Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan dimana

advertisement
Pendidikan inklusif adalah sistem pendidikan dimana semua anak
mempunyai hak untuk menerima jenis pendidikan yang tidak mendiskriminasikan
ketidakmampuan, etnik, agama, bahasa, gender, kapabilitas dan lain sebagainya,
termasuk anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus (UNESCO, 1994).
Sekolah diharuskan mengakomodasi semua anak tanpa mengabaikan kondisi
fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lain mereka, termasuk
anak cacat/berkelainan dan anak berbakat (UNESCO, 1994). Oleh karena itu,
semua guru dituntut memiliki pengetahuan dan kompetensi yang cukup dalam
mengajar beragam karakteristik dan kebutuhan siswa.
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu pelopor program inklusif di
Indonesia. Kabupaten Gunungkidul juga ditetapkan sebagai Kabupaten Inklusif
oleh Kementrian Pendidikan Nasional pada tanggal 27 Juni 2013. Pemerintah
daerah menunjuk sekolah-sekolah umum untuk menyelenggarakan program
pendidikan inklusif melalui Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan dan
Olahraga Kabupaten Gunung Kidul Nomor 420/109/KPTS/2011. Berdasarkan
wawancara dengan Ketua Kelompok Kerja Inklusif Dinas Pendidikan dan
Olahraga Kabupaten Gunung Kidul, Ibu Andari (2015), diketahui bahwa masih
terdapat kendala dalam implementasi pendidikan inklusif di lingkungan kabupaten
Gunungkidul terutama dalam peningkatan kompetensi guru reguler agar mampu
memfasilitasi anak-anak berkebutuhan khusus.
Peneliti juga melakukan studi pendahuluan yang dilakukan melalui
wawancara sejumlah sembilan guru dan dua kepala sekolah negeri yang ditunjuk
menjadi sekolah inklusif di Gunungkidul pada Maret-April 2015. Berdasarkan
studi pendahuluan tersebut diperoleh informasi bahwa pada umumnya sekolah
yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi pada awalnya merupakan sekolah
umum/reguler yang tidak didesain atau dipersiapkan secara khusus untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Pengetahuan guru mengenai konsep
pendidikan inklusif maupun pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus
masih minim. Sebagian besar guru di sekolah dasar negeri inklusif belum pernah
mengikuti pengayaan maupun pelatihan terkait pendidikan inklusif. Baru sekitar
1-2 orang dari masing-masing sekolah yang mendapatkan kesempatan mengikuti
pelatihan. Perwakilan guru tersebut diharapkan dapat menularkan pengetahuan
yang didapatkan melalui pelatihan maupun seminar. Namun, hal tersebut masih
belum dapat terwujud dengan optimal. Selain itu, seminar dan workshop yang
pernah diberikan hanya menyentuh sisi pedagogis, namun luput melihat sisi
psikologis dari peserta (guru).
Hasil studi pendahuluan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ishartiwi (2010) di Yogyakarta bahwa belum semua guru regular memiliki
kompetensi dalam memberikan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus
(ABK). Guru masih cenderung menganggap rendahnya hasil ketuntasan belajar
dan prestasi sekolah sebagai dampak keberadaan siswa ABK. Berdasarkan survei
Kumara (2015) di Gunungkidul terhadap guru sekolah inklusif juga diperoleh
informasi bahwa sebagian besar guru memiliki kendala dari sisi kompetensi
mendeteksi dan mendampingi ABK di kelas. Guru memiliki keterbatasan
pemahaman mengenai makna inklusif. Guru sebenarnya sudah menunjukkan
kepedulian terhadap adanya persamaan hak semua anak termasuk ABK namun
guru masih kurang memiliki keyakinan dalam menyelenggarakan pengajaran di
kelas. Penelitian oleh Haifani (2008) di Sekolah Dasar Negeri inklusif di
Yogyakarta dan Tegal Jawa Tengah menyimpulkan bahwa keterbatasan
pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengelolaan kelas inklusif tampak pada
perilaku meliputi guru menempatkan siswa ABK di bangku belakang, guru
cenderung mengabaikan siswa ABK saat KBM berlangsung, guru melabel siswa
ABK dengan “ndomblong”, usil, lelet, dan tidak paham, serta guru memberikan
materi pelajaran, target pencapaian dan metode belajar yang sama dengan siswa
reguler. Penelitian Jamaris, Tarjiah, dan Mulyeni (2014) menunjukkan bahwa
masih diperlukan usaha keras guna meningkatkan efektivitas dan kualitas program
inklusi di sekolah-sekolah. Penelitian oleh Sadioglu, Bilgin, Batu, dan Oksal
(2013) di negara berkembang juga menunjukkan bahwa umumnya guru sekolah
dasar masih memiliki sikap yang negatif terhadap inklusi, guru merasa kurang
mampu dalam mengajar anak berkebutuhan khusus.
Idealnya, guru di sekolah inklusif memiliki karakteristik kepribadian yang
sabar, penyayang, dan menunjukkan respek terhadap siswa (Sakarneh, 2004).
Guru juga sebaiknya memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis dalam
merencanakan isi pembelajaran dan menuangkan dalam catatan tentang perbedaan
setiap siswanya berdasarkan bidang dan rangkaian tujuan pembelajarannya
(Sakarneh, 2004). Berdasarkan paparan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
faktor guru menjadi salah satu kendala dalam implementasi pendidikan inklusi.
Arikunto (1993) berpendapat bahwa guru memiliki peran sangat penting dalam
proses pembelajaran. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar tetapi juga
sebagai pengelola, motivator, moderator, fasilitator, dan evaluator. Winter (2006)
mengatakan bahwa kesuksesan program inklusif tergantung pada pengetahuan,
keterampilan, dan kompetensi yang dimiliki guru. Guru perlu memiliki kesiapan
baik dari aspek keyakinan (belief), sikap, pengetahuan, keterampilan, serta
kompetensinya agar dapat menjadi guru yang efektif di sekolah inklusif.
Efikasi diri merupakan salah satu variabel yang konsisten berkorelasi
dengan pengajaran yang positif dan hasil belajar siswa (Penrose, Perry, & Ball,
2007). Pendapat tersebut diperkuat oleh penelitian Logan dan Wimer (2012), yang
menemukan bahwa faktor keyakinan (belief) terhadap kemampuan diri dalam
mengajar anak berkebutuhan khusus berpengaruh signifikan terhadap sikap guru
mengenai pendidikan inklusif. Efikasi diri (self efficacy) dikembangkan oleh
Bandura (1997) dari teori social cognitive. Efikasi diri merupakan keyakinan yang
dimiliki oleh seseorang mengenai kemampuan dirinya serta mempengaruhi
keyakinan dalam menyelesaikan tugas serta dalam melakukan performansi yang
optimal.
Efikasi
diri
seorang
guru
merupakan
keyakinan
guru
akan
kemampuannya dalam mempengaruhi pembelajaran dan kesuksesan siswa secara
positif (Denzine, 2005 dalam Cerit, 2010). Efikasi diri pada guru merujuk pada
tingkat keyakinan guru bahwa dirinya dapat menghasilkan perubahan yang lebih
baik dan dapat mempengaruhi perilaku serta hasil belajar siswa (Gibson &
Dembo, dalam Bandura, 1997).
Guru yang memiliki efikasi diri tinggi cenderung terbuka terhadap ide-ide
baru, memiliki keinginan yang besar untuk mencoba metode baru guna memenuhi
kebutuhan siswanya dan dalam menyelenggarakan pengajaran yang lebih baik
(Gibson & Dembo dalam Bandura, 1997). Selain itu, penelitian yang dilakukan
oleh Logan dan Wimer (2012) menemukan faktor keyakinan (belief) terhadap
kemampuan diri dalam mengajar anak berkebutuhan khusus berpengaruh
signifikan terhadap sikap guru mengenai pendidikan inklusif. Penelitian yang
dilakukan oleh Hofman dan Kilimo (2014) menemukan bahwa guru yang
memiliki efikasi diri yang rendah menghadapi permasalahan yang lebih banyak
dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif. Efikasi diri guru menjadi faktor
yang sangat penting dalam menyelenggarakan pendidikan, baik pendidikan secara
umum maupun pendidikan inklusif. Guru yang memiliki efikasi diri yang tinggi
dalam mendidik siswa dapat mempengaruhi peningkatan motivasi, harga diri, selfdirection, dan sikap-sikap positif terhadap sekolah. Guru yang memiliki efikasi
diri yang tinggi menurut Hofman dan Kilimo (2014) adalah sebagai berikut:
1. Guru mampu menggunakan metode mengajar yang adekuat dalam
mendorong kemandirian siswa berkebutuhan khusus
2. Guru mampu menggunakan managemen kelas yang adekuat dan bisa
menangani permasalahan di kelas
3. Guru mampu mengimplementasikan inovasi secara didaktis di kelas
4. Guru mampu mengajak semua siswa mengerjakan tugas
Berdasarkan kajian teori Bandura, Tschannen-Moran dan Hoy (2001)
menyimpulkan bahwa efikasi diri guru memiliki 3 aspek yaitu:
1. Aspek hubungan dengan siswa (student engagement)
Keyakinan guru dalam menjalin hubungan dengan siswa termasuk
dalam memotivasi dan menyelesaikan masalah dengan siswa. Beberapa
indikator yang ditunjukkan adalah guru menunjukkan rasa persahabatan,
membantu siswa menghadapi masalah, dan dapat menghadapi siswa yang
sulit.
2. Strategi instruksional (instructional strategies)
Keyakinan guru dalam membantu siswa untuk meraih prestasi
akademik. Indikator yang ditunjukkan pada aspek ini adalah memiliki
keyakinan dapat menjawab pertanyaan dari siswa, memiliki alternatif lain
dalam menjelaskan materi, dan mampu menciptakan penilaian bagi
pemahaman siswa.
3. Managemen kelas (classroom management).
Keyakinan guru dalam mengelola kelas menjadi terarah, tertib, dan
sesuai perencanaan. Indikator yang ditunjukkan adalah guru mampu
menangani masalah yang timbul di kelas dan memastikan perencanaan
mengajar terealisasi dengan baik
Teori Bandura (1997) menyebutkan bahwa efikasi diri tidak terbentuk
dengan sendirinya. Efikasi diri seseorang terbentuk melalui interaksi sebab akibat
antara kemampuan kognisi, pola perilaku, dan faktor lingkungan. Terdapat empat
sumber informasi yang membentuk efikasi diri yaitu pengalaman keberhasilan diri
(mastery
experiences),
pengalaman
keberhasilan
orang
lain
(vicarious
experiences), penghargaan sosial atau umpan balik atas kinerja (social
persuasion), dan kondisi fisiologis dan psikologis individu (physiological and
affective state). Efikasi diri guru dapat dikembangkan melalui kegiatan seminar
maupun kegiatan pendidikan lain seperti pengamatan dan pengalaman mengajar
(Ignat & Clipa, 2010). Program pelatihan merupakan faktor yang penting dalam
membentuk sikap positif guru terhadap pendidikan inklusi (Avramidis &
Norwich, 2002; Bornman & Donohue, 2013; de Boer, Pijl, & Minnaert, 2011).
Program pelatihan bagi guru reguler memiliki dampak yang besar dalam
peningkatan kapasitas guru guna mengimplementasikan pendidikan inklusi
(Bornman & Donohue, 2013; Sanger & Osguthorpe, 2011). Penelitian Ahmmed,
Sharma, dan Deppeler (2012), Akalin dan Sucuoglu (2015), Avramidis dan
Kalyva (2007), Chopra (2008), Lancaster dan Bain (2007), Potgieter-Groot,
Visser, dan Lubbe-de Beer (2012), Woodcock (2013), serta Wungu dan Han
(2009) juga menyebutkan bahwa pelatihan dan pendidikan terhadap guru perlu
dilakukan dalam meningkatkan kemampuan profesional. Berdasarkan hasil
analisis Kajian Kebijakan Kurikulum Pendidikan Khusus yang dilakukan oleh
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional (2008) diketahui juga bahwa para guru perlu diberikan pelatihanpelatihan guna meningkatkan kompetensi dalam menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusif. Temuan Kurniawati, Minnaert, Mangunsong, dan Ahmed
(2012) di Indonesia diketahui bahwa guru yang pernah mengikuti pelatihan
penanganan anak berkebutuhan khusus maupun pelatihan pendidikan inklusi
menunjukkan sikap yang lebih positif terhadap pendidikan inklusi. Oleh karena
itu, pelatihan terhadap guru perlu terus dilakukan guna meningkatkan kesadaran
guru terhadap kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Pelatihan juga terbukti
efektif dalam memodifikasi sikap guru terhadap pendidikan inklusi. Oleh karena
itu, peneliti akan mengadakan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan
efikasi diri guru yang mengajar di sekolah inklusif kecamatan Purwosari
kabupaten Gunung Kidul.
Pendidikan inklusif telah diselenggarakan di Indonesia sejak 2003 seiring
ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan studi
pendahuluan, diketahui bahwa Kementrian Pendidikan Nasional telah banyak
menyelenggarakan pembekalan berupa pelatihan maupun bimbingan teknis bagi
guru terkait pendidikan inklusif. Namun, pelatihan yang diselenggarakan lebih
bersifat teknis dan teoritis, kurang menyentuh sisi afeksi. Kegiatan yang
dilaksanakan berupa sosialisasi, bimbingan teknis, diklat implementasi kurikulum,
dan pembekalan administratif penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan
wawancara dengan guru-guru yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan
oleh
pemerintah
masih
merasa
kurang
yakin
dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusif. Pengembangan program peningkatan
efikasi diri guru diperlukan guna mengatasi masalah tersebut. Jamaludin Ahmad
(2007) mengatakan bahwa sebuah modul dapat bermanfaat dalam membantu
menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik pada individu. Sebuah modul
dikonstruksi dan dikembangkan melalui prosedur tertentu dan diuji validitas
reliabilitasnya.
Penelitian ini mengembangkan modul program berjudul “AKTIF (Asih
Kreatif Terampil InspiratiF) Diskusi Kasus” Modul dalam pelatihan “AKTIF
Diskusi Kasus” disusun berdasarkan Teacher Effectiveness Training (TET) yang
disusun
oleh
Gordon
(1986)
guna
meningkatkan
kemampuan
guru
menyelenggarakan pembelajaran yang efektif. Modul TET dikembangkan
berdasarkan teori person-centered dari Carl Rogers. Pemberian pelatihan tersebut
akan memperkaya pengetahuan serta keterampilan baik pedagogis maupun
psikologis guru. Terdapat enam keterampilan yang diajarkan kepada guru melalui
TET yaitu: (1) Mengamati perilaku dan mengidentifikasi permasalahan siswa
(Observing behaviours & identifying problem ownership) yaitu memahami
permasalahan yang muncul serta memahami pemilik masalah tersebut; (2)
Mendengarkan aktif (active listening) yaitu guru mendengarkan secara aktif
permasalahan siswa sehingga siswa merasa dihargai; (3) Membuka diri (self
disclosure) yaitu mengekspresikan pendapat dan perasaan secara jelas; (4)
Konfrontasi (confrontration) yaitu berhadapan langsung dengan siswa dalam
mengatasi konflik; (5) pemecahan masalah dengan menang-menang (no lose
conflict resolution) yaitu menyelesaikan konflik dengan menguntungkan kedua
pihak; (6) Mengatasi benturan nilai (values collision skills) yaitu melakukan
harmonisasi nilai-nilai yang bertentangan. Guru-guru di sekolah inklusif
diharapkan dapat menguasai keenam keterampilan mengajar efektif tersebut agar
mampu mengimplementasikan pendidikan inklusif secara optimal. Hal ini sesuai
dengan pendapat Smith (2006) mendeskripsikan ciri-ciri guru yang efektif bagi
siswa ABK dalam kelas inklusif ialah sebagai berikut; (1) Memiliki harapan
bahwa siswa akan berhasil, (2) Memberi pengawasan yang sering dan umpan
balik pada tugas siswa, (3) Memberikan penjelasan mengenai standar, tujuan, dan
harapan pembelajaran, (4) Fleksibel dalam menangani siswa, (5) Berkomitmen
dan memperlakukan siswa secara terbuka, (6) Bersikap responsif pada pertanyaan
dan komentar siswa, (7) Melakukan pendekatan yang terencana dalam pengajaran,
(8) Memiliki sikap yang hangat, sabar, dan humoris kepada siswa, (9) Teguh dan
konsisten, (10) Memiliki pendekatan tertentu untuk mengatur sikap peserta didik,
(11) Bersikap terbuka dan positif terhadap individual differencess pada anak-anak
maupun individu dewasa, (12) Memiliki kemauan untuk bekerjasama dengan guru
pendidikan khusus dan bersikap responsif dalam membantu orang lain, (13)
Mempunyai rasa percaya diri dan kompetensi sebagai guru, (14) Mempunyai rasa
keterlibatan dan pencapaian professional yang tinggi.
Program “AKTIF Diskusi Kasus” akan diberikan pada guru reguler yang
sekolahnya ditunjuk menjadi Sekolah Dasar Inklusif oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten Gunung Kidul. Latar belakang pengkhususan pada level Sekolah
Dasar ialah; (a) Guru cenderung bersikap lebih negatif jika mengajar siswa ABK
pada usia anak-anak dibandingkan remaja (Hastings & Oakford, 2003), (b)
Mengajar siswa ABK pada usia SD membutuhkan interaksi dan bantuan yang
lebih intens (Ratcliff, 2009), (c) Guru memerlukan strategi pembelajaran yang
lebih variatif untuk mengajar siswa ABK usia SD dibandingkan siswa ABK di
tingkat menengah (Cipkin & Rizza, 2003).
Dinamika proses pembelajaran peserta dalam penelitian ini dijelaskan
dengan teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura (1977)
dimana individu juga berperan aktif dalam proses perkembangan dan
pembelajaran.
Individu
belajar
melalui
proses
belajar
observasional
(observational learning). Terdapat empat proses yang dialami oleh peserta yaitu
perhatian, retensi, produksi perilaku, dan motivasi. Peserta akan melakukan
pengamatan dengan memperhatikan fasilitator (trainer) yang menjadi model.
Proses retensi terjadi ketika peserta melakukan proses mengingat perilaku maupun
materi yang sudah disampaikan oleh fasilitator. Peserta kemudian diberikan
kesempatan untuk melakukan produksi perilaku dengan mempraktikkan materi
yang telah diterima. Setelah melalui proses pelatihan, peserta akan memotivasi
diri sendiri untuk dapat mengaplikasikan hasil belajar di kehidupan nyata.
Pelatihan “AKTIF Diskusi Kasus” menggunakan metode diskusi kasus
dalam penyampaiannya. Diskusi merupakan proses berpikir bersama untuk
memahami masalah, menemukan penyebab, serta mencari pemecahannya
(Khamdi, 1995). Penelitian oleh Kaikkonen, Eskelinen, dan Aidukiene (2006)
menyimpulkan bahwa metode pembelajaran berbasis kasus mampu memunculkan
insight dan pemahaman dalam membuat kebijakan baru dan praktik penanganan
anak berkebutuhan khusus sehingga mendukung pengembangan sekolah inklusif.
Melalui metode kasus, guru akan terasah untuk mendapatkan gambaran kasus dan
pemecahannya (Gibson, 1998); menjembatani jarak antara teori dan praktik serta
mengembangkan keterampilan refleksi dan analisis (Darling-Hammond, 2006);
mengeksplorasi dan dan mengaplikasikan ide dan solusi di bawah pengawasan
para profesional (Lengyel & Vernon-Dotson, 2010). Kauffman (2005)
menyebutkan bahwa metode kasus memungkinkan pembelajar untuk memahami
materi dengan lebih kaya dengan mengkaji situasi nyata dibanding hanya dengan
membaca buku teks. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di
delapan sekolah dasar diketahui bahwa karakteristik anak berkebutuhan khusus
(ABK) di daerah Gunungkidul merupakan anak lamban belajar. Hal ini sesuai
dengan survei Kumara (2015) di Gunungkidul yang menyimpulkan bahwa dari
sebanyak 65 anak yang diasses ditemukan sebanyak 56 anak mengalami kesulitan
belajar akademik lamban belajar. Oleh karena itu, diskusi kasus yang dilakukan
pada penelitian ini memfokuskan pada kasus anak dengan lamban belajar. Shaw
(2010) mengungkapkan beberapa karakteristik anak lamban belajar yaitu
mempunyai
intelegensi
rendah
dan perfomansi akademik rendah, sulit
memahami konsep yang abstrak, sulit mengorganisasikan materi baru dan
mengasimilisasi informasi yang masuk ke dalam informasi yang sebelumnya,
membutuhkan pengulangan serta penjelasan secara konkret (nyata), dan motivasi
akademik rendah. Oleh karena itu, kasus-kasus yang akan didiskusikan dalam
penelitian ini adalah kasus anak dengan lamban belajar.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Talvio, Lonka, Komulainen,
Kuusela, dan Lintunen (2013), program TET terbukti memberikan hasil yang
signifikan dalam peningkatan pengetahuan serta keterampilan guru. Guru
mengalami
peningkatan
keterampilan
pembelajaran
sosial
emosional.
Berdasarkan penelitian Tschannen-Moran dan Hoy (2001), Betoret (2009), dan
Guo (2011) diketahui bahwa program TET yang mengajarkan enam keterampilan
mengajar yang efektif memuat faktor-faktor yang erat kaitannya dengan efikasi
diri guru. Oleh karena itu, program “AKTIF Diskusi Kasus” yang merupakan
penyesuaian dari program TET untuk meningkatkan efikasi diri guru reguler yang
sekolahnya ditunjuk menjadi sekolah inklusif.
Proses peningkatan efikasi diri guru melalui proses pelatihan dapat
dijelaskan berdasarkan teori sosial kognitif (Bandura, 1997). Empat sumber
efikasi diri yang telah dibahas sebelumnya merupakan kunci pembentukan dan
peningkatan efikasi diri individu. Pertama, pengalaman keberhasilan (mastery
experience) yaitu proses dimana individu belajar melalui pengalamannya sendiri
serta menunjukkan performansinya dalam pelatihan. Keberhasilan telah yang
diperoleh guru akan meningkatkan efikasi dirinya dalam mengajar siswa
berkebutuhan khusus. Kedua, pengalaman tak langsung (vicarious experience)
dengan melakukan pengamatan terhadap perilaku atau pengalaman keberhasilan
orang lain. Fasilitator (trainer) melalui penyampaian materi dan pengalaman
dalam proses pelatihan menjadi sumber efikasi bagi guru. Ketiga, persuasi dari
fasilitator berupa pemberian umpan balik, saran, maupun dorongan terhadap
performansi guru menjadi sumber meningkatnya efikasi diri guru. Keempat,
kondisi fisiologis dan psikologis guru mempengaruhi efikasi diri guru. Pemberian
pengetahuan, dukungan, dan motivasi oleh fasilitator terhadap guru diharapkan
dapat mengurangi rasa kebingungan dan ketegangan yang dialami guru dalam
menghadapi anak berkebutuhan khusus.
Kondisi Guru:
- Sekolah reguler yang ditunjuk
untuk menjadi sekolah inklusif
- Kurang mendapat sosialisasi dan
pembekalan mengenai
pendidikan inklusi
- Pandangan yang negatif terhadap
kemampuan ABK
- Pemahaman yang sempit tentang
pendidikan inklusi dan
pengetahuan terbatas tentang
ABK
- Merasa kurang yakin bisa
mengimplementasikan
pendidikan inklusi di kelas
Pelatihan guru dengan modul
“AKTIF Diskusi Kasus” memuat
4 sumber efikasi diri
Pengetahuan
dan
keterampilan
meningkat
1.
2.
3.
4.
Proses belajar melalui
observational learning:
attention process
retention process
motor reproduction process
motivational process
Gambar 1. Peta Pemikiran
Efikasi diri
meningkat
Berdasarkan gambar di atas disimpulkan bahwa pelatihan “AKTIF (Asih
Kreatif Terampil dan Inspiratif) Diskusi Kasus” merupakan upaya untuk
meningkatkan efikasi diri guru dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi Modul “AKTIF Diskusi Kasus”
untuk meningkatkan efikasi diri guru dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusif.
Russell
dan
Johanningsmeier
(1981)
berpendapat
bahwa
modul
merupakan sebuah paket instruksional berdasarkan unit konseptual materi
persoalan yang spesifik. Modul meliputi langkah-langkah guna membantu
individu memahami dan menguasai suatu materi atau kompetensi tertentu. Modul
bisa diterapkan dalam kelompok besar, kelompok kecil, maupun individual.
Durasi modul bisa bervariasi tergantung tujuan yang ditetapkan. Penggunaan
multimedia menunjang penerapan modul agar lebih mudah dipahami oleh
pembelajar.
Russell (dalam Ahmad, Sulaiman, Abdullah, & Shamsuddin, 2009;
Ahmad, Amat, Yahaya, Yusof, & Alias, 2011) telah memperkenalkan sebuah
model konstruksi modul. Menurut Russell, ada beberapa langkah yang dilakukan
dalam penyusunan modul yaitu memahami subjek yang menjadi target modul,
memahami tujuan modul, memiliki alat ukur yang digunakan untuk mengetahui
pencapaian tujuan, uji coba pada subjek terbatas, dan validasi modul. Modul yang
baik mampu diterapkan dalam berbagai situasi, baik secara individual maupun
kelompok, diterapkan dalam kegiatan akademik maupun non akademik. Modul
harus mampu membawa perubahan positif bagi subjek.
Terdapat beberapa prosedur dalam melakukan konstruksi dan uji validitas
reliabilitas modul. Berikut adalah prosedur yang dikemukakan oleh Russell seperti
yang diterapkan dalam penelitian Ahmad dkk (2009), Ahmad dkk (2011) dan
Zuki dan Hamzah (2014). Prosedur terdiri dari dua tahapan besar yaitu validasi isi
dan pengujian empirik. Prosedur yang dilakukan guna memvalidasi isi modul
adalah:
a) Menyiapkan draft modul yang melibatkan beberapa orang ahli
b) Menyelenggarakan workshop dan forum diskusi yang terdiri dari
beberapa ahli guna membahas draft modul
c) Memperbaiki draft modul sesuai dengan masukan yang didapat dari
workshop dan forum diskusi
d) Melakukan validitas konten dengan meminta masukan dari ahli yang
kompeten di bidang yang hendak diteliti serta ahli bahasa
e) Memperbaiki draft sesuai dengan feedback yang diperoleh dari ahli
Tahap kedua yaitu uji empirik. Prosedur guna melakukan pengujian secara
empirik dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:
a) Melakukan uji coba pada subjek terbatas
b) Melakukan perbaikan sesuai feedback yang diperoleh dari uji coba
c) Melaksanakan penelitian pada subjek yang sebenarnya
d) Menguji efektivitas modul dengan menggunakan desain penelitian
eksperimental (mengukur pretest & posttest).
Proses validasi Modul “AKTIF Diskusi Kasus” dilakukan berdasarkan
pendapat Russell (dalam Ahmad dkk, 2009; Ahmad dkk, 2011; Zuki & Hamzah,
2014) yaitu melalui dua tahap yaitu tahap validasi isi (content validity) dan uji
empiris pada subjek terbatas. Validasi isi dilakukan dengan melibatkan tiga orang
ahli yang berkompeten di bidang psikologi dan pendidikan inklusif. Validasi isi
dilakukan untuk masing-masing sesi dan keseluruhan isi modul. Validasi masingmasing sesi akan diukur dengan menggunakan rumus Aiken’s V, sedangkan
validitas isi keseluruhan modul dianalisa berdasar Tuckman & Waheed (dalam
Ahmad, 2009; Ahmad dkk, 2011; Zuki & Hamzah, 2014). Tahap kedua yaitu
ujicoba modul secara empiris. Modul yang telah diuji validitas isinya diterapkan
pada subjek yang sesuai dengan sasaran modul.
Download