Haidar Bagir Melahirkan manusia-manusia yang kaya? Berkuasa? Terkenal? Pandai? Memiliki Karakter? Atau : Melahirkan anak-anak yang sukses? Membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memberikan kemungkinan sebesar-besarnya bagi mereka untuk meraih kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat Schubert (1986) : Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. “Barangsiapa beriman dan berbuat baik, maka Tuhan akan memberinya kehidupan yang baik (di dunia) dan pahala yang lebih baik lagi (di akhirat) Menurut para ulama, “kehidupan yang baik” berarti kebahagiaan hidup Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional : Manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; Berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; Sehat, mandiri, dan percaya diri; dan Toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sikap Spiritual beriman dan bertakwa kepada TuhanYang Maha Esa berakhlak mulia, sehat, mandiri, dan demokratis Sikap Sosial serta bertanggung jawab Pengetahuan berilmu Keterampilan cakap dan kreatif 8 (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (1)) Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Kemampuan personal-eksistensial – yang sedikit banyak bersifat spiritual – dan kemampuan sosial adalah dasar harus dilihat sebagai puncak.Yakni, bukan saja ia krusial dalam menentukan kebahagiaan hidup seseorang, bahkan juga dalam penguasaan kemampuan-kemampuan teknis yang menentukan kesuksesan. Ingat Abraham Maslow. Kegagalan pendidikan kita dalam mengembangkan kecerdasan sosial-emosional telah, sebelum yang lain-lain, menyebabkan anak-anak kita tak memiliki kemampuan untuk mengembangkan emosi positif dan empati, yang sangat menentukan kesejahteraan psikologis dan sosial mereka: mudah patah dan menyerah, mudah “galau”, tak punya solidaritas sosial. Padahal pertemanan merupakan sumber bukan hanya kesusksesan, melainkan juga kebahagiaan. Sementara itu, kegagalan mengembangkan kecerdasan ruhaniah membuat anak kita tidak bahagia akibat keterasingannya dengan sumber-keberadaan sekaligus Kawan-Agung (the Great Socius)-nya. Yang tak kurang penting, harus kita sadari bahwa kesuksesan materilistik sekalipun ditentukan juga oleh kecerdasan emosional dan spiritual: oleh kekuatan cita-cita (visi), leadership, karakter, kekuatan imajinasi, dan unsur-unsur sejenisnya. Daniel Goleman, dalam bukunya yang fenomenal, Emotional Intelligence, menyatakan: “… kecerdasan emosional kita menentukan potensi kita untuk belajar keterampilan praktis .... Kompetensi emosional kita menunjukkan berapa banyak potensi kita yang telah diaplikasikan menjadi kemampuan yang bisa dipakai saat bekerja.” Danah Zohar dan Ian Campbell menyimpulkan bahwa kecerdasan ruhaniah ini memberi kemampuan untuk dapat bekerja secara adaptif-kompleks (berdasar prinsip chaos, yang tidak sekadar logis-linear), yang lebih sesuai dengan lingkungan kegiatan yang luar biasa cepat berubah seperti yang terjadi sekarang ini. Dalam bisnis, yang satu disebut sebagai social capital, yang lain spiritual capital. Kemampuan imajinatif—yang terkait erat dengan kemampuan kreatif— mesti benar-benar digalakkan, termasuk pemberian ruang sebesarbesarnya bagi upaya belajar berkhayal (berimajinasi), mengeksplor seluas mungkin segala sesuatu dan mencoba-coba sebanyakbanyaknya, serta berfikir sebebas-bebasnya, termasuk untuk berbuat kesalahan (trial and error) sebanyak-banyaknya. Di sini menjadi penting pengembangan proses belajarmengajar berbasis proyek-proyek penelitian (project-based learning). Konten kurikulum masih terlalu padat yang ditunjukkan dengan banyaknya matapelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak. Kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru. Standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala. Dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir. 15 Identifikasi Kesenjangan Kurikulum Kondisi Saat Ini Konsep Ideal A. Kompetensi Lulusan A. Kompetensi Lulusan 1 Sikap belum mencerminkan karakter mulia 2 Keterampilan belum sesuai kebutuhan 1 Berkarakter mulia 2 Keterampilan yang relevan 3 Pengetahuan-pengetahuan terkait 3 Pengetahuan-pengetahuan lepas B. Materi Pembelajaran B. Materi Pembelajaran 1 Belum relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan 1 Relevan dengan kompetensi yang dibutuhkan 2 Beban belajar terlalu berat 2 Materi esensial 3 Terlalu luas, kurang mendalam 3 Sesuai dengan tingkat perkembangan anak C. Proses Pembelajaran C. Proses Pembelajaran 1 Berpusat pada guru (teacher centered learning) 1 Berpusat pada peserta didik (student centered active learning) 2 Sifat pembelajaran yang berorientasi pada buku teks 2 Sifat pembelajaran yang kontekstual 3 Buku teks hanya memuat materi bahasan 3 Buku teks memuat materi dan proses pembelajaran, sistem penilaian serta kompetensi yang diharapkan 16 Identifikasi Kesenjangan Kurikulum Kondisi Saat Ini D. Penilaian Konsep Ideal D. Penilaian 1 Menekankan aspek kognitif 1 Menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik secara proporsional 2 Test menjadi cara penilaian yang dominan E. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 2 Penilaian test dan portofolio saling 17 melengkapi E. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1 Memenuhi kompetensi profesi saja 1 Memenuhi kompetensi profesi, pedagogi, sosial, dan personal 2 Fokus pada ukuran kinerja PTK 2 Motivasi mengajar F. Pengelolaan Kurikulum 17 F. Pengelolaan Kurikulum 1 Satuan pendidikan mempunyai kebebasan dalam pengelolaan kurikulum 1 Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki kendali kualitas dalam pelaksanaan kurikulum di tingkat satuan pendidikan 2 Masih terdapat kecenderungan satuan pendidikan menyusun kurikulum tanpa mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah 2 Satuan pendidikan mampu menyusun kurikulum dengan mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah 3 Pemerintah hanya menyiapkan sampai standar isi mata pelajaran 3 Pemerintah menyiapkan semua komponen kurikulum sampai buku teks 17 dan pedoman Elemen Deskripsi SD SMP SMA SMK Kompetensi Lulusan • Adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan Kedudukan mata pelajaran (ISI) • Kompetensi yang semula diturunkan dari matapelajaran berubah menjadi matapelajaran dikembangkan dari kompetensi. Pendekatan (ISI) Kompetensi dikembangkan melalui: • Tematik • Mata Integratif dalam pelajaran semua mata pelajaran • Mata pelajaran • Vokasinal 18 Dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa Dari satu arah menuju interaktif. Dari isolasi menuju lingkungan jejaring Dari pasif menuju aktif-menyelidiki Dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata Dari belajar yang bersifat individual menuju pembelajaran berbasis tim. Dari pengetahuan yang umum dan luas tapi tidak dapat digunakan dalam masyarakat, menuju pengetahuan yang mendalam dan dapat digunakan dalam kehidupan di masyarakat. Dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru Dari alat tunggal menuju alat multimedia Dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif Dari produksi massal menuju kebutuhan pelanggan Dari usaha sadar tunggal menuju jamak Dari satu ilmu pengetahuan bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak Dari kontrol terpusat pada guru menuju pembelajaran yang memberikan otonomi dan kepercayaan kepada siswa Dari belajar hafalan faktual menuju kemampuan berpikir kritis-kreatif Dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan; Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skills yang meningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara; Menumbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan; Penilaian prestasi keteladanan siswa yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara. Perlu diterapkan di sekujur kurikulum, terkait standar isi, proses, dan penilaian Sikap Pengetahuan Keterampilan