BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergulatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pergulatan antara Islam dan
agama lokal atau sekarang lebih sering disebut
sebagai penghayat kepercayaan lokal menjadi sebuah kajian yang menarik untuk
ditelurusi lebih dalam dan spesifik. Ada beberapa peneliti yang telah mengkaji tentang
keagamaan yang ada dalam masyarakat Jawa, yaitu Geertz, Hefner, Beatty,
Kuntjaraningrat, dan Budiwati yang menjelaskan bahwa ada pertemuan yang unik antara
agama Islam, agama lokal dan budaya lokal. Dari sudut pandang antropologi, Geertz
(1968:16) menjelaskan tentang agama Islam yang ada di Jawa, dia menyatakan bahwa
Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam yang mudah menyesuaikan diri, menyerap,
dan bersifat pragmatis dan menempuh cara yang berangsur-angsur. Mengadakan
kompromi-kompromi parsial, dan perjanjian yang setengah-setangah, hasilnya adalah
Islamisme yang tidak berpetensi sebagai ajaran yang murni dan konprehensip. Tidak
memiliki semangat yang berkobar-kobar, melainkan memiliki semangat yang toleran.
Perbedaan wujud Islam dalam masyarakat Jawa tidak lepas dari proses
pendekatan dan proses penyebaran Islam di Jawa, dimana dalam hal ini terdapat dua
pendekatan : pendekatan pertama disebut “Islamisasi Jawa”. Melalui pendekatan ini
Budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun
substansial. Adapun pendekatan kedua adalah “Jawanisasi Islam”, yang diartikan sebagai
upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya
Jawa. Pada cara ini, meskipun istilah-istilah dan nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai
yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam, sehingga menjadi “men-Jawa” (Sofwan
dalam Amin, ed., 2002:119). Sebagaimana diketahui, salah satu keunikan Islam yang
masuk ke Indonesia adalah corak yang bersifat sufistik, (Drewes, dikutip dalam Haris,
1991:37). Corak sufisme Islam ini tampaknya mudah akrab dengan lingkungan Jawa
(Sitompul, 1989: 36). Berabad-abad lamanya, masyarakat Jawa sudah terbiasa untuk
memahami kegiatan-kegiatan religius sebagai sarana untuk menambah tenaga batin atau
kekuatan gaib, dan mereka melihat agama Islam yang sufistik dalam cahaya yang sama
(Suseno, 1996: 31).
Islam yang masuk ke Jawa adalah corak Islam yang mudah menyesuaikan diri
(Dirdjosanjoto, 1999: 32), yakni Islam yang dipelopori oleh pedagang Gujarat dari India
dan dalam suatu bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme, mistik Islam. Oleh karena
itu, agama Islam tanpa goncangan-goncangan besar dapat diterima dan diintegrasikan ke
dalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Mereka mempertahankan sebagian
besar kebudayaan Hindu-Jawa (dalam tradisi jawa pewarta-pewarta pertama Islam, para
wali, bahkan dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan). Dan ciri mistik Islam
mencocokkannya tanpa kesulitan ke dalam pandangan dunia Jawa tradisional. Dari
proses integrasi itu, lahirnlah kebudayaan santri Jawa (Suseno, 1996:32). Jika dilihat dari
sejarah masuknya agama Islam di Jawa, tidak mengherankan jika Islam yang ada di Jawa
dengan kepercayaan lokal
sebelumnya melakukan akulturasi, dan menimbulkan
sinkretisme Islam dan beberapa kepercayaan lokal atau sering disebut sebagai “agama
lokal” mengadopsi beberapa ajaran agama Islam, Istilah dan penggunaan kata-kata pun
juga beberapa mengambil dari istilah agama Islam. Sejarah masuknya agama Islam di
Jawa dipaparkan karena akan membatu untuk menganalisa problematika yang ada dalam
penelitian ini.
Agama atau kepercayaan yang disinyalir sudah ada sebelum terbentuknya Negara
Republik Indonesia, terkadang disebut agama lokal (Mattulas,1982; Hasse J,2010, Ibnu
Qoyim, 2004), atau agama tradisional (Erni Budiwanti, 2000) dalam penelitian ini penulis
akan menggunakan agama lokal untuk menyebut kepercayaan yang dianut oleh penganut
kabatinan Purwa Ayu Mardi Utama. Dimana para penganut agama lokal ini dalam
perkembangannya mengalami berbagai problematika yang tidak lepas dengan legitimasi
tentang agama resmi dan berbagai praktek keagamaan yang dicekal. Penelitian Ibnu
Qoyim (2004) 1 misalnya, membahas mengenai berbagai masalah yang dihadapi beberapa
kelompok agama lokal di Indonesia, yaitu Tengger, Parlamin, Badui, Towani, Tolotang
dan Patuntung, kelompok-kelompok tersebut dalam sejarahnya mengalami berbagai
tindakan diskriminasi, seperti tidak adanya kebebasan dan pembatasan gerak dalam
menjalankan ajaran, maupun formalisasi agama mereka dalam agama resmi. Pada kurun
waktu 2005-2007, yayasan interseksi menerbitkan dua buku 2 yang membahas mengenai
permasalahan yang juga dihadapi oleh beberapa agama lokal. Yayasan ini menyebutkan
istilah yang berbeda untuk agama lokal tersebut. Yaitu istilah komunitas dan kelompok
minoritas. Agama-agama lokal yang disebut sebagai kelompok minoritas itu juga
diberitakan menghadapi berbagai masalah dalam perjumpaannya dengan Negara maupun
lingkungannya. Orang Dayak Pitap, Orang Wana, orang Sedulur Sikep, Wetu telu di
Lombok juga mengalami diskriminasi dalam bentuk konversi ke dalam agam resmi,
1
Ibnu
Qoyim,
Agama
dan
Pandangan
Hidup
masyarakat
Towani
Tolotong,
dalam
http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/serachkatalog/byId/6295, terakhir diakses 31 Oktober 2013
2
Masing-masing buku Hak Minoritas:Dilema Multikulturalisme di Indonesia (2005), dan buku Hak Minoritas:
Multikulturalisme dan dilema Negara Bangsa (2007)
sehingga jumlah mereka diberitakan mengalami penurunan yang signifikan. Purwa Ayu
Mardi Utama juga tidak lepas dari pencekalan-pencekalan dalam melaksanakan
peribadatan keagamaan mereka. Pendopo 3 tempat mereka melakukan peribadatan di
vakumkan dengan berbagai alasan salah satunya ialah adanya anggapan tentang aliran
sesat dan tidak ada pengakuan Negara tentang agama lokal ini.
Lalu bagaimana sebenarnya pengakuan negara terhadap agama-agama lokal?
Indonesia sebenarnya bukan negara agama, negara sekuler, ataupun negara yang
mengakui salah satu agama sebagai agama resmi, seperti Malaysia. Indonesia adalah
negara pancasila yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dimana semua pemeluk
agama harusnya diperlakukan sama sebagai warga Negara. 4 Namun, bila dilihat kondisi
saat ini negara secara formal hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu. Dengan demikian agama-agama tersebut memiliki
representasi dikementrian agama baik ditingkat pusat maupun daerah. Agama-agama
tersebut juga dengan leluasa dapat melaksanakan ajaran agama, ibadah maupun
perayaannya.
Pengakuan negara terhadap agama tertentu yang disebut sebagai agama dunia
(world religion) menyebabkan agama-agama lokal sering mengalami penindasan, selalu
dalam posisi termarjinalkan, tersudut antara lain melalui pemaksaan untuk memeluk
suatu agama dan kepercayaan tertentu untuk mendapatkan identitas resmi dan dijamin
dalam hukum sebagai warga negara. Kebijakan Negara melalui regulasinya bahkan
dikatakan menyebabkan semakin punahnya agama-agama lokal tersebut. Tetapi disisi
3
Pendopo adalah tempat ibadah, istilah yang digunakan oleh penganut agama lokal Purwa Ayu mardi Utama dalam
berkumpul dan melalukan ritual kepercayaan mereka
4
Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, http://kemenag.go.id/file/dokumen/AntaraNegara diakses
tanggal 31 oktober 2013
lain, kepunahan itu juga digunakan pemerintah untuk menarik perhatian dan lebih terlihat
sebagai daya tarik sebuah wilayah untuk para wisatawan asing dan lokal. Dua hal yang
berbeda tetapi terjadi dalam sebuah masyarakat. Hal ini terlihat saat Desa Kemiren
menjadi Desa Adat dengan dukungan pemerintah Daerah, menawarkan beberapa budaya
tradisional tidak terkecuali dengan keberadaan agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama.
Desa yang terkenal sebagai Desa adat dengan masyarakat yang religius dan memiliki
tradisi keagamaan yang unik memberikan daya tarik yang lebih bagi peneliti dan
wisatawan luar mapun lokal.
Secara umum, dalam masyarakat yang religius, para pemuka agama memainkan
peran yang sangat signifikan dalam berbagai spektrum sosial. Mereka merupakan elite
masyarakat yang dapat mendeterminasi berbagai macam keputusan-keputusan sosial
yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam komunitas tertentu. Sepak terjang
mereka (elite masyarakat) yang dominan dan hegemonik dalm panggung sosial,
menstumulasi berbagai kalangan ilmuan sosial untuk menelaahnya dengan berbagai
macam perspektif. Karena itulah, diskursus tentang elite sosial tidak pernah berhenti
dalam rentang gerak historis kehidupan umat manusia. Dalam wacana sosiologis,
terminologi “elite” sudah digunakan semenjak abad ketujuhbelas, awalnya penyebutan
“elite” ini dipergunakan untuk menyebut barang dagangan yang mempunyai keutamaan
khusus (berkualitas tinggi). Kemudian terminologi ini penggunaannya bergeser pada
penyebutan terhadap kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasarkan pada
posisi-posisi sosial yang tinggi, seperti kesatuan militer yang utama dan kalangan
bangsawan. 5 Para elite yang memiliki kekuasaan dan menggunakan kekuasaannya untuk
tujuan dan kepentingan tertentu.
Bagi masyarakat Jawa, dalam rangka mengakumulasi kekuasaan mereka mencari
legitimasi dari nilai-nilai tradisional yang hidup dalam image kultural mereka. Seperti
halnya image tentang pulung ia menjadi penanda bagi seseorang berhak atau tidak
sebagai penerus dari pemimpin terdahulu. Bila tidak punya, ia harus mencari laku, seperti
tapa brata atau semedi ke tempa-tempat wingit. Pusaka yang mempunyai kemampuan
mistik pun dicari. Laku yang dilakukan oleh Pangeran di Ponegoro dalam perang Jawa
(1825-1830), itu memenuhi kebutuhan dan keabsahan sebagai penguasa spiritual. Dalam
masyarakat Jawa, gelar dan kelengkapan kebangsawanan harus pula dilengkapi dengan
penguasaan spiritual. 6 Oleh karena itu, sebelum memberontak terhadap belanda,
pangeran Diponegoro memilih berziarah ke tempat-tempat suci, makam-makam orang
suci dan penguasa-penguasa terdahulu, sama seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung.
Dalam perjalanan itu ia sering berdoa dan bertapa. Bertapa dulu dan sekarang dalam
budaya jawa selalu dihubungkan dengan pengumpulan kekuatan magis. Ziarah dan laku
tapa yang dilakukan oleh pangeran Diponegoro dan atau pengikutnya atas suruhannya tak
lain juga ingin mendapatkan wisik dari dunia supranatural.
Akan halnya masyarakat Jawa kontemporer, ada kecenderungan untuk mencoba
mengambil nilai-nilai publik yang bersumber dari agama. Agama yang penuh simbol dan
code ritual yang bermuatan transendental diambil sebagai atribut baru bagi elite-elite
politik dan juga kelas menengah. Desa Kemiren misalnya, para pemimpin adat dan
5
Tom B. Bottomore, Kelas, Elite dan Masyarakat, dalam sartono kartodirdjo (ed), kepemimpinan dalam dimensi
sosial (Jakarta:LP3ES, 1990) hal.24
6
Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press) hal. 55
agama memiliki kekuatan untuk memainkan peran sebagai elite dalam masyarakat.
Mereka memiliki kharisma karena dianggap sebagai orang yang lebih mengerti tentang
agama, budaya dan sejarah diwilayah Kemiren. Pengkultusan yang diawali dari adanya
garis keturunan nenek moyang dan dianggap sudah lebih dekat dengan Tuhan Yang
Maha Esa, serta lebih mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan mistisisme.
Berbekal itulah mereka menjadi pemilik otoritas yang kuat sebagai tokoh kharismatik
yang lebih sering disebut sesepuh Desa.
Masih terbilang jarang penelitian tentang hubungan yang terjalin antara penganut
agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama dengan komunitas muslim. Penjelasan tentang
bagaimana kehidupan sehari-hari mereka, tentang perubahan sosial-budaya yang
melibatkan keduanya dan para pemimpin terkait, akhirnya
menimbulkan adanya
perbedaan keterlebitan mereka dalam hal politik, ekonomi dan budaya, dan tentang
posisi keduanya dalam struktur masyarakat. Kita tahu bahwa penganut agama lokal
secara umum tidak tertarik dengan dunia perpolitikan, mereka lebih mengutamakan
bagaimana cara mereka bermasyarakat dan menyatukan diri dengan Tuhan. Tetapi, hal
itu terbantahkan ketika masuk dalam situasi dan objek yang akan dikaji oleh peneliti. Ada
beberepa aktor masyarakat yang mebenturkan tentang bagaimana konstruksi masyarakat
pada umum terhadap penganut agama lokal. Saat melibatkan komunitas muslim dalam
ranah pekerjaan misalnya, jika akan melakukan pekerjaan yang berkaitan tentang
pertanian dan perkebunan, kemunitas muslim yang memiliki modal akan dengan jelas
memilih dan memilah siapa yang dijadikan tukang buruh 7 mereka. Mereka tidak akan
7
Istilah yang digunakan untuk pekerja buruh sawah. Dalam masyarakat Banyuwangi, klasifikasi dalam pekerjaan
dilakukan sesuai dengan keahlian perorangan atau kelompok. Sehingga dalam bidang pertanian, pembagian itu pun
melibatkan dari penganut agama lokal untuk ikut dalam kegiatan mereka. Dalam
beberapa hal, seperti dalam sebuah kelembagaan serta pekerjaan, komunitas muslim dan
penganut agama lokal tidak saling melibatkan diri satu sama lain, seolah mereka saling
berdiri sendiri dan tidak peduli. Dari latar belakang diatas, bisa kita lihat bahwa jika
disebuah lingkungan terdiri dari masyarakat yang beragama Islam dan agama lokal,
bagaimana kehidupan sosial mereka, dengan adanya perbedaan itu apakah ada faktor
historis yang mempengaruhi bagi keduanya dalam menjalin relasi, dalam hal apa sajakah.
Hal ini akan membawa tulisan ini pada sebuah rumusan masalah dalam bagian
selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini ialah mengapa perbedaan keyakinan dan ideologi berpengaruh pada
keterlibatan mereka dalam struktur kelembagaan desa?
1.3 Tujuan Penelitian
Melacak genealogi (asal-usul) dan menganalisis karakteristik secara historis yang
mempengaruhi pembedaan keterlibatan penganut agama Islam dan agama lokal pada
struktur kelembagaan yang dipengaruhi oleh perbedaan keyakinan dan ideologi.
1.4 Tinjauan Pustaka
berlaku, contohnya; ahli menanam padi, ahli ngemess (memupuk dan mengambil rumput yang ikut tumbuh saat
padi mulai membuah) ahli membajak sawah dan lainnya.
Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah untuk
memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, yang
relevan dengan tema yang terkait. Minat para Ilmuan terhadap fenomena agama sudah
tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 beberapa nama seperti Edward B.Taylor (18231917), Hebert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917) dan Sir James
G.Fraser (1854-1941) adalah nama yang tidak asing ditelinga para sarjana antropologi
dan sosiologi. Tokoh-tokoh ini pada umumnya lebih tertarik pada agama-agama
primitive. Secara garis besar mereka berpandangan bahwa kebudayaan dan masyarakat
suku-suku bangsa itu adalah kebudayaan dari masyarakat yang sederhana dan primitive,
dan oleh karena itu bersifat kuno atau merupakan sisa-sisa kebudayaan manusia kuno.
Kajian yang lebih ilmiah mengenai agama baru muncul pada abad ke-19. Mulai
saat itu hingga menjelang 1950-an muncullah karya-karya sosiologi agama yang sering
disebut dengan sosiologi agama klasik. Periode klasik ini terutama dikuaisai oleh dua
pakar sosiologi
yang terkenal, yaitu Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber
(1864-1920) dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
Dikalangan ilmuan sosial studi tentang agama biasanya tidak terlepas dari dua hal, yaitu
agama sebagai bagian dari kebudayaan dan agama sebagai intitusi sosial (Hendropuspito,
1996:111) mereka berusaha mencari elemen-elemen , pola-pola dan prinsip-prinsip yang
ditemukan dengan seragam pada agama-agama disemua tempat dan waktu (Pals, 1996:4).
Ada beberapa penelitian yang menjelaskan tentang persoalan-persoalan interaksi
antara agama Islam, agama lokal dan budaya lokal, pada intinya melibatkan suatu
pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat
absolute karena berasal dari tuhan dan kebudayaan yang masih dipertahankan dengan
menanamkan nilai-nilai budaya lokal yang kurang lebih dianggap berbeda dengan ajaran
agama. Penelitian yang berkaitan tentang Islam di Jawa dan perjumpaan Islam dengan
budaya menjadi menarik saat Cliffotz Geertz menulis The Religion Of Java (1960) yang
menjadi refrensi klasik, tentang perjumpaan Islam dan budaya Jawa dan perkembangan
sosial yang telah terhenti dalam tiga varian “santri”, “abangan”, dan “priyayi”. Dia
menjelaskan tentang pergulatan keagamaan yang ada di Pare dengan nilai-nilai budaya
lokal, lebih melihat dari kacamta antrologis. Geertz (1983:112) mengidentifikasikan
Islam Jawa yang sinkretik dengan mengasosiasikannya dengan segala sesuatu yang
berlatar belakang Hindu-Buddha. Riset Geertz meninggalkan pertanyaan yang belim
terjawab tentang mengapa kemenangan Islam begitu meyakinkan, Geertz juga tidak
memandang Islam dan Culture Jawa sebagai tradisi muslim yang besar. Geerts
meninggalkan sejarah proses Islamisasi di Jawa yang dilakukan Walisongo. Bagaimana
walisongo mengadopsi budaya lokal dan memasukkanya kedalam tradisi Islam (pkibj,
2004: xiv)
Koentjaraningrat (1994 : 310-311) membagi masyarakat muslim Jawa menjadi
dua, yakni Islam Jawa dan Islam santri, yang pertama kurang taat pada syariat dan
bersikap sinkretis dengan menyatukan unsur-unsur PraHindu, Hindu dan Islam.
Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan akjaran-ajaran agama Islam dan
bersifat puritan. Namun demikian meskipun tidak sekental pengikut agama Islam Jawa
dalam hidup keagamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh Animisme
dan dinamisme dan hindu-buddha. Koenjaraningrat mendiskripsikan sistem religi dan
budaya masyarakat petani dan membuat tipologi atas mereka.
Beatty (1999:38) menilai pertemuan Islam dan budaya lokal akan membawa pada
sinkretisme. Sinkretisme merupakan sistematisasi interrelasi elemen-elemen dari berbagai
tradisi untuk merespon pluralitas dan perbedaan kultur. Sinkretisme lebih mengacu pada
dinamika. Beatty mengikuti pengertian yang dibuat oleh Stewart (1995). Sinkretisme
adalah konsep yang mengarah pada akomodasi, konteks, kelayakan, indigenisasi dan
wadah bagi proses antar budaya yang dinamik. (beatty, 2001:3)
Budiwati (1995: 345) menjelaskan Islam wetu telu di Lombok bukan sebuah
sinkretisme semata akan tetapi sebuah proses menuju kemurnian Islam. Akan tetapi jika
mengikuti tipologi Geertz maka wetu telu dekat dengan abangan dan dekat dengan santri.
Sumber sentral ajaran Islam wetu telu adalah pengetahuan adat bukan pengetahuan
tentang Islam. Adat menjadi refrensi sentral dari peribadatan wetu telu. Bagi pemangku
adat bayan wetu telu tidak sesederhana pengertian yang dibuat wetu telu dengan
mengartikan “waktu tiga”. Ada tiga unsur ajaran dalam wetu telu diantaranya; (i) rahasia
atau asma yang terpancar dalam tubuh manusia (ii) simpanan ujud allah yang
termanisfestasi dalam adam dan hawa (iii) kodrat Allah adalah kombinasi dari lima
indera (bersal dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi adam dan hawa. Masing-masing
kodrat allah yang bisa ditemukan ditiap lubang-lubang ditubuh manusia mulai dari mata
hingga anus. (1995: 138-139).
Penelitian Beatty, Kuntjaraningrat, Geertz dan Budiwati merupakan penelitian
agama dan tradisi dalam komunitas yang sangat dipengaruhi oleh adat. Beatty, Budiwati
dan Kuntjaraningrat mengikuti tipologi Geertz. Mereka memiliki penilaian yang sama
bahwa pertemuan agama dan budaya lokal membawa pada sinkretisme meskipun mereka
berbeda dalam menginterpretasikan sinkretisme. Analisis mereka lebih melihat agama
secara praksis. Hanya sedikit melihat struktur kosmologis sinkretis.
Penjelasan mengenai bagaimana ideologi keduanya tidak disinggung secara jelas.
Padahal jika dilihat dari sudut pandang teologis, pertemuan dua ideologi berbeda ini
menghasilkan kosmologi baru bagi masyarakat yang meyakininya. Ideologi agama Islam
bersumber dari tauhid dengan menyembah Tuhan Tunggal. Sehingga pola hubungan
manusia dan Tuhan bersifat horizontal. Dan dalam agama sinkretis pola hubungan
manusia dan Tuhan bukan sekedar sebuah hubungan horizontal semata antara dua titik,
manusia dan Tuhan, melainkan ada elemen lain yang disebut ruh, alam kasat mata
(metafisik) dan makhluk-makhluk Tuhan lain sebagai penghubung. Padangan tersebut
oleh Simuh disebut sebagai jagad cilik dan jagad gede atau mikrokosmos(lesse being)
dan makrokosmos (suprem being). Jagad cilik merupakan representasi manusia dan
jagad gede adalah alam semesta. Maka harus ada keselarasan dan keseimbangan dalam
membina hubungan manusia dengan alam. Jika dalam pengertian itu akan sedikit sulit
melihat perbedaan ideologi yang muncul antara Islam dan agama lokal (baca:kebatinan
PAMU) sehingga dalam kerangka teori nanti peneliti akan berusaha membedakan dengan
jelas adanya perbedaan ideologi diantara keduanya.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1
Ideologi menurut Louis Althusser
Althusser adalah salah seorang tokoh yang membahas tentang Ideologi,
dia mengkritik konsep ideologi yang telah dilakukan oleh pendahulunya yaitu
marx. Dia mengatakan bahwa Marxisme Klasik terlalu menekankan determinisme
ekonomi sebagai faktor dominan yang membentuk sekaligus mengikat masyarakat.
Determinisme ekonomi yang demikian melupakan pengaruh berbagai institusi yang
lain dalam pembentukan masyarakat. Marxisme Klasik berpendapat bahwa
masyarakat telah dibelenggu oleh ekonomi/infrastruktur sehingga kaum proletar
harus merebut alat-alat produksi agar dapat mewujudkan masyarakat tanpa kelas. 8
Dengan demikian ideologi, menurut Marxisme klasik, adalah representasi dari basis
ekonomi (daya dan relasi produksi). Namun, bagi Althusser ekonomi bukanlah
satu-satunya faktor yang membentuk masyarakat. Ada berbagai institusi (agama,
pendidikan, keluarga, perangkat hukum, dan lain-lain) yang bekerja membawa
ideologi. Ada berbagai kekuatan determinisme (overdetermining) –ekonomi,
politik, cultural- yang saling bekerja dan berkompetisi satu dengan yang lain dan
membentuk sebuah masyarakat yang kompleks. Kemudian Althusser mengkritik
Marx yang berpendapat bahwa ideologi hanyalah ‘sebuah kesadaran palsu’ dari
faktor ekonomi yang membentuk istitusi-institusi sosial. Karena itu Althusser
kemudian memberikan definisi tentang ideologi. Justru ideologi akan membentuk
kesadaran seseorang akan realitas dirinya. Melalui ideologi orang-orang akan
menghidupi hubungannya dengan kondisi riil eksistensinya (John Storey, 162).
Memang ada pengaruh ekonomi di dalamnya, tetapi ekonomi bukan pembentuk
ideologi yang dominan. Ideologi bekerja relative otonom dengan caranya sendiri.
Dengan demikian ideologi memiliki kekuatan untuk menunjukkan kekuasaannya
dengan caranya sendiri terhadap berbagai perkembangan sosial. Ideologi lebih
merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan sekedar seperangkat ide yang
dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas sosial lainnya. Fakta bahwa segenap
8
Louis Althusser. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Yogyakarta: Jalasutra,
2008) 17-18
kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak berarti bahwa praktik itu sendiri
melayani kelas dominan. Yang dimaksud oleh Althusser adalah bahwa ideologi
bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang diberikan oleh marx, karena ideologi
bekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginspirasi cara
berfikir dan cara hidup tertentu segenap kelas. Dan Kekuasaan tidak lepas dari
unsur-unsur ideologi yang dimunculkan untuk mendominasi dan mempengaruhi.
Menurut Althusser, ideologi menekan bagaimana kekuasaan kelompok yang
dominan dalam mengontrol kelompok lain.
Ada berbagai pengertian tentang ideologi yang bisa digunakan untuk
memahami ideologi dalam penelitian ini. Ideologi merupakan sistem keyakinan
atau representasi sosial dari kelompok atau kelas tertentu (Aabischer, Deconclhy &
Lipiansky, Agustinos, Farr and Moscovici dalam Teun A.Van Djik). Van djik lebih
jauh mengatakan bahwa seperti halnya tidak ada bahasa pribadi, maka tidak ada
juga ideologi pribadi atau personal. Sistem keyakinan tersebut dibagi bersama
antara anggota dalam suatu kelompok. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk
oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat dimana ia hidup,
posisi sosial, pembagian kerja dan sebagainya.
Ideologi tidak hanya ada dalam hubungan Negara dengan rakyatnya,
ataupun antar majikan dengan buruh. Ideologi ada dalam berbagai hubungan,
termasuk dalam relasi orang per orang. Ideologi ada dalam tiap orang, meskipun
orang tersebut tidak menyadarinya. Jadi, ideologi bukanlah sebuah kesadaran palsu,
melainkan
sebuah
ketidaksadaran
yang
tertanam
di
individu.
Bahkan
ketidaksadaran itu begitu mendalam (profoundly councious) sehingga bagaimana
prakteknya dalam diri manusia tidak disadari. Ideologi masuk dan bekerja melalui
berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat seperti perangkat hukum,
keluarga, agama, pendidikan, dan lain-lain. Dengan berdasar pada perangkatnya,
dapat dibagi menjadi 2, yakni Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological
State Apparatus (ISA). Repressive State Apparatus (RSA) bekerja dengan cara
represif dengan memakai kekerasan melalui apparatus/alat negara seperti polisi,
militer, pengadilan, penjara. Termasuk juga penculikan/penangkapan para aktivis.
Sementara Ideological State Apparatus (ISA) bekerja dengan cara persuasive
‘memasukkan’ ideologi kepada individu melalui pendidikan (sekolah), agama,
media, keluarga, industri budaya, dan sebagainya. 9 Melalui ISA, ideologi tidak lagi
hanya sebentuk ide, namun berada dalam praktik material yang hidup, seperti ritual,
kebiasaan, pola perilaku, cara berfikir, bahasa, dan sebagainya. Jadi ideologi dapat
membentuk budaya hidup seseorang, serta berpengaruh dalam formasi sosial.
Bahwa formasi sosial (social formation) ditentukan oleh relasi produksi, perlu
diterangkan sedikit mengenai praktik (practice). 10
Dia menjelaskan tentang praktik-praktik reproduksi dari pelbagai relasi
produksi. Bagi althusser, yang dimaksud dengan praktik adalah proses perubahan
(transformation) bahan mentah tertentu menjadi produk tertentu; perubahan ini
dikerjakan oleh manusia tertentu, menggunakan alat produksi tertentu. Praktik ini
terjadi paling tidak dalam emat level berbeda, yaitu praktik ekonomi, politik,
ideologi, dan ilmu pengetahuan. Praktik ekonomi meliputi penggunaan tenaga kerja
dan alat produksi untuk mengubah bahan material menjadi produk yang berguna
9
Louis Althusser. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis, cultural studies (Yogyakarta: Jalasutra,
2008), hal.19
10
Ibid. hal. 35-37
bagi masyarakat. Praktik politik mengubah relasi soaial sebagai bahan mentah
menjadi bentuk relasi sosial baru. Praktik ideologi mengubah cara anggota
masyarakat memahami pengalamanan hidupnya (yaitu lewat representasi dan
persepsi) menjadi cara pemahaman baru. Praktik teoritis atau saintifik mengolah
objek dan sarana produksi sendiri, yaitu pengetahuan untuk menciptakan
pengetahuan baru.
Relasi produksi tidak boleh dipahami melulu sebagai relasi antarmanusia
sebagai manusia saja, tetapi relasi mereka sebagai pelaku produksi, yakni relasi
antara mereka yang mempunyai fungsi tertentu dalam produksi bahan mentah (baik
ekonomi, politk, ideologis maupun ilmu pengetahuan) wujud relasi ini tergantung
pada bagaimana cara masing-masing berkait dengan alat-alat produksi- apakah
mereka mengusai bahan mentah dan alat produksi atau sebagai pelaksana semata. 11
Bagi althusser yang penting diperhatikan oleh intelektual adalah menentukan siapa
yang menguasai dan mengontrol bahan baku, alat produksi dan jalannya produksi
tersebut. Tanpa masuk terlalu dalam dalam teori formasi sosial, cukuplah disini
mengatakan bahwa bagi althusser untuk memahami masyarakat, yang diperlukan
bukanlah mengani essensi dan hakekat manusia seperti dilakukan oleh para marxis
humanis, tetapi mencermati bagaimana relasi produksi dalam masyarakat terjadi.
Althusser sama sekali tidak mengatakan bahwa ideologi harus
dihilangkan karena menimbulkan kesadaran palsu. Sebaliknya, sebuah masyarakat
tidak mungkin bertahan tanpa ditopang oleh ideologi. Bagi Althusser ideologi
adalah sistem kepercayaan yang berperan untuk menjaga dan memperkuat relasi
11
Louis Althusser. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis, cultural studies (Yogyakarta: Jalasutra,
2008) hal. 47
sosial suatu masyarakat: “ideologi is a system (with its own logic an rigor) or
representation, (images, myths, ideas, or concept, depending on the case) endowed
with a historical existence and role within a given society. (Ideologi adalah sistem
(dengan logikanya sendiri dengan kekakuannya) atau representasi, (gambar, mitos,
ide, atau konsep, tergantung pada kasus) yang diperkuat dengan keberadaan sejarah
dan peran dalam suatu masyarakat tertentu). 12
Dalam sebuah hubungan sosial, hubungan yang terjalin dari setiap
individu ke individu yang lain tidak leluasa bisa benar-benar dapat menentukan
sikap dan tindakan. Sebagian besar dari sikap dan tindakan seorang individu
dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh individu-individu lain yang menjadi bagian
dari kelompok, komunitas atau masyarakat tempat afiliasinya. Kelompok atau
masyarakat tersebut acapkali mempunyai kekuatan memaksa seorang individu
untuk bersikap dan bertindak sesuai degan berbagai hal yang telah menjadi
kesepakatan bersama. Kekuatan memaksa tersebut kerapkali terlihat amat kokoh.
Mengapa? Karena dalam kelompok, komunitas atau masyarakat terhadap normanorma, nilai-nilai sosial dan pengetahuan yang dibangun, disosialisasikan dan
dipelihara sebagai bingkai identitas siapa saja yang terhimpun didalamnya.
Norma-norma, nilai-nilai dan pengetahuan tersebut memang bisa
berubah, tetapi karena mempunyai kekuatan memaksa, maka individu-individu
tersebut segera dapat membuat justifikasi baru dan menyesuaikan diri. Setiap
individu yang berprilaku dengan cara tertentu, mengadopsi sikap praktis tertentu,
ditambah lagi dengan berperan dalam praktik-praktik berkala tertentu yang
merupakan pelbagai praktik aparatus ideologi (agama, pendidikan, keluarga,
12
Ibid, hal. 77
hukum, politik, komunikasi, serikat buruh dan budaya). Karena ISA dalam hal ini
lebih terlihat privat dari pada RSA yang sepenuhnya berada pada wewenang publik,
dan menggunakan ‘kekerasan’ dalam berkuasa melalui represif (termasuk represif
fisik), sedangkan ISA menggunakan ideologi melalui nilai-nilai yang diajukan
secara internal. Walaupun demikian, ritunitas hidup menawarkan contoh yang
menjelaskan keterjalinan kombinasi-kombinasi yang barangkali tersurat dan tersirat
dari kesalingpengaruhan antara RSA dan ISA.
Dalam ISA, ideologi tidak lagi hanya sebentuk ide, namun berada dalam
praktik material yang hidup, seperti ritual, kebiasaan, pola perilaku, cara berfikir,
bahasa, dan sebagainya. Pengaruh dari pendidikan, agama dan lingkungan dapat
menjadi ideologi yang membentuk budaya hidup seseorang, serta berpengaruh
dalam formasi sosial. Misalnya, bagi masyarakat Kemiren, ideologi berperan
memberi kerangka untuk memaknai pengalaman hidupnya, peran ideologi dalam
sebagian masyarakat tidak menjadi penting saat dihadapkan pada struktur ekonomi
atau politik (berlaku pada orang yang tidak memiliki kepentigan). Ideologi
kerukunan 13 yang diyakini oleh sebagian masyarakat itu lebih penting dari pada
materi. Ideologi tersebut terlihat dalam hubungan keseharian orang per orang,
ideologi yang ada di setiap orang hanya saja tidak disadarinya. Disisi lain ideologi
kerukunan menjadi alat untuk mengambil simpatisan massa. Ideologi digunakan
oleh sebagian orang yang memiliki kepentingan dalam perwujudan kekuasaan.
13
Konsep kerukunan dalam agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama sudah menjadi pola fikir yang tanpa disadari oleh
masayarakat Desa Kemiren. Dalam ajaran PAMU terdapat ajaran-ajaran yang menjelaskan tentang kerukunan dan
hal itu dijelaskan secara spesifik, pembagian-pembagian tentang kerukunan: Harus rukun antar Jiwa, Harus rukun
antar Wisma, Harus rukun antar tetangga Desa, Harus rukun antar tetangga Negara.
Ideologi juga muncul disebagian masyarakat (komunitas muslim) tidak
lepas dari hal-hal magis yang selalu meliputi sebuah upaya untuk mencapai kontrol
atas lingkungan eksternal. Kontrol yang akan diperoleh melalui perwujudan
kekuasaan. banyak cara yang digunakan untuk memeperoleh kekuasaan, baik
secara ritual keagamaan melalui upacara-upacara penyucian atau melalui interaksi
keseharian sambil menyisipkan ide-ide yang disebarkan pada orang lain. Agama
lokal (kebatinan Purwa Ayu Mardi Utama) pun juga melakukan hal yang sama.
Contoh, pemujaan dewa lokal dan nenek moyang dalam sebuah ritual rutin,
dipimpin oleh para pemimpin yang mempunyai kharisma 14 dan itu akan
mempengaruhi pengokohan sistem sosial-politik yang ada dikalangan penganut
agama lokal maupun masyarakat yang masih mempercayai tentang hal-hal magis
yang berfungsi sebagai peneguhan kekuasaan pada struktur sosial masyarakat
magis.
Kekuasaan suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada jumlah
anggotanya serta sumber-sumber ekonomi kemampuan tekniknya, melainkan pada
kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya. Suatu keyakinan yang dianut secara
fanatik oleh semua anggota masyarakat seringkali memperbesar kekuasaannya. 15
Keyakinan atau ideologi tersebut digunakan sebagai perekat hubungan sosial yang
mengikat anggota masyarakat bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-
14
kharisma dalam tulisan ini bisa dipahami sebagai orang yang lebih mengerti tentang agama, budaya dan sejarah
diwilayah Kemiren. Pengkultusan yang diawali dari adanya garis keturunan nenek moyang dan dianggap sudah
lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta lebih mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan mistisisme.
Berbekal itulah mereka menjadi pemilik otoritas yang kuat sebagai tokoh kharismatik yang lebih sering disebut
sesepuh Desa.
15
Bertrand Russell. Kekuasaan: Sebuah Analisis Sosial Baru. (Jakarta:Obor, 1988)hal. 110
norma yang disepakati secara kolektif. dalam hal tertentu ideologi merupakan
pelembagaan dalam masyarakat dari dunia yang nyata.
Seperti yang ada dalam rumusan masalah diatas, mengapa perbedaan
ideologi dan keyakinan membedakan keterlibatan mereka dalam srtuktur
kelembagaan masayarakat? Kemudian mengapa keterlibatan penganut agama lokal
PAMU hanya terbatas pada lembaga adat? Apakah mereka tidak tertarik atau
memang telah dibatasi oleh pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan untuk
menguasai. Mereka (komunitas muslim dan penganut agama lokal) seperti saling
menghegemoni, sekat dalam praktik-praktik pekerjaaan. Pembagian yang jelas
terlihat jika penganut agama lokal hanya terlibat dalam lembaga adat, sedangkan
komunitas muslim pada aparatur Desa. Jika dilihat dari perkembangan sebuah Desa
Kemiren. Seharusnya yang terjadi adalah para pemimpin adat dan pemimpin
budaya lokal serta penganut agama lokal yang mengurus serta mengatur untuk
perkembangan Desa dan berada posisi di pemerintahan serta kelembagaan Desa.
Karena mengingat bahwa Desa Kemiren menjadi pusat kebudayaan Banyuwangi
yang dilestarikan oleh pemerintah dan para pemimpi adat dan penganut agama
lokal lebih mengetahui tentang sejarah kebudayaan Kemiren. Lalu mengapa yang
terjadi berbeda? Mengapa komunitas muslim yang berada dalam pemerintahan
Desa? Ada istilah “demi kepentingan umum” atau “demi kemaslahatan untuk
segala lapisan masyarakat” yang biasanya dipakai sebagai pemberanan terhadap
penggunaan kekuasaan dari peraturan pemerintahan Daerah untuk sekelompok
orang sehingga mau tidak mau harus menerima kebijakan yang telah ditetapkan.
Pemimpin desa, pemimpin adat, pemimpin agama menggunakan ideologi
dalam pengukuhan kekuasaannya, memelihara, menjelma secara halus dan
tersembunyi.
Pemimpin
agama
(komunitas
muslim)
misalnya,
mereka
menggunakan ideologi, nilai-nilai dan ide-ide kepercayaan tentang Tuhan yang
diyakininya secara konseptual digunakan untuk pengukuhan kekuasaan dalam
sebuah masyarakat, lembaga dan aparatur Desa. Mereka juga menggunakan
aparatur Negara (represif) karena mereka memiliki legitimasi agama resmi di
Negara ini. Hal itu bisa terjadi karena di bawah ideologi penguasa, yang merupakan
ideologi kelas penguasa, yang pada dasarnya memegang kekuasaan Negara,
memiliki aparatus Negara (RSA) yang siap melayani, membuat kita menerima
bahwa kelas penguasa yang sama aktifnya dengan aparatus Negara Ideologis.
Bukan hanya aparatus Negara Ideologis yang bekerja, tetapi juga aparatus Negara
(represif) yang mengukuhkan kekuasaan. Jika bentuk ideologi melalui ISA
merupakan bentuk yang dipakai Negara untuk memperkuat represi dan penindasan
terhadap rakyatnya. Maka sama halnya dengan sebagian orang yang memiliki
kepentingan, mereka menggunakan agama untuk menguasai dan menghegemoni
masyarakat dilingkungannya. ISA juga sering digunakan untuk melanggengkan
RSA dan berbagai represi yang dihasilkannya.
Bukan suatu kebetulan jika dalam pembagian kerja pada kehidupan
sehari-hari mereka membedakan antara komunitas sendiri atau komunitas orang
lain. Saat melibatkan komunitas muslim dalam ranah pekerjaan misalnya, jika akan
melakukan pekerjaan yang berkaitan tentang pertanian dan perkebunan, kemunitas
muslim yang memiliki modal atau penguasa bahan mentah dalam bahasa Althusser,
mereka akan dengan jelas memilih dan memilah siapa yang dijadikan pekerjanya.
Mereka tidak akan melibatkan dari penganut agama lokal untuk ikut dalam kegiatan
mereka. begitupun sebaliknya. Dalam beberapa hal, seperti dalam sebuah
kelembagaan serta pekerjaan, komunitas muslim dan penganut agama lokal tidak
saling melibatkan diri satu sama lain, seolah mereka saling berdiri sendiri dan tidak
peduli. Dalam keterlitabatan mereka di sebuah lembaga Desa memberikan
gambaran bahwa ada distingsi yang terjadi diantara keduanya.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bercorak deskriftifanalitik tentang pergulatan Islam dan agama lokal, dalam perspektif sosiologi
lebih memusatkan kajiannya pada fenomena keagamaan yang terjadi diantara
Islam dan penganut agama lokal. Dengan demikian, penelitian ini lebih
merupakan jenis “penelitian keagamaan” (religious research), bukan jenis
“penelitian agama” (research on religion). Jika “penelitian agama” lebih
menekankan pada materi agama atau agama sbagai doktrin sebagaimana antara
lain sudut teologis; maka “penelitian keagamaan” lebih menekankan pada agama
sebagai sistem atau system keyakinan (religous system) yang sasarannya agama
sebagai gejala sosial. 16
16
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Cetakan IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002) hal. 35-36
Sebagai mana lazimnya studi atau penelitian sosiologi agama atau
penelitian keagamaan, maka fokus kajian tentang kehidupan mereka, relasi yang
terjadi diantara orang-orang Islam dan penganut agama lokal Purwa Ayu Mardi
Utama. Lebih ditekankan pada interaksi agama dan kehidupan pemeluknya dalam
masyarakat, yang membentuk format agama sebagai konstruksi sosial dalam
kehidupan pemeluknya. 17 Kendati jenis penelitian lebih merupakan penelitian
keagamaan, namun dalam penelitian ini hingga batas tertentu aspek tertentu dari
ajaran atau doktrin agama pun ditelaah pula, terutama untuk mengetahui dimensi
keyakinan dan paham keagamaan yang dianut oleh para penganut agama Islam
dan agama lokal. Hal itu karena dimensi agama dan keagamaan tidak sepenuhnya
atau secara mutlak dapat dipisahkan, kendati dapat dibedakan satu sama lain.
Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologi. Definisi awal mengenai fenomenologi berangkat dari pemahaman
tokoh
filsafat
Edmund
Husserl
(1895-1838),
yang
mencoba
untuk
mengedepankan pengalaman individu yang intim dan mengarah pada pengalaman
empiris. Menurut Moleong (2000:9), fenomenologi bertujuan untuk memahami
arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu.
Dalam
mengkaji
fenomena
agama,
para
sosiolog
memfokuskan
perhatiannya pada tiga aspek, yaitu (1) mengkaji agama sebagai sebuah persoalan
teoritis terutama dalam upaya memahami tindakan sosial; (2) menelaah kaitan
antara agama dan berbagai wilayah sosialnya seperti ekonomi, politik dan kelas
17
Michael. C. Northcott, “Persepektif Sosiologis”, dalam Peter Connolly (ed), aneka perspektif studi Agama,
terjemahan (Jogjakarta: LkiS, 2002) hal.267
sosial; dan (3) mempelajari peran, organisasi dan gerakan-gerakan keagamaan. 18
Dalam konteks penelitian ini, cara pandang terhadap fenomena tentang pergulatan
antara Islam dan penganut agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama, terlepas dari
asumsi-asumsi yang melekat pada satu ideologi semata. Akan lebih mengarah
kepada proses mereka dalam melakukan relasi dan dampak pada kehidupan
sehari-hari dari keduanya.
1.6.2
Lokasi Penelitian
Desa Kemiren merupakan satu diantara 8 desa dan 2 kelurahan di
Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, yang merupakan ujung utara
perbatasan Kecamatan Glagah dengan Kecamatan Giri, diapit sebelah barat Desa
Tamansuruh dan sebelah Timur Kelurahan Banjarsari. Kondisi Sosial Budaya
masyarakat Desa Kemiren, Bahasa sehari-harinya ialah Using, Adat yang berlaku
di Desa Ider bumi , Slametan Desa.
Kesenian yang dimiliki Desa Barong,
Angklung, Gandrung dll. Kondisi Sosial Budaya dan Budaya Masyarakat Desa
Kemiren untuk para Remaja selain sekolah mereka juga mengikuti paguyubanpaguyaban seni, seperti Gandrung, Barong dan lain sebagainya. Setiap dua kali
seminggu setiap paguyuban seni itu latihan ala kesenian mereka dan sering ada
acara-acara pernikahan, penyambutan tamu, sunatan, dan acara-acara besar
menggunakan kesenian yang berpusat pada Desa Kemiren ini. Desa Kemiren tidak
hannya terkenal dengan keseniannya saja, tetapi juga masyarakatnya yang mistis.
Masyarakat Kemiren masih sangat mempercayai akan hal-hal yang berkaitan
dengan mistis dan ghaib, percaya dengan kekuatan-kekuatan leluhur nenek moyang,
18
Robert N. Bellah. Beyond beliefe: esei-esei Agama di Dunia Modern, terjemahan (jakarta: Paramadina,
2000)hal.xy
walaupun mereka beragama Islam. Kepercayaan adat atau kepercayaan yang
tradisional itu masih dilakukan oleh masyarakat kemiren, dan adat memberikan
sesaji masih kuat, baik ketika akan panen, atau akan melakukan hajat dan
melakukan hal-hal yang dianggapnya penting dan perlu restu dari nenek moyang
dari Desa Kemiren ini.
1.6.3
Pemilihan Informan
Pemilihan informan penting dilakukan agar penelitian ini dapat memberikan
informasi yang berkatian dengan penelitian untk menjawab permasalahanpermasalahan penelitian. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan bahwa
mereka adalah orang yang memiliki pengetahuana atau pengalaman mengenai
objek yang diteliti. Individu dan komunitas yang terlibat langsung. Dalam
penelitian ini informan yang dipilih adalah anggota dari aliran kebatinan Purwa
Ayu Mardi Utama dan pihak-pihak yang beragama Islam “santri”.
1.6.4
Metode Pengumpulan Data
1.6.4.1 Interview
Interview atau wawancara ialah langkah pertama untuk mendapatkan data
dalam penlitian ini. Wawancara ialah metode pengumpulan data atau informasi
dengan cara tanya jawab secara langsung untuk mendapatkan informasi pada
informan. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap
informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang
digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. 19 Tahap
19
Bungin, B. Analisis Data Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2003)hal.25
awal ialah autoanamnesa, yaitu wawancara dengan subjek atau responden karena
dengan hal ini peneliti akan mendapatkan data yang bisa dikatakn valid dalm
penilainan penelitian karya ilmiyah. peneliti juga saat melakukan wawancara
berusaha memulai dengan pertanyaan yang mudah, ini untuk memncing
emosional agar membuat keadaan santai mengalir tetapi tetap fokus dalam
tujaun utama. 20 Memulai dengan beberapa contoh informasi-informasi yang
faktual, menghindari pertanyaan multiple, dan tidak akan menanyakan
pertanyaan pribadi sebelum building raport.
Dalam penelitian ini peneliti memulai dengan pertanyaan seputar
pemahaman informan tentang pengalaman keagamaan dan efek agama dalam
kehidupan keseharian informan. Dalam kurun waktu 3-4bulan peneliti tinggal
dan telah menjelajahi daerah ini, peneliti masuk sebagai seorang mahasiswa
yang tidak memiliki keterikatan personal dengan siapapun, hingga memudahkan
peneliti dalam mengambil data yang berkaitan dengan tema ini. Ketika peneliti
merasa ada yang rancu atau kurang jelas peneliti akan ada ulang kembali
jawaban untuk klarifikasi, hal ini dilakuakan agar memberikan kesan positif
sehingga menimbulkan image yang murni penelitian. Tidak yang bersifat
subjektive, tetapi objektive. Kegiatan wawancara ini dilakukan dengan pimpinan
desa setempat, tokoh masyarakat, terutama tokoh spiritual Islam dan agama
lokal dan masyarakat yang aktif terlibat dalam kegiatan sosial-politik, beberapa
pertanyaan meliputi tentang apa yang mempengaruhi perbedaan keterliban
PAMU dengan Islam dalam struktur kelembagaan, apa yang menjadi pemicu
20
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,(Bandung : Remaja Rosdakarya,2001)hal.173
dan apa kepentingannya. Dan beberapa pertanyaan lain yang menjadi pedoman
wawancara dilampirkan pada halaman akhir.
1.6.4.2 Observasi
Metode pengumpulan data yang merupakan hasil perbuatan jiwa secara
aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan yang
diinginkan, atau suatu bidang studi yang sistematis tentang keadaanatau
fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan
mencatat. 21 Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang
(tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan
perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan
gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk
membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan
pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap
pengukuran tersebut. 22
Dengan observasi peneliti akan mendapatkan tentang informasi dan
kondisi dilapangan. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas yang
rutin dilakukan oleh penganut Purwa Ayu Mardi Utama dan Islam. Penelitian
dengan orang yang terlibat langsung, lebih tepatnya ialah observasi partisipan,
mengikuti semua kegiatan yang dilakukan subjek.
23
observasi ini biasa
dilakukan peneliti dalam tempat yang terbuka. Dengan melakukan wawancara di
sawah dan sesekali
peneliti berkeliling desa sehingga lebih mudah dalam
memahami daerah ini. bersama dengan beberapa yang menjadi key informan
21
Mardalis, Metode Penelitian;Suatu Pendekatan Proposal(Jakarta: Bumi Aksara,1995)hal. 63
Bungin, B. Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Prenada Media Group,2007)hal.115
23
Irawan Sohatono, metode penelitian sosial, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1999)hal.70
22
peneliti melakukan observasi ketempat-tempat beribadatan PAMU melihat
aktifitas penganut PAMU dan Muslim dalam keseharian keduanya.
1.6.4.3 Dokumentasi
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk
dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat,
catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama
data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara
detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat
pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau
swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.24
Dengan menggunakan dokumentasi peneliti akan bisa lebih mudah meneliti dan
memahami onjek dilapangan, karena dengan adanya beberapa foto dan
dokumentasi wawancara mempermudah dalam menganalisi dan juga digunakan
sebagai penguat pembenaran penelitian ini.
1.6.5
Metode Analisis Data
Analisis kualitatif pada dasarnya memposisikan ‘bahasa’ (language) dan
sejarah (history), secara bersamaan, sebagai titik tolak dalam setiap proses
konstruksi makna. Karena itu, manusia (human being), dan segala bentuk tindakan
sosial (social action) mereka, tersusun dan terbentuk dari pemahaman atas kedua
aspek tersebut, yaitu bahasa dan sejarah. Menggunakan pendekatan fenomenologi
termasuk dalam kategori pendekatan metodologi yang interpretatif , maka anlisis
24
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Jogjakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2000.)hal.23
data dalam studi ini memberikan penekanan pada dunia pengalaman (teh world of
experience) sebagaimana dialami, dirasakan dan dijalani oleh aktor social. Subjek
penelitian. Bersifat deskirptif yaitu menggambarkan karakteristik suatu masyarakat
atau suatu kelompok.
25
Adapun untuk data yang diperoleh dari hasil wawancara
dalam pemaparannya adalah menggunakan interpretasi peneliti
Proses analisis dengan memadukan fakta yang terdapat dilapangan dan
selanjutnya
menganalisanya,
menjelaskan
pokok-pokok
persoalan
dan
mendapatkan kesimpulan akhir dari masalah. Proses analisis penelitian ini
berangkat ketika data mulai dikumpulkan. Mekanisme yang dilakukan dalam
menganalisis data berdasarkan pada fakta dan konteks sosial. Dengan menggunkan
unit proses dan unit struktural. Pengambilan kesimpulan menggunakan perpaduan
logika deduktif dan induktif yang juga berdasarkan narasi pelaku. Dasar analisis
yang digunakan berpijak pada konsep hubungan budaya, perubahan dan peristiwa
sosial yang ada (kartodirdjo, 1993). Dialektis kualitatif (wertheim) dimana agama
diperlakukan
sebagai
ideologi
sosial
yang
terkait
banyak
pada
perkembangan dan perubahan sosial secara proposional juga digunakan.
25
Irawan Sohatono, metode penelitian sosial, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1999)hal. 35
proses
Download