RANCANGAN PELATIHAN SOFT SKILLS PADA DOSEN Waktu 14.00 – 15.00 15.00 – 16.00 16.00 – 17.00 17.00 – 19.00 19.00 – 21.00 08.00 – 09.00 09.00 – 10.00 10.00 – 10.30 10.30 – 12.30 12.30 – 13.30 13.30 – 15.00 15.00 – 17.00 17.00 – 19.00 19.00 – 21.00 Kemampuan akhir Strategi yang diharapkan HARI PERTAMA Pembukaan Mencairkan suasana Ice Breaking dan agar tercipta kondisi Perkenalan pelatihan yang kondusif Memahami pentingnya Diskusi dan soft skills dalam penyajian kesuksesan seseorang ISHOMA Memahami proses role Diskusi dan model soft skills Penyajian HARI KEDUA Mampu merefleksikan Diskusi dan atribut sukses presentasi kelompok Mampu Refleksi mengidentifikasi faktor pengalaman sukses dan gagal Negara lain dan program soft skills diskusi Coffee Break Mampu Refleksi mengidentifikasi pengalaman proses pengembangan Indonesia soft skills yang sukses ISHOMA Mampu Latihan dan mengidentifikasi dan presentasi mendeskripsikan softskills Mampu memahami Penyajian dan prinsip pembelajaran Diskusi SCL untuk mengembangkan soft skills ISHOMA Mampu merancang Latihan pembelajaran soft skills Materi Lembar kerja 1.1 Slide…. Lembar kerja 1.2 Lembar kerja 1.3 Slide… Film Mr. Nice and Mr. Nasty Lembar Kerja 1.4 Lembar kerja 2.1 Slide …….. Lembar Kerja 2.2 Slide ….. Lembar kerja 3.1 Slide ….. Lembar Kerja 3.3 Lembar Kerja 3.4 Slide …. 08.00 – 09.30 09.30 – 11.00 11.00 – 12.00 12.00 – 12.30 HARI KETIGA Mampu merancang Latihan membuat pengembangan soft Action Plan skills di PTnya Sharing aktivitas yang Presentasi action akan dilakukan di PT plan Penguatan hasil Wrap Up pelatihan Penutupan Lembar kerja 4.1 Slide…, Movie, dll 1 MAKNA SOFTSKILLS PENGERTIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana makna soft skills. Hal ini perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu: (a) softskills masih memiliki berbagai makna; (b) masih banyak yang belum memaknai softskills secara tepat; dan (3) softskills melibatkan tujuan pembelajaran yang intangible, sehingga ditemui banyak kendala dalam menerapkan maupun mengukur hasil belajarnya. Oleh karenanya, pada bagian satu ini perlu penjelasan tentang makna softskills itu sendiri. TUJUAN Memahami definisi dan makna softskills secara mendalam untuk usaha membelajarkan dan mengembangkan softskills di perguruan tinggi. Sementara itu tujuan spesifik dari bagian ini adalah agar peserta: (1) Mampu menjelaskan definisi softskills (2) Mampu membedakan softskills dengan hardskills (3) Mampu menerangkan manfaat softskills dalam kesuksesan seseorang (4) Mampu memahami softskills sebagai suatu tujuan pembelajaran (5) Mampu mengembangkan softskills berdasarkan pembelajaran afeksi (6) Mampu mengidentifikasi berbagai atribut softskills ISI TOPIK Definisi soft skills Illah Sailah dalam naskah bukunya yang berjudul Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi 2007, mengutip definisi soft skill sebagai: • Keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (inter-personal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intra-personal skills) yang mampu mengembangkan secara maksimal unjukkerja (performans) seseorang1 • Selanjutnya diberikan contoh2 yang termasuk dalam keterampilan mengatur dirinya sendiri antara lain (a) transforming character, (b) transforming beliefs, (c) change management, (d) stress management, (e) time management, (f) creative thinking processes, (h) goal setting and life purpose, (i) acelerated learning techniques, dan lain-lain. • Sedangkan contoh keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain di antaranya adalah (a) communication skill, (b) relationship building, (c) motivation skills, (d) leadership skills, (e) self-marketing skills, (f) negotiatian skills, (g) presentation skills, (h) public speaking skills, dan lain lain 1 2 Personal and interpersonal behaviours that develop and maximize human performance (dikutip dari Brethal) hlm 8 Dinyatakan sebagai pendapat Aribowo, hlm 9 Dengan menggunakan definisi di atas, tampak bahwa soft skill merupakan bagian penting dari kompetensi seseorang untuk dapat “berhasil” dalam hidupnya. Illah (2008) memberikan ilustrasi, lulusan perguruan tinggi yang soft skill nya kurang di antaranya ditandai dengan perilaku tidak tangguh, cepat bosan, bertabiat seperti kutu loncat, tidak dapat bekerja sama, kurang jujur, tidak memiliki integritas dan bahkan tidak memiliki rasa humor. Tentu saja sarjana dengan perilaku seperti itu, peluang keberhasilnya di pasar kerja terbatas. Lulusan perguruan tinggi tidak sedikit yang soft skillnya terbatas, sehingga seringkali dikeluhkan oleh para penggunanya. Bahkan, kata Illah, mereka sering dianggap sarjana yang “payah”. Salah satu penyebab rendahnya soft skill lulusan di antaranya disinyalir karena di perguruan tinggi proses pembelajaran belum memberikan perhatian yang serius pada soft skill dibandingkan dengan pembelajaran hard skill. Seorang pemain bola yang kompeten harus mahir tidak saja dalam kemampuan teknis seperti berlari, menendang, dan bertahan (inilah yang disebutnya sebagai hard skill), tetapi juga harus mampu dalam bekerjasama dalam tim, gigih, mengambil inisiatif, berani mengambil keputusan, dan lain-lain (kemampuan ini yang disebutnya sebagai softskill). Selanjutnya dinyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi harus mempunyai kompetensi dalam penguasaan dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi (hard skill), tetapi mereka harus mampu berkomunikasi, bekerja dalam tim, bekerja mandiri dan berpikir analitis (soft skill). Hard skill, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya (insinyur mesin tentunya harus kompeten dalam pengetahuan permesinan, dokter harus mumpuni dalam ilmu kedokteran, demikian pula profesi yang lainnya). Bila setiap profesi dituntut mempunyai hard skill yang berbedabeda, tidak demikian dengan soft skill, karena keterampilan ini merupakan kompetensi (keterampilan,skills) yang seharusnya dipunyai oleh semua orang, apapun profesinya. Perhatikan daftar kemampuan soft skills berikut: • Kejujuran • Tanggung jawab • Berlaku adil • Kemampuan bekerja sama • Kemampuan beradaptasi • Kemampuan berkomunikasi • Toleran • Hormat terhadap sesama • Kemampuan mengambil keputusan • Kemampuan memecahkan masalah, dsb Hubungan Soft skills and Hard skills Melihat pada macam soft skill di atas, sangatlah jelas sukses seseorang tergantung dari kualitas soft skill yang dipunyainya. Sehebat apapun bidang keilmuan yang dikuasainya, bila ia tidak jujur, tidak bertangungjawab, tidak mampu bekerjasama, dan sebagainya, tentu ”keberhasilan” akan jauh darinya. Wajar bila Illah menyatakan3 urunan hard skill terhadap sukses lulusan perguruan tinggi hanya sekitar 20%. Hal senada dinyatakan oleh Presiden Direktur WOM Finance, Benny Wenas. Menurutnya, tidak ada sukses yang instan. Ia menyebutkan, selama ini, orang (mahasiswa dan sarjana) diajari hard skill, tapi soft skill kurang. Mereka pintar, nilai akademiknya tinggi, tapi kemampuan membina human relations, misalnya, sangat rendah. ''Padahal, orang tidak hanya harus pintar sekolah dan pintar kerja, tapi juga harus pintar hidup. Tidak hanya harus punya hard skill, tapi juga soft skill. Hanya orang-orang yang mempunyai hard skill dan soft skill sekaligus, yang akan bisa merengkuh sukses yang berkelanjutan,'' tegasnya. Meskipun demikian, harus pula dimengerti bahwa peran keterampilan (termasuk soft skill) terhadap kesuksesan juga tergantung pada macam tugas dan tingkat kepemimpinan seseorang. Sukses bagi mereka yang masih berada pada tingkat kepemimpinan rendah (tukang, mekanik, juru) lebih banyak ditentukan oleh keterampilan fungsional dan keterampilan teknik yang mereka kuasai untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Hal itu tentunya sangat berbeda bagi mereka yang bertangung jawab dalam tingkat kepemimpinan yang tinggi (sebagaimana dicontohkan oleh 50 CEO ternama di Amerika4). Bagi para CEO itu, sangat jelas bahwa kesuksesan mereka ditentukan oleh kompetensi kepribadiannya. Bagi mereka soft skill benar-benar merupakan modal sukses yang menentukan. Kem am puan pim pinan Technical Problemskill tinggi solving skill Human skill Conceptual skill visi, visi,misi misi Tingkat kepemimpinan memotivasi memotivasi memberdayakan memberdayakan Functional skill rendah rendah Jumlah keterampilan tinggi Softskills sudah lama dikenal Rasanya, tidak ada yang tidak sepakat, tentang peran penting soft skill. Hampir semua argumentasi tentang sukses dalam berbagai buku manajemen, kepribadian, kependidikan, memberikan fokus yang mendalam tentang pentingan kemampuan pribadi sebagai 3 4 Illah hlm 4 Lesson from the Top, Illah, hlm 1. manusia. Banyak buku membahas, mengapa seseorang mempunyai kepribadian (soft skill) yang hebat, sementara yang lain tidak? Apakah karena bakat, bawaan sejak lahir? Atau karena pendidikan? Bila soft skill dapat dibentuk, ditingkatkan mutunya melalui pendidikan, bagaimana caranya? Siapa yang harus melaksanakannya? Dosen ”matakuliah” soft skill? Atau semua dosen apapun matakuliahnya? Wawasan kependidikan dosen, juga sangatlah beragam. Ada yang selama bertahuntahun telah mempelajarinya melalui pendidikan formal, namun tidak sedikit dosen yang mendapat pengetahuan kependidikan dengan beberapa kali mengikuti pelatihan singkat. Banyak di antara mereka telah mengikuti program PEKERTI maupun Applied Aproach (yang telah mulai lebih dari 20 tahun yang lalu sampai kini), yang sebelumnya tidak terlalu mengenal bahkan belum pernah mendengar tentang soft skill. Umumnya sejawat dosen mengenal tujuan pembelajaran (tujuan instruksional) yang terdiri dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir), psikomotorik (ketrampilan fisik), dan afektif (kemampuan yang berhubungan dengan sikap, perasaan, emosi, dan lain-lain). Hanya untuk keperluan kajian teori, perubahan unjuk kerja sebagai hasil belajar seseorang, dipilah-pilahkan. Dalam praktik, perubahan kemampuan seseorang akibat proses pembelajaran, terjadi secara berbarengan atau simultan. Seseorang yang belajar bermain bola misalnya, sekaligus ia akan memperoleh pengetahuan tentang sepak bola dan keterampilan bermain bola (kognitif dan motorik, atau barangkali hard skill) dan sekaligus juga keterampilan untuk bermain sebagai tim, semangat untuk menang, dan sebagainya (afektif atau mungkin yang saat ini disebut sebagai soft skill). Membedakan kemampuan seseorang menjadi hard skill dan soft skill kiranya juga hanya dalam upaya mempermudah kajian teoritik. Dalam buku tentang KBK di Perguruan Tinggi dituliskan .. kompetensi sebagai ciri utama dari penguasaan learning to do dari suatu materi pelajaran tidak dapat dipisahkan dengan elemen komptensi yang terkandung dal;am learning to know, learning to live together, dan learning to be....... oleh karenanya pemisahan antara materi pembelajaran atas hard skills dan soft skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. 5 Sejak lama, kompetensi seseorangan sebagai hasil belajar telah dipilah-pilahkan (ingat, pembedaan ini hanya untuk tujuan teoritis). Dan untuk tujuan teori yang berbeda, berbeda pula cara pemilahannya. Misalnya UNESCO memilahkan kompetensi hasil pendidikan dalam empat jenjang ”to do, to know, to live together dan to be” . Tampaknya kemampuan to live together dan to be sangat erat terkait dengan keterampilan pribadi (people skills atau soft skill, atau afeksi, atau juga mungkin EQ dan SQ) sedangkan to do dan to know lebih mengacu pada keterampilan teknis (hard skill, motorik, kognitif, atau kecerdasan fisik dan intelektual, dan sebagainya) 5 Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2. Hubungan antara Soft Skills dengan Pembelajaran Afektif Dalam buku Taksonomi Tujuan Instruksional, Suciati6 memilahkan taksonomi tujuan instruksional dalam tiga domian: kognitif, motorik, dan afektif. Tujuan afektif berhubungan dengan ”perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude)”. Tujuan afektif ini dapat dirinci mulai dari yang sederhana yaitu ”memperhatikan suatu fenomena” sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal sesorang seperti kepribadian dan hati nurani. Taksonomi afektif dikembangkan oleh Krathwohhl, dkk. Mereka mengembang taksonomi afektif dalam lima tingkatan mulai dari (a) pengenalan, (b) pemberian respon, (c) penghargaan terhadap nilai, (d) pengorganisasian dan sampai kepada (e) pengamalan. Pada jenjang tertinggi yakni pengalaman (characterization) atribut afektif (misalnya nilai kejujuran, disiplin, dll) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri seseorang, atau telah menjadi karakternya. Lebih lanjut Suciati menjelaskan, pada tingkat perubahan yang tinggi seperti penghargaan terhadap nilai (valuing), pengorganisasian dan pengamalan (characterization) perilaku-perilaku yang merupakan indikator tercapai tujuan terlihat overlaping, dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisah-pisahkan, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pulalah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak. Di samping Krathwohhl, dkk., tujuan pembelajaran afektif juga dibahas oleh Martin dan Briggs7 yang menyatakan kompetensi afektif merupakan pengembangan pribadi dan mempunyai cakupan yang luas. Pengembangan pribadi lebih luas artinya daripada sistem nilai, moral, etika, motivasi dan komptensi sosial (yang semuanya merupakan atribut kompetensi afektif). Bahkan dinyatakan pengembangan pribadi (self development) merupakan puncak dari kompetensi afektif. Atribut kompetensi afektif menurut Martin dan Briggs meliputi: nilai, moral dan etika, sikap, komptensi sosial, motivasi, minat, serta emosi dan perasaan. Banyak dosen telah mengenal tujuan pembelajaran ranah afektif (sebagian besar di antara didapat melalui pelatihan PEKERTI maupun Apllied Approach yang gencar dilakukan oleh Dirjen Dikti) sehingga sangat besar ada pertanyaan, apakah konsep soft skill sama maknanya dengan konsep afektif? Baik soft skill maupun afektif keduanya tidak berada dalam ranah yang berkaitan dengan keterampilan teknis, bidang keilmuan profesi, ataupun hal yang bersifat motorik. 6 7 Suciati (1977) Taksonomi Tujuan Instruksional, Mengajar di Perguruan Tinggi, PAU untuk P3AI Dirjen Dikti. Dalam Suciati, hlm 46-50. Keduanya berada pada kawasan kompetesi kepribadian. Keduanya lebih erat berkait dengan EQ, SQ, hati, to live together dan to be daripada dengan IQ, hand, head, to do, atau to know. Dengan demikian, tampaknya makna soft skill tidak jauh berbeda dengan kemampuan afektif. Namun, tentunya ada perbedaannya, karena bila tidak mengapa harus diberi nama baru. Soft skill tampaknya dimaksudkan memberikan gambaran kemampuan kepribadian yang jauh lebih luas daripada kompetensi afektif. Hal ini terlihat dari begitu banyak dan luasnya lingkup atribut soft skills. PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN 1. Perkenalan: 120 menit Fasilitator memperkenalkan diri dengan menyebut nama, institusi dan hobi (5 menit) Fasilitator meminta seluruh peserta menyebut nama, institusi dan hobi (30 menit) Fasilitator memperkenalkan program dan tujuan program yang akan dilakukan selama pelatihan (15 menit) Fasilitator mengajak peserta mendiskusikan pentingnya soft skills dalam dunia kerja: Lembar Kerja 1.1 Fasilitator merangkum hasil diskusi dan menjelaskan mengenai pentingnya soft skills: Slide …. (pak endro) (60 menit) 2. Pemilihan Role Model orang sukses: 120 menit a. Fasilitator mengajak peserta memilih 3 orang yang diidolakan (5 menit) b. Fasilitator meminta peserta mengupas sifat, kepribadian dan kemampuan (atribut sukses) 3 orang yang diidolakan tersebut: Lembar Kerja 1.2 (15 menit) c. Fasilitator membagi menjadi 4 kelompok dan masing-masing kelompok diminta untuk menginventarisasikan sifat, kepribadian dan kemampuan (atribut) sukses seseorang: Lembar Kerja 1.3. (30 menit) d. Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi atribut orang sukses (40 menit) e. Fasilitator merangkum atribut orang sukses dan menjelaskan contoh atribut orang sukses: Slide….. (pak Endro) (30 menit) 3. Refleksi Atribut sukses: 60 menit 1. Dengan menggunakan atribut sukses hasil diskusi dan atribut sukses yang berasal dari slide…. (pak Endro), fasilitator mengajak peserta membedakan orang yang menggunakan atribut tersebut dengan yang tidak menggunakannya, dalam kaitan penyelesaian tugas pekerjaan. (20 menit) 2. Fasilitator meminta peserta merangkum definisi soft skills: Lembar Kerja 1.4 (10 menit) 3. Fasilitator merangkum definisi dan menekankan pentingnya soft skills dalam dunia kerja: slide….. (pak Endro) (30 menit) PERTANYAAN REFLEKTIF 1. 2. 3. 4. Apakah yang dimaksud dengan soft skills? Apakah perbedaan soft skills dan hard skills? Mengapa soft skills penting dalam kehidupan dan dunia kerja? Soft skills apa saja yang dibutuhkan lulusan untuk sukses? BAHAN LATIHAN Lembar kerja 1.1: Pentingnya Soft Skills di dalam Kehidupan Lembar kerja 1.2: Identifikasi Soft Skills idola Lembar kerja 1.3: Inventarisasi Atribut Soft skills Lembar kerja 1.4: Definisi Soft Skills Slide Pak Endro No:………………….. Flip Chart WAKTU 300 menit (5 jam) Lembar Kerja 1.1. MENGAPA SOFT SKILLS PENTING? Menurut Bapak/Ibu apa saja manfaat jika lulusan kita menguasai soft skills? …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… Identifikasi peran soft skills dalam dunia kerja …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………......................................................................................................................................................... Lembar Kerja 1.2. IDOLA KU…………………….. NAMA IDOLA ATRIBUT POSITIF ATRIBUT NEGATIF Lembar Kerja 1.3. ATRIBUT SOFT SKILLS ORANG SUKSES Di bawah ini, tuliskan rangkuman atribut soft skills yang selalu mencul pada orang yang anda anggap sukses. Lembar Kerja 1.4. RANGKUMAN DEFINISI SOFT SKILLS Dengan menggunakan hasil diskusi dan penyajian mengenai soft skills, buatlah satu rangkuman definisi soft skills menurut anda. ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… 2 HAKEKAT SOFT SKILLS PENGERTIAN Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana hakekat soft skills, bagaimana makna soft skills dalam kehidupan, siapa saja yang perlu mengembangkan soft skills dan bagaimana pengalaman Negara lain, termasuk Indonesia dalam mengembangkan soft skills. TUJUAN Memahami hakekat softskills secara mendalam untuk mendapatkan model pengembangan soft skills berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan . Sementara itu tujuan spesifik dari bagian ini adalah agar peserta: (1) Mampu memahami manfaat softskills (2) Mampu mengidentifikasi fungsi softskills (3) Mampu mengidentifikasi pengalaman Negara lain mengembangkan lain (4) Mampu merefleksikan proses pembelajaran soft skills yang telah dikembangkan di Indonesia ISI TOPIK Arti Soft Skills Bernthal, et.al (2003) menyebutkan soft skills sebagai perilaku personal dan interpersonal yang mengembangkan dan memaksimalkan kinerja seseorang. Soft skills adalah semua ketrampilan pengembangan diri yang tidak bersifat teknis, seperti kemampuan pengelolaan keuangan, kualitas hidup, ketrampilan berpikir kritis dan lain-lain. Sementara itu, Peter de Jager (2005), ahli provocative speaker, menyebutkan bahwa untuk memahami “soft skills” akan lebih mudah jika kita memahami kata yang merupakan lawan katanya, yaitu “hard skills.” Hard skills adalah ketrampilan yang dapat langsung dilihat hasilnya dalam proses pembelajaran, segera setelah selesai proses tersebut selesai. Hasil pembelajaran akan dengan mudah dapat didefinisikan, mudah dilihat dan melibatkan penguasaan dari suatu objek yang tidak hidup. Sementara soft skills merupakan kemampuan yang bersifat superfisial, hasil tidak langsung dilihat, serta memiliki hubungan yang kuat dengan kemampuan personal dan interpersonal seseorang. Pada dasarnya, soft skills merupakan kompetensi yang berhubungan erat dengan karakter, kemampuan interpersonal, sikap dan nilai hidup anak didik. Untuk memperjelas definisi soft skills dan hard skills, di dalam buku ini akan disitir suatu contoh ilustrasi di dalam proses pembelajaran. Di dalam usaha untuk meningkatkan mutu lulusan Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Terkemuka, menetapkan kompetensi utama lulusan untuk dapat mengembangkan desain, juga melengkapi lulusannya dengan ketrampilan untuk dapat berpikir kritis, mampu berkomunikasi secara visual, lisan dan tertulis, bersikap etis, estetis dan apresiatif, serta dapat bekerja di dalam kelompok. Kemampuan yang disebutkan di awal merupakan Hard Skills dari program Teknik Arsitektur, yaitu kemampuan untuk mengembangkan desain bangunan. Kemampuan ini dapat terlihat dengan cepat setelah pembelajaran selesai dilakukan. Sementara itu, kemampuan yang disebutkan berikutnya, yaitu berpikir kritis, komunikasi visual, lisan dan tertulis serta bekerja di dalam kelompok adalah Soft Skills yang dikembangkan jurusan Teknik Arsitektur agar lulusannya dapat lebih berkualitas. Hard skills jurusan arsitektur ini berada di dalam komponen Kompetensi Utama, yang merupakan kompetensi penciri Program Studi tersebut. Sedangkan, soft skills jurusan arsitektur dimasukkan di dalam komponen Kompetensi Lainnya, yang tidak gayut dengan kompetensi utama program studi teknik arsitektur, namun dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kualitas lulusan dan merupakan penciri institusi Universitas Terkemuka. Sementara itu ilustrasi yang kedua adalah Program Studi Psikologi Universitas Terkenal, yang menetapkan kompetensi utama lulusannya untuk mampu mengenali dan mengelola perilaku manusia (Hard skills), membantu menyelesaikan permasalahan yang dialami manusia (Soft skills) serta mampu untuk memahami dan mengukur perilaku manusia (Hard Skills). Kompetensi pendukung program studi Psikologi Universitas Terkenal adalah kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif (Soft skills) dengan orang lain dan pemahaman lintas budaya (Hard Skills dan Soft Skills), serta mampu berbahasa Inggris dengan lancar sebagai Kompetensi Lainnya. Dengan kompetensi utama, pendukung dan lainnya yang telah ditetapkan tersebut, diharapkan lulusan program studi Psikologi Universitas Terkenal tersebut akan lebih berkualitas. Kedua ilustrasi diatas menunjukkan bahwa hard skills tidak selalu harus berupa kompetensi utama, demikian juga sebaliknya soft skills pun tidak selalu merupakan kompetensi pendukung dan atau kompetensi lainnya. Pada beberapa program studi yang kompetensi lulusannya berhubungan erat dengan ketrampilan personal dan interpersonal, seperti program studi kedokteran, psikologi, antropologi, kependidikan dan sebagainya akan memiliki kandungan soft skills yang kental di dalam unsur kompetensi utamanya. Berbeda dengan program studi yang memiliki kompetensi teknis yang kuat, seperti program studi keteknikan, pengetahuan dasar, akuntansi dan lain sebagainya, akan mengandung hard skills yang lebih kuat di dalam kompetensi utamanya. Soft skills pada program studi keteknikan dan sejenisnya tersebut akan banyak terkandung di dalam kompetensi lainnya. Institusi yang harus mengembangkan Soft Skills Apakah perguruan tinggi harus mengajarkan karakter, nilai hidup dan sikap hidup? Ataukah sekolah hanya harus mengenalkan pengetahuan? Pertanyaan ini saat ini menjadi satu pertimbangan di dalam proses pengembangan kurikulum di perguruan tinggi. Apakah perguruan tinggi cukup hanya mengajarkan ilmu, tanpa perlu memberikan perhatian pada karakter lulusannya. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kualitas sumber daya manusia, manakala sekolah tidak mengajarkan karakter. Selain Amerika Serikat (1996), China, Macau, Hongkong, Jepang, dan negara lain mulai memfokuskan diri pada pengembangan sekolah yang berkarakter. Dampak lain dari pedidikan yang tidak memberikan kesempatan bagi pengembangan karakter adalah, semakin banyak lulusan Perguruan Tinggi yang mengalami kesulitan pada saat bekerja, bahkan tidak jarang sebagian besar dari lulusan tersebut sulit mencari pekerjaan. Perusahaan saat ini tidak hanya memilih lulusan Perguruan Tinggi yang pandai dalam hal ilmu, namun juga berkarakter dan berkepribadian baik. Berdasarkan pengalaman yang yang saat ini dialami oleh perusahaan, sebagian besar merasakan bahwa karyawan yang deskripsi karyawan bermasalah banyak dialami oleh lulusan yang memiliki kepandaian yang tinggi namun kurang memiliki karakter yang baik, kurang disiplin, kurang bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Kelompok karyawan ini, sering gagal menjalankan tugas, terutama yang berhubungan dengan tugas kelompok. Berdasarkan pengalaman tersebut, Astra (Bowo Widodo, 2003), salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, mencari pekerja dengan mempertimbangkan karakter dan sikap kerja pada seleksi karyawan awal. Mitshubisi Research Institute (2000) melakukan studi yang hasilnya menyimpulkan bahwa aspek tertinggi yang menentukan kesuksesan lulusan bukan kemampuan teknis, namun lebih pada kematangan emosi dan kemampuan sosial. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa perguruan tinggi tidak hanya mengembangkan pengetahuan, namun juga kemampuan lain yang dapat mendukung kualitas lulusan. Kemampuan tersebut sering dikenal sebagai “soft skills” yaitu kemampuan non teknis yang dibutuhkan untuk bekerja dan hidup dengan lebih baik (Robert Half, Management Resources). Fungsi Soft Skills dalam bekerja Soft skills yang terdiri dari karakter, sikap dan nilai hidup, ketrampilan personal dan interpersonal merupakan faktor penting di dalam hampir semua aspek kehidupan, terutama di dalam dunia kerja. Seorang karyawan tidak hanya dituntut untuk menguasai kompetensi teknis, seperti bagaimana menerapkan konsep yang telah dipelajari di dalam inti keilmuannya, namun juga dituntut untuk memiliki karakter yang kuat, sikap hidup yang mantap, ketrampilan untuk berhubungan dengan orang lain, serta ketrampilan personal lain. Karyawan ini dinilai lebih memiliki kesiapan dan kualitas kerja yang tinggi. Salah satu studi yang dilakukan oleh Mitsubishi Research Institut (2000) menyebutkan bahwa, kesuksesan lulusan, ternyata tidak ditentukan oleh kemampuan teknis dan akademis lulusan tersebut, namun 40% disumbang oleh kematangan emosi dan sosial, 30% oleh proses networking yang dijalin, 20% oleh kemampuan akademis, dan 10% oleh kemampuan finansial yang dimilikinya. Di dalam praktek proses seleksi karyawan yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya melakukan saringan berdasarkan pada aspek kemampuan berpikir logis dan analisis di tahap awal. Kemudian dilanjutkan dengan seleksi karakter dan sikap kerja, sementara pada proses seleksi akhir, baru dilakukan seleksi berdasarkan kemampuan teknis dan akademis calon pegawai tersebut (Bowo Widodo, 2003). Terutama proses seleksi wawancara, proses ini sangat sarat dengan soft skills, yaitu ketrampilan berkomunikasi secara efektif, kemampuan berpikir kritis, ketrampilan menghargai orang lain, sikap serta motivasi kerja. Oleh karenanya, institusi Pendidikan Tinggi perlu untuk memikirkan bagaimana mengembangkan soft skills anak didiknya agar siap untuk menghadapi seleksi kerja. Namun terlebih dari itu, selain dibutuhkan pada saat seleksi kerja, soft skills akan sangat berperan pada saat lulusan bekerja di perusahaan. Pada saat lulusan mengemban tugas di dalam lingkungan kerja, baik sebagai pegawai negeri, pegawai swasta maupun wirausaha, soft skills merupakan syarat utama bagi kesuksesannya. Bekerja sebagai pegawai negeri maupun pegawai swasta, mensyaratkan seseorang memiliki karakter yang kuat, seperti integritas yang tinggi, jujur, bertanggung jawab akan tugas yang diembannya, serta semangat juang yang tinggi. Selain itu, juga membutuhkan ketrampilan untuk berhubungan sosial dengan orang lain, seperti bekerja di dalam tim, serta mempresentasikan dan mengekspresikan ide yang dimilikinya. Pekerja dengan soft skills yang tinggi akan memiliki daya juang dan tanggung jawab untuk selalu menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu, jika lulusan menetapkan untuk menjadi wirausaha, soft skill akan menjadi sangat penting untuk dapat selalu menelorkan ide-ide yang kreatif dan inovatif, sehingga dapat mendukungnya untuk menemukan celah dan berjuang di menjual ide yang dimilikinya kepada orang lain. Seorang wirausaha memiliki ciri kuat di dalam menemukan ide secara aktif dan kreatif untuk dapat selalu berjuang di dalam mengembangkan usahanya. Manfaat Pendidikan Soft Skills bagi lulusan pendidikan Perubahan sosial yang sangat cepat dan dramatis di masa global mensyaratkan perubahan pada sistem pendidikan. Pendidikan yang semula cukup memberikan dasar kompetensi akademik pada lulusannya, saat ini perlu untuk memikirkan bagaimana melengkapi kompetensi tersebut dengan kompetensi lain yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan perubahan sosial yang ada. Keadaan ini tidak hanya dialami oleh pendidikan di Indonesia, namun juga dialami oleh sebagian besar pendidikan baik di Eropa, Amerika maupun Asia dan Afrika. Pengembangan Soft Skills di negara lain? (Sebuah Inspirasi) Sebagai contoh di Taiwan (Lee, 2004), pada bulan July 2003 sekolompok profesor menyampaikan Education Reconstruction manifesto, yang mengritik reformasi pendidikan di Taiwan. Reformasi pendidikan di Taiwan dirasakan menyebabkan masalah yang serius, yaitu adanya stress akademik yang tinggi serta iklim kompetisi dan individualisasi yang tinggi. Permasalahan kedua yang dirasakan adalah adanya penurunan moral lulusan pendidikan di Taiwan. Oleh karenanya pada tahun 2003 tersebut Taiwan memulai proses pendidikan moral yang sarat dengan muatan soft skills. Ada 3 pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Taiwan di dalam usaha mengembangkan soft skills siswa didiknya, yaitu (1) melalui pengembangan Committee of Discipline and Morality (CDM) di bawah Menteri Pendidikan, untuk mengembangkan pendidikan ideologis dan menstabilkan iklim sekolah; (2) Mengembangkan kurikulum moral dan etika yang diimplementasikan secara terkait di dalam proses pembelajaran; dan (3) mengimplementasikan aturan dan aktivitas sekolah sebagai ajang latihan pengembangan moral dan karakter siswa. Soft skills yang dikembangkan di dalam pola pendidikan moral di Taiwan adalah: kemampuan berpikir kritis, civic values, kerjasama dan social values. Sementara itu, di Korea pada tahun 2000 dikembangkan sistem pendidikan baru yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Korea secara utuh. Strategi yang dikembangkan adalah: (1) Menciptakan model karakter yang ingin dikembangkan (guru, cerita pahlawan, pimpinan masyarakat, dll); (2) Guru harus membantu anak dalam mengadopsi kemampuan untuk memahami dan menguasai soft skills; (3) Guru harus mampu mendorong suasana yang dapat mengembangkan soft skills; dan (4) Guru harus menyediakan berbagai macam aktivitas yang bersumber pada nilai hidup dan atuan yang akan dipelajarai di dalam kurikulum formal dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Scribner (2007) melakukan penelitian pada pendidikan di Jepang yang sarat akan soft skills. Di Jepang, semenjak tahun 1992-1993, pendidikan di Jepang telah menekankan pada aspek dasar citizenship characters. Setiap sekolah di Jepang harus mengajarkan soft skills di dalam pendidikannya. Proses pengembangan soft skills di Jepang, menurut Scribner (2007) lebih banyak difokuskan pada kegiatan cocurricular activities. Selain contoh di atas, soft skills juga banyak dikembangkan di benua Eropa. Salah satu negara yang memiliki pendidikan soft skills adalah di Hungaria. Proses reformasi yang terjadi di Hungaria tahun 1989 – 1990 tidak hanya berdampak pada dimensi ekonomi dan politik saja, namun juga berpengaruh pada dimensi moral. Penurunan moral di Hungaria muncul dalam wujud hilangnya norma dan kontrol di dalam tatanan kehidupan masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah membangun satu institusi pendidikan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan soft skills siswa didiknya. Institusi ini berhasil mengembangkan satu Kurikulum Nasional yang memungkinkan memberikan 3 buah alternatif pilihan, yaitu: (1) Jawaban yang berasal dari kelompok liberal, dimana sekolah harus dapat merefleksikan kebebasan untuk dapat mengembangkan soft skill tanpa ada campur tangan dari negara; (2) Jawaban dari kelompok nasionalis, dimana sekolah harus mengembangkan soft skills yang ditetapkan oleh negara; dan (3) Jawaban dari kelompok religius, yang menyatakan bahwa soft skills adalah persetujuan dari norma masyarakat yang berlaku saat itu. Lembaga Kurikulum Nasional Hungaria membuka diskusi dan debat panjang mengenai ketiga alternatif tersebut. Selama kurang lebih 15 tahun lembaga ini mencoba untuk menyusun soft skills seperti apa yang dibutuhkan siswanya. Akhirnya, setelah 15 tahun proses pengembangan soft skills tersebut, lembaga Kurikulum Nasional akhirnya menyediakan framework program soft skills tanpa membatasi isi yang akan dikembangkan. Ide yang paling penting adalah bahwa setiap sekolah wajib mengembangkan soft skills siswa didiknya, namun demikian, dapat secara bebas menetapkan soft skills apa yang akan dikembangkan. Di dalam program pengembangan soft skills Kurikulum Nasional Hungaria selama 15 tahun, dapat disimpulkan bahwa soft skills tidak dapat diajarkan secara formal melalui kurikulum tertulis, namun dapat diajarkan melalui Hidden curriculum, yaitu kurikulum yang merupakan dampak dari interaksi antara guru/dosen dengan siswa didiknya. Dari berbagai contoh pengembangan kurikulum di berbagai negara dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahwa: Hampir setiap negara di berbagai benua meyakini bahwa sekolah tidak hanya cukup mengajarkan pengetahuan atau hard skills saja namun juga perlu mengembangkan karakter siswa didiknya melalui pengembangan soft skills. Pada beberapa negara, pengembangan soft skills di insitusi pendidikan dimulai dari penetapan kurikulum karakter yang bersifat nasional. Soft skills tidak dapat dikembangkan melalui kurikulum tertulis dan formal, namun secara terstruktur dilakukan melalui hidden curriculum, aktivitas ekstrakurikuler dan atmosfer akademik yang dikembangkan. Pengalaman Indonesia belajar mengembangkan soft skills Beberapa tahun, Indonesia mengembangkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada seluruh lapisan masyarakat, sebagai salah satu contoh pengalaman pendidikan soft skills di Indonesia. P4 diterapkan baik di tempat kerja maupun di lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan. Hasil pelaksanaan P4 ini ternyata kurang dapat terpatri di dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia. Beberapa analisis telah dilakukan, salah satu diantaranya menangkap permasalahan di dalam metode pembelajaran dan penyampaian P4. Proses yang dikembangkan dirasakan terlalu mengarah kepada domain kognitif, sehingga Pancasila hanya sebatas pada hafalan semata, bukan terinternalisasi di dalam perilaku dan sikap hidup. Sebagaimana teori pengembangan soft skills yang disampaikan oleh Lickona (1991) bahwa soft skills merupakan konsep psikologis yang kompleks, tidak hanya terdiri dari satu domain saja. Oleh karenanya, di dalam proses pengembangan soft skills pun harus mengarah pada konsep psikologi yang lengkap, yaitu kognitif, afeksi dan psikomotor yang saling kait mengait. Hasil evaluasi kedua adalah bahwa soft skills tidak dapat hanya diajarkan di dalam satu waktu pelatihan saja. Program P4 hanya diberikan di awal perkuliahan, di awal sekolah dan di awal suatu pekerjaan. Hal ini menurut Lickona (1991) tidak mencukupi untuk sampai pada ranah afeksi dan psikomotor. Pada intinya, menurut Lickona (1998) anak akan dapat mengembangkan pemahaman mengenai soft skills, dengan cara mempelajari dan mendiskusikan soft skills tersebut, mengamati perilaku model yang memiliki soft skills positif dan memecahkan permasalahan yang memiliki kandungan moral dan soft skills yang cukup tinggi. Pada saat anak berusaha belajar untuk memiliki soft skills menghormati orang lain, anak perlu untuk dapat memiliki model yang secara jelas menunjukkan perilaku menghormati orang lain. Kemudian juga diikuti dengan melatih soft skills tersebut di dalam aktivitas nyata. Dan terakhir, anak memiliki kesempatan untuk mendikusikannya dengan orang yang memiliki soft skills tersebut, secara lebih intensif. Pada saat program P4 dijalankan, konsep pengembangan soft skills ini kurang diterapkan dengan utuh. Oleh karenanya implementasi di dalam kehidupan nyata kurang selaras dengan tujuan luhur program P4 tersebut. Konsep pengembangan role model serta latihan secara berkelanjutan di dalam praktek nyata tidak terwadahi di dalam program P4. Walhasil, program tersebut memang membuat sebagian masyarakat hafal akan Pancasila dan maknanya, namun tidak mampu menuangkan di dalam proses kehidupan nyata. Permasalahan inilah yang menyebabkan program P4 dievaluasi dan direvisi agar lebih baik. Usaha pemerintah Indonesia di dalam di dalam mengembangkan soft skills bangsa yang penuh rasa hormat dan menghormati, tidak berakhir hanya dengan pengembangan program P4 saja. Di Indonesia dikembangkan mata pelajaran budi pekerti, yang diajarkan di semua tingkatan pendidikan. Namun sekali lagi, permasalahan yang muncul tetap pada desain pembelajaran yang cenderung mengarah pada satu ranah kognitif saja. Bahkan sejalan dengan syaratnya muatan teknologi dan ilmu yang dipelajari, pendidikan budi pekerti ini telah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah. Pada tataran pendidikan tinggi, menangkap pesan yang disampaikan oleh UNESCO di dalam konvensi tahun 1999, tentang pendidikan sepanjang hayat yang tertuang di dalam konsep 4 education pillars (learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together) maka ditetapkanlah SK Mendiknas No. 232/U/Mendiknas/2000, mengenai pengembangan kurikulum pendidikan tinggi. Di dalam pasal 10 menyebutkan bahwa Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) wajib diberikan di dalam kurikulum setiap program studi. Bentuk kelompok MPK ini di dalam kurikulum inti adalah pada mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sementara di dalam kurikulum institusional dapat berupa mata kuliah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Alamiah Dasar, Filsafat Ilmu dan sebagainya. Namun SK Mendiknas inipun memiliki kelemahan yang sama dengan program P4, yaitu hanya mengembangkan sisi kognitif saja dan kurang sustainable. Untuk itu, dilakukan revisi melalui SK Mendiknas No. 045/U/MENDIKNAS/2002 pada tahun 2002. SK Mendiknas ini menyatakan bahwa setiap kurikulum harus memiliki 5 elemen kompetensi, yaitu (1) landasan berkepribadian; (2) penguasaan ilmu dan ketrampilan; (3) kemampuan berkarya; (4) sikap dan perilaku dalam berkarya; serta (5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat. Maksud yang terkandung di dalam SK Mendiknas ini adalah Kurikulum Perguruan Tinggi harus mampu menjamin adanya pengembangan kepribadian dan soft skills lulusan hingga lulus. Proses pendidikannya tidak hanya dilakukan sesaat di dalam kelas, namun terintegrasi di dalam keseluruhan kurikulum. Artinya, tidak harus tertuang di dalam satu atau dua mata kuliah, namun selalu terkandung sebagai muatan di seluruh mata kuliah. Konsep yang terkembang di dalam SK Mendiknas 045/U/MENDIKNAS/2002 ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh ahli character development. Hoge (2003) menyampaikan bahwa Pendidikan soft skills adalah suatu usaha yang disadari dan terencana untuk mempengaruhi berkembangnya sikap yang diinginkan. Terlebih lanjut, Berkowitz (1998) juga menyampaikan hal senada bahwa pendidikan soft skills merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang harus selalu muncul di setiap bagian dari kurikulum mulai dari written curriculum, hidden curriculum, co curriculum dan extra curricular activities. Bahkan di tahun 2006, Berkowitz secara yakin mendefinisikan pendidikan soft skills sebagai comprehensive school-based approach yang digunakan untuk mengembangkan moral siswa didiknya. PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN: 1. Refleksi Pembelajaran Soft skills di beberapa Negara: 120 menit Fasilitator memberikan beberapa journal yang memuat pengalaman Korea, Jerman dan Hungaria (Handout 2.1) kepada peserta dan minta untuk merefleksikan pengalaman yang ada pada lembar kerja 2.1 (15 menit) Fasilitator membagi peserta menjadi 4 kelompok (5 menit) Fasilitator meminta peserta bekerja di dalam kelompok untuk mereview journal dalam hal aspek: (1) Latar belakang pengembangan soft skills; (2) metode yang dipilih dalam pengembangan soft skills; dan (3) hasil yang dicapai: Lembar Kerja 2.1 (30 menit) Wakil kelompok mempresentasikan hasil kerja di depan kelas (40 menit) Fasilitator merangkum dan menjelaskan hasil kerja dikaitkan dengan slide…. (Pak Endro) (30 menit) 2. Refleksi Pembelajaran soft skills di Indonesia: 120 menit Fasilitator menyampaikan sejarah pengembangan soft skills melalui pembelajaran di sekolah. Kemudian menginventarisasi beberapa model pembelajaran soft skills di sekolah yang ada di Indonesia, mulai dari penataran P4, pembelajaran budi pekerti, pelajaran agama, dll (10 menit) Peserta tetap dibagi menjadi 4 kelompok, dan masing-masing kelompok diminta untuk membuat review proses pembelajaran soft skills dan karakter di Indonesia dalam Lembar Kerja 2.2 (30 menit) Peserta mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas (40 menit) Fasilitator merangkum dan menjelaskan prinsip pembelajaran soft skills yang tapat dengan slide……. (pak Endro) dilanjutkan dengan diskusi (40 menit) 3. Rangkuman Proses pembelajaran softskills yang tepat dan penyajian contoh baik: 60 menit Fasilitator menjelaskan prinsip pengembangan dan pembelajaran soft skills di sekolah. (30 menit) dengan slide ….. (pak endro) Diskusi tentang pelaksanaan pengembangan dan pembelajaran softskills di sekolah dengan memberikan best practice dari beberapa institusi pendidikan tinggi di Indonesia ataupun Negara lain (30menit) PERTANYAAN REFLEKTIF 1. 2. 3. 4. Apakah makna hakiki softskills? Apa fungsi softskills dalam bekerja? Bagaimana konsep mengembangkan secara benar? Dapatkah soft skills diajarkan? MATERIAL Handout 2.1: pengalaman pembelajaran soft skills di beberapa Negara (selected reading materials) Lembar kerja 2.1: Review pengalaman pengembangan soft skills di beberapa Negara Lembar Kerja 2.2: Refleksi pembelajaran soft skills di Indonesia WAKTU 300 menit (5 jam) Lembar Kerja 2.1. REVIEW KEBERHASILAN BEBERAPA NEGARA (dalam mengembangkan soft skills) Dari pengalaman beberapa hal apakah yang dapat anda tarik sebagai satu kesimpulan dalam hal: 1. Faktor Pendorong pengembangan soft skills di dalam setting pendidikan ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. 2. Faktor Penghambat yang memperlambat pengembangan soft skills dalam dunia pendidikan ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. 3. Kebijakan Negara/pemerintah dalam pengembangan soft skills ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. Lembar Kerja 2.1 4. Proses yang dilakukan di sekolah ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 5. RANGKUMAN ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… Lembar Kerja 2.2 mereview pembelajaran budi pekerti dan karakter di Indonesia Jika kita mengingat kembali apa yang terjadi di dalam proses pengembangan karakter bangsa Indonesia melalui penataran P4, pelajaran budi pekerti, agama dan PMP/PPKN, maka terdapat beberapa hal yang dapat kita pelajari, yaitu: 1. Mengapa Penataran P4 belum berhasil membentuk moral bangsa? ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 2. Mengapa Pelajaran PMP atau PPKN atau PSPB belum dapat membangun jiwa kebangsaan dan cinta tanah air? ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 3. Mengapa pelajaran agama yang di berikan dari SD sampai Perguruan Tinggi tidak membuat orang lepas dari perilaku korupsi, menipu dll? ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 4. Apa yang perlu dibenahi dari kesemua proses pembelajaran karakter di atas ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 3 PEMBELAJARAN SOFTSKILLS PENGERTIAN Fokus bagian ini adalah proses pembelajaran soft skills yang ada di kelas. Mulai dari mengidentifikasikan, mendefinisikan dan merancang proses pembelajaran serta penilaian belajarnya. TUJUAN (1) Mampu mengidentifikasi softskills yang diperlukan (2) Mampu definisikan softskills yang akan dikembangkan dalam proses pembelajaran (3) Mampu merancang pembelajaran yang mengandung softskills (4) Mampu menilai soft skills sebagai konsekuensi dari proses pembelajaran yang telah dilakukan(Evaluasi soft skills) ISI TOPIK Proses pembelajaran Softskills? Pemilahan tujuan pembelajaran dalam tiga domain, kognitif, motorik dan afektif, tidak berarti bahwa tujuan pada satu domain tidak ada kaitanya dengan tujuan di domain yang lain. Hasil pembelajaran selalu terjadi pada ketiga domain dengan proporsi yang berbeda-beda. Demikian pula dalam pembedaan kompetensi lulusan menjadi kompetensi hardskills dan softskills. Tidak ada proses pembelajaran yang hanya menghasilkan perubahan dalam domain hardskills tanpa berpengaruh kepada softskilnya. Karenanya pernyataan ....oleh karenanya pemisahan antara materi pembelajaran atas hard skills dan soft skill dalam satu kurikulum tidak berlaku lagi. 8 Dengan tidak mempersoalkan apakah memang pernah terjadi pemisahan antara hardskills dan softskills dalam kurikulum, memang benar bahwa pembelajaran softskills terjadi pula pada saat proses pembelajaran dilakukan oleh dosen, apapun materi yang diajarkannya. Lebih tegas Illah9menuliskan softskills tidak seharusnya (diajarkan) melalui satu mata kuliah, melainkan diselipkan di setiap mata kuliah. Softskills tidak akan menjadi satu 8 Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 1-2. 9 Illah, hlm 11 mata kuliah tersendiri, melainkan menjadi hidden curriculum. Itu berarti, masing-masing dosen bertanggung jawab dalam pembelajaran softskills apapun mata kuliah yang diasuhnya. Masalahnya adalah bagaimana dosen dapat secara sadar dan sengaja merancang dan melaksanakan tugas ”membelajarkan” sofskills dalam praktek pembelajarannya. Makna Pembelajaran Afektif Sebagai tenaga pengajar, dosen berkewajiban melakukan kegiatan pembelajaran10 untuk mencapai tujuan perubahan tertentu dalam diri mahasiswanya. Kegiatan pembelajaran akan menghasilkan berbagai perubahan dalam diri siswa, misalnya bertambahnya pengetahuan mereka pada bidang keilmuan tertentu, dimilikinya keterampilan baru untuk mengerjakan sesuatu, atau tumbuhnya kemauan untuk lebih bekerja keras dan disiplin. Bloom (1977) membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan sesuai dengan jenis kemampuannya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut kawasan kognitif. Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan ini. Tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut kawasan psikomotorik (sering disingkat menjadi kawasan motorik). Kemampuan meniru, melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkikan berbegai gerakan, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar adalah bagian dari kawasan motorik. 10 Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instructional yang berrati kegiatan mengajar-belajar. Apabila mengajar (teaching) cenderung pada kegiatan dosen, dan belajar (learning) pada kegiatan siswa, maka pembelajaran merupakan kegiatan mengajar oleh dosen yang mampu –pada saat yang sama-menimbulkan kegiatan kegiatan belajar dalam diri siswanya. Tujuan yang lain, yang berintikan kemampuan bersikap disebut kawasan afektif. Karthwohl, dkk. (1964) untuk keperluan analisis pembelajaran mengurai perubahan afektif menjadi lima tingkatan yaitu : 1. pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu) 2. merespon (aktif berpartisipasi) 3. penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu) 4. pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya) 5. pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup). Pembelajaran afektf merupakan kegiatan yang dilakukan dosen secara sengaja, sadar dan terencana untuk mencapai perubahan-perubahan pada kawasan afektif. Dengan demikian, tujuan pembelajaran yang berhubungan dengan sikap positif, pengamalan budi pekerti yang baik, bersemangat untuk maju, kemauan untuk belajar terus menerus dan berbagai pengalaman nilai-nilai positif hari nurani, merupakan bagian dari pembelajaran afektif. Perlu diketahui, bahwa hasil belajar yang dipilahkan dalam kawasan kognitif, motorik dan afektif, hanyalah untuk keperluan kajian teoritik. Dalam kenyataannya, perubahan yang terjadi dalam diri mahasiswa merupakan gabungan dari ketiga kawasan itu. Hasil belajar perkuliahan matematika, misalnya tidak saja akan merubah pengetahuan (kognitif), setapi juga ketrampilan (motorik) dan sikap positif (afektif) mahasiswa terhadap matematika. Memang benar, ada pembelajaran tertentu yang memberikan bobot perubahan yang lebih besar pada kasawan yang satu di bandingkan dengan kawasan yang lain. Misalnya, kegiatan praktikum yang tentunya mempunyai tujuan keterampilan yang lebih besar daripada perubahan di kawasan kognitif maupun afektif. Namun, tidak berarti bahwa melalui praktikum tidak terjadi perubahan di kedua kawasan yang lain itu. Perubahan yang diharapkan terjadi dari kegiatan praktikum dapat digambarkan sebagai berikut: Motorik : menumbuhkan / meningkatkan keterampilan dalam ♦ ♦ mempersiapkan, merancang, menggunakan seperangkat peralatan dan bahan secara tepat dan benar untuk mencapai tujuan tertentu dll Afektif : membentuk dan meningkatkan sikap, motivasi, dalam Kognitif : Meningkatkan kemampuan dalam • • • • • Memperdalam teori yang berhubungan dengan praktikum Menggabungkan berbagai teori yang telah diperoleh Menerapkan teori yang pernah diperoleh pada problema yang nyata Pemahaman teori-teori baru yang berkaitan dengan tugas praktikumnya dll • • • • • • • • Bekerjasama dalam kelompok Disiplin dalam waktu dan perilaku Sikap Jujur dan terbuka Mengharagai ilmunya Belajar mandiri Kreativitas Anailisis-Kritis dll Perbedaaan antara Pembelajaran Afektif dan Pendidikan Afektif Umum dimengerti bahwa mendidik lebih luas artinya daripada mengajar. Ada pula yang menyatakan bahwa mengajar hanya memfokus kepada perubahan kemampuan berpikir, sedang mendidik memberikan perhatian lebih kepada pembentukan kepribadian (atau nilai-nilai afektif). Namun, bila dipahami bahwa hasil perubahan dari suatu proses pembelajaran tidak mungkin hanya terdiri dari perubahan pikiran saja tanpa adanya perubahan sikap dan perubahan keterampilan (meskipun dalam poporsi yang berbeda-beda), maka pembelajaran afektif pada hakikatnya sama artinya dengan pendidikian afektif. Apabila dosen secara sadar, sengaja dan terencana melakukan pembelajaran afektif, yang artinya memberikan perhatian pula pada perubahan-perubahan perilaku afektif, maka dosen tersebut sebenarnya telah melakukan pendidikan afektif. Secara rinci Ardhana (2000) dalam makalahnya pada Seminar Pembelajaran Afektif yang dilaksanakan oleh LP3-Unibraw, menuliskan bakwa pendidikan afektif (seringkali disebut pendidikan humanistik) adalah suatu pandangan atau falsafah dalam pendidikan yang memusatkan perhatian pada sikap dan perasaan siswa, serta belajar secara bebas (Slavin, 1994, hlm. 296). Lebih jauh Ardhana (2000) menyatakan bahwa pendidikan afektif dilandasi suatu aliran psikologi yang dikenal dengan nama psikologi humanistik. Aliran psikologi ini dikembangkan oleh para tokohnya karena psikologi akademik (khususnya behavioristik) dan psikologi terapan tidak membahas secara memadai kemampuan manusia untuk berpikir, mengalami perasaan, membuat keputusan dan secara umum menentukan arah hidupnya. Psikologi akademik terlalu menekankan pemakaian metode penelitian yang ketat seperti eksperimen. Di samping itu, dalam upayanya mengungkapkan masalah belajar, psikologi akademik lebih tertarik mempelajari tikus, merpati, dan kera ketimbang mempelajari manusia dalam konteksnya yang alamiah. Menurut Snelbecker (1974), ada beberapa ciri umum yang dominan dalam tradisi psikologi humanistik, meskipun diantara tokoh-tokohnya terdapat perbedaan pendapat. Pertama, mereka menekankan bahwa psikologi seharusnya mengkaji pribadi manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh, bukan mereduksinya menjadi sub-sub bagian secara fragmentaris. Kedua, mereka juga lebih menekankan pada pemerian kegiatan-kegiatan yang ditinjau dari sudut pandang pengamat luar. Ketiga, mereka terutama memberikan perhatian kepada aktualisasi diri (self-actualiztion), pemenuhan diri (self-fulfillment), dan perwujudan diri (sef-realization). Irawan (1994) menuliskan bahwa menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk “memanusiakan manusia”. Proses belajar dianggap berhasil jika si belajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si belajar harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Secara umum teori ini cenderung bersifat eklektik, dalam arti memanfaatkan teknik belajar apapun asal tujuan belajar mahasiswa dapat tercapai. Namun, lebih jauh dinyatakan berdasar teori humanistik, dalam praktiknya cenderung mahasiswa untuk berpikir induktif (adri contoh ke konsep, dari kokrit ke abstrak, dari khusus ke umum dan sebagainya). Di samping itui, teori humanistik amat mementingkan faktor pengalaman (keterlibatan aktif) mahasiswa di dalam proses belajar. Sehingga model pembelajaran yang mampu lebih mengaktfkan belajar mahasiswa merupakan andalan pada pembelajaran afektif. Metode Pembelajaran Afektif Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berbeda, dibutuhkan metode mengajar dan cara evaluasi keberhasilan yang tidak sama. Dengan demikian, sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa tujuan utama dari perkuliahan. Apakah menitikberatkan kepada diperolehnya pengetahuan, atau terbentuknya sikap. Memang benar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang merupakan “gabungan” dari adanya perubahan kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), motorik (ketrampilan). Apakah perubahan koginitif memberikan pengaruh kepada perubahan afektif? Jawabannya adalah ya. Dalam proses pembelajaran selalu terjadi interaksi antara unsur kognitif dan afektif dalam diri mahasiswa. Sikap (afektif) yang negatif terhadap akan menghambat tercapainya tujuan kognitif, sebaliknya untuk dapat mengubah suatu sikap atau mengadopsi suatu nilai, mahasiswa memerlukan berbagai pemahaman yang sifatnya kognitif. Dalam proses pembelajaran tertentu aspek kognitif dan afektif merupakan dua sisi mata uang yang perlu ada. Namun, masing-masing matakuliah mempunyai tujuan perubahan dengan fokus yang berbeda-beda. Ada yang menfokus pada perubahan keterampilan motorik, kemampuan kognitif, atau pembentukan sikap afektif. Berbeda dengan tujuan kognitif yang berorientasi kepada kemampuan berpikir, tujuan afektif lebih berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap. Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, tujuan afektif dimulai dari yang paling sederhana, yaitu “memperhatikan suatu fenomena” sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Berbedanya fokus perubahan, membawa perubahan pada metode pembelajaran dan termasuk juga sumber belajar yang diperlukan. Tentu saja hal itu untuk dapat mencapai proses pembelajaran yang efisien, efektif dan menyenangkan. Misalnya, pembelajaran Budi Pekerti, yang tentunya lebih mengupayakan tercapainya perubahan karakter daripada “sekedar” penambahan pengetahuan. Sehingga fokus perhatian lebih difokuskan kepada perubahan pada ranah afektif daripada perubahan ranah kognitif maupun motorik. Diketahui bahwa karakter atau watak seseorang dipengaruhi oleh banyak hal. Di antaranya, oleh lingkungan dan pengalaman hidupnya. Salah satu pengalaman yang berpengaruh pada pembentukan watak adalah pengalaman pembelajaran di sekolah, di mana keberhasilannya sangat tergantung pada proses belajar dan mengajar yang terjadi, yang bertumpu pada peran guru dalam merancang, menyajikan dan mengevaluasi. Dengan demikian kegiatan tersebut merupakan bagian dari pembelajaran afektif yang menurut Ardhana (2000), belakangan ini berkembang dengan memiliki tiga ciri pokok yaitu : memberikan penekanan yang jauh lebih besar pada peran guru dalam membimbing siswa kearah penemuan dan penggunaan teknik belajar secara kooperatif serta mendorong terjadinya diskusi di antara siswa berlandaskan pada teori pembelajaran konstruktivistik yang menekankan perlunya siswa membangun pengetahuannya sendiri menekankan kegiatan belajar yang otentik dengan latihan-latihan pembelajaran yang menyerupai kehidupan nyata. Sejalan dengan pandangan di atas, Degeng (2000) menyatakan adanya arah baru strategi pembelajaran, yang di antaranya untuk menunjang pendidikan afektif, yaitu perubahan dari teori behavioristik ke kognitif / konstruktivistik. Dalam mendorong ketercapai Kurikulum Berbasis Kompetensi, Dikti11 memngarahkan proses pembelajaran di perguruan tinggi menggunakan pendakatan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa (Student Centered Learning, SCL) sebagai pengganti pendekatan pembelajaran yang berpusat pada dosen. Menggunakan model pembelajaran SCL tersebut, mahasiswa didorong untuk lebih aktif membelajarkan diri mereka. Mahasiswa diharapkan berkemampuan dalam learn how to learn, mengembangkan potensi diri, dan ketrampilan mereka untuk hidup (live skills, personal skills, atau softskills) di samping belajar ketrampilan teknis bidang keilmuannya. Berbagai metode pembelajaran yang disarankan oleh Dikti yang cocok untuk CTL antara lain (a) Small group discussion, (b) Role-play and simulation, (c) Case study, (d) Discovery Learning, (e) Self-Directed Learning, (f) Cooperative Learning, (g) Collaborative Learning, (h) Contextual Learning, (i) Project Based Learning, dan (j) Problem Based Learning and Inquiry. Bruce Joyce dan Marsha Weil (1986) mengkaji dan menyajikan berbagai model mengajar -sebenarnya juga berarti model pembelajaran- (model of teaching) yang telah dikembangkan dan dites keberlakukannya oleh para pakar kependidikan. Terdapat empat kelompok model mengajar, yaitu kelompok a) Model Pengolahan Informasi, b) Model Personal, c) Model Sosial dan d) Model Sistem Perilaku. Secara ringkas penjelasan tentang model-model mengajar tersebut adalah sebagai berikut: 11 Tanya jawab seputar unit pengembangan materi dan proses pembelajaran di PT, Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan Dirjen Dikti, 2005, hlm 22-47 No Kelompok Orientasi Model Utama pokok 1 Model Proses kognitif Menitikberatkan Pengolahan Pemahaman Informasi Macam model mengajar yang termasuk pada kelompok model utama Pencapaian konsep pada cara (concept attainment) dunia memperkuat (Information dorongan internal (inductive thinking) Processing) masalah manusia untuk memahami dunia training) melalui menggali dan organizer) mengorganisasikan data, merasakan (memorization) adanya masalah dan mengupayakan jalan (developing intellect) pemecahannya, serta mengungkapkannya. (scientific inquiry) Beranjak dari Pemecahan Berfikir induktif 2 Karakteristik Berpikir induktif Latihan Penelitian (inquiry Pemandu Awal (advanced Memorisasi Pengembangan Intelek Penelitian Ilmiah Model Personal (Personal) individu pandangan kedirian (non directive teaching) Keunikan atau “selfhood” dari Kemandirian individu. model) Pembinaan Mengusahakan untuk dapat memahami diri (awareness training) sendiri dengan baik, memikul tanggung (classroom meeting) Kesadaran kepribadian jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Pengajaran tanpa arahan Sinektiks (synectics Latihan kesadaran Pertemuan kelas 3 Model Sosial Dengan kerjasama (Social) kelompok manusia dapat (group investigation) Kebersamaan membangkitkan dan Interaksi sosial menghimpun tenaga playing) Individu (energy) secara sebagai aktor bersama yang (jurispridential inquiry) sosial kemudian disebut “synergy”. (laboratory training) Kelompok model sosial dirancang (social science inquiry) Semangat Investigasi kelompok Bermain peran (role Penelitian yurispridensial Latihan laboratoris Penelitian ilmu sosial untuk memanfaatkan fenomena kerjasama. 4 Model Sistem Memusatkan Perilaku Learning” perhatian pada learning) (Behavioral Koreksi diri perilaku yang System) Terapi terobservasi dan (direct instruction) perilaku metode dan tugas yang diberikan (learning self control) dalam rangka “Social Respon terhadap tugas Belajar tuntas (mastery Pembelajaran langsung Belajar kontrol diri Simulasi (simulation) mengomunikasikan keberhasilan. Dari tabel di atas tampak terdapat banyak sekali model mengajar yang dapat dipergunakan dosen dalam praktik pembelajaran. Dan banyak di antara model-model tersebut secara khusus dirancang untuk memberikan hasil belajar yang berupa perubahan afektif. Sebagai contoh, berikut disajikan 4 (empat) buah model yang masing-masing mewakili setiap kelompok (guna mempelajari lebih lanjut tentang hal ini sangat disarankan untuk membaca tulisan Saripuddin, Udin (1997) yang berjudul Model-model Pembelajaran dalam Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran Buku 1 B Bahan Ajar Program Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen Muda. Jakarta : PAU-P3AI.) No 1 2 Nama model Latihan Penelitian (inquiry training) Kelompok model Pengolahan Informasi Karakteristik model Membantu untuk melakukan penelitian mandiri dengan berdisiplin. Langkah kegiatan Sinektiks (synectics model) Personal Mengembangkan kreativitas dan pemecahan masalah secara kreatif Menghadapkan masalah. Mencari dan mengkaji data Eksperimentasi dan menguji hipotesis Penarikan kesimpulan dan rekomendasi Deskrisi kondisi saat ini Proses analogi langsung Proses analogi personal Analisis konflik Analogi langsung lanjut Kajian tugas Hasil pembelajaran Strategi untuk penelitian kreatif (L) Keterampilan proses keilmuan (I) Semangat kreatif (I) Kemandirian (I) Toleransi (I) Kapasitas Kreatif Umum (L) Kapasitas Kreatif Bidang Studi (L) Pencapaian belajar bidang studi (I) Produktivitas kelompok (I) 3 Investigasi kelompok (group investigation) Sosial Mengembangkan keterampilan untuk ikut serta dalam proses sosial 4 Simulasi (simulation) Sistem Perilaku Mengembangka n keterampilan dalam pengambilan keputusan Situasi bermasalah Eksplorasi Perumusan Tugas Belajar Kegiatan Belajar Analisis Kemajuan Orientasi Latihan Peran Proses simulasi Pemantapan Keterangan : (L) hasil pembelajaran yang merupakan dampak langsung pembelajaran (I) hasil pembelajaran yang merupakan dampak ikutan Proses dan keteraturan kelompok yang efektif (L) Penelitian yang berdisiplin (L) Mengormati perbedaan (I) Kehangatan dan keterikatan antar manusia (I) Komitmen terhadap penelitian sosial (I) Konsep dan keterampilan (L) Berpikir kritis dan membuat keputusan (I) Menghadapi konsekuensi (I) Kesadaran tentang efektivitas (I) Empati (I) Keadaan pembelajaran afektif saat ini Bila mengacu pada kebutuhan kualitas lulusan masa datang tampak bahwa upaya melakukan perubahan afektif pada proses pembelajaran di perguruan tinggi, sudah waktunya menuntut lebih banyak perhatian. Sayangnya, saat ini praktik pembelajaran di perguruan tinggi, lebih banyak upaya dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat kognitif atau motorik dibandingkan dengan tujuan yang bersifat afektif. Berbeda dengan tujuan kognitif yang berorientasi kepada kemampuan berpikir, tujuan afektif lebih berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap. Akibatnya, proses belajar-mengajar di perguruan tinggi kita masih merasa berat sebelah, karena selalu menekankan kegiatan-kegiatan belajar yang bersifat kognitif. Di mata kebanyakan mahasiswa, kuliah-kuliah terlalu membosankan, dan tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa dirasakan terlalu berat dan tidakl menyenangkan. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan yang ketat dan berat akan memberikan hasil belajar yang tinggi. Pendidikan afektif sebenarnya tidak anti pada pendidikan yang bersifat kognitif. Hanya saja, pendidikan afektif ingin menyeimbangkan antara pendidikan yang bersifat afektif dan pendidikan yang bersifat kognitif dan psikomotorik. Seperti telah dikemukakan pendidikan afektif ingin mengembangkan kepribadian peserta didik secara utuh. Potensi-potensi tersembunyi pembelajar, seperti potensi intelektual, potensi social, potensi artistic, potensi moral, potensi spiritual/religius ingin dikembangkan secaramaksimal melalui proses pemenuhan diri, realisasi diri dan aktualisai diri. Hasil pendidikan yang kurang memuaskan ini sebagian mungkin terjadi karena terbatasnya sarana-sarana serta dana yang kita miliki untuk dapat menyelenggarakan pendidikan yang memenuhi persyaratan, sebagian lagi mungkin telah terjadi karena kekeliruan cara pandang kita terhadap konsepsi maupun proses pendidikan. Dalam pelaksanaannya, tujuan pendidikan telah mengalami reduksi dari upaya pengembangan potensi kemanusiaan secara utuh menjadi sekedar penguasaan isi. Kemampuan yang bersifat kognitif lebih mendapatkan perhatian daripada kemampuan afektif. Begitu juga, pendidikan kita dewasa ini tampaknya lebih mengutamakan hasil daripada proses. Sebagai akibatnya, anak-anak kita lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada belajar (learning). Ranking di kelas, indeks prestasi kumulatif (IPK), ijazah atau gelar dianggap lebih penting daripada apa yang telah benar-benar dipelajari, karena apa yang barangkali telah diberikan oleh guru kepada murid-muridnya bukan merupakan suatu tantangan (challenge), melainkan keberhasilan yang diraih dengan mudah, easy succes (Clifford, 1990). Bagaimana menilai Soft Skills? Di dalam pembelajaran yang berbasis pada paradigma Student Centered Learning (SCL), konsep pembelajaran yang konstruktif mensyaratkan adanya keterpaduan antara penugasan, penilaian dan pembelajaran. Syarat utama pembelajaran SCL adalah sebagai berikut 1. Pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang belum jadi, sehingga dibutuhkan proses ”konstruktif” untuk mempelajarinya. 2. Proses belajar, tidak terjadi secara pasif-reseptif, namun dilakukan secara aktif mengkonstruksi dan mencari pengetahuan yang dipelajari. 3. Proses belajar tidak dilihat sebagai suatu proses yang hanya menjalankan rangkaian instruksi, namun lebih jauh merupakan proses untuk menyediakan berbagai strategi belajar konstruktif, serta partisipasi aktif antara dosen dan mahasiswa di dalam proses tersebut. Oleh karena ketiga syarat diatas, nampak bahwa di dalam pembelajaran yang berbasis SCL, proses belajar terjadi bersama dengan penugasan dan penilaian. Pada pembelajaran dengan paradigma seperti inilah, softskills dapat dikembangkan. Penilaian yang diacu di dalam pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills dilakukan dengan mengacu pada proses pengambilan keputusan pada hasil belajar dan penugasan terhadap suatu kriteria kualitas kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Langkah-langkah skema penilaian pembelajaran SCL untuk mengembangkan soft skills adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan kompetensi soft skills akhir yang akan dicapai melalui proses pembelajaran tersebut. 2. Menjabarkan kompetensi soft skills dalam definisi operasional yang dapat menggambarkan secara untuk kualitas kompetensi tersebut. 3. Menetapkan kriteria penilaian yang dapat merepresentasikan kompetensi yang dimaksud pada no.2. Misalnya, kompetensi menjelaskan secara menarik materi/teori yang dipelajari, maka kriteria penilaiannya adalah: (1) ketepatan menjelaskan dan (2) daya tarik penjelasan. Perlu diingat bahwa pada setiap kompetensi dapat terdiri dari 2 atau lebih kriteria penilaian. Hal ini sangat tergantung dari kecermatan doses dalam menjabarkan definisi kompetensi yang dimaksud. 4. Menetapkan jumlah level of criteria (tingkat kriteria) dalam penilaian, sebagai contoh, jika di sebuah PT tingkatan kriteria nilai ada A, B, C, D dan E, maka ditetapkan 5 tingkat kriteria. 5. Pada setiap tingkat kriteria diidentifikasi definisi kinerja/pencapaian kompetensi yang dapat mewakili tingkatan kriteria tersebut. 6. Akhirnya, penilaian dilakukan dengan membandingkan antara kualitas pencapaian kompetensi siswa dengan kualitas kompetensi yang telah ditetapkan. Model penilaian kompetensi sebagaimana di atas, tidak mensyaratkan alat ukur, sehingga dosen tidak mengalami kesulitan di dalam pengembangan penilaian soft skills. Model di atas hanya mensyaratkan definisi operasional dan kualitas kompetensi yang dimaksudkan. Selain itu, model penilaian ini, juga akan meningkatkan objektivitas dosen dalam memberikan penilaian. Mengapa perubahan afektif, tampaknya kurang terperhatikan dalam praktik pembelajaran di perguruan tinggi? Ada beberapa kemungkinan jawaban. 1. Dosen mendapat kesulitan dalam merancang pembelajaran afektif, khususnya dalam merumuskan tujuan pembelajarannya 2. Adanya kesulitan dalam memilih dan menggunakan model pembelajaran (perkuliahan) yang cocok guna dapat mengubah sesuatu dalam diri mahasiswa yang berhubungan dengan perasaannya, emosinya, sistem nilai dan sikap diri mahasiswanya. 3. Tidak mudah untuk menilai ketercapaian afektif. Menilai pencapaian tujuan afektif yang melibatkan pemilikan dan pengamalan sistem nilai (value system) tidaklah mudah. Pada tingkat-tingkat afektif yang tinggi (valuing, organization, dan characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut terlihat overlaping dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Hal itulah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak. Di samping itu pencapaian tujuan afektif memerlukan waktu lama. Memang, untuk tingkat afektif yang sederhana seperti mengenal atau memberi respon, pencapai tujuan mungkin tidak memerlukan waktu yang lama dan dapat diketahui apakah tercapai atau tidak. Namun, keadaan tersebut menjadi sulit pada tingkat afektif yang lebih tinggi. PROSEDUR/STRATEGI PEMBELAJARAN 1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan soft skills (90 menit) Fasilitator mengajak peserta mengidentifikasi soft skills yang penting pada lulusannya dengan membagi peserta menjadi 4 kelompok. (10 menit) Peserta mengisi lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dalam kelompok kecil (20 menit) Peserta kemudian mendefinisikan masing-masing soft skills secara operasional dengan mengisi lembar kerja 3.2. identifikasi soft skills (30 menit) Peserta mempresentasikan hasil kerja pada kelas besar dan saling memberikan masukan (30 menit) 2. Merancang soft skills (180 menit) Fasilitator menyampaikan prinsip pembelajaran dan penilaian soft skills melalui pembelajaran SCL dan Grading Scheme dengan menggunakan slide …. (pak endro) (50 menit) Fasilitator membagikan lembar kerja 3.3. Rancangan pembelajaran dan menjelaskan pada peserta cara mengerjakan dan mengisi tabel yang ada. (10 menit) Peserta diminta untuk melanjutkan membuat Format Rancangan Tugas, pada lembar kerja 3.4 yang dilengkapi dengan skema penilaian. (60 menit) Peserta mempresentasikan hasil kerja di kelas dan diberi feedback dari peserta lain maupun dari fasilitator (60 menit) PERTANYAAN REFLEKTIF 1. soft skills apa yang dibutuhkan lulusan untuk sukses? 2. bagaimana mengembangkan pembelajaran yang juga bermuatan soft skills? 3. bagaimana menengarai bahwa mahasiswa sudah menguasai soft skills? MATERIAL lembar kerja 3.1. Identifikasi soft skills dan Definisi soft skills lembar kerja 3.2. Rancangan Pembelajaran soft skills lembar kerja 3.3. Format Rancangan Tugas WAKTU 240 menit (4 jam) Lembar Kerja 3.1 IDENTIFIKASI DAN DEFINISI SOFT SKILLS Tuliskan daftar atribut soft skills yang ingin dikembangkan dan buatlah definisinya. Dengan membuat definisi, maka akan mudah bagi kita untuk merancang pembelajaran guna mencapai soft skills tersebut. Atribut Soft skills Definisi Operasional Lembar Kerja 3.2 rancangan pembelajaran soft skills NAMA MATA KULIAH: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… sks/semester : ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. Kompetensi MK : ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. Pertemuan Kemampuan akhir yang diharapkan Bahan/materi kajian Strategi/metode pembelajaran Kriteria/indikator penilaian Bobot Lembar Kerja 3.1 format rancangan tugas Mata Kuliah : ………………………………………………………………………………………………………………………………………… Semester/sks: ……………………………………………………………………………………………………………………………………….. Pertemuan ke: ………………………………………………………………………………………………………………………………………. 1. Tujuan Tugas : ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… 2. Uraian Tugas a. Obyek Garapan: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. b. Batasan yang harus dilakukan: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. c. Metode/Cara mengerjakan: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. d. Deskripsi hasil/luaran: ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. 3. Kriteria Penilaian ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….. GRADING SCHEME KRITERIA PENILAIAN: ……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………… GRADE SKOR DEFINISI OPERASIONAL