PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN HUKUM DALAM

advertisement
PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN HUKUM DALAM
PROFESI KEDOKTERAN*
Taufik Suryadi
Tim Bioetika dan Humaniora FK Unsyiah Banda Aceh
e-mail: [email protected]
*Disampaikan pada Pertemuan Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika
dan Medikolegal di Medan, 14-17 Desember 2009
Abstrak:
Prinsip dasar etika dan hukum dalam profesi kedokteran adalah adanya hubungan
kontraktual-profesional antara dokter dengan pasien. Kewajiban profesional diuraikan di
dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur
operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan ramburambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun
bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.
Prinsip-prinsip etika dan hukum terutama dalam hubungan dokter-pasien harus selalu
dijunjung tinggi oleh setiap dokter. karena akan menyelamatkan dokter dari gugatan dan
tuntutan juga sekaligus merefleksikan pribadi dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia
sepanjang masa.
(Kata kunci: prinsip etik, prinsip hukum, profesi kedokteran)
Pendahuluan
Tujuan utama pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk mengatasi
penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Ada orang sakit (pasien, penderita)
dan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun ada orang yang dianggap mampu
menyembuhkan penyakit (dukun, healer, dokter) dan obat diharapkan dapat menolong yang
sakit dengan cara apapun. Pada dasarnya, apa yang sekarang dinamakan hubungan dokterpasien dapat ditelusuri balik asal usulnya pada hubungan pengobatan seperti dalam
masyarakat sederhana itu, tentu ditambah dengan kerumitan-kerumitan yang dibawa oleh
perkembangan sosial, ekonomi, hubungan antar manusia, ilmu kedokteran, teknologi, etika,
hukum, bisnis dan lain-lain di zaman modern ini. Hal yang paling mendalam dari hubungan
dokter-pasien adalah rasa saling percaya. Pasien sebagai pihak yang memerlukan pertolongan
percaya bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Sementara itu, dokter juga percaya
bahwa pasien telah memberikan keterangan yang benar mengenai penyakitnya dan ia akan
mematuhi semua petunjuk dokter.
Pelayanan kedokteran yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat,
bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran paripurna bermutu
(preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) bukan saja ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan, melainkan juga oleh perilaku (professional behaviour), etik (bioethics) dan
moral serta hukum..
Membahas mengenai pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek hukumnya maka
setidak-tidaknya ada beberapa issue yang perlu diangkat ke permukaan untuk difahami oleh
setiap tenaga kesehatan atau rumah sakit agar dalam melayani pasien tidak menjadi korban
ketidaktahuan. Dalam hukum kesehatan/kedokteran, pelayanan kesehatan memiliki unsur
Duty (kewajiban) yaitu kewajiban tenaga kesehatan untuk mempergunakan segala ilmu dan
kepandaiannya untuk penyembuhan. Atau setidak-tidaknya meringankan beban pasiennya (to
cure and to care) berdasarkan standar profesi. Tenaga kesehatan dengan segala daya upaya
mencoba membantu kebutuhan pasien.
Pelayanan kesehatan juga sangat sarat dengan kemunculan dilema etik, atau sengketa
hukum. Nuansa hukum kesehatan/kedokteran juga sangat kental dalam pelayanan kesehatan
dengan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan.oleh orang-orang yang terlibat
didalamnya yang kalau tidak berhati-hati dalam bertindak akan sangat rawan terhadap
tuntutan dan gugatan. Oleh karena itu sangat diperlukan pemahaman mengenai prnisipprinsip etika dan hukum dalam profesi kedokteran agar tuntutan dan gugatan tersebut dapat
dihindari.
Pelayanan Kedokteran
Pelayanan kesehatan/kedokteran adalah suatu system yang kompleks dengan sifat
hubungan antar komponen yang ketat (complex and tighly coupled), khususnya di ruang
gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya
ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks yaitu
komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak
terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah
terjadi kecelakaan (prone to accident). Oleh karena itu praktik kesehatan/kedokteran haruslah
dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Pertumbuhan masyarakat sekunder dengan pola hidup menuju ke arah kehidupan
modern yang lebih mengutamakan kepentingannya dan mengikuti arus konsumerisme ikut
berperan dalam hal ini. Pada masyarakat sekunder segala sesuatu akan dilihat dari sisi
”untung rugi” bagi dirinya dengan perhatiannya yang semakin sedikit untuk kepentingan
pihak lain. Berbeda dengan masyarakat primer yang lebih mengutamakan kekariban dan
segala sesuatu harus dinikmati bersama, sehingga kadang-kadang tidak jarang
kepentingannya sendiri terabaikan oleh karena urusan pihak lain.
Dengan berkembangnya bioetika kedokteran maka mau tidak mau konsep dasar
”Hubungan dokter-pasien (HDP)” juga harus ikut berubah. Selama berabad-abad hubungan
dokter-pasien tidak setara, jarak sosial dan pendidikannya sangat jauh. Dokter sangat
paternalistik dan dominan, layaknya seorang ayah yang ”serba tahu” (father knows best), atau
bahkan ”sok tahu” terhadap anaknya yang dalam posisi tergantung, yang ”tak tahu apa-apa”
atau dianggap ”tak perlu tahu apa-apa” mengenai dirinya.
Demikian pula posisi pasien diwaktu lampau, dimana pasien hampir tidak mempunyai
hak apapun, tidak jarang bertanyapun ia tidak boleh. Ia tinggal menerima saja apa yang
dikatakan oleh dokter. Bahkan sering kali pasien ”dimarahi” jika dinilai ”sok mau tahu”.
Paternalisme ini dalam arti tradisional adalah proteksi oleh dokter yang serba ”perkasa”
terhadap pasien yang serba ”lemah”. Akar tradisi ini adalah ajaran Hipokrates yang
menyatakan bahwa dokter melakukan tindakan yang dianggap baik untuk pasien dan tidak
akan merugikannya. Lalu secara moral dokter bertanggung jawab terhadap tindakannya itu.
Begitu agungnya persepsi orang terhadap ajaran Hipokrates dan nilai-nilai etis dalam sumpah
dokter yang juga berasal darinya, sehingga tidak ada yang berani atau dianggap berhak dan
mampu ”mencampuri” dan mengatur pekerjaan dokter.
Asas-asas etika tradisional yang paling pokok dan masih berlaku sampai sekarang
adalah asas beneficence, dokter akan berbuat kebaikan atau kebajikan terhadap pasien, dan
asas non maleficence yaitu dokter tidak akan menimbulkan mudharat kepada pasien. Asasasas yang lain adalah ”turunan” atau terkait dengan salah satu asas atau kaidah dasar moral
diatas. Namun demikian, ”dokter juga manusia”, yang tidak luput dari segala kelemahan dan
godaan. Dari pengalaman diketahui bahwa banyak juga kasus-kasus pelanggaran moral dan
etika dalam hubungan dokter-pasien tersebut.
Etik Kedokteran
Etik kedokteran merupakan ”terjemahan” dari asas-asas etika menjadi ketentuanketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang harus
dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi atau perhimpunan keprofesian
sebagai pedoman perilaku bagi anggota-anggota profesi itu, umumnya dinamakan kode etik
(Inggris: code of ethics). Istilah ”kode” berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti
buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.
Dari pengertian seperti inilah Kode Etik Kedokteran dapat diartikan sebagai
seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat amar (apa yang
dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter
dalam menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode Etik Kedokteran adalah buku
yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter.
Sebenarnya yang disebut sebagai etik (ethos) adalah suatu adat kebiasaan, namun
karena telah menjadi istilah umum dimana etik diartikan sebagai adat kebiasaan yang ”baik,
selayaknya, seharusnya”, maka sampai sekarang pengertian inilah yang dipakai.
Perkembangan Dalam pada itu, Profesor Kaiser Ali (Kanada) dalam presentasinya pada
Pertemuan Nasional Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) IV di
Surabaya 2006 menyatakan bahwa, bioetika kedokteran (medical bioethics) adalah aspek
moral dari ilmu kedokteran (Practice of Moral medicine). Saat ini sudah sangat lazim pula
kita dengar istilah ”Bioetika dan Humaniora kesehatan” atau Health bioethics and
humanities. Humaniora medik (medical humanities) mengandung pengertian aspek
kemanusiaan dari ilmu kedokteran (Practice of Humane medicine). Karena kita ketahui
bahwa antara ilmu kedokteran, moral dan kemanusiaan tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Perkembangan Etika
Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah Bioetika
sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu diulas, dibahas dan dikembangkan
sampai kepada pengertian yang kita anut sekarang ini. Semuanya ini dilakukan agar profesi
kedokteran selalu siap untuk menjawab tantangan jaman. Mengapa kita sekarang harus
membahasnya lagi?. Karena perkembangan ini akan terus berlanjut, sesuai dengan
berkembangnya bio-teknologi, khususnya teknologi biomedis, dan perkembangan
masyarakat. Karena itu kita harus selalu memberi makna dan pengertian yang “up-to-date”
mengenai Bioetika ini. Untuk itu kita perlu mengkaji ulang paradigma-paradigma yang berkaitan dengan Bioetika dan mempelajari isu-isu yang berkembang, baik di masya-rakat
umum, maupun di kalangan kedokteran sendiri
Dasar-dasar bioetika adalah etika tradisional, dimana asas etika tradisional tersebut
berupa asas beneficence (memberikan manfaat) dan non-maleficence (mencegah mudharat).
Kalau kita perhatikan kedua asas ini sebenarnya bersumber dari perintah Allah Swt untuk
”Amar ma’ruf Nahi munkar”. Etika terdiri dari dua jenis, yaitu etika umum dan etika khusus.
Etika umum membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak dalam mengambil
keputusan etis. Penilaiannya adalah prinsip moral, yaitu baik dan buruk. Sementara etika
khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip dasar dalam bidang khusus atau disebut etika
terapan, misalnya etika kedokteran, etika kefarmasian, etika keperawatan dan lain-lain.
Seseorang dikatakan bahagia bila ia telah memiliki seluruh tatanan moral. Tatanan
moral tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: yang pertama Logika, dimana dasarnya
pikiran, tujuannya kebenaran, nilainya benar-salah, hasilnya ilmu. Manusia terdiri dari jiwa
dan raga. Secara filsafati jiwa terdiri dari unsur akal (intellect), rasa (emotion), dan kehendak
(will). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Akal akan berusaha
untuk mendapatkan kebenaran yang paling dalam (the truth), dan dari sini akal manusia terus
berkembang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang kedua Etika, dimana dasarnya kehendak, tujuannya kebaikan, nilainya baikburuk, hasilnya keserasian. Unsur ‘kehendak’ selalu mencapai kebaikan (goodness) didalam
tata kehidupan. Yang ketiga Etiket (Etiquette), dimana dasarnya kehormatan, nilainya sopantidak sopan, hasilnya tata krama. Yang keempat Estetika, dimana dasarnya perasaan (feeling),
tujuannya keindahan, hasil ciptaannya seni (art). Unsur ‘rasa’ manusia selalu ingin mencari
keindahan yang paling dalam (the beauty), dari sini berkembang rasa estetika manusia.
Dalam kenyataannya unsur akal, rasa dan kehendak tersebut saling mendukung dan saling
mempengaruhi dalam setiap tindakan manusia.
Meskipun sebagai objek material, etik mempelajari manusia, tetapi objek formal yang
dipelajari adalah tindakan atau perilaku manusia. Sehingga etik tidak dapat dipisahkan
dengan beberapa istilah lain yang mirip-mirip dengan etik yaitu adab, akhlak, susila, etiket
dan moral.
Tabel 1. Perbandingan antara etika kedokteran tradisional dengan bioetika
kedokteran:
Etika kedokteran tradisional
Bioetika kedokteran
o
Hanya dikaji oleh disiplin ilmu o Dikaji oleh interdisipliner
kedokteran
o Pendatang baru sekitar tahun 1960-an.
o
Sudah membudaya sejak 2000
Di Indonesia malah berkembang tahun
tahun yang lalu.
2000-an.
o
Cakupannya
hanya
lingkup o Cakupannya lebih luas (Skala makro)
kedokteran (Skala mikro)
o Berurusan dengan profesi lain yang ada
o
Hanya berurusan dengan masalah
kaitannya dengan kelahiran, kehidupan,
hubungan dokter-pasien, dokterkesehatan, penyakit, dan kematian
sejawat, dokter-masyarakat. Aspek
manusia.
perilaku dan moral dokter.
o Cakupannya menjangkau jauh ke masa
o
Cakupannya statis, karena sesuai
depan.
dengan asas etik tradisional.
o Perkembangan bioetika kedokteran
o
Terbatas pada kepedulian dokter,
merupakan
kepedulian
kalangan
ahli falsafah, peminat etika
kedokteran dan disiplin ilmu lain.
kedokteran.
Created by Taufik Suryadi@2009
Prinsip-prinsip Etika
Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam
kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang
berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang
bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah
turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang
memuat nilai-nilai dasar etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran.
Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:
1.
Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien (the rights to self determination),
2.
Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien;
3.
Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”,
4.
Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumberdaya (distributive justice).
Prinsip Beneficence
Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan, kemurahan
hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam
makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip
moral beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan
atau kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk
memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas sebagai
tujuan kedokteran yang tepat.
Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-satunya
prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga
harus dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai
hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang
sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan umum yang
diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar
kemanfaatan untuk kepentingan umum sering prosedur penelitian yang membahayakan
individu subjek penelitian diperbolehkan. Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang
semestinya juga dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan
individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan.
Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting
dalam moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam
praktek (kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan
prinsip beneficence ini adalah:
1. Melindungi dan menjaga hak orang lain.
2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain.
3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain.
4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan).
5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya.
Prinsip Non-maleficence
Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang membahayakan atau
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no
harm”. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan
menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat
saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan
mereka”.
Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang kedokteran terutama
kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius.
Prinsip ini memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk
mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat dilakukan pada pasien
yang kompeten maupun tidak kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-maleficence
memberikan peluang kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau
menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam
situasi atau kondisi tertentu.
Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu kesatuan dengan
prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan pasien). Namun, banyak juga
yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak
membahayakan atau mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu
pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan pasien.
Prinsip Autonomy
Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan
”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan
dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau hukum sendiri.
Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi individu yang maknanya
bermacam-macam seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan
berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi
atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain
maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti karena
pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang
dikendalikan oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan
hasrat dan rencananya.
Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian,
secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek
kedokteran. Cara-cara tersebut antara lain:
1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth)
2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others)
3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information)
4.
Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain consent
for interventions with patients)
5.
Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others
make important decision)
Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi pasien. Para
pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak,
sehingga begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi
pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu
tugas atau perintah”.
Prinsip Justice
Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau kesamaan hak kepada
setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak
dan tepat sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan
mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil
adalah tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang
memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip justice lahir dari sebuah
kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa (pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang
memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan dalam
pengambilan keputusan tersebut.
Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara lain:
1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share)
2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need)
3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort)
4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution)
5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit)
6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-market exchange)
Prinsip Bioetik Islam
Bioetik islam didasarkan pada prinsip persamaan (selain takwa), persaudaraan
manusia (dalam tauhid), kebebasan untuk memilih tanpa ada paksaan (prinsip selektifitas dan
kreativitas) sehingga adanya pilihan membatasi kebebasan, tujuan akhir dan cara harus
konsisten untuk kebenaran, kebaikan hanya dari Allah dan keadilan antara hak dengan
kewajiban yang menghargai kontribusi dan usaha atau pilihan individu.
Bioetik islam merupakan perpaduan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan
tanggung jawab, penalaran (logika) dan hati nurani, wahyu dan tradisi, ibadah dan muamalah,
tujuan dan cara, prinsip dan nilai, untuk menuju pada keseimbangan potensi manusia baik
potensi duniawi dan ukhrowi, potensi tumbuhan (jasmani), potensi hewan (jasmani dan
insting), potensi akal (mental), potensi malaikat (spiritual).
Bioetik islam memiliki prinsip antara lain ; 1) prinsip Tabligh, 2) prinsip Amanah, 3)
prinsip Ukhuwah, 4) prinsip Fathonah, 5) prinsip Ikhlas, 6) prinsip Kaffah, 7) prinsip
Shiddiq, 8) prinsip Uswatun hasanah, 9) prinsip Rahmatan lil’alamin, 10) prinsip Yaqin, 11)
prinsip Adil, 12) prinsip Daulah dan 13) prinsip Istiqomah, yang bermakna:
Prinsip Tabligh
Tabligh berarti menyampaikan atau Informative, dokter harus menyampaikan apa
yang menjadi hak pasien, sampaikan informasi apa saja yang dibutuhkan pasien, contohnya
informed consent. Prinsip ini menekankan akan pentingnya untuk memberikan informasi dan
berkomunikasi secara efektif, apa adanya dan tanpa ada yang disembunyikan demi
kepentingan pasien. Hadis mengatakan Qulil Haqqu walaukana muuran. Termasuk dalam hal
ini informasi mengenai agama, kesehatan, kedokteran dan sosial. Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu menyampaikan pesan kebenaran dan keadilan. Diam ketika ada
pelanggaran etik bukanlah sikap yang tepat. Diam ketika ada pelanggaran etik sama halnya
dengan pelaku pelanggaran etik secara pasif.
Prinsip Amanah
Amanah berarti menjaga kepercayaan atau Veracity, Dokter harus dapat menjaga
amanah dan kepercayaan, dan selalu menjaga rahasia pasien bahkan sampai pasien tersebut
meninggal dunia. Amanah berarti dapat dipercaya. Prinsip ini menekankan bahwa dokter
dalam bertindak berdasarkan perjanjian kontrak dengan pasien. Pasien menitipkan
kepercayaannya bahwa dokter akan berupaya maksimal dan tidak akan merugikan dirinya.
Dengan prinsip ini diharapkan dokter mampu memenuhi harapan percaya berdasarkan
amanah tersebut. Dokter memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai standar minimal
pelayanan kedoketeran dan itu sebagai amanah profesi. Kesadaran akan prinsip ini akan
menuntut dokter untuk menepati janji dan menjaga kerahasiaan.
Prinsip Ukhuwah
Ukhuwah berarti persaudaraan atau Cooperative, Communicative, dokter harus
mampu bekerjasama dengan siapa saja, harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesama,
ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniah. Dokter memandang bahwa pasien adalah bagian dari
dirinya. Sebagai seorang manusia, pasien memiliki potensi dan sifat dasar yang sama dengan
dokter sehingga menginginkan perlakuan yang sama sebagaimana dokter ingin diperlakukan.
Apa yang dirasakan pasien juga dirasakan dokter mengingat sebagai saudara sesama manusia
seperti satu tubuh.
Prinsip Fathonah
Fathonah berarti cerdas = Life long study/ learning, dokter harus terus belajar
sepanjang hayatnya, menimba ilmu dan mengasah kemampuannya secara berkesinambungan
(Continious Professional Development. Dokter bertindak karena dia mampu untuk
melakukannya sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Dokter mampu
mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan pasien.
Prinsip Ikhlas
Dalam melakukan tindakan medis selalu didasari niat karena pengabdian atau
altruisme semata-mata karena Allah pada saat sebelum mulai, sewaktu bekerja dan sesudah
bekerja. Ikhlas bukan berarti harus gratis tetapi sikap tidak mengharap pujian, kemashuran,
kebendaan, tidak marah ketika dicerca, tidak bangga diri ketika dipuji dan ada uang atau tidak
uang siap berbakti.
Prinsip Kaffah
Dokter harus berbuat yang terbaik untuk pasien, mengerahkan kemampuan dan daya
upaya untuk keselamatan pasien
Prinsip Sidq/kejujuran
Sidq atau jujur meliputi jujur perkataan, jujur dalm janji, jujur perbuatan, jujur dalam
pergaualan dan jujur dalam hati. Jujur perkataan artinya perkataannya sesuai dengan
kenyataan. Jujur dalam janji artinya berusaha nenepati janji dan tidak ingkar janji. Jujur
dalam perbuatan artinya tindakan yang dilakukan sesuai dengan hatinya sehingga luar dan
dalam sesusai. Jujur dalam pergaulan artinya melakukan interaksi dengan pasien tanpa ada
unsur penipuan. Jujur dalam hati artinya niat dan motivasi dalam hati sungguh-sungguh yang
tidak akan mudah goyah dengan berbagai halangan, rintangan dan hambatan dari manapun.
Kejujuran dekat kebenaran dan kebenaran mengantarkan kepada kebahagiaan sejati. Shiddiq
= Truth telling, Truth doing, dokter harus menyadari bahwa yang dilakukannya adalah benar,
yang diketahui adalah benar dan yang disampaikannya adalah tiada lain selain kebenaran.
Prinsip Uswatun hasanah
Prinsip ini adalah gabungan dari prinsip beneficence dan non-maleficence seperti
pada bioetik baratn. Hanya saja dalam prinsip ini dibingkai dengan prinsip tauhid. Prinsip
tauhid berarti meyakini dan menyandarkan segala sesuatu berasal dari Allah dan atas ijin dari
Allah sebagai causa prima. Uswatun hasanah = Beneficence, dokter harus menyadari bahwa
apa yang dilakukannya adalah semata-mata untuk kebaikan, kepuasan, kesembuhan dan
kemanfaatan bagi pasien.
Prinsip Rahmatalill’alamin
Prinsip ini menekankan akan pentingnya nilai pragmatisme dalam setiap tindakan
dokter. Suatu tindakan akan sesuai dengan prinsip ini jika mampu memberikan manfaat
kepada pasien tanpa pandang bulu. Dari asal kata rahmat yang berarti kebaikan atau manfaat
dari Allah yang maha pemurah untuk seluruh makhluknya. Dengan prinsip in dokter akan
selalu memprioritaskan kebaikan demi untuk kepentingan pasiennya. Dokter harus senantiasa
berniat teguh dalam hatinya akan memberikan kasih sayang, menyelematkan jiwa pasien,
menerapkan prinsip aegroti salus lex suprema (keselamatan pasien adalah yang utama).
Prinsip Yakin
Prinsip ini merupakan konsekwensi logis prinsip kebebasan. Setelah pilihan dibuat
maka pasien harus terikat dan sudah dibatasi dengan pilihannya tersebut yang dibuat atas
kesadaran dan hak menentukan nasib sendiri. Yaqin = Accountable, dokter harus yakin
tentang apa yang dilakukannya karena semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan
ALLAH SWT, dan juga sesama manusia .
Prinsip Adil
Adil = Juctice, dokter harus selalu berlaku adil terhadap siapa saja, tidak diskriminatif
, tidak membuat stigmatisasi dan klasifikasi pasien. Prinsip ini menekankan pentingnya
berbagi dalam masalah kebenaran, maslahah, dan kebaikan secara proposional, tidak
memihak salah satu pihak, memenuhi prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan
memenuhi prinsip derajat kebutuhan. Dalam segala perbuatan atau tindakan dokter tidak akan
melakukan diskriminasi. Pelayanan yang diberikan kepada pasien karena panggilan
kemanusiaan sehingga perlakuan dokter akan sama karena kemanusiaannya. Perlakuan yang
berbeda dibenarkan jika didasarkan atas kegawatadaruratan dan prestasi.
Prinsip Daulat
Daulat = Autonomy, dokter harus senantiasa menghormati hak-hak pasien,
menghormati hak aassi manusia dan harkat martabatnya sebagai makhluk
biopsikososiokultural yang utuh.
Berangkat dari kisah umar yang mengingatkan amar bin ash ketika mau menggusur
tanah yahudi untuk memperlebar masjid. Umar menggoreskan pedangnya ke tulang dan
menyuruh yahudi yang minta keadilan untuk membawa tulang tersebut ke Amr bn Ash
sehingga amr bin ash membatalkan untuk memperluas masjid. Prinsip ini menekankan akan
pentingnya pasien diberikan pilihan terbaik dan diberikan kebebasan untuk memilih tanpa
tekanan apapun atau tanpa bujuk rayu apapun.
Prinsip Istiqomah
Istiqomah = Excellence, dokter harus selalu melakukan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh dan berniat terus menerus untuk memperbaiki diri menuju kesempurnaan.
Table 2. perbandingan antara prinsip Islam dengan Prinsip bioetik
Prinsip Islam (Ingin Selamat Lakukan
Ajaran Muhammad SAW)
Sifat Rasulullah SAW
1. Shiddiq
2. Amanah
3. Tabligh
4. Fathonah
Amalan Rasulullah SAW
1. Ikhlas
2. Kaffah
3. Istiqomah
4. Yaqin
Ajaran Rasulullah SAW
1. Uswatun hasanah
2. Rahmatan lil’alamin
3. Adil
4. Ukhuwah
5. Daulat
Prinsip Bioetik (Biomedical ethics)
Principles of biomedical ethics
1. Beneficence
2. Non-maleficence
3. Justice
4. Autonomy(1-4 PBE)
5. Truth telling
6. Veracity
7. Honesty
8. Human right
9. Virtue ethics
10.fidelity
Professionalism
1. Altruism
2. Accountable
3. Excellence
4. Life long learning
5. Responsible of duty
6. Honor and Integrity
7. Respect for others
Table 3. Kesamaan antar prinsip Islam dengan Bioetika
T
A
U
F
I
K
Prinsip Islam
Tabligh
Amanah
Ukhuwah
Fathonah
Ikhlas
Kaffah
S
U
R
Y
A
D
I
Shiddiq
Uswatun hasanah
Rahmatalill’alamin
Yaqiin
Adil
Daulat
Istiqomah
Prinsip Bioetik
Informative
Area 5 Kompetensi dr
Veracity
Asas etik
Communicative
Area 1 Kompetensi dr
Life long learning
Professionalisme
Responsible
Professionalisme
Total action to patient Area 7 Kompetensi dr
safety
Truth telling
Asas etik
Beneficence
Kaidah dasar bioetika
Nonmaleficence
Kaidah dasar bioetika
Accountable
Professionalisme
Justice
Kaidah dasar bioetika
Autonomy
Kaidah dasar bioetika
Excellence
Professionalisme
Created by Taufik Suryadi@2009
Sebagai tambahan untuk mempermudah pemahaman prinsip-prinsip etik dan hukum,
penulis menyajikannya dalam suatu singkatan yang mudah diingat yaitu “Bioethics”:
Table 4. Prinsip “Bioethics”
Bahasa Inggris
B Balancing in attitude and medical
competences
Bahasa Indonesia
Menyeimbangkan antara attitude dan
kompetensi
I
Interesting and respecting in social
behavior and humanity
Memperhatikan dan menghormati
masalah-masalah sosial dan kemanusiaan
O
Oriented by inner heart approach
Berorientasi pada pendekatan hati nurani
E
Expressed to emphatic and
professional responsibility
Menunjukkan empati dan tanggungjawab
professional
T
Truth telling and truth doing in daily
medical practice
Berkata dan berbuat benar pada praktik
dokter sehari-hari
H
Health Law and human right every
time
Menerapkan hukum kesehatan dan hak
asasi manusia setiap waktu.
I
Independency in medical profession
Menegakkan kemandirian profesi
C
Continuing professional development
S
Standardization in profession, medical
care and operating procedures
Membangun professionalisme
berkelanjutan
Melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan dan SOP
Prinsip-prinsip hukum
Hubungan dokter-pasien (HDP) merupakan pondasi dalam praktek kedokteran dan
juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa, dokter menyatakan:
”Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya” dan Kode Etik
Kedokteran Internasional menyebutkan: ”Dokter harus memberikan kepada pasiennya
loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”. Interpretasi hubungan dokterpasien secara tradisional adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan
dan pasien hanya bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik
secara etik maupun hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia membuat
keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka otonomi pasien kadang sangat
problematik. Secara yuridis HDP dimasukkan kedalam golongan kontrak. Suatu kontrak
adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai satu hal (solis). Dokter
mengikat dirinya untuk memberikan pelayanan kesehatan sedang pasien menerima pelayanan
tersebut. Dengan demikian terjadi suatu perikatan yang disebut transaksi (kontrak) terapeutik
yang mempunyai dua ciri yaitu: Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement) atas dasar
saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.
Adanya suatu kepercayaan (fiduciary) karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling
percaya mempercayai satu sama lain.
Karena bersifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus dipenuhi
persyaratan:
1.
harus ada persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkontrak. Persetujuan ini
berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan pemberi pelayanan tersebut
yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya adalah antara dokter
dan pasien tentang sifat pemberi layanan pengobatan yang ditawarkan oleh sang dokter
dan yang telah diterima baik oleh pasiennya. Dengan demikian maka persetujuan antara
masing-masing pihak haruslah sukarela.
2.
harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak (contract). Objek atau
substansi kontrak dari hubungan dokter pasien adalah pemberian pelayanan pengobatan
yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh sang dokter. Objek dari kontrak
harus dapat dipasikan, legal dan tidak diluar profesinya.
3.
harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration). Sebab atau
pertimbangan ini adalah faktor yang menggerakkan sang dokter untuk memberikan
pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian imbalan atau bisa saja
sekedar untuk menolong ata atas dasar kemurah-hatian si dokter. Pembayaran untuk
pemberian pelayanan pengobatan sudah dianggap tersirat dan diketahui oleh pasien,
kecuali diwajibkan oleh hukum atau diannggap untuk amal dan menolong sesamanya.
Apabila sang pasien ternyata tak mampu untuk membayar, tidak akan mempengaruhi
adanya kontrak atau mengurangi tanggungjawab sang dokter terhadap tuntutan kelalaian.
Dalam hubungan terapetik, semua azas yang berlaku dalam berkontrak juga berlaku di
sini, antara lain:
1.
Azas Konsensual: Berdasarkan azas ini maka para pihak, yaitu dokter/RS & pasien,
harus saling bersetuju untuk menjalin hubungan terapetik. Persetujuan pasien tersebut
ditandai dengan datangnya pasien ke tempat praktik dokter atau RS sedangkan
persetujuan dokter atau RS dapat dinyatakan secara eksplisit ataupun implisit; baik oleh
dokter itu sendiri atau lewat pegawainya. Diterimanya pendaftaran pasien oleh pembantu
dokter atau dilayaninya pasien membeli karcis oleh petugas RS merupakan bukti bahwa
dokter atau RS yang bersangkutan telah bersetuju untuk menangani pasien. Maka sejak
saat itulah hubungan kontraktual mulai terjalin. Dalam pandangan hukum perdata, setiap
persetujuan dianggap sah jika diberikan tanpa keraguan (unequivocal), tanpa ada paksaan
(voluntary), sesuai kelaziman (naturally) & dalam keadaan sadar (concious) oleh orang-
orang yang menurut hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Maka dalam hal pasien
anak-anak atau tidak sehat akalnya, hubungan hukum yang terjadi adalah antara health
care provider dengan orang tua atau walinya.
2.
Azas Iktikad Baik: Iktikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling
utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapetik. Oleh sebab itu baik
pasien, dokter atau RS harus sama-sama beriktikat baik sebab tanpa dilandasi azas ini,
hubungan terapetik tidak syah demi hukum. Dengan iktikat baik tersebut maka masingmasing pihak tidak dibenarkan untuk memperdayai ataupun memanfaatkan kelemahan
(ketidaktahuan) pihak lainnya, utamanya pihak dokter yang kedudukannya lebih superior
dibandingkan pasien disebabkan ilmu pengetahuan & ketrampilan yang dikuasainya.
3.
Azas Bebas: Azas ini mengisyaratkan bahwa para pihak bebas menentukan apa saja
yang hendak diperjanjikan. Hanya saja masing-masing pihak perlu menyadari bahwa
upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) & hasilnyapun tidak dapat
diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu tidaklah realistis jika pasien menuntut
jaminan kesembuhan & tidak pula lazim jika dokter menjanjikan atau memberikan
garansi keberhasilan.
4.
Azas Tidak Melanggar Hukum: Meskipun para pihak bebas menentukan isi
kesepakatan, namun hukum perdata membatasi syahnya hubungan kontraktual hanya
pada hal-hal yang halal. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa
alasan medis (aborsi kriminalis) & dokter juga menyatakan kesanggupannya maka
hubungan seperti ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan kontraktual, melainkan
merupakan persekongkolan untuk melakukan tindak pidana pengguguran kandungan.
Oleh karenanya jika seandainya dokter melakukan kekeliruan dalam melakukan aborsi
kriminalis sehingga wanita yang diaborsi menderita kerugian maka ia tidak dapat digugat
membayar ganti rugi.
5.
Azas Kepatutan & Kebiasaan: Dalam hukum perdata, para pihak yang mengadakan
perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja tetapi juga pada halhal yang sudah menjadi kepatutan & kebiasaan. Azas ini benar-benar membedakan
hubungan terapetik dengan hubungan kontraktual di bidang lainnya. Jika misalnya dalam
hubungan kontraktual di bidang lain tidak dibenarkan memutuskan hubungan secara
sepihak (tanpa kesepakatan kedua belah pihak) maka dalam hubungan terapetik
pemutusan sepihak oleh pasien dapat dibenarkan, sedangkan oleh dokter hanya
dibenarkan berdasarkan alasan yang sangat khusus (with notice). Alasan bahwa pasien
boleh memutuskan secara sepihak kapan saja didasarkan pada pertimbangan bahwa
hubungan terapetik merupakan hubungan yang dijalin atas dasar kepercayaan. Bila pasien
sudah tidak lagi percaya akan kemampuan dokter dalam mengatasi gangguan
kesehatannya maka sudah pasti pasien tidak lagi bersikap kooperatif. Oleh sebab itu
tidaklah bijaksana jika hokum tetap memaksa pasien untuk menyelesaikan hubungan
tersebut karena akan menjadi kontraproduktif
Penutup
Etik kedokteran berkaitan dengan penalaran, pembenaran dan konflik moral diri
pribadi, dalam membuat keputusan etis, sedangkan hukum berkaitan dengan konflik antara
individu dan masyarakat (publik) atau dengan peraturan atau dengan individu lain . Norma
etika (Bioetika) pada saat ini banyak yang tumpang tindih dengan / atau setidaknya
dipengaruhi oleh norma hukum dan yang melatarbelakanginya (finansial, budaya, sosial)
Hukum mengatur perilaku manusia dalam kaitannya dengan ketertiban hubungan
antar manusia, dengan aturan yang tertentu dan baku.. Etik mengatur manusia dalam
membuat keputusan dan dalam berperilaku (profesi), dengan menggunakan “dialog” antar
beberapa kaidah moral, dengan hasil yang tidak selalu seragam. Cara berpikir yang melulu
didasarkan kepada hukum akan membawa kita kepada “terpaku kepada peraturan” sehingga
dinilai terlalu materialistik dan legalistik (Bottom-line ethics). Etik mendalami suatu masalah
dengan tidak hanya melihat hal yang “material” (terlihat, terobservasi, terukur, dll),
melainkan juga nilai yang berada di belakangnya. Penerapan prinsip-prinsip etika dan hukum
harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap dokter. karena akan menyelamatkan dokter dari
gugatan dan tuntutan juga sekaligus merefleksikan pribadi dokter sebagai profesi yang luhur
dan mulia sepanjang masa.
Daftar Pustaka
1. Akhmad SA. Pendidikan Bioetika Islam di Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
Tanpa tahun.
2. Bertens K. Etika. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005
3. Buku Penuntun skill lab Modul Etika dan Hukum Kedokteran. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 2005.
4. Buku tutor blok Bioetika dan Humaniora FK Unsyiah. Suryadi T, Effendy A (ed). Edisi 1.
Tahun 2006.
5. Dahlan S. Hukum Kesehatan-Rambu-rambu bagi Profesi Dokter. Edisi 3. Penerbit Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang; 2005.
6. Darmadipura MS (ed). Kajian Bioetik 2005. Unit Bioetik Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya; 2005.
7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Penerbit buku EGC.
Jakarta; 1999.
8. Hanafiah MJ. Etika Kedokteran dan Ajaran Islam/ Penerbit Pustaka Bangsa Press.
Medan. 2008.
9. Jacobalis S. Pengantar tentang perkembangan ilmu kedokteran, etika medis dan bioetika.
Penerbit Sagung Seto. Cetakan I. Jakarta; 2005.
10. Kulsum. Mengenal Bioetika dan Humaniora. Kongres Nasional PDFI IV. Medan, 2007.
11. Martaadisoebrata D, Perkembangan Bioetika serta Aplikasinya. Seminar Kesehatan dan
Hak Asasi Manusia. Jakarta 19-20 Maret 2003.
12. Purwadianto A. Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan
Penyelesaian Kasus Konkrit Etik. Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan
HAM 2007.
13. Purwadianto A. Kaidah Dasar Moral dan Teori Etika Dalam Membingkai
Tanggungjawab Profesionalisme Dokter. Program Non Gelar Bioetika, Hukum
Kedokteran dan HAM 2007.
14. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta; 2001.
15. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed consent. Dalam Bioetik dan Hukum
Kedokteran. Pengantar untuk mahasiswa kedokteran dan hukum.cetakan pertama;
Oktober 2005.
16. Suryadi T. Manajemen Konflik Hubungan Dokter Pasien Melalui Pendekatan Bioetika.
Pertemuan Nasional JBHKI III. Surabaya. 2006.
17. Suryadi T. Pelayanan medik di instalasi gawat darurat RSU Dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh Ditinjau dari sudut pandang bioetika, hukum kedokteran dan HAM. Makalah akhir
Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM 2007.
18. Wijono D. Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Airlangga University Press. Surabaya ;
2000.
19. Wujoso H. Aspek hukum Undang-undang praktik Kedokteran. Kongres Nasional PDFI
IV. Medan, 2007.
Download