri
tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Hal ini menyebabkan
generasi mendatang akan menanggung beban pokok dan bunga pinjaman yang
digunakan untuk membiayai investasi bagi negara tersebut. Dalam jangka panjang
generasi mendatang akan mewarisi stok modal yang tidak terlalu berkurang akibat
peningkatan defisit, tetapi sebagian stok tersebut akan dimiliki oleh pihak asing.
Efek peningkatan yang dibiayai dari utang luar negeri akan menyebabkan
terjadinya transfer pendapatan dari dalam negeri kepada pihak asing (Sahara
2003).
Defisit anggaran tidak selalu berdampak negatif terhadap perekonomian.
Pada perekonomian yang terbuka (open economy) dan dalam keadaan resesi,
kebijakan fiskal yang ekspansioner justru dapat menciptakan efek reflasi
Keynesian (Keynesian reflectionary effect). Pada negara berkembang seperti
Indonesia, hal tersebut dapat dilakukan melalui defisit yang dibiayai dari pinjaman
lunak dari luar negeri, yaitu pinjaman berbunga rendah dengan jangka waktu
pengembaliannya panjang. Dalam keadaan under-employment defisit anggaran
dapat digunakan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan
permintaan agregat. Menurut Sugema (2001) efek reflasi dari kebijakan anggaran
defisit dapat dilakukan bila memenuhi dua syarat; pertama, harus benar-benar
30
dibelanjakan (disposable) baik untuk pengeluaran rutin maupun pembangunan
dan kedua, harus dibiayai dari luar sistem, yaitu dari luar negeri atau dari
akumulasi anggaran periode sebelumnya.
Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah dalam rangka pelaksanaan
stimulus fiskal bidang infrastruktur padatkarya dapat dipandang sebagai
pengeluaran investasi (I) yang dalam jangka panjang dapat menambah stok modal
(infrastruktur). Dampak peningkatan infrastruktur ini mendorong terjadinya
peningkatan efisiensi dan produktivitas agregat maupun sektoral. Hal ini selaras
dengan pendapat Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa peningkatan stok
infrastruktur melalui investasi infrastruktur memainkan peran penting dalam
meningkatkan output dan produktivitas sektoral. Pendapat itu diperkuat oleh
Berndt dan Hansson (1991) yang mengemukakan bahwa peningkatan infrastruktur
dapat mengurangi biaya produksi. Pengurangan biaya produksi disebabkan oleh
menurunnya biaya transportasi dan biaya transaksi akibat kemudahan akses
terhadap faktor produksi. Dengan pendekatan ini, maka dampak stimulus fiskal
bidang infrastruktur dalam perekonomian dapat diilustrasikan dengan Gambar 2.5.
Harga
AS0
AS1
D
P0
P1
E
AD0
Y0
Y1
Output
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 2.5 Dampak investasi infrastruktur ekonomi oleh pemerintah
Proses peningkatan output dan penurunan harga pada Gambar 2.5 dapat
dijelaskan sebagai berikut: peningkatan ketersediaan infrastruktur ekonomi
menyebabkan proses produksi semakin efisien dan produktif, akibatnya output
(Y) meningkat dari Y0 menjadi Y1. Peningkatan output menggeser kurva agregat
31
penawaran (AS) ke kanan bawah, yaitu dari AS0 menjadi AS1. Dengan asumsi
tidak ada tekanan permintaan agregat (agregate demand), ceteris paribus, maka
harga output (P) akan turun dari P0 menjadi P1.
2.1.9 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium)
Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling
terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan
menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan
tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar
faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan.
Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian
yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan disebut dengan
model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat
sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas
maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan
yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian.
Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief,
Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992).
Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari
suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa
kebijakan pajak, hambatan perdagangan (trade barriers), perubahan belanja
pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan.
Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis
pekerjaan, rumahtangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi
makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara
2003).
Model keseimbangan umum memandang perekonomian sebagai suatu
sistem yang lengkap. Model ini tidak hanya dibangun pada tingkat agregat, tetapi
dapat pula dibangun sampai dengan tingkat mikro secara rinci, yang menyatakan
saling ketergantungan dari berbagai komponen ekonomi di dalamnya, yaitu antar
industri, komoditas, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan
antar pasar yang berbeda. Keseimbangan umum dapat tercapai bila perekonomian
32
diasumsikan dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tidak terdapat kondisi
increasing returns to scale (Sudarsono 1995). Asumsi-asumsi lain yang
mendorong terciptanya kondisi keseimbangan umum adalah; (1) pada pasar
komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2)
pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3)
pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan
pemerintah sama dengan pengeluarannya.
Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan
bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara
simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum
tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar
keseimbangan umum sesungguhnya didasarkan pada kondisi pareto optimum
pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan pemerintah.
Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan
kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak lainnya (worse off).
Nicholson (2002) menyatakan bahwa terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi
untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu
keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan.
2.1.9.1 Keseimbangan Produksi (production efficiency)
Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi
teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk
pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua
jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input ( dan )
dan dua barang (
barang
dan
) tingkat MRTS input
harus sama dengan MRTS input
atau
dalam memproduksi
dalam memproduksi barang
. Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada
dalam keseimbangan tercapai bila
dan
dan
dan
, dimana
adalah harga faktor
adalah harga faktor .
Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas
yang berbeda, yaitu
dan
, keseimbangan simultan yang terjadi bisa
dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk
33
dan
tercapai pada saat isoquant
bersinggungan dengan isoquant
pada
berbagai tingkat output. Titik singgung tersebut membentuk yang disebut dengan
Kurva Kotrak atau Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan
diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor produksi.
Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang
kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien,
karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika
berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak
preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang
diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara
matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut:
=
…………………………………….. (2.11)
MRTS adalah slope dari isokuan.
OX2
X2 1
X22
E4
K
X2 3
E3
X2 4
X1 4
E2
X1 3
E1
X1 2
X11
OX1
L
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 2.6 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor
produksi
Persamaan (2.11) menyatakan bahwa keseimbangan umum di sektor produksi
tercapai pada saat MRTS untuk semua output adalah sama (Gambar 2.6). Jika
harga faktor diketahui maka jumlah output
dan
yang harus diproduksi agar
keuntungan maksimum dapat tercapai dapat ditentukan. Tingkat output
dan
yang harus diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen
terhadap barang
dan
. Permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif
34
dan
. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan,
dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi atau Production Possibility
Curve (PPC).
PPC diturunkan dari CC yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC
adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan berbagai tingkat produksi
dan
yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena
menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui
alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation
(MRPT).
Berdasarkan definisi,
dibuktikan bahwa
dan secara matematis dapat
,
. Dimana
,
dan
Diferensiasi total dari fungsi biaya adalah:
= biaya marjinal dan
;
. Dimana
= biaya total. Untuk setiap perubahan
sepanjang PPC, dimanipulasi menjadi:
,
dan
di
. Pada pasar
persaingan sempurna didapatkan:
dan
, jadi
,
.
Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan
dan
yang efisien untuk menghasilkan X dan Y. Kurva tersebut ditransfer dari lokus
titik-titik efisien pada Gambar 2.7. Slope PPC menunjukkan bahwa output X
dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah
sumberdaya yang sama.
2.1.9.2 Keseimbangan Konsumen (exchange efficiency)
Kondisi keseimbangan konsumen tercapai jika tingkat substitusi marginal
atau Marginal Rate of Substitution (MRS) untuk dua barang adalah sama untuk
dua individu yang mengkonsumsi barang tersebut. MRS menunjukkan kesediaan
seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk
mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu
menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya
untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2008).
35
OX1
E1
X24
E2
X23
X22
E3
X21
E4
X11
X12
X13
OX2
X14
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 2.7 Production Possibility Curve (PPC)
Untuk kasus dua barang (
dan
) dan dua individu (U dan V), MRS
individu U dalam mengkonsumsi barang
dan
harus sama dengan MRS
individu V dalam mengkonsumsi barang
dan
. Keseimbangan di sektor
konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum
dengan kendala pendapatan.
Berdasarkan Gambar 2.8, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V,
sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari
titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh
semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan
kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V
menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou–Ov, MRS individu U
sama dengan MRS individu V, sehingga
,
,
.
Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat
MRS antara dua komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P1 harga
komoditas X1 dan P2 adalah harga komoditas X2, pembuktian matematis kepuasan
konsumen adalah sebagai berikut:
Fungsi kepuasan
dengan pendapatan .
,
1
dengan kendala
,
0 atau
0 atau
.
36
0
…………………………………….. (2.9)
2
,
Deferensiasi total di sepanjang kurva indifferen
0
0
…………………………….. (2.10)
,
Dari persamaan (1) dan (2) terbukti bahwa
,
Ov
Uv1
Uv2
E4
X2
Uv3
E3
Uv4
Uu4
E2
Uu3
E1
Uu1
Ou
Uu2
X1
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 2.8 Diagram Edgeworth Box untuk kasus dua komoditas dan dua
individu
2.1.9.3 Keseimbangan Simultan (production-mix efficiency)
Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan)
tercapai pada saat
. MRPT menunjukkan tingkat
transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat
kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas
lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat
substitusi konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan
simultan ini adalah bahwa kombinasi output
dan
harus optimal baik dari
sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar
2.9. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya keseimbangan
37
alokasi pada sektor produksi dan konsumsi. Keseimbangan ini tercipta melalui
mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian.
X2
C
Slope
C*
∆
=-
∆
P
x21
x2*
Slope
P*
x22
∆
=-
∆
U3
C
U2
C*
U1
P
0
x11
x1*
x12
X1
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 2.9 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi
2.2
Tinjauan Studi Terdahulu
Pada akhir tahun 2007 perekonomian dunia dihadapkan pada satu perubahan
drastis yang tak terbayangkan sebelumnya. Krisis kredit macet perumahan
berisiko tinggi (subprime mortgage) di AS, secara tiba-tiba berkembang menjadi
krisis keuangan global, dan dalam hitungan bulan telah berubah menjadi krisis
ekonomi yang melanda ke seluruh dunia. Kuatnya intensitas krisis membuat
negara-negara kawasan Asia, yang semula dianggap relatif steril dari dampak
krisis, akhirnya sulit bertahan dan turut pula terkena imbas krisis. Di Indonesia,
perekonomian yang dalam tiga triwulan pertama tahun 2008 tumbuh di atas 6.0
persen, mengalami perlambatan dan hanya mampu tumbuh 5.2 persen pada
TwIV-2008.
Dampak krisis global tersebut tidak hanya terjadi pada sektor keuangan,
tetapi juga memengaruhi kinerja sektor riil. Kerugian dan kebangkrutan baik di
industri keuangan maupun manufaktur terus terjadi, yang diikuti dengan adanya
pemutusan hubungan kerja (PHK) di seluruh dunia. Negara-negara, seperti AS,
Inggris, Jepang dan sejumlah negara lainnya mengalami fase resesi. Sebagai
respons atas krisis yang terjadi, pemerintah maupun bank sentral berbagai negara
38
mengambil sejumlah langkah kebijakan baik di bidang fiskal, moneter, maupun
perbankan guna mengantisipasi dampak negatif krisis tersebut terhadap
perekonomian masing-masing negara.
Krisis
ekonomi
global
memunculkan
kembali
perdebatan
tentang
pentingnya peran pemerintah dalam menstabilkan perekonomian, sebagaimana
yang disarankan oleh Keynes pada tahun 1930-an dalam menghadapi great
depression di AS. Tetapi substansi perdebatan telah bergeser kepada bagaimana
cara pemerintah melakukan intervensi terhadap perekonomian (Corsetti et al
2009; Leigh 2009; Leeper et al 2009; Strulik dan Timo 2009; Reinhart dan
Vincent 2009; Baumann et al 2009 dan lain-lain). Secara umum substansi
perdebatan adalah bagaimana cara pemerintah melakukan intervensi terhadap
pasar agar berjalan efektif. Terdapat dua cara intervensi pemerintah ke dalam
perekonomian, yaitu dengan cara pemotongan pajak (tax cut) dan meningkatkan
belanja (spending increase).
Untuk itu berbagai negara di dunia mengeluarkan sejumlah kebijakan
stimulus fiskal guna menyelamatkan perekonomiannya, yang bertujuan untuk
menyerap tenaga kerja, meningkatkan output, mendorong sektor produksi dan
mengantisipasi
dampak
terhadap
meluasnya
kemiskinan.
Negara
AS
mengeluarkan paket stimulus fiskal sebesar US$125 miliar (2008) dan US$787
miliar (2009) (Davig dan Eric 2009), Australia mengeluarkan paket stimulus
fiskal dalam bentuk transfer kepada rumahtangga sasaran (RTS) sebesar US$12
miliar selama bulan Maret dan Mei 2009 (Leigh 2009), demikian juga Inggris,
Jerman, Bulgaria dan lain-lain. Di kawasan Asia; China mengeluarkan paket
stimulus fiskal senilai US$586 miliar, untuk pengeluaran di berbagai bidang
seperti jalan, bandara dan infrastruktur lainnya, kesehatan dan pendidikan,
perlindungan lingkungan, teknologi tinggi, perumahan dan sejumlah paket
pengurangan pajak bagi eksportir; India mengeluarkan paket stimulus fiskal,
termasuk pengeluaran pemerintah tambahan senilai 200 miliar rupee (US$4
miliar), berupa pemotongan PPN, dukungan kredit untuk industri tekstil, kulit,
tenun tangan dan sektor padatkarya lainnya, serta pembiayaan infrastruktur;
Malaysia mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai 7 miliar ringgit untuk
proyek-proyek konstruksi
seperti untuk jalan, sekolah, rumah sakit, dan
39
perumahan murah; Korea mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai 14 triliun
won (US$11 miliar), yang meliputi pengeluaran pada infrastruktur regional dan
penyediaan santunan pajak, terutama pada investasi di pabrik-pabrik; dan Taiwan
mengeluarkan paket stimulus fiskal senilai NT$500 miliar (US$15 miliar), untuk
program voucher belanja, peluncuran proyek konstruksi, rencana pembaharuan
kota, serta insentif untuk mendorong investasi swasta dan peningkatan industri.
Telah banyak penelitian yang dilakukan berkenaan dengan dampak
kebijakan stimulus fiskal sebagai respon atas krisis ekonomi global terhadap
perekonomian. Leigh (2009) meneliti dampak kebijakan stimulus fiskal dalam
bentuk transfer langsung ke RTS di Australia dengan melakukan teknik sampel
survei. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 40 persen RTS di Australia yang
mendapat transfer telah membelanjakan untuk berbagai kebutuhan. Dengan
pendekatan aggregate MPC, Leigh mengkonfirmasi besaran agregat MPC atas
transfer langsung kepada RTS tersebut sebesar 0.41-0.42. Ini berarti tujuan
stimulus fiskal guna mendorong konsumsi belum berjalan optimal. Tingkat
konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh ekspektasi situasi perekonomian dan
kebijakan fiskal pemerintah di masa mendatang, sehingga rumahtangga menunda
belanja konsumsinya (Mankiw 2007).
Corsetti et al (2009) menggunakan teknik vector autoregression (VAR)
untuk meneliti transmisi stimulus fiskal (fiscal shock) pada perekonomian AS
berdasarkan model siklus bisnis Keynesian (new Keynesian business circle
model). Terdapat enam peubah yang digunakan oleh Corsetti et al dalam
menganalisis dampak stimulus fiskal terhadap perekonomian AS, yaitu belanja
pemerintah, output, konsumsi swasta, suku bunga (jangka pendek dan jangka
panjang) dan nilai tukar riil (real exchange rate). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa respon rumahtangga terhadap kebijakan stimulus fiskal bergantung kepada
ekspektasi masyarakat terhadap pembiayaan anggaran pemerintah di masa
mendatang. Jika di masa mendatang pemerintah tetap mengurangi belanja
(spending cuts) dan tidak meningkatkan pungutan pajak, maka konsumsi swasta
akan meningkat dan nilai tukar riil akan terdepresiasi. Dengan kata lain,
pemerintah perlu memastikan bahwa di masa mendatang masyarakat tidak
dibebani dengan beban pajak yang lebih tinggi akibat spending increase saat ini.
40
Sementara Leeper et al (2009) menyatakan bahwa dampak stimulus fiskal dalam
bentuk investasi pemerintah (infrastruktur) terhadap penyerapan tenaga kerja dan
output dipengaruhi oleh kecepatan pelaksanaannya. Semakin cepat pelaksanaan
proyek infrastruktur maka dampaknya terhadap perekonomian semakin baik.
He et al (2009) menganalisis efektivitas stimulus fiskal yang dilaksanakan
di China dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan output untuk kegiatan
bidang infrastruktur. Teknik analisis yang digunakan adalah gabungan analisis
pengganda Input-Ouput (I-O) dan model Dynamic Stochastic General
Equilibrium (DSGE). Hasilnya menunjukkan bahwa stimulus fiskal di China
dapat meningkatkan output dan menyerap tenaga kerja, namun efektivitasnya
bergantung kepada pola dan distribusi belanja sektoral. Penyerapan tenaga kerja
pada sektor non pertanian tidak dapat secara langsung terwujud. Hal ini
dikarenakan tenaga kerja membutuhkan waktu dan transisi untuk menyesuaikan
keterampilan yang diperlukan untuk berpindah dari satu sektor ke sektor yang
lainnya. Diperlukan pelatihan bagi tenaga kerja untuk membekali ketrampilan
yang sesuai dengan jenis pekerjaan baru yang tercipta akibat stimulus fiskal
tersebut. Di samping itu, dampak dan efektivitas stimulus fiskal juga bergantung
kepada iklim usaha, rejim nilai tukar, tingkat keterbukaan ekonomi negara dan
faktor lainnya.
Berkenaan dengan fokus penelitian ini, Estache et al (2007) melakukan
penelitian dampak peningkatan belanja investasi di bidang infrastruktur (jalan,
listrik dan telekomunikasi) terhadap pembangunan ekonomi di Mali, Afrika.
Estache et al menggunakan model CGE untuk menganalisis dampak dari investasi
di bidang infrastruktur dengan cara melakukan disagregasi sektoral. Simulasi
kebijakan dilakukan dengan empat skenario dan masing-masing jenis investasi
infrastruktur diasumsikan meningkat sebesar 20 persen. Dari tiga jenis
pembangunan infrastruktur yang diteliti, diketahui bahwa dengan adanya
pembangunan infrastruktur maka output Negara Mali mengalami pertumbuhan
positif baik untuk pembangunan jalan, listrik dan telekomunikasi, masing-masing
tumbuh sebesar 0.84 persen (jalan), 0.63 persen (listrik) dan 0.44 persen
(telekomunikasi).
41
Penelitian tentang dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian telah
banyak dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia. Dengan menggunakan model
Input-Output (I-O), Escom (2001) meneliti dampak kebijakan fiskal berupa
kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan telepon
terhadap kenaikan biaya produksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
dampak dari kebijakan tersebut mendorong terjadinya inflasi sektoral. Inflasi
tertinggi terjadi pada sektor angkutan, bangunan dan industri. Kondisi tersebut
berdampak pula pada melemahnya dayabeli masyarakat yang selanjutnya
mengurangi tingkat konsumsinya.
Oktaviani et al (2007) menganalisis dampak pengurangan subsidi BBM
(bahan bakar minyak) terhadap kinerja ekonomi makro, sektor pertanian dan
kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan model CGE gabungan, yaitu
kombinasi model ORANI-F (Horridge et al 2002), INDOF (Oktaviani 2000),
WAYANG
(Wittwer
1999)
dan
ORANIGRD
(Horridge
2002).
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pengurangan subsidi BBM berdampak pada
kenaikan harga output pada industri yang memiliki ketergantungan tinggi pada
BBM, seperti sektor transportasi dan sektor perikanan, tetapi kenaikan harga
BBM tersebut tidak menyebabkan harga padi meningkat. Upah tenaga kerja
terampil, sewa tanah dan sewa modal cenderung mengalami penurunan akibat
kenaikan harga BBM. Tingkat kesejahteraan rumahtangga berkurang (khususnya
bagi rumahtangga miskin) dan PDB riil mengalami penurunan.
Alfirman dan Edy (2006) menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah
terhadap peningkatan PDB dengan menggunakan pendekatan Granger causality
test dan vector autoregression (VAR). Berdasarkan hasil penelitiannya, keduanya
menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran
pemerintah dengan perubahan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan
memengaruhi PDB karena bersifat konsumtif dan tidak produktif, sebagian besar
komponen belanja rutin justru berdampak kontraktif terhadap PDB, seperti
belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan memiliki
hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB. Hal ini dijelaskan oleh
pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta
42
pendidikan terhadap PDB dan pengaruh positif perubahan PDB terhadap
pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi.
Abimanyu (2005) menganalisis efektivitas kebijakan stimulus fiskal dalam
menggerakkan perekonomian di Indonesia, dengan menggunakan kombinasi
Model MAKRO-MODFI dan CGE-INDORANI. Analisis stimulus fiskal tersebut
dilakukan dengan dua skenario utama, yaitu (1) kebijakan stimulus fiskal yang
memberi dampak terhadap besarnya surplus/defisit anggaran (partial policy
scenario) dan (2) kebijakan stimulus fiskal dengan tetap mempertahankan
surplus/defisit
anggaran
(fiscal
neutrality
scenario).
Skenario
pertama
dimaksudkan untuk mengetahui dampak stimulus fiskal dari berbagai jenis
kebijakan fiskal, yaitu penurunan tarif PPN, penurunan tarif PPh, dan peningkatan
belanja pembangunan. Skenario kedua dimaksudkan untuk mengkaji dampak
ekonomi dan opsi kebijakan fiskal untuk menutup defisit tersebut.
Hasil penelitian Abimanyu (2005) menyatakan bahwa kebijakan stimulus
fiskal melalui penurunan tarif perpajakan dan peningkatan pengeluaran
pemerintah sebesar 0.4 persen terhadap PDB akan menghasilkan tambahan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.4 persen hingga 0.8 persen (atau pengganda
pengeluaran pemerintah sekitar 1.0 hingga 2.0 kali). Stimulus fiskal dari sisi
penerimaan menghasilkan pengganda yang lebih kecil dibandingkan dari sisi
pengeluaran. Dari sisi penerimaan ini, kebijakan penurunan tarif PPN lebih efektif
dibandingkan dengan PPh ditinjau dari dampak pertumbuhan ekonominya.
Sementara dalam jangka panjang, penurunan PPh lebih efektif dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan dayasaing ekonomi Indonesia.
Dari sisi investasi sumberdaya manusia (SDM), Sitepu dan Bonar (2005)
menganalisis dampak investasi SDM terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan di Indonesia. Analisisnya menggunakan kombinasi model CGE dan
metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT). Peubah investasi SDM diwakili oleh
besaran pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Hasil
simulasi kebijakan yang dibangun menunjukkan bahwa investasi SDM mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumahtangga. Indeks rasio
kemiskinan, indeks kesenjangan dan indeks intensitas kemiskinan juga menurun,
kecuali untuk rumahtangga bukan angkatan kerja di perkotaan. Investasi SDM di
43
bidang pendidikan memberikan manfaat lebih besar bagi rumahtangga perdesaan
dibandingkan dengan rumahtangga perkotaan, terutama untuk rumahtangga buruh
pertanian dan pengusaha pertanian di perdesaan. Sedangkan investasi di bidang
kesehatan memberi manfaat lebih besar bagi rumahtangga bukan pertanian
golongan atas di perkotaan.
2.3
Kerangka Pemikiran
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa analisis pada
penelitian ini dimulai dari kondisi nyata adanya gangguan eksternal (krisis
ekonomi global) terhadap perekonomian Indonesia. Pertumbuhan volume (nilai)
perdagangan dunia mengalami perlambatan akibat turunnya kegiatan eksporimpor dan investasi. Perlambatan pertumbuhan volume (nilai) perdagangan dunia
ini didorong oleh keringnya likuiditas global akibat krisis keuangan dan ekonomi
yang bermula dari AS. Kondisi ini diduga kuat akan turut melemahkan kinerja
ekonomi Indonesia, karena negara-negara tujuan utama ekspor Indonesia justru
terkena dampak krisis yang paling kuat, seperti AS, Jepang dan Uni Eropa.
Turunnya permintaan ekspor dari luar negeri dan melemahnya investasi di
dalam negeri berimbas pada menurunnya kegiatan sektor produksi (riil),
dayatahan dunia usaha, dayabeli rumahtangga serta berpotensi menambah
pengangguran. Pemerintah harus melakukan langkah-langkah penyelamatan
terhadap kondisi perekonomian nasional. Untuk itu pemerintah mengeluarkan
kebijakan stimulus fiskal sebagai bentuk counter-cyclical guna mengantisipasi
dampak negatif krisis ekonomi global terhadap perekonomian domestik. Tiga
langkah utama yang diambil pemerintah dalam rangka stimulus fiskal adalah
pemotongan pajak, subsidi usaha dan peningkatan belanja infrastruktur, terutama
infrastruktur padatkarya. Stimulus fiskal di bidang infrastruktur padatkarya
ditujukan untuk menyerap tenaga kerja akibat pertambahan angkatan kerja dan
sebagai antisipasi adanya PHK.
Peningkatan belanja infrastruktur padatkarya dalam rangka stimulus fiskal
tersebut dapat dipandang sebagai peningkatan alokasi investasi di bidang
infrastruktur. Dampak dari peningkatan belanja infrastruktur ini dapat
meningkatkan komponen PMTB atau investasi (I) pada pengeluaran agregat.
44
Melalui efek pengganda, peningkatan investasi akan meningkatkan pendapatan
nasional dari sisi pengeluaran. Namun peningkatan investasi infrastruktur
menimbulkan efek crowding out yang menyebabkan berkurangnya sumberdana
investasi bagi sektor swasta, sehingga dapat mengurangi dayadorongnya terhadap
pertumbuhan
ekonomi
dan
peningkatan
pendapatan
nasional.
Dampak
peningkatan investasi infrastruktur terhadap kinerja perekonomian pada tingkat
makro dan mikro diilustrasikan pada Gambar 2.10.
Investasi
Infrastruktur
Mikro
Makro
Akumulasi
Modal Infrastruktur
Aksesabilitas
Mobilitas
Barang/jasa
Biaya
Transaksi
Pengeluaran Agregat
Y= C+I+G+(X-M)
Input
Sektoral
Crowding out
Multiplier
Produktivitas
sektoral
Pendapatan nasional dan
Pertumbuhan Ekonomi
Investasi
Akumulasi
Modal Swasta
Aktivitas
Ekonomi
Kesempatan Kerja
Produksi
Barang/Jasa
Supply
Pendapatan
Rumahtangga
Harga
Barang/jasa
Permintaan
Barang/jasa
Gambar 2.10 Transmisi dampak investasi (infrastruktur) dalam perekonomian
Peningkatan investasi infrastruktur akan meningkatkan stok modal
infrastruktur sehingga meningkatkan kemudahan akses bagi perusahaan dan
rumahtangga dan meningkatkan ketersediaan input bagi proses produksi.
Ketersediaan infrastruktur yang lebih memadai dengan kualitas yang lebih baik
45
akan meningkatkan produktivitas perusahaan dalam memproduksi barang dan
jasa, sehingga akan menarik investasi swasta pada berbagai sektor ekonomi.
Peningkatan investasi swasta dapat menambah akumulasi stok modal dan
memperluas kapasitas produksi. Didukung dengan kemudahan akses yang
mengakibatkan mobilitas barang dan jasa meningkat dan turunnya biaya transaksi
maupun biaya transportasi, selanjutnya berdampak pada peningkatan supply yang
dapat mendorong penurunan harga. Peningkatan infrastruktur, produksi serta
penyerapan tenaga kerja di tingkat mikro atau sektoral mendorong peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi dan memperluas lapangan kerja di tingkat makro.
Dengan demikian, alokasi investasi infrastruktur dapat memengaruhi kinerja
ekonomi di tingkat makro, sementara stok modal infrastruktur yang merupakan
input dalam aktivitas ekonomi memengaruhi aktivitas produksi dan ekonomi
rumahtangga di tingkat mikro. Alasan ini yang mendasari penelitian ini
menfokuskan analisisnya pada dampak kebijakan stimulus fiskal bidang
infrastruktur padatkarya terhadap kinerja ekonomi makro dan ekonomi sektoral di
Indonesia. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah sejak krisis ekonomi
1997/1998, sumberdaya modal (anggaran) lebih banyak teralokasi untuk
perbaikan infrastruktur keuangan (perbankan). Kondisi ini menyebabkan keadaan
infrastruktur di Indonesia memburuk sebagai akibat dari depresiasi dan kurangnya
biaya perawatan maupun perluasaannya. Buruknya kondisi infrastruktur ekonomi
tersebut mengakibatkan indeks dayasaing Indonesia berada di bawah negaranegara ASEAN (BI 2009a). Stimulus fiskal bidang infrastruktur padatkarya ini
diharapkan menjadi momentum bagi perbaikan infrastruktur nasional untuk
mendorong perbaikan iklim investasi dan menggerakkan perekonomian nasional.
Paparan di atas menjelaskan dasar dan alur dari kerangka pikir pada
penelitian ini. Dampak stimulus fiskal bidang infrastruktur padatkarya sebagai
salah satu strategi pemerintah dalam meredam dampak negatif krisis ekonomi
global terhadap kinerja perekonomian Indonesia akan dianalis secara ekonomi
makro maupun ekonomi sektoral dengan menggunakan metode CGE Indomini.
Implikasi kebijakan terhadap hasil analisis tersebut dihubungkan kembali pada
tujuan pemerintah menerapkan kebijakan stimulus fiskal. Hal ini juga
merepresentasikan proses evaluasi atas efektivitas pelaksanaan kebijakan stimulus
46
fiskal tahun 2009. Ilustrasi kerangka pemikiran pada penelitian ini ditunjukkan
pada Gambar 2.11.
Faktor eksternal:
Perlambatan pertumbuhan
ekonomi global
Keterangan:
Fokus Penelitian
Bukan fokus penelitian
Ekspor
Investasi
Gangguan terhadap
Ekonomi Indonesia
Perubahan Asumsi
Makro Ekonomi APBN 2009
Respon:
Kebijakan Stimulus Fiskal
Daya beli masyarakat
Pemotongan pajak
Daya tahan/saing usaha
Subsidi usaha
PHK dan pengangguran
Belanja infrastruktur
padat karya
Implikasi Kebijakan
Gambar 2.11 Kerangka pemikiran penelitian
Analisis Dampak:
Makro dan Sektoral
Download