1 KEDUDUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI

advertisement
KEDUDUKAN OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGGUGAT
LEGAL STANDING PERLINDUNGAN KONSUMEN LEMBAGA JASA
KEUANGAN DI INDONESIA
Dyah Ayu Qori Fauziah dan Nur Fadlilah Yunita Sari
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Penggugat Legal Standing dalam proses berperkara di
Pengadilan. Peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif yang
menganalis permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peneliti
menggunakan sumber data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknis analisis data/bahan hukum
didasarkan pada penerapan prinsip/asas hukum Legal Standing terkait
permasalahan penelitian.
Perlindungan konsumen merupakan bagian dari upaya perlindungan
hukum. Dalam penulisan ini konsumen yang dimaksud adalah konsumen
pengguna jasa keuangan. Implementasi perlindungan konsumen bisa dilakukan
sebelum maupun sesudah adanya sengketa dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan
(PUJK). Pembuatan peraturan perundang-undangan dalam lingkup Usaha Jasa
Keuangan haruslah mengakomodir ketentuan-ketentuan perlindungan konsumen.
Ketika terjadi sengketa antara Konsumen dengan PUJK maka, peraturan
perundang-undangan tersebut diterapkan untuk memberikan proses penyelesaian
sengketa yang adil. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
upaya perlindungan konsumen, yaitu melalui pengajuan gugatan Legal Standing.
Dasar hukum gugatan Legal Standing Konsumen di Indonesia berada dalam
peraturan yang terpisah-pisah yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Kata Kunci : Gugatan, Legal Standing, Otoritas Jasa Keuangan, Konsumen.
Abstract
This study aims to analyze the position of the Financial Services Authority
(OJK) as a Plaintiff Legal Standing in the process of litigating in court.
Researchers used a method that analyzes the normative legal research problems
based on legislation. Researchers used secondary data sources such as primary
legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Technical
analysis of the data /materials based on the application of the principles of Legal
Standing related research problems.
Consumer protection is part of the legal protection. In this paper the
consumers means consumers of financial services. Implementation of consumer
1
protection can be done before or after a dispute with the Financial Services
(PUJK). Rules making within the scope of the Financial Services Businesses must
accommodate consumer protection provisions. When there is a dispute between
the Consumer with PUJK then, the rules are implemented to provide a fair dispute
resolution process. The Act No. 21 Tahun 2011 on the Financial Services
Authority (OJK) authorizes the Financial Services Authority (OJK) in the
protection of consumers , through a lawsuit namely Legal Standing. The legal
basis for the lawsuit Legal Standing Consumers in Indonesia are in separate
legislation, there are The Act No. 21 Tahun 2011 on Financial Services Authority
(OJK) and The Act No. 8 Tahun 1999 on Consumer Protection.
Keywords : Lawsuit, Legal Standing, Financial Services Authority (OJK),
Consumer
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan konsumen merupakan hal yang cukup baru dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adanya perlindungan konsumen
adalah karena kedudukan konsumen dalam posisi yang tidak seimbang ketika
berhadapan dengan PUJK. Perlindungan konsumen harus diberikan oleh
Pemerintah dalam keadaan terjadi sengketa maupun tidak terjadi sengketa.
Ada kalanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh PUJK dapat
berdampak pada beberapa bahkan ribuan konsumen. Perbuatan PUJK tidak
hanya disebabkan kelalaian saja tetapi juga sengaja untuk melakukan
perbuatan melawan hukum, maka jelas yang dirugikan juga adalah orang
banyak. Misalnya sebuah bank yang bertindak sebagai agen produk investasi
diketahui bahwa produk investasi tersebut tidak mendapat izin dari OJK.
Produk investasi tersebut telah telah digunakan oleh ratusan nasabah. Apabila
tidak segera dilakukan penyelidikan dan penangan, maka dampaknya akan
lebih banyak lagi masyarakat yang tertipu. Biasanya kasus-kasus tersebut
lebih sering masuk ke ranah penipuan dalam hukum pidana, tetapi juga bisa
dilakukan gugatan perdata apabila konsumen yang jumlahnya ratusan tersebut
mengalami kerugian. Gugatan perdata tersebut didasarkan atas perbuatan
melawan hukum PUJK dan kerugian materiil yang diderita oleh konsumen.
Sengketa yang terjadi antara PUJK dengan konsumen yang berjumlah
banyak disebut juga kerugian berdampak massal atau mass injury.
Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui lembaga peradilan
2
atau di luar lembaga peradilan (Alternatif Penyelesaian Sengketa)
berdasarkan pilihan sukarela di antara pihak yang bersengketa. Persoalan
yang perlu diperhatikan adalah pertama bagaimana cara menuntut
pertanggungjawaban PUJK melalui lembaga peradilan apabila jumlah
konsumen banyak, sedangkan konsumen yang banyak tersebut tidak
memungkinkan untuk mengajukan gugatan masing-masing. Persoalan kedua
adalah apabila hal demikian terjadi akan menyebabkan penumpukan kasus
dan lamanya proses penyelesaian sengketa di peradilan. Sejalan dengan hal
tersebut, sebenarnya telah diatur mengenai proses berperkara di lembaga
peradilan bahwasannya proses peradilan haruslah menerapkan asas peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang
No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Realitas tersebut mendorong munculnya gugatan perwakilan kelompok
yang dalam praktek biasa disebut gugatan Class Action. Selain itu ada upaya
hukum yang juga dimungkinkan yaitu dengan adanya gugatan Legal Standing
yaitu hak gugatan LSM/NGO atau organisasi masyarakat yang bergerak
dalam bidang tertentu untuk mengajukan gugatan. Dasar alasan mereka
mengajukan gugatan sebenarnya lebih condong pada kepedulian atas bidang
yang menjadi fokus gerakan. Misalnya, Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM), Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi
Indonesia (YLKAI), dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Organisasiorganisasi tersebut (Non Goverment Organization/NGO) dalam mengajukan
gugatan Legal Standing para LSM/NGO sebenarnya secara langsung tidak
merasakan imbasnya. Hal inilah yang menjadi pembeda sebab dalam gugatan
Class Action, yang melakukan gugatan adalah salah seorang dari korban yang
mewakili kelompoknya untuk mengajukan gugatan.
Keberadan gugatan Legal Standing, mulai mendapat perhatian di
Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan
sudah memasukkan aturan mengenai gugatan Legal Standing, yakni di dalam
Pasal 90 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
3
tentang Perlindungan Konsumen; dan Pasal 30 Undang-Undang-Undang No.
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Gugatan
Legal
Standing
akan
senantiasa
berkaitan
dengan
perkembangan hukum acara perdata. Latar belakang penerapan gugatan Legal
Standing ini setidak‐tidaknya didasarkan pada dua hal :
1.
Faktor Kepentingan Masyarakat Luas.
Kasus-kasus perlindungan konsumen adalah kasus‐kasus publik yang
menyangkut kepentingan masyarakat luas, dengan kasus ini akhirnya
mendorong diaturnya
gugatan
Legal
Standing
dalam
peraturan
perundang-undangan. Bahwa selain untuk kepentingan masyarakat
organisasi ini efektif dalam mendorong dan merubah sikap serta perilaku
birokrasi dan kalangan pelaku usaha melalui tekanan‐tekanan (pressures)
yang dilakukan. Salah satu tekanan yang dapat dilakukan dalam kerangka
negara hukum (rule of law) adalah melalui gugatan di Pengadilan.
2.
Faktor Kedudukan Konsumen dan PUJK yang tidak seimbang.
Kedudukan antara PUJK dengan konsumen semestinya setara atau
seimbang. Namun kenyataannya pihak konsumen ada dalam posisi yang
lemah di hadapan PUJK. Hal tersebut di karenakan ketidaktahuan
konsumen dan ketiadaan daya tawar konsumen (bargaining position).
Oleh karena itu atas dasar ketidak-seimbangan kedudukan antara
konsumen dan PUJK, keberadaan gugatan Legal Standing sangat
diperlukan untuk menjamin dan membuka peluang untuk memperoleh
keadilan bagi pihak konsumen sebagai pihak yang lemah.
Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah mengenai kedudukan
lembaga/institusi baru di Indonesia yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasalnya, lembaga yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga jasa
keuangan di Indonesia tersebut, mempunyai kewenangan untuk mengajukan
gugatan Legal Standing dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan. Permasalahannya adalah bahwa Otoritas Jasa
Keuangan, bukanlah LSM/NGO di bidang konsumen, sehingga penulis
tertarik untuk memberikan analisis mengenai kedudukan OJK sebagai
4
Penggugat yang mewakili kepentingan konsumen jasa keuangan yang
dirugikan.
B. Gugatan Legal Standing dalam Hukum Acara Perdata Indonesia
Sebelum melakukan analisis kedudukan OJK dalam menggugat Legal
Standing, Penulis memberikan beberapa contoh kasus gugatan konsumen
terhadap PUJK di Indonesia yang dilakukan melalui peradilan umum:
1. Gugatan Individual.
Nasabah Ratna Dewi mengajukan gugatan perdata terhadap BRI ke
PN Jakarta Selatan dengan Nomor Perkara: 187/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel.
Permohonan gugatan perdata Ratna Dewi dikabulkan Hakim Ketua
Majelis Suprapto berdasarkan salinan putusan Nomor 156/Sal/Put/2013
tertanggal 25 September 2013. Dalam salinan putusan ini, hakim majelis
menghukum tergugat I, Direktur Utama PT BRI (Persero) Tbk dan
tergugat II, Pimpinan Wilayah BRI/Kantor Wilayah 2 Jakarta, karena
melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi
Ratna Dewi sebagai nasabah.
2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).
15
warga
DKI
Jakarta
menggugat
Presiden
Megawati
Soekarnoputri, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan Gubernur Jabar R
Nuriana atas peristiwa banjir yang terjadi pada akhir Januari hingga awal
Februari 2002 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13 Maret
2002 dengan Nomor Perkara: 83/PDT.G/2002.PN.JKT.PST. dalam
putusan ini hakim menolak gugatan 15 orang warga dan menyatakan
bahwa perbuatan tergugat tidak memenuhi kriteria perbuatan melawan
hukum (Onrechtmategheid daad) sehingga tidak memenuhi syarat
gugatan Class Action.
3. Gugatan Legal Standing
Hak Gugat (Legal standing) Lembaga Perlindungan Konsumen
Nasional Indonesia (LPKNI) yang mewakili kepentingan konsumen di
Indonesia melalui Putusan Pengadilan Negeri Wonosari Nomor
5
12/Pdt.G/2013/PN.WNS. tanggal 31 Oktober 2013, dalam perkara antara
LPKNI melawan PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Pusat
Jakarta cq. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Kantor Cabang
Wonosari Gunungkidul. Dalam putusan tersebut PN. Wonosari
mengabulkan eksepsi Bank BRI dan menyatakan gugatan LPKNI tidak
dapat diterima.
4. Gugatan Pemerintah
Kasus gugatan perdata kejagung mewakili pemerintah kepada
pemegang saham pengendali dan pengurus BPR Tripanca Setiadana
Lampung. LPS telah melikuidasi dan mengeluarkan dana Rp 347 miliar
untuk mengganti dana nasabah. Terhadap permohonan tersebut,
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
memberikan
putusan
Nomor
05/Gugatan
Lain-lain/2011/PN
Niaga.Jkt.Pst, tanggal 12 September 2011, pemegang saham pengendali
dan pengurus divonis bersalah dan dijatuhi hukuman.
Penulis membatasi analisis yaitu dalam hal gugatan konsumen melalui
mekanisme gugatan Legal Standing. Gugatan Legal Standing seringkali
disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi). Standing secara luas
dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di
pengadilan sebagai Pihak Penggugat (Mas Achmad Santosa dkk, 1997: 53).
Legal standing, Standing to Sue, Ius Standi, dapat diartikan sebagai hak
seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan
sebagai penggugat dalam proses gugatan perdata (Civil Proceding) (Proyek
Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1998:
75).
Menurut Black’s Law Dictionary Standing dijelaskan sebagai berikut:
“A party's right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a
duty or right” To have standing in federal court, a plaintiff must show
(1) that the challenged conduct has caused the plaintiff actual injury,
and (2) that the interest sought to be protected is within the zone of
interests meant to be regulated by the statutory or constitutional
6
guarantee in question. Also termed standing to sue (Bryan A. Garner,
2009: 1536).
Mas Achmad Santosa sebagaimana dikutip oleh Erna Herlinda,
menjelaskan mengenai Legal Standing sebagai berikut:
Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada
gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action).
Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah
kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest)
atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara
langsung (injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat
konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan
perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak
(public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau
organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki
kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu
kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas
pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan
konsumen, hak-hak sipil dan politik (Erna Herlinda, 2004: 4).
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan antara
pengertian gugatan perwakilan kelompok (Class Action) dan konsep gugatan
Legal Standing. Sesungguhnya gugatan Class Action dan Legal Standing
memiliki perbedaan. Class Action terdiri dari unsur wakil kelas yang
berjumlah satu orang atau lebih (Class Representative) dan anggota kelas
yang pada umumnya berjumlah besar (Class Members). Baik wakil kelas
maupun anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang
mengalami kerugian nyata. Sedangkan dalam konsep gugatan Legal standing,
LSM/NGO/Pemerintah sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang
mengalami kerugian nyata, namun karena kepentingannya ia mengajukan
gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan konsumen, Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) sebagai penggugat
mewakili kepentingan konsumen yang perlu diperjuangkan karena posisi
konsumen yang lemah.
Perbedaan selanjutnya adalah terletak pada pihak yang dapat
mengajukan gugatan. Dalam gugatan Class Action penggugat adalah orang
perorangan atau beberapa orang atau kelompok orang yang mewakili
7
beberapa orang dalam jumlah yang banyak. Sedangkan penggugat Legal
Standing hanyalah LSM/NGO yang memenuhi syarat-syarat maupun
instansi/lembaga pemerintah terkait. Perbedaan lainnya adalah tuntutan ganti
rugi dalam gugatan Class Action pada umumnya adalah berupa ganti rugi
berupa uang, sedangkan dalam gugatan Legal Standing tidak dikenal tuntutan
ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas
pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut.
Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai gugatan Legal
Standing sebagi berikut:
Legal Standing adalah hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan untuk mengajukan gugatan
menyangkut kepentingan umum. Hak gugat ini disebut juga Group
Actie atau Group Action yang berkembang di Belanda dan Amerika
Serikat. LSM atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan bukan pihak
secara langsung mengalami kerugian nyata (Concrete Injured Parties)
Oleh karena dalam praktek dapat mendalilkan kerugian atas
kepentingan perlindungan yang diembannya (Darwan Prinst, 2002: 30).
Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas dan
rinci mengenai pengertian gugatan Legal Standing. Beberapa perundangundangan memberikan istilah gugatan Legal Standing secara berbeda-beda.
Gugatan Legal Standing dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak
Gugat Organisasi Lingkungan, Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dikenal sebagai gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah. Tidak semua
organisasi atau LSM yang dapat mengajukan hak gugat LSM (Legal
Standing). Pasal 46 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen memberikan persyaratan organisasi/NGO
yang dapat mengajukan gugatan Legal Standing, yaitu :
1.
Berbentuk badan hukum atau yayasan;
8
2.
Dalam anggaran dasar organisasi perlindungan konsumen yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen;
3.
Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Berikut prosedur pengajuan dan beracara gugatan Legal Standing:
1.
Prosedur Pengajuan gugatan Legal Standing
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran
pelaku usaha dapat dilakukan oleh :
a.
seorang
konsumen
yang
dirugikan
atau
ahli
waris
yang
bersangkutan;
b.
kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.
lembaga
perlindungan
konsumen
swadaya
masyarakat
yan
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya
organisasi
tersebut
adalah
untuk
kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
d.
pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Dalam mengajukan suatu gugatan ini tentunya haruslah secara
tertulis yang ditujukan kepada Ketua Pegadilan Negeri di wilayah hukum
tergugat dan kemudian gugatan ini daftarkan di Kepaniteraan Perdata
(PN) untuk mendapatkan nomor register perkara. Namun sebelum itu
penggugat haruslah menyetor sejumlah uang perkara (besarnya
tergantung jumlah Tergugat) dan apabila dalam mengajukan gugatan ini
diberikan kuasa kepada seorang/beberapa advokat tentunya harus
dibarengi dengan surat kuasa untuk mewakili kepentingan Penggugat di
Pengadilan (Elsam, 2007, dapat di akses di (http://elsam.or.id/).
9
Sebelum penyusunan surat gugatan hendaknya dipertimbangkan
beberapa hal (Yusuf Shofie, 2003: 309-310) :
a. Menggali fakta-fakta dari konsumen, termasuk siapa saja dari
produsen yang terlibat dalam sengketa tersebut;
b. Mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk suratsurat dan saksi-saksi;
c. Menggali sejauh mungkin hal-hal apa saja yang sudah dilakukan
konsumen;
d. Menyangkut kompetensi/kewenangan mengadili secara absolut
maupun kewenangan mengadili secara relatif.
Setelah gugatan didaftarkan dan mendapatkan nomor register
perkara maka Pengadilan akan mempelajari kelengkapan dari gugatan
tersebut, setelah itu Ketua PN akan membuatkan suatu penetapan majelis
hakim dalam gugatan ini yang terdiri 3 hakim ( satu ketua majelis dan
dua anggota majelis) dengan didampingi satu (1) orang panitera penganti.
Dalam rentang waktu yang cukup dengan melihat jadwal di pengadilan
maka kemudian pengadilan menetapkan hari sidang yang kemudian
memanggil
pihak‐pihak (Penggugat
dan Tergugat) untuk hadir
sebagaimana jadwal yang telah ditetapkan (Elsam, 2007, dapat di akses
di (http://elsam.or.id/).
2.
Beracara Legal Standing
Bagimana beracara dalam legal standing ini tentunya mengacu
pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia. Pasal 46 ayat (2)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menegaskan bahwa gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
diajukan kepada peradilan umum.
Syarat-syarat surat gugatan tidak ditentukan secara limitatif dalam
ketentuan hukum acara perdata (HIR/RBg). Dalam praktek berkembang
setidaknya surat gugatan memenuhi beberapa persyaratan berikut ini
(Yusuf Shofie, 2003: 311-312) :
10
a.
Syarat formal, meliputi :
1) Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan;
2) Pembubuhan materai sebesar Rp6000,00 (enam ribu rupiah);
3) Tanda tangan penggugat sendiri atau kuasa hukumnya.
b.
Syarat substansial/material, meliputi :
1) Identitas penggugat/para penggugat dan tergugat/para tergugat;
2) Posita/fundamentum petendi (dalil-dalil konkret/alasan-alasan
yang menunjukan perikatan berdasarkan perjanjian atau
perbuatan melawan hukum guna mengajukan tuntutan);
3) Petitum (hal-hal yang dimohonkan penggugat/para penggugat
untuk diputuskan oleh hakim/pengadilan).
Proses pertama yang dilakukan oleh majelis hakim dalam
persidangan ini adalah mencoba memeriksa kelengkapan administrasi
baik itu penggugat maupun tergugat berkenaan dengan surat kuasa
maupun surat ijin (advokat) serta melakukan pengecekan secara cermat
apa semua penggugat (kuasanya) dan Tergugat (kuasanya)sudah hadir
pada persidangan, jika belum lengkap maka majelis hakim akan menunda
sidang untuk memangil kembali seluruh pihak termasuk yang tidak hadir
dipanggil kembali untuk menghadap pada hari dan waktu yang
ditetapkan dalam persidangan pertama. Jika pada sidang kedua hal yang
sama berlaku maka persidangan ditunda kembali, baru pada pemanggilan
ketiga ada para pihak tidak hadir maka proses persidangan dilanjutkan
(sudah dipanggil secara patut) (Elsam, 2007, dapat di akses di
(http://elsam.or.id/).
a.
Penetapan
Setelah pemanggilan secara patut telah dilakukan maka
persidangan dilanjutkan dengan hakim meminta bukti‐bukti dari
penggugat berkenaan dengan Anggaran Dasar dan dokumen
pendukung seperti yurisprudensi maupun penetapan maupun putusan
yang pernah diajukan oleh Pengugat. Setelah menyerahkan bukti
tersebut maka majelis hakim mencoba mempelajari untuk melihat
11
apakah penggugat mempunyai kompetensi melakukan hak gugat,
dan pembuktian dilakukan oleh hakim dengan merujuk pada
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 46 dengan melihat gugatan apabila memenuhi persyaratan
(Elsam, 2007, dapat di akses di (http://elsam.or.id/) :
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau
yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf
d diajukan kepada peradilan umum.
Maka apabila dalam penetapannya majelis hakim berpendapat
bahwa penggugat mempunyai hak gugat organisasi maka sidang
dilanjutkan.
b.
Perdamaian
Dalam penyelesaian suatu kasus putusan pengadilan bukan
hanyalah salah satu cara dalam penyelesaian perselisian untuk itu
pada proses ini kedua ini hakim memberikan waktu kepada para
12
pihak untuk melakukan perdamaian (Elsam, 2007, dapat di akses di
(http://elsam.or.id/).
c.
Pembacaan Gugatan (eksepsi, replik dan duplik)
Rentang waktu yang cukup untuk melakukan perundingan antar
para pihak jika tidak ditemukan kata sepakat dan atau penyelesaian
dengan perdamaian maka pada sidang ini diberikan waktu kepada
penggugat untuk membacakan gugatannya dipersidangan. Pada
proses ini tergugat akan diberikan waktu untuk memberikan
jawaban, kemudian Penggugat juga menanggapi dengan replik atas
jawaban tergugat serta tergugat menanggapi replik dengan duplik
(Elsam, 2007, dapat di akses di (http://elsam.or.id/).
d.
Putusan Sela
Dari hasil jawab‐menjawab secara tertulis yang dilakukan oleh
para pihak (penggugat dan tergugat) maka hakim membuat putusan
sela, yaitu dengan melihat dalil‐dalil yang disampaikan para pihak
dan tentunya dengan landasam hukum yang menjadi pijakan hakim
selain dari pengetahuanya. Maka apabila putusan selah apa yang
didalilkan tergugat diterima maka persidangan dihentikan dan jika
sebaliknya maka proses akan dilanjutkan (Elsam, 2007, dapat di
akses di (http://elsam.or.id/).
e.
Pemeriksaan alat bukti : bukti surat, saksi‐saksi, saksi ahli, dll.
Pada
fase
ini
tentunya
diberikan
pertama
kali
untuk
membuktikan dalil‐dalilnya adalah pada penggugat yaitu dengan
mengajukan bukti surat‐surat yang mendukung dalil‐dalil dalam
gugatan, kemudian selanjutnya dibebankan pada tergugat melakukan
hal yang sama untuk melemahkan dalil‐dalil tergugat. (saksi‐saksi.
Saksi ahli didahulukan penggugat) (Elsam, 2007, dapat di akses di
(http://elsam.or.id/).
f.
Kesimpulan
13
Setelah proses pembuktian selesai maka para pihak membuat
sautu kesimpulan secara tertulis, kesimpulan ini diambil dari dalil,
bukti surat maupun keterangan saksi/ahli dengan satu kesimpulan
yang mendukung dalil‐dalil (penggugat/tergugat) (Elsam, 2007,
dapat di akses di (http://elsam.or.id/).
g.
Putusan
Setelah diberikan waktu yang cukup untuk majelis hakim
mempelajari seluruh materi dalam proses persidangan maka
selanjutnya hakim akan membuat suatu putusan atas perkara yang
diajukan oleh penggugat, putusan tersebut dengan dilakukan dengan
membuat seluruh uraian (gugatan, jawaban, replik, duplik, bukti
surat, saksi/ahli) dan akhirnya membuat pertimbangan hukum,
dengan pertimbangan hukum ini apakah dalam putusannya
menetapkan menerima seluruhnya sebagian ataupun menolak
dalil‐dalil
pengugat
(Elsam,
2007,
dapat
di
akses
di
(http://elsam.or.id/).
C. Otoritas
Jasa
Keuangan
Sebagai
Penggugat
Legal
Standing
Perlindungan Konsumen.
Mengajukan gugatan perdata di pengadilan memang dapat diajukan
secara Legal Standing. Gugatan ini menarik untuk diteliti karena hukum
positif yang berlaku (tertulis) belum mengatur mengenai secara khusus
mengenai gugatan Legal Standing.
Maruarar Siahaan mengemukakkan
pendapatnya sebagai berikut:
Standing atau personae standi in judicio adalah hak atau kedudukan
hukum untuk mengajukan gugatan atau permohonan di depan
pengadilan (standing to sue), yaitu bahwa pihak tersebut mempunyai
kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut
untuk mendapatkan keputusan pengadilan (Maruarar Siahaan, 2006:
94).
14
Dalam yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus
dipenuhi untuk mempunyai standing to sue (Maruarar Siahaan, 2006: 81),
yaitu :
1.
Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan
pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat:
2.
a.
spesifikasi atau khusus, dan
b.
aktual dalam satu kontroversi dan bukan hanya bersifat potensial;
Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara kerugian
dengan berlakunya satu undang-undang;
3.
Kemungkinan dengan diberikannya keputusan yang diharapkan, maka
kerugian akan dihindarkan atau dipulihkan.
Persyaratan gugatan Legal Standing sebagaimana diatur dalam
konstitusi Amerika Serikat, berbeda dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Pengaturan tentang gugatan Legal Standing di Indonesia tersebar
dalam berbagai ketentuan hukum. Nur Syamsiati D, menyatakan bahwa
intinya gugatan Legal Standing atau kedudukan hukum merupakan penentu
apakah seseorang yang berperkara merupakan subyek hukum yang telah
memenuhi syarat menrut undang-undang untuk mengajukan perkara di muka
pengadilan dalam perkara sebagaimana undang-undang tersebut mengatur
(Nur Syamsiati D, 2009: 44).
Dalam bidang perlindungan konsumen, Indonesia memiliki UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mencakup
perilaku konsumen dan pelaku usaha secara lebih luas. Khusus untuk
pelindungan konsumen lembaga jasa keuangan yaitu Perbankan, Pasar
Modal, Lembaga Pembiayaan, Asuransi, Dana Pensiun, dan lembaga jasa
keuangan lainnya, menggunakan Undang-Undang yang bersifat lebih khusus
(lex specialis derogat lex generali) yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan mengatur kewenangan OJK untuk mengajukan
gugatan dengan tujuan sebagai berikut :
15
1.
untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan
dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah
penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di
bawah penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik; dan/atau
2.
untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan
kerugian pada Konsumen dan/atau Lembaga Jasa Keuangan sebagai
akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Dengan adanya pasal tersebut mengatur mengenai kedudukan OJK
dalam mengajukan gugatan Legal Standing di Pengadilan untuk melindungi
kepentingan konsumen. Permasalahan dan analisis mengenai kedudukan OJK
sebagai pihak penggugat Legal Standing dapat diuraikan penulis sebagai
berikut :
1.
Gugatan Legal Standing secara konseptual dan teoritis adalah hak gugat
Organisasi/LSM non-pemerintah, sedangkan OJK merupakan lembaga
independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
kedudukan OJK dapat dilihat berdasarkan Undang-Undang No. 8 tentang
Perlindungan Konsumen, dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d, menyebutkan
bahwa “Pemerintah dan/atau instasi terkait apabila barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau dimasyarakatkan mengakibatkan kerugian materi
yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit dapat mengajukan gugatan
ke Pengadilan.” Penjelasan ketentuan tersebut yaitu bahwa tolok ukur
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang
dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen. OJK merupakan
lembaga/instansi terkait Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) di
Indonesia. OJK merupakan otoritas yang bertanggung jawab atas
pengaturan dan pengawasan PUJK yang meliputi, Perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan, Pengelolaan Dana Pensiun,
dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
16
2.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 46 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 30 UndangUndang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak
mensyaratkan secara rigid mengenai jumlah konsumen yang dirugikan.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah bisa beberapa konsumen ataupun
masyarakat luas. Ketentuan-ketentuan tersebut justru lebih condong
kepada besarnya kerugian materiil yang diderita konsumen. Hal inilah
yang membedakan dengan mekanisme gugatan Class Action yang harus
terdapat Class Member dalam jumlah banyak.
3.
Dalam gugatan Legal Standing LSM/NGO tidak dapat menggugat berupa
ganti kerugian berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah
dikeluarkan
organisasi
dipermasalahkannya
dan
untuk
penanggulangannya
tuntutannya
hanya
berupa
objek
yang
permintaan
pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat
deklaratif. Mencermati ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 21
tentang Otoritas Jasa Keuangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
OJK sebagai Penggugat dapat mencatumkan dalam gugatannya
permintaan ganti rugi kepada PUJK yang menjadi Tergugat. Namun,
ganti rugi yang nantinya diperoleh setelah adanya Putusan Pengadilan
adalah sepenuhnya untuk dikembalikan dan didistribusikan kepada
konsumen yang dirugikan.
Sri Rahayu Widodo menjelaskan bahwa untuk mandat pengajuan
gugatan atas inisiatif OJK itu adalah sifatnya Legal Standing. OJK akan
membuat aturan internal untuk mengeksekusi mandat Pasal 30 UndangUndang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Jadi tidak
berbentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur industri
(Hukum Online, 2013, dalam http://www.hukumonline.com). Aturan internal
mengenai legal standing OJK dalam rangka pembelaan hukum kepada
konsumen direncanakan akan lebih ke arah Standart Operational Procedure
(SOP) dari OJK.
17
Gugatan Legal Standing Konsumen yang menggunakan kualifikasi
perbuatan melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan.
Dengan kualifikasi gugatan ini, OJK sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur sebagai berikut (Yusuf Shofie, 2003: 253) :
1.
Adanya perbuatan melawan hukum;
2.
Adanya kesalahan/kelalaian pengusaha /perusahaan;
3.
Adanya kerugian yang dialami konsumen;
4.
Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan
kerugian yang dialami konsumen.
Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang bersifat lebih umum dan luas, selain konsumen sendiri,
gugatan bisa diajukan melalui kelompok konsumen (Class Action), lembaga
perlindungan konsumen hingga instansi pemerintah. Lembaga perlindungan
konsumen yang berbentuk LSM/NGO dan instansi pemerintah inilah yang
memerlukan kedudukan hukum (Legal Standing) untuk mengajukan gugatan
perdata ke Pengadilan. OJK sebagai lembaga independen melakukan
tindakan-tindakan perlindungan konsumen dengan dasar hukum setingkat
Undang-Undang jelas menunjukkan kedudukan hukumnya. Karena OJK
sebagai pihak yang mewakili konsumen melakukan gugatan, baik
berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan maupun berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen mensyaratkan harus konsumen dalam jumlah
banyak dan kerugian yang besar.
Implementasi Legal Standing dalam proses peradilan di Indonesia
sekarang masih sering dihadapkan pada kendala prosedural. Peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya masih sebatas hukum materiil,
sedangkan dalam hukum formalnya (hukum acara perdata) belum diatur
secara jelas. Namun, hal tesrsebut bukan merupakan halangan bagi hakim
untuk memberikan putusan yang adil. Hakim dapat melakukan penemuan
hukum (rechtsvinding) sehingga eksistensi gugatan legal standing dapat
diakui dan diterima dalam praktik peradilan di Indonesia.
18
D. Simpulan
1.
Gugatan Legal Standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara
perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat
yang memenuhi syarat. Gugatan Legal Standing berdasarkan adanya
suatu tindakan atau perbuatan PUJK yang telah menimbulkan kerugian
bagi konsumen. Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat
mengajukan gugatan Legal Standing. Untuk bidang perlindungan
konsumen menyebutkan bahwa hanya organisasi perlindungan konsumen
yang memenuhi beberapa persyaratan yang dapat mengajukan gugatan
Legal Standing dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c dan d Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya
persyaratan tersebut, maka secara selektif keberadaan organisasi
perlindungan konsumen diakui memiliki ius standi untuk mengajukan
gugatan atas nama konsumen ke pengadilan.
2.
Gugatan Legal Standing selain diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen juga terdapat diatur dalam
UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dimana OJK
yang merupakan lembaga independen yang berwenang mengawasi
transaksi jasa di bidang keuangan, lembaga ini dapat mengajukan
gugatan Legal Standing kepada PUJK yang merugikan konsumen. OJK
tidak menerapkan konsep gugatan Legal Standing secara murni. Dalam
konsep gugatan Legal standing secara murni LSM/NGO tidak dapat
menggugat ganti rugi berupa uang, kecuali ganti kerugian yang telah
dikeluarkan
organisasi
untuk
penanggulangan
objek
yang
dipermasalahkan. Tuntutan LSM/NGO hanya berupa permintaan
pemulihan (remedy) atau tuntutan berupa perintah pengadilan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu (injunction) yang bersifat
deklaratif. Namun, OJK mempunyai kewenangan untuk menggugat ganti
kerugian selama hal tersebut untuk dikembalikan dan didistribusikan
kepada konsumen yang mengalami kerugian.
19
E. Saran
1. Adanya lembaga independen seperti OJK seperti ini dalam segi
fungsionalitas sangat meringankan beban pemerintah dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan dalam jasa transakasi keuangan. OJK harus
menerapakan
manajemen
tugas
yang
baik
(Good
Corporate
Governance). OJK harus didukung infrastruktur yang memadai. Selain
itu OJK harus menyediakan akses yang mudah dan terbuka untuk
masyarakat.
2. Sebaiknya Gugatan Legal Standing diatur dalam suatu peraturan hukum
acara sebagai payung hukum proses beperkara di Pengadilan. Hal
tersebut bertujuan agar ada suatu kesamaan bentuk maupun tahapantahapan yang akan dilalui dalam pengajuan dan penyelesaian gugatan
Legal Standing.
F. Daftar Pustaka
Garner, Bryan A. 2009. Black's Law Dictionary Ninth Edition. United State
of America: West Pubushing Co.
Herlinda, Erna. 2004. Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions dan Legal
Standing di Peradilan Tata Usaha Negara. Medan: Universitas
Sumatra Utara.
Hukum Online. 2013. OJK Kaji Aturan Internal Pembelaan Hukum
Konsumen.
Dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt528dde0dbcffe/ojk-kajiaturan-internal-pembelaan-hukum-konsumen. Diakses pada 28 April
2014. Pukul 17.17 wib.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2007. “Legal Standing
– Hak Gugat Organisasi Lingkungan”. Makalah disampaikan pada
Kursus HAM Pengacara 2007.
20
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 1998. Proyek Pembinaan Teknis
Yustisial Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Prinst, Darwan. 2002. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata.
Bandung: PT. Citra Aditya Bandung.
Santosa, Mas Achmad, dkk. 1997. Petunjuk Pelaksanaan Gugatan
Perwakilan. Jakarta: ICEL.
Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen
Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Siahaan, Maruarar. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Syamsiati D, Nur. 2009. Legal Standing Dewan Perwakilan Daerah dan
Ketiadaan
Norma
Dalam
Perkara
Pengujian
Undang-Undang
Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi (Studi
Kasus Putusan MK No. 10/PUU-VI/2008). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Korespondensi :
1.
Nama
: Dyah Ayu Qori Fauziah
NIM
: E0010127
Alamat
: Jl. Melati Gg. Pelem No. 1, Mlinjon, Tonggalan, Klaten
Email
: [email protected]
No. Telp : 087 734 847 492
2.
Nama
: Nur Fadlilah Yunita Sari
NIM
: E0010259
Alamat
: Wonotoro RT 04 RW 03, Catur, Sambi, Boyolali
Email
: [email protected]
No. Telp. : 085 728 411 988
21
Download