LISA KHAIRANI

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN
PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR
PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
PERIODE TAHUN 2012 – 2015
SKRIPSI
LISA KHAIRANI
1110102000048
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN
PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR
PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
PERIODE TAHUN 2012 – 2015
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
LISA KHAIRANI
1110102000048
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JULI 2016
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah basil karya saya sendiri,
Dan semua somber baik dikutip maupun dir ujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama
:
Lisa Khairani
NIM
:
1110102000048
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
iii
~
18 Juli 2016
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Lisa Khairani
Nim
: Ill 0102000048
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis
Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012- 2015
Disetujui oleh :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt
Mengetahui,
Ketua Program Studi Farmasi
FKIK UIN SyarifHidayatullah Jakarta
;U~
Dr. Nurrneilis, M.Si., Apt
iv
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama
Lisa Khairani
Nim
1110102000048
Program Studi
Farmasi
Judul Skripsi
PROFIL
PENGGUNAAN
OBA T
P ADA
PASJEN
PENY AKIT ENSEF ALITIS BERDASARKAN F AKTOR
PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA
PERIODE TAHUN 2012-2015
Telah bcrhasil dipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima
scbagai bagian pcrsyaratan yang dipcrlukan untuk mcmpcrolell gelar
Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedoktcran dan
Ilmu Kcschatan Universitas Islam Negcri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
DE,VAN PEMBIMBING DAN PENGUJI
Pcmbimbing 1
Dr. Delina Hasan, M.Kcs., Apt
Pcmbimbing 2
Ahmad Subhan, S.Si, IV1.Si., Apt
Penguji 1
Dr. M. Yanis Musdja, M.Si., Apt
Penguji 2
Yardi, Ph. D., Apt
!'
········~
···~·············
I·W.~~
.. :<J~ .............
Mcngetabui,
Ketua Program Studi Farmasi
FKJK UIAJ4:atullah Jakarta
Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt
Ditetapkan
Jakarta
Tanggal
18 Juli 2016
v
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama
: Lisa Khairani
Program Studi
: Farmasi
Judul Skripsi
: Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis
Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 - 2015
Ensefalitis merupakan peradangan yang terjadi dijaringan otak dengan faktor
penyebab tersering adalah virus. Gejala klinis yang timbul pada penderita
Ensefalitis memiliki beberapa kesamaan dengan penyakit akibat infeksi virus,
penderita Ensefalitis biasanya akan mengalami gejala seperti demam, sakit kepala,
nyeri otot, mual dan muntah. Bila penyakit terus berkembang penderita Ensefalitis
akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan obat pada pasien
penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya. Penelitian ini bersifat
Observasional dengan desain Cross Sectional terhadap rekam medik dan
dikerjakan secara Retrospektif. Subjek pada penelitian ini adalah pasien
Ensefalitis rawat inap yang menggunakan obat Ensefalitis di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta periode tahun 2012-2015.
Dari 159 data rekam medik yang berada dipoli syaraf bagian neurologi pasien
yang menderita Ensefalitis berjumlah 67 pasien (42%) yang menjalani rawat inap
di RSUP Fatmawati tahun 2012 – 2015. Dari 67 pasien Ensefalitis, ditemukan
pasien paling banyak yang menderita Ensefalitis adalah kelompok umur >5 tahun.
Penggunaan obat yang paling banyak digunakan pada pasien penderita Ensefalitis
adalah Seftriakson (45%) dan Asiklovir (40,2%). Hasil setelah melakukan
pengobatan pasien sembuh atau berobat jalan (73,1%), pasien yang meninggal
(25,4%) dan pasien yang pulang atas permintaan sendiri (1,5%).
Kata kunci : Ensefalitis, anak-anak >5 tahun, Faktor penyebab, Penggunaan Obat,
RSUP Fatmawati
vi
ABSTRACT
Name
: Lisa Khairani
Study Program
: Pharmacy
Title
: Profile of The Use Drug in Patients with Encephalitis
According to Causative Factors in RSUP Fatmawati
Jakarta Year Period 2012 – 2015.
Encephalitis is an inflammation that occurs in the brain tissue factor which the
common cause is a virus. Clinical symptoms that occur in Encephalitis patients
have some similarities with the diseases caused by viral infections. Encephalitis
patients usually experience symptoms such as fever, headache, muscle aches,
nausea and vomiting. If the disease continues evolving, encephalitis patients will
have seizures and loss of consciousness.
This study is aimed to determine the profile of drug use in patients with
encephalitis disease according to the causative factor. This study is observational
with cross sectional design toward the medical record and it is done
retrospectively. Subjects in this study were hospitalized Encephalitis patient who
use Encephalitis drugs in the General Hospital Center (RSUP) Fatmawati Jakartayear period 2012-2015.
From 159 medical records from the neurology section, there were 67 patients
(42%) suffering Encephalitis hospitalized at Fatmawati Hospital in 2012 - 2015.
From the 67 encephalitis patients, it was found that the most patients suffering
from Encephalitis is from the age group > 5 years old. The drug which are most
widely used by Encephalitis patients are Ceftriaxone (45%) and Acyclovir
(40.2%). The results after the medical treatment are patients who recover or outpatients care (73,1%), patients who died (25,4%) and patients who go home at
their own request (1,5%).
keywords : Enchephalitis, Children >5 years-old, Causative Factor, Drug Use,
RSUP Fatmawati
vii
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang teramat sangat senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya serta segala nikmat-Nya
kepada kita berupa kesehatan, pendidikan, kesempatan, serta umur sehigga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Salawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan
pengikutnya yang senantiasa setia mengikuti ajaran yang disampaikannya
sehingga menuntun umatnya untuk selalu berada dijalan yang benar hingga akhir
zaman.
Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat yang telah
ditentukan oleh Universitas Islam Negeri Jakarta pada Program Studi Farmasi
untuk memperolah gelar Sarjana Farmasi. Adapun judul skripsi ini adalah
“PROFIL
PENGGUNAAN
OBAT
PADA
PASIEN
PENYAKIT
ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI RSUP
FATMAWATI JAKARTA PERIODE TAHUN 2012 – 2015”
Selama penulisan skripsi berlangsung, penulisan menyadari bahwa skripsi
ini tidak akan rampung tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt selaku pembimbing I dan Ahmad Subhan, S.Si,
M.Si., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan banyak waktu,
pikiran dan tenaga serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Dinas Pendidikan Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa, sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
5. Ibu / Bapak dosen dan staff Akademik Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakart.
6. Seluruh staff Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta yang telah
membantu selama pengambilan data di RSUP Fatmawati.
7. Ayahanda tercinta, Drs. Hamdan Effendi dan Ibunda tercinta, Niah Laila S.Pd.I
terimakasih papa dan mama selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta,
bimbingan, dukungan dan semangat. Karena merekalah yang menumbuhkan
semangat penulis untuk menyelesaikan skipsi ini.
8. Kakak tersayang Heni Riana S.E, Rully Ikhsan Bayumi A.Md, Octa Perdana
S.Pd.I dan adikku Rahmat Shafari Abdillah yang selalu membantu baik secara
fisik maupun mental dan selalu memberikan semangat selama penulisan skripsi
ini. Serta adikku tercinta M. Syaifuddin (alm) yang telah mendahului kami
semoga ia bahagia disana disisi ALLAH SWT, Amin. Kami mencintaimu.
9. Teman satu perjuangan, teman – teman penelitian, dan teman – teman beasiswa
Sumsel. Sahabat seperjuangan Lu’luatil hayati, Isa desi, Khulfah Lativatuz,
Lukluk Khoiriyah, Shofiah Malik dan khususnya kepada Mbak Fitri Nurmayati
yang selalu memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.
Terimakasih.
10.
Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat
disebutkan namanya satu persatu.
Dengan sangat sadar penulis mengakui dalam skripsi ini masih banyak
sekali kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi ini.
Jakarta, 18 Juli 2016
Penulis
ix
HALAMAN PERNYA T AAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Sebagai
civitas akademik
Universitas Islam Negeri
(UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Iama
Lisa Khairani
NIM
1110102000048
Program Studi
Farmasi
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya meyetujui skripsi/karya ilmiah
saya dengan judul :
PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT
ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI
RSVP FATMAWATIJAKARTA PERIOE TAHUN 2012-2015
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media digital lain yaitu
Digital Library perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk kepentingan akademik scbatas sesuai dengan Undang-Undang Hak
Cipta.
Demikian pemyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat
dengan sebenarnya.
Dibuat di
Jakarta
Pada Tanggal
18 Juli 2016
Yang menyatakan,
bt-
(Lisa Khairani)
X
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................
ABSTRAK .............................................................................................
ABSTRACT ...........................................................................................
KATA PENGANTAR ...........................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......
DAFTAR ISI .........................................................................................
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
DAFTAR TABEL .................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
DAFTAR ISTILAH ..............................................................................
iii
iv
v
vi
vii
viii
x
xi
xiv
xv
xvi
xvii
BAB 1 PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1 Latar Belakang ......................................................................
1.2 Rumusan Masalah .................................................................
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................
1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................
1.4.1 Tujuan Umum .............................................................
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .....................................................
1
2
3
3
3
3
4
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
5
2.1 Ensefalitis ..............................................................................
2.1.1 Pengertian Ensefalitis ..................................................
2.2 Etiologi ..................................................................................
2.3 Klasifikasi .............................................................................
2.3.1 Klasifikasi Ensefalitis ................................................
2.4 Patofisiologi ..........................................................................
2.5 Manifestasi Klinis .................................................................
2.6 Pemeriksaan Penunjang .......................................................
2.6.1 Diagnosis .....................................................................
2.6.2 Diagnosis Banding ......................................................
2.7 Penatalaksanaan ...................................................................
2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis ...............................................
2.8.1 Obat Ensefalitis Bakteri ..............................................
2.8.1.1 Golongan Sefalosporin ...................................
2.8.1.2 Golongan Aminoglikosida ..............................
2.8.1.3 Golongan Penisilin Spektrum Luas ................
xi
5
5
5
5
5
8
9
9
10
12
12
19
19
19
22
23
2.8.1.4 Golongan Beta Laktam Lainnya......................
2.8.1.5 Kloramfenikol .................................................
2.8.2 Obat Ensefalitis Virus ................................................
2.8.2.1 Golongan Antiviral .........................................
2.8.3 Obat Ensealitis Parasit ................................................
2.8.3.1 Golongan Linkosamida ..................................
2.8.3.2 Kotrimoksazol ...............................................
2.8.4 Obat Ensefalitis Jamur ................................................
2.8.4.1 Golongan Triazol ............................................
2.8.4.2 Golongan Polien .............................................
2.8.4.3 Mikonazol Nitrat ............................................
2.8.4.4 Fosfomisin Na ................................................
2.9 Gejala Sisa dan Komplikasi ................................................
2.10 Prognosis .............................................................................
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep ..................................................................
3.2 Definisi Operasional .............................................................
24
25
26
26
28
28
29
31
31
33
35
36
38
38
39
39
39
BAB 4 METODE PENELITIAN ......................................................... 40
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................
4.2 Desain Penelitian ...................................................................
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................
4.3.1 Populasi Penelitian ......................................................
4.3.2 Sampel Peneitian .........................................................
4.4 Kriteria Inklusi ......................................................................
4.5 Pengumpulan Data ................................................................
4.6 Cara Kerja .............................................................................
4.7 Rencana Analisa ....................................................................
40
40
40
40
40
40
41
41
41
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 43
5.1 Hasil ......................................................................................
5.1.1 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP
Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ...................
5.1.2 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP
Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ...................
5.1.3 Hasil Analisis Diagnosa Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati
Periode Tahun 2012 – 2015 .....................................
5.1.4 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis dibedakan
Berdasarkan Komplikasi atau Penyertanya diRSUP
Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ...................
5.1.5 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis
Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati
Periode Tahun 2012 – 2015 .....................................
xii
43
43
44
45
46
46
5.1.6 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil
Penggunaan Obat dalam Mengatasi Gejala Klinis di
RSUP Fatmwati Periode Tahun 2012 – 2015 .......... 47
5.1.7 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil
Penggunaan Obat dilihat dari Faktor Penyebab
Ensefalitis di RSUP Fatmawati Periode Tahun
2012 – 2015 ...................................
48
5.1.8 Hasil Analisis Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat
Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP
Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................... 49
5.6 Pembahasan ........................................................................... 50
5.6.1 Keterbatasan Penelitian ...............................................
5.6.2 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................
1. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Umur dan Jenis Kelamin ........................................
2. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan .............................................
3. Analisis
Diagnosa
Penyakit
Ensefalitis
Berdasarkan Gejala Klinis .....................................
4. Distribusi
Pasien
Penderita
Ensefalitis
Berdasarkan
Komplikasi
atau
Penyakit
Penyertanya ............................................................
5. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis
Komplikasi atau Penyakit Penyertanya .................
6. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien
Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis ....
7. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien
Penyakit
Ensefalitis
Berdasarkan
Faktor
Penyebabnya ..........................................................
8. Distribusi Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat
Setelah Melakukan Pengobatan ............................
50
50
50
51
52
53
54
55
56
65
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 66
6.1 Kesimpulan ........................................................................... 66
6.2 Saran ...................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 68
xiii
TABEL GAMBAR
Halaman
Gambar 5.1
Grafik Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan Pasien .............................................. 44
Gambar 5.2
Diagram Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis
Komplikasi atau Penyertanya ............................................. 46
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabel 2.8
Tabel 2.9
Tabel 2.10
Terapi Kausatif Dapat disesuaikan Dengan Etiologi
Penyebabnya .........................................................................
Ikatan Asosiasi Infeksi Amerika – US Sistem Peringkat
Pelayanan Kesehatan Masyarakat untuk Rekomendasi
Dalam Pedoman Klinis .........................................................
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Sefalosporin .........
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Aminoglikosida ...
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Penisilin Spektrum
Luas ....
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Beta Laktam
Lainnya .................................................................................
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Kloramfenikol ......
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Antiviral ...............
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Linkosamida ........
Farmakologi Obat Ensefalitis Kotrimoksazol (Trimetoprim
13
17
19
22
23
24
25
26
28
– Sulfametoksazol) ...............................................................
29
Tabel 2.11
Tabel 2.12
Tabel 2.13
Tabel 2.14
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Triazol ..................
Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Polien ...................
Farmakologi Obat Ensefalitis Mikonazol Nitrat ..................
Farmakologi Obat Ensefalitis Fosfomisin Na ......................
31
33
35
36
Tabel 5.1
Distribusi Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin .................................................................
Distribus Gejala Klinis Pada Pasien Ensefalitis di RSUP
Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................................
Distribusi Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan
Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Periode
Tahun 2012 – 2015 ...............................................................
Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Periode
Tahun 2012 – 2015 ...............................................................
Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati
Periode Tahun 2012 – 2015 ..................................................
Distribusi Kondisi Pasien Penyakit Ensfalitis Pada Saat
Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati
Periode Tahun 2012 – 2015 ..................................................
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
xv
43
45
46
47
48
49
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Diagram Persentase Jumlah Data Rekam Medik Pasien
Ensefalitis yang Menjalani Rawat Inap Terhadap Pasien
Penyakit Saraf Lainnya di RSUP Fatmawati Periode
Tahun 2012 – 2015 ............................................................. 72
Lampiran 2.
Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur
di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ..
Lampiran 3. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun
2012 – 2015 ........................................................................
Lampiran 4. Tabel Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode
Tahun 2012 – 2015 .............................................................
Lampiran 5. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala
Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 –
2015 ....................................................................................
Lampiran 6. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis dibedakan
Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di
RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ......
Lampiran 7. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Dalam Mengatasi
Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun
2012 – 2015 ...................................
Lampiran 8. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ...................................
Lampiran 9. Diagram Distibusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis
Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP
Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 .................
Lampiran 10. Form Pengambilan Data .....................................................
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta ..............
Lampiran 12. Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUP Fatmawati
Jakarta ................................................................................
xvi
72
73
73
74
74
75
76
76
77
78
79
DAFTAR ISTILAH
RSUP Fatmawati
: Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
VHS
: Virus Herpes Simpleks
EEG
: Electroencephalography
i.v
: Intra Vena
i.m
: Intra Muskular
Supp
: Suppositoria
TB Paru
: Tuberkulosis Paru
SSP
: Sistem Saraf Pusat
OAINS
: Obat Anti Inflamasi Non Steroid
WHO
: World Health Organization
xvii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis adalah suatu peradangan yang menyerang otak (radang otak)
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Ensefalitis paling sering
disebabkan oleh infeksi virus. Paparan virus dapat terjadi melalui percikan
saluran napas, kontaminasi makanan dan minuman, gigitan nyamuk, kutu, dan
serangga lainnya serta kontak kulit.1 Ensefalitis adalah penyakit dengan onset
akut, gejala dapat berkembang dengan cepat dan anak-anak yang sebelumnya
sehat menjadi lemah. Selain itu, dokter bahkan mengalami kesulitan untuk
mengetahui penyebab, terapi yang tepat dan prognosis.2 Penyebab Ensefalitis
terbanyak di Indonesia yaitu virus Japanese Ensefalitis.
Virus Japanese Ensefalitis pertama kali dikenal pada tahun 1871 di
Jepang. Diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudian
terjadi KLB besar pada tahun 1935 hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun
1946-1950.Virus Japanese Ensefalitis pertama di isolasi pada tahun 1934 dari
jaringan otak penderita Ensefalitis yang meninggal. Penyakit ini endemik di
daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Indo-China,
Thailand, Malaysia, sampai ke Indonesia serta India. Diperkirakan ada 35.000
kasus Japanese Ensefalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 2030%.3
Di Indonesia, kasus Japanese Ensefalitis pertama kali dilaporkan pada
tahun 1960 dan pertama diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972, didaerah
Bekasi. Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47
kasus Ensefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap Japanese
Ensefalitis. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa
identifikasi kasus Ensefalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004
menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantaranya secara serologis
mengarah pada kasus Japanese Ensefalitis.4
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian
pada semua umur dengan urutan ke-17 dengan persentase 0,8% setelah
malaria. Meningitis/Ensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur
dengan persentase 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis/Ensefalitis merupakan
penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga
yaitu dengan persentase 9,3% setelah diare 31,4% dan pneumoni 23,8%.
Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu
8,8% dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC)
yaitu 10,7%.5
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Fatmawati yang merawat pasien Ensefalitis. Dari 159
data rekam medik yang berada dipoli saraf bagian neurologi pasien yang
menderita Ensefalitis berjumlah 67 pasien (42%) yang menjalani rawat inap di
RSUP Fatmawati tahun 2012 – 2015. Selebihnya adalah pasien Meningitis,
Ensefalopati, Paraparese, Myelitis, Meningoensefalitis dan Infeksi Intrakranial.
Dari jumlah pasien yang dirawat di RSUP Fatmawati belum diketahui
bagaimana profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis
berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun
2012 - 2015. Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, peneliti
bermaksud untuk mengetahui penggunaan obat yang diberikan pada pasien
Ensefalitis di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Hal ini yang nantinya akan
dibahas lebih lanjut melalui judul “Profil penggunaan obat pada pasien
penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati
Jakarta periode tahun 2012 - 2015”.
1.2 Rumusan Masalah
a. Tingkat kematian untuk Ensefalitis masih relatif tinggi disebabkan
sulitnya diagnosa dan pengobatan yang lambat, sehingga tidak sedikit
pasien yang kehilangan nyawa khususnya pada anak – anak.
b. Adanya komplikasi dan penyakit penyerta pada pasien penderita
Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
c. Belum diketahui faktor penyebab penyakit Ensefalitis di RSUP
Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
d. Belum diketahui profil penggunaan obat pada pasien penyakit
Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta
periode tahun 2012 – 2015.
1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis
berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode
tahun 2012 - 2015?
1.4 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil penggunaan obat pada pasien penyakit
Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta
periode tahun 2012 – 2015.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pada pasien penyakit
Ensefalitis.
2. Untuk mengetahui gejala klinis yang paling banyak dialami pasien
penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 –
2015.
3. Untuk mengetahui faktor penyebab penyakit Ensefalitis di RSUP
Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 - 2015.
4. Untuk mengetahui penggunaan obat yang paling banyak digunakan
sebagai pengobatan untuk menangani anamnesis atau gejala klinis
pada pasien penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode
tahun 2012 – 2015.
5. Untuk mengetahui profil penggunaan obat yang paling banyak
digunakan pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor
penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 -2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.5 Manfaat Penelitian
a. Bagi RSUP Fatmawati Jakarta
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk membuat
kebijakan dalam penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis
berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai informasi bagi dokter,
apoteker dan tenaga kesehatan lainnya mengenai profil penggunaan
obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya.
c. Bagi Peneliti
Peneliti dapat memperoleh ilmu pengetahuan mengenai karakteristik,
penyebab terjadinya penyakit Ensefalitis dan profil penggunaan obat
untuk pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya serta
dapat menerapkannya di masyarakat.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Masalah penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis sangat luas,
oleh karena itu pada penelitian ini peneliti membatasi masalah penelitian hanya
pada profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan
faktor penyebabnya di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati periode tahun
2012 – 2015 dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 67 sampel yang
dikumpulkan dari bulan febuari sampai dengan maret 2016.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ensefalitis
2.1.1 Pengertian Ensefalitis
Ensefalitis menurut Mansjoer dkk adalah radang jaringan otak yang
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan protozoa.6 Sedangkan, menurut
Soedarmo dkk, Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan
syaraf pusat di medula spinalis dan meningen yang di sebabkan oleh Japanese
Ensefalitis virus yang ditularkan oleh nyamuk.7 Dari dua pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa Ensefalitis adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus dan menularkan penyakit tersebut melalui vektor nyamuk, sehingga
akan tejadi gangguan di susunan syaraf pusat.
2.2 Etiologi
Ensefalitis disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia.
Penyebab yang tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus
langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau
vaksinasi terdahulu. Ensefalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi langsung
cairan serebrospinal selama pungsi lumbal.
Berbagai jenis virus dapat menimbulkan Ensefalitis, meskipun gejala
klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui
berbagai macam Ensefalitis virus. Menurut Soedarmo dkk, bahwa virus
Ensefalitis berkembang biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan
sitoplasma seperti babi, kuda, gigitan nyamuk dan lain lain.
2.3 Klasifikasi
2.3.1 Klasifikasi Ensefalitis
Ensefalitis ini disebabkan antara lain oleh virus, bakteri, jamur,
ricketsia (masuk melalui gigitan kutu), dan parasit. Kelimanya dapat
diklasifikasi sebagai berikut :
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
1. a. Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : Staphylococcus aureus,
Streptococcus, E. Coli dan M. Tuberculosa.
- Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis : demam, kejang dan
penurunan kesadaran. Bila berkembang menjadi abses serebri akan
timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan
intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif, muntah,
penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis
tergantung pada lokasi dan luas abses.
b. Ensefalitis Sifilis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Gejala Ensefalitis sifilis terdiri
dari dua bagian :
1) Gejala-gejala neurologis, kejang-kejang yang datang dalam
serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, penurunan
kesadaran, sering dijumpai pupil Agryll- Robertson, nervus opticus
dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguanangangguan motorik yang progresif.
2) Gejala-gejala mental, timbulnya proses dimensia yang progresif,
intelgensia yang mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak
pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat
berkurang, daya pengkajian terganggu.
2. Ensefalitis Virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
A. Virus RNA
 Paramikso virus : virus yang menyebabkan parotitis, morbili
 Rabdovirus : virus rabies
 Tugavirus : virus rubella flavivirus (virus Ensefalitis Jepang B,
virus dengue)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
 Picornavirus : enterovirus (virus polio, cockscakie A dan B,
echovirus)
 Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoriab.
B. Virus DNA
 Herpes virus : herpes zoster - varisella, herpes simpleks, sitomegali
virus, virus Epstein - barr
 Poxvirus : variola, vaksinia
 Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis : Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo,
nyeri badan, nausea, penurunan kesadaran, timbul serangan kejangkejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.
3. Ensefalitis Karena Parasit
a. Malaria Serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gejalagejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma.
Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.
b. Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan
gejala- gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun.
Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista
terutama di otot dan jaringan otak.
c. Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan MeningoEnsefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah,
nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
d. Sistiserkosis
Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan.
4. Ensefalitis Karena Fungus (Jamur)
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,
Cryptococcus neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan
Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim
saraf pusat ialah Meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan
timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
5. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam,
mula-mula sukar tidur, kemudian kesadaran menurun. Gejala-gejala
neurologik menunjukan lesi yang tersebar.
2.4 Patofisiologi
Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui
kulit, saluran pernapasan dan saluluran cerna. Virus menuju sistem getah
bening dan berkembangbiak. Virus akan menyebar melalui aliran darah dan
menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah virus akan menyebar ke
sistem saraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian virus dilepaskan dan
masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia ke dua yang bersamaan
dengan penyebaran infeksi penyakit sistemik.
Setelah terjadinya viremia, vius menembus dan berkembangbiak pada
endotel vaskular dengan cara endositosis. Sehingga, dapat menembus sawan
otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat virus bekembangbiak dalam sel
dengan
cepat
pada
retikulum
endoplasma
serta
badan
golgi
yang
menghancurkan mereka. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel
neuron, ganglia dan endotel meningkat. Sehingga cairan di luar sel masuk ke
dalam dan timbullah edema sistoksik. Adanya edema dan kerusakan pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi berupa Ensefalitis. Dengan
masa prodmoral berlangsung 1-4 hari. Area otak yang terkena dapat pada
thalamus, ganglia basal, batang otak, hipotalamus dan korteks serebra.7
Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke
dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui
mulut, VHS melalui mulut atau mukosa kelamin, virus yang lain masuk ke
tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau
CMV. Virus memperbanyak diri secara lokal, terjadi viremia yang menyerang
SSP melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer
(gerakan sentripetal) misalnya VSH, rabies dan herpes zoster.
2.5 Manifestasi Klinis
Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal yang dramatis berupa
delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul kejang dan gerakangerakan abnormal. Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi
kenaikan suhu yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala
pada orang dewasa dan menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda
perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek
tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan.
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang
sama dan khas sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara
umum gejala berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan
penurunan kesadaran.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
-
Pemeriksaan cairan serobrospinal
-
Pemeriksaan darah lengkap
-
Pemeriksaan feses
-
Pemeriksaan serologik darah (VDRL, TPHA)
-
Pemeriksaan titer antibody
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
-
EEG
-
Foto thorax
-
Foto roentgen kepala
-
CT-Scan Arteriografi7
2.6.1 Diagnosis
Diagnosis pasti untuk Ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan
patologi anatomi jaringan otak. Secara praktis diagnostik dibuat berdasarkan
manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik.
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau
kronis, keluhan, kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial,
adanya gejala, fokal serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 23 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak, pemaparan dengan
nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain.
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis
dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
 Gangguan kesadaran
 Hemiparesis
 Tonus otot meninggi
 Reflek patologis positif
 Reflek fiisiologis menningkat
 Klonus
 Gangguan nervus kranialis
 Ataksia
c. Pemeriksaan laboratorium
1. Pungsi lumbal
untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan
respons terhadap pengobatan spesifik. Pada Ensefalitis virus umumnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga
beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear
mula-mula cukup bermakna. Kadar protein meningkat sedang atau
normal, kadar protein mencapai 360% pada Ensefalitis yang disebabkan
virus herpes simplek dan 55% yang disebabkan oleh toxocara canis.
Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif.
2. Darah
- Al (angka lekosit) : normal atau meninggi tergantung etiologi
- Hitung jenis : normal/dominasi sel polimorfenuklear
- Kultur : 80-90 % positif
d. Pemeriksaan pelengkap
• Isolasi virus
Virus terdapat hanya dalam darah pada infeksi dini. Biasanya timbul
sebelum munculnya gejala. Virus diisolasi dari otak dengan inokulasi
intraserebral mencit dan diidentifikasi dengan tes-tes serologik dengan
antiserum yang telah diketahui.
• Serologi
Antibodi netralisasi ditemukan dalam beberapa hari setelah timbulnya
penyakit. Dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan
titer antibodi spesifik selama infeksi diagnosis serologik menjadi sukar
bila epidemi yang disebabkan oleh salah satu anggota golongan serologik
terjadi pada daerah dimana anggota golongan lain endemik atau bila
individu yang terkena infeksi, sebelumnya pernah terkena infeksi virus
arbo yang mempunyai hubungan dekat. Dalam keadaan tersebut,
diagnostik etiologik secara pasti tidak mungkin dilakukan.
• CT scan kepala
Dapat digunakan CT scan atau MRI untuk mengevaluasi derajat
pembengkakan dan tempat nekrosis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
• EEG / Electroencephalography sering menunjukan aktivitas listrik yang
merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun, adanya kejang, koma,
tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat
menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan
kecepatan.
2.6.2 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk Ensefalitis meliputi kemungkinan meningitis
bakterial, tumor otak, abses ekstradural, abses subdural, infiltrasi neoplasma
trauma kepala pada daerah epidemik, Ensefalopati, sindrom Reye. Pada kasus
Ensefalitis supurativa diagnosa bandingnya adalah neoplasma, hematoma
subdural kronik, tuberkuloma dan hematoma intraserebri.8
2.7 Penatalaksanaan
Penderita baru dengan kemungkinan Ensefalitis harus dirawat inap
sampai menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan
adalah mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap
terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah.
Tatalaksana yang dikerjakan sebagai berikut :
1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada Ensefalitis
biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang
sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam
bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S
(tergantung umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh
anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi
dalam 3 dosis.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan
intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian
dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa
nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk.
Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.6
5. Pengobatan
Untuk pengobatan dapat dibagi menjadi 2 macam terapi : terapi kausatif dan
terapi simptomatis.
Tabel 2.1 Terapi kausatif dapat disesuaikan dengan etiologi penyebabnya diadaptasi
dari jurnal “The Management of Encephalitis : Clinical Practice Guidelines by The
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2008”
Penyebab
Nama
Rekomendasi
Virus
Herpes simplex
Asiklovir dianjurkan (A-I)
virus
Varicella-zoster
Asiklovir dianjurkan (B-III), gansiklovir dapat
virus
dijadikan alternatif (C-III); Ajuvan kortikosteroid
dapat juga dijadikan alternatif (C-III)
Cytomegalovirus
Kombinasi gansiklovir ditambah foscarnet
dianjurkan (B-III), sidofovir tidak dianjurkan,
karena kemampuannya untuk menembus
penghalang darah-otak sangat buruk
Epstein-Barr
Asiklovir tidak dianjurkan. Penggunaan
kortikosteroid mungkin bermanfaat (C-III), tetapi
potensi risiko harus dipertimbangkan
Human
Gansiklovir atau foscarnet harus digunakan pada
Herpesvirus 6
pasien immunocompromised (B-III). Penggunaan
agen ini pada pasien imunokompeten dapat
dijadikan alternatif (CIII), tetapi tidak ada data
yang baik pada efektivitas mereka
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
B virus
Valacyclovir direkomendasikan (B-III), agen
alternative gansiklovir (B-III) dan asiklovir (CIII)
Virus Influenza
Oseltamivir dapat dipertimbangkan (C-III)
Virus Campak
Ribavirin dapat dipertimbangkan (C-III);
intratekal ribavirin dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan sub-akut sclerosing
panencephalitis (C-III)
Virus Nipah
Ribavirin dapat dipertimbangkan (C-III)
West Nile Virus
Ribavirin tidak dianjurkan
Virus ensefalitis
IFN-a tidak direkomendasikan
Jepang
St. Louis
IFN-2a dapat dipetimbangkan (C-III).
ensefalitis virus
HIV
ART dianjurkan (A-II)
JC virus
Pembalikan imunosupresi (A-III) atau ART pada
pasien yang terinfeksi HIV (A-II) sangat
direkomendasikan
Bakteri
Bartonella
Kloramfenikol, siprofloksasin, doxycycline,
bacilliformis
ampisilin, atau trimetoprim-sulfametoksazol
dianjurkan (B-III)
Bartonella
Doxycycline atau azitromisin, dengan atau tanpa
henselae
rifampisin, dapat dipertimbangkan (C-III)
Listeria
Ampisilin ditambah Gentamisin
monocytogenes
direkomendasikan (A-III); trimetoprimsulfametoksazol merupakan alternative pada
pasien alergi penisilin (A-III)
Mycoplasma
Terapi antimikroba (azitromisin, doxycycline,
pneumoniae
atau fluorokuinolon) dapat dipertimbangkan
(C-III)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Mycobacteria
Tropheryma
Seftriakson, diikuti dengan baik trimetoprim-
whipplei
sulfametoksazol atau sefiksim, dianjurkan (B-III)
Mycobacterium
Terapi 4-obat anti-tuberkulosis harus dimulai
tuberculosis
(A-III), deksametason ajuvan harus ditambahkan
pada pasien dengan meningitis (B-I)
Rickettsioses
Anaplasma
dan
phagocytophilum
ehrlichiosis
Ehrlichia
Doxycycline dianjurkan (A-III)
Doxycycline dianjurkan (A-II)
chaffeensis
Rickettsia
Doxycycline dianjurkan (A-II), kloramfenikol
rickettsii
dapat dipetimbangkan sebagai alternatif dalam
memilih skenario klinis, seperti kehamilan (C-III)
Coxiella burnetii
Doxycycline ditambah fluorokuinolon dan
rifampisin dianjurkan (B-III).
Spirochetes
Jamur
Borrelia
Seftriakson, sefotaksim, atau penisilin G
burgdorferi
dianjurkan (B-II)
Treponema
penisilin G dianjurkan (A-II), seftriakson
pallidum
merupakan alternatif (B-III)
Coccidioides
Flukonazol dianjurkan (AII), alternative yaitu
spesies
itrakonazol (B-II), vorikonazol (B-III), dan
amfoterisin B (intravena dan intratekal) (C-III).
Cryptococcus
Pengobatan awal dengan amfoterisin
neoformans
deoxycholate B ditambah flucytosine (A-I) atau
formulasi lipid amfoterisin B ditambah
flucytosine (A-II) direkomendasikan
Protozoa
Histoplasma
Amfoterisin B liposomal diikuti oleh itrakonazol
capsulatum
dianjurkan (B-III)
Acanthamoeba
Trimetoprim-sulfametoksazol ditambah
rifampisin ditambah ketokonazol (C-III) atau
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
flukonazol ditambah sulfadiazine ditambah
pirimetamin (C-III) dapat dipertimbangkan
Balamuthia
Pentamidin, dikombinasikan dengan macrolide
mandrillaris
(azitromisin atau klaritromisin), flukonazol,
sulfadiazin, flusitosin, dan fenotiazin dapat
dipertimbangkan (C-III)
Naegleria fowleri
Amfoterisin B (intravena dan intratekal) dan
rifampisin, dikombinasikan dengan agen lain,
dapat dipertimbangkan (C-III).
Plasmodium
Kina, quinidine, atau artemeter dianjurkan (A-
falciparum
III), atovakuon-proguanil adalah alternatif (BIII), transfusi tukar direkomendasikan untuk
pasien dengan 110% parasitemia atau malaria
serebral (B-III) kortikosteroid tidak dianjurkan
Toxoplasma
Pirimetamin lebih baik ditambah sulfadiazin atau
gondii
klindamisin sangat dianjurkan (A-I),
Sulfametoksazol trimethoprim (B-I) dan
pirimetamin lebih baik ditambah atovakuon,
klaritromisin, azitromisin, atau dapson (B-III)
alternatif
Trypanosoma
Eflornithine dianjurkan (A-II), melarsoprol
brucei gambiense
merupakan alternatif (A-II)
Trypanosoma
Cacing
brucei rhodesiense
Melarsoprol dianjurkan (A-II)
Baylisascaris
Albendazole ditambah diethycarbamazine dapat
procyonis
dipertimbangkan (C-III), kortikosteroid
adjunctive juga harus dipertimbangkan (B-III).
Spesies
Albendazole (B-III) atau ivermectin (B-III)
Gnathostoma
dianjurkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
Taenia solium
Perlu pengobatan harus individual, albendazole
dan kortikosteroid direkomendasikan (BIII),
praziquantel dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif (C-II). Postinfectious atau status post
vaccination
Akut
kortikosteroid dosis tinggi direkomendasikan (B-
disebarluaskan
III); alternatif termasuk pertukaran plasma (B-III)
Encephalomyelitis
dan imunoglobulin intravena (CIII)9
Tabel 2.2 Ikatan asosiasi infeksi Amerika – US sistem peringkat pelayanan
kesehatan masyarakat untuk rekomendasi dalam pedoman klinis
Kategori, Tingkatan / kelas
Definisi
A
Bukti bagus dalam mendukung sebuah rekomendasi
untuk digunakan
B
Bukti sedang dalam mendukung sebuah
rekomendasi untuk digunakan
C
Bukti kurang untuk mendukung sebuah
rekomendasi
Kualitas bukti
I
Bukti ≥1 random, percobaan terkontrol
II
Bukti ≥1 percobaan klinik dirancang dengan baik,
tanpa random, dari kohort atau kasus terkontrol
studi analisis (lebih dari 1 pusat) dari kelipatan
time-series atau dari hasil eksperimen yang tidak
terkontrol.
III
Bukti dari pendapat otoritas yang dihormati,
berdasarkan eksperimen klinis dan studi deskriptif
Catatan. Adaptasi dari Kanada periodik untuk pemeriksaan secara berskala
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
Pengobatan simptomatis dapat berupa :
1. Oksigen
2. Nutrisi baik enteral maupun parenteral
3. Analgetik dan antipiretik : parasetamol 10 mg/kgBB/dosis
4. Antikonvulsi : Diazepam supp 0,5-0,75 mg/kgBB/dosis atau iv 0,30,5 mg/kgBB/dosis saat kejang. Kemudian apabila tidak berhenti
dapat diberikan loading Fenitoin 15-20 mg/kgBB dan Fenitoin
maintenance 6-8 mg/kgBB/hari.
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi
untuk mengantisipasi kebutuhan pernapasan buatan. Perawatannya,
yaitu mata : cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC
atau salep antibiotika. Cegah decubitus dengan merubah posisi
penderita tiap 2 jam. Penderita dengan gangguan menelan dan
akumulasi sekret lakukan postural drainage dan aspirasi mekanis.7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis
2.8.1 Obat Ensefalitis Bakteri
2.8.1.1 Golongan Sefalosporin
No
Nama Obat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Sefalosporin termasuk
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin
antibiotik betalaktam
seperti sefaleksin, sefradin, sefaklor dan
yang bekerja dengan cara
sefadroksil dapat diberikan per oral
menghambat sistesis
karena diabsorpsi melalui saluran
dinding sel mikroba.
cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat
Sefalosporin aktif
diberikan parenteral. Sefalotin dan
terhadap kuman gram
sefapirin umumnya diberikan secara i.v
positif dan gram negatif,
karena menimbulkan iritasi pada
tapi spektrum
pemberian i.m. Beberapa sefalosporin
antimikroba masing –
generasi ketiga misalnya moksalaktam,
masing derivate
sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson
bervariasi.
mencapai kadar tinggi dalam cairan
Serebrospinal, sehingga bermanfaat
untuk pengobatan meningitis purulenta.
Farmakologi sefalosporin mirip dengan
penisilin, ekskresi terutama melalui
ginjal dan dapat dihambat oleh
probenesid.
1
Sefotaksim
Indikasi :
Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada
pembedahan, Epiglotitis karena hemofilus.
ESO :
Diare dan colitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduanya karena
penggunaan dosis tinggi) mual dan muntah. Rasa tidak enak pada
saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus,
urtikaria, demam dan atralgia, anafilaksis, eritema, multiforme,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
nekrolisis epidermal toksis. Gangguan fungsi hati, hepatitis
sementara dan icterus kolestatis Gangguan darah : eosinophilia,
trombositopenia, leukopenia, agranulositosis, anemia aplastic,
anemia hemolitik, nefritis interstisial reversible, gangguan tidur,
hiperaktivitas, bingung, hypertonia dan pusing.
Dosis :
Pemberian injeksi i.m , iv atau infus : 1 gr tiap 12 jam, dapat
ditingkatan sampai 12 gr per hari dalam 3-4 kali pemberian (dosis
diatas 6 gr/hari diperlukan untuk infeksi pseudomonas). Neonatus :
50 mg/kg/hari dalam 2-4 kali pemberian.
Pada infeksi berat dapat ditingkatkan 150-200 mg/kg/hari.
Anak : 100-500 mg/kg/hari dalam 2-4 kali pemberian (pada infeksi
berat dapat ditingkatkan menjadi 200 m/kg/hari).
Gonore : 1gr dosis tunggal.10
2
Seftriakson
Indikasi :
Untuk infeksi berat seperti septikemia, pneumonia dan meningitis.
ESO :
Garam kalsium seftriakson kadang –kadang menimbulkan
presipitasi dikandung empedu. Tapi biasanya menghilang bila obat
dihentikan.
Dosis :
Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan
sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari.
Pemberian secara injeksi intramuskuler dalam bolus intravena atau
infus 1gr dalam dosis tunggal.
Dosis lebih dari 1gr harus diberikan 2x atau lebih.
Anak diatas 6 minggu : 20 – 50 mg/kg/hari, dapat naik sampai 80
mg/kg/hari. Diberikan dalam dosis tunggal, bila lebih dari 50
mg/kg, hanya diberikan secara infus intravena.
Gonore tanpa komplikasi : 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah
: 1gr dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal.11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
3
Sefuroksim
Indikasi :
Profilaksis tindakan bedah, lebih aktif terhadap bakteri gram
negatif. Lebih tahan terhadap penisilinase dan memiliki aktivitas
yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrhoaea.
ESO : Lihat Sefotaksim
Dosis :
Oral : untuk sebagian besar kasus termasuk infeksi saluran nafas
atas dan bawah : 250mg 2x sehari. Untuk kasus berat, dapat
ditingkatkan 2x lipat.
Parenteral : Injeksi i.m, bolus iv atau infus : 750mg tiap 6-8 jam,
pada infeksi berat : 1,5gr tiap 6-8 jam. Pemberian lebih dari 750mg
hanya boleh sacara iv.
Anak : 30-100 mg/kg/hari (rata-rata 60 mg/kg/hari) dibagi dalam 34 dosis. Injeksi i.v : tiap 8 jam anak : 200-240 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Dosis diturunkan menjadi 100mg/kg/hari atau
setelah adanya perbaikan klinis.
Neonates : 100 mg/kg/hari kemudian diturunkan menjadi
50mg/kg/hari.10
4
Seftazidim
Indikasi :
Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada
pembedahan, Epiglotitis karena hemofilus.
ESO : Lihat Sefotaksim
Dosis :
Pemberian injeksi i.m dalam i.v atau infus : 1gr tiap 8 jam, 2gr tiap
12 jam. Pada infeksi berat : 2 gram tiap 8-12 jam, pemberian lebih
dari 1gr hanya secara i.v. Usia lanjut : dosis maksimum 3 gr/hari.
Bayi sampai 2 bulan : 25-60 mg/kg/hari dalam 2x pemberian.
Diatas 2 bulan : 30-100 mg/kg/hari dibagi 2-3 kali pemberian. Pada
meningitis atau imonodefisiensi : maksimum 6 gr/hari dibagi 3x
pemberian.11
Tabel 2.3 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Sefalosporin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
2.8.1.2 Golongan Aminoglikosida
Nama Obat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan
Aminoglikosida tidak
aktif terhadap bakteria gram positif dan
diserap melalui saluran
gram negatif. Amikasin, gentamisin dan
cerna, sehingga harus
tobramisin juga aktif terhadap
diberikan secara parenteral.
Pseudomonas aeruginosa. Streptomosin
Ekskresi terutama melalui
aktif terhadap Mycobacterium
ginjal. Pada gangguan
tuberculosis dan penggunaanya sekarang
fungsi ginjal dapat terjadi
hampir terbatas untuk tuberkulosa.
akumulasi.
Gentamisin Indikasi :
Pneumonia, kolesistisis, peritonitis, septikemia, pyelonefritis, infeksi
kulit, inflamasi pada tulang panggul, endokarditis, meningitis, listeriosis,
tularaemia, brucellosis, pes, pencegahan infeksi setelah pembedahan.
ESO :
Gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia
pada pemberian jangka panjang, koalitis karena antibiotik.
Dosis :
Injeksi i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari (dalam dosis terbagi
tiap 8 jam). Sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal dan ukur kadar
dalam plasma.
Anak dibawah 2 minggu : 3 mg/kg tiap 12 jam : 2 minggu – 2 bulan : 2
mg/kg tiap 8 jam. Injeksi intratekal : 1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai
5 mg/hari disertai pemberian i.m 2-4 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiap
8 jam. Profilaksis endocarditis pada dewasa : 120mg.
Anak dibawah 5th : 2mg/kg.
Note : kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar
lembah (trough) tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.11
Amikasin
Indikasi :
Infeksi gram negatif yang resisten terhadap gentamisin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
ESO :
Gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia
pada pemberian jangka panjang, koalitis karena antibiotik.
Dosis :
Injeksi i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Note : kadar puncak 91 jam tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar
lembah tidak boleh lebih dar 10 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh
lebih dari 10 mg/liter
Tabel 2.4 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Aminoglikosida
2.8.1.3 Golongan Penisilin Spektrum Luas
Nama Obat
Ampisilin
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Mekanisme Kerja :
Ampisilin dapat diberikan per
Menghambat sintesa dinding
oral, tapi yang diabsorpsi tidak
bakteri melalui penghambatan
lebih dari separuhnya. Absopsi
tahap akhir sintesa peptidoglikan
lebih rendah lagi bila ada
dinding protein bakteri.
makanan dalam lambung.
Indikasi :
Ampisilin yang masuk ke dalam
Infeksi saluran kemih, otitis media,
empedu mengalami sirkulasi
sinusitis, bronchitis, kronis,
enterohepatik, tetapi yang
salmonellosis invasi, gonore
diekskresi bersama tinja
ESO :
jumlahnya cukup tinggi. Penetrasi
Mual, diare, ruam, kadang – kadang ke CSS dapat mencapai kadar
terjadi colitis karena antibodi
yang efektif pada keadaan
Dosis :
peradangan meningen.
Oral : 0,25 – 1 gram tiap 6 jam
Ampisilin disekresi ke dalam
diberikan 30 mnt sebelum makan
sputum sekitar 10% kadar serum.
untuk gonore : 2 - 3 – 5 gr dosis
Pada bayi prematur dan neonatus,
tunggal, ditambah 1 gr probenesid.
pemberian ampisilin
Infeksi saluran kemih : 500 mg tiap
menghasilkan kadar dalam darah
8 jam, Infeksi intramuscular,
yang lebih tinggi dan bertahan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
intravena atau infus : 500 mg tiap 4
lebih lama dalam darah.10
– 6 jam. Anak dibawah 10 th :
setengah dosis dewasa.
Tabel 2.5 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Penisilin spektrum luas
2.8.1.4 Golongan Beta Laktam Lainnya
Nama Obat
Farmakodinamik
Meropenem
Meropenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup
kuman gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob. Lebih
tahan terhadap enzim diginjal sehingga dapat diberikan tanpa
silastatin.
Indikasi :
Infeksi berat oleh kuman gram negatif yang resisten terhadap
antibiotik turunan penisilin dan sefalosporin generasi ketiga serta
resisten terhadap bakteri yang memproduksi extended spectrum
beta lactamase (ESBL)
ESO :
Mual, muntah, diare, ruam kulit, kejang, hipotensi
Dosis :
Infeksi standar
IV : 20 mg/kgBB/dosis
Infeksi berat
IV : 40 mg/kgBB/dosis pada meningitis yang disebabkan
Pseusomonas sp.12
Tabel 2.6 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Beta Laktam Lainnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
2.8.1.5 Kloramfenikol
Nama Obat
Farmakologi
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Obat ini didistribusikan
Kloramfenikol Mekanisme Kerja :
Kloramfenikol bekerja dengan
secara baik ke berbagai
menghambat sintesis protein kuman.
jaringan tubuh, termasuk
Indikasi :
jaringan otak, cairan
Untuk infeksi berat akibat H. Influenzae,
serebrospinal dan mata.
demam tiroid, meningitis dan abses otak,
Di dalam hati kloramfenikol
bacteremia, dan infeksi berat lainnya.
mengalami konjugasi
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik
dengan asam glukuronat
terhadap kuman yang peka seperti riketsia,
oleh enzim glukuronil
klamidia, mikoplasma, dan beberapa strain
transferase. Oleh karena itu
kuman gram positif dan gram negatif.
waktu paruh kloramfenikol
ESO :
memanjang pada pasien
Kelainan darah yang reversible dan
gangguan faal hati. Dari
ireversibel seperti anemia aplastic (dpt
seluruh kloramfenikol yang
berlanjut mnjadi leukemia), neuritis,
diekskresi melalui urin,
periper, neutitis optic, eritma multirorme,
hanya 5-10% dalam bentuk
mual, muntah, diare, stomatitis, glositis,
aktif. Sisanya terdapat
hemoglobinuria nocturnal.
dalam bentuk glukuronat
Dosis :
atau hidrolisat lain yang
Oral, injeksi i.v atau infus : 50mg/kg/hari
tidak aktif. Bentuk aktif
dibagi dalam 4 dosis (pada infeksi berat
kloramfenikol diekskresi
seperti septikemia dan infeksi SSP dosis
terutama melalui fitrat
digandakan dan segera diturunkan apabila
glomerulus sedangkan
terjadi perbaikan). Anak : 50-100
metabolitnya dengan sekresi
mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Bayi
tubulus.10
dibawah 2 mnggu : 25 mg/kg/hari (dibagi
dlm 4 dosis) 2 mggu – 1 th : 50 mg/kg/hari
(dibagi 4 dosis)
Tabel 2.7 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Kloramfenikol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
2.8.2 Obat Ensefalitis Virus
2.8.2.1 Golongan Antiviral
Nama Obat
Farmakologi
Farmakodinamik
Asiklovir
Farmakokinetik
Mekanisme Kerja :
Absopsi : oral : 15-30%.
Asiklovir diubah menjadi asiklovir
Distribusi Vd 0,8 L/kg 63,6 L)
monofosfat oleh virus spesifik thymidine
terdistribusi luas misalnya ke
kinase dan kemudian diubah menjadi
otak, ginjal, paru, hati, limpa,
asiklovir trifosfat oleh enzim sel lainnya.
otot, uterus, vagina dan CSS.
Asiklovir trifosfat menghambat sintesa
Ikatan protein 9-33%.
DNA dan replikasi virus dengan cara
Metabolisme diubah oleh
berkompetisi dengan deoxyguanosine
enzim virus menjadi asiklovir
triphosphate DNA polymerase virus dan
monofosfat dan kemudian
bergabung ke DNA virus.
oleh enzim sel menjadi
Indikasi :
difosfat dan akhirnya trifosfat
Herpes Simpleks dan Varisella Zoster.
sebagai bentuk aktif.
ESO :
Bioavaibilitas : oral : 10-20%
Ruam kulit, gangguan saluran cerna,
pd fungsi ginjal normal,
peningkatan bilirubin dan enzim hati,
bioavaibilitas menurun dengan
peningkatan ureum dan kreatin, sakit
peningkatan dosis. Waktu
kepala, gangguan neurologis, gangguan
paruh : terminal neonates
darah, lesu. Pada pemberian i.v dapat terjadi 4jam, anak-anak 1-12th 2inflamasi lokal yang berat (kadang-kadang
3jam, dewasa : 3jam. Waktu
menimbulkan ulkus) bingun, halusinasi,
untuk mencapai kadar puncak
agitaso, tremor, somnolen, psikosis,
diserum oral : 1,5-2jam.
konvulsi dan koma.
Ekskresi urin : 62-90%
Dosis :
sebagai bentuk utuh dan
Oral : Pengobatan herpes simpleks :
metabolit.10
200mg (400mg pada immunosompromised
atau bila ada gangguan absopsi) 5x sehari
selama 5hr. anak dibawah 2th setengah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
dosis dewasa. Diatas 2 th berikan dosis
dewasa.
Pencegahan herpes simpleks kambuhan :
200mg 4x sehari atau 400mg 2x atau 3x
sehari dan interupsi setiap 6-12bln.
Profilaksis herpes simpleks pada
immunocopromised 200-400 4x sehari.
Anak dibawah 2th dosis dewasa.
Pengobatan varisela dan herpes zoster
800mg 5x sehari selama 7hr. anak varisela :
20 mg/kg (maks. 800mg) 4x sehari selama
5hr. dibawah 2th : 200mg 4x sehari, 2-5th :
400mg 4x sehari. Diatas 6th : 800mg 4x
sehari.
Infus i.v (selama 1 jam) : pengobatan
herpes simpleks pada imunocompromised,
herpes genital berat awal dan varicella
zoster : 5 mg/kg setiap 8 jam biasanya
untuk 5hr, dosis digandakan 10mg/kg setiap
8 jam untuk varicella zoster pada
imunocompromised dan pada Ensefalitis
simpleks (bayi – 3 bulan, 10mg/kg tiap 8
jam biasanya 10hr pada ensefalitis).
Anak 3bln – 12th herpes simpleks dan
varicella zoster : 250mg setiap 8 jam
biasanya 5hr. dosis digandakan 500mg
untuk varicella zoster pada
immunocompromised dan Ensefalitis
simpleks ( biasanya diberikan 10hr pd
Ensefalitis).12
Tabel 2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Antiviral
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
2.8.3 Obat Ensefalitis Parasit
2.8.3.1 Golongan Linkosamida
Nama Obat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Klindamisin Klindamisin adalah obat pelengkap (komplemen)
Klindamisin oral
bila penisilin tidak dapat diberikan. Klindamisin
bioavaibilitasnya
bersifat bakteriostatik yang aktif terhadap aerob
90%, jumlah serum
gram-positif dan spektrum anaerob yang luas.
puncak 2,5, ikatan
Penggunaannya terbatas karena efek samping kolitis
protein ~90%, T1/2
sering terjadi dan dapat berakibat fatal. Paling umum 2,4-3 jam, eliminasi
terjadi pada wanita selama atau setelah pengobatan
hepatik >90 bentuk
dengan klindamisin.
tidak berubah di
Mekanisme Kerja :
urin. Secara IM
Berikatan dengan ribosom 50s dan menekan sintesis
jumlah serum
protein.
puncak 6-9, dan
Indikasi :
secara IV jumlah
Infeksi stafilokokus pada sendi dan tulang seperti
serum puncak 7-14.
osteomielitis peritonitis, profilaksis endokarditis.
ESO :
Diare (hentikan pengobatan), sakit perut, mual,
muntah, kolitis karena antibiotik, ruam, ikterus,
gangguan fungsi hati, netropenia, eosinofilia,
agranulositosis dan trombositopenia nyeri, indurasi
dan abses flebitis setelah suntikan intra vena.
Dosis :
Osteomielitis dan peritonitis : Oral, 3 – 6 mg/kgBB
setiap 6 jam. Injeksi IM dalam atau infus IV.
Neonatus : 15 – 20 mg/kgBB/hari; > 1 bulan: 15-40
mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi. Infeksi berat
minimal 300 mg perhari, tanpa mempertimbangkan
berat badan.12
Tabel 2.9 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Parasit Golongan Linkosamida
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
2.8.3.2 Kotrimoksazol (Trimetoprim – Sulfametoksazol)
Nama Obat
Kotrimoksazol
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Trimetoprm-
Mekanisme kerja obat :
(Trimetoprim – Sulfametoksazol menghambat sintesis
sulfametoksazol diabsorpsi
Sulfametoksazol) asam dihidrofolat bakteri berkompetisi
dengan cepat setelah
dengan asam para amiobenzoat.
pemberian oral. Sekitar
Trimetoprim menghambat produksi
44% trimetoprim dan 70%
asam tetrahidrofolat dengan
sulfametoksazol terikat
menghambat enzim dihidrofolat
dengan protein. Waktu
reduktase.
paruh dengan pemberian
Indikasi :
oral, trimetoprim adalah 8-
Infeksi saluran kemih, infeksi saluran
11 jam dan
napas (bronkitis, pneumonia, infeksi
sulfametoksazol adalah
pada fibrosis sistik), melioidosis,
10-12 jam. Trimetoprim
listeriosis, brucellosis, otitis media,
dimetabolisme menjadi
infeksi kulit, pneumonia Pneumocystis
bentuk yang lebih kecil
jiroveci.
dan sulfametosazol
Kontraindikasi :
mengalami
Hipersensitif terhadap sulfonamid atau
biotransformasi menjadi
trimetoprim, porfiria.
senyawa tidak aktif.
ESO :
Mual, muntah, ruam (termasuk
sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksik, fotosensitivitas)
hentikan obat dengan segera.
Gangguan darah (neutropenia,
trombositopenia, agranulositosis dan
purpura) hentikan obat dengan segera.
Reaksi alergi, diare, stoatitis, glositis,
anoreksia, artralgia, mialgia.
Kerusakan hati seperti ikterus dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
nekrosis hati, pankreatitis, kolitis
terkait antibiotik, eosinofilia, batuk,
nafas singkat, infiltrat paru, meningitis
aseptik, sakit kepala, depresi, konvulsi,
ataksia, tinitus. Anemia megaloblastik
karena trimetroprim, ganguan
elektrolit, kristaluria, gangguan ginjal
termasuk nefritis interstisialis.
Dosis :
Pengobatan pneumonia
Oral atau infus IV : Sulfametoksazol
hingga 100 mg/kgBB/hari +
trimetoprim
hingga 20 mg/kgBB/hari dalam 2-4
dosis terbagi selama 14-21 hari.
Profilaksis pneumonia Oral :
Sulfametoksazol 25 mg/kgBB +
trimetoprim 5 mg/kgBB dalam 2 dosis
terbagi selang sehari (3 kali seminggu)
Pemberian Oral :
Dapat diberikan dengan air pada
keadaan perut kosong. Parenteral :
Infus IV dalam 60-90 menit, harus
diencerkan 1:25. Pada pasien dengan
restriksi cairan yang ketat,
pengenceran 1:15 atau 1:10.10
Tabel 2.10 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Parasit Trimetoprim – Sulfametoksazol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
2.8.4 Obat Ensefalitis Jamur
2.8.4.1 Golongan Triazol
Nama Obat
Flukonazol
Farmaodinamik
Farmakokinetik
Mekanisme Kerja :
Distribusi keseluruhan
Mempengaruhi aktifitas Cytochrome P450,
tuuh, menembus
menurunkan sintesa ergosterol (sterol utama
dengan baik CSS,
pada membran sel jamur) dan menghambat
mata, cairan
pembentukkan membran sel.
peritoneal, dahak,
Indikasi :
kulit, dan urin. Difusi
Kandidiasis vulvovaginitis, esofagus, orofaring
relatif dari darah ke
dan infeksi kandida sistemik
CSS adekuat dengan
Formularium Anak
atau tanpa inflamasi.
Meningitis akibat Cryptococcus neoformans,
Ikatan protein plasma
terapi blastomikosis, koksidioidomikosis,
11-12%.
histoplasmosis. Infeksi jamur superfisial,
Bioavailabilitas oral
dermatofitosis, dan onikomikosis. Profilaksis
>90%. Waktu paruh
infeksi jamur berat pada pasien dengan HIV
eliminasi pada fungsi
dan pasien imunokompromais lainnya.
ginjal normal sekitar
Umumnya digunakan untuk mengatasi
30 jam. Waktu untuk
infeksi jamur sistemik pada pasien yang tidak
mencapai puncak di
respons terhadap amfoterisin B.
serum lewat oral 1-2
ESO :
jam. Ekskresi lewat
Nause, sakit perut, kadang kembung, gangguan
urin (80% dalam
enzim hati, kadang-kadang ruam (hentikan obat bentuk utuh).
atau awasi secara ketat), angioudem,
anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal
toksik, sindrom Stevens-Johnsons, pada pasien
AIDS pernah dilaporkan reaksi kulit yang
hebat.
Dosis :
Berkisar 3-12 mg/kgBB/hari, dosis melebihi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
600 mg/hari tidak dianjurkan.
Meningitis /septikemia karena kandida
Bayi < 3 bulan : 5-6 mg/kgBB/hari, oral atau
IV drip 1 jam. Kriptokokus Inisial 12
mg/kgBB/hari pada hari pertama, selanjutnya 6
mg/kgBB/hari sekali sehari.
Kandidiasis orofaring dan esofagus
6 mg/kgBB hari pertama, dilanjutkan dengan 3
mg/kgBB sehari. Dosis untuk kandidiasis dapat
dinaikkan sampai 12 mg/kgBB/hari jika
diperlukan, tergantung respons dan kondisi
pasien. Dosis untuk kandidiasis orofaring
perlu dilanjutkan sampai minimum 2 minggu
untuk mengurangi relaps. Dosis untuk
kandidiasis esofagus perlu dilanjutkan sampai
minimum 3 minggu dan paling sedikit 2
minggu setelah gejala hilang.
Kandidiasis sistemik
Dosis 6-12 mg/kgBB/hari
Profilaksis primer
Kriptokokosis pada bayi dengan HIV dan anak
dengan gangguan imunosupresi berat 3-6
mg/kgBB/ hari sekali sehari.
Profilaksis jangka panjang
untuk rekurensi kandidiasis mukokutaneus
(orofaring atau esofagus) atau kriptokokosis
pasien bayi dan anak dengan HIV : 3-6
mg/kgBB sekali sehari.
Untuk profilaksis koksidioidomikosis
digunakan 6 mg/kgBB sekali sehari.
Tabel 2.11 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Triazol
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
2.8.4.2 Golongan Polien
Nama Obat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Amfoterisin B sedikit sekali
Amfoterisin B Mekanisme Kerja :
Amfoterisin B berikatan kuat dengan
diserap melalui saluran cerna.
sterol yang terdapat pada membran sel
Suntikan IV dengan dosis 0,6
jamur, sehingga membran bocor
mg/kgBB/hari akan
terjadi kehilangan beberapa bahan
memberikan kadar antara 0,3-
intrasel dan mengakibatkan kerusakan
1 μg/ml. Waktu paruh obat ini
yang tetap pada sel. Bakteri, vius dan
kira-kira 24-48 jam pada
riketsia tidak dipengaruhi oleh
dosis awal yang diikutioleh
antibiotik ini karena jasad renik ini
eliminasi fase kedua dengan
tidak mempunyai gugus sterol pada
waktu paruh kira-kira 15hr,
membran selnya. Pengikatan
sehingga kadar mantapnya
kolesterol pada membran sel hewan
(Steady state concentration)
dan manusia oleh antibiotik ini diduga
baru akan tercapai setelah
sebagai salah satu penyebab efek
beberapa bulan pemberian.
toksiknya. Aktifitas anti jamur nyata
Penyebaran ke jaringan dan
pada pH 6,0-7,5 berkurang pada pH
biotransformasi obat belum
yang lebih rendah. Amfoterisin A dan
diketahui seluruhnya. Kira-
B merupakan hasil fermentasi dari
kira 95% obat amfoterisin B
Streptomycin nodosus, 98% campuran
beredar dalam plasma terikat
ini terdiri dari Amfoterisin B yang
pada lipoprotein. Kadar
mempunyai aktivitas anti jamur.
amfoterisin B dalam cairan
Merupakan antibiotik polien yang
pleura, peritoneal, sinovial
bersifat basa amfoter lemah, yang
dan kuosa yang mengalami
menyerang sel jamur yang sedang
peradangan hanya kira-kira
tumbuh dan sel matang. Antibiotik ini
2/3 dari kadar sebagian kecil
bersifat fungistatik atau fungisidal
mencapai CSS, humor vitreus
tergantung dari dosis dan sesitivitas
cairan amnion. Ekskresi obat
jamur yang dipengaruhi.
ini melalui ginjal berlangsung
lambat sekali, hanya 30% dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
Indikasi :
jumlah yan diberikan pada 24
Digunakan untuk infeksi jamur
jam sebelumnya ditemukan
sistemik dan aktif pada sebagian jamur dalam urine.
dan ragi. Kandidas intestinal.
ESO :
Bila diberikan secara parenteral,
anoreksia, nausea, muntah, diare, sakit
perut, demam, sakit kepala, sakit otot
dan sendi, anemia, gangguan fungsi
ginjal (termasuk hypokalemia dan
hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal,
toksisitas kardiovaskuler (termasuk
aritmia), gangguan darah dan
neurologis (kehilangan pendengaran,
diplopa, kejang, neuropati, perife),
gangguan fungsi hati (hentikan
terbuka), ruam, reaksi anafilaksis.
Dosis :
Oral : untuk kandidas intestinal 100200mg tiap 6 jam, injeksi i.v : infeksi
jamur sintematik, dosis percobaan
1mg selama 20-30mnt dilanjutkan
dengan 250 μg/kg/hr, pelan-pelan
dinaikkan sampai 1 mg/kg/hr,
maksimum 1,5 mg/kg/hr atau selang
sehari.10
Tabel 2.12 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Polien
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
2.8.4.3 Mikonazol Nitrat
Nama Obat
Mikonazol Nitrat
Farmakodinamik
Indikasi :
Topikal untuk terapi tinea pedis, tinea kruris, dan tinea
korporis yang disebabkan oleh T. mentagrophytes, T.
Rubrum atau Epidermophyton floccosum Terapi pityriasis
versicolor yang disebabkan oleh Malassezia
furfur, serta untuk terapi kandidiasis kutaneus (moniliasis).
ESO :
Iritasi, rasa terbakar kadang-kadang terjadi. Dermatitis
kontak dilaporkan terjadi pada pemakaian derivat imidazol,
reaksi sensitivitas silang dapat terjadi pada derivat imidazol
(misalnya klotrimazol, mikonazol, ekonazol, oksikonazol,
tiokodazol, sulkonazol).
Dosis :
Pityriasis versicolor: 1 x/hari. Kandidiasis kutan : 2 kali/hari.
Untuk kandidiasis kutan dan tinea kruris/korporis perlu
dipakai selama 2 minggu, dan tinea pedis selama 1 bulan.
Jika perbaikan klinis tidak terlihat setelah penggunaan 1
bulan maka diagnosis perlu dievaluasi kembali.
Note. Mikonazol nitrat topikal tidak boleh digunakan pada
anak < 2 tahun kecuali atas perintah dan supervisi dokter.
Penggunaan obat ini pada anak 2-11
tahun perlu diawasi oleh orang dewasa. Jika terjadi iritasi
atau kulit pasien tidak membaik dalam 2 minggu untuk tinea
kruris atau 4 minggu untuk tinea pedis atau korporis, obat
harus
dihentikan dan pasien perlu diperiksa dokter.12
Tabel 2.13 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Mikonazol Nitrat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
2.8.4.4 Fosfomisin Na
Nama Obat
Farmakodinamik
Farmakokinetik
Penyerapan dan Ekskresi:
Fosfomisin Na Indikasi :
Pencegahan infeksi pd pembedahan
konsentrasi darah puncak
abdomen.
rata-rata 157,3 mcg / mL
Dosis :
dicapai pada saat
Dws 2-4 g. Anak 100-200 mg/kgBB.
penyelesaian infus. Ini secara
Keduanya dengan drip infus IV terbagi bertahap menurun setelahnya,
dlm 2 dosis. Inj IV Sama dg drip infus
mendekati tingkat 2,6 mcg /
IV, tetapi diberikan terbagi dlm 2-4
mL pada 12 jam setelah infus.
dosis.
Serum paruh adalah 1,8 jam.
ESO :
Tingkat pemulihan kemih
Hati: SGOT, SGPT dan ALP, LDH,
adalah 96% dari rata-rata
γ-GPT dan bilirubin dapat meningkat.
dalam 2 jam pertama.
Ginjal: Proteinuria dan kelainan pada
Berdifusi efisien untuk organ
tes Fishberg mengembangkan dalam
dan jaringan dan
kasus yang jarang, dan kadang-kadang
diekskresikan dalam urin
nilai BUN tinggi dan edema dapat
dalam bentuk tidak berubah
berkembang. Organ pernapasan: Batuk aktif.
dan serangan asma dapat
Konsentrasi jaringan : Pada
mengembangkan pada kesempatan
pasien dengan infeksi saluran
langka. sakit kepala dan perasaan mati
pernapasan, IV injeksi 1 g
rasa dari bibir setelah penggunaan
menghasilkan konsentrasi
Fosmicin. Selain itu, dalam kasus
sputum rata-rata 7 mcg / mL
pemberian dosis besar, kejang.
selama 3 jam pertama setelah
Gangguan hematologi: Pada
injeksi.
kesempatan langka, agranulositosis
Distribusi ke cairan
dapat berkembang, dan anemia,
cerebrospinal diamati pada
eosinofilia, granulositopenia dan
pasien dengan meningitis
trombositopenia.
setelah injeksi IV atau terus-
Pencernaan: Stomatitis, mual, muntah,
menerus infus IV drip.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
sakit perut, diare dan anoreksia
Toksikologi: Toksisitas akut:
kadang-kadang berkembang.
LD50 natrium fosfomycin
Kulit: Letusan, urtikaria, eritema dan
(FOM-Na)
gatal jarang mengembangkan.
Injection Site: Flebitis berkembang
pada kesempatan langka dan angialgia
sesekali dapat terjadi.
Lainnya: Ada kejadian sakit kepala
kusam, mulut kering, vertigo dan
ketidaknyamanan dada dan kadangkadang, pasien mungkin mengalami
perasaan tekanan pada dada.13
Tabel 2.14 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Fosfomisin Na
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
2.9 Gejala Sisa dan Komplikasi
Gejala sisa maupun komplikasi karena Ensefalitis dapat melibatkan
susunan saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik,
penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan
sistem lain dapat terlibat secara menetap.
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid),
hidrosefalus
maupun
gangguan
mental
sering
terjadi.
Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental
karena kerusakan SSP berat. Komplikasi yang terjadi pada Ensefalitis adalah :
pasien dapat mengalami ketidakmampuan permanen, kerusakan otak atau
meninggal akibat ensefalitis dan dapat timbul kejang.14
2.10 Prognosis
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan.
Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit
yang dapat muncul selama perawatan. Edema otak dapat sangat mengancam
kehidupan penderita. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak
bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya
mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan
oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada prognosis virus
entero.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Rekam Medik
Pasien Ensefalitis
Pemeriksaan Data
No. Rekam Medik, Nama,
Obat yang digunakan pada
Usia, Jenis kelamin, Latar
pasien penderita Ensefalitis di
Belakang Pendidikan,
RSUP Fatmawati Jakarta periode
Gejala Klinis.
tahun 2012 – 2015.
3.2 Definisi Operasional
a. Rekam Medik adalah suatu dokumen yang berisikan tentang catatan pasien
seperti karakteristik pasien, pemeriksaan (test kultur),
tindakan dan pengobatan.
b. Pasien Ensefalitis adalah penderita penyakit Ensefalitis yang mengalami
peradangan pada jaringan otak yang disebabkan
oleh mikroba seperti bakteri, cacing, protozoa,
jamur, ricketsia atau virus.
c. Obat adalah Suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan
dalam
menentukan
diagnosis,
mencegah,
mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau
gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah
pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau
bagian tubuh manusia.15
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
mulai bulan febuari 2016 s.d maret 2016.
4.2 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode cross section dengan pengambilan
data dilakukan secara retrospektif. Diharapkan dengan metode ini, tujuan
penelitian dapat tercapai.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah catatan data rekam medik pasien
Ensefalitis yang menggunakan obat dan terdapat datanya di RSUP
Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
4.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah sampel dengan pengambilan
secara total sampling yaitu sebanyak 67 pasien Ensefalitis.
4.4 Kriteria Inklusi
1. Rekam medik pasien penderita Ensefalitis yang catatannya lengkap.
2. Rekam medik pasien penderita Ensefalitis yang dirawat inap di RSUP
Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
3. Pasien penderita Ensefalitis yang menggunakan obat.
4. Pasien penderita Ensefalitis dan penyertanya.
5. Indikator terapi ( sebagai panduan ) untuk mengetahui akhir dari
pengamatan.
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
4.5 Pengumpulan Data
1. Data Pasien
2. Rekam medik pasien Ensefalitis
3. Catatan penggunaan obat di depo farmasi
4.6 Cara Kerja
1. Peneliti mengambil data rekam medik pasien dengan membawa nama
dan nomor rekam medik pasien periode tahun 2012 - 2015. Data yang
diambil meliputi:
a. Nama, usia, jenis kelamin
b. Tanggal masuk Rumah Sakit
c. Tanggal Keluar Rumah Sakit
d. Diagnosis penyakit
e. Obat-obat yang digunakan
2. Peneliti mengambil data dari catatan penggunaan di depo farmasi pada
periode tahun 2012 - 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
4.7 Rencana Analisa
Setelah data didapat dari rekam medik kemudian analisis data dilakukan
secara deskriptif untuk melihat sebaran data yang ada, antara lain:
a. Karakteristik dari pasien ( jenis kelamin, umur dan latar belakang) di
RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
b. Distribusi gejala klinis yang paling banyak dialami oleh pasien
penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 –
2015.
c. Distribusi pasien Ensefalitis dibedakan berdasarkan pasien yang
memiliki komplikasi atau penyakit penyerta dengan pasien yang tidak
memiliki komplikasi atau penyaki penyertanya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
d. Distribusi pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan jenis komplikasi
atau penyakit penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun
2012 – 2015.
e. Distribusi pasien berdasarkan penggunaan obat yang paling banyak
digunakan dalam mengatasi gejala klinis di RSUP Fatmawati Jakarta
periode tahun 2012 – 2015.
f. Distribusi pasien berdasarkan penggunaan obat yang paling banyak
digunakan dalam mengatasi penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor
penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015.
g. Distribusi kondisi pasien Ensefalitis pada saat pulang setelah
melakukan pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun
2012 – 2015.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
Proses pengambilan data di rekam medik RSUP Fatmawati dimulai
dengan mengelompokkan data rekam medik pasien yang menderita penyakit
Ensefalitis yang dirawat inap pada tahun 2012 – 215. Data yang diambil
meliputi data karakteristik pasien sesuai dengan inklusi (pasien dengan
diagnosa Ensefalitis dan penyertanya, data rekam medik lengkap, pasien yang
mendapatkan pengobatan dan rawat inap). Dari 159 data rekam medik yang
berada dipoli syaraf bagian neurologi jumlah pasien yang menderita Ensefalitis
berjumlah 67 pasien yang menjalani rawat inap di RSUP Fatmawati tahun
2012 – 2015. Selebihnya adalah pasien Meningitis, Ensefalopati, Paraparese,
Myelitis, Meningoensefalitis dan Infeksi Intrakranial.
5.1.1 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur
dan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015
Tabel 5.1 Distribusi Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis
Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Jenis Kelamin
Laki – Laki
Perempuan
N
%
N
%
N
%
0–5
17
53.1
19
54.3
36
53.8
6 – 15
4
12.5
7
20
11
16.4
>15
11
34.4
9
25.7
20
29.8
Jumlah
32
100
35
100
67
100
Umur
Jumlah
(Tahun)
Pengelompokkan umur diatas berdasarkan R Malau et al (2012).
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Tabel diatas menunjukkan hasil bahwa pasien yang menderita
Ensefalitis sebagian besar pada umur 0–5 tahun (53.8%), umur 6–15 tahun
(16.4%) dan umur >15 (29.8%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin pasien
yang menderita Ensefalitis laki – laki (48%) dan perempuan (52%).
5.1.2 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 2015
Gambar 5.1 Grafik Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan Pasien di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Belum atau Tidak Sekolah
SD
SLTP
SLTA
Universitas
Pensiun
5% 2%
13%
10%
53.8%
16%
Grafik diatas menunjukkan hasil bahwa pasien paling banyak yang
menderita Ensefalitis adalah pasien dengan latar belakang pendidikan belum
sekolah (53.8%). Selebihnya adalah dengan latar belakang pendidikan sekolah
dasar, SLTP, SLTA,universitas dan pensiunan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
5.1.3
Hasil Analisis Diagnosa Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala
Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Tabel 5.2 Distribusi Gejala klinis Pasien Ensefalitis di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Gejala Klinis
N
%
Kejang
58
86.5
Penurunan Kesadaran
40
59.7
Tangan dan Kaki Kaku
10
15
Leher Kaku
2
3
Mata Melotot
10
15
Sulit Berkomunikasi (Bicara Kacau)
7
10.4
Demam
40
59.7
Batuk
11
16.4
Sakt Kepala
9
13.4
Muntah Mual
37
55.2
Diare
25
37.3
Sesak Nafas
8
12
Tidak Nafsu Makan
3
4.5
Pucat
2
3
Selalu Mengantuk
2
3
Gelisah
2
3
Lemas
6
9
BB Menurun
1
1.5
Keterangan : N = Pasien
Tabel diatas menunjukkan bahwa gejala klinis yang terjadi pada pasien
Ensefalitis yang paling banyak adalah yang mengalami gejala klinis seperti
kejang (86.5%), demam (59.7%) dan penurunan kesadaran (59.7%).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
5.1.4 Hasil Analisis Pasien Penyakit Ensefalitis dibedakan
Berdasarkan
Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode
Tahun 2012 – 2015
Tabel 5.3 Distribusi Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau
Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 - 2015
Perbedaan
N
%
Pasien dengan komplikasi atau
penyertanya
55
68.57
Pasien tanpa komplikasi atau
penyertanya
12
31.43
Jumlah
67
100
Keterangan : N = Pasien
Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah pasien Ensefalitis dengan
komplikasi atau penyertanya (68.57 %). Sedangkan pasien tanpa komplikasi
atau penyertanya (31.43%).
5.1.5 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau
penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Pada Tahun 2012 – 2015
Gambar 5.2 Diagram Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis
Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 - 2015
10
10
7
5
2
4
2
4
4
4
5
7
2
4
5
5
2
2
Komplikasi
Pneumonia
Diare Akut Dehidrasi Berat
Suspec Immunocomprised
Sepsis
TBC Paru
HIV Aids
HFMD
Hipokalami
Gizi Kurang
Gagal Nafas
Infeksi Saluran Kemih
Hidrosefalu
Anemia
Hiperglikemia
Hipokalemi
Hemiparese Dextra
SLE
Bronkapneumonia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Diagram diatas menunjukkan bahwa dari 67 pasien Ensefalitis yang
dirawat di RSUP Fatmawati periode tahun 2012 – 2015, pasien dengan
komplikasi atau penyerta yang paling banyak dialami oleh pasien Ensefalitis
adalah penyakit seperti TB Paru dan Pneumonia (10%).
5.1.6 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan
Obat dalam Mengatasi Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta
Pada Tahun 2012 – 2015
Tabel 5.4 Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Gejala klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 2015
Gejala Klinis
N
%
Pengobatan
N
%
Demam
31
45
Kejang
9
53
13.4
79.1
Batuk
5
11
7.46
10.4
Sakit Kepala
Diare
4
9
25
6
10.4
37
2
37
29
10
3
55.2
43.2
15
Parasetamol
Caferzon drop
Fenitoin
Bactofen
Sibital
Piracetam
Diazepam
Luminal
Kalsetin
Ambroxol
Proress Supp
Parasetamol
Ranitidin
Zinkid
L – Bio
Bicnat
Omeprazole
Ranitidin
Citicholin
30
1
30
2
6
2
6
3
1
6
1
5
10
5
4
1
6
8
10
45
1.5
45
3
9
3
9
4.5
1.5
9
1.5
7.4
15
7.4
6
1.5
9
12
15
Memulihkan gejala
pasca trauma
2
3
Piracetam
2
3
Diuretik Osmotik
4
6
Manitol
4
6
Mual/muntah
Mengurangi
Kerusakan Otak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Dehindrasi ringan –
sedang
TBC Paru
Pencegahan infeksi
bakteri pasca
operasi
Pereda rasa sakit
setelah operasi
Mengendalikan
tekanan darah
Glukoma
1
1.5
Renalit 100cc
1
1.5
10
15
7
2
10.4
3
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Metronidazole
1
1
1
1
2
1.5
1.5
1.5
1.5
3
1
1.5
Tramadol
1
1.5
1
1.5
1
1.5
4
6
Vascon
(norepineprin)
Asetazolamide
(Diamox)
Glaucon
Albumin
Metil Prednisolon
2
3
2
1
1
3
1.5
1.5
Edema
1
Peradangan
1
(inflamasi)
Keterangan : N = Pasien
1.5
1.5
- = Tidak diketahui
Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa obat yang paling banyak
digunakan pasien Ensefalitis dalam mengatasi gejala klinis adalah Fenitoin
(45%) dan Parasetamol (45%).
5.1.7 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan
Obat dilihat dari Faktor Penyebab Ensefalitis di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Tabel 5.5 Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 - 2015
Faktor Penyebab
N
%
Pengobatan
N
%
Bakteri
47
70.1
Seftriakson
Sefotaksim
Seftrazidim
Gentamisin
Meropenem
Kloramfenikol
Amikasin
30
9
3
2
4
1
4
45
13.4
4.5
3
6
1.5
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Ampisilin
1
1.5
Virus
27
40.2
Asiklovir
27
40.2
Jamur
3
4.5
Parasit
4
6
Fluconazole
Mikonazole nitrat
Fosmycin
Pirimetamin
2
1
1
4
3
1.5
1.5
6
Klindamisin
2
3
Deksametason
34
50.7
Mengatasi radang
Keterangan : N
=
34
50.7
Pasien
Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa faktor penyebab terbanyak
adalah bakteri (70,1%) dilanjutkan oleh virus (40,2%). Penggunaan obat
tersering dalam mengatasi Ensefalitis adalah obat golongan sefalosporin
Seftriakson (45%), obat golongan antiviral Asiklovir (40.2%) dan dalam
mengatasi peradangan yang terjadi digunakan obat golongan kortikosteroid
Deksametason (50.7%).
5.1.8 Hasil Analisis Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah
Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 –
2015
Tabel 5.6 Distribusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah
Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Keadaan Sewaktu
Umur (Tahun)
0 – 5 th
Pulang
6 – 15 th
Jumlah
> 15 th
N
%
N
%
N
%
N
%
28
41.7
10
14.9
11
16.4
49
73.1
Pindah Rumah Sakit
-
-
-
-
-
-
-
-
Pulang Atas Permintaan
-
-
1
1.5
-
-
1
1.5
10
14.9
1
1.5
6
8.9
17
25.4
38
56.7
12
17.9
17
25.4
67
100
=
Pasien
Pulang Sembuh atau
Pulang Berobat Jalan
Sendiri
Pulang Meninggal
Dunia
Jumlah
Keterangan : N
- =
Tidak diketahui
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, dari 67 pasien Ensefalitis yang
dirawat di RSUP Fatmawati lebih banyak yang pulang sembuh atau berobat
jalan (73.1%) dengan rentang umur tertinggi berada pada umur 0-5th dengan
jumlah persentasi (41.7%).
5.6 Pembahasan
5.6.1 Keterbatasan Penelitian
Menjadi keterbatasan dalam penelitian diantara lain : Keterbatasan
rekam medik karena banyaknya rekam medik yang tidak ditemukan oleh
petugas rekam medik, keterbatasan waktu penelitian, keterbatasan biaya
penelitian, dan pengambilan data secara retrospektif sehingga tidak semua
informasi dapat diperoleh dengan lengkap.
5.6.2. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan sampel sebanyak 67
rekam medik yang telah melalui seleksi secara inklusi dan eklusi sehingga
didapat hasil dibawah ini :
1. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Kelompok umur pasien Ensefalitis ini menurut R Malau et al (2012)
dimulai pada umur <5 tahun hingga >15 tahun. Berdasarkan usia distribusi
pasien penderita Ensefalitis lebih tinggi adalah pada kelompok umur <5 tahun
(53.8%). Pada umumnya Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur
tetapi sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Hal ini sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh R Malau et al (2012) dimana pada penelitian tersebut
pasien yang paling banyak adalah pasien dengan kelompok umur <5 tahun.16
Hal ini dikarenakan pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko
yang lebih tinggi untuk terkena infeksi bakteri yang serius. Pada anak dengan
usia di antara dua bulan sampai dengan 3 tahun, terdapat peningkatan risiko
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
terkena penyakit yang serius akibat berkurangnya IgG yang merupakan bahan
bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang berfungsi mengatasi
infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena infeksi virus
yang berakhir sendiri, tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi
(bakteremia tanpa tanda fokus). Bakteremia yang tersembunyi biasanya
bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat menjadi
pneumonia, meningitis, ensefalitis, arthritis dan pericarditis.17
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin peneliti mendapatkan bahwa
pasien yang paling banyak menderita Ensefalitis adalah pasien perempuan
(52%), sedangkan untuk pasien laki – laki (48%). Perbandingan yang tidak
terlalu jauh antara pasien dengan jenis kelamin perempuan dan pasien dengan
jenis kelamin laki – laki. Hal ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh R Malau et al (2012) dimana pada penelitian tersebut yang paling banyak
adalah pasien laki – laki. Disebabkan pada penelitian yang dilakukan oleh R
Malau et al (2012) mencakup infeksi yang terjadi di jaringan dan meningen
(Meningoensefalitis) pada sistem saraf pusat, sedangkan peneliti hanya
mencakup infeksi yang terjadi di jaringan sistem saraf pusat (Ensefalitis). Pada
dasarkan penyakit Ensefalitis ini tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin,
sehingga penyakit ini dapat menyerang siapa saja baik laki-laki maupun
perempuan.
2. Karakteristik Pasien Penderita Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Latar belakang dari pasien penderita Ensefalitis yang dirawat di RSUP
Fatmawati terbanyak adalah dengan latar belakang pendidikan belum sekolah
sebesar 53,8%. Hal ini dikarenakan pasien tersebut masih tergolong balita atau
belum cukup mengerti mengenai bakteri dan infeksi yang dapat menyerang
sistem saraf pusat (SSP) dan pada umumnya penyakit Ensefalitis menyerang
anak – anak yang memiliki sistem imun yang lemah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
3. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP
Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Dari 67 pasien Ensefalitis yang diambil datanya secara retrospektif
terlihat hasil gejala klinis yang terjadi pada pasien penyakit Ensefalitis paling
banyak adalah yang mengalami gejala klinis seperti kejang, demam dan
penurunan kesadaran. Hal ini terjadi karena faktor penyebab Ensefalitis
menyerang otak yang mengakibatkan pasien mengalami gejala klinis sebagai
tanpa bahwa jaringan otak sudah terserang. Gejala klinis tersebut sama hal nya
dengan yang dikemukakan oleh Lin JJ, et al 2008, Ensefalitis adalah infeksi
akut pada parenkim otak dengan karakteristik klinis demam tinggi, nyeri
kepala, dan penurunan kesadaran. Gejala lain yang mungkin adalah defisit
neurologis fokal atau multifokal, dan kejang fokal atau general (menyeluruh).18
Demam yang terjadi pada pasien Ensefalitis merupakan reaksi
fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Demam dapat
disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat
infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur maupun parasit.
Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronchitis, psteomyelitis, appendicitis, tuberculosis,
bakterimia, sepsis, bacterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain-lain.19 Demam yang terjadi pada
anak umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi virus. Akan tetapi
infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan
gejala demam seperti bacteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia,
meningitis, Ensefalitis dan osteomyelitis.
Demam merupakan peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal
sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5 – 37,20C. Derajat suhu
yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥380C atau oral
temperature ≥370C atau axillary temperature ≥37,20C. Pernyataan tersebut
sangat sesuai dengan gejala klinis yang dialami pasien Ensefalitis yang ratarata suhu penderita tersebut bisa mencapai ≥380C.20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
Selanjutnya, Pasien Ensefalitis paling banyak yang mengalami gejala
klinis seperti kejang (86.5%) dikarenakan manifestasi abnormalitas kelistrikan
pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, dan tingkah laku.
Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala,
Ensefalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum –
terkena kuli kepala – trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba,
tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia,
idiopatik.
Mekanisme terjadinya serangan kejang adalah karena adanya sekelompok
neuron yang mudah terserang membentuk suatu satuan epileptik fungsional
yang disebut fokus. Adanya muatan yang bersama-sama memasuki neuronneuron tersebut menyebabkan terjadinya sinkronisasi. Sinkronisasi merupakan
syarat terjadinya serangan. Jika banyak terjadi sinkronisasi (hipersinkronisasi)
maka akan terjadi penyebaran rangsangan ke daerah-daerah lain di otak,
akibatnya terjadi kejang. Ensefalitis biasanya ditandai dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
minum sangat berkurang, konstipasi, diare, nyeri kepala, kekakuan leher,
perubahan kesadaran.21 Kerusakan neurologis permanen pada Ensefalitis
dengan aktifitas kejang yang tidak terkontrol dan berkepanjangan dapat
disebabkan oleh invasi virus langsung, respon imun pasien yang teraktivasi
oleh pathogen, atau kematian neuron yang diinduksi oleh status epileptikus.18
4. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit
Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RSUP Fatmawati, pasien
penderita Ensefalitis terbanyak adalah pasien dengan komplikasi atau penyakit
penyerta (68,57%) jika dibandingkan dengan pasien tanpa komplikasi atau
penyakit penyerta (31,43). Seperti dikutip dalam buku Neurologi Klinis, Ed. I,
gejala sisa maupun komplikasi karena Ensefalitis dapat melibatkan susunan
saraf pusat sehingga mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik,
penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan
sistem lain dapat terlibat secara menetap.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan
koreoatetoid),
hidrosefalus
maupun
gangguan
mental
sering
terjadi.
Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental
karena kerusakan SSP berat. Komplikasi yang terjadi pada Ensefalitis adalah
pasien dapat mengalami ketidakmampuan permanen akibat Ensefalitis, dapat
timbul kejang, kerusakan otak atau meninggal.16
5. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau
Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012
– 2015
Menurut data yang telah diambil penyakit penyerta atau komplikasi yang
terjadi pada pasien dengan Ensefalitis di RSUP fatmawati bermacam-macam.
TB Paru merupakan penyakit penyerta atau komplikasi yang paling banyak
dialami oleh pasien penderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati dengan nilai
persentase sebesar 10% dan umumnya menyerang anak-anak. Hal tersebut
sama dengan yang diungkapkan oleh Antoni Lamini (2002) bahwa TB paru
pada anak – anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak). Gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang.22
Selanjutnya, komplikasi atau penyakit penyerta yang paling banyak
dialami oleh pasien Ensefalitis adalah Pheumonia (10%). Bahkan pada pasien
penderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati ada yang sampai menyebabkan
kematian, dan paling banyak menyerang anak – anak dengan kelompok umur 0
– 5 tahun. Jenis pneumonia tersering di RSUP Fatmawati adalah pneumonia
aspirasi. Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak-balita).
Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun,
mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta
anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang.
Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak no 1 (the number
one killer of children).23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Pada bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi
virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri
Coli, TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada Bayi, pneumonia
biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie,
Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan
bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae,
S. aureus, Chlamydia. Pneumonia pada balita dan anak pra-sekolah disebabkan
oleh virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, Influenza or B, dan berbagai bakteri
yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus
aureus, Chlamydia. Pada anak usia sekolah dan usia remaja, pneumonia
disebabkan oleh virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan
berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma.24
6. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Dari 58 pasien (86.5%) Ensefalitis terbanyak mengalami gejala klinis
seperti kejang 53 pasien (79.1%). 45% pasien menggunakan Fenitoin untuk
mengatasi kejang dengan 2 dosis terbagi. Fenitoin adalah obat pilihan pertama
untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik dan parsial (kompleks dan
sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini merupakan
kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat
untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini digunakan untuk mengobati
epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur.
Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan
fenobarbital karena Fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit, efek
samping dan efek toksik ringan tapi cukup menganggu teruama pada anak.
Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Pada sebagian
besar pasien dewasa, Fenitoin dapat diberikan sekali sehari dan biasanya paling
baik pada malam hari. Pada sejumlah pasien terutama pada dosis tinggi,
dianjurkan pemberian 2 kali sehari. Untuk anak sebaiknya diberikan 2 kali
sehari. Dosis awal obat ini dapat dimulai dengan 200mg malam hari dan
dinaikkan sebanyak 20 – 100mg setiap minggu.25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
Dari 40 pasien Ensefalitis (59.7%), 45% pasien menggunakan
Parasetamol dalam mengatasi demam. Obat-obatan yang dipakai dalam
mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen). Parasetamol
cepat bereaksi dalam menurunkan panas. Pada anak-anak, dianjurkan untuk
pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak
dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye
pada anak-anak. Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai
pemberian obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya
sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan.19
7. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan
Faktor Penyebab Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode
Tahun 2012 – 2015
Antibiotik sefalosporin digunakan untuk terapi meningitis, pneumonia
dan septikemia. Sefalosporin mempunyai mekanisme kerja serta farmakologi
yang sama dengan penisilin. Sefalosporin dapat menyebabkan reaksi alergi dan
bisa terjadi sensitivitas silang terhadap penisilin. Sefalosporin terutama
diekskresikan oleh ginjal dan aksinya dapat diperpanjang dengan probenesid.
Semua sefalosporin mempunyai spektrum aktivitas anti bakteri yang sama luas,
meskipun obat-obat individual mempunyai aktivitas yang berbeda untuk
melawan bakteri tertentu. Sefadroksil diberikan secara oral dan digunakan pada
infeksi saluran kemih dimana organisme penyebabnya resisten terhadap
antibiotik lain. Sefuroksim diberikan melalui suntikan, seringkali sebagai
profilaksis dalam pembedahan (biasanya dengan metronidazol untuk melawan
bakteri anaerob). Sefuroksim resistensi terhadap inaktivasi oleh ƥ-laktamase
bakteri dan digunakan pada infeksi serius dimana antibiotik lain tidak efektif.
Seftazidim mempunyai kisaran aktivitas lebih besar dalam melawan bakteri
Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, tetapi kurang aktif
dibandingkan sefuroksim dalam melawan organisme Gram positif misalnya
Staphylococcus aureus. Seftazidim mencapai sistem saraf pusat dan digunakan
pada meningitis yang disebabkan oleh organisme Gram negatif. Seftriakson
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
mempunyai waktu paruh yang lebih panjang daripada sefalosporin lainnya dan
hanya diberikan sekali sehari.
Seftriakson merupakan sefalosporin generasi ketiga obat ini sangat
direkomendasikan untuk mengatasi Ensefalitis bakteri. Seftriakson memiliki
waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga
cukup diberikan satu kali sehari dengan dosis 20 – 50 mg/kg/hari. Namun bila
dosis lebih dari 1gr harus diberikan 2x atau lebih. Seperti pada pedoman
pengobatan dalam jurnal “The Management of Encephalitis : Clinical Practice
Guidelines by The Infectious Diseases Society of America” Seftriakson
digunakan untuk menangani Ensefalitis bakteri. Seftriakson bekerja dengan
tiga prinsip : pertama, obat berikatan dengan penicillin-binding protein (PBP)
pada kuman. Kedua, menghambat reaksi transpeptidase (tahap ketiga antar
rantai peptidoglikan dalam rangkaian pembentukan dinding sel bakteri).
Ketiga, obat mengaktivasi enzim autolisis pada dinding sel bakteri tersebut.
Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang diberikan
secara parenteral.26
Seftriakson merupakan obat yang paling sering digunakan di RSUP
Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015 menandakan bahwa kebanyakan
bakteri pada spesimen pus telah resisten terhadap kedua obat tersebut.
Sefalosporin generasi ketiga merupakan obat pilihan untuk infeksi serius akibat
bakteri enterik gram-negatif sangat resisten terhadap beta-laktamase dan
mempunyai aktivitas baik terhadap banyak bakteri.27
Sefotaksim dan Seftrazidim diindikasikan untuk Infeksi bakteri gram
positif dan gram negatif. Profilaksis pada pembedahan, Epiglotitis karena
hemofilus. Efek samping kedua obat ini sama berupa diare dan colitis yang
disebabkan oleh antibiotik (keduanya karena penggunaan dosis tinggi) mual
dan muntah. Rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi
berupa ruam, pruritus, urtikaria, demam dan atralgia, anafilaksis, eritema,
multiforme, nekrolisis epidermal toksis. Gangguan fungsi hati, hepatitis
sementara
dan
trombositopenia,
ikterus
kolestatis
leukopenia,
Gangguan
agranulositosis,
darah
anemia
:
eosinophilia,
aplastic,
anemia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
hemolitik. Nefritis interstisial reversible. Gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hypertonia dan pusing. Dosis untuk sefotaksim digunakan dalam 2-4
kali pemberian dengan dosis 100 - 500 mg/kg/hari. Pada infeksi berat dapat
ditingkatkan menjadi 200 mg/kg/hari. Dosis untuk seftrazidim digunakan
maksimum 6 gr/hari dibagi 3x pemberian.28 Penggunaan obat sefotaksim dan
seftrazidim pada pasien Ensefalitis di RSUP Fatmawati sama dengan petunjuk
pemberian yang telah dijelaskan sebelumnya.
Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang
digunakan pada infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri negatif aerob
terutama aktivitas bakterisidal terhadap Pseudomonas aeroginosa dan spesies
Enterobacter. Gentamisin memiliki kisaran terapi sempit dengan rentang
konsentrasi puncak 8-10 mg/L dan konsentrasi lembah 0,5-2 mg/L dimana
perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan atau bahkan menimbulkan efek toksik sehingga penggunaan
gentamisin memerlukan pengawasan level obat dalam plasma dan penyesuaian
dosis untuk mencegah timbulnya efek toksik.29 Gentamisin diindikasikan untuk
septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP lainnya.
Infeksi bilier, pioleonefritis karena Str. Viridand atau Str. Faecis (bersama
penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis karena
listeria. Pada pemberian obat gentamisin dapat digunakan secara i.m, i.v lambat
atau infus : 2-5 mg/kg/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Sesuaikan dosis
pada gangguan fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma. Ada 2 pasien di
RSUP Fatmawati yang diberikan obat gentamisin sebagai pengobatan dalam
mengatasi Ensefalitis bakteri. Dibandingkan golongan aminoglikosida lainnya
seperti kanamisin, amikasin, maupun netilmisin, antibiotik gentamisin lebih
mudah diperoleh serta harganya lebih terjangkau.30
Meropenem adalah termasuk golongan Karbapenem (suatu struktur
yang sama dengan penisilin), tetapi sangat resisten terhadap ƥ-laktamase.
Meropenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kuman
gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob. Lebih tahan terhadap enzim
diginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastatin. Meropenem diberikan
melalui suntikan intravena dengan dosis
untuk infeksi standar
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
mg/kgBB/dosis dan untuk infeksi berat 40 mg/kgBB/dosis pada meningitis
yang disebabkan Pseusomonas sp. Meropenem mempunyai spektrum aktivitas
yang lebar, tetapi tidak aktif melawan beberapa strain Pseudomonas dan
MRSA. Meropenem antibiotik golongan betalaktam yang bekerja melalui
cincin monosiklik betalaktam yang resisten terhadap betalaktamase yang
mempunyai aktivitas untuk organisme gram negatif dan positif. Menurut
Fauziyah at al. (2011), meropenem dan imipenem penggunaannya dibatasi
hanya untuk infeksi oleh bakteri yang telah resisten terhadap penisilin misalnya
P. aureginosa dan Acinobacter spp. Penelitian yang dilakukan oleh Sugandhi &
Prasenth (2014) menunjukkan bahwa pola sensitivitas antimikroba meropenem
efektif pada bakteri gram negatif seperti P. aureginosa dan E. coli.31
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang memiliki spektra kerja luas
terhadap bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Namun, karena
memiliki toksisitas yang tinggi dan masalah resistensi maka penggunannya pun
kini semakin jarang. Kloramfenikol memiliki mekanisme kerja menginhibisi
sintesis protein bakteri yaitu berikatan dengan subunit ribosom 50S. Resistensi
kloramfenikol dilaporkan terjadi pada Staphylococcus, S. pneumoniae, E. coli,
H.influenzae, N. meningitidis, Salmonella, dan Shigella. Center of Disease
Contol and Prevention (CDC) menyebutkan infeksi yang sering terjadi di
rumah sakit, 16% penyebabnya adalah bakteri resisten, dengan bakteri
penyebab terbanyak adalah MRSA dan VRE.32
Kloramfenikol diindikasikan sebagai obat untuk infeksi berat akibat H.
Influenzae, demam tiroid, meningitis dan abses otak, bacteremia, dan infeksi
berat lainnya. Kloramfenikol merupakan antibiotika pilihan utama yang
diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit
Fatmawati periode Januari 2001 – Desember 2002, karena keampuhan
kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya terhadap Salmonella
typhi disamping obat tersebut relatif murah. Namun Suharyo dkk. Dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada pengobatan demam tifoid
dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila dibandingkan dengan
penggunaan kotrimoksazol.33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti
riketsia, klamidia, mikoplasma, dan beberapa strain kuman gram positif dan
gram negatif. Dapat diberika secara oral, i.v atau infus dengan dosis
50mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis (pada infeksi berat seperti septikemia dan
infeksi SSP dosis digandakan dan segera diturunkan apabila terjadi perbaikan).
Anak : 50-100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Bayi dibawah 2 mnggu : 25
mg/kg/hari (dibagi dlm 4 dosis) 2 minggu – 1 th : 50 mg/kg/hari (dibagi 4
dosis). Namun pemakaian kloramfenikol dalam mengatasi Ensefalitis sangat
kurang dikarenakan efek samping obat tersebut berupa kelainan darah yang
reversible dan ireversibel seperti anemia aplastik (dapat berlanjut menjadi
leukemia).
Amikasin adalah kanamisin semisintetik dan lebih resisten terhadap
berbagai enzim yang dapat merusak aminoglikosida lain. Amikasin memiliki
spektrum aktivitas antimikroba terluas dari golongan aminoglikosida. Karena
keunikan resistensinya
terhadap enzim penginaktivasi
aminoglikosida,
amikasin aktif melawan sebagian besar basilus aerob gram-negatif di
lingkungan maupun di rumah sakit. Termasuk adalah sebagian besar galur
Serratia, Proteus dan P. aeruginosa. Beberapa rumah sakit membatasi
penggunaannya untuk menghindari resistensi. Amikasin aktif terhadap hampir
semua galur Klebsiella, Enterobactericeae dan E. coli yang resisten terhadap
tobramisin dan gentamisin.34 Diindikasikan untuk mengatasi infeksi gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin. Efek samping obat berupa gangguan
vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada pemberian
jangka panjang, koalitis karena antibiotik. Dapat diberikan secara i.m, i.v
lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 kali pemberian. Namun,
kekurangan pada obat ini yaitu apabila kadar puncak 91 jam tidak boleh lebih
dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dar 10 mg/liter.
Ampisilin aktif melawan bakteri Gram positif yang tidak menghasilkan
ƥ-laktamase dan karena obat tersebut berdifusi ke dalam bakteri Gram negatif
lebih mudah daripada benzilpenisilin. Obat ini juga aktif melawan banyak
strain Escherichia coli, Haemophilus influenzae dan Salmonella. Ampisilin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
lebih baik diberikan secara parenteral. Ampisilin diinaktivasi oleh bakteri
penghasil penisiline. Organisme yang resisten terhadap amoksisilin meliputi
sebagian besar Straphylococcus aureus, 50% strain Escherichia coli dan
sampai dengan 15% strain Haemophilus influenzae. Banyak ƥ-laktamase
bakteri dihambat oleh asam klavulanat dan campuran inhibitor ini dengan
amoksisilin (ko-amoksiklav) menyebabkan antibiotik menjadi efektif melawan
organisme penghasil penisiline. Ko-amoksiklav diindikasikan pada infeksi
saluran pernapasan dan saluran kemih yang dikonfirmasi resisten terhadap
amoksisilin.
Pada penelitian yang dilakukan oleh wirahmi, N dkk di bangsal anak
RSUD DR. M. Yunus Bengkulu dikatakan bahwa kombinasi antibiotik
gentamisin dan ampisilin banyak digunakan pada berbagai kasus.35 Kombinasi
antibiotika gentamisin dan ampisilin digunakan sebagai antibiotik lini pertama
untuk pasien anak. Hal ini disebabkan gentamisin yang dikombinasikan dengan
penisilin atau vancomisin menghasilkan efek bakterisid yang kuat, yang
sebagian disebabkan oleh peningkatan ambilan obat yang timbul karena
penghambatan sintesis dinding sel. Penisilin mengubah struktur dinding sel
sehingga memudahkan penetrasi gentamisin kedalam kuman. Gentamisin tidak
boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia sebab buruknya
penetrasi jaringan paru-paru yang terinfeksi dan kondisi-kondisi setempat
dengan tekanan oksigen yang rendah dan pH yang rendah turut andil terhadap
aktivitas yang buruk.36
Virus adalah parasit intraselular yang tidak mempunyai metabolisme
independen dan dapat bereplikasi hanya dalam sel pejamu yang hidup. Obatobat yang bersifat toksik selektif terhadap virus terbukti sangat sulit dihasilkan
karena siklus replika virus berkaitan sangat erat dengan proses metabolik sel
pejamu. Untuk alasan tersebut, sampai saat ini vaksin merupakan metode
utama untuk mengendalikan infeksi virus (misalnya poliomielitis, rabies,
demam kuning (yellow fever), campak, parotits, rubela). Beberapa obat
antivirus yang efektif telah diproduksi dan meskipun penggunaanya terbatas,
obat tersebut mengubah terapi beberapa penyakit terutama penyakit yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
disebabkan oleh infeksi virus herpes. Obat yang lebih baru, terutama asiklovir
adalah antivirus yang lebih efektif karena tetap inaktif sampai difosforilasi oleh
enzim yang cenderung disintesis oleh virus. Interferon alfa adalah suatu protein
antivirus yang normalnya dihasilkan oleh leukosit. Interferon alfa rekombinan
diberikan melalui suntikan pada terapi hepatitis B kronis persisten dan dalam
kombinasi dengan ribavirin pada hepatitis C kronis.
Asiklovir (asikloguanosin) merupakan obat yang menghambat sintesis
asam nukleat. Aktif terhadap virus herpes misalnya herpes simplek (HSV) dan
varisella zoster (VZV), mengandung timidin kinase yang mengubah asiklovir
menjadi bentuk monofosfat. Selanjutnya monofosfat mengalami fosforilasi
oleh enzim sel pejamu menjadi asikloguanosin trisfosfat yang menghambat
polimerase DNA virus dan sintesis DNA virus. Asiklovir bersifat toksik
selektif karena timidin kinase dari sel pejamu yang tidak terinfeksi hanya
mengaktivasi sedikit obat dan polimerase DNA dari virus herpes mempunyai
afinitas yang lebih besar untuk obat yang diaktivasi daripada polimerase DNA
seluler. Asiklovir aktif melawan virus herpes tetapi mengeradikasinya.
Asiklovir efektif secara topikal, oral dan parenteral. Jalur pemberian yang tepat
tergantung pada lkasi dan keparahan infeksi. Asiklovir banyak digunakan pada
terapi infeksi HSV genital dan dosis oral yang tinggi efektif dalam terapi
herpes zoster berat. Suatu kondisi sangat nyeri yang disebabkan oleh reaktivasi
infeksi VZV sebelumnya (yaitu cacar air).37
Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliantini, T dkk dikatakan bahwa
saat ini asiklovir intravena telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin,
dan merupakan obat pilihan pertama mengingat toksisitas vidarabin yang
sangat tinggi dalam pemberian intravena. Asiklovir merupakan bahan antivirus
yang secara selektif menghambat replikasi virus tanpa merusak sel normal
dengan mengadakan kompetisi dengan guanoside untuk DNA polimerase
virus. Asiklovir dikatakan mempunyai efek ikutan minimal. Obat ini diekskresi
melalui ginjal dan dosis harus diturunkan pada penderita dengan disfungsi
ginjal. Asiklovir diberikan selama 14-21 hari, kalau terbukti bukan EHS
pengobatan dihentikan walaupun belum 14 hari. Pemeriksaan PCR ulangan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
dari spesimen CSS diindikasikan untuk penderita yang tidak memberikan
respon klinis seperti yang diharapkan setelah pengobatan dengan asiklovir
selama 21 hari, jika hasilnya positif terapi antivirus harus diteruskan.
Pemberian asiklovir selama 21 hari dibandingkan dengan pemberian asiklovir
selama 14 hari terbukti lebih efektif menurunkan kejadian efek samping
neurologis dan risiko rekurensi pada EHS.38
Flukonazol obat Anti jamur golongan Triazol ini bekerja dengan
mempengaruhi aktifitas Cytochrome P450, menurunkan sintesa ergosterol
(sterol utama pada membran sel jamur) dan menghambat pembentukkan
membran sel. Anti jamur ini dapat diberikan secara oral atau intravena dan
telah berhasil digunakan pada mikosis superfisial dan sistemik (bukan
Aspergillus) spektrum luas. Tidak seperti ketokonazol, flukonazol tidak
hepatotoksik dan tidak menghambat sistesis steroid adrenal. Itrakonazol
diabsorpsi secara oral dan tidak seperti imidazol dan flukonazol, itrakonazol
aktif melawan Aspergillus. Varikonazol merupakan obat baru spektrum luas
yang digunakan untuk infeksi yang mengancam nyawa. Dosis untuk Meningitis
/septikemia karena kandida Bayi < 3 bulan : 5-6 mg/kgBB/hari, diberikan
secara oral atau IV drip 1 jam. Kriptokokus Inisial 12 mg/kgBB/hari pada hari
pertama, selanjutnya 6 mg/kgBB/hari sekali sehari. Dapat ditingkatkan sampai
12mg/kgBB/hari jika diperlukan tergantung kondisi dan respons pasien. Terapi
perlu diteruskan sampai 10-12 minggu setelah kultur cairan serebrospinal
menjadi negatif.
Amfoterisin B adalah obat anti jamur spektrum luas yang digunakan
untuk mengobati infeksi sistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh
aspergillus, kandida atau kriptokokus. Amfoterisin kurang baik diabsopsi
secara oral dan diberikan melalui infus intravena atau intratekal, bila sistem
saraf pusat terlibat. Efek samping sangat sering terjadi dan sebagian pasien
mengalami demam, menggigil dan mual. Terapi jangka panjang menyebabkan
kerusakan ginjal yang hampir tidak dapat dielakkan, yang reversibel hanya jika
dideteksi sejak dini. Amfoterisin yang diformulasi dalam liposom agak kurang
toksik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Mikonazol Nitrat topikal diindikasikan sebagai terapi tinea pedis, tinea
kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T. mentagrophytes, T. rubrum,
atau Epidermophyton floccosum Terapi pityriasis versicolor yang disebabkan
oleh Malassezia furfur, serta untuk terapi kandidiasis kutaneus (moniliasis).
Untuk Kandidiasis kutan diberikan 2 kali perhari. Mikonazol nitrat topikal
tidak boleh digunakan pada anak < 2 tahun kecuali atas perintah dan supervisi
dokter. Penggunaan obat ini pada anak 2-11 tahun perlu diawasi oleh orang
dewasa. Jika terjadi iritasi atau kulit pasien tidak membaik dalam 2 minggu
untuk tinea kruris atau 4 minggu untuk tinea pedis atau korporis, obat harus
dihentikan dan pasien perlu diperiksa dokter. Untuk kandidiasis kutan dan tinea
kruris/korporis perlu dipakai selama 2 minggu, dan tinea pedis selama 1 bulan.
Jika perbaikan klinis tidak terlihat setelah penggunaan 1 bulan maka diagnosis
perlu dievaluasi kembali. Karena kekurangan tersebut penggunaan anti jamur
ini sangatlah kurang dipakai sebagai pengobatan.
Fosfomisin Na merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat
tahap awal sintesis dinding sel bakteri. Transport obat ke dalam dinding sel
melalui sistem transpor gliserofosfat atau glukosa 6-fosfatase. Fosmosin aktif
terhadap bakteri grampositif dan gram-negatif. Secara in vitro, kombinasi
fosfomisin dengan antibiotik beta-laktam, aminoglikosida atau florokuinolon
memberikan efek sinergi.39 Ditujukan sebagai pencegahan infeksi pada
pembedahan abdomen. Dosis pada pasien dewasa 2-4gr, pada anak 100-200
mg/kgBB. Keduanya dengan drip infus IV terbagi dlm 2 dosis. Inj i.v Sama
dengan drip infus IV, tetapi diberikan terbagi dlm 2-4 dosis. Fosfomisin. Selain
itu, dalam kasus pemberian dosis besar dapat menyebabkan kejang.
Parasitisme adalah suatu hubungan dimana spesies biologis hidup
dalam ketergatungan terhadap spesies lain. Meskipun mikroorganisme seperti
bakteri diduga hidup dalam hubungan seperti ini, tetapi hanya protozoa dan
helmintes yang secara umum disebut sebagai parasit. Parasit secara khusus
adalah eukariot dan mempunyai siklus hidup yang kompleks. Pada daerah
tropis dan subtropis dimana banyak air dan temperatur tinggi memberikan
lingkungan yang optimal untuk larva dan pejamu vektor intermediat (misalnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
nyamuk). Penyakit karena parasit banyak terjadi dan tersebar luas. Kepadatan
penduduk, malnutrisi dan kurangnya sanitasi memudahkan penyebaran
penyakit dan sebanyak 100 juta orang dapat terinfeksi parasit. Obat-obatan
memegang bagian penting dalam terapi dan pengendalian penyakit karena
parasit, tetapi metode lain, misalnya kontrol vektor oleh insektisida dan
drainase tanah juga penting.
Salah satu obat yang digunakan dalam mengatasi Ensefalitis dengan
faktor penyebab parasit di RSUP Fatmawati yaitu Klindamisin dan
Pirimetamin. Klindamisin adalah obat pelengkap (komplemen) bila penisilin
tidak dapat diberikan. Klindamisin bersifat bakteriostatik yang aktif terhadap
aerob gram-positif dan spektrum anaerob yang luas. Penggunaannya terbatas
karena efek samping kolitis sering terjadi dan dapat berakibat fatal. Paling
umum terjadi pada wanita selama atau setelah pengobatan dengan klindamisin.
Pirimetamin adalah skizontisida yang efektif, tetapi kerjanya terlalu lambat
untuk mengobati serangan akut.12 Pada beberapa penelitian Klindamisin sering
dikombinasikan dengan Pirimetamin dalam mengatasi parasit, terutama untuk
mengobati Ensefalitis yang disebabkan oleh toxoplasma gondii.
Kotrimoksazol (Trimetoprim – Sulfametoksazol) diindikasikan
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas (bronkitis, pneumonia, infeksi
pada fibrosis sistik), melioidosis, listeriosis, brucellosis, otitis media, infeksi
kulit, pneumonia Pneumocystis jiroveci. Mekanisme kerja obat ini yaitu
Sulfametoksazol menghambat sintesis asam dihidrofolat bakteri berkompetisi
dengan asam para amiobenzoat. Trimetoprim menghambat produksi asam
tetrahidrofolat dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase. Dosis untuk
pengobatan pneumonia diberikan secara oral atau infus IV : Sulfametoksazol
hingga 100 mg/kgBB/hari + trimetoprim hingga 20 mg/kgBB/hari dalam 2-4
dosis terbagi selama 14-21 hari. Profilaksis pneumonia Oral : Sulfametoksazol
25 mg/kgBB + trimetoprim 5 mg/kgBB dalam 2 dosis terbagi selang sehari (3
kali seminggu) Pemberian Oral : Dapat diberikan dengan air pada keadaan
perut kosong. Parenteral : Infus IV dalam 60-90 menit, harus diencerkan 1:25.
Pada pasien dengan restriksi cairan yang ketat, pengenceran 1:15 atau 1:10.37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Pasien Ensefalitis paling banyak yang menggunakan obat golongan
kortikosteroid yaitu Deksametason (50,7%) dan obat golongan antiviral yaitu
Asiklovir (40,2%). Hal tersebut sama seperti yang dikutip dalam buku Infeksi
Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Imunologis, google books. EGC. Dimana
dinyatakan bahwa dalam penatalaksanaan Ensefalitis virus digunakan 2
pengobatan yaitu obat golongan kortikosteroid Deksametason digunakan untuk
pengobatan pasca-Ensefalitis dan obat golongan antiviral yaitu Asiklovir yang
bermanfaat untuk meringankan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan
mencegah timbulnya gejala sisa.28
Deksametason antibiotik golongan Kortikostreoid merupakan antiinflamasi yang bekerja dengan mekanisme menghambat enzim fosfolipase A2
sehingga akan mencegah pelepasan asam arakidonat yang memproduksi enzim
cyclooxygenase (COX). Enzim COX inilah yang bertanggung jawab atas
pembentukan prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dan nyeri.40
Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang
mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan
menekan pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujungujung saraf, hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan
yang mengalami proses inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh
deksametason akan menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan
sintesis enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga
menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α),
interleukin 1-β (IL-1β), dan interleukin-6 (IL-6).41
Diindikasikan untuk inflamasi dan alergi, syok, diagnosis sindroma
Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, edema serebral. Intranasal : alergi atau
inflamasi nasal dan polip Inhalasi oral : pengontrol asma bronkial persisten.
Tidak diindikasikan untuk menghilangkan bronkospasme akut. Sistemik dan
lokal inflamasi kronik, alergi, hematologi, neoplastik, penyakit autoimun,
boleh digunakan untuk menangani edema serebral, syok septik, dan diagnostik.
Pada neonatus sebagai terapi chronic lung disease (CLD) / displasia
bronkopulmoner untuk fasilitasi penyapihan ventilasi mekanik. Deksametason
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
dapat pula digunakan untuk mengatasi edema trakea sebelum dan setelah
ekstubasi pipa endotrakeal dan sebagai terapi penguat (ajuvan). Dosis untuk
Deksametason sebagai Anti inflamasi dapat diberikan secara oral, im, iv :
0,08-0,3 mg/kgBB/hari atau 2,5-10 mg/m2/dosis dalam dosis terbagi setiap 612 jam. Meningitis bakterial : > 2 tahun diberikan secara iv 0,6 mg/kgBB/hari
dibagi setiap 6 jam selama 4 hari pertama. Deksametason diberikan bersamaan
dengan dosis pertama antibiotik.12
Penggunaan obat untuk pasien Ensefalitis yang menerima perawatan di
RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015 menurut peneliti telah
dilakukan sesuai dengan pedoman pengobatan yang paling dianjurkan. Dimana
dalam penggunaan antibiotik pihak rumah sakit telah memberikan pengobatan
yang tepat sesuai dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien Ensefalitis.
Pedoman pengobatan merupakan petunjuk terapi yang mengacu pada berbagai
penelitian mengenai masing-masing penyakit dan hanya memuat pilihanpilihan terapi yang paling dianjurkan untuk masing-masing penyakit tersebut.42
Pedoman pengobatan disusun untuk setiap tingkat unit pelayanan kesehatan
seperti pedoman diagnosa dan terapi di Rumah Sakit yang bertujuan untuk
membantu dokter dalam menegakkan diagnosa dan pengobatan yang optimal
penyakit tertentu sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan pengobatan.
8. Distribusi Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan
Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Pasien yang sembuh atau melakukan berobat jalan setelah menjalani
rawat inap berjumlah 49 pasien (73,1%). Dapat dilihat pada rentang umur 0–5
th didapat 28 pasien, rentang umur 6–15 th didapat 10 pasien dan rentang umur
>15 th didapat 11 pasien. Penderita yang sembuh atau berobat jalan bearti
kondisi kesehatannya membaik dan akan melanjutkan pengobatan setelah
keluar dari rumah sakit untuk memulihkan kondisi penderita. Berobat jalan
yang paling sering dirujuk oleh dokter di RSUP Fatmawati adalah poli anak.
Dikarenakan penyakit Ensefalitis terbanyak yang menderita Ensefalitis di
RSUP Fatmawati adalah pasien dengan kelompok umur dibawah 5 tahun.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Penderita yang meninggal setelah dilakukan perawatan dan upaya
pengobatan dengan jumlah 17 pasien (25,4%). Dapat dilihat pada rentang umur
0 – 5 th didapat 10 pasien, rentang umur 6 – 15 th didapat 1 pasien dan rentang
umur >15 th didapat 6 pasien. Ini menunjukkan penderita atau keluarga
mencari pertolongan pengobatan sudah dalam keadaan parah karena gejala
Ensefalitis seperti gejala biasa seperti gejala flu sehingga terlambat untuk
didiagnosa dan terlambat untuk diobati secara cepat dan tepat. Prognosis
Ensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, lamanya
gejala atau sakit sebelum dirawat. Pasien yang pulang atas permintaan sendiri
hanya 1 pasien (1,5%), pasien menghentikan pengobatan di rumah sakit dan
sudah menganggap bahwa pelayanan apapun tidak akan dapat menolong atau
menyembuhkan penderita.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
a. Umur yang paling banyak menderita Ensefalitis adalah pasien dengan
kelompok umur >5 tahun (53,8%).
b. Latar belakang pasien Ensefalitis paling banyak dengan latar belakang
pendidikan belum sekolah dengan jumlah 53,8%.
c. Gejala klinis yang paling banyak terjadi pada pasien Ensefalitis di
RSUP Famawati adalah kejang (79,1%) dan demam (59,7%).
d. Pasien dengan komplikasi atau penyakit penyerta (68,5%) dan pasien
tanpa komplikasi atau penyakit penyertanya (31,4%).
e. Komplikasi atau penyakit penyerta tersering adalah TB paru dan
pneumonia yang pada umumnya menyerang anak-anak (10%).
f. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi
gejala klinis adalah Fenitoin (79,1%) dan Parasetamol (45%).
g. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi
Ensefalitis
adalah
Seftriakson
(45%),
Asiklovir
(40,2%)
dan
Deksametason (50,7%).
h. Hasil setelah melakukan pengobatan : pasien sembuh atau berobat jalan
(73,1%), pasien yang meninggal (25,4%) dan pasien yang pulang atas
permintaan sendiri (1,5%).
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
6.2 Saran
Berdasarkan pada penelitian, saran yang dapat diberikan adalah:
a. Perlu dilakukan perbaikan kelengkapan dan kejelasan dalam penulisan
data-data yang tercantum dalam rekam medik agar pihak yang
berkepentingan dapat lebih mudah mendapatkan data yang lengkap.
b. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan analisis berdasarkan
data rekam medik pasien. Peneliti tidak mengetahui atau melihat
kondisi pasien secara langsung. Karenanya perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai profil penggunaan obat pada pasien penderita
Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta
dengan menggunakan metode penelitian yang lainnya, seperti
pengambilan data secara prospektif.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
DAFTAR PUSTAKA
1. Stephen J. Falchek, MD. 2012. Encephalitis in the Pediatric
Population. Volume 33 No. 3 March 2012.
Downloadded from http://pedsinreview.aapublications.org diakses
tanggal 23 maret.
2. Paul lewis, Carol A. Glaser. 2005. Encephalitis. Volume 26 No. 10
October 2005.
Downloadded from http://pedsinreview.aapublications.org diakses
tanggal 23 maret.
3. Dirjen P2MPL, Subdit Zoonosis, 2003. Laporan serosurvey Japanese
Encephalitis. Depkes.
4. I Sendow, S Bahri. 2014. Perkembangan Japanese Encephalitis di
Indonesia. Peternakan.litbang.pertanian. Bogor.
5. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. 2008. Riskesdas 2007.
http://www.k4health.org/system/files/laporanNasional.20Riskesdas.202
007.pdf
6. Anonim, Ensefalitis dalam Arif M, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi
ke-3, Medik Aesculapius FK UI, Jakarta, 2000.
https://azurama.wordpress.com diakses tanggal 22 maret 2016
7. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Malaria. Dalam :
Buku ajar infeksi & pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI. 2008.
https://azurama.wordpress.com diakses pada tanggal 22 maret 2016
8. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito. Ensefalitis dalam Sutoyo, Standar
Pelayanan Medis, Ed. 2, Medika Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta, 2000.
9. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL et
al. The Management of Encephalitis : Clinical Practice Guidelines by
The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2008
10. Sukandar, et al. 2011. ISO Farmakoterapi 2. Jakarta: PT Isfi penerbitan
Hal : 722-73, 732-734, 738, 724, 835, 837, 844, 846, 864,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kelima. 2009. Hal :
602-604, 616-617, 641-642, 660, 664-674, 667-673, 678-686, 694-700,
700-703, 723-725
12. Tambunan, Prof, T. Dkk, 2013. Formularium Spesialistik Ilmu
Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia
13. MIMS Indonesia. Diakses pada tanggal 27 juni 2016
14. Anonim, Ensefalitis dalam Harsono, Neurologi Klinis, Ed. I. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta. 1996
15. Anief, M. 1991. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogjakarta :
Gadjah Mada Universiy Press.
16. R, Malau et al, 2012. Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat
Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth medan Tahun 2007-2011. FKM
USU, Medan. Vol. 1 No. 1
17. Jenson, H.B., and Baltimore, R.S., 2007. Infectious Disease : Fever
without a focus. In: Kliegman, R.M., Marcdante, K.J.
18. Laili, N et al. 2013. Kejang Berulang dan Status Epileptikus Pada
Ensefalitis Sebagai Faktor Risiko Epilepsi Pascaensefalitis. Sari
Pediatri, Vol. 15, N. 3 Oktober 2013
19. Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic
Medicine of Midwestern University.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/801598overview. diakses tanggal 20 Maret 2016.
20. Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington.
Available. [diakses pada tanggal 23 Maret 2016].
from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm.
21. Tidy, Colin, 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis.
http://www.patient.co.uk/doctor/EncephalitisandMeningoencephalitis.
22. Antoni Lamini (2002) TBC penyakit yang dapat disembuhkan dan
bukan penyakit keturunan. http://antonilamini.word press.com/
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
23. Prof. Dr. Mardjanis Said, SpA (K). Pengendalian Phemonia Anak –
Balita dalam Rangka Pencapaian MDG4. Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universits Indonesia. [Departemen
Kesehatan RI, Pheumonia Balita. Volume 3, September 2010]
24. Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, dr, SpA (K), M.Sc. Pneumonia
Pembunuh Balita. Ka Divisi Respirologi Departemen Kesehatan Anak,
Universitas Padjajaran. [Departemen Kesehatan RI, Pheumonia Balita.
Volume 3, September 2010]
25. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam : Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1 – 32
http://dokmud.wordpress.com.fenitoin diakses tanggal 8 mei 2016.
26. Istiantoro, Y. H, dan Gan V.G.H., (2007). Penisilin, Sefalosporin dan
Antibiotik Betalaktam lainnya dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi
Kelima. Editor Sulistia G. Ganiswara. Jakarta.
http://www.scribd.com diakses pada tanggal 10 mei 2016
27. Gilman, Goodman A. 2012, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi
Terapi, Ed 10, Jakarta, EGC
28. Books. Google. Infeksi Susunan Saraf Pusat dan Gangguan
Imunologis. Hal : 51. EGC diakses pada tanggal 20 maret 2016.
29. Kang, J.S., dan Lee, M.H., 2009, Overview of Therapeutic Drug
Monitoring, The Korean Journal of Internal Medicine.
Diakses dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. Vol.5
No.1/Maret 2015
30. Soegijanto, S., 2010, Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi
Di Indonesia, 8th Ed, Airlangga University Press, Surabaya.
Diakses dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 2015. Vol.5
No.1
31. Decroli, E., J. Karimi, dkk. 2008. Profil ulkus diabetik pada penderita
rawat inap di bagian penyakit dalam RSUP Dr. M Djamil Padang.
Diakses dari Jurnal Biologi Papua, 2014. Vol 6, Nomor 2
32. CDC, 2008, Antimicrobial-Resistant Pathogens Associated With
Healthcare-Associated Infections: Annual Summary of Data Reported
to the National Healthcare Safety Network at the Centers for Disease
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Control and Prevention, 2006–2007, Infection Control And Hospital
Epidemiology.
Diakses dari Jurnal Matematika & Sains, April 2014, Vol. 19 Nomor 1
33. Hadisaputro S. Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh Terhadap
Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid.
Jakarta:Direktorat Pembinaan Penelitian pada Masyarakat, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1990.
34. Gilman, Goodman A. 2012, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi
Terapi, Ed 10, Jakarta, EGC
35. Wirahmi, N dkk., Analisa Penggunaan Kombinasi Gentamisin dan
Ampisilin pada pasien Pediatri di Bangsal Anak RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu. Fakultas Farmasi Universitas Andalas
36. Katzung, B. G. 2001. Basic and Clinical Pharmacokinetics. United
States: The McGraw-Hill Companies
37. M.J neal. 2006. At a Glance FARMAKOLOGI MEDIS Edisi kelima.
Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 81 – 90
http://books.google.o.id diakses pad tanggal 27 juni 2016
38. Yuliantini, T., dkk. 2013. Diagnosa dan Tata Laksana Ensefalitis
Herpes Simpleks. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. RSUP Sanglah Denpasar
39. Setiabudy R. Antimikroba. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan terapi. Ed ke-5. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012
40. Kirwan T. Post-operative pain. Dalam : Holdcroft A, Jaggar S,
penyunting. Core topics in pain. New York: Cambridge University
Press; 2005 diakses dari Jurnal Anestesi Perioperatif, FKUP.
41. Romundstad L, et. Methylprednisolone reduces pain, emesis, and
fatigue after breast augmentation surgery: a single dose, randomized
parallel group study with methylprednisolone 125 mg, parecoxib 40
mg, and placebo. Anesth Analg. 2006
42. Departemen Kesehatan RI, 2001. Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas, Depkes.RI, Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Lampiran 1. Diagram Persentase Jumlah Data Rekam Medik Pasien
Ensefalitis yang Menjalani Rawat Inap Terhadap Pasien
Penyakit Saraf Lainnya di RSUP Fatmawati Periode
Tahun 2012 – 2015
159 rekam medik
pasien penyakit
saraf
67 (42%) pasien
Ensefalitis
92 (58%) pasien
penyakit saraf laiinnya
Lampiran 2. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur di
RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Pasien Ensefalitis
53.8
(%)
29.8
16.4
0-5 tahun
6-15 tahun
0-5 tahun
6-15 tahun
>15 tahun
>15 tahun
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 3. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis
Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012
– 2015
Jenis Kelamin
36
34
32
Jenis Kelamin
30
Laki-laki
Perempuan
Lampiran 4. Tabel Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode
Tahun 2012 – 2015
Pendidikan
N
%
Belum Sekolah
36
53,8
SD
11
16
SLTP
7
10
SLTA
9
13
Universitas
4
5,8
Pensiun
1
1,4
Jumlah
67
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 5. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala
Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 –
2015
Kejang
Penurunan Kesadaran
Tangan dan Kaki kaku
Leher Kaku
Mata Melotot
Sulit Komunikasi
Demam
Batuk
Sakit Kepala
Mual Muntah
Ketorolak Trometamin dan
Asam Mefenamat
Lampiran 6. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis dibedakan
Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di
RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
68.57
(%)
31.43
Pasien Ensefalitis
Pasien dengan Komplikasi atau Penyakit Penyerta
Pasien tanpa Komplikasi atau Penyakit Penyerta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 7. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Dalam Mengatasi
Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun
2012 – 2015
Penggunaan Obat
Parasetamol
Caferzon drop
Fenitoin
Bactofen
Sibital
Piracetam
Diazepam
Luminal
Kalsetin
Ambroxol
Proress Supp
Ranitidn
Zinkid
L - Bio
Bicnat
Omeprazole
Citicholin
Piracetam2
Manitol
Renalit 100cc
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Etambutol
Metronidazole
Tramadol
Vascon
Asetazolamide
Glaucon
Albumin
Metil Prednisolon
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Lampiran 8. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Pasien Ensefalitis
Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Seftriakson
Sefotaksim
Seftrazidim
Gentamisin
Meropenem
Kloramfenikol
Mikasin
Ampisilin
Asiklovir
Deksametason
Fluconazole
Mikonazole
Diflucan
Penggunaan Obat
Lampiran 9. Diagram Distibusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada
Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati
Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015
Akhir Pengobatan
Pulang Sembuh atau Pulang Berobat
Jalan
Pindah Rumah Sakit
Pulang Atas Permintaan Sendiri
Pulang Meninggal Dunia
73.1
0
1.5
25.4
(%)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Lampiran 10. Form Pengambilan Data
No RM……………
Tgl MRS………….
Tgl KRS…………..
Nama
:……………………
Umur
:…………………...
Berat Badan
:……………………
Tinggi Badan
:……………………
Indikasi / Alasan dirawat
: .........................
Diagnosa Masuk
: .........................
Diagnosa Keluar
: .........................
Kompliksi / Dx Penyerta
: .........................
Pengobatan Selama dirawat
: .........................
Kondisi Pulang
: .........................
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 12. Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUP Fatmawati
Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download