UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA PERIODE TAHUN 2012 – 2015 SKRIPSI LISA KHAIRANI 1110102000048 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2016 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA PERIODE TAHUN 2012 – 2015 SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi LISA KHAIRANI 1110102000048 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2016 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah basil karya saya sendiri, Dan semua somber baik dikutip maupun dir ujuk telah saya nyatakan dengan benar Nama : Lisa Khairani NIM : 1110102000048 Tanda Tangan : Tanggal : iii ~ 18 Juli 2016 HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Nama : Lisa Khairani Nim : Ill 0102000048 Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012- 2015 Disetujui oleh : Pembimbing I Pembimbing II Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN SyarifHidayatullah Jakarta ;U~ Dr. Nurrneilis, M.Si., Apt iv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh: Nama Lisa Khairani Nim 1110102000048 Program Studi Farmasi Judul Skripsi PROFIL PENGGUNAAN OBA T P ADA PASJEN PENY AKIT ENSEF ALITIS BERDASARKAN F AKTOR PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA PERIODE TAHUN 2012-2015 Telah bcrhasil dipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima scbagai bagian pcrsyaratan yang dipcrlukan untuk mcmpcrolell gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedoktcran dan Ilmu Kcschatan Universitas Islam Negcri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta. DE,VAN PEMBIMBING DAN PENGUJI Pcmbimbing 1 Dr. Delina Hasan, M.Kcs., Apt Pcmbimbing 2 Ahmad Subhan, S.Si, IV1.Si., Apt Penguji 1 Dr. M. Yanis Musdja, M.Si., Apt Penguji 2 Yardi, Ph. D., Apt !' ········~ ···~············· I·W.~~ .. :<J~ ............. Mcngetabui, Ketua Program Studi Farmasi FKJK UIAJ4:atullah Jakarta Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt Ditetapkan Jakarta Tanggal 18 Juli 2016 v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ABSTRAK Nama : Lisa Khairani Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 - 2015 Ensefalitis merupakan peradangan yang terjadi dijaringan otak dengan faktor penyebab tersering adalah virus. Gejala klinis yang timbul pada penderita Ensefalitis memiliki beberapa kesamaan dengan penyakit akibat infeksi virus, penderita Ensefalitis biasanya akan mengalami gejala seperti demam, sakit kepala, nyeri otot, mual dan muntah. Bila penyakit terus berkembang penderita Ensefalitis akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya. Penelitian ini bersifat Observasional dengan desain Cross Sectional terhadap rekam medik dan dikerjakan secara Retrospektif. Subjek pada penelitian ini adalah pasien Ensefalitis rawat inap yang menggunakan obat Ensefalitis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta periode tahun 2012-2015. Dari 159 data rekam medik yang berada dipoli syaraf bagian neurologi pasien yang menderita Ensefalitis berjumlah 67 pasien (42%) yang menjalani rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2012 – 2015. Dari 67 pasien Ensefalitis, ditemukan pasien paling banyak yang menderita Ensefalitis adalah kelompok umur >5 tahun. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan pada pasien penderita Ensefalitis adalah Seftriakson (45%) dan Asiklovir (40,2%). Hasil setelah melakukan pengobatan pasien sembuh atau berobat jalan (73,1%), pasien yang meninggal (25,4%) dan pasien yang pulang atas permintaan sendiri (1,5%). Kata kunci : Ensefalitis, anak-anak >5 tahun, Faktor penyebab, Penggunaan Obat, RSUP Fatmawati vi ABSTRACT Name : Lisa Khairani Study Program : Pharmacy Title : Profile of The Use Drug in Patients with Encephalitis According to Causative Factors in RSUP Fatmawati Jakarta Year Period 2012 – 2015. Encephalitis is an inflammation that occurs in the brain tissue factor which the common cause is a virus. Clinical symptoms that occur in Encephalitis patients have some similarities with the diseases caused by viral infections. Encephalitis patients usually experience symptoms such as fever, headache, muscle aches, nausea and vomiting. If the disease continues evolving, encephalitis patients will have seizures and loss of consciousness. This study is aimed to determine the profile of drug use in patients with encephalitis disease according to the causative factor. This study is observational with cross sectional design toward the medical record and it is done retrospectively. Subjects in this study were hospitalized Encephalitis patient who use Encephalitis drugs in the General Hospital Center (RSUP) Fatmawati Jakartayear period 2012-2015. From 159 medical records from the neurology section, there were 67 patients (42%) suffering Encephalitis hospitalized at Fatmawati Hospital in 2012 - 2015. From the 67 encephalitis patients, it was found that the most patients suffering from Encephalitis is from the age group > 5 years old. The drug which are most widely used by Encephalitis patients are Ceftriaxone (45%) and Acyclovir (40.2%). The results after the medical treatment are patients who recover or outpatients care (73,1%), patients who died (25,4%) and patients who go home at their own request (1,5%). keywords : Enchephalitis, Children >5 years-old, Causative Factor, Drug Use, RSUP Fatmawati vii KATA PENGANTAR Rasa syukur yang teramat sangat senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya serta segala nikmat-Nya kepada kita berupa kesehatan, pendidikan, kesempatan, serta umur sehigga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia mengikuti ajaran yang disampaikannya sehingga menuntun umatnya untuk selalu berada dijalan yang benar hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat yang telah ditentukan oleh Universitas Islam Negeri Jakarta pada Program Studi Farmasi untuk memperolah gelar Sarjana Farmasi. Adapun judul skripsi ini adalah “PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI RSUP FATMAWATI JAKARTA PERIODE TAHUN 2012 – 2015” Selama penulisan skripsi berlangsung, penulisan menyadari bahwa skripsi ini tidak akan rampung tanpa bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt selaku pembimbing I dan Ahmad Subhan, S.Si, M.Si., Apt selaku pembimbing II, yang telah meluangkan banyak waktu, pikiran dan tenaga serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dinas Pendidikan Sumatera Selatan yang telah memberikan beasiswa, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. viii 5. Ibu / Bapak dosen dan staff Akademik Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakart. 6. Seluruh staff Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta yang telah membantu selama pengambilan data di RSUP Fatmawati. 7. Ayahanda tercinta, Drs. Hamdan Effendi dan Ibunda tercinta, Niah Laila S.Pd.I terimakasih papa dan mama selalu memberikan doa, kasih sayang, cinta, bimbingan, dukungan dan semangat. Karena merekalah yang menumbuhkan semangat penulis untuk menyelesaikan skipsi ini. 8. Kakak tersayang Heni Riana S.E, Rully Ikhsan Bayumi A.Md, Octa Perdana S.Pd.I dan adikku Rahmat Shafari Abdillah yang selalu membantu baik secara fisik maupun mental dan selalu memberikan semangat selama penulisan skripsi ini. Serta adikku tercinta M. Syaifuddin (alm) yang telah mendahului kami semoga ia bahagia disana disisi ALLAH SWT, Amin. Kami mencintaimu. 9. Teman satu perjuangan, teman – teman penelitian, dan teman – teman beasiswa Sumsel. Sahabat seperjuangan Lu’luatil hayati, Isa desi, Khulfah Lativatuz, Lukluk Khoiriyah, Shofiah Malik dan khususnya kepada Mbak Fitri Nurmayati yang selalu memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih. 10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Dengan sangat sadar penulis mengakui dalam skripsi ini masih banyak sekali kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi ini. Jakarta, 18 Juli 2016 Penulis ix HALAMAN PERNYA T AAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Iama Lisa Khairani NIM 1110102000048 Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya Skripsi Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya meyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul : PROFIL PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT ENSEFALITIS BERDASARKAN FAKTOR PENYEBABNYA DI RSVP FATMAWATIJAKARTA PERIOE TAHUN 2012-2015 Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media digital lain yaitu Digital Library perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik scbatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pemyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Jakarta Pada Tanggal 18 Juli 2016 Yang menyatakan, bt- (Lisa Khairani) X DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... ABSTRAK ............................................................................................. ABSTRACT ........................................................................................... KATA PENGANTAR ........................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...... DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... DAFTAR ISTILAH .............................................................................. iii iv v vi vii viii x xi xiv xv xvi xvii BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................ 1.4 Tujuan Penelitian .................................................................. 1.4.1 Tujuan Umum ............................................................. 1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................ 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................ 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ..................................................... 1 2 3 3 3 3 4 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5 2.1 Ensefalitis .............................................................................. 2.1.1 Pengertian Ensefalitis .................................................. 2.2 Etiologi .................................................................................. 2.3 Klasifikasi ............................................................................. 2.3.1 Klasifikasi Ensefalitis ................................................ 2.4 Patofisiologi .......................................................................... 2.5 Manifestasi Klinis ................................................................. 2.6 Pemeriksaan Penunjang ....................................................... 2.6.1 Diagnosis ..................................................................... 2.6.2 Diagnosis Banding ...................................................... 2.7 Penatalaksanaan ................................................................... 2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis ............................................... 2.8.1 Obat Ensefalitis Bakteri .............................................. 2.8.1.1 Golongan Sefalosporin ................................... 2.8.1.2 Golongan Aminoglikosida .............................. 2.8.1.3 Golongan Penisilin Spektrum Luas ................ xi 5 5 5 5 5 8 9 9 10 12 12 19 19 19 22 23 2.8.1.4 Golongan Beta Laktam Lainnya...................... 2.8.1.5 Kloramfenikol ................................................. 2.8.2 Obat Ensefalitis Virus ................................................ 2.8.2.1 Golongan Antiviral ......................................... 2.8.3 Obat Ensealitis Parasit ................................................ 2.8.3.1 Golongan Linkosamida .................................. 2.8.3.2 Kotrimoksazol ............................................... 2.8.4 Obat Ensefalitis Jamur ................................................ 2.8.4.1 Golongan Triazol ............................................ 2.8.4.2 Golongan Polien ............................................. 2.8.4.3 Mikonazol Nitrat ............................................ 2.8.4.4 Fosfomisin Na ................................................ 2.9 Gejala Sisa dan Komplikasi ................................................ 2.10 Prognosis ............................................................................. BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep .................................................................. 3.2 Definisi Operasional ............................................................. 24 25 26 26 28 28 29 31 31 33 35 36 38 38 39 39 39 BAB 4 METODE PENELITIAN ......................................................... 40 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................ 4.2 Desain Penelitian ................................................................... 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................ 4.3.1 Populasi Penelitian ...................................................... 4.3.2 Sampel Peneitian ......................................................... 4.4 Kriteria Inklusi ...................................................................... 4.5 Pengumpulan Data ................................................................ 4.6 Cara Kerja ............................................................................. 4.7 Rencana Analisa .................................................................... 40 40 40 40 40 40 41 41 41 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 43 5.1 Hasil ...................................................................................... 5.1.1 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................... 5.1.2 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................... 5.1.3 Hasil Analisis Diagnosa Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ..................................... 5.1.4 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyertanya diRSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................... 5.1.5 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ..................................... xii 43 43 44 45 46 46 5.1.6 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan Obat dalam Mengatasi Gejala Klinis di RSUP Fatmwati Periode Tahun 2012 – 2015 .......... 47 5.1.7 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan Obat dilihat dari Faktor Penyebab Ensefalitis di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................................... 48 5.1.8 Hasil Analisis Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................... 49 5.6 Pembahasan ........................................................................... 50 5.6.1 Keterbatasan Penelitian ............................................... 5.6.2 Pembahasan Hasil Penelitian ...................................... 1. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ........................................ 2. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ............................................. 3. Analisis Diagnosa Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis ..................................... 4. Distribusi Pasien Penderita Ensefalitis Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya ............................................................ 5. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau Penyakit Penyertanya ................. 6. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis .... 7. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya .......................................................... 8. Distribusi Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan ............................ 50 50 50 51 52 53 54 55 56 65 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 66 6.1 Kesimpulan ........................................................................... 66 6.2 Saran ...................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 68 xiii TABEL GAMBAR Halaman Gambar 5.1 Grafik Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Pasien .............................................. 44 Gambar 5.2 Diagram Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau Penyertanya ............................................. 46 xiv DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 2.10 Terapi Kausatif Dapat disesuaikan Dengan Etiologi Penyebabnya ......................................................................... Ikatan Asosiasi Infeksi Amerika – US Sistem Peringkat Pelayanan Kesehatan Masyarakat untuk Rekomendasi Dalam Pedoman Klinis ......................................................... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Sefalosporin ......... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Aminoglikosida ... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Penisilin Spektrum Luas .... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Beta Laktam Lainnya ................................................................................. Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Kloramfenikol ...... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Antiviral ............... Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Linkosamida ........ Farmakologi Obat Ensefalitis Kotrimoksazol (Trimetoprim 13 17 19 22 23 24 25 26 28 – Sulfametoksazol) ............................................................... 29 Tabel 2.11 Tabel 2.12 Tabel 2.13 Tabel 2.14 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Triazol .................. Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Polien ................... Farmakologi Obat Ensefalitis Mikonazol Nitrat .................. Farmakologi Obat Ensefalitis Fosfomisin Na ...................... 31 33 35 36 Tabel 5.1 Distribusi Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ................................................................. Distribus Gejala Klinis Pada Pasien Ensefalitis di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ................................ Distribusi Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ............................................................... Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ............................................................... Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 .................................................. Distribusi Kondisi Pasien Penyakit Ensfalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 .................................................. Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 xv 43 45 46 47 48 49 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Diagram Persentase Jumlah Data Rekam Medik Pasien Ensefalitis yang Menjalani Rawat Inap Terhadap Pasien Penyakit Saraf Lainnya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 ............................................................. 72 Lampiran 2. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 .. Lampiran 3. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ........................................................................ Lampiran 4. Tabel Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ............................................................. Lampiran 5. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 .................................................................................... Lampiran 6. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ...... Lampiran 7. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Dalam Mengatasi Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ................................... Lampiran 8. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Pasien Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ................................... Lampiran 9. Diagram Distibusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 ................. Lampiran 10. Form Pengambilan Data ..................................................... Lampiran 11. Surat Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta .............. Lampiran 12. Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta ................................................................................ xvi 72 73 73 74 74 75 76 76 77 78 79 DAFTAR ISTILAH RSUP Fatmawati : Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati VHS : Virus Herpes Simpleks EEG : Electroencephalography i.v : Intra Vena i.m : Intra Muskular Supp : Suppositoria TB Paru : Tuberkulosis Paru SSP : Sistem Saraf Pusat OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid WHO : World Health Organization xvii 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ensefalitis adalah suatu peradangan yang menyerang otak (radang otak) disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit. Ensefalitis paling sering disebabkan oleh infeksi virus. Paparan virus dapat terjadi melalui percikan saluran napas, kontaminasi makanan dan minuman, gigitan nyamuk, kutu, dan serangga lainnya serta kontak kulit.1 Ensefalitis adalah penyakit dengan onset akut, gejala dapat berkembang dengan cepat dan anak-anak yang sebelumnya sehat menjadi lemah. Selain itu, dokter bahkan mengalami kesulitan untuk mengetahui penyebab, terapi yang tepat dan prognosis.2 Penyebab Ensefalitis terbanyak di Indonesia yaitu virus Japanese Ensefalitis. Virus Japanese Ensefalitis pertama kali dikenal pada tahun 1871 di Jepang. Diketahui menginfeksi sekitar 6000 orang pada tahun 1924, kemudian terjadi KLB besar pada tahun 1935 hampir setiap tahun terjadi KLB dari tahun 1946-1950.Virus Japanese Ensefalitis pertama di isolasi pada tahun 1934 dari jaringan otak penderita Ensefalitis yang meninggal. Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea, China, Indo-China, Thailand, Malaysia, sampai ke Indonesia serta India. Diperkirakan ada 35.000 kasus Japanese Ensefalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 2030%.3 Di Indonesia, kasus Japanese Ensefalitis pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dan pertama diisolasi dari nyamuk pada tahun 1972, didaerah Bekasi. Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47 kasus Ensefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap Japanese Ensefalitis. Penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2009 menyebutkan bahwa identifikasi kasus Ensefalitis dirumah sakit di Bali antara tahun 2001-2004 menemukan 163 kasus encephalitis dan 94 diantaranya secara serologis mengarah pada kasus Japanese Ensefalitis.4 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke-17 dengan persentase 0,8% setelah malaria. Meningitis/Ensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur dengan persentase 3,2%. Sedangkan proporsi Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu dengan persentase 9,3% setelah diare 31,4% dan pneumoni 23,8%. Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu 8,8% dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu 10,7%.5 Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati yang merawat pasien Ensefalitis. Dari 159 data rekam medik yang berada dipoli saraf bagian neurologi pasien yang menderita Ensefalitis berjumlah 67 pasien (42%) yang menjalani rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2012 – 2015. Selebihnya adalah pasien Meningitis, Ensefalopati, Paraparese, Myelitis, Meningoensefalitis dan Infeksi Intrakranial. Dari jumlah pasien yang dirawat di RSUP Fatmawati belum diketahui bagaimana profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 - 2015. Dari hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan, peneliti bermaksud untuk mengetahui penggunaan obat yang diberikan pada pasien Ensefalitis di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Hal ini yang nantinya akan dibahas lebih lanjut melalui judul “Profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 - 2015”. 1.2 Rumusan Masalah a. Tingkat kematian untuk Ensefalitis masih relatif tinggi disebabkan sulitnya diagnosa dan pengobatan yang lambat, sehingga tidak sedikit pasien yang kehilangan nyawa khususnya pada anak – anak. b. Adanya komplikasi dan penyakit penyerta pada pasien penderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 c. Belum diketahui faktor penyebab penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. d. Belum diketahui profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. 1.3 Pertanyaan Penelitian a. Bagaimana profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 - 2015? 1.4 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Untuk mengetahui profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. b. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pada pasien penyakit Ensefalitis. 2. Untuk mengetahui gejala klinis yang paling banyak dialami pasien penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. 3. Untuk mengetahui faktor penyebab penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 - 2015. 4. Untuk mengetahui penggunaan obat yang paling banyak digunakan sebagai pengobatan untuk menangani anamnesis atau gejala klinis pada pasien penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. 5. Untuk mengetahui profil penggunaan obat yang paling banyak digunakan pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 -2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4 1.5 Manfaat Penelitian a. Bagi RSUP Fatmawati Jakarta Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk membuat kebijakan dalam penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta. b. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai informasi bagi dokter, apoteker dan tenaga kesehatan lainnya mengenai profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya. c. Bagi Peneliti Peneliti dapat memperoleh ilmu pengetahuan mengenai karakteristik, penyebab terjadinya penyakit Ensefalitis dan profil penggunaan obat untuk pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya serta dapat menerapkannya di masyarakat. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Masalah penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis sangat luas, oleh karena itu pada penelitian ini peneliti membatasi masalah penelitian hanya pada profil penggunaan obat pada pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati periode tahun 2012 – 2015 dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 67 sampel yang dikumpulkan dari bulan febuari sampai dengan maret 2016. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ensefalitis 2.1.1 Pengertian Ensefalitis Ensefalitis menurut Mansjoer dkk adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan protozoa.6 Sedangkan, menurut Soedarmo dkk, Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat di medula spinalis dan meningen yang di sebabkan oleh Japanese Ensefalitis virus yang ditularkan oleh nyamuk.7 Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ensefalitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dan menularkan penyakit tersebut melalui vektor nyamuk, sehingga akan tejadi gangguan di susunan syaraf pusat. 2.2 Etiologi Ensefalitis disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia. Penyebab yang tersering adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Ensefalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi langsung cairan serebrospinal selama pungsi lumbal. Berbagai jenis virus dapat menimbulkan Ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam Ensefalitis virus. Menurut Soedarmo dkk, bahwa virus Ensefalitis berkembang biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma seperti babi, kuda, gigitan nyamuk dan lain lain. 2.3 Klasifikasi 2.3.1 Klasifikasi Ensefalitis Ensefalitis ini disebabkan antara lain oleh virus, bakteri, jamur, ricketsia (masuk melalui gigitan kutu), dan parasit. Kelimanya dapat diklasifikasi sebagai berikut : 5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 1. a. Ensefalitis Supurativa Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : Staphylococcus aureus, Streptococcus, E. Coli dan M. Tuberculosa. - Manifestasi klinis Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis : demam, kejang dan penurunan kesadaran. Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. b. Ensefalitis Sifilis Disebabkan oleh Treponema pallidum. Gejala Ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian : 1) Gejala-gejala neurologis, kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, penurunan kesadaran, sering dijumpai pupil Agryll- Robertson, nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguanangangguan motorik yang progresif. 2) Gejala-gejala mental, timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang mundur perlahan-lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu. 2. Ensefalitis Virus Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia : A. Virus RNA Paramikso virus : virus yang menyebabkan parotitis, morbili Rabdovirus : virus rabies Tugavirus : virus rubella flavivirus (virus Ensefalitis Jepang B, virus dengue) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 7 Picornavirus : enterovirus (virus polio, cockscakie A dan B, echovirus) Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoriab. B. Virus DNA Herpes virus : herpes zoster - varisella, herpes simpleks, sitomegali virus, virus Epstein - barr Poxvirus : variola, vaksinia Retrovirus : AIDS Manifestasi klinis : Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, penurunan kesadaran, timbul serangan kejangkejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris. 3. Ensefalitis Karena Parasit a. Malaria Serebral Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gejalagejala yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan. b. Toxoplasmosis Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejala- gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak. c. Amebiasis Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan MeningoEnsefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 8 d. Sistiserkosis Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi kerusakan. 4. Ensefalitis Karena Fungus (Jamur) Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans, Cryptococcus neoformans, Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah Meningo-ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun. 5. Riketsiosis Serebri Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat menyebabkan Ensefalitis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian kesadaran menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar. 2.4 Patofisiologi Setelah mikroorganisme masuk ke tubuh manusia yang rentan, melalui kulit, saluran pernapasan dan saluluran cerna. Virus menuju sistem getah bening dan berkembangbiak. Virus akan menyebar melalui aliran darah dan menimbulkan viremia pertama. Melalui aliran darah virus akan menyebar ke sistem saraf pusat dan organ eksterneural. Kemudian virus dilepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia ke dua yang bersamaan dengan penyebaran infeksi penyakit sistemik. Setelah terjadinya viremia, vius menembus dan berkembangbiak pada endotel vaskular dengan cara endositosis. Sehingga, dapat menembus sawan otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat virus bekembangbiak dalam sel dengan cepat pada retikulum endoplasma serta badan golgi yang menghancurkan mereka. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, ganglia dan endotel meningkat. Sehingga cairan di luar sel masuk ke dalam dan timbullah edema sistoksik. Adanya edema dan kerusakan pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 9 susunan saraf pusat ini memberikan manifestasi berupa Ensefalitis. Dengan masa prodmoral berlangsung 1-4 hari. Area otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basal, batang otak, hipotalamus dan korteks serebra.7 Virus-virus yang menyebabkan parotitis, morbili, varisela masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, VHS melalui mulut atau mukosa kelamin, virus yang lain masuk ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau CMV. Virus memperbanyak diri secara lokal, terjadi viremia yang menyerang SSP melalui kapilaris di pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer (gerakan sentripetal) misalnya VSH, rabies dan herpes zoster. 2.5 Manifestasi Klinis Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal yang dramatis berupa delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul kejang dan gerakangerakan abnormal. Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu yang mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada orang dewasa dan menjerit pada anak kecil. Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk, peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan. Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis Ensefalitis lebih kurang sama dan khas sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala berupa trias Ensefalitis yang terdiri dari demam, kejang dan penurunan kesadaran. 2.6 Pemeriksaan Penunjang - Pemeriksaan cairan serobrospinal - Pemeriksaan darah lengkap - Pemeriksaan feses - Pemeriksaan serologik darah (VDRL, TPHA) - Pemeriksaan titer antibody UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 10 - EEG - Foto thorax - Foto roentgen kepala - CT-Scan Arteriografi7 2.6.1 Diagnosis Diagnosis pasti untuk Ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak. Secara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik. Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan : a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan, kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 23 minggu terakhir terhadap penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-lain. b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan. Gangguan kesadaran Hemiparesis Tonus otot meninggi Reflek patologis positif Reflek fiisiologis menningkat Klonus Gangguan nervus kranialis Ataksia c. Pemeriksaan laboratorium 1. Pungsi lumbal untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan respons terhadap pengobatan spesifik. Pada Ensefalitis virus umumnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 11 cairan serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna. Kadar protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai 360% pada Ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55% yang disebabkan oleh toxocara canis. Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif. 2. Darah - Al (angka lekosit) : normal atau meninggi tergantung etiologi - Hitung jenis : normal/dominasi sel polimorfenuklear - Kultur : 80-90 % positif d. Pemeriksaan pelengkap • Isolasi virus Virus terdapat hanya dalam darah pada infeksi dini. Biasanya timbul sebelum munculnya gejala. Virus diisolasi dari otak dengan inokulasi intraserebral mencit dan diidentifikasi dengan tes-tes serologik dengan antiserum yang telah diketahui. • Serologi Antibodi netralisasi ditemukan dalam beberapa hari setelah timbulnya penyakit. Dalam membuat diagnosis perlu untuk menentukan kenaikan titer antibodi spesifik selama infeksi diagnosis serologik menjadi sukar bila epidemi yang disebabkan oleh salah satu anggota golongan serologik terjadi pada daerah dimana anggota golongan lain endemik atau bila individu yang terkena infeksi, sebelumnya pernah terkena infeksi virus arbo yang mempunyai hubungan dekat. Dalam keadaan tersebut, diagnostik etiologik secara pasti tidak mungkin dilakukan. • CT scan kepala Dapat digunakan CT scan atau MRI untuk mengevaluasi derajat pembengkakan dan tempat nekrosis. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 12 • EEG / Electroencephalography sering menunjukan aktivitas listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun, adanya kejang, koma, tumor, infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan. 2.6.2 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk Ensefalitis meliputi kemungkinan meningitis bakterial, tumor otak, abses ekstradural, abses subdural, infiltrasi neoplasma trauma kepala pada daerah epidemik, Ensefalopati, sindrom Reye. Pada kasus Ensefalitis supurativa diagnosa bandingnya adalah neoplasma, hematoma subdural kronik, tuberkuloma dan hematoma intraserebri.8 2.7 Penatalaksanaan Penderita baru dengan kemungkinan Ensefalitis harus dirawat inap sampai menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam basa darah. Tatalaksana yang dikerjakan sebagai berikut : 1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada Ensefalitis biasanya berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit. 2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung umur) dan pemberian oksigen. 3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 13 4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam untuk waktu lama.6 5. Pengobatan Untuk pengobatan dapat dibagi menjadi 2 macam terapi : terapi kausatif dan terapi simptomatis. Tabel 2.1 Terapi kausatif dapat disesuaikan dengan etiologi penyebabnya diadaptasi dari jurnal “The Management of Encephalitis : Clinical Practice Guidelines by The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2008” Penyebab Nama Rekomendasi Virus Herpes simplex Asiklovir dianjurkan (A-I) virus Varicella-zoster Asiklovir dianjurkan (B-III), gansiklovir dapat virus dijadikan alternatif (C-III); Ajuvan kortikosteroid dapat juga dijadikan alternatif (C-III) Cytomegalovirus Kombinasi gansiklovir ditambah foscarnet dianjurkan (B-III), sidofovir tidak dianjurkan, karena kemampuannya untuk menembus penghalang darah-otak sangat buruk Epstein-Barr Asiklovir tidak dianjurkan. Penggunaan kortikosteroid mungkin bermanfaat (C-III), tetapi potensi risiko harus dipertimbangkan Human Gansiklovir atau foscarnet harus digunakan pada Herpesvirus 6 pasien immunocompromised (B-III). Penggunaan agen ini pada pasien imunokompeten dapat dijadikan alternatif (CIII), tetapi tidak ada data yang baik pada efektivitas mereka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 14 B virus Valacyclovir direkomendasikan (B-III), agen alternative gansiklovir (B-III) dan asiklovir (CIII) Virus Influenza Oseltamivir dapat dipertimbangkan (C-III) Virus Campak Ribavirin dapat dipertimbangkan (C-III); intratekal ribavirin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan sub-akut sclerosing panencephalitis (C-III) Virus Nipah Ribavirin dapat dipertimbangkan (C-III) West Nile Virus Ribavirin tidak dianjurkan Virus ensefalitis IFN-a tidak direkomendasikan Jepang St. Louis IFN-2a dapat dipetimbangkan (C-III). ensefalitis virus HIV ART dianjurkan (A-II) JC virus Pembalikan imunosupresi (A-III) atau ART pada pasien yang terinfeksi HIV (A-II) sangat direkomendasikan Bakteri Bartonella Kloramfenikol, siprofloksasin, doxycycline, bacilliformis ampisilin, atau trimetoprim-sulfametoksazol dianjurkan (B-III) Bartonella Doxycycline atau azitromisin, dengan atau tanpa henselae rifampisin, dapat dipertimbangkan (C-III) Listeria Ampisilin ditambah Gentamisin monocytogenes direkomendasikan (A-III); trimetoprimsulfametoksazol merupakan alternative pada pasien alergi penisilin (A-III) Mycoplasma Terapi antimikroba (azitromisin, doxycycline, pneumoniae atau fluorokuinolon) dapat dipertimbangkan (C-III) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 15 Mycobacteria Tropheryma Seftriakson, diikuti dengan baik trimetoprim- whipplei sulfametoksazol atau sefiksim, dianjurkan (B-III) Mycobacterium Terapi 4-obat anti-tuberkulosis harus dimulai tuberculosis (A-III), deksametason ajuvan harus ditambahkan pada pasien dengan meningitis (B-I) Rickettsioses Anaplasma dan phagocytophilum ehrlichiosis Ehrlichia Doxycycline dianjurkan (A-III) Doxycycline dianjurkan (A-II) chaffeensis Rickettsia Doxycycline dianjurkan (A-II), kloramfenikol rickettsii dapat dipetimbangkan sebagai alternatif dalam memilih skenario klinis, seperti kehamilan (C-III) Coxiella burnetii Doxycycline ditambah fluorokuinolon dan rifampisin dianjurkan (B-III). Spirochetes Jamur Borrelia Seftriakson, sefotaksim, atau penisilin G burgdorferi dianjurkan (B-II) Treponema penisilin G dianjurkan (A-II), seftriakson pallidum merupakan alternatif (B-III) Coccidioides Flukonazol dianjurkan (AII), alternative yaitu spesies itrakonazol (B-II), vorikonazol (B-III), dan amfoterisin B (intravena dan intratekal) (C-III). Cryptococcus Pengobatan awal dengan amfoterisin neoformans deoxycholate B ditambah flucytosine (A-I) atau formulasi lipid amfoterisin B ditambah flucytosine (A-II) direkomendasikan Protozoa Histoplasma Amfoterisin B liposomal diikuti oleh itrakonazol capsulatum dianjurkan (B-III) Acanthamoeba Trimetoprim-sulfametoksazol ditambah rifampisin ditambah ketokonazol (C-III) atau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 16 flukonazol ditambah sulfadiazine ditambah pirimetamin (C-III) dapat dipertimbangkan Balamuthia Pentamidin, dikombinasikan dengan macrolide mandrillaris (azitromisin atau klaritromisin), flukonazol, sulfadiazin, flusitosin, dan fenotiazin dapat dipertimbangkan (C-III) Naegleria fowleri Amfoterisin B (intravena dan intratekal) dan rifampisin, dikombinasikan dengan agen lain, dapat dipertimbangkan (C-III). Plasmodium Kina, quinidine, atau artemeter dianjurkan (A- falciparum III), atovakuon-proguanil adalah alternatif (BIII), transfusi tukar direkomendasikan untuk pasien dengan 110% parasitemia atau malaria serebral (B-III) kortikosteroid tidak dianjurkan Toxoplasma Pirimetamin lebih baik ditambah sulfadiazin atau gondii klindamisin sangat dianjurkan (A-I), Sulfametoksazol trimethoprim (B-I) dan pirimetamin lebih baik ditambah atovakuon, klaritromisin, azitromisin, atau dapson (B-III) alternatif Trypanosoma Eflornithine dianjurkan (A-II), melarsoprol brucei gambiense merupakan alternatif (A-II) Trypanosoma Cacing brucei rhodesiense Melarsoprol dianjurkan (A-II) Baylisascaris Albendazole ditambah diethycarbamazine dapat procyonis dipertimbangkan (C-III), kortikosteroid adjunctive juga harus dipertimbangkan (B-III). Spesies Albendazole (B-III) atau ivermectin (B-III) Gnathostoma dianjurkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 17 Taenia solium Perlu pengobatan harus individual, albendazole dan kortikosteroid direkomendasikan (BIII), praziquantel dapat dipertimbangkan sebagai alternatif (C-II). Postinfectious atau status post vaccination Akut kortikosteroid dosis tinggi direkomendasikan (B- disebarluaskan III); alternatif termasuk pertukaran plasma (B-III) Encephalomyelitis dan imunoglobulin intravena (CIII)9 Tabel 2.2 Ikatan asosiasi infeksi Amerika – US sistem peringkat pelayanan kesehatan masyarakat untuk rekomendasi dalam pedoman klinis Kategori, Tingkatan / kelas Definisi A Bukti bagus dalam mendukung sebuah rekomendasi untuk digunakan B Bukti sedang dalam mendukung sebuah rekomendasi untuk digunakan C Bukti kurang untuk mendukung sebuah rekomendasi Kualitas bukti I Bukti ≥1 random, percobaan terkontrol II Bukti ≥1 percobaan klinik dirancang dengan baik, tanpa random, dari kohort atau kasus terkontrol studi analisis (lebih dari 1 pusat) dari kelipatan time-series atau dari hasil eksperimen yang tidak terkontrol. III Bukti dari pendapat otoritas yang dihormati, berdasarkan eksperimen klinis dan studi deskriptif Catatan. Adaptasi dari Kanada periodik untuk pemeriksaan secara berskala UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 18 Pengobatan simptomatis dapat berupa : 1. Oksigen 2. Nutrisi baik enteral maupun parenteral 3. Analgetik dan antipiretik : parasetamol 10 mg/kgBB/dosis 4. Antikonvulsi : Diazepam supp 0,5-0,75 mg/kgBB/dosis atau iv 0,30,5 mg/kgBB/dosis saat kejang. Kemudian apabila tidak berhenti dapat diberikan loading Fenitoin 15-20 mg/kgBB dan Fenitoin maintenance 6-8 mg/kgBB/hari. 6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh 7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet. 8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi kebutuhan pernapasan buatan. Perawatannya, yaitu mata : cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC atau salep antibiotika. Cegah decubitus dengan merubah posisi penderita tiap 2 jam. Penderita dengan gangguan menelan dan akumulasi sekret lakukan postural drainage dan aspirasi mekanis.7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 19 2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis 2.8.1 Obat Ensefalitis Bakteri 2.8.1.1 Golongan Sefalosporin No Nama Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Sefalosporin termasuk Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin antibiotik betalaktam seperti sefaleksin, sefradin, sefaklor dan yang bekerja dengan cara sefadroksil dapat diberikan per oral menghambat sistesis karena diabsorpsi melalui saluran dinding sel mikroba. cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat Sefalosporin aktif diberikan parenteral. Sefalotin dan terhadap kuman gram sefapirin umumnya diberikan secara i.v positif dan gram negatif, karena menimbulkan iritasi pada tapi spektrum pemberian i.m. Beberapa sefalosporin antimikroba masing – generasi ketiga misalnya moksalaktam, masing derivate sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson bervariasi. mencapai kadar tinggi dalam cairan Serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Farmakologi sefalosporin mirip dengan penisilin, ekskresi terutama melalui ginjal dan dapat dihambat oleh probenesid. 1 Sefotaksim Indikasi : Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada pembedahan, Epiglotitis karena hemofilus. ESO : Diare dan colitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduanya karena penggunaan dosis tinggi) mual dan muntah. Rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, demam dan atralgia, anafilaksis, eritema, multiforme, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 20 nekrolisis epidermal toksis. Gangguan fungsi hati, hepatitis sementara dan icterus kolestatis Gangguan darah : eosinophilia, trombositopenia, leukopenia, agranulositosis, anemia aplastic, anemia hemolitik, nefritis interstisial reversible, gangguan tidur, hiperaktivitas, bingung, hypertonia dan pusing. Dosis : Pemberian injeksi i.m , iv atau infus : 1 gr tiap 12 jam, dapat ditingkatan sampai 12 gr per hari dalam 3-4 kali pemberian (dosis diatas 6 gr/hari diperlukan untuk infeksi pseudomonas). Neonatus : 50 mg/kg/hari dalam 2-4 kali pemberian. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan 150-200 mg/kg/hari. Anak : 100-500 mg/kg/hari dalam 2-4 kali pemberian (pada infeksi berat dapat ditingkatkan menjadi 200 m/kg/hari). Gonore : 1gr dosis tunggal.10 2 Seftriakson Indikasi : Untuk infeksi berat seperti septikemia, pneumonia dan meningitis. ESO : Garam kalsium seftriakson kadang –kadang menimbulkan presipitasi dikandung empedu. Tapi biasanya menghilang bila obat dihentikan. Dosis : Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Pemberian secara injeksi intramuskuler dalam bolus intravena atau infus 1gr dalam dosis tunggal. Dosis lebih dari 1gr harus diberikan 2x atau lebih. Anak diatas 6 minggu : 20 – 50 mg/kg/hari, dapat naik sampai 80 mg/kg/hari. Diberikan dalam dosis tunggal, bila lebih dari 50 mg/kg, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore tanpa komplikasi : 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah : 1gr dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal.11 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 21 3 Sefuroksim Indikasi : Profilaksis tindakan bedah, lebih aktif terhadap bakteri gram negatif. Lebih tahan terhadap penisilinase dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrhoaea. ESO : Lihat Sefotaksim Dosis : Oral : untuk sebagian besar kasus termasuk infeksi saluran nafas atas dan bawah : 250mg 2x sehari. Untuk kasus berat, dapat ditingkatkan 2x lipat. Parenteral : Injeksi i.m, bolus iv atau infus : 750mg tiap 6-8 jam, pada infeksi berat : 1,5gr tiap 6-8 jam. Pemberian lebih dari 750mg hanya boleh sacara iv. Anak : 30-100 mg/kg/hari (rata-rata 60 mg/kg/hari) dibagi dalam 34 dosis. Injeksi i.v : tiap 8 jam anak : 200-240 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis diturunkan menjadi 100mg/kg/hari atau setelah adanya perbaikan klinis. Neonates : 100 mg/kg/hari kemudian diturunkan menjadi 50mg/kg/hari.10 4 Seftazidim Indikasi : Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada pembedahan, Epiglotitis karena hemofilus. ESO : Lihat Sefotaksim Dosis : Pemberian injeksi i.m dalam i.v atau infus : 1gr tiap 8 jam, 2gr tiap 12 jam. Pada infeksi berat : 2 gram tiap 8-12 jam, pemberian lebih dari 1gr hanya secara i.v. Usia lanjut : dosis maksimum 3 gr/hari. Bayi sampai 2 bulan : 25-60 mg/kg/hari dalam 2x pemberian. Diatas 2 bulan : 30-100 mg/kg/hari dibagi 2-3 kali pemberian. Pada meningitis atau imonodefisiensi : maksimum 6 gr/hari dibagi 3x pemberian.11 Tabel 2.3 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Sefalosporin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 22 2.8.1.2 Golongan Aminoglikosida Nama Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Aminoglikosida bersifat bakterisidal dan Aminoglikosida tidak aktif terhadap bakteria gram positif dan diserap melalui saluran gram negatif. Amikasin, gentamisin dan cerna, sehingga harus tobramisin juga aktif terhadap diberikan secara parenteral. Pseudomonas aeruginosa. Streptomosin Ekskresi terutama melalui aktif terhadap Mycobacterium ginjal. Pada gangguan tuberculosis dan penggunaanya sekarang fungsi ginjal dapat terjadi hampir terbatas untuk tuberkulosa. akumulasi. Gentamisin Indikasi : Pneumonia, kolesistisis, peritonitis, septikemia, pyelonefritis, infeksi kulit, inflamasi pada tulang panggul, endokarditis, meningitis, listeriosis, tularaemia, brucellosis, pes, pencegahan infeksi setelah pembedahan. ESO : Gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, koalitis karena antibiotik. Dosis : Injeksi i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma. Anak dibawah 2 minggu : 3 mg/kg tiap 12 jam : 2 minggu – 2 bulan : 2 mg/kg tiap 8 jam. Injeksi intratekal : 1 mg/hari, dapat dinaikkan sampai 5 mg/hari disertai pemberian i.m 2-4 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiap 8 jam. Profilaksis endocarditis pada dewasa : 120mg. Anak dibawah 5th : 2mg/kg. Note : kadar puncak (1 jam) tidak boleh lebih dari 10 mg/liter dan kadar lembah (trough) tidak boleh lebih dari 2 mg/liter.11 Amikasin Indikasi : Infeksi gram negatif yang resisten terhadap gentamisin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 23 ESO : Gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, koalitis karena antibiotik. Dosis : Injeksi i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 kali pemberian. Note : kadar puncak 91 jam tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dar 10 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dari 10 mg/liter Tabel 2.4 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Aminoglikosida 2.8.1.3 Golongan Penisilin Spektrum Luas Nama Obat Ampisilin Farmakodinamik Farmakokinetik Mekanisme Kerja : Ampisilin dapat diberikan per Menghambat sintesa dinding oral, tapi yang diabsorpsi tidak bakteri melalui penghambatan lebih dari separuhnya. Absopsi tahap akhir sintesa peptidoglikan lebih rendah lagi bila ada dinding protein bakteri. makanan dalam lambung. Indikasi : Ampisilin yang masuk ke dalam Infeksi saluran kemih, otitis media, empedu mengalami sirkulasi sinusitis, bronchitis, kronis, enterohepatik, tetapi yang salmonellosis invasi, gonore diekskresi bersama tinja ESO : jumlahnya cukup tinggi. Penetrasi Mual, diare, ruam, kadang – kadang ke CSS dapat mencapai kadar terjadi colitis karena antibodi yang efektif pada keadaan Dosis : peradangan meningen. Oral : 0,25 – 1 gram tiap 6 jam Ampisilin disekresi ke dalam diberikan 30 mnt sebelum makan sputum sekitar 10% kadar serum. untuk gonore : 2 - 3 – 5 gr dosis Pada bayi prematur dan neonatus, tunggal, ditambah 1 gr probenesid. pemberian ampisilin Infeksi saluran kemih : 500 mg tiap menghasilkan kadar dalam darah 8 jam, Infeksi intramuscular, yang lebih tinggi dan bertahan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 24 intravena atau infus : 500 mg tiap 4 lebih lama dalam darah.10 – 6 jam. Anak dibawah 10 th : setengah dosis dewasa. Tabel 2.5 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Penisilin spektrum luas 2.8.1.4 Golongan Beta Laktam Lainnya Nama Obat Farmakodinamik Meropenem Meropenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kuman gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob. Lebih tahan terhadap enzim diginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastatin. Indikasi : Infeksi berat oleh kuman gram negatif yang resisten terhadap antibiotik turunan penisilin dan sefalosporin generasi ketiga serta resisten terhadap bakteri yang memproduksi extended spectrum beta lactamase (ESBL) ESO : Mual, muntah, diare, ruam kulit, kejang, hipotensi Dosis : Infeksi standar IV : 20 mg/kgBB/dosis Infeksi berat IV : 40 mg/kgBB/dosis pada meningitis yang disebabkan Pseusomonas sp.12 Tabel 2.6 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Beta Laktam Lainnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 25 2.8.1.5 Kloramfenikol Nama Obat Farmakologi Farmakodinamik Farmakokinetik Obat ini didistribusikan Kloramfenikol Mekanisme Kerja : Kloramfenikol bekerja dengan secara baik ke berbagai menghambat sintesis protein kuman. jaringan tubuh, termasuk Indikasi : jaringan otak, cairan Untuk infeksi berat akibat H. Influenzae, serebrospinal dan mata. demam tiroid, meningitis dan abses otak, Di dalam hati kloramfenikol bacteremia, dan infeksi berat lainnya. mengalami konjugasi Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dengan asam glukuronat terhadap kuman yang peka seperti riketsia, oleh enzim glukuronil klamidia, mikoplasma, dan beberapa strain transferase. Oleh karena itu kuman gram positif dan gram negatif. waktu paruh kloramfenikol ESO : memanjang pada pasien Kelainan darah yang reversible dan gangguan faal hati. Dari ireversibel seperti anemia aplastic (dpt seluruh kloramfenikol yang berlanjut mnjadi leukemia), neuritis, diekskresi melalui urin, periper, neutitis optic, eritma multirorme, hanya 5-10% dalam bentuk mual, muntah, diare, stomatitis, glositis, aktif. Sisanya terdapat hemoglobinuria nocturnal. dalam bentuk glukuronat Dosis : atau hidrolisat lain yang Oral, injeksi i.v atau infus : 50mg/kg/hari tidak aktif. Bentuk aktif dibagi dalam 4 dosis (pada infeksi berat kloramfenikol diekskresi seperti septikemia dan infeksi SSP dosis terutama melalui fitrat digandakan dan segera diturunkan apabila glomerulus sedangkan terjadi perbaikan). Anak : 50-100 metabolitnya dengan sekresi mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Bayi tubulus.10 dibawah 2 mnggu : 25 mg/kg/hari (dibagi dlm 4 dosis) 2 mggu – 1 th : 50 mg/kg/hari (dibagi 4 dosis) Tabel 2.7 Farmakologi Obat Ensefalitis Golongan Kloramfenikol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 2.8.2 Obat Ensefalitis Virus 2.8.2.1 Golongan Antiviral Nama Obat Farmakologi Farmakodinamik Asiklovir Farmakokinetik Mekanisme Kerja : Absopsi : oral : 15-30%. Asiklovir diubah menjadi asiklovir Distribusi Vd 0,8 L/kg 63,6 L) monofosfat oleh virus spesifik thymidine terdistribusi luas misalnya ke kinase dan kemudian diubah menjadi otak, ginjal, paru, hati, limpa, asiklovir trifosfat oleh enzim sel lainnya. otot, uterus, vagina dan CSS. Asiklovir trifosfat menghambat sintesa Ikatan protein 9-33%. DNA dan replikasi virus dengan cara Metabolisme diubah oleh berkompetisi dengan deoxyguanosine enzim virus menjadi asiklovir triphosphate DNA polymerase virus dan monofosfat dan kemudian bergabung ke DNA virus. oleh enzim sel menjadi Indikasi : difosfat dan akhirnya trifosfat Herpes Simpleks dan Varisella Zoster. sebagai bentuk aktif. ESO : Bioavaibilitas : oral : 10-20% Ruam kulit, gangguan saluran cerna, pd fungsi ginjal normal, peningkatan bilirubin dan enzim hati, bioavaibilitas menurun dengan peningkatan ureum dan kreatin, sakit peningkatan dosis. Waktu kepala, gangguan neurologis, gangguan paruh : terminal neonates darah, lesu. Pada pemberian i.v dapat terjadi 4jam, anak-anak 1-12th 2inflamasi lokal yang berat (kadang-kadang 3jam, dewasa : 3jam. Waktu menimbulkan ulkus) bingun, halusinasi, untuk mencapai kadar puncak agitaso, tremor, somnolen, psikosis, diserum oral : 1,5-2jam. konvulsi dan koma. Ekskresi urin : 62-90% Dosis : sebagai bentuk utuh dan Oral : Pengobatan herpes simpleks : metabolit.10 200mg (400mg pada immunosompromised atau bila ada gangguan absopsi) 5x sehari selama 5hr. anak dibawah 2th setengah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 27 dosis dewasa. Diatas 2 th berikan dosis dewasa. Pencegahan herpes simpleks kambuhan : 200mg 4x sehari atau 400mg 2x atau 3x sehari dan interupsi setiap 6-12bln. Profilaksis herpes simpleks pada immunocopromised 200-400 4x sehari. Anak dibawah 2th dosis dewasa. Pengobatan varisela dan herpes zoster 800mg 5x sehari selama 7hr. anak varisela : 20 mg/kg (maks. 800mg) 4x sehari selama 5hr. dibawah 2th : 200mg 4x sehari, 2-5th : 400mg 4x sehari. Diatas 6th : 800mg 4x sehari. Infus i.v (selama 1 jam) : pengobatan herpes simpleks pada imunocompromised, herpes genital berat awal dan varicella zoster : 5 mg/kg setiap 8 jam biasanya untuk 5hr, dosis digandakan 10mg/kg setiap 8 jam untuk varicella zoster pada imunocompromised dan pada Ensefalitis simpleks (bayi – 3 bulan, 10mg/kg tiap 8 jam biasanya 10hr pada ensefalitis). Anak 3bln – 12th herpes simpleks dan varicella zoster : 250mg setiap 8 jam biasanya 5hr. dosis digandakan 500mg untuk varicella zoster pada immunocompromised dan Ensefalitis simpleks ( biasanya diberikan 10hr pd Ensefalitis).12 Tabel 2.8 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Antiviral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 28 2.8.3 Obat Ensefalitis Parasit 2.8.3.1 Golongan Linkosamida Nama Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Klindamisin Klindamisin adalah obat pelengkap (komplemen) Klindamisin oral bila penisilin tidak dapat diberikan. Klindamisin bioavaibilitasnya bersifat bakteriostatik yang aktif terhadap aerob 90%, jumlah serum gram-positif dan spektrum anaerob yang luas. puncak 2,5, ikatan Penggunaannya terbatas karena efek samping kolitis protein ~90%, T1/2 sering terjadi dan dapat berakibat fatal. Paling umum 2,4-3 jam, eliminasi terjadi pada wanita selama atau setelah pengobatan hepatik >90 bentuk dengan klindamisin. tidak berubah di Mekanisme Kerja : urin. Secara IM Berikatan dengan ribosom 50s dan menekan sintesis jumlah serum protein. puncak 6-9, dan Indikasi : secara IV jumlah Infeksi stafilokokus pada sendi dan tulang seperti serum puncak 7-14. osteomielitis peritonitis, profilaksis endokarditis. ESO : Diare (hentikan pengobatan), sakit perut, mual, muntah, kolitis karena antibiotik, ruam, ikterus, gangguan fungsi hati, netropenia, eosinofilia, agranulositosis dan trombositopenia nyeri, indurasi dan abses flebitis setelah suntikan intra vena. Dosis : Osteomielitis dan peritonitis : Oral, 3 – 6 mg/kgBB setiap 6 jam. Injeksi IM dalam atau infus IV. Neonatus : 15 – 20 mg/kgBB/hari; > 1 bulan: 15-40 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis terbagi. Infeksi berat minimal 300 mg perhari, tanpa mempertimbangkan berat badan.12 Tabel 2.9 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Parasit Golongan Linkosamida UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 29 2.8.3.2 Kotrimoksazol (Trimetoprim – Sulfametoksazol) Nama Obat Kotrimoksazol Farmakodinamik Farmakokinetik Trimetoprm- Mekanisme kerja obat : (Trimetoprim – Sulfametoksazol menghambat sintesis sulfametoksazol diabsorpsi Sulfametoksazol) asam dihidrofolat bakteri berkompetisi dengan cepat setelah dengan asam para amiobenzoat. pemberian oral. Sekitar Trimetoprim menghambat produksi 44% trimetoprim dan 70% asam tetrahidrofolat dengan sulfametoksazol terikat menghambat enzim dihidrofolat dengan protein. Waktu reduktase. paruh dengan pemberian Indikasi : oral, trimetoprim adalah 8- Infeksi saluran kemih, infeksi saluran 11 jam dan napas (bronkitis, pneumonia, infeksi sulfametoksazol adalah pada fibrosis sistik), melioidosis, 10-12 jam. Trimetoprim listeriosis, brucellosis, otitis media, dimetabolisme menjadi infeksi kulit, pneumonia Pneumocystis bentuk yang lebih kecil jiroveci. dan sulfametosazol Kontraindikasi : mengalami Hipersensitif terhadap sulfonamid atau biotransformasi menjadi trimetoprim, porfiria. senyawa tidak aktif. ESO : Mual, muntah, ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, fotosensitivitas) hentikan obat dengan segera. Gangguan darah (neutropenia, trombositopenia, agranulositosis dan purpura) hentikan obat dengan segera. Reaksi alergi, diare, stoatitis, glositis, anoreksia, artralgia, mialgia. Kerusakan hati seperti ikterus dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 30 nekrosis hati, pankreatitis, kolitis terkait antibiotik, eosinofilia, batuk, nafas singkat, infiltrat paru, meningitis aseptik, sakit kepala, depresi, konvulsi, ataksia, tinitus. Anemia megaloblastik karena trimetroprim, ganguan elektrolit, kristaluria, gangguan ginjal termasuk nefritis interstisialis. Dosis : Pengobatan pneumonia Oral atau infus IV : Sulfametoksazol hingga 100 mg/kgBB/hari + trimetoprim hingga 20 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis terbagi selama 14-21 hari. Profilaksis pneumonia Oral : Sulfametoksazol 25 mg/kgBB + trimetoprim 5 mg/kgBB dalam 2 dosis terbagi selang sehari (3 kali seminggu) Pemberian Oral : Dapat diberikan dengan air pada keadaan perut kosong. Parenteral : Infus IV dalam 60-90 menit, harus diencerkan 1:25. Pada pasien dengan restriksi cairan yang ketat, pengenceran 1:15 atau 1:10.10 Tabel 2.10 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Parasit Trimetoprim – Sulfametoksazol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 31 2.8.4 Obat Ensefalitis Jamur 2.8.4.1 Golongan Triazol Nama Obat Flukonazol Farmaodinamik Farmakokinetik Mekanisme Kerja : Distribusi keseluruhan Mempengaruhi aktifitas Cytochrome P450, tuuh, menembus menurunkan sintesa ergosterol (sterol utama dengan baik CSS, pada membran sel jamur) dan menghambat mata, cairan pembentukkan membran sel. peritoneal, dahak, Indikasi : kulit, dan urin. Difusi Kandidiasis vulvovaginitis, esofagus, orofaring relatif dari darah ke dan infeksi kandida sistemik CSS adekuat dengan Formularium Anak atau tanpa inflamasi. Meningitis akibat Cryptococcus neoformans, Ikatan protein plasma terapi blastomikosis, koksidioidomikosis, 11-12%. histoplasmosis. Infeksi jamur superfisial, Bioavailabilitas oral dermatofitosis, dan onikomikosis. Profilaksis >90%. Waktu paruh infeksi jamur berat pada pasien dengan HIV eliminasi pada fungsi dan pasien imunokompromais lainnya. ginjal normal sekitar Umumnya digunakan untuk mengatasi 30 jam. Waktu untuk infeksi jamur sistemik pada pasien yang tidak mencapai puncak di respons terhadap amfoterisin B. serum lewat oral 1-2 ESO : jam. Ekskresi lewat Nause, sakit perut, kadang kembung, gangguan urin (80% dalam enzim hati, kadang-kadang ruam (hentikan obat bentuk utuh). atau awasi secara ketat), angioudem, anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnsons, pada pasien AIDS pernah dilaporkan reaksi kulit yang hebat. Dosis : Berkisar 3-12 mg/kgBB/hari, dosis melebihi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 32 600 mg/hari tidak dianjurkan. Meningitis /septikemia karena kandida Bayi < 3 bulan : 5-6 mg/kgBB/hari, oral atau IV drip 1 jam. Kriptokokus Inisial 12 mg/kgBB/hari pada hari pertama, selanjutnya 6 mg/kgBB/hari sekali sehari. Kandidiasis orofaring dan esofagus 6 mg/kgBB hari pertama, dilanjutkan dengan 3 mg/kgBB sehari. Dosis untuk kandidiasis dapat dinaikkan sampai 12 mg/kgBB/hari jika diperlukan, tergantung respons dan kondisi pasien. Dosis untuk kandidiasis orofaring perlu dilanjutkan sampai minimum 2 minggu untuk mengurangi relaps. Dosis untuk kandidiasis esofagus perlu dilanjutkan sampai minimum 3 minggu dan paling sedikit 2 minggu setelah gejala hilang. Kandidiasis sistemik Dosis 6-12 mg/kgBB/hari Profilaksis primer Kriptokokosis pada bayi dengan HIV dan anak dengan gangguan imunosupresi berat 3-6 mg/kgBB/ hari sekali sehari. Profilaksis jangka panjang untuk rekurensi kandidiasis mukokutaneus (orofaring atau esofagus) atau kriptokokosis pasien bayi dan anak dengan HIV : 3-6 mg/kgBB sekali sehari. Untuk profilaksis koksidioidomikosis digunakan 6 mg/kgBB sekali sehari. Tabel 2.11 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Triazol UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 33 2.8.4.2 Golongan Polien Nama Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Amfoterisin B sedikit sekali Amfoterisin B Mekanisme Kerja : Amfoterisin B berikatan kuat dengan diserap melalui saluran cerna. sterol yang terdapat pada membran sel Suntikan IV dengan dosis 0,6 jamur, sehingga membran bocor mg/kgBB/hari akan terjadi kehilangan beberapa bahan memberikan kadar antara 0,3- intrasel dan mengakibatkan kerusakan 1 μg/ml. Waktu paruh obat ini yang tetap pada sel. Bakteri, vius dan kira-kira 24-48 jam pada riketsia tidak dipengaruhi oleh dosis awal yang diikutioleh antibiotik ini karena jasad renik ini eliminasi fase kedua dengan tidak mempunyai gugus sterol pada waktu paruh kira-kira 15hr, membran selnya. Pengikatan sehingga kadar mantapnya kolesterol pada membran sel hewan (Steady state concentration) dan manusia oleh antibiotik ini diduga baru akan tercapai setelah sebagai salah satu penyebab efek beberapa bulan pemberian. toksiknya. Aktifitas anti jamur nyata Penyebaran ke jaringan dan pada pH 6,0-7,5 berkurang pada pH biotransformasi obat belum yang lebih rendah. Amfoterisin A dan diketahui seluruhnya. Kira- B merupakan hasil fermentasi dari kira 95% obat amfoterisin B Streptomycin nodosus, 98% campuran beredar dalam plasma terikat ini terdiri dari Amfoterisin B yang pada lipoprotein. Kadar mempunyai aktivitas anti jamur. amfoterisin B dalam cairan Merupakan antibiotik polien yang pleura, peritoneal, sinovial bersifat basa amfoter lemah, yang dan kuosa yang mengalami menyerang sel jamur yang sedang peradangan hanya kira-kira tumbuh dan sel matang. Antibiotik ini 2/3 dari kadar sebagian kecil bersifat fungistatik atau fungisidal mencapai CSS, humor vitreus tergantung dari dosis dan sesitivitas cairan amnion. Ekskresi obat jamur yang dipengaruhi. ini melalui ginjal berlangsung lambat sekali, hanya 30% dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 34 Indikasi : jumlah yan diberikan pada 24 Digunakan untuk infeksi jamur jam sebelumnya ditemukan sistemik dan aktif pada sebagian jamur dalam urine. dan ragi. Kandidas intestinal. ESO : Bila diberikan secara parenteral, anoreksia, nausea, muntah, diare, sakit perut, demam, sakit kepala, sakit otot dan sendi, anemia, gangguan fungsi ginjal (termasuk hypokalemia dan hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal, toksisitas kardiovaskuler (termasuk aritmia), gangguan darah dan neurologis (kehilangan pendengaran, diplopa, kejang, neuropati, perife), gangguan fungsi hati (hentikan terbuka), ruam, reaksi anafilaksis. Dosis : Oral : untuk kandidas intestinal 100200mg tiap 6 jam, injeksi i.v : infeksi jamur sintematik, dosis percobaan 1mg selama 20-30mnt dilanjutkan dengan 250 μg/kg/hr, pelan-pelan dinaikkan sampai 1 mg/kg/hr, maksimum 1,5 mg/kg/hr atau selang sehari.10 Tabel 2.12 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Golongan Polien UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 35 2.8.4.3 Mikonazol Nitrat Nama Obat Mikonazol Nitrat Farmakodinamik Indikasi : Topikal untuk terapi tinea pedis, tinea kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T. mentagrophytes, T. Rubrum atau Epidermophyton floccosum Terapi pityriasis versicolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur, serta untuk terapi kandidiasis kutaneus (moniliasis). ESO : Iritasi, rasa terbakar kadang-kadang terjadi. Dermatitis kontak dilaporkan terjadi pada pemakaian derivat imidazol, reaksi sensitivitas silang dapat terjadi pada derivat imidazol (misalnya klotrimazol, mikonazol, ekonazol, oksikonazol, tiokodazol, sulkonazol). Dosis : Pityriasis versicolor: 1 x/hari. Kandidiasis kutan : 2 kali/hari. Untuk kandidiasis kutan dan tinea kruris/korporis perlu dipakai selama 2 minggu, dan tinea pedis selama 1 bulan. Jika perbaikan klinis tidak terlihat setelah penggunaan 1 bulan maka diagnosis perlu dievaluasi kembali. Note. Mikonazol nitrat topikal tidak boleh digunakan pada anak < 2 tahun kecuali atas perintah dan supervisi dokter. Penggunaan obat ini pada anak 2-11 tahun perlu diawasi oleh orang dewasa. Jika terjadi iritasi atau kulit pasien tidak membaik dalam 2 minggu untuk tinea kruris atau 4 minggu untuk tinea pedis atau korporis, obat harus dihentikan dan pasien perlu diperiksa dokter.12 Tabel 2.13 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Mikonazol Nitrat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 36 2.8.4.4 Fosfomisin Na Nama Obat Farmakodinamik Farmakokinetik Penyerapan dan Ekskresi: Fosfomisin Na Indikasi : Pencegahan infeksi pd pembedahan konsentrasi darah puncak abdomen. rata-rata 157,3 mcg / mL Dosis : dicapai pada saat Dws 2-4 g. Anak 100-200 mg/kgBB. penyelesaian infus. Ini secara Keduanya dengan drip infus IV terbagi bertahap menurun setelahnya, dlm 2 dosis. Inj IV Sama dg drip infus mendekati tingkat 2,6 mcg / IV, tetapi diberikan terbagi dlm 2-4 mL pada 12 jam setelah infus. dosis. Serum paruh adalah 1,8 jam. ESO : Tingkat pemulihan kemih Hati: SGOT, SGPT dan ALP, LDH, adalah 96% dari rata-rata γ-GPT dan bilirubin dapat meningkat. dalam 2 jam pertama. Ginjal: Proteinuria dan kelainan pada Berdifusi efisien untuk organ tes Fishberg mengembangkan dalam dan jaringan dan kasus yang jarang, dan kadang-kadang diekskresikan dalam urin nilai BUN tinggi dan edema dapat dalam bentuk tidak berubah berkembang. Organ pernapasan: Batuk aktif. dan serangan asma dapat Konsentrasi jaringan : Pada mengembangkan pada kesempatan pasien dengan infeksi saluran langka. sakit kepala dan perasaan mati pernapasan, IV injeksi 1 g rasa dari bibir setelah penggunaan menghasilkan konsentrasi Fosmicin. Selain itu, dalam kasus sputum rata-rata 7 mcg / mL pemberian dosis besar, kejang. selama 3 jam pertama setelah Gangguan hematologi: Pada injeksi. kesempatan langka, agranulositosis Distribusi ke cairan dapat berkembang, dan anemia, cerebrospinal diamati pada eosinofilia, granulositopenia dan pasien dengan meningitis trombositopenia. setelah injeksi IV atau terus- Pencernaan: Stomatitis, mual, muntah, menerus infus IV drip. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 37 sakit perut, diare dan anoreksia Toksikologi: Toksisitas akut: kadang-kadang berkembang. LD50 natrium fosfomycin Kulit: Letusan, urtikaria, eritema dan (FOM-Na) gatal jarang mengembangkan. Injection Site: Flebitis berkembang pada kesempatan langka dan angialgia sesekali dapat terjadi. Lainnya: Ada kejadian sakit kepala kusam, mulut kering, vertigo dan ketidaknyamanan dada dan kadangkadang, pasien mungkin mengalami perasaan tekanan pada dada.13 Tabel 2.14 Farmakologi Obat Ensefalitis Anti Jamur Fosfomisin Na UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 38 2.9 Gejala Sisa dan Komplikasi Gejala sisa maupun komplikasi karena Ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap. Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat. Komplikasi yang terjadi pada Ensefalitis adalah : pasien dapat mengalami ketidakmampuan permanen, kerusakan otak atau meninggal akibat ensefalitis dan dapat timbul kejang.14 2.10 Prognosis Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan. Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita. Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada prognosis virus entero. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 39 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Rekam Medik Pasien Ensefalitis Pemeriksaan Data No. Rekam Medik, Nama, Obat yang digunakan pada Usia, Jenis kelamin, Latar pasien penderita Ensefalitis di Belakang Pendidikan, RSUP Fatmawati Jakarta periode Gejala Klinis. tahun 2012 – 2015. 3.2 Definisi Operasional a. Rekam Medik adalah suatu dokumen yang berisikan tentang catatan pasien seperti karakteristik pasien, pemeriksaan (test kultur), tindakan dan pengobatan. b. Pasien Ensefalitis adalah penderita penyakit Ensefalitis yang mengalami peradangan pada jaringan otak yang disebabkan oleh mikroba seperti bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. c. Obat adalah Suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.15 39 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 40 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta mulai bulan febuari 2016 s.d maret 2016. 4.2 Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode cross section dengan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Diharapkan dengan metode ini, tujuan penelitian dapat tercapai. 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah catatan data rekam medik pasien Ensefalitis yang menggunakan obat dan terdapat datanya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. 4.3.2 Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah sampel dengan pengambilan secara total sampling yaitu sebanyak 67 pasien Ensefalitis. 4.4 Kriteria Inklusi 1. Rekam medik pasien penderita Ensefalitis yang catatannya lengkap. 2. Rekam medik pasien penderita Ensefalitis yang dirawat inap di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. 3. Pasien penderita Ensefalitis yang menggunakan obat. 4. Pasien penderita Ensefalitis dan penyertanya. 5. Indikator terapi ( sebagai panduan ) untuk mengetahui akhir dari pengamatan. 40 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 41 4.5 Pengumpulan Data 1. Data Pasien 2. Rekam medik pasien Ensefalitis 3. Catatan penggunaan obat di depo farmasi 4.6 Cara Kerja 1. Peneliti mengambil data rekam medik pasien dengan membawa nama dan nomor rekam medik pasien periode tahun 2012 - 2015. Data yang diambil meliputi: a. Nama, usia, jenis kelamin b. Tanggal masuk Rumah Sakit c. Tanggal Keluar Rumah Sakit d. Diagnosis penyakit e. Obat-obat yang digunakan 2. Peneliti mengambil data dari catatan penggunaan di depo farmasi pada periode tahun 2012 - 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.7 Rencana Analisa Setelah data didapat dari rekam medik kemudian analisis data dilakukan secara deskriptif untuk melihat sebaran data yang ada, antara lain: a. Karakteristik dari pasien ( jenis kelamin, umur dan latar belakang) di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. b. Distribusi gejala klinis yang paling banyak dialami oleh pasien penyakit Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. c. Distribusi pasien Ensefalitis dibedakan berdasarkan pasien yang memiliki komplikasi atau penyakit penyerta dengan pasien yang tidak memiliki komplikasi atau penyaki penyertanya. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 42 d. Distribusi pasien penyakit Ensefalitis berdasarkan jenis komplikasi atau penyakit penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. e. Distribusi pasien berdasarkan penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi gejala klinis di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. f. Distribusi pasien berdasarkan penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi penyakit Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. g. Distribusi kondisi pasien Ensefalitis pada saat pulang setelah melakukan pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 43 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Proses pengambilan data di rekam medik RSUP Fatmawati dimulai dengan mengelompokkan data rekam medik pasien yang menderita penyakit Ensefalitis yang dirawat inap pada tahun 2012 – 215. Data yang diambil meliputi data karakteristik pasien sesuai dengan inklusi (pasien dengan diagnosa Ensefalitis dan penyertanya, data rekam medik lengkap, pasien yang mendapatkan pengobatan dan rawat inap). Dari 159 data rekam medik yang berada dipoli syaraf bagian neurologi jumlah pasien yang menderita Ensefalitis berjumlah 67 pasien yang menjalani rawat inap di RSUP Fatmawati tahun 2012 – 2015. Selebihnya adalah pasien Meningitis, Ensefalopati, Paraparese, Myelitis, Meningoensefalitis dan Infeksi Intrakranial. 5.1.1 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.1 Distribusi Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Jenis Kelamin Laki – Laki Perempuan N % N % N % 0–5 17 53.1 19 54.3 36 53.8 6 – 15 4 12.5 7 20 11 16.4 >15 11 34.4 9 25.7 20 29.8 Jumlah 32 100 35 100 67 100 Umur Jumlah (Tahun) Pengelompokkan umur diatas berdasarkan R Malau et al (2012). 43 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 Tabel diatas menunjukkan hasil bahwa pasien yang menderita Ensefalitis sebagian besar pada umur 0–5 tahun (53.8%), umur 6–15 tahun (16.4%) dan umur >15 (29.8%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin pasien yang menderita Ensefalitis laki – laki (48%) dan perempuan (52%). 5.1.2 Hasil Analisis Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 2015 Gambar 5.1 Grafik Pasien Penyakit Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Pasien di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Belum atau Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Universitas Pensiun 5% 2% 13% 10% 53.8% 16% Grafik diatas menunjukkan hasil bahwa pasien paling banyak yang menderita Ensefalitis adalah pasien dengan latar belakang pendidikan belum sekolah (53.8%). Selebihnya adalah dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar, SLTP, SLTA,universitas dan pensiunan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 45 5.1.3 Hasil Analisis Diagnosa Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.2 Distribusi Gejala klinis Pasien Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Gejala Klinis N % Kejang 58 86.5 Penurunan Kesadaran 40 59.7 Tangan dan Kaki Kaku 10 15 Leher Kaku 2 3 Mata Melotot 10 15 Sulit Berkomunikasi (Bicara Kacau) 7 10.4 Demam 40 59.7 Batuk 11 16.4 Sakt Kepala 9 13.4 Muntah Mual 37 55.2 Diare 25 37.3 Sesak Nafas 8 12 Tidak Nafsu Makan 3 4.5 Pucat 2 3 Selalu Mengantuk 2 3 Gelisah 2 3 Lemas 6 9 BB Menurun 1 1.5 Keterangan : N = Pasien Tabel diatas menunjukkan bahwa gejala klinis yang terjadi pada pasien Ensefalitis yang paling banyak adalah yang mengalami gejala klinis seperti kejang (86.5%), demam (59.7%) dan penurunan kesadaran (59.7%). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 46 5.1.4 Hasil Analisis Pasien Penyakit Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.3 Distribusi Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 - 2015 Perbedaan N % Pasien dengan komplikasi atau penyertanya 55 68.57 Pasien tanpa komplikasi atau penyertanya 12 31.43 Jumlah 67 100 Keterangan : N = Pasien Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah pasien Ensefalitis dengan komplikasi atau penyertanya (68.57 %). Sedangkan pasien tanpa komplikasi atau penyertanya (31.43%). 5.1.5 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Pada Tahun 2012 – 2015 Gambar 5.2 Diagram Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau Penyertanya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 - 2015 10 10 7 5 2 4 2 4 4 4 5 7 2 4 5 5 2 2 Komplikasi Pneumonia Diare Akut Dehidrasi Berat Suspec Immunocomprised Sepsis TBC Paru HIV Aids HFMD Hipokalami Gizi Kurang Gagal Nafas Infeksi Saluran Kemih Hidrosefalu Anemia Hiperglikemia Hipokalemi Hemiparese Dextra SLE Bronkapneumonia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 47 Diagram diatas menunjukkan bahwa dari 67 pasien Ensefalitis yang dirawat di RSUP Fatmawati periode tahun 2012 – 2015, pasien dengan komplikasi atau penyerta yang paling banyak dialami oleh pasien Ensefalitis adalah penyakit seperti TB Paru dan Pneumonia (10%). 5.1.6 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan Obat dalam Mengatasi Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Pada Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.4 Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 2015 Gejala Klinis N % Pengobatan N % Demam 31 45 Kejang 9 53 13.4 79.1 Batuk 5 11 7.46 10.4 Sakit Kepala Diare 4 9 25 6 10.4 37 2 37 29 10 3 55.2 43.2 15 Parasetamol Caferzon drop Fenitoin Bactofen Sibital Piracetam Diazepam Luminal Kalsetin Ambroxol Proress Supp Parasetamol Ranitidin Zinkid L – Bio Bicnat Omeprazole Ranitidin Citicholin 30 1 30 2 6 2 6 3 1 6 1 5 10 5 4 1 6 8 10 45 1.5 45 3 9 3 9 4.5 1.5 9 1.5 7.4 15 7.4 6 1.5 9 12 15 Memulihkan gejala pasca trauma 2 3 Piracetam 2 3 Diuretik Osmotik 4 6 Manitol 4 6 Mual/muntah Mengurangi Kerusakan Otak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 48 Dehindrasi ringan – sedang TBC Paru Pencegahan infeksi bakteri pasca operasi Pereda rasa sakit setelah operasi Mengendalikan tekanan darah Glukoma 1 1.5 Renalit 100cc 1 1.5 10 15 7 2 10.4 3 Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Metronidazole 1 1 1 1 2 1.5 1.5 1.5 1.5 3 1 1.5 Tramadol 1 1.5 1 1.5 1 1.5 4 6 Vascon (norepineprin) Asetazolamide (Diamox) Glaucon Albumin Metil Prednisolon 2 3 2 1 1 3 1.5 1.5 Edema 1 Peradangan 1 (inflamasi) Keterangan : N = Pasien 1.5 1.5 - = Tidak diketahui Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa obat yang paling banyak digunakan pasien Ensefalitis dalam mengatasi gejala klinis adalah Fenitoin (45%) dan Parasetamol (45%). 5.1.7 Hasil Analisis Pasien Ensefalitis Berdasarkan Profil Penggunaan Obat dilihat dari Faktor Penyebab Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.5 Distribusi Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 - 2015 Faktor Penyebab N % Pengobatan N % Bakteri 47 70.1 Seftriakson Sefotaksim Seftrazidim Gentamisin Meropenem Kloramfenikol Amikasin 30 9 3 2 4 1 4 45 13.4 4.5 3 6 1.5 6 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 49 Ampisilin 1 1.5 Virus 27 40.2 Asiklovir 27 40.2 Jamur 3 4.5 Parasit 4 6 Fluconazole Mikonazole nitrat Fosmycin Pirimetamin 2 1 1 4 3 1.5 1.5 6 Klindamisin 2 3 Deksametason 34 50.7 Mengatasi radang Keterangan : N = 34 50.7 Pasien Dari data tabel diatas menunjukkan bahwa faktor penyebab terbanyak adalah bakteri (70,1%) dilanjutkan oleh virus (40,2%). Penggunaan obat tersering dalam mengatasi Ensefalitis adalah obat golongan sefalosporin Seftriakson (45%), obat golongan antiviral Asiklovir (40.2%) dan dalam mengatasi peradangan yang terjadi digunakan obat golongan kortikosteroid Deksametason (50.7%). 5.1.8 Hasil Analisis Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 Tabel 5.6 Distribusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Keadaan Sewaktu Umur (Tahun) 0 – 5 th Pulang 6 – 15 th Jumlah > 15 th N % N % N % N % 28 41.7 10 14.9 11 16.4 49 73.1 Pindah Rumah Sakit - - - - - - - - Pulang Atas Permintaan - - 1 1.5 - - 1 1.5 10 14.9 1 1.5 6 8.9 17 25.4 38 56.7 12 17.9 17 25.4 67 100 = Pasien Pulang Sembuh atau Pulang Berobat Jalan Sendiri Pulang Meninggal Dunia Jumlah Keterangan : N - = Tidak diketahui UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 50 Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa, dari 67 pasien Ensefalitis yang dirawat di RSUP Fatmawati lebih banyak yang pulang sembuh atau berobat jalan (73.1%) dengan rentang umur tertinggi berada pada umur 0-5th dengan jumlah persentasi (41.7%). 5.6 Pembahasan 5.6.1 Keterbatasan Penelitian Menjadi keterbatasan dalam penelitian diantara lain : Keterbatasan rekam medik karena banyaknya rekam medik yang tidak ditemukan oleh petugas rekam medik, keterbatasan waktu penelitian, keterbatasan biaya penelitian, dan pengambilan data secara retrospektif sehingga tidak semua informasi dapat diperoleh dengan lengkap. 5.6.2. Pembahasan Hasil Penelitian Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan sampel sebanyak 67 rekam medik yang telah melalui seleksi secara inklusi dan eklusi sehingga didapat hasil dibawah ini : 1. Karakteristik Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Kelompok umur pasien Ensefalitis ini menurut R Malau et al (2012) dimulai pada umur <5 tahun hingga >15 tahun. Berdasarkan usia distribusi pasien penderita Ensefalitis lebih tinggi adalah pada kelompok umur <5 tahun (53.8%). Pada umumnya Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi sering terjadi pada anak usia <5 tahun. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh R Malau et al (2012) dimana pada penelitian tersebut pasien yang paling banyak adalah pasien dengan kelompok umur <5 tahun.16 Hal ini dikarenakan pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi bakteri yang serius. Pada anak dengan usia di antara dua bulan sampai dengan 3 tahun, terdapat peningkatan risiko UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 51 terkena penyakit yang serius akibat berkurangnya IgG yang merupakan bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang berfungsi mengatasi infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena infeksi virus yang berakhir sendiri, tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi (bakteremia tanpa tanda fokus). Bakteremia yang tersembunyi biasanya bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat menjadi pneumonia, meningitis, ensefalitis, arthritis dan pericarditis.17 Sedangkan berdasarkan jenis kelamin peneliti mendapatkan bahwa pasien yang paling banyak menderita Ensefalitis adalah pasien perempuan (52%), sedangkan untuk pasien laki – laki (48%). Perbandingan yang tidak terlalu jauh antara pasien dengan jenis kelamin perempuan dan pasien dengan jenis kelamin laki – laki. Hal ini tidak sama dengan penelitian yang dilakukan oleh R Malau et al (2012) dimana pada penelitian tersebut yang paling banyak adalah pasien laki – laki. Disebabkan pada penelitian yang dilakukan oleh R Malau et al (2012) mencakup infeksi yang terjadi di jaringan dan meningen (Meningoensefalitis) pada sistem saraf pusat, sedangkan peneliti hanya mencakup infeksi yang terjadi di jaringan sistem saraf pusat (Ensefalitis). Pada dasarkan penyakit Ensefalitis ini tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, sehingga penyakit ini dapat menyerang siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. 2. Karakteristik Pasien Penderita Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Latar belakang dari pasien penderita Ensefalitis yang dirawat di RSUP Fatmawati terbanyak adalah dengan latar belakang pendidikan belum sekolah sebesar 53,8%. Hal ini dikarenakan pasien tersebut masih tergolong balita atau belum cukup mengerti mengenai bakteri dan infeksi yang dapat menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan pada umumnya penyakit Ensefalitis menyerang anak – anak yang memiliki sistem imun yang lemah. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 52 3. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Dari 67 pasien Ensefalitis yang diambil datanya secara retrospektif terlihat hasil gejala klinis yang terjadi pada pasien penyakit Ensefalitis paling banyak adalah yang mengalami gejala klinis seperti kejang, demam dan penurunan kesadaran. Hal ini terjadi karena faktor penyebab Ensefalitis menyerang otak yang mengakibatkan pasien mengalami gejala klinis sebagai tanpa bahwa jaringan otak sudah terserang. Gejala klinis tersebut sama hal nya dengan yang dikemukakan oleh Lin JJ, et al 2008, Ensefalitis adalah infeksi akut pada parenkim otak dengan karakteristik klinis demam tinggi, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Gejala lain yang mungkin adalah defisit neurologis fokal atau multifokal, dan kejang fokal atau general (menyeluruh).18 Demam yang terjadi pada pasien Ensefalitis merupakan reaksi fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus. Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur maupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronchitis, psteomyelitis, appendicitis, tuberculosis, bakterimia, sepsis, bacterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain-lain.19 Demam yang terjadi pada anak umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan gejala demam seperti bacteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, Ensefalitis dan osteomyelitis. Demam merupakan peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5 – 37,20C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature ≥380C atau oral temperature ≥370C atau axillary temperature ≥37,20C. Pernyataan tersebut sangat sesuai dengan gejala klinis yang dialami pasien Ensefalitis yang ratarata suhu penderita tersebut bisa mencapai ≥380C.20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 53 Selanjutnya, Pasien Ensefalitis paling banyak yang mengalami gejala klinis seperti kejang (86.5%) dikarenakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, dan tingkah laku. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, Ensefalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum – terkena kuli kepala – trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik. Mekanisme terjadinya serangan kejang adalah karena adanya sekelompok neuron yang mudah terserang membentuk suatu satuan epileptik fungsional yang disebut fokus. Adanya muatan yang bersama-sama memasuki neuronneuron tersebut menyebabkan terjadinya sinkronisasi. Sinkronisasi merupakan syarat terjadinya serangan. Jika banyak terjadi sinkronisasi (hipersinkronisasi) maka akan terjadi penyebaran rangsangan ke daerah-daerah lain di otak, akibatnya terjadi kejang. Ensefalitis biasanya ditandai dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi, diare, nyeri kepala, kekakuan leher, perubahan kesadaran.21 Kerusakan neurologis permanen pada Ensefalitis dengan aktifitas kejang yang tidak terkontrol dan berkepanjangan dapat disebabkan oleh invasi virus langsung, respon imun pasien yang teraktivasi oleh pathogen, atau kematian neuron yang diinduksi oleh status epileptikus.18 4. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RSUP Fatmawati, pasien penderita Ensefalitis terbanyak adalah pasien dengan komplikasi atau penyakit penyerta (68,57%) jika dibandingkan dengan pasien tanpa komplikasi atau penyakit penyerta (31,43). Seperti dikutip dalam buku Neurologi Klinis, Ed. I, gejala sisa maupun komplikasi karena Ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat sehingga mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran, sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 54 Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid), hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi. Komplikasi pada bayi biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat. Komplikasi yang terjadi pada Ensefalitis adalah pasien dapat mengalami ketidakmampuan permanen akibat Ensefalitis, dapat timbul kejang, kerusakan otak atau meninggal.16 5. Distribusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Menurut data yang telah diambil penyakit penyerta atau komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Ensefalitis di RSUP fatmawati bermacam-macam. TB Paru merupakan penyakit penyerta atau komplikasi yang paling banyak dialami oleh pasien penderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati dengan nilai persentase sebesar 10% dan umumnya menyerang anak-anak. Hal tersebut sama dengan yang diungkapkan oleh Antoni Lamini (2002) bahwa TB paru pada anak – anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak). Gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang.22 Selanjutnya, komplikasi atau penyakit penyerta yang paling banyak dialami oleh pasien Ensefalitis adalah Pheumonia (10%). Bahkan pada pasien penderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati ada yang sampai menyebabkan kematian, dan paling banyak menyerang anak – anak dengan kelompok umur 0 – 5 tahun. Jenis pneumonia tersering di RSUP Fatmawati adalah pneumonia aspirasi. Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak-balita). Pneumonia membunuh anak lebih banyak daripada penyakit lain apapun, mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-balita, membunuh lebih dari 2 juta anak-balita setiap tahun yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Oleh karena itu pneumonia disebut sebagai pembunuh anak no 1 (the number one killer of children).23 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 55 Pada bayi baru lahir, pneumonia seringkali terjadi karena aspirasi, infeksi virus Varicella-zoster dan infeksi berbagai bakteri gram negatif seperta bakteri Coli, TORCH, Streptokokus dan Pneumokokus. Pada Bayi, pneumonia biasanya disebabkan oleh berbagai virus, yaitu Adenovirus, Coxsackie, Parainfluenza, Influenza A or B, Respiratory Syncytial Virus (RSV), dan bakteri yaitu B. streptococci, E. coli, P. aeruginosa, Klebsiella, S. pneumoniae, S. aureus, Chlamydia. Pneumonia pada balita dan anak pra-sekolah disebabkan oleh virus, yaitu: Adeno, Parainfluenza, Influenza or B, dan berbagai bakteri yaitu: S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, Streptococci A, Staphylococcus aureus, Chlamydia. Pada anak usia sekolah dan usia remaja, pneumonia disebabkan oleh virus, yaitu Adeno, Parainfluenza, Influenza A or B, dan berbagai bakteri, yaitu S. pneumoniae, Streptococcus A dan Mycoplasma.24 6. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Dari 58 pasien (86.5%) Ensefalitis terbanyak mengalami gejala klinis seperti kejang 53 pasien (79.1%). 45% pasien menggunakan Fenitoin untuk mengatasi kejang dengan 2 dosis terbagi. Fenitoin adalah obat pilihan pertama untuk serangan tonik-klonik, tonik atonik dan parsial (kompleks dan sederhana) dan juga dapat untuk serangan mioklonik. Obat ini merupakan kontra indikasi untuk serangan umum lena, tetapi kadang-kadang bermanfaat untuk mengobati serangan lena atipik. Obat ini digunakan untuk mengobati epilepsi oleh berbagai etiologi dan pada berbagai umur. Banyak ahli penyakit saraf di Indonesia lebih menyukai penggunaan fenobarbital karena Fenitoin memiliki batas keamanan yang sempit, efek samping dan efek toksik ringan tapi cukup menganggu teruama pada anak. Fenitoin juga bermanfaat terhadap bangkitan parsial kompleks. Pada sebagian besar pasien dewasa, Fenitoin dapat diberikan sekali sehari dan biasanya paling baik pada malam hari. Pada sejumlah pasien terutama pada dosis tinggi, dianjurkan pemberian 2 kali sehari. Untuk anak sebaiknya diberikan 2 kali sehari. Dosis awal obat ini dapat dimulai dengan 200mg malam hari dan dinaikkan sebanyak 20 – 100mg setiap minggu.25 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 56 Dari 40 pasien Ensefalitis (59.7%), 45% pasien menggunakan Parasetamol dalam mengatasi demam. Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen). Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas. Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak. Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan.19 7. Distribusi Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebab Ensefalitis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Antibiotik sefalosporin digunakan untuk terapi meningitis, pneumonia dan septikemia. Sefalosporin mempunyai mekanisme kerja serta farmakologi yang sama dengan penisilin. Sefalosporin dapat menyebabkan reaksi alergi dan bisa terjadi sensitivitas silang terhadap penisilin. Sefalosporin terutama diekskresikan oleh ginjal dan aksinya dapat diperpanjang dengan probenesid. Semua sefalosporin mempunyai spektrum aktivitas anti bakteri yang sama luas, meskipun obat-obat individual mempunyai aktivitas yang berbeda untuk melawan bakteri tertentu. Sefadroksil diberikan secara oral dan digunakan pada infeksi saluran kemih dimana organisme penyebabnya resisten terhadap antibiotik lain. Sefuroksim diberikan melalui suntikan, seringkali sebagai profilaksis dalam pembedahan (biasanya dengan metronidazol untuk melawan bakteri anaerob). Sefuroksim resistensi terhadap inaktivasi oleh ƥ-laktamase bakteri dan digunakan pada infeksi serius dimana antibiotik lain tidak efektif. Seftazidim mempunyai kisaran aktivitas lebih besar dalam melawan bakteri Gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, tetapi kurang aktif dibandingkan sefuroksim dalam melawan organisme Gram positif misalnya Staphylococcus aureus. Seftazidim mencapai sistem saraf pusat dan digunakan pada meningitis yang disebabkan oleh organisme Gram negatif. Seftriakson UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 57 mempunyai waktu paruh yang lebih panjang daripada sefalosporin lainnya dan hanya diberikan sekali sehari. Seftriakson merupakan sefalosporin generasi ketiga obat ini sangat direkomendasikan untuk mengatasi Ensefalitis bakteri. Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari dengan dosis 20 – 50 mg/kg/hari. Namun bila dosis lebih dari 1gr harus diberikan 2x atau lebih. Seperti pada pedoman pengobatan dalam jurnal “The Management of Encephalitis : Clinical Practice Guidelines by The Infectious Diseases Society of America” Seftriakson digunakan untuk menangani Ensefalitis bakteri. Seftriakson bekerja dengan tiga prinsip : pertama, obat berikatan dengan penicillin-binding protein (PBP) pada kuman. Kedua, menghambat reaksi transpeptidase (tahap ketiga antar rantai peptidoglikan dalam rangkaian pembentukan dinding sel bakteri). Ketiga, obat mengaktivasi enzim autolisis pada dinding sel bakteri tersebut. Seftriakson merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang diberikan secara parenteral.26 Seftriakson merupakan obat yang paling sering digunakan di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015 menandakan bahwa kebanyakan bakteri pada spesimen pus telah resisten terhadap kedua obat tersebut. Sefalosporin generasi ketiga merupakan obat pilihan untuk infeksi serius akibat bakteri enterik gram-negatif sangat resisten terhadap beta-laktamase dan mempunyai aktivitas baik terhadap banyak bakteri.27 Sefotaksim dan Seftrazidim diindikasikan untuk Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada pembedahan, Epiglotitis karena hemofilus. Efek samping kedua obat ini sama berupa diare dan colitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduanya karena penggunaan dosis tinggi) mual dan muntah. Rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, demam dan atralgia, anafilaksis, eritema, multiforme, nekrolisis epidermal toksis. Gangguan fungsi hati, hepatitis sementara dan trombositopenia, ikterus kolestatis leukopenia, Gangguan agranulositosis, darah anemia : eosinophilia, aplastic, anemia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 58 hemolitik. Nefritis interstisial reversible. Gangguan tidur, hiperaktivitas, bingung, hypertonia dan pusing. Dosis untuk sefotaksim digunakan dalam 2-4 kali pemberian dengan dosis 100 - 500 mg/kg/hari. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan menjadi 200 mg/kg/hari. Dosis untuk seftrazidim digunakan maksimum 6 gr/hari dibagi 3x pemberian.28 Penggunaan obat sefotaksim dan seftrazidim pada pasien Ensefalitis di RSUP Fatmawati sama dengan petunjuk pemberian yang telah dijelaskan sebelumnya. Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan pada infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri negatif aerob terutama aktivitas bakterisidal terhadap Pseudomonas aeroginosa dan spesies Enterobacter. Gentamisin memiliki kisaran terapi sempit dengan rentang konsentrasi puncak 8-10 mg/L dan konsentrasi lembah 0,5-2 mg/L dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan menimbulkan efek toksik sehingga penggunaan gentamisin memerlukan pengawasan level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek toksik.29 Gentamisin diindikasikan untuk septikemia dan sepsis pada neonatus, meningitis dan infeksi SSP lainnya. Infeksi bilier, pioleonefritis karena Str. Viridand atau Str. Faecis (bersama penisilin), pneumonia nosokomial, terapi tambahan pada meningitis karena listeria. Pada pemberian obat gentamisin dapat digunakan secara i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari (dalam dosis terbagi tiap 8 jam). Sesuaikan dosis pada gangguan fungsi ginjal dan ukur kadar dalam plasma. Ada 2 pasien di RSUP Fatmawati yang diberikan obat gentamisin sebagai pengobatan dalam mengatasi Ensefalitis bakteri. Dibandingkan golongan aminoglikosida lainnya seperti kanamisin, amikasin, maupun netilmisin, antibiotik gentamisin lebih mudah diperoleh serta harganya lebih terjangkau.30 Meropenem adalah termasuk golongan Karbapenem (suatu struktur yang sama dengan penisilin), tetapi sangat resisten terhadap ƥ-laktamase. Meropenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kuman gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob. Lebih tahan terhadap enzim diginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastatin. Meropenem diberikan melalui suntikan intravena dengan dosis untuk infeksi standar 20 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 59 mg/kgBB/dosis dan untuk infeksi berat 40 mg/kgBB/dosis pada meningitis yang disebabkan Pseusomonas sp. Meropenem mempunyai spektrum aktivitas yang lebar, tetapi tidak aktif melawan beberapa strain Pseudomonas dan MRSA. Meropenem antibiotik golongan betalaktam yang bekerja melalui cincin monosiklik betalaktam yang resisten terhadap betalaktamase yang mempunyai aktivitas untuk organisme gram negatif dan positif. Menurut Fauziyah at al. (2011), meropenem dan imipenem penggunaannya dibatasi hanya untuk infeksi oleh bakteri yang telah resisten terhadap penisilin misalnya P. aureginosa dan Acinobacter spp. Penelitian yang dilakukan oleh Sugandhi & Prasenth (2014) menunjukkan bahwa pola sensitivitas antimikroba meropenem efektif pada bakteri gram negatif seperti P. aureginosa dan E. coli.31 Kloramfenikol merupakan antibiotik yang memiliki spektra kerja luas terhadap bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Namun, karena memiliki toksisitas yang tinggi dan masalah resistensi maka penggunannya pun kini semakin jarang. Kloramfenikol memiliki mekanisme kerja menginhibisi sintesis protein bakteri yaitu berikatan dengan subunit ribosom 50S. Resistensi kloramfenikol dilaporkan terjadi pada Staphylococcus, S. pneumoniae, E. coli, H.influenzae, N. meningitidis, Salmonella, dan Shigella. Center of Disease Contol and Prevention (CDC) menyebutkan infeksi yang sering terjadi di rumah sakit, 16% penyebabnya adalah bakteri resisten, dengan bakteri penyebab terbanyak adalah MRSA dan VRE.32 Kloramfenikol diindikasikan sebagai obat untuk infeksi berat akibat H. Influenzae, demam tiroid, meningitis dan abses otak, bacteremia, dan infeksi berat lainnya. Kloramfenikol merupakan antibiotika pilihan utama yang diberikan untuk demam tifoid anak di Bagian Kesehatan Anak Rumah Sakit Fatmawati periode Januari 2001 – Desember 2002, karena keampuhan kloramfenikol masih diakui berdasarkan efektivitasnya terhadap Salmonella typhi disamping obat tersebut relatif murah. Namun Suharyo dkk. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa angka relaps pada pengobatan demam tifoid dengan menggunakan kloramfenikol lebih tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan kotrimoksazol.33 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 60 Kloramfenikol bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang peka seperti riketsia, klamidia, mikoplasma, dan beberapa strain kuman gram positif dan gram negatif. Dapat diberika secara oral, i.v atau infus dengan dosis 50mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis (pada infeksi berat seperti septikemia dan infeksi SSP dosis digandakan dan segera diturunkan apabila terjadi perbaikan). Anak : 50-100 mg/kg/hari dalam dosis terbagi. Bayi dibawah 2 mnggu : 25 mg/kg/hari (dibagi dlm 4 dosis) 2 minggu – 1 th : 50 mg/kg/hari (dibagi 4 dosis). Namun pemakaian kloramfenikol dalam mengatasi Ensefalitis sangat kurang dikarenakan efek samping obat tersebut berupa kelainan darah yang reversible dan ireversibel seperti anemia aplastik (dapat berlanjut menjadi leukemia). Amikasin adalah kanamisin semisintetik dan lebih resisten terhadap berbagai enzim yang dapat merusak aminoglikosida lain. Amikasin memiliki spektrum aktivitas antimikroba terluas dari golongan aminoglikosida. Karena keunikan resistensinya terhadap enzim penginaktivasi aminoglikosida, amikasin aktif melawan sebagian besar basilus aerob gram-negatif di lingkungan maupun di rumah sakit. Termasuk adalah sebagian besar galur Serratia, Proteus dan P. aeruginosa. Beberapa rumah sakit membatasi penggunaannya untuk menghindari resistensi. Amikasin aktif terhadap hampir semua galur Klebsiella, Enterobactericeae dan E. coli yang resisten terhadap tobramisin dan gentamisin.34 Diindikasikan untuk mengatasi infeksi gram negatif yang resisten terhadap gentamisin. Efek samping obat berupa gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, koalitis karena antibiotik. Dapat diberikan secara i.m, i.v lambat atau infus : 2-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 kali pemberian. Namun, kekurangan pada obat ini yaitu apabila kadar puncak 91 jam tidak boleh lebih dari 30 mg/liter dan kadar lembah tidak boleh lebih dar 10 mg/liter. Ampisilin aktif melawan bakteri Gram positif yang tidak menghasilkan ƥ-laktamase dan karena obat tersebut berdifusi ke dalam bakteri Gram negatif lebih mudah daripada benzilpenisilin. Obat ini juga aktif melawan banyak strain Escherichia coli, Haemophilus influenzae dan Salmonella. Ampisilin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 61 lebih baik diberikan secara parenteral. Ampisilin diinaktivasi oleh bakteri penghasil penisiline. Organisme yang resisten terhadap amoksisilin meliputi sebagian besar Straphylococcus aureus, 50% strain Escherichia coli dan sampai dengan 15% strain Haemophilus influenzae. Banyak ƥ-laktamase bakteri dihambat oleh asam klavulanat dan campuran inhibitor ini dengan amoksisilin (ko-amoksiklav) menyebabkan antibiotik menjadi efektif melawan organisme penghasil penisiline. Ko-amoksiklav diindikasikan pada infeksi saluran pernapasan dan saluran kemih yang dikonfirmasi resisten terhadap amoksisilin. Pada penelitian yang dilakukan oleh wirahmi, N dkk di bangsal anak RSUD DR. M. Yunus Bengkulu dikatakan bahwa kombinasi antibiotik gentamisin dan ampisilin banyak digunakan pada berbagai kasus.35 Kombinasi antibiotika gentamisin dan ampisilin digunakan sebagai antibiotik lini pertama untuk pasien anak. Hal ini disebabkan gentamisin yang dikombinasikan dengan penisilin atau vancomisin menghasilkan efek bakterisid yang kuat, yang sebagian disebabkan oleh peningkatan ambilan obat yang timbul karena penghambatan sintesis dinding sel. Penisilin mengubah struktur dinding sel sehingga memudahkan penetrasi gentamisin kedalam kuman. Gentamisin tidak boleh digunakan sebagai agen tunggal untuk terapi pneumonia sebab buruknya penetrasi jaringan paru-paru yang terinfeksi dan kondisi-kondisi setempat dengan tekanan oksigen yang rendah dan pH yang rendah turut andil terhadap aktivitas yang buruk.36 Virus adalah parasit intraselular yang tidak mempunyai metabolisme independen dan dapat bereplikasi hanya dalam sel pejamu yang hidup. Obatobat yang bersifat toksik selektif terhadap virus terbukti sangat sulit dihasilkan karena siklus replika virus berkaitan sangat erat dengan proses metabolik sel pejamu. Untuk alasan tersebut, sampai saat ini vaksin merupakan metode utama untuk mengendalikan infeksi virus (misalnya poliomielitis, rabies, demam kuning (yellow fever), campak, parotits, rubela). Beberapa obat antivirus yang efektif telah diproduksi dan meskipun penggunaanya terbatas, obat tersebut mengubah terapi beberapa penyakit terutama penyakit yang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 62 disebabkan oleh infeksi virus herpes. Obat yang lebih baru, terutama asiklovir adalah antivirus yang lebih efektif karena tetap inaktif sampai difosforilasi oleh enzim yang cenderung disintesis oleh virus. Interferon alfa adalah suatu protein antivirus yang normalnya dihasilkan oleh leukosit. Interferon alfa rekombinan diberikan melalui suntikan pada terapi hepatitis B kronis persisten dan dalam kombinasi dengan ribavirin pada hepatitis C kronis. Asiklovir (asikloguanosin) merupakan obat yang menghambat sintesis asam nukleat. Aktif terhadap virus herpes misalnya herpes simplek (HSV) dan varisella zoster (VZV), mengandung timidin kinase yang mengubah asiklovir menjadi bentuk monofosfat. Selanjutnya monofosfat mengalami fosforilasi oleh enzim sel pejamu menjadi asikloguanosin trisfosfat yang menghambat polimerase DNA virus dan sintesis DNA virus. Asiklovir bersifat toksik selektif karena timidin kinase dari sel pejamu yang tidak terinfeksi hanya mengaktivasi sedikit obat dan polimerase DNA dari virus herpes mempunyai afinitas yang lebih besar untuk obat yang diaktivasi daripada polimerase DNA seluler. Asiklovir aktif melawan virus herpes tetapi mengeradikasinya. Asiklovir efektif secara topikal, oral dan parenteral. Jalur pemberian yang tepat tergantung pada lkasi dan keparahan infeksi. Asiklovir banyak digunakan pada terapi infeksi HSV genital dan dosis oral yang tinggi efektif dalam terapi herpes zoster berat. Suatu kondisi sangat nyeri yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi VZV sebelumnya (yaitu cacar air).37 Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuliantini, T dkk dikatakan bahwa saat ini asiklovir intravena telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin, dan merupakan obat pilihan pertama mengingat toksisitas vidarabin yang sangat tinggi dalam pemberian intravena. Asiklovir merupakan bahan antivirus yang secara selektif menghambat replikasi virus tanpa merusak sel normal dengan mengadakan kompetisi dengan guanoside untuk DNA polimerase virus. Asiklovir dikatakan mempunyai efek ikutan minimal. Obat ini diekskresi melalui ginjal dan dosis harus diturunkan pada penderita dengan disfungsi ginjal. Asiklovir diberikan selama 14-21 hari, kalau terbukti bukan EHS pengobatan dihentikan walaupun belum 14 hari. Pemeriksaan PCR ulangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 63 dari spesimen CSS diindikasikan untuk penderita yang tidak memberikan respon klinis seperti yang diharapkan setelah pengobatan dengan asiklovir selama 21 hari, jika hasilnya positif terapi antivirus harus diteruskan. Pemberian asiklovir selama 21 hari dibandingkan dengan pemberian asiklovir selama 14 hari terbukti lebih efektif menurunkan kejadian efek samping neurologis dan risiko rekurensi pada EHS.38 Flukonazol obat Anti jamur golongan Triazol ini bekerja dengan mempengaruhi aktifitas Cytochrome P450, menurunkan sintesa ergosterol (sterol utama pada membran sel jamur) dan menghambat pembentukkan membran sel. Anti jamur ini dapat diberikan secara oral atau intravena dan telah berhasil digunakan pada mikosis superfisial dan sistemik (bukan Aspergillus) spektrum luas. Tidak seperti ketokonazol, flukonazol tidak hepatotoksik dan tidak menghambat sistesis steroid adrenal. Itrakonazol diabsorpsi secara oral dan tidak seperti imidazol dan flukonazol, itrakonazol aktif melawan Aspergillus. Varikonazol merupakan obat baru spektrum luas yang digunakan untuk infeksi yang mengancam nyawa. Dosis untuk Meningitis /septikemia karena kandida Bayi < 3 bulan : 5-6 mg/kgBB/hari, diberikan secara oral atau IV drip 1 jam. Kriptokokus Inisial 12 mg/kgBB/hari pada hari pertama, selanjutnya 6 mg/kgBB/hari sekali sehari. Dapat ditingkatkan sampai 12mg/kgBB/hari jika diperlukan tergantung kondisi dan respons pasien. Terapi perlu diteruskan sampai 10-12 minggu setelah kultur cairan serebrospinal menjadi negatif. Amfoterisin B adalah obat anti jamur spektrum luas yang digunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh aspergillus, kandida atau kriptokokus. Amfoterisin kurang baik diabsopsi secara oral dan diberikan melalui infus intravena atau intratekal, bila sistem saraf pusat terlibat. Efek samping sangat sering terjadi dan sebagian pasien mengalami demam, menggigil dan mual. Terapi jangka panjang menyebabkan kerusakan ginjal yang hampir tidak dapat dielakkan, yang reversibel hanya jika dideteksi sejak dini. Amfoterisin yang diformulasi dalam liposom agak kurang toksik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 64 Mikonazol Nitrat topikal diindikasikan sebagai terapi tinea pedis, tinea kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T. mentagrophytes, T. rubrum, atau Epidermophyton floccosum Terapi pityriasis versicolor yang disebabkan oleh Malassezia furfur, serta untuk terapi kandidiasis kutaneus (moniliasis). Untuk Kandidiasis kutan diberikan 2 kali perhari. Mikonazol nitrat topikal tidak boleh digunakan pada anak < 2 tahun kecuali atas perintah dan supervisi dokter. Penggunaan obat ini pada anak 2-11 tahun perlu diawasi oleh orang dewasa. Jika terjadi iritasi atau kulit pasien tidak membaik dalam 2 minggu untuk tinea kruris atau 4 minggu untuk tinea pedis atau korporis, obat harus dihentikan dan pasien perlu diperiksa dokter. Untuk kandidiasis kutan dan tinea kruris/korporis perlu dipakai selama 2 minggu, dan tinea pedis selama 1 bulan. Jika perbaikan klinis tidak terlihat setelah penggunaan 1 bulan maka diagnosis perlu dievaluasi kembali. Karena kekurangan tersebut penggunaan anti jamur ini sangatlah kurang dipakai sebagai pengobatan. Fosfomisin Na merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel bakteri. Transport obat ke dalam dinding sel melalui sistem transpor gliserofosfat atau glukosa 6-fosfatase. Fosmosin aktif terhadap bakteri grampositif dan gram-negatif. Secara in vitro, kombinasi fosfomisin dengan antibiotik beta-laktam, aminoglikosida atau florokuinolon memberikan efek sinergi.39 Ditujukan sebagai pencegahan infeksi pada pembedahan abdomen. Dosis pada pasien dewasa 2-4gr, pada anak 100-200 mg/kgBB. Keduanya dengan drip infus IV terbagi dlm 2 dosis. Inj i.v Sama dengan drip infus IV, tetapi diberikan terbagi dlm 2-4 dosis. Fosfomisin. Selain itu, dalam kasus pemberian dosis besar dapat menyebabkan kejang. Parasitisme adalah suatu hubungan dimana spesies biologis hidup dalam ketergatungan terhadap spesies lain. Meskipun mikroorganisme seperti bakteri diduga hidup dalam hubungan seperti ini, tetapi hanya protozoa dan helmintes yang secara umum disebut sebagai parasit. Parasit secara khusus adalah eukariot dan mempunyai siklus hidup yang kompleks. Pada daerah tropis dan subtropis dimana banyak air dan temperatur tinggi memberikan lingkungan yang optimal untuk larva dan pejamu vektor intermediat (misalnya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 65 nyamuk). Penyakit karena parasit banyak terjadi dan tersebar luas. Kepadatan penduduk, malnutrisi dan kurangnya sanitasi memudahkan penyebaran penyakit dan sebanyak 100 juta orang dapat terinfeksi parasit. Obat-obatan memegang bagian penting dalam terapi dan pengendalian penyakit karena parasit, tetapi metode lain, misalnya kontrol vektor oleh insektisida dan drainase tanah juga penting. Salah satu obat yang digunakan dalam mengatasi Ensefalitis dengan faktor penyebab parasit di RSUP Fatmawati yaitu Klindamisin dan Pirimetamin. Klindamisin adalah obat pelengkap (komplemen) bila penisilin tidak dapat diberikan. Klindamisin bersifat bakteriostatik yang aktif terhadap aerob gram-positif dan spektrum anaerob yang luas. Penggunaannya terbatas karena efek samping kolitis sering terjadi dan dapat berakibat fatal. Paling umum terjadi pada wanita selama atau setelah pengobatan dengan klindamisin. Pirimetamin adalah skizontisida yang efektif, tetapi kerjanya terlalu lambat untuk mengobati serangan akut.12 Pada beberapa penelitian Klindamisin sering dikombinasikan dengan Pirimetamin dalam mengatasi parasit, terutama untuk mengobati Ensefalitis yang disebabkan oleh toxoplasma gondii. Kotrimoksazol (Trimetoprim – Sulfametoksazol) diindikasikan infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas (bronkitis, pneumonia, infeksi pada fibrosis sistik), melioidosis, listeriosis, brucellosis, otitis media, infeksi kulit, pneumonia Pneumocystis jiroveci. Mekanisme kerja obat ini yaitu Sulfametoksazol menghambat sintesis asam dihidrofolat bakteri berkompetisi dengan asam para amiobenzoat. Trimetoprim menghambat produksi asam tetrahidrofolat dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase. Dosis untuk pengobatan pneumonia diberikan secara oral atau infus IV : Sulfametoksazol hingga 100 mg/kgBB/hari + trimetoprim hingga 20 mg/kgBB/hari dalam 2-4 dosis terbagi selama 14-21 hari. Profilaksis pneumonia Oral : Sulfametoksazol 25 mg/kgBB + trimetoprim 5 mg/kgBB dalam 2 dosis terbagi selang sehari (3 kali seminggu) Pemberian Oral : Dapat diberikan dengan air pada keadaan perut kosong. Parenteral : Infus IV dalam 60-90 menit, harus diencerkan 1:25. Pada pasien dengan restriksi cairan yang ketat, pengenceran 1:15 atau 1:10.37 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 66 Pasien Ensefalitis paling banyak yang menggunakan obat golongan kortikosteroid yaitu Deksametason (50,7%) dan obat golongan antiviral yaitu Asiklovir (40,2%). Hal tersebut sama seperti yang dikutip dalam buku Infeksi Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Imunologis, google books. EGC. Dimana dinyatakan bahwa dalam penatalaksanaan Ensefalitis virus digunakan 2 pengobatan yaitu obat golongan kortikosteroid Deksametason digunakan untuk pengobatan pasca-Ensefalitis dan obat golongan antiviral yaitu Asiklovir yang bermanfaat untuk meringankan gejala klinis, mencegah komplikasi, dan mencegah timbulnya gejala sisa.28 Deksametason antibiotik golongan Kortikostreoid merupakan antiinflamasi yang bekerja dengan mekanisme menghambat enzim fosfolipase A2 sehingga akan mencegah pelepasan asam arakidonat yang memproduksi enzim cyclooxygenase (COX). Enzim COX inilah yang bertanggung jawab atas pembentukan prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dan nyeri.40 Deksametason merupakan kortikosteroid dari golongan glukokortikoid yang mempunyai efek anti-inflamasi yang adekuat. Pemberian deksametason akan menekan pembentukan bradikinin dan juga pelepasan neuropeptida dari ujungujung saraf, hal tersebut dapat menimbulkan rangsangan nyeri pada jaringan yang mengalami proses inflamasi. Penekanan produksi prostaglandin oleh deksametason akan menghasilkan efek analgesia melalui penghambatan sintesis enzim cyclooksigenase di jaringan perifer tubuh. Deksametason juga menekan mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin 1-β (IL-1β), dan interleukin-6 (IL-6).41 Diindikasikan untuk inflamasi dan alergi, syok, diagnosis sindroma Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, edema serebral. Intranasal : alergi atau inflamasi nasal dan polip Inhalasi oral : pengontrol asma bronkial persisten. Tidak diindikasikan untuk menghilangkan bronkospasme akut. Sistemik dan lokal inflamasi kronik, alergi, hematologi, neoplastik, penyakit autoimun, boleh digunakan untuk menangani edema serebral, syok septik, dan diagnostik. Pada neonatus sebagai terapi chronic lung disease (CLD) / displasia bronkopulmoner untuk fasilitasi penyapihan ventilasi mekanik. Deksametason UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 67 dapat pula digunakan untuk mengatasi edema trakea sebelum dan setelah ekstubasi pipa endotrakeal dan sebagai terapi penguat (ajuvan). Dosis untuk Deksametason sebagai Anti inflamasi dapat diberikan secara oral, im, iv : 0,08-0,3 mg/kgBB/hari atau 2,5-10 mg/m2/dosis dalam dosis terbagi setiap 612 jam. Meningitis bakterial : > 2 tahun diberikan secara iv 0,6 mg/kgBB/hari dibagi setiap 6 jam selama 4 hari pertama. Deksametason diberikan bersamaan dengan dosis pertama antibiotik.12 Penggunaan obat untuk pasien Ensefalitis yang menerima perawatan di RSUP Fatmawati Jakarta periode tahun 2012 – 2015 menurut peneliti telah dilakukan sesuai dengan pedoman pengobatan yang paling dianjurkan. Dimana dalam penggunaan antibiotik pihak rumah sakit telah memberikan pengobatan yang tepat sesuai dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien Ensefalitis. Pedoman pengobatan merupakan petunjuk terapi yang mengacu pada berbagai penelitian mengenai masing-masing penyakit dan hanya memuat pilihanpilihan terapi yang paling dianjurkan untuk masing-masing penyakit tersebut.42 Pedoman pengobatan disusun untuk setiap tingkat unit pelayanan kesehatan seperti pedoman diagnosa dan terapi di Rumah Sakit yang bertujuan untuk membantu dokter dalam menegakkan diagnosa dan pengobatan yang optimal penyakit tertentu sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan pengobatan. 8. Distribusi Kondisi Pasien Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Pasien yang sembuh atau melakukan berobat jalan setelah menjalani rawat inap berjumlah 49 pasien (73,1%). Dapat dilihat pada rentang umur 0–5 th didapat 28 pasien, rentang umur 6–15 th didapat 10 pasien dan rentang umur >15 th didapat 11 pasien. Penderita yang sembuh atau berobat jalan bearti kondisi kesehatannya membaik dan akan melanjutkan pengobatan setelah keluar dari rumah sakit untuk memulihkan kondisi penderita. Berobat jalan yang paling sering dirujuk oleh dokter di RSUP Fatmawati adalah poli anak. Dikarenakan penyakit Ensefalitis terbanyak yang menderita Ensefalitis di RSUP Fatmawati adalah pasien dengan kelompok umur dibawah 5 tahun. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 68 Penderita yang meninggal setelah dilakukan perawatan dan upaya pengobatan dengan jumlah 17 pasien (25,4%). Dapat dilihat pada rentang umur 0 – 5 th didapat 10 pasien, rentang umur 6 – 15 th didapat 1 pasien dan rentang umur >15 th didapat 6 pasien. Ini menunjukkan penderita atau keluarga mencari pertolongan pengobatan sudah dalam keadaan parah karena gejala Ensefalitis seperti gejala biasa seperti gejala flu sehingga terlambat untuk didiagnosa dan terlambat untuk diobati secara cepat dan tepat. Prognosis Ensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat. Pasien yang pulang atas permintaan sendiri hanya 1 pasien (1,5%), pasien menghentikan pengobatan di rumah sakit dan sudah menganggap bahwa pelayanan apapun tidak akan dapat menolong atau menyembuhkan penderita. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 69 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa : a. Umur yang paling banyak menderita Ensefalitis adalah pasien dengan kelompok umur >5 tahun (53,8%). b. Latar belakang pasien Ensefalitis paling banyak dengan latar belakang pendidikan belum sekolah dengan jumlah 53,8%. c. Gejala klinis yang paling banyak terjadi pada pasien Ensefalitis di RSUP Famawati adalah kejang (79,1%) dan demam (59,7%). d. Pasien dengan komplikasi atau penyakit penyerta (68,5%) dan pasien tanpa komplikasi atau penyakit penyertanya (31,4%). e. Komplikasi atau penyakit penyerta tersering adalah TB paru dan pneumonia yang pada umumnya menyerang anak-anak (10%). f. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi gejala klinis adalah Fenitoin (79,1%) dan Parasetamol (45%). g. Penggunaan obat yang paling banyak digunakan dalam mengatasi Ensefalitis adalah Seftriakson (45%), Asiklovir (40,2%) dan Deksametason (50,7%). h. Hasil setelah melakukan pengobatan : pasien sembuh atau berobat jalan (73,1%), pasien yang meninggal (25,4%) dan pasien yang pulang atas permintaan sendiri (1,5%). 69 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 70 6.2 Saran Berdasarkan pada penelitian, saran yang dapat diberikan adalah: a. Perlu dilakukan perbaikan kelengkapan dan kejelasan dalam penulisan data-data yang tercantum dalam rekam medik agar pihak yang berkepentingan dapat lebih mudah mendapatkan data yang lengkap. b. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif dengan analisis berdasarkan data rekam medik pasien. Peneliti tidak mengetahui atau melihat kondisi pasien secara langsung. Karenanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai profil penggunaan obat pada pasien penderita Ensefalitis berdasarkan faktor penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta dengan menggunakan metode penelitian yang lainnya, seperti pengambilan data secara prospektif. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 71 DAFTAR PUSTAKA 1. Stephen J. Falchek, MD. 2012. Encephalitis in the Pediatric Population. Volume 33 No. 3 March 2012. Downloadded from http://pedsinreview.aapublications.org diakses tanggal 23 maret. 2. Paul lewis, Carol A. Glaser. 2005. Encephalitis. Volume 26 No. 10 October 2005. Downloadded from http://pedsinreview.aapublications.org diakses tanggal 23 maret. 3. Dirjen P2MPL, Subdit Zoonosis, 2003. Laporan serosurvey Japanese Encephalitis. Depkes. 4. I Sendow, S Bahri. 2014. Perkembangan Japanese Encephalitis di Indonesia. Peternakan.litbang.pertanian. Bogor. 5. Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. 2008. Riskesdas 2007. http://www.k4health.org/system/files/laporanNasional.20Riskesdas.202 007.pdf 6. Anonim, Ensefalitis dalam Arif M, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke-3, Medik Aesculapius FK UI, Jakarta, 2000. https://azurama.wordpress.com diakses tanggal 22 maret 2016 7. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Malaria. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatrik tropis. Edisi ke-2. Jakarta: IDAI. 2008. https://azurama.wordpress.com diakses pada tanggal 22 maret 2016 8. Komite Medik RSUP Dr. Sardjito. Ensefalitis dalam Sutoyo, Standar Pelayanan Medis, Ed. 2, Medika Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 2000. 9. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL et al. The Management of Encephalitis : Clinical Practice Guidelines by The Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2008 10. Sukandar, et al. 2011. ISO Farmakoterapi 2. Jakarta: PT Isfi penerbitan Hal : 722-73, 732-734, 738, 724, 835, 837, 844, 846, 864, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 72 11. Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kelima. 2009. Hal : 602-604, 616-617, 641-642, 660, 664-674, 667-673, 678-686, 694-700, 700-703, 723-725 12. Tambunan, Prof, T. Dkk, 2013. Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia 13. MIMS Indonesia. Diakses pada tanggal 27 juni 2016 14. Anonim, Ensefalitis dalam Harsono, Neurologi Klinis, Ed. I. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 1996 15. Anief, M. 1991. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogjakarta : Gadjah Mada Universiy Press. 16. R, Malau et al, 2012. Karakteristik Penderita Meningoensefalitis Rawat Inap di Rumah Sakit Santa Elisabeth medan Tahun 2007-2011. FKM USU, Medan. Vol. 1 No. 1 17. Jenson, H.B., and Baltimore, R.S., 2007. Infectious Disease : Fever without a focus. In: Kliegman, R.M., Marcdante, K.J. 18. Laili, N et al. 2013. Kejang Berulang dan Status Epileptikus Pada Ensefalitis Sebagai Faktor Risiko Epilepsi Pascaensefalitis. Sari Pediatri, Vol. 15, N. 3 Oktober 2013 19. Graneto, J.W., 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine of Midwestern University. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/801598overview. diakses tanggal 20 Maret 2016. 20. Kaneshiro, N.K., and Zieve, D. 2010. Fever. University of Washington. Available. [diakses pada tanggal 23 Maret 2016]. from: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. 21. Tidy, Colin, 2012. Encephalitis and Meningoencephalitis. http://www.patient.co.uk/doctor/EncephalitisandMeningoencephalitis. 22. Antoni Lamini (2002) TBC penyakit yang dapat disembuhkan dan bukan penyakit keturunan. http://antonilamini.word press.com/ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 73 23. Prof. Dr. Mardjanis Said, SpA (K). Pengendalian Phemonia Anak – Balita dalam Rangka Pencapaian MDG4. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universits Indonesia. [Departemen Kesehatan RI, Pheumonia Balita. Volume 3, September 2010] 24. Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, dr, SpA (K), M.Sc. Pneumonia Pembunuh Balita. Ka Divisi Respirologi Departemen Kesehatan Anak, Universitas Padjajaran. [Departemen Kesehatan RI, Pheumonia Balita. Volume 3, September 2010] 25. Shorvon SD. Epilepsi. Dalam : Epilepsi Untuk Dokter Umum. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1 – 32 http://dokmud.wordpress.com.fenitoin diakses tanggal 8 mei 2016. 26. Istiantoro, Y. H, dan Gan V.G.H., (2007). Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam lainnya dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi Kelima. Editor Sulistia G. Ganiswara. Jakarta. http://www.scribd.com diakses pada tanggal 10 mei 2016 27. Gilman, Goodman A. 2012, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed 10, Jakarta, EGC 28. Books. Google. Infeksi Susunan Saraf Pusat dan Gangguan Imunologis. Hal : 51. EGC diakses pada tanggal 20 maret 2016. 29. Kang, J.S., dan Lee, M.H., 2009, Overview of Therapeutic Drug Monitoring, The Korean Journal of Internal Medicine. Diakses dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. Vol.5 No.1/Maret 2015 30. Soegijanto, S., 2010, Kumpulan Makalah Penyakit Tropis Dan Infeksi Di Indonesia, 8th Ed, Airlangga University Press, Surabaya. Diakses dari Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi. 2015. Vol.5 No.1 31. Decroli, E., J. Karimi, dkk. 2008. Profil ulkus diabetik pada penderita rawat inap di bagian penyakit dalam RSUP Dr. M Djamil Padang. Diakses dari Jurnal Biologi Papua, 2014. Vol 6, Nomor 2 32. CDC, 2008, Antimicrobial-Resistant Pathogens Associated With Healthcare-Associated Infections: Annual Summary of Data Reported to the National Healthcare Safety Network at the Centers for Disease UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 74 Control and Prevention, 2006–2007, Infection Control And Hospital Epidemiology. Diakses dari Jurnal Matematika & Sains, April 2014, Vol. 19 Nomor 1 33. Hadisaputro S. Beberapa Faktor Yang Memberi Pengaruh Terhadap Kejadian Perdarahan dan atau Perforasi Usus Pada Demam Tifoid. Jakarta:Direktorat Pembinaan Penelitian pada Masyarakat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. 34. Gilman, Goodman A. 2012, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, Ed 10, Jakarta, EGC 35. Wirahmi, N dkk., Analisa Penggunaan Kombinasi Gentamisin dan Ampisilin pada pasien Pediatri di Bangsal Anak RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Fakultas Farmasi Universitas Andalas 36. Katzung, B. G. 2001. Basic and Clinical Pharmacokinetics. United States: The McGraw-Hill Companies 37. M.J neal. 2006. At a Glance FARMAKOLOGI MEDIS Edisi kelima. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal 81 – 90 http://books.google.o.id diakses pad tanggal 27 juni 2016 38. Yuliantini, T., dkk. 2013. Diagnosa dan Tata Laksana Ensefalitis Herpes Simpleks. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. RSUP Sanglah Denpasar 39. Setiabudy R. Antimikroba. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan terapi. Ed ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012 40. Kirwan T. Post-operative pain. Dalam : Holdcroft A, Jaggar S, penyunting. Core topics in pain. New York: Cambridge University Press; 2005 diakses dari Jurnal Anestesi Perioperatif, FKUP. 41. Romundstad L, et. Methylprednisolone reduces pain, emesis, and fatigue after breast augmentation surgery: a single dose, randomized parallel group study with methylprednisolone 125 mg, parecoxib 40 mg, and placebo. Anesth Analg. 2006 42. Departemen Kesehatan RI, 2001. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Depkes.RI, Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 75 Lampiran 1. Diagram Persentase Jumlah Data Rekam Medik Pasien Ensefalitis yang Menjalani Rawat Inap Terhadap Pasien Penyakit Saraf Lainnya di RSUP Fatmawati Periode Tahun 2012 – 2015 159 rekam medik pasien penyakit saraf 67 (42%) pasien Ensefalitis 92 (58%) pasien penyakit saraf laiinnya Lampiran 2. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Umur di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Pasien Ensefalitis 53.8 (%) 29.8 16.4 0-5 tahun 6-15 tahun 0-5 tahun 6-15 tahun >15 tahun >15 tahun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 76 Lampiran 3. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Jenis Kelamin 36 34 32 Jenis Kelamin 30 Laki-laki Perempuan Lampiran 4. Tabel Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Pendidikan N % Belum Sekolah 36 53,8 SD 11 16 SLTP 7 10 SLTA 9 13 Universitas 4 5,8 Pensiun 1 1,4 Jumlah 67 100 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 77 Lampiran 5. Diagram Distibusi Pasien Ensefalitis Berdasarkan Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Kejang Penurunan Kesadaran Tangan dan Kaki kaku Leher Kaku Mata Melotot Sulit Komunikasi Demam Batuk Sakit Kepala Mual Muntah Ketorolak Trometamin dan Asam Mefenamat Lampiran 6. Diagram Distibusi Jumlah Pasien Ensefalitis dibedakan Berdasarkan Komplikasi atau Penyakit Penyertanya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 68.57 (%) 31.43 Pasien Ensefalitis Pasien dengan Komplikasi atau Penyakit Penyerta Pasien tanpa Komplikasi atau Penyakit Penyerta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 78 Lampiran 7. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Dalam Mengatasi Gejala Klinis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Penggunaan Obat Parasetamol Caferzon drop Fenitoin Bactofen Sibital Piracetam Diazepam Luminal Kalsetin Ambroxol Proress Supp Ranitidn Zinkid L - Bio Bicnat Omeprazole Citicholin Piracetam2 Manitol Renalit 100cc Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Metronidazole Tramadol Vascon Asetazolamide Glaucon Albumin Metil Prednisolon UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 79 Lampiran 8. Diagram Distibusi Penggunaan Obat Pasien Ensefalitis Berdasarkan Faktor Penyebabnya di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Seftriakson Sefotaksim Seftrazidim Gentamisin Meropenem Kloramfenikol Mikasin Ampisilin Asiklovir Deksametason Fluconazole Mikonazole Diflucan Penggunaan Obat Lampiran 9. Diagram Distibusi Kondisi Pasien Penyakit Ensefalitis Pada Saat Setelah Melakukan Pengobatan di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Tahun 2012 – 2015 Akhir Pengobatan Pulang Sembuh atau Pulang Berobat Jalan Pindah Rumah Sakit Pulang Atas Permintaan Sendiri Pulang Meninggal Dunia 73.1 0 1.5 25.4 (%) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 80 Lampiran 10. Form Pengambilan Data No RM…………… Tgl MRS…………. Tgl KRS………….. Nama :…………………… Umur :…………………... Berat Badan :…………………… Tinggi Badan :…………………… Indikasi / Alasan dirawat : ......................... Diagnosa Masuk : ......................... Diagnosa Keluar : ......................... Kompliksi / Dx Penyerta : ......................... Pengobatan Selama dirawat : ......................... Kondisi Pulang : ......................... UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 81 Lampiran 11. Surat Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 82 Lampiran 12. Surat Keterangan Izin Penelitian di RSUP Fatmawati Jakarta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta