PRINSIP-PRINSIP ETIKA DAN HUKUM DALAM PROFESI KEDOKTERAN* Taufik Suryadi Tim Bioetika dan Humaniora FK Unsyiah Banda Aceh e-mail: [email protected] *Disampaikan pada Pertemuan Nasional V JBHKI dan Workshop III Pendidikan Bioetika dan Medikolegal di Medan, 14-17 Desember 2009 Abstrak: Prinsip dasar etika dan hukum dalam profesi kedokteran adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara dokter dengan pasien. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan ramburambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. Prinsip-prinsip etika dan hukum terutama dalam hubungan dokter-pasien harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap dokter. karena akan menyelamatkan dokter dari gugatan dan tuntutan juga sekaligus merefleksikan pribadi dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia sepanjang masa. (Kata kunci: prinsip etik, prinsip hukum, profesi kedokteran) Pendahuluan Tujuan utama pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk mengatasi penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Ada orang sakit (pasien, penderita) dan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun ada orang yang dianggap mampu menyembuhkan penyakit (dukun, healer, dokter) dan obat diharapkan dapat menolong yang sakit dengan cara apapun. Pada dasarnya, apa yang sekarang dinamakan hubungan dokterpasien dapat ditelusuri balik asal usulnya pada hubungan pengobatan seperti dalam masyarakat sederhana itu, tentu ditambah dengan kerumitan-kerumitan yang dibawa oleh perkembangan sosial, ekonomi, hubungan antar manusia, ilmu kedokteran, teknologi, etika, hukum, bisnis dan lain-lain di zaman modern ini. Hal yang paling mendalam dari hubungan dokter-pasien adalah rasa saling percaya. Pasien sebagai pihak yang memerlukan pertolongan percaya bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Sementara itu, dokter juga percaya bahwa pasien telah memberikan keterangan yang benar mengenai penyakitnya dan ia akan mematuhi semua petunjuk dokter. Pelayanan kedokteran yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran paripurna bermutu (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) bukan saja ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga oleh perilaku (professional behaviour), etik (bioethics) dan moral serta hukum.. Membahas mengenai pelayanan kesehatan ditinjau dari aspek hukumnya maka setidak-tidaknya ada beberapa issue yang perlu diangkat ke permukaan untuk difahami oleh setiap tenaga kesehatan atau rumah sakit agar dalam melayani pasien tidak menjadi korban ketidaktahuan. Dalam hukum kesehatan/kedokteran, pelayanan kesehatan memiliki unsur Duty (kewajiban) yaitu kewajiban tenaga kesehatan untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk penyembuhan. Atau setidak-tidaknya meringankan beban pasiennya (to cure and to care) berdasarkan standar profesi. Tenaga kesehatan dengan segala daya upaya mencoba membantu kebutuhan pasien. Pelayanan kesehatan juga sangat sarat dengan kemunculan dilema etik, atau sengketa hukum. Nuansa hukum kesehatan/kedokteran juga sangat kental dalam pelayanan kesehatan dengan adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan.oleh orang-orang yang terlibat didalamnya yang kalau tidak berhati-hati dalam bertindak akan sangat rawan terhadap tuntutan dan gugatan. Oleh karena itu sangat diperlukan pemahaman mengenai prnisipprinsip etika dan hukum dalam profesi kedokteran agar tuntutan dan gugatan tersebut dapat dihindari. Pelayanan Kedokteran Pelayanan kesehatan/kedokteran adalah suatu system yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tighly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks yaitu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident). Oleh karena itu praktik kesehatan/kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. Pertumbuhan masyarakat sekunder dengan pola hidup menuju ke arah kehidupan modern yang lebih mengutamakan kepentingannya dan mengikuti arus konsumerisme ikut berperan dalam hal ini. Pada masyarakat sekunder segala sesuatu akan dilihat dari sisi ”untung rugi” bagi dirinya dengan perhatiannya yang semakin sedikit untuk kepentingan pihak lain. Berbeda dengan masyarakat primer yang lebih mengutamakan kekariban dan segala sesuatu harus dinikmati bersama, sehingga kadang-kadang tidak jarang kepentingannya sendiri terabaikan oleh karena urusan pihak lain. Dengan berkembangnya bioetika kedokteran maka mau tidak mau konsep dasar ”Hubungan dokter-pasien (HDP)” juga harus ikut berubah. Selama berabad-abad hubungan dokter-pasien tidak setara, jarak sosial dan pendidikannya sangat jauh. Dokter sangat paternalistik dan dominan, layaknya seorang ayah yang ”serba tahu” (father knows best), atau bahkan ”sok tahu” terhadap anaknya yang dalam posisi tergantung, yang ”tak tahu apa-apa” atau dianggap ”tak perlu tahu apa-apa” mengenai dirinya. Demikian pula posisi pasien diwaktu lampau, dimana pasien hampir tidak mempunyai hak apapun, tidak jarang bertanyapun ia tidak boleh. Ia tinggal menerima saja apa yang dikatakan oleh dokter. Bahkan sering kali pasien ”dimarahi” jika dinilai ”sok mau tahu”. Paternalisme ini dalam arti tradisional adalah proteksi oleh dokter yang serba ”perkasa” terhadap pasien yang serba ”lemah”. Akar tradisi ini adalah ajaran Hipokrates yang menyatakan bahwa dokter melakukan tindakan yang dianggap baik untuk pasien dan tidak akan merugikannya. Lalu secara moral dokter bertanggung jawab terhadap tindakannya itu. Begitu agungnya persepsi orang terhadap ajaran Hipokrates dan nilai-nilai etis dalam sumpah dokter yang juga berasal darinya, sehingga tidak ada yang berani atau dianggap berhak dan mampu ”mencampuri” dan mengatur pekerjaan dokter. Asas-asas etika tradisional yang paling pokok dan masih berlaku sampai sekarang adalah asas beneficence, dokter akan berbuat kebaikan atau kebajikan terhadap pasien, dan asas non maleficence yaitu dokter tidak akan menimbulkan mudharat kepada pasien. Asasasas yang lain adalah ”turunan” atau terkait dengan salah satu asas atau kaidah dasar moral diatas. Namun demikian, ”dokter juga manusia”, yang tidak luput dari segala kelemahan dan godaan. Dari pengalaman diketahui bahwa banyak juga kasus-kasus pelanggaran moral dan etika dalam hubungan dokter-pasien tersebut. Etik Kedokteran Etik kedokteran merupakan ”terjemahan” dari asas-asas etika menjadi ketentuanketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi atau perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-anggota profesi itu, umumnya dinamakan kode etik (Inggris: code of ethics). Istilah ”kode” berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan. Dari pengertian seperti inilah Kode Etik Kedokteran dapat diartikan sebagai seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode Etik Kedokteran adalah buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter. Sebenarnya yang disebut sebagai etik (ethos) adalah suatu adat kebiasaan, namun karena telah menjadi istilah umum dimana etik diartikan sebagai adat kebiasaan yang ”baik, selayaknya, seharusnya”, maka sampai sekarang pengertian inilah yang dipakai. Perkembangan Dalam pada itu, Profesor Kaiser Ali (Kanada) dalam presentasinya pada Pertemuan Nasional Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) IV di Surabaya 2006 menyatakan bahwa, bioetika kedokteran (medical bioethics) adalah aspek moral dari ilmu kedokteran (Practice of Moral medicine). Saat ini sudah sangat lazim pula kita dengar istilah ”Bioetika dan Humaniora kesehatan” atau Health bioethics and humanities. Humaniora medik (medical humanities) mengandung pengertian aspek kemanusiaan dari ilmu kedokteran (Practice of Humane medicine). Karena kita ketahui bahwa antara ilmu kedokteran, moral dan kemanusiaan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Perkembangan Etika Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah Bioetika sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu diulas, dibahas dan dikembangkan sampai kepada pengertian yang kita anut sekarang ini. Semuanya ini dilakukan agar profesi kedokteran selalu siap untuk menjawab tantangan jaman. Mengapa kita sekarang harus membahasnya lagi?. Karena perkembangan ini akan terus berlanjut, sesuai dengan berkembangnya bio-teknologi, khususnya teknologi biomedis, dan perkembangan masyarakat. Karena itu kita harus selalu memberi makna dan pengertian yang “up-to-date” mengenai Bioetika ini. Untuk itu kita perlu mengkaji ulang paradigma-paradigma yang berkaitan dengan Bioetika dan mempelajari isu-isu yang berkembang, baik di masya-rakat umum, maupun di kalangan kedokteran sendiri Dasar-dasar bioetika adalah etika tradisional, dimana asas etika tradisional tersebut berupa asas beneficence (memberikan manfaat) dan non-maleficence (mencegah mudharat). Kalau kita perhatikan kedua asas ini sebenarnya bersumber dari perintah Allah Swt untuk ”Amar ma’ruf Nahi munkar”. Etika terdiri dari dua jenis, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak dalam mengambil keputusan etis. Penilaiannya adalah prinsip moral, yaitu baik dan buruk. Sementara etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip dasar dalam bidang khusus atau disebut etika terapan, misalnya etika kedokteran, etika kefarmasian, etika keperawatan dan lain-lain. Seseorang dikatakan bahagia bila ia telah memiliki seluruh tatanan moral. Tatanan moral tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: yang pertama Logika, dimana dasarnya pikiran, tujuannya kebenaran, nilainya benar-salah, hasilnya ilmu. Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Secara filsafati jiwa terdiri dari unsur akal (intellect), rasa (emotion), dan kehendak (will). Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Akal akan berusaha untuk mendapatkan kebenaran yang paling dalam (the truth), dan dari sini akal manusia terus berkembang dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang kedua Etika, dimana dasarnya kehendak, tujuannya kebaikan, nilainya baikburuk, hasilnya keserasian. Unsur ‘kehendak’ selalu mencapai kebaikan (goodness) didalam tata kehidupan. Yang ketiga Etiket (Etiquette), dimana dasarnya kehormatan, nilainya sopantidak sopan, hasilnya tata krama. Yang keempat Estetika, dimana dasarnya perasaan (feeling), tujuannya keindahan, hasil ciptaannya seni (art). Unsur ‘rasa’ manusia selalu ingin mencari keindahan yang paling dalam (the beauty), dari sini berkembang rasa estetika manusia. Dalam kenyataannya unsur akal, rasa dan kehendak tersebut saling mendukung dan saling mempengaruhi dalam setiap tindakan manusia. Meskipun sebagai objek material, etik mempelajari manusia, tetapi objek formal yang dipelajari adalah tindakan atau perilaku manusia. Sehingga etik tidak dapat dipisahkan dengan beberapa istilah lain yang mirip-mirip dengan etik yaitu adab, akhlak, susila, etiket dan moral. Tabel 1. Perbandingan antara etika kedokteran tradisional dengan bioetika kedokteran: Etika kedokteran tradisional Bioetika kedokteran o Hanya dikaji oleh disiplin ilmu o Dikaji oleh interdisipliner kedokteran o Pendatang baru sekitar tahun 1960-an. o Sudah membudaya sejak 2000 Di Indonesia malah berkembang tahun tahun yang lalu. 2000-an. o Cakupannya hanya lingkup o Cakupannya lebih luas (Skala makro) kedokteran (Skala mikro) o Berurusan dengan profesi lain yang ada o Hanya berurusan dengan masalah kaitannya dengan kelahiran, kehidupan, hubungan dokter-pasien, dokterkesehatan, penyakit, dan kematian sejawat, dokter-masyarakat. Aspek manusia. perilaku dan moral dokter. o Cakupannya menjangkau jauh ke masa o Cakupannya statis, karena sesuai depan. dengan asas etik tradisional. o Perkembangan bioetika kedokteran o Terbatas pada kepedulian dokter, merupakan kepedulian kalangan ahli falsafah, peminat etika kedokteran dan disiplin ilmu lain. kedokteran. Created by Taufik Suryadi@2009 Prinsip-prinsip Etika Bioetika kedokteran merupakan salah satu etika khusus dan etika sosial dalam kedokteran yang memenuhi kaidah praksiologik (praktis) dan filsafat moral (normatif) yang berfungsi sebagai pedoman (das sollen) maupun sikap kritis reflektif (das sein), yang bersumber pada 4 kaidah dasar moral (kaidah dasar bioetika-KDB) beserta kaidah turunannya. Kaidah dasar moral bersama dengan teori etika dan sistematika etika yang memuat nilai-nilai dasar etika merupakan landasan etika profesi luhur kedokteran. Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu: 1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination), 2. Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien; 3. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”, 4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumberdaya (distributive justice). Prinsip Beneficence Beneficence secara makna kata dapat berarti pengampunan, kebaikan, kemurahan hati, mengutamakan kepentiang orang lain, mencintai dan kemanusiaan. Beneficence dalam makna yang lebih luas berarti tindakan yang dilakukan untuk kebaikan orang lain. Prinsip moral beneficence adalah kewajiban moral untuk melakukan suatu tindakan demi kebaikan atau kemanfaatan orang lain (pasien). Prinsip ini digambarkan sebagai alat untuk memperjelas atau meyakinkan diri sendiri (self-evident) dan diterima secara luas sebagai tujuan kedokteran yang tepat. Penerapan prinsip beneficence tidak bersifat mutlak. Prinsip ini bukanlah satu-satunya prinsip yang harus dipertimbangkan, melainkan satu diantara beberapa prinsip lain yang juga harus dipertimbangkan. Prinsip ini dibatasi keseimbangan manfaat, resiko, dan biaya (sebagai hasil dari tindakan) serta tidak menentukan pencapaian keseluruhan kewajiban. Kritik yang sering muncul terhadap penerapan prinsip ini adalah tentang kepentingan umum yang diletakan di atas kepentingan pribadi. Sebagai contoh, dalam penelitian kedokteran, atas dasar kemanfaatan untuk kepentingan umum sering prosedur penelitian yang membahayakan individu subjek penelitian diperbolehkan. Padahal, terdapat prinsip-prinsip lain yang semestinya juga dipertimbangkan. Prinsip beneficence harus diterapkan baik untuk kebaikan individu seorang pasien maupun kebaikan masyarakat keseluruhan. Beberapa bentuk penerapan prinsip beneficence merupakan komponen penting dalam moralitas. Karena luasnya cakupan kebaikan, maka banyak ketentuan-ketentuan dalam praktek (kedokteran) yang baik lahir dari prinsip beneficence ini. Beberapa contoh penerapan prinsip beneficence ini adalah: 1. Melindungi dan menjaga hak orang lain. 2. Mencegah bahaya yang dapat menimpa orang lain. 3. Meniadakan kondisi yang dapat membahayakan orang lain. 4. Membantu orang dengan berbagai keterbatasan (kecacatan). 5. Menolong orang yang dalam kondisi bahaya. Prinsip Non-maleficence Prinsip non-maleficence, yaitu melarang tindakan yang membahayakan atau memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”. Prinsip ini berhubungan dengan ungkapan Hipokrates yang menyatakan “saya akan menggunakan terapi untuk membantu orang sakit berdasarkan kemampuan dan pendapat saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya untuk merugikan atau mencelakakan mereka”. Prinsip non-maleficence sering menjadi pembahasan dalam bidang kedokteran terutama kasus kontroversial terkait dengan kasus penyakit terminal, penyakit serius dan luka serius. Prinsip ini memegang peranan penting dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan atau mengakhiri kehidupan. Penerapannya dapat dilakukan pada pasien yang kompeten maupun tidak kompeten. Pada dasarnya, prinsip non-maleficence memberikan peluang kepada pasien, walinya dan para tenaga kesehatan untuk menerima atau menolak suatu tindakan atau terapi setelah menimbang manfaat dan hambatannya dalam situasi atau kondisi tertentu. Banyak filosof yang menjadikan prinsip non-maleficence sebagai satu kesatuan dengan prinsip beneficence (mengutamakan tindakan untuk kebaikan pasien). Namun, banyak juga yang membedakannya. Pertimbangannya antara lain pemikiran bahwa kewajiban untuk tidak membahayakan atau mencelakakan pasien, tentu berbeda dengan kewajiban untuk membantu pasien, walaupun keduanya untuk kebaikan pasien. Prinsip Autonomy Otonomi (Autonomy) berasal dari bahasa Yunani ”autos” yang berarti sendiri dan ”nomos” yang berarti peraturan atau pemerintahan atau hukum. Awalnya otonomi dikaitkan dengan suatu wilayah dengan peraturan sendiri atau pemerintahan sendiri atau hukum sendiri. Namun kemudian, otonomi juga digunakan pada suatu kondisi individu yang maknanya bermacam-macam seperti memerintah sendiri, hak untuk bebas, pilihan pribadi, kebebasan berkeinginan dan menjadi diri sendiri. Makna utama otonomi individu adalah aturan pribadi atau perseorangan dari diri sendiri yang bebas, baik bebas dari campur tangan orang lain maupun dari keterbatasan yang dapat menghalangi pilihan yang benar, seperti karena pemahaman yang tidak cukup. Seseorang yang dibatasi otonominya adalah seseorang yang dikendalikan oleh orang lain atau seseorang yang tidak mampu bertindak sesuai dengan hasrat dan rencananya. Terdapat berbagai pendapat tentang penerapan prinsip otonomi. Meskipun demikian, secara umum ada beberapa cara menerapkan prinsip otonomi, khususnya dalam praktek kedokteran. Cara-cara tersebut antara lain: 1. Menyampaikan kebenaran atau berita yang sesungguhnya (tell the truth) 2. Menghormati hak pribadi orang lain (respect the privacy of others) 3. Melindungi informasi yang bersifat rahasia (protect confidential information) 4. Mendapat persetujuan untuk melakukan tindakan terhadap pasien (obtain consent for interventions with patients) 5. Membantu orang lain membuat keputusan yang penting (when ask, help others make important decision) Hal penting dalam menerapkan prinsip otonomi adalah menilai kompetensi pasien. Para pakar meyakini belum ada satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima semua pihak, sehingga begitu banyak defnisi tentang kompetensi pasien. Salah satu definisi kompetensi pasien yang dapat diterima adalah ”kemampuan untuk melaksanakan atau perform suatu tugas atau perintah”. Prinsip Justice Prinsip Justice diterjemahkan sebagai menegakan keadilan atau kesamaan hak kepada setiap orang (pasien). Definisi lainnya adalah memperlakukan orang lain secara adil, layak dan tepat sesuai dengan haknya. Situasi yang adil adalah seseorang mendapatkan mendapatkan manfaat atau beban sesuai dengan hak atau kondisinya. Situasi yang tidak adil adalah tindakan yang salah atau lalai berupa meniadakan manfaat kepada seseorang yang memiliki hak atau pembagian beban yang tidak sama. Prinsip justice lahir dari sebuah kesadaran bahwa jumlah benda dan jasa (pelayanan) itu terbatas, sedangkan yang memerlukan seringkali melabihi batasan tersebut. Prinsip justice kemudian diperlukan dalam pengambilan keputusan tersebut. Terdapat beberapa kriteria dalam penerapan prinsip justice, antara lain: 1. Untuk setiap orang ada pembagian yang merata (equal share) 2. Untuk setiap orang berdasarkan kebutuhan (need) 3. Untuk setiap orang berdasarkan usahanya (effort) 4. Untuk setiap orang berdasarkan kontribusinya (contribution) 5. Untuk setiap orang berdasarkan manfaat atau kegunaannya (merit) 6. Untuk setiap orang berdasarkan pertukaran pasar bebas (free-market exchange) Prinsip Bioetik Islam Bioetik islam didasarkan pada prinsip persamaan (selain takwa), persaudaraan manusia (dalam tauhid), kebebasan untuk memilih tanpa ada paksaan (prinsip selektifitas dan kreativitas) sehingga adanya pilihan membatasi kebebasan, tujuan akhir dan cara harus konsisten untuk kebenaran, kebaikan hanya dari Allah dan keadilan antara hak dengan kewajiban yang menghargai kontribusi dan usaha atau pilihan individu. Bioetik islam merupakan perpaduan antara hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab, penalaran (logika) dan hati nurani, wahyu dan tradisi, ibadah dan muamalah, tujuan dan cara, prinsip dan nilai, untuk menuju pada keseimbangan potensi manusia baik potensi duniawi dan ukhrowi, potensi tumbuhan (jasmani), potensi hewan (jasmani dan insting), potensi akal (mental), potensi malaikat (spiritual). Bioetik islam memiliki prinsip antara lain ; 1) prinsip Tabligh, 2) prinsip Amanah, 3) prinsip Ukhuwah, 4) prinsip Fathonah, 5) prinsip Ikhlas, 6) prinsip Kaffah, 7) prinsip Shiddiq, 8) prinsip Uswatun hasanah, 9) prinsip Rahmatan lil’alamin, 10) prinsip Yaqin, 11) prinsip Adil, 12) prinsip Daulah dan 13) prinsip Istiqomah, yang bermakna: Prinsip Tabligh Tabligh berarti menyampaikan atau Informative, dokter harus menyampaikan apa yang menjadi hak pasien, sampaikan informasi apa saja yang dibutuhkan pasien, contohnya informed consent. Prinsip ini menekankan akan pentingnya untuk memberikan informasi dan berkomunikasi secara efektif, apa adanya dan tanpa ada yang disembunyikan demi kepentingan pasien. Hadis mengatakan Qulil Haqqu walaukana muuran. Termasuk dalam hal ini informasi mengenai agama, kesehatan, kedokteran dan sosial. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menyampaikan pesan kebenaran dan keadilan. Diam ketika ada pelanggaran etik bukanlah sikap yang tepat. Diam ketika ada pelanggaran etik sama halnya dengan pelaku pelanggaran etik secara pasif. Prinsip Amanah Amanah berarti menjaga kepercayaan atau Veracity, Dokter harus dapat menjaga amanah dan kepercayaan, dan selalu menjaga rahasia pasien bahkan sampai pasien tersebut meninggal dunia. Amanah berarti dapat dipercaya. Prinsip ini menekankan bahwa dokter dalam bertindak berdasarkan perjanjian kontrak dengan pasien. Pasien menitipkan kepercayaannya bahwa dokter akan berupaya maksimal dan tidak akan merugikan dirinya. Dengan prinsip ini diharapkan dokter mampu memenuhi harapan percaya berdasarkan amanah tersebut. Dokter memiliki kewajiban untuk bertindak sesuai standar minimal pelayanan kedoketeran dan itu sebagai amanah profesi. Kesadaran akan prinsip ini akan menuntut dokter untuk menepati janji dan menjaga kerahasiaan. Prinsip Ukhuwah Ukhuwah berarti persaudaraan atau Cooperative, Communicative, dokter harus mampu bekerjasama dengan siapa saja, harus selalu menjaga hubungan baik dengan sesama, ukhuwah islamiyah, ukhuwah insaniah. Dokter memandang bahwa pasien adalah bagian dari dirinya. Sebagai seorang manusia, pasien memiliki potensi dan sifat dasar yang sama dengan dokter sehingga menginginkan perlakuan yang sama sebagaimana dokter ingin diperlakukan. Apa yang dirasakan pasien juga dirasakan dokter mengingat sebagai saudara sesama manusia seperti satu tubuh. Prinsip Fathonah Fathonah berarti cerdas = Life long study/ learning, dokter harus terus belajar sepanjang hayatnya, menimba ilmu dan mengasah kemampuannya secara berkesinambungan (Continious Professional Development. Dokter bertindak karena dia mampu untuk melakukannya sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Dokter mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Prinsip Ikhlas Dalam melakukan tindakan medis selalu didasari niat karena pengabdian atau altruisme semata-mata karena Allah pada saat sebelum mulai, sewaktu bekerja dan sesudah bekerja. Ikhlas bukan berarti harus gratis tetapi sikap tidak mengharap pujian, kemashuran, kebendaan, tidak marah ketika dicerca, tidak bangga diri ketika dipuji dan ada uang atau tidak uang siap berbakti. Prinsip Kaffah Dokter harus berbuat yang terbaik untuk pasien, mengerahkan kemampuan dan daya upaya untuk keselamatan pasien Prinsip Sidq/kejujuran Sidq atau jujur meliputi jujur perkataan, jujur dalm janji, jujur perbuatan, jujur dalam pergaualan dan jujur dalam hati. Jujur perkataan artinya perkataannya sesuai dengan kenyataan. Jujur dalam janji artinya berusaha nenepati janji dan tidak ingkar janji. Jujur dalam perbuatan artinya tindakan yang dilakukan sesuai dengan hatinya sehingga luar dan dalam sesusai. Jujur dalam pergaulan artinya melakukan interaksi dengan pasien tanpa ada unsur penipuan. Jujur dalam hati artinya niat dan motivasi dalam hati sungguh-sungguh yang tidak akan mudah goyah dengan berbagai halangan, rintangan dan hambatan dari manapun. Kejujuran dekat kebenaran dan kebenaran mengantarkan kepada kebahagiaan sejati. Shiddiq = Truth telling, Truth doing, dokter harus menyadari bahwa yang dilakukannya adalah benar, yang diketahui adalah benar dan yang disampaikannya adalah tiada lain selain kebenaran. Prinsip Uswatun hasanah Prinsip ini adalah gabungan dari prinsip beneficence dan non-maleficence seperti pada bioetik baratn. Hanya saja dalam prinsip ini dibingkai dengan prinsip tauhid. Prinsip tauhid berarti meyakini dan menyandarkan segala sesuatu berasal dari Allah dan atas ijin dari Allah sebagai causa prima. Uswatun hasanah = Beneficence, dokter harus menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata untuk kebaikan, kepuasan, kesembuhan dan kemanfaatan bagi pasien. Prinsip Rahmatalill’alamin Prinsip ini menekankan akan pentingnya nilai pragmatisme dalam setiap tindakan dokter. Suatu tindakan akan sesuai dengan prinsip ini jika mampu memberikan manfaat kepada pasien tanpa pandang bulu. Dari asal kata rahmat yang berarti kebaikan atau manfaat dari Allah yang maha pemurah untuk seluruh makhluknya. Dengan prinsip in dokter akan selalu memprioritaskan kebaikan demi untuk kepentingan pasiennya. Dokter harus senantiasa berniat teguh dalam hatinya akan memberikan kasih sayang, menyelematkan jiwa pasien, menerapkan prinsip aegroti salus lex suprema (keselamatan pasien adalah yang utama). Prinsip Yakin Prinsip ini merupakan konsekwensi logis prinsip kebebasan. Setelah pilihan dibuat maka pasien harus terikat dan sudah dibatasi dengan pilihannya tersebut yang dibuat atas kesadaran dan hak menentukan nasib sendiri. Yaqin = Accountable, dokter harus yakin tentang apa yang dilakukannya karena semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan ALLAH SWT, dan juga sesama manusia . Prinsip Adil Adil = Juctice, dokter harus selalu berlaku adil terhadap siapa saja, tidak diskriminatif , tidak membuat stigmatisasi dan klasifikasi pasien. Prinsip ini menekankan pentingnya berbagi dalam masalah kebenaran, maslahah, dan kebaikan secara proposional, tidak memihak salah satu pihak, memenuhi prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan memenuhi prinsip derajat kebutuhan. Dalam segala perbuatan atau tindakan dokter tidak akan melakukan diskriminasi. Pelayanan yang diberikan kepada pasien karena panggilan kemanusiaan sehingga perlakuan dokter akan sama karena kemanusiaannya. Perlakuan yang berbeda dibenarkan jika didasarkan atas kegawatadaruratan dan prestasi. Prinsip Daulat Daulat = Autonomy, dokter harus senantiasa menghormati hak-hak pasien, menghormati hak aassi manusia dan harkat martabatnya sebagai makhluk biopsikososiokultural yang utuh. Berangkat dari kisah umar yang mengingatkan amar bin ash ketika mau menggusur tanah yahudi untuk memperlebar masjid. Umar menggoreskan pedangnya ke tulang dan menyuruh yahudi yang minta keadilan untuk membawa tulang tersebut ke Amr bn Ash sehingga amr bin ash membatalkan untuk memperluas masjid. Prinsip ini menekankan akan pentingnya pasien diberikan pilihan terbaik dan diberikan kebebasan untuk memilih tanpa tekanan apapun atau tanpa bujuk rayu apapun. Prinsip Istiqomah Istiqomah = Excellence, dokter harus selalu melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan berniat terus menerus untuk memperbaiki diri menuju kesempurnaan. Table 2. perbandingan antara prinsip Islam dengan Prinsip bioetik Prinsip Islam (Ingin Selamat Lakukan Ajaran Muhammad SAW) Sifat Rasulullah SAW 1. Shiddiq 2. Amanah 3. Tabligh 4. Fathonah Amalan Rasulullah SAW 1. Ikhlas 2. Kaffah 3. Istiqomah 4. Yaqin Ajaran Rasulullah SAW 1. Uswatun hasanah 2. Rahmatan lil’alamin 3. Adil 4. Ukhuwah 5. Daulat Prinsip Bioetik (Biomedical ethics) Principles of biomedical ethics 1. Beneficence 2. Non-maleficence 3. Justice 4. Autonomy(1-4 PBE) 5. Truth telling 6. Veracity 7. Honesty 8. Human right 9. Virtue ethics 10.fidelity Professionalism 1. Altruism 2. Accountable 3. Excellence 4. Life long learning 5. Responsible of duty 6. Honor and Integrity 7. Respect for others Table 3. Kesamaan antar prinsip Islam dengan Bioetika T A U F I K Prinsip Islam Tabligh Amanah Ukhuwah Fathonah Ikhlas Kaffah S U R Y A D I Shiddiq Uswatun hasanah Rahmatalill’alamin Yaqiin Adil Daulat Istiqomah Prinsip Bioetik Informative Area 5 Kompetensi dr Veracity Asas etik Communicative Area 1 Kompetensi dr Life long learning Professionalisme Responsible Professionalisme Total action to patient Area 7 Kompetensi dr safety Truth telling Asas etik Beneficence Kaidah dasar bioetika Nonmaleficence Kaidah dasar bioetika Accountable Professionalisme Justice Kaidah dasar bioetika Autonomy Kaidah dasar bioetika Excellence Professionalisme Created by Taufik Suryadi@2009 Sebagai tambahan untuk mempermudah pemahaman prinsip-prinsip etik dan hukum, penulis menyajikannya dalam suatu singkatan yang mudah diingat yaitu “Bioethics”: Table 4. Prinsip “Bioethics” Bahasa Inggris B Balancing in attitude and medical competences Bahasa Indonesia Menyeimbangkan antara attitude dan kompetensi I Interesting and respecting in social behavior and humanity Memperhatikan dan menghormati masalah-masalah sosial dan kemanusiaan O Oriented by inner heart approach Berorientasi pada pendekatan hati nurani E Expressed to emphatic and professional responsibility Menunjukkan empati dan tanggungjawab professional T Truth telling and truth doing in daily medical practice Berkata dan berbuat benar pada praktik dokter sehari-hari H Health Law and human right every time Menerapkan hukum kesehatan dan hak asasi manusia setiap waktu. I Independency in medical profession Menegakkan kemandirian profesi C Continuing professional development S Standardization in profession, medical care and operating procedures Membangun professionalisme berkelanjutan Melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan SOP Prinsip-prinsip hukum Hubungan dokter-pasien (HDP) merupakan pondasi dalam praktek kedokteran dan juga etika kedokteran. Seperti disebutkan dalam Deklarasi Jenewa, dokter menyatakan: ”Kesehatan pasien akan selalu menjadi pertimbangan pertama saya” dan Kode Etik Kedokteran Internasional menyebutkan: ”Dokter harus memberikan kepada pasiennya loyalitas penuh dan seluruh pengetahuan yang dimilikinya”. Interpretasi hubungan dokterpasien secara tradisional adalah seperti hubungan paternal dimana dokter membuat keputusan dan pasien hanya bisa menerima saja. Namun saat ini hal itu tidak lagi dapat diterima baik secara etik maupun hukum. Karena banyak pasien tidak bisa atau tidak bersedia membuat keputusan perawatan kesehatan untuk mereka sendiri maka otonomi pasien kadang sangat problematik. Secara yuridis HDP dimasukkan kedalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai satu hal (solis). Dokter mengikat dirinya untuk memberikan pelayanan kesehatan sedang pasien menerima pelayanan tersebut. Dengan demikian terjadi suatu perikatan yang disebut transaksi (kontrak) terapeutik yang mempunyai dua ciri yaitu: Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement) atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary) karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain. Karena bersifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus dipenuhi persyaratan: 1. harus ada persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang berkontrak. Persetujuan ini berwujud dalam pertemuan dari penawaran dan penerimaan pemberi pelayanan tersebut yang merupakan penyebab terjadinya suatu kontrak. Persetujuannya adalah antara dokter dan pasien tentang sifat pemberi layanan pengobatan yang ditawarkan oleh sang dokter dan yang telah diterima baik oleh pasiennya. Dengan demikian maka persetujuan antara masing-masing pihak haruslah sukarela. 2. harus ada suatu objek yang merupakan substansi dari kontrak (contract). Objek atau substansi kontrak dari hubungan dokter pasien adalah pemberian pelayanan pengobatan yang dikehendaki pasien dan diberikan kepadanya oleh sang dokter. Objek dari kontrak harus dapat dipasikan, legal dan tidak diluar profesinya. 3. harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration). Sebab atau pertimbangan ini adalah faktor yang menggerakkan sang dokter untuk memberikan pelayanan pengobatan kepada pasiennya. Bisa dengan pemberian imbalan atau bisa saja sekedar untuk menolong ata atas dasar kemurah-hatian si dokter. Pembayaran untuk pemberian pelayanan pengobatan sudah dianggap tersirat dan diketahui oleh pasien, kecuali diwajibkan oleh hukum atau diannggap untuk amal dan menolong sesamanya. Apabila sang pasien ternyata tak mampu untuk membayar, tidak akan mempengaruhi adanya kontrak atau mengurangi tanggungjawab sang dokter terhadap tuntutan kelalaian. Dalam hubungan terapetik, semua azas yang berlaku dalam berkontrak juga berlaku di sini, antara lain: 1. Azas Konsensual: Berdasarkan azas ini maka para pihak, yaitu dokter/RS & pasien, harus saling bersetuju untuk menjalin hubungan terapetik. Persetujuan pasien tersebut ditandai dengan datangnya pasien ke tempat praktik dokter atau RS sedangkan persetujuan dokter atau RS dapat dinyatakan secara eksplisit ataupun implisit; baik oleh dokter itu sendiri atau lewat pegawainya. Diterimanya pendaftaran pasien oleh pembantu dokter atau dilayaninya pasien membeli karcis oleh petugas RS merupakan bukti bahwa dokter atau RS yang bersangkutan telah bersetuju untuk menangani pasien. Maka sejak saat itulah hubungan kontraktual mulai terjalin. Dalam pandangan hukum perdata, setiap persetujuan dianggap sah jika diberikan tanpa keraguan (unequivocal), tanpa ada paksaan (voluntary), sesuai kelaziman (naturally) & dalam keadaan sadar (concious) oleh orang- orang yang menurut hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Maka dalam hal pasien anak-anak atau tidak sehat akalnya, hubungan hukum yang terjadi adalah antara health care provider dengan orang tua atau walinya. 2. Azas Iktikad Baik: Iktikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapetik. Oleh sebab itu baik pasien, dokter atau RS harus sama-sama beriktikat baik sebab tanpa dilandasi azas ini, hubungan terapetik tidak syah demi hukum. Dengan iktikat baik tersebut maka masingmasing pihak tidak dibenarkan untuk memperdayai ataupun memanfaatkan kelemahan (ketidaktahuan) pihak lainnya, utamanya pihak dokter yang kedudukannya lebih superior dibandingkan pasien disebabkan ilmu pengetahuan & ketrampilan yang dikuasainya. 3. Azas Bebas: Azas ini mengisyaratkan bahwa para pihak bebas menentukan apa saja yang hendak diperjanjikan. Hanya saja masing-masing pihak perlu menyadari bahwa upaya medik itu penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) & hasilnyapun tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu tidaklah realistis jika pasien menuntut jaminan kesembuhan & tidak pula lazim jika dokter menjanjikan atau memberikan garansi keberhasilan. 4. Azas Tidak Melanggar Hukum: Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun hukum perdata membatasi syahnya hubungan kontraktual hanya pada hal-hal yang halal. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa alasan medis (aborsi kriminalis) & dokter juga menyatakan kesanggupannya maka hubungan seperti ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan kontraktual, melainkan merupakan persekongkolan untuk melakukan tindak pidana pengguguran kandungan. Oleh karenanya jika seandainya dokter melakukan kekeliruan dalam melakukan aborsi kriminalis sehingga wanita yang diaborsi menderita kerugian maka ia tidak dapat digugat membayar ganti rugi. 5. Azas Kepatutan & Kebiasaan: Dalam hukum perdata, para pihak yang mengadakan perikatan tidak hanya tunduk pada hal-hal yang telah disepakati saja tetapi juga pada halhal yang sudah menjadi kepatutan & kebiasaan. Azas ini benar-benar membedakan hubungan terapetik dengan hubungan kontraktual di bidang lainnya. Jika misalnya dalam hubungan kontraktual di bidang lain tidak dibenarkan memutuskan hubungan secara sepihak (tanpa kesepakatan kedua belah pihak) maka dalam hubungan terapetik pemutusan sepihak oleh pasien dapat dibenarkan, sedangkan oleh dokter hanya dibenarkan berdasarkan alasan yang sangat khusus (with notice). Alasan bahwa pasien boleh memutuskan secara sepihak kapan saja didasarkan pada pertimbangan bahwa hubungan terapetik merupakan hubungan yang dijalin atas dasar kepercayaan. Bila pasien sudah tidak lagi percaya akan kemampuan dokter dalam mengatasi gangguan kesehatannya maka sudah pasti pasien tidak lagi bersikap kooperatif. Oleh sebab itu tidaklah bijaksana jika hokum tetap memaksa pasien untuk menyelesaikan hubungan tersebut karena akan menjadi kontraproduktif Penutup Etik kedokteran berkaitan dengan penalaran, pembenaran dan konflik moral diri pribadi, dalam membuat keputusan etis, sedangkan hukum berkaitan dengan konflik antara individu dan masyarakat (publik) atau dengan peraturan atau dengan individu lain . Norma etika (Bioetika) pada saat ini banyak yang tumpang tindih dengan / atau setidaknya dipengaruhi oleh norma hukum dan yang melatarbelakanginya (finansial, budaya, sosial) Hukum mengatur perilaku manusia dalam kaitannya dengan ketertiban hubungan antar manusia, dengan aturan yang tertentu dan baku.. Etik mengatur manusia dalam membuat keputusan dan dalam berperilaku (profesi), dengan menggunakan “dialog” antar beberapa kaidah moral, dengan hasil yang tidak selalu seragam. Cara berpikir yang melulu didasarkan kepada hukum akan membawa kita kepada “terpaku kepada peraturan” sehingga dinilai terlalu materialistik dan legalistik (Bottom-line ethics). Etik mendalami suatu masalah dengan tidak hanya melihat hal yang “material” (terlihat, terobservasi, terukur, dll), melainkan juga nilai yang berada di belakangnya. Penerapan prinsip-prinsip etika dan hukum harus selalu dijunjung tinggi oleh setiap dokter. karena akan menyelamatkan dokter dari gugatan dan tuntutan juga sekaligus merefleksikan pribadi dokter sebagai profesi yang luhur dan mulia sepanjang masa. Daftar Pustaka 1. Akhmad SA. Pendidikan Bioetika Islam di Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Tanpa tahun. 2. Bertens K. Etika. Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2005 3. Buku Penuntun skill lab Modul Etika dan Hukum Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 2005. 4. Buku tutor blok Bioetika dan Humaniora FK Unsyiah. Suryadi T, Effendy A (ed). Edisi 1. Tahun 2006. 5. Dahlan S. Hukum Kesehatan-Rambu-rambu bagi Profesi Dokter. Edisi 3. Penerbit Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang; 2005. 6. Darmadipura MS (ed). Kajian Bioetik 2005. Unit Bioetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya; 2005. 7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.Penerbit buku EGC. Jakarta; 1999. 8. Hanafiah MJ. Etika Kedokteran dan Ajaran Islam/ Penerbit Pustaka Bangsa Press. Medan. 2008. 9. Jacobalis S. Pengantar tentang perkembangan ilmu kedokteran, etika medis dan bioetika. Penerbit Sagung Seto. Cetakan I. Jakarta; 2005. 10. Kulsum. Mengenal Bioetika dan Humaniora. Kongres Nasional PDFI IV. Medan, 2007. 11. Martaadisoebrata D, Perkembangan Bioetika serta Aplikasinya. Seminar Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Jakarta 19-20 Maret 2003. 12. Purwadianto A. Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik. Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM 2007. 13. Purwadianto A. Kaidah Dasar Moral dan Teori Etika Dalam Membingkai Tanggungjawab Profesionalisme Dokter. Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM 2007. 14. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta; 2001. 15. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Informed consent. Dalam Bioetik dan Hukum Kedokteran. Pengantar untuk mahasiswa kedokteran dan hukum.cetakan pertama; Oktober 2005. 16. Suryadi T. Manajemen Konflik Hubungan Dokter Pasien Melalui Pendekatan Bioetika. Pertemuan Nasional JBHKI III. Surabaya. 2006. 17. Suryadi T. Pelayanan medik di instalasi gawat darurat RSU Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Ditinjau dari sudut pandang bioetika, hukum kedokteran dan HAM. Makalah akhir Program Non Gelar Bioetika, Hukum Kedokteran dan HAM 2007. 18. Wijono D. Manajemen mutu pelayanan kesehatan. Airlangga University Press. Surabaya ; 2000. 19. Wujoso H. Aspek hukum Undang-undang praktik Kedokteran. Kongres Nasional PDFI IV. Medan, 2007.