Menengok Kembali Intermediasi di Sektor Keuangan1 Dr. Agus Sugiarto2 Saat ini ramai dibicarakan mengenai masalah intemediasi di sektor keuangan khususnya intermediasi perbankan. Banyak kritikan ditujukan kepada sektor perbankan karena dianggap tidak mampu menyalurkan kredit sesuai yang diharapkan kalangan pengusaha. Kritikan pedas terhadap intermediasi perbankan muncul ditengah-tengah turunnya suku bunga SBI yang telah berlangsung sejak beberapa bulan terakhir, khususnya setelah suku bunga SBI menyentuh angka keramat dibawah 10%. Banyak kalangan menilai bahwa intermediasi perbankan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan dan suku bunga kredit dianggap masih tinggi. Dalam rangka menyikapi polemik tersebut alangkah baiknya kalau kita dapat menengok kembali permasalahan tersebut secara lebih mendalam dan menyeluruh dengan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dengan demikian kita akan memperoleh potret yang jelas mengenai proses intermediasi yang tidak hanya dilakukan oleh industri perbankan saja melainkan juga dilakukan oleh sektor keuangan secara kesluruhan. Intermediasi perbankan Sorotan keras terhadap sektor perbankan telah berlangsung sejak beberapa minggu terakhir ini berkaitan dengan masih kecilnya kredit yang mengucur dari perbankan ke sekotr riil. Apabila kita melihat Loan-to-Deposit Ratio (LDR) memang belum memperlihatkan kenaikan yang siknifikan selama tiga tahun terakhir (lihat Tabel 1) dari 33,01% pada tahun 2001 menjadi 38,24% pada tahun 2002 dan terakhir pada posisi Mei 2003 sebesar 41,2%. Namun demikian sebenarnya LDR bukan satu -satunya indikator untuk melihat besarnya pertumbuhan kredit atau intermediasi karena sebenarnya masih ada indikator lain sebagai alternatif yang dapat memperlihatkan pertumbuhan proses intermediasi. Indikator alternatif tersebut adalah berapa peningkatan kredit baru yang telah disalurkan perbankan ditarik oleh debitur (disbursed loan). Pengukuran dengan LDR merupakan pembagian antara posisi kredit 1 2 Artikel ini telah dimuat di harian Kompas, 24 Juli 2003. Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia Jakarta. 2 perbankan dengan posisi dana pihak ketiga (DPK) yang diterima bank. Dalam konsep LDR tersebut, posisi kredit yang dihitung adalah kredit secara bersih (netto) yang berarti kredit yang disalurkan perbankan sudah dikurangi dengan pelunasan, pembayaran bunga, penjualan maupun penghapusan (write off). Dengan memakai metode perhitungan seperti ini perubahan posisi kredit dari waktu ke waktu akan selalu lebih kecil dari jumlah kredit yang disalurkan, misalnya perbankan memberikan kredit baru sebesar Rp10 triliun pada bulan X, dan pada bulan yang sama terjadi pelunasan kredit maupun penghapusan sebesar Rp3 triliun, maka yang dihitung sebagai posisi kredit baru hanya Rp7 triliun. Dengan melihat data kredit baru (lihat Tabel 1) selama tiga tahun terakhir terlihat bahwa kredit baru selalu meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2001, kredit baru yang disalurkan oleh perbankan mencapai Rp56,8 triliun pada tahun 2001, kemudian meningkat 39,8% pada tahun 2002 menjadi Rp79,4 triliun. Apabila kredit baru yang telah disalurkan perbankan untuk tahun 2001 dan 2002 dijumlahkan, maka angkanya mencapai Rp136,2 triliun, yang berarti jumlahnya hampir sama dengan DPK yang berhasil dihimpun perbankan selama dua tahun tersebut yang jumlahnya mencapai Rp136,7 triliun. Untuk tahun 2003, sesuai dengan business plan bank-bank, penyaluran kredit baru ditargetkan sebanyak Rp90,5 triliun, yang berarti terjadi peningkatan sebesar 14% dari tahun 2002. Dari Rp90,5 triliun kredit baru yang disediakan perbankan untuk tahun 2003 tersebut, penarikannya sampai dengan Mei 2003 telah mencapai Rp28,5 triliun (31,5%). Apabila kita melihat data-data tersebut sangatlah jelas sekali bahwa sesungguhnya intermediasi perbankan telah berjalan, bukannya mandek! Masih ada kredit-kredit baru yang dikucurkan oleh perbankan ke sektor riil selama tiga tahun terakhir. Tabel 1. LDR (%) Kredit Baru (Triliun Rp) 2001 33,01 56,8 *) Mei 2003 **) Rencana realisasi kredit baru s.d.Des 2003 Sumber : Bank Indonesia 2002 38,24 79,4 2003*) 41,2 90,5**) 3 Alternatif sumber intermediasi Pembiayaan pembangunan untuk sektor riil dalam kenyataannya tidak semuanya bersumber dari perbankan. Pembiayaan suatu usaha tidak selamanya harus bersumber dari sektor perbankan, masih ada alternatif sumber pendanaan lainnya seperti misalnya dengan menerbitkan saham (equities) melalui pasar modal, penerbitan obligasi (bonds), pembiayaan dari perusahaan leasing atau multi finance, pembiayaan dari pegadaian maupun dengan menyisihkan laba usaha atau keuntungan yang telah diperoleh. Masing-masing sumber pembiayaan tersebut memiliki keuanggulan sendiri-sendiri dan pengusaha akan dengan mudah mencari sumber pembiayaan yang sesuai dengan kondisi usaha dan kemampuan masing-masing. Dengan demikian, perbankan bukanlah satu-satunya lembaga intermediasi untuk membiayai pembangunan ataupun suatu usaha. Data-data intermediasi keuangan di sektor non perbankan (lihat Tabel 2) juga memperlihatkan tren peningkatan selama dua tahun terakhir. Apabila kita melihat statistik pertumbuhan intermediasi di pasar modal khususnya kapitalisasi pasar dan penerbitan obligasi, maka akan terlihat bahwa intermediasi di sektor tersebut juga mengalami kenaikan. Kapitalisasi di pasar modal juga meningkat selama tiga tahun terakhir yang berarti terjadi penambahan emiten-emiten baru di pasar modal. Kapitalisasi pasar pada tahun 2001 sebesar Rp239,3 triliun pada tahun 2001, meningkat menjadi Rp 268,4 triliun pada tahun 2002 dan mencapai Rp320,7 triliun pada Mei 2003. Penerbitan obligasi oleh perusahaan swasta maupun BUMN juga semakin besar dari waktu ke waktu, yang berarti corporate bonds tersebut juga banyak diminati oleh sektor korporat. Total corporate bonds yang diterbitkan sampai dengan Februari 2003 telah mencapai Rp 21,5 triliun. Dengan demikian intermediasi yang dilakukan sektor keuangan non perbankan secara keseluruhan telah mencapai Rp 342,2 triliun sampai dengan Mei 2003. Jumlah ini walaupun lebih kecil dari posisi kredit perbankan yang mencapai Rp427,9 triliun pada periode yang sama, namun memberikan isyarat kepada kita semua bahwa lembaga keuangan lain diluar perbankan juga memberikan kontribusi yang cukup siknifikan dalam pembiayaan pembangunan di sektor riil. Sekali lagi perlu kita pertegas bahwa intermediasi di sektor keuangan sudah berjalan dan perbankan bukanlah satusatunya sumber pembiayaan usaha untuk sektor riil. 4 Tabel 2. Kapitalisasi Pasar Modal (Tr Rp) Coorporate bonds (Tr Rp) 2001 239,3 20,7 2002 268,4 21,4 2003*) 320,7 21,5 **) *) Mei 2003 **) Posisi Feb 2003 Sumber : BEJ dan BES Pengaruh suku bunga Peningkatan intermediasi yang terjadi di sektor keuangan memang sangat terkait sekali dengan penurunan suku bunga SBI yang memiliki kecenderungan menurun selama setahun terakhir. Dengan adanya rejim suku bunga SBI yang cukup rendah dan dibawah 10%, memberikan insentif bagi pengusaha kelas menengah dan besar untuk mencari alternatif pembiayaan lain di luar sektor perbankan. Apabila pengusaha meminta kredit dengan suku bunga diatas SBI, katakanlah 15%-16%, mungkin dirasakan cukup berat bagi pengusaha tersebut. Sebagai alternatifnya, pengusaha tersebut dapat melakukan penawaran saham kepada publik (initial public offering/IPO) untuk mencari sumber pemb iayan usaha yang lebih murah. Selain melakukan IPO, pengusaha tersebut juga dapat membiayai usahanya dengan menerbitkan obligasi perusahaan (corporate bonds) dengan rentang waktu jatuh tempo jangka panjang yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan tersebut. Suku bunga yang ditawarkan dalam corporate bonds tersebut mungkin akan lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga kredit yang ditawarkan oleh bank, sehingga lebih menarik untuk menerbitkan obligasi. Pengusaha akan mencari biaya dana (cost of fund) yang semurah mungkin karena dengan cost of fund yang rendah tersebut diharapkan dapat memperoleh keuntungan usaha yang lebih besar sehingga unsur cost of fund merupakan faktor fundamental dalam setiap pembiayaan usaha. Oleh karena itu di dalam lingkungan suku bunga yang rendah seperti sekarang ini pengusaha memiliki banyak alternatif pilihan sumber pembiayaan usahanya. Bank tidak lagi dilihat sebagai satu-satunya dewa penyelamat pembiayaan usaha mereka, terbukti dengan semakin maraknya perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun BUMN menerbitkan corporate bonds seperti misalnya Pegadaian, Jasa Marga, Oto Multiartha, Indofood dan sebagainya. Mereka akan mencari sumber pembiayaan yang paling murah dan efisien untuk kegiatan usaha mereka, tidak menjadi masalah bagi 5 pengusaha tersebut apakah pembiayaan tersebut harus berasal dari bank atau menggunakan jalur intermediasi yang lain. Dengan demikian jelaslah sudah bahwa fungsi intermediasi saat ini tidak hanya ditentukan sepenuhnya oleh sektor perbankan melainkan juga preference dari pada pengusaha sendiri atau peminjam itu sendiri untuk mencari sumber dana dari lembaga keuangan non bank lainnya.