BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pergulatan antara Islam dan agama lokal atau sekarang lebih sering disebut sebagai penghayat kepercayaan lokal menjadi sebuah kajian yang menarik untuk ditelurusi lebih dalam dan spesifik. Ada beberapa peneliti yang telah mengkaji tentang keagamaan yang ada dalam masyarakat Jawa, yaitu Geertz, Hefner, Beatty, Kuntjaraningrat, dan Budiwati yang menjelaskan bahwa ada pertemuan yang unik antara agama Islam, agama lokal dan budaya lokal. Dari sudut pandang antropologi, Geertz (1968:16) menjelaskan tentang agama Islam yang ada di Jawa, dia menyatakan bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam yang mudah menyesuaikan diri, menyerap, dan bersifat pragmatis dan menempuh cara yang berangsur-angsur. Mengadakan kompromi-kompromi parsial, dan perjanjian yang setengah-setangah, hasilnya adalah Islamisme yang tidak berpetensi sebagai ajaran yang murni dan konprehensip. Tidak memiliki semangat yang berkobar-kobar, melainkan memiliki semangat yang toleran. Perbedaan wujud Islam dalam masyarakat Jawa tidak lepas dari proses pendekatan dan proses penyebaran Islam di Jawa, dimana dalam hal ini terdapat dua pendekatan : pendekatan pertama disebut “Islamisasi Jawa”. Melalui pendekatan ini Budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun substansial. Adapun pendekatan kedua adalah “Jawanisasi Islam”, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan kedalam budaya Jawa. Pada cara ini, meskipun istilah-istilah dan nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam, sehingga menjadi “men-Jawa” (Sofwan dalam Amin, ed., 2002:119). Sebagaimana diketahui, salah satu keunikan Islam yang masuk ke Indonesia adalah corak yang bersifat sufistik, (Drewes, dikutip dalam Haris, 1991:37). Corak sufisme Islam ini tampaknya mudah akrab dengan lingkungan Jawa (Sitompul, 1989: 36). Berabad-abad lamanya, masyarakat Jawa sudah terbiasa untuk memahami kegiatan-kegiatan religius sebagai sarana untuk menambah tenaga batin atau kekuatan gaib, dan mereka melihat agama Islam yang sufistik dalam cahaya yang sama (Suseno, 1996: 31). Islam yang masuk ke Jawa adalah corak Islam yang mudah menyesuaikan diri (Dirdjosanjoto, 1999: 32), yakni Islam yang dipelopori oleh pedagang Gujarat dari India dan dalam suatu bentuk yang sangat dipengaruhi oleh sufisme, mistik Islam. Oleh karena itu, agama Islam tanpa goncangan-goncangan besar dapat diterima dan diintegrasikan ke dalam pola budaya, sosial, dan politik yang sudah ada. Mereka mempertahankan sebagian besar kebudayaan Hindu-Jawa (dalam tradisi jawa pewarta-pewarta pertama Islam, para wali, bahkan dianggap sebagai penemu wayang dan gamelan). Dan ciri mistik Islam mencocokkannya tanpa kesulitan ke dalam pandangan dunia Jawa tradisional. Dari proses integrasi itu, lahirnlah kebudayaan santri Jawa (Suseno, 1996:32). Jika dilihat dari sejarah masuknya agama Islam di Jawa, tidak mengherankan jika Islam yang ada di Jawa dengan kepercayaan lokal sebelumnya melakukan akulturasi, dan menimbulkan sinkretisme Islam dan beberapa kepercayaan lokal atau sering disebut sebagai “agama lokal” mengadopsi beberapa ajaran agama Islam, Istilah dan penggunaan kata-kata pun juga beberapa mengambil dari istilah agama Islam. Sejarah masuknya agama Islam di Jawa dipaparkan karena akan membatu untuk menganalisa problematika yang ada dalam penelitian ini. Agama atau kepercayaan yang disinyalir sudah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia, terkadang disebut agama lokal (Mattulas,1982; Hasse J,2010, Ibnu Qoyim, 2004), atau agama tradisional (Erni Budiwanti, 2000) dalam penelitian ini penulis akan menggunakan agama lokal untuk menyebut kepercayaan yang dianut oleh penganut kabatinan Purwa Ayu Mardi Utama. Dimana para penganut agama lokal ini dalam perkembangannya mengalami berbagai problematika yang tidak lepas dengan legitimasi tentang agama resmi dan berbagai praktek keagamaan yang dicekal. Penelitian Ibnu Qoyim (2004) 1 misalnya, membahas mengenai berbagai masalah yang dihadapi beberapa kelompok agama lokal di Indonesia, yaitu Tengger, Parlamin, Badui, Towani, Tolotang dan Patuntung, kelompok-kelompok tersebut dalam sejarahnya mengalami berbagai tindakan diskriminasi, seperti tidak adanya kebebasan dan pembatasan gerak dalam menjalankan ajaran, maupun formalisasi agama mereka dalam agama resmi. Pada kurun waktu 2005-2007, yayasan interseksi menerbitkan dua buku 2 yang membahas mengenai permasalahan yang juga dihadapi oleh beberapa agama lokal. Yayasan ini menyebutkan istilah yang berbeda untuk agama lokal tersebut. Yaitu istilah komunitas dan kelompok minoritas. Agama-agama lokal yang disebut sebagai kelompok minoritas itu juga diberitakan menghadapi berbagai masalah dalam perjumpaannya dengan Negara maupun lingkungannya. Orang Dayak Pitap, Orang Wana, orang Sedulur Sikep, Wetu telu di Lombok juga mengalami diskriminasi dalam bentuk konversi ke dalam agam resmi, 1 Ibnu Qoyim, Agama dan Pandangan Hidup masyarakat Towani Tolotong, dalam http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/serachkatalog/byId/6295, terakhir diakses 31 Oktober 2013 2 Masing-masing buku Hak Minoritas:Dilema Multikulturalisme di Indonesia (2005), dan buku Hak Minoritas: Multikulturalisme dan dilema Negara Bangsa (2007) sehingga jumlah mereka diberitakan mengalami penurunan yang signifikan. Purwa Ayu Mardi Utama juga tidak lepas dari pencekalan-pencekalan dalam melaksanakan peribadatan keagamaan mereka. Pendopo 3 tempat mereka melakukan peribadatan di vakumkan dengan berbagai alasan salah satunya ialah adanya anggapan tentang aliran sesat dan tidak ada pengakuan Negara tentang agama lokal ini. Lalu bagaimana sebenarnya pengakuan negara terhadap agama-agama lokal? Indonesia sebenarnya bukan negara agama, negara sekuler, ataupun negara yang mengakui salah satu agama sebagai agama resmi, seperti Malaysia. Indonesia adalah negara pancasila yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dimana semua pemeluk agama harusnya diperlakukan sama sebagai warga Negara. 4 Namun, bila dilihat kondisi saat ini negara secara formal hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dengan demikian agama-agama tersebut memiliki representasi dikementrian agama baik ditingkat pusat maupun daerah. Agama-agama tersebut juga dengan leluasa dapat melaksanakan ajaran agama, ibadah maupun perayaannya. Pengakuan negara terhadap agama tertentu yang disebut sebagai agama dunia (world religion) menyebabkan agama-agama lokal sering mengalami penindasan, selalu dalam posisi termarjinalkan, tersudut antara lain melalui pemaksaan untuk memeluk suatu agama dan kepercayaan tertentu untuk mendapatkan identitas resmi dan dijamin dalam hukum sebagai warga negara. Kebijakan Negara melalui regulasinya bahkan dikatakan menyebabkan semakin punahnya agama-agama lokal tersebut. Tetapi disisi 3 Pendopo adalah tempat ibadah, istilah yang digunakan oleh penganut agama lokal Purwa Ayu mardi Utama dalam berkumpul dan melalukan ritual kepercayaan mereka 4 Nasaruddin Umar, Antara Negara dan Agama Negara, http://kemenag.go.id/file/dokumen/AntaraNegara diakses tanggal 31 oktober 2013 lain, kepunahan itu juga digunakan pemerintah untuk menarik perhatian dan lebih terlihat sebagai daya tarik sebuah wilayah untuk para wisatawan asing dan lokal. Dua hal yang berbeda tetapi terjadi dalam sebuah masyarakat. Hal ini terlihat saat Desa Kemiren menjadi Desa Adat dengan dukungan pemerintah Daerah, menawarkan beberapa budaya tradisional tidak terkecuali dengan keberadaan agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama. Desa yang terkenal sebagai Desa adat dengan masyarakat yang religius dan memiliki tradisi keagamaan yang unik memberikan daya tarik yang lebih bagi peneliti dan wisatawan luar mapun lokal. Secara umum, dalam masyarakat yang religius, para pemuka agama memainkan peran yang sangat signifikan dalam berbagai spektrum sosial. Mereka merupakan elite masyarakat yang dapat mendeterminasi berbagai macam keputusan-keputusan sosial yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam komunitas tertentu. Sepak terjang mereka (elite masyarakat) yang dominan dan hegemonik dalm panggung sosial, menstumulasi berbagai kalangan ilmuan sosial untuk menelaahnya dengan berbagai macam perspektif. Karena itulah, diskursus tentang elite sosial tidak pernah berhenti dalam rentang gerak historis kehidupan umat manusia. Dalam wacana sosiologis, terminologi “elite” sudah digunakan semenjak abad ketujuhbelas, awalnya penyebutan “elite” ini dipergunakan untuk menyebut barang dagangan yang mempunyai keutamaan khusus (berkualitas tinggi). Kemudian terminologi ini penggunaannya bergeser pada penyebutan terhadap kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasarkan pada posisi-posisi sosial yang tinggi, seperti kesatuan militer yang utama dan kalangan bangsawan. 5 Para elite yang memiliki kekuasaan dan menggunakan kekuasaannya untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Bagi masyarakat Jawa, dalam rangka mengakumulasi kekuasaan mereka mencari legitimasi dari nilai-nilai tradisional yang hidup dalam image kultural mereka. Seperti halnya image tentang pulung ia menjadi penanda bagi seseorang berhak atau tidak sebagai penerus dari pemimpin terdahulu. Bila tidak punya, ia harus mencari laku, seperti tapa brata atau semedi ke tempa-tempat wingit. Pusaka yang mempunyai kemampuan mistik pun dicari. Laku yang dilakukan oleh Pangeran di Ponegoro dalam perang Jawa (1825-1830), itu memenuhi kebutuhan dan keabsahan sebagai penguasa spiritual. Dalam masyarakat Jawa, gelar dan kelengkapan kebangsawanan harus pula dilengkapi dengan penguasaan spiritual. 6 Oleh karena itu, sebelum memberontak terhadap belanda, pangeran Diponegoro memilih berziarah ke tempat-tempat suci, makam-makam orang suci dan penguasa-penguasa terdahulu, sama seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung. Dalam perjalanan itu ia sering berdoa dan bertapa. Bertapa dulu dan sekarang dalam budaya jawa selalu dihubungkan dengan pengumpulan kekuatan magis. Ziarah dan laku tapa yang dilakukan oleh pangeran Diponegoro dan atau pengikutnya atas suruhannya tak lain juga ingin mendapatkan wisik dari dunia supranatural. Akan halnya masyarakat Jawa kontemporer, ada kecenderungan untuk mencoba mengambil nilai-nilai publik yang bersumber dari agama. Agama yang penuh simbol dan code ritual yang bermuatan transendental diambil sebagai atribut baru bagi elite-elite politik dan juga kelas menengah. Desa Kemiren misalnya, para pemimpin adat dan 5 Tom B. Bottomore, Kelas, Elite dan Masyarakat, dalam sartono kartodirdjo (ed), kepemimpinan dalam dimensi sosial (Jakarta:LP3ES, 1990) hal.24 6 Maliki, Zainuddin. 2010. Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press) hal. 55 agama memiliki kekuatan untuk memainkan peran sebagai elite dalam masyarakat. Mereka memiliki kharisma karena dianggap sebagai orang yang lebih mengerti tentang agama, budaya dan sejarah diwilayah Kemiren. Pengkultusan yang diawali dari adanya garis keturunan nenek moyang dan dianggap sudah lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta lebih mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan mistisisme. Berbekal itulah mereka menjadi pemilik otoritas yang kuat sebagai tokoh kharismatik yang lebih sering disebut sesepuh Desa. Masih terbilang jarang penelitian tentang hubungan yang terjalin antara penganut agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama dengan komunitas muslim. Penjelasan tentang bagaimana kehidupan sehari-hari mereka, tentang perubahan sosial-budaya yang melibatkan keduanya dan para pemimpin terkait, akhirnya menimbulkan adanya perbedaan keterlebitan mereka dalam hal politik, ekonomi dan budaya, dan tentang posisi keduanya dalam struktur masyarakat. Kita tahu bahwa penganut agama lokal secara umum tidak tertarik dengan dunia perpolitikan, mereka lebih mengutamakan bagaimana cara mereka bermasyarakat dan menyatukan diri dengan Tuhan. Tetapi, hal itu terbantahkan ketika masuk dalam situasi dan objek yang akan dikaji oleh peneliti. Ada beberepa aktor masyarakat yang mebenturkan tentang bagaimana konstruksi masyarakat pada umum terhadap penganut agama lokal. Saat melibatkan komunitas muslim dalam ranah pekerjaan misalnya, jika akan melakukan pekerjaan yang berkaitan tentang pertanian dan perkebunan, kemunitas muslim yang memiliki modal akan dengan jelas memilih dan memilah siapa yang dijadikan tukang buruh 7 mereka. Mereka tidak akan 7 Istilah yang digunakan untuk pekerja buruh sawah. Dalam masyarakat Banyuwangi, klasifikasi dalam pekerjaan dilakukan sesuai dengan keahlian perorangan atau kelompok. Sehingga dalam bidang pertanian, pembagian itu pun melibatkan dari penganut agama lokal untuk ikut dalam kegiatan mereka. Dalam beberapa hal, seperti dalam sebuah kelembagaan serta pekerjaan, komunitas muslim dan penganut agama lokal tidak saling melibatkan diri satu sama lain, seolah mereka saling berdiri sendiri dan tidak peduli. Dari latar belakang diatas, bisa kita lihat bahwa jika disebuah lingkungan terdiri dari masyarakat yang beragama Islam dan agama lokal, bagaimana kehidupan sosial mereka, dengan adanya perbedaan itu apakah ada faktor historis yang mempengaruhi bagi keduanya dalam menjalin relasi, dalam hal apa sajakah. Hal ini akan membawa tulisan ini pada sebuah rumusan masalah dalam bagian selanjutnya. 1.2 Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah mengapa perbedaan keyakinan dan ideologi berpengaruh pada keterlibatan mereka dalam struktur kelembagaan desa? 1.3 Tujuan Penelitian Melacak genealogi (asal-usul) dan menganalisis karakteristik secara historis yang mempengaruhi pembedaan keterlibatan penganut agama Islam dan agama lokal pada struktur kelembagaan yang dipengaruhi oleh perbedaan keyakinan dan ideologi. 1.4 Tinjauan Pustaka berlaku, contohnya; ahli menanam padi, ahli ngemess (memupuk dan mengambil rumput yang ikut tumbuh saat padi mulai membuah) ahli membajak sawah dan lainnya. Tinjauan Pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah untuk memberikan kejelasan tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, yang relevan dengan tema yang terkait. Minat para Ilmuan terhadap fenomena agama sudah tumbuh sejak pertengahan abad ke-19 beberapa nama seperti Edward B.Taylor (18231917), Hebert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917) dan Sir James G.Fraser (1854-1941) adalah nama yang tidak asing ditelinga para sarjana antropologi dan sosiologi. Tokoh-tokoh ini pada umumnya lebih tertarik pada agama-agama primitive. Secara garis besar mereka berpandangan bahwa kebudayaan dan masyarakat suku-suku bangsa itu adalah kebudayaan dari masyarakat yang sederhana dan primitive, dan oleh karena itu bersifat kuno atau merupakan sisa-sisa kebudayaan manusia kuno. Kajian yang lebih ilmiah mengenai agama baru muncul pada abad ke-19. Mulai saat itu hingga menjelang 1950-an muncullah karya-karya sosiologi agama yang sering disebut dengan sosiologi agama klasik. Periode klasik ini terutama dikuaisai oleh dua pakar sosiologi yang terkenal, yaitu Emile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920) dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama. Dikalangan ilmuan sosial studi tentang agama biasanya tidak terlepas dari dua hal, yaitu agama sebagai bagian dari kebudayaan dan agama sebagai intitusi sosial (Hendropuspito, 1996:111) mereka berusaha mencari elemen-elemen , pola-pola dan prinsip-prinsip yang ditemukan dengan seragam pada agama-agama disemua tempat dan waktu (Pals, 1996:4). Ada beberapa penelitian yang menjelaskan tentang persoalan-persoalan interaksi antara agama Islam, agama lokal dan budaya lokal, pada intinya melibatkan suatu pertarungan atau setidaknya ketegangan antara doktrin agama yang dipercaya bersifat absolute karena berasal dari tuhan dan kebudayaan yang masih dipertahankan dengan menanamkan nilai-nilai budaya lokal yang kurang lebih dianggap berbeda dengan ajaran agama. Penelitian yang berkaitan tentang Islam di Jawa dan perjumpaan Islam dengan budaya menjadi menarik saat Cliffotz Geertz menulis The Religion Of Java (1960) yang menjadi refrensi klasik, tentang perjumpaan Islam dan budaya Jawa dan perkembangan sosial yang telah terhenti dalam tiga varian “santri”, “abangan”, dan “priyayi”. Dia menjelaskan tentang pergulatan keagamaan yang ada di Pare dengan nilai-nilai budaya lokal, lebih melihat dari kacamta antrologis. Geertz (1983:112) mengidentifikasikan Islam Jawa yang sinkretik dengan mengasosiasikannya dengan segala sesuatu yang berlatar belakang Hindu-Buddha. Riset Geertz meninggalkan pertanyaan yang belim terjawab tentang mengapa kemenangan Islam begitu meyakinkan, Geertz juga tidak memandang Islam dan Culture Jawa sebagai tradisi muslim yang besar. Geerts meninggalkan sejarah proses Islamisasi di Jawa yang dilakukan Walisongo. Bagaimana walisongo mengadopsi budaya lokal dan memasukkanya kedalam tradisi Islam (pkibj, 2004: xiv) Koentjaraningrat (1994 : 310-311) membagi masyarakat muslim Jawa menjadi dua, yakni Islam Jawa dan Islam santri, yang pertama kurang taat pada syariat dan bersikap sinkretis dengan menyatukan unsur-unsur PraHindu, Hindu dan Islam. Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan akjaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan. Namun demikian meskipun tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam hidup keagamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh Animisme dan dinamisme dan hindu-buddha. Koenjaraningrat mendiskripsikan sistem religi dan budaya masyarakat petani dan membuat tipologi atas mereka. Beatty (1999:38) menilai pertemuan Islam dan budaya lokal akan membawa pada sinkretisme. Sinkretisme merupakan sistematisasi interrelasi elemen-elemen dari berbagai tradisi untuk merespon pluralitas dan perbedaan kultur. Sinkretisme lebih mengacu pada dinamika. Beatty mengikuti pengertian yang dibuat oleh Stewart (1995). Sinkretisme adalah konsep yang mengarah pada akomodasi, konteks, kelayakan, indigenisasi dan wadah bagi proses antar budaya yang dinamik. (beatty, 2001:3) Budiwati (1995: 345) menjelaskan Islam wetu telu di Lombok bukan sebuah sinkretisme semata akan tetapi sebuah proses menuju kemurnian Islam. Akan tetapi jika mengikuti tipologi Geertz maka wetu telu dekat dengan abangan dan dekat dengan santri. Sumber sentral ajaran Islam wetu telu adalah pengetahuan adat bukan pengetahuan tentang Islam. Adat menjadi refrensi sentral dari peribadatan wetu telu. Bagi pemangku adat bayan wetu telu tidak sesederhana pengertian yang dibuat wetu telu dengan mengartikan “waktu tiga”. Ada tiga unsur ajaran dalam wetu telu diantaranya; (i) rahasia atau asma yang terpancar dalam tubuh manusia (ii) simpanan ujud allah yang termanisfestasi dalam adam dan hawa (iii) kodrat Allah adalah kombinasi dari lima indera (bersal dari Allah) dan 8 organ yang diwarisi adam dan hawa. Masing-masing kodrat allah yang bisa ditemukan ditiap lubang-lubang ditubuh manusia mulai dari mata hingga anus. (1995: 138-139). Penelitian Beatty, Kuntjaraningrat, Geertz dan Budiwati merupakan penelitian agama dan tradisi dalam komunitas yang sangat dipengaruhi oleh adat. Beatty, Budiwati dan Kuntjaraningrat mengikuti tipologi Geertz. Mereka memiliki penilaian yang sama bahwa pertemuan agama dan budaya lokal membawa pada sinkretisme meskipun mereka berbeda dalam menginterpretasikan sinkretisme. Analisis mereka lebih melihat agama secara praksis. Hanya sedikit melihat struktur kosmologis sinkretis. Penjelasan mengenai bagaimana ideologi keduanya tidak disinggung secara jelas. Padahal jika dilihat dari sudut pandang teologis, pertemuan dua ideologi berbeda ini menghasilkan kosmologi baru bagi masyarakat yang meyakininya. Ideologi agama Islam bersumber dari tauhid dengan menyembah Tuhan Tunggal. Sehingga pola hubungan manusia dan Tuhan bersifat horizontal. Dan dalam agama sinkretis pola hubungan manusia dan Tuhan bukan sekedar sebuah hubungan horizontal semata antara dua titik, manusia dan Tuhan, melainkan ada elemen lain yang disebut ruh, alam kasat mata (metafisik) dan makhluk-makhluk Tuhan lain sebagai penghubung. Padangan tersebut oleh Simuh disebut sebagai jagad cilik dan jagad gede atau mikrokosmos(lesse being) dan makrokosmos (suprem being). Jagad cilik merupakan representasi manusia dan jagad gede adalah alam semesta. Maka harus ada keselarasan dan keseimbangan dalam membina hubungan manusia dengan alam. Jika dalam pengertian itu akan sedikit sulit melihat perbedaan ideologi yang muncul antara Islam dan agama lokal (baca:kebatinan PAMU) sehingga dalam kerangka teori nanti peneliti akan berusaha membedakan dengan jelas adanya perbedaan ideologi diantara keduanya. 1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Ideologi menurut Louis Althusser Althusser adalah salah seorang tokoh yang membahas tentang Ideologi, dia mengkritik konsep ideologi yang telah dilakukan oleh pendahulunya yaitu marx. Dia mengatakan bahwa Marxisme Klasik terlalu menekankan determinisme ekonomi sebagai faktor dominan yang membentuk sekaligus mengikat masyarakat. Determinisme ekonomi yang demikian melupakan pengaruh berbagai institusi yang lain dalam pembentukan masyarakat. Marxisme Klasik berpendapat bahwa masyarakat telah dibelenggu oleh ekonomi/infrastruktur sehingga kaum proletar harus merebut alat-alat produksi agar dapat mewujudkan masyarakat tanpa kelas. 8 Dengan demikian ideologi, menurut Marxisme klasik, adalah representasi dari basis ekonomi (daya dan relasi produksi). Namun, bagi Althusser ekonomi bukanlah satu-satunya faktor yang membentuk masyarakat. Ada berbagai institusi (agama, pendidikan, keluarga, perangkat hukum, dan lain-lain) yang bekerja membawa ideologi. Ada berbagai kekuatan determinisme (overdetermining) –ekonomi, politik, cultural- yang saling bekerja dan berkompetisi satu dengan yang lain dan membentuk sebuah masyarakat yang kompleks. Kemudian Althusser mengkritik Marx yang berpendapat bahwa ideologi hanyalah ‘sebuah kesadaran palsu’ dari faktor ekonomi yang membentuk istitusi-institusi sosial. Karena itu Althusser kemudian memberikan definisi tentang ideologi. Justru ideologi akan membentuk kesadaran seseorang akan realitas dirinya. Melalui ideologi orang-orang akan menghidupi hubungannya dengan kondisi riil eksistensinya (John Storey, 162). Memang ada pengaruh ekonomi di dalamnya, tetapi ekonomi bukan pembentuk ideologi yang dominan. Ideologi bekerja relative otonom dengan caranya sendiri. Dengan demikian ideologi memiliki kekuatan untuk menunjukkan kekuasaannya dengan caranya sendiri terhadap berbagai perkembangan sosial. Ideologi lebih merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan sekedar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas sosial lainnya. Fakta bahwa segenap 8 Louis Althusser. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) 17-18 kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak berarti bahwa praktik itu sendiri melayani kelas dominan. Yang dimaksud oleh Althusser adalah bahwa ideologi bersifat lebih efektif dibandingkan apa yang diberikan oleh marx, karena ideologi bekerja dari dalam, bukan dari luar, dan secara mendalam menginspirasi cara berfikir dan cara hidup tertentu segenap kelas. Dan Kekuasaan tidak lepas dari unsur-unsur ideologi yang dimunculkan untuk mendominasi dan mempengaruhi. Menurut Althusser, ideologi menekan bagaimana kekuasaan kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Ada berbagai pengertian tentang ideologi yang bisa digunakan untuk memahami ideologi dalam penelitian ini. Ideologi merupakan sistem keyakinan atau representasi sosial dari kelompok atau kelas tertentu (Aabischer, Deconclhy & Lipiansky, Agustinos, Farr and Moscovici dalam Teun A.Van Djik). Van djik lebih jauh mengatakan bahwa seperti halnya tidak ada bahasa pribadi, maka tidak ada juga ideologi pribadi atau personal. Sistem keyakinan tersebut dibagi bersama antara anggota dalam suatu kelompok. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat dimana ia hidup, posisi sosial, pembagian kerja dan sebagainya. Ideologi tidak hanya ada dalam hubungan Negara dengan rakyatnya, ataupun antar majikan dengan buruh. Ideologi ada dalam berbagai hubungan, termasuk dalam relasi orang per orang. Ideologi ada dalam tiap orang, meskipun orang tersebut tidak menyadarinya. Jadi, ideologi bukanlah sebuah kesadaran palsu, melainkan sebuah ketidaksadaran yang tertanam di individu. Bahkan ketidaksadaran itu begitu mendalam (profoundly councious) sehingga bagaimana prakteknya dalam diri manusia tidak disadari. Ideologi masuk dan bekerja melalui berbagai sumber yang terkait dengan struktur masyarakat seperti perangkat hukum, keluarga, agama, pendidikan, dan lain-lain. Dengan berdasar pada perangkatnya, dapat dibagi menjadi 2, yakni Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA). Repressive State Apparatus (RSA) bekerja dengan cara represif dengan memakai kekerasan melalui apparatus/alat negara seperti polisi, militer, pengadilan, penjara. Termasuk juga penculikan/penangkapan para aktivis. Sementara Ideological State Apparatus (ISA) bekerja dengan cara persuasive ‘memasukkan’ ideologi kepada individu melalui pendidikan (sekolah), agama, media, keluarga, industri budaya, dan sebagainya. 9 Melalui ISA, ideologi tidak lagi hanya sebentuk ide, namun berada dalam praktik material yang hidup, seperti ritual, kebiasaan, pola perilaku, cara berfikir, bahasa, dan sebagainya. Jadi ideologi dapat membentuk budaya hidup seseorang, serta berpengaruh dalam formasi sosial. Bahwa formasi sosial (social formation) ditentukan oleh relasi produksi, perlu diterangkan sedikit mengenai praktik (practice). 10 Dia menjelaskan tentang praktik-praktik reproduksi dari pelbagai relasi produksi. Bagi althusser, yang dimaksud dengan praktik adalah proses perubahan (transformation) bahan mentah tertentu menjadi produk tertentu; perubahan ini dikerjakan oleh manusia tertentu, menggunakan alat produksi tertentu. Praktik ini terjadi paling tidak dalam emat level berbeda, yaitu praktik ekonomi, politik, ideologi, dan ilmu pengetahuan. Praktik ekonomi meliputi penggunaan tenaga kerja dan alat produksi untuk mengubah bahan material menjadi produk yang berguna 9 Louis Althusser. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis, cultural studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hal.19 10 Ibid. hal. 35-37 bagi masyarakat. Praktik politik mengubah relasi soaial sebagai bahan mentah menjadi bentuk relasi sosial baru. Praktik ideologi mengubah cara anggota masyarakat memahami pengalamanan hidupnya (yaitu lewat representasi dan persepsi) menjadi cara pemahaman baru. Praktik teoritis atau saintifik mengolah objek dan sarana produksi sendiri, yaitu pengetahuan untuk menciptakan pengetahuan baru. Relasi produksi tidak boleh dipahami melulu sebagai relasi antarmanusia sebagai manusia saja, tetapi relasi mereka sebagai pelaku produksi, yakni relasi antara mereka yang mempunyai fungsi tertentu dalam produksi bahan mentah (baik ekonomi, politk, ideologis maupun ilmu pengetahuan) wujud relasi ini tergantung pada bagaimana cara masing-masing berkait dengan alat-alat produksi- apakah mereka mengusai bahan mentah dan alat produksi atau sebagai pelaksana semata. 11 Bagi althusser yang penting diperhatikan oleh intelektual adalah menentukan siapa yang menguasai dan mengontrol bahan baku, alat produksi dan jalannya produksi tersebut. Tanpa masuk terlalu dalam dalam teori formasi sosial, cukuplah disini mengatakan bahwa bagi althusser untuk memahami masyarakat, yang diperlukan bukanlah mengani essensi dan hakekat manusia seperti dilakukan oleh para marxis humanis, tetapi mencermati bagaimana relasi produksi dalam masyarakat terjadi. Althusser sama sekali tidak mengatakan bahwa ideologi harus dihilangkan karena menimbulkan kesadaran palsu. Sebaliknya, sebuah masyarakat tidak mungkin bertahan tanpa ditopang oleh ideologi. Bagi Althusser ideologi adalah sistem kepercayaan yang berperan untuk menjaga dan memperkuat relasi 11 Louis Althusser. Tentang Ideologi: marxisme strukturalis, psikoanalisis, cultural studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2008) hal. 47 sosial suatu masyarakat: “ideologi is a system (with its own logic an rigor) or representation, (images, myths, ideas, or concept, depending on the case) endowed with a historical existence and role within a given society. (Ideologi adalah sistem (dengan logikanya sendiri dengan kekakuannya) atau representasi, (gambar, mitos, ide, atau konsep, tergantung pada kasus) yang diperkuat dengan keberadaan sejarah dan peran dalam suatu masyarakat tertentu). 12 Dalam sebuah hubungan sosial, hubungan yang terjalin dari setiap individu ke individu yang lain tidak leluasa bisa benar-benar dapat menentukan sikap dan tindakan. Sebagian besar dari sikap dan tindakan seorang individu dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh individu-individu lain yang menjadi bagian dari kelompok, komunitas atau masyarakat tempat afiliasinya. Kelompok atau masyarakat tersebut acapkali mempunyai kekuatan memaksa seorang individu untuk bersikap dan bertindak sesuai degan berbagai hal yang telah menjadi kesepakatan bersama. Kekuatan memaksa tersebut kerapkali terlihat amat kokoh. Mengapa? Karena dalam kelompok, komunitas atau masyarakat terhadap normanorma, nilai-nilai sosial dan pengetahuan yang dibangun, disosialisasikan dan dipelihara sebagai bingkai identitas siapa saja yang terhimpun didalamnya. Norma-norma, nilai-nilai dan pengetahuan tersebut memang bisa berubah, tetapi karena mempunyai kekuatan memaksa, maka individu-individu tersebut segera dapat membuat justifikasi baru dan menyesuaikan diri. Setiap individu yang berprilaku dengan cara tertentu, mengadopsi sikap praktis tertentu, ditambah lagi dengan berperan dalam praktik-praktik berkala tertentu yang merupakan pelbagai praktik aparatus ideologi (agama, pendidikan, keluarga, 12 Ibid, hal. 77 hukum, politik, komunikasi, serikat buruh dan budaya). Karena ISA dalam hal ini lebih terlihat privat dari pada RSA yang sepenuhnya berada pada wewenang publik, dan menggunakan ‘kekerasan’ dalam berkuasa melalui represif (termasuk represif fisik), sedangkan ISA menggunakan ideologi melalui nilai-nilai yang diajukan secara internal. Walaupun demikian, ritunitas hidup menawarkan contoh yang menjelaskan keterjalinan kombinasi-kombinasi yang barangkali tersurat dan tersirat dari kesalingpengaruhan antara RSA dan ISA. Dalam ISA, ideologi tidak lagi hanya sebentuk ide, namun berada dalam praktik material yang hidup, seperti ritual, kebiasaan, pola perilaku, cara berfikir, bahasa, dan sebagainya. Pengaruh dari pendidikan, agama dan lingkungan dapat menjadi ideologi yang membentuk budaya hidup seseorang, serta berpengaruh dalam formasi sosial. Misalnya, bagi masyarakat Kemiren, ideologi berperan memberi kerangka untuk memaknai pengalaman hidupnya, peran ideologi dalam sebagian masyarakat tidak menjadi penting saat dihadapkan pada struktur ekonomi atau politik (berlaku pada orang yang tidak memiliki kepentigan). Ideologi kerukunan 13 yang diyakini oleh sebagian masyarakat itu lebih penting dari pada materi. Ideologi tersebut terlihat dalam hubungan keseharian orang per orang, ideologi yang ada di setiap orang hanya saja tidak disadarinya. Disisi lain ideologi kerukunan menjadi alat untuk mengambil simpatisan massa. Ideologi digunakan oleh sebagian orang yang memiliki kepentingan dalam perwujudan kekuasaan. 13 Konsep kerukunan dalam agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama sudah menjadi pola fikir yang tanpa disadari oleh masayarakat Desa Kemiren. Dalam ajaran PAMU terdapat ajaran-ajaran yang menjelaskan tentang kerukunan dan hal itu dijelaskan secara spesifik, pembagian-pembagian tentang kerukunan: Harus rukun antar Jiwa, Harus rukun antar Wisma, Harus rukun antar tetangga Desa, Harus rukun antar tetangga Negara. Ideologi juga muncul disebagian masyarakat (komunitas muslim) tidak lepas dari hal-hal magis yang selalu meliputi sebuah upaya untuk mencapai kontrol atas lingkungan eksternal. Kontrol yang akan diperoleh melalui perwujudan kekuasaan. banyak cara yang digunakan untuk memeperoleh kekuasaan, baik secara ritual keagamaan melalui upacara-upacara penyucian atau melalui interaksi keseharian sambil menyisipkan ide-ide yang disebarkan pada orang lain. Agama lokal (kebatinan Purwa Ayu Mardi Utama) pun juga melakukan hal yang sama. Contoh, pemujaan dewa lokal dan nenek moyang dalam sebuah ritual rutin, dipimpin oleh para pemimpin yang mempunyai kharisma 14 dan itu akan mempengaruhi pengokohan sistem sosial-politik yang ada dikalangan penganut agama lokal maupun masyarakat yang masih mempercayai tentang hal-hal magis yang berfungsi sebagai peneguhan kekuasaan pada struktur sosial masyarakat magis. Kekuasaan suatu masyarakat tidak hanya tergantung pada jumlah anggotanya serta sumber-sumber ekonomi kemampuan tekniknya, melainkan pada kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya. Suatu keyakinan yang dianut secara fanatik oleh semua anggota masyarakat seringkali memperbesar kekuasaannya. 15 Keyakinan atau ideologi tersebut digunakan sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma- 14 kharisma dalam tulisan ini bisa dipahami sebagai orang yang lebih mengerti tentang agama, budaya dan sejarah diwilayah Kemiren. Pengkultusan yang diawali dari adanya garis keturunan nenek moyang dan dianggap sudah lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta lebih mengerti tentang hal-hal yang berkaitan dengan mistisisme. Berbekal itulah mereka menjadi pemilik otoritas yang kuat sebagai tokoh kharismatik yang lebih sering disebut sesepuh Desa. 15 Bertrand Russell. Kekuasaan: Sebuah Analisis Sosial Baru. (Jakarta:Obor, 1988)hal. 110 norma yang disepakati secara kolektif. dalam hal tertentu ideologi merupakan pelembagaan dalam masyarakat dari dunia yang nyata. Seperti yang ada dalam rumusan masalah diatas, mengapa perbedaan ideologi dan keyakinan membedakan keterlibatan mereka dalam srtuktur kelembagaan masayarakat? Kemudian mengapa keterlibatan penganut agama lokal PAMU hanya terbatas pada lembaga adat? Apakah mereka tidak tertarik atau memang telah dibatasi oleh pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan untuk menguasai. Mereka (komunitas muslim dan penganut agama lokal) seperti saling menghegemoni, sekat dalam praktik-praktik pekerjaaan. Pembagian yang jelas terlihat jika penganut agama lokal hanya terlibat dalam lembaga adat, sedangkan komunitas muslim pada aparatur Desa. Jika dilihat dari perkembangan sebuah Desa Kemiren. Seharusnya yang terjadi adalah para pemimpin adat dan pemimpin budaya lokal serta penganut agama lokal yang mengurus serta mengatur untuk perkembangan Desa dan berada posisi di pemerintahan serta kelembagaan Desa. Karena mengingat bahwa Desa Kemiren menjadi pusat kebudayaan Banyuwangi yang dilestarikan oleh pemerintah dan para pemimpi adat dan penganut agama lokal lebih mengetahui tentang sejarah kebudayaan Kemiren. Lalu mengapa yang terjadi berbeda? Mengapa komunitas muslim yang berada dalam pemerintahan Desa? Ada istilah “demi kepentingan umum” atau “demi kemaslahatan untuk segala lapisan masyarakat” yang biasanya dipakai sebagai pemberanan terhadap penggunaan kekuasaan dari peraturan pemerintahan Daerah untuk sekelompok orang sehingga mau tidak mau harus menerima kebijakan yang telah ditetapkan. Pemimpin desa, pemimpin adat, pemimpin agama menggunakan ideologi dalam pengukuhan kekuasaannya, memelihara, menjelma secara halus dan tersembunyi. Pemimpin agama (komunitas muslim) misalnya, mereka menggunakan ideologi, nilai-nilai dan ide-ide kepercayaan tentang Tuhan yang diyakininya secara konseptual digunakan untuk pengukuhan kekuasaan dalam sebuah masyarakat, lembaga dan aparatur Desa. Mereka juga menggunakan aparatur Negara (represif) karena mereka memiliki legitimasi agama resmi di Negara ini. Hal itu bisa terjadi karena di bawah ideologi penguasa, yang merupakan ideologi kelas penguasa, yang pada dasarnya memegang kekuasaan Negara, memiliki aparatus Negara (RSA) yang siap melayani, membuat kita menerima bahwa kelas penguasa yang sama aktifnya dengan aparatus Negara Ideologis. Bukan hanya aparatus Negara Ideologis yang bekerja, tetapi juga aparatus Negara (represif) yang mengukuhkan kekuasaan. Jika bentuk ideologi melalui ISA merupakan bentuk yang dipakai Negara untuk memperkuat represi dan penindasan terhadap rakyatnya. Maka sama halnya dengan sebagian orang yang memiliki kepentingan, mereka menggunakan agama untuk menguasai dan menghegemoni masyarakat dilingkungannya. ISA juga sering digunakan untuk melanggengkan RSA dan berbagai represi yang dihasilkannya. Bukan suatu kebetulan jika dalam pembagian kerja pada kehidupan sehari-hari mereka membedakan antara komunitas sendiri atau komunitas orang lain. Saat melibatkan komunitas muslim dalam ranah pekerjaan misalnya, jika akan melakukan pekerjaan yang berkaitan tentang pertanian dan perkebunan, kemunitas muslim yang memiliki modal atau penguasa bahan mentah dalam bahasa Althusser, mereka akan dengan jelas memilih dan memilah siapa yang dijadikan pekerjanya. Mereka tidak akan melibatkan dari penganut agama lokal untuk ikut dalam kegiatan mereka. begitupun sebaliknya. Dalam beberapa hal, seperti dalam sebuah kelembagaan serta pekerjaan, komunitas muslim dan penganut agama lokal tidak saling melibatkan diri satu sama lain, seolah mereka saling berdiri sendiri dan tidak peduli. Dalam keterlitabatan mereka di sebuah lembaga Desa memberikan gambaran bahwa ada distingsi yang terjadi diantara keduanya. 1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bercorak deskriftifanalitik tentang pergulatan Islam dan agama lokal, dalam perspektif sosiologi lebih memusatkan kajiannya pada fenomena keagamaan yang terjadi diantara Islam dan penganut agama lokal. Dengan demikian, penelitian ini lebih merupakan jenis “penelitian keagamaan” (religious research), bukan jenis “penelitian agama” (research on religion). Jika “penelitian agama” lebih menekankan pada materi agama atau agama sbagai doktrin sebagaimana antara lain sudut teologis; maka “penelitian keagamaan” lebih menekankan pada agama sebagai sistem atau system keyakinan (religous system) yang sasarannya agama sebagai gejala sosial. 16 16 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Cetakan IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hal. 35-36 Sebagai mana lazimnya studi atau penelitian sosiologi agama atau penelitian keagamaan, maka fokus kajian tentang kehidupan mereka, relasi yang terjadi diantara orang-orang Islam dan penganut agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama. Lebih ditekankan pada interaksi agama dan kehidupan pemeluknya dalam masyarakat, yang membentuk format agama sebagai konstruksi sosial dalam kehidupan pemeluknya. 17 Kendati jenis penelitian lebih merupakan penelitian keagamaan, namun dalam penelitian ini hingga batas tertentu aspek tertentu dari ajaran atau doktrin agama pun ditelaah pula, terutama untuk mengetahui dimensi keyakinan dan paham keagamaan yang dianut oleh para penganut agama Islam dan agama lokal. Hal itu karena dimensi agama dan keagamaan tidak sepenuhnya atau secara mutlak dapat dipisahkan, kendati dapat dibedakan satu sama lain. Pendekatan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Definisi awal mengenai fenomenologi berangkat dari pemahaman tokoh filsafat Edmund Husserl (1895-1838), yang mencoba untuk mengedepankan pengalaman individu yang intim dan mengarah pada pengalaman empiris. Menurut Moleong (2000:9), fenomenologi bertujuan untuk memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Dalam mengkaji fenomena agama, para sosiolog memfokuskan perhatiannya pada tiga aspek, yaitu (1) mengkaji agama sebagai sebuah persoalan teoritis terutama dalam upaya memahami tindakan sosial; (2) menelaah kaitan antara agama dan berbagai wilayah sosialnya seperti ekonomi, politik dan kelas 17 Michael. C. Northcott, “Persepektif Sosiologis”, dalam Peter Connolly (ed), aneka perspektif studi Agama, terjemahan (Jogjakarta: LkiS, 2002) hal.267 sosial; dan (3) mempelajari peran, organisasi dan gerakan-gerakan keagamaan. 18 Dalam konteks penelitian ini, cara pandang terhadap fenomena tentang pergulatan antara Islam dan penganut agama lokal Purwa Ayu Mardi Utama, terlepas dari asumsi-asumsi yang melekat pada satu ideologi semata. Akan lebih mengarah kepada proses mereka dalam melakukan relasi dan dampak pada kehidupan sehari-hari dari keduanya. 1.6.2 Lokasi Penelitian Desa Kemiren merupakan satu diantara 8 desa dan 2 kelurahan di Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, yang merupakan ujung utara perbatasan Kecamatan Glagah dengan Kecamatan Giri, diapit sebelah barat Desa Tamansuruh dan sebelah Timur Kelurahan Banjarsari. Kondisi Sosial Budaya masyarakat Desa Kemiren, Bahasa sehari-harinya ialah Using, Adat yang berlaku di Desa Ider bumi , Slametan Desa. Kesenian yang dimiliki Desa Barong, Angklung, Gandrung dll. Kondisi Sosial Budaya dan Budaya Masyarakat Desa Kemiren untuk para Remaja selain sekolah mereka juga mengikuti paguyubanpaguyaban seni, seperti Gandrung, Barong dan lain sebagainya. Setiap dua kali seminggu setiap paguyuban seni itu latihan ala kesenian mereka dan sering ada acara-acara pernikahan, penyambutan tamu, sunatan, dan acara-acara besar menggunakan kesenian yang berpusat pada Desa Kemiren ini. Desa Kemiren tidak hannya terkenal dengan keseniannya saja, tetapi juga masyarakatnya yang mistis. Masyarakat Kemiren masih sangat mempercayai akan hal-hal yang berkaitan dengan mistis dan ghaib, percaya dengan kekuatan-kekuatan leluhur nenek moyang, 18 Robert N. Bellah. Beyond beliefe: esei-esei Agama di Dunia Modern, terjemahan (jakarta: Paramadina, 2000)hal.xy walaupun mereka beragama Islam. Kepercayaan adat atau kepercayaan yang tradisional itu masih dilakukan oleh masyarakat kemiren, dan adat memberikan sesaji masih kuat, baik ketika akan panen, atau akan melakukan hajat dan melakukan hal-hal yang dianggapnya penting dan perlu restu dari nenek moyang dari Desa Kemiren ini. 1.6.3 Pemilihan Informan Pemilihan informan penting dilakukan agar penelitian ini dapat memberikan informasi yang berkatian dengan penelitian untk menjawab permasalahanpermasalahan penelitian. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka adalah orang yang memiliki pengetahuana atau pengalaman mengenai objek yang diteliti. Individu dan komunitas yang terlibat langsung. Dalam penelitian ini informan yang dipilih adalah anggota dari aliran kebatinan Purwa Ayu Mardi Utama dan pihak-pihak yang beragama Islam “santri”. 1.6.4 Metode Pengumpulan Data 1.6.4.1 Interview Interview atau wawancara ialah langkah pertama untuk mendapatkan data dalam penlitian ini. Wawancara ialah metode pengumpulan data atau informasi dengan cara tanya jawab secara langsung untuk mendapatkan informasi pada informan. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. 19 Tahap 19 Bungin, B. Analisis Data Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2003)hal.25 awal ialah autoanamnesa, yaitu wawancara dengan subjek atau responden karena dengan hal ini peneliti akan mendapatkan data yang bisa dikatakn valid dalm penilainan penelitian karya ilmiyah. peneliti juga saat melakukan wawancara berusaha memulai dengan pertanyaan yang mudah, ini untuk memncing emosional agar membuat keadaan santai mengalir tetapi tetap fokus dalam tujaun utama. 20 Memulai dengan beberapa contoh informasi-informasi yang faktual, menghindari pertanyaan multiple, dan tidak akan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building raport. Dalam penelitian ini peneliti memulai dengan pertanyaan seputar pemahaman informan tentang pengalaman keagamaan dan efek agama dalam kehidupan keseharian informan. Dalam kurun waktu 3-4bulan peneliti tinggal dan telah menjelajahi daerah ini, peneliti masuk sebagai seorang mahasiswa yang tidak memiliki keterikatan personal dengan siapapun, hingga memudahkan peneliti dalam mengambil data yang berkaitan dengan tema ini. Ketika peneliti merasa ada yang rancu atau kurang jelas peneliti akan ada ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, hal ini dilakuakan agar memberikan kesan positif sehingga menimbulkan image yang murni penelitian. Tidak yang bersifat subjektive, tetapi objektive. Kegiatan wawancara ini dilakukan dengan pimpinan desa setempat, tokoh masyarakat, terutama tokoh spiritual Islam dan agama lokal dan masyarakat yang aktif terlibat dalam kegiatan sosial-politik, beberapa pertanyaan meliputi tentang apa yang mempengaruhi perbedaan keterliban PAMU dengan Islam dalam struktur kelembagaan, apa yang menjadi pemicu 20 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama,(Bandung : Remaja Rosdakarya,2001)hal.173 dan apa kepentingannya. Dan beberapa pertanyaan lain yang menjadi pedoman wawancara dilampirkan pada halaman akhir. 1.6.4.2 Observasi Metode pengumpulan data yang merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya suatu rangsangan yang diinginkan, atau suatu bidang studi yang sistematis tentang keadaanatau fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan mengamati dan mencatat. 21 Beberapa informasi yang diperoleh dari hasil observasi adalah ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. 22 Dengan observasi peneliti akan mendapatkan tentang informasi dan kondisi dilapangan. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas yang rutin dilakukan oleh penganut Purwa Ayu Mardi Utama dan Islam. Penelitian dengan orang yang terlibat langsung, lebih tepatnya ialah observasi partisipan, mengikuti semua kegiatan yang dilakukan subjek. 23 observasi ini biasa dilakukan peneliti dalam tempat yang terbuka. Dengan melakukan wawancara di sawah dan sesekali peneliti berkeliling desa sehingga lebih mudah dalam memahami daerah ini. bersama dengan beberapa yang menjadi key informan 21 Mardalis, Metode Penelitian;Suatu Pendekatan Proposal(Jakarta: Bumi Aksara,1995)hal. 63 Bungin, B. Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Prenada Media Group,2007)hal.115 23 Irawan Sohatono, metode penelitian sosial, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1999)hal.70 22 peneliti melakukan observasi ketempat-tempat beribadatan PAMU melihat aktifitas penganut PAMU dan Muslim dalam keseharian keduanya. 1.6.4.3 Dokumentasi Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku atau catatan harian, memorial, klipping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server dan flashdisk, data tersimpan di website, dan lain-lain.24 Dengan menggunakan dokumentasi peneliti akan bisa lebih mudah meneliti dan memahami onjek dilapangan, karena dengan adanya beberapa foto dan dokumentasi wawancara mempermudah dalam menganalisi dan juga digunakan sebagai penguat pembenaran penelitian ini. 1.6.5 Metode Analisis Data Analisis kualitatif pada dasarnya memposisikan ‘bahasa’ (language) dan sejarah (history), secara bersamaan, sebagai titik tolak dalam setiap proses konstruksi makna. Karena itu, manusia (human being), dan segala bentuk tindakan sosial (social action) mereka, tersusun dan terbentuk dari pemahaman atas kedua aspek tersebut, yaitu bahasa dan sejarah. Menggunakan pendekatan fenomenologi termasuk dalam kategori pendekatan metodologi yang interpretatif , maka anlisis 24 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV (Jogjakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2000.)hal.23 data dalam studi ini memberikan penekanan pada dunia pengalaman (teh world of experience) sebagaimana dialami, dirasakan dan dijalani oleh aktor social. Subjek penelitian. Bersifat deskirptif yaitu menggambarkan karakteristik suatu masyarakat atau suatu kelompok. 25 Adapun untuk data yang diperoleh dari hasil wawancara dalam pemaparannya adalah menggunakan interpretasi peneliti Proses analisis dengan memadukan fakta yang terdapat dilapangan dan selanjutnya menganalisanya, menjelaskan pokok-pokok persoalan dan mendapatkan kesimpulan akhir dari masalah. Proses analisis penelitian ini berangkat ketika data mulai dikumpulkan. Mekanisme yang dilakukan dalam menganalisis data berdasarkan pada fakta dan konteks sosial. Dengan menggunkan unit proses dan unit struktural. Pengambilan kesimpulan menggunakan perpaduan logika deduktif dan induktif yang juga berdasarkan narasi pelaku. Dasar analisis yang digunakan berpijak pada konsep hubungan budaya, perubahan dan peristiwa sosial yang ada (kartodirdjo, 1993). Dialektis kualitatif (wertheim) dimana agama diperlakukan sebagai ideologi sosial yang terkait banyak pada perkembangan dan perubahan sosial secara proposional juga digunakan. 25 Irawan Sohatono, metode penelitian sosial, (Bandung : Remaja Rosdakarya,1999)hal. 35 proses