erspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional

advertisement
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji konsep yuridis kebebasan beragama sebagai HAM serta
aspek-aspek hukum nasional dan internasional mengenai kebebasan beragama
sebagai a coherent body of law, penulis menarik kesimpulan bahwa telah terjadi
inkoherensi terkait pengaturan mengenai kebebasan beragama. Pengaturan hukum
nasional Indonesia tidak koheren dengan pengaturan hukum internasional.
Penyebab utama inkoherensi ialah ketidaktegasan Indonesia dalam mengadopsi
konsep hubungan antara negara dan agama, yakni Indonesia bukan negara sekuler
namun juga bukan negara agama mayoritas.
Terdapat 2 dimensi kebebasan beragama sebagai HAM, yakni dimensi
internal yang mencakup kebebasan dalam meyakini suatu agama/kepercayaan
serta
dimensi
eksternal
yang
mencakup
kebebasan
dalam
menjalankan/mengekspresikan agama yang diyakini. Dimensi internal dari hak
atas kebebasan beragama tidak boleh diintervensi ataupun dibatasi karena
merupakan persoalan individu yang absolut, sedangkan dimensi eksternalnya
dapat dibatasi dengan syarat tertentu.
Namun yang terjadi dalam hukum nasional Indonesia justru terdapat
intervensi oleh negara terkait hak untuk meyakini agama/kepercayaan sebagai
dimensi internal. Hal ini tidak terlepas dari pengelompokan “agama resmi” dan
“agama yang belum diakui” oleh hukum nasional Indonesia. Intervensi negara
terhadap dimensi internal dari kebebasan beragama nampak sebagai berikut.
124
Pertama, perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama di Indonesia
nampak diintervensi oleh negara berkenaan dengan persoalan administrasi
kependudukan
tentang
keharusan
pencantuman
agama
dalam
dokumen
kependudukan. Kedua, hukum nasional Indonesia tidak mengakomodasi hak
untuk melangsungkan perkawinan pemeluk “agama yang belum diakui” serta
perkawinan antar agama karena terdapat klausul “agama resmi” dan “agama yang
belum diakui” serta terjadi kekosongan hukum terkait pelaksanaan perkawinan
antar agama. Ketiga, hukum nasional Indonesia tidak memberikan pengaturan
secara eksplisit mengenai hak untuk berpindah agama/kepercayaan dengan bebas
termasuk hak untuk tidak memeluk agama. Ketiadaan pernyataan secara eksplisit
tersebut dapat menghambat kebebasan itu sendiri, bahkan muncul kesan bahwa
berganti dan/atau tidak memeluk agama menjadi tidak dibenarkan secara yuridis.
Keempat, intervensi terkait hak anak untuk menentukan agama yang berimplikasi
pada persoalan adopsi. Pengaturan hukum nasional Indonesia mensyaratkan calon
orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak
angkat. Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional yang
menyatakan pelaksanaan adopsi anak semata-mata dilakukan dengan dilandasi
prinsip demi kepentingan terbaik anak.
Dimensi eksternal kebebasan beragama bukan merupakan hak yang
absolut, sehingga pembatasan terhadap pelaksanaan hak tersebut diperbolehkan
sepanjang memang diperlukan untuk melindungi keamanan publik, ketertiban,
kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar orang lain. Negara seharusnya mampu
membentuk peraturan perundang-undangan yang dapat memajukan toleransi antar
125
umat beragama dengan jalan memberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap
ekspresi keagamaan yang bertentangan atau merugikan kepentingan pihak lain.
Akan tetapi negara gagal melakukan itu, yang terjadi adalah peraturan perundangundangan negara justru menjadi dorongan timbulnya intoleransi.
Pertama, pembatasan atas hak untuk bebas menjalankan agama sesuai
tafsir yang diyakini di Indonesia berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta SKB No: 3 Tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus JAI sangat eksesif karena justru menghilangkan hakekat
kebebasan itu sendiri dengan pelarangan penafsiran yang berbeda terhadap suatu
agama/kepercayaan. Kedua, pengaturan hukum nasional Indonesia mengenai
pendirian rumah ibadah menimbulkan adanya pemanfaatan posisi dominan warga
negara terhadap kelompok minoritas. Persyaratan kewajiban pengumpulan
dukungan dari masyarakat setempat sebagai syarat untuk mendirikan rumah
ibadah menghalangi hak kelompok penganut agama minoritas untuk menjalankan
agamanya. Ketiga, pengaturan hukum nasional Indonesia berupa SKB No: 3
Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota
Pengurus
JAI
menimbukan
justifikasi
sepihak
tentang
kebenaran/kesesatan suatu agama yang berujung tindakan anarkis terhadap
golongan tertentu. Keempat, aturan tentang penyebaran agama berupa SKB No. 1
Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama terlalu berlebihan
karena justru mengabaikan batasan bahwa substansi dari hak tersebut juga
meliputi hak untuk mencoba meyakinkan orang lain untuk meyakini agamanya.
126
B. Saran
1.
Negara harus mengindahkan prinsip non-discrimination dan prinsip nonintervention serta prinsip toleransi sehubungan dengan hak atas kebebasan
beragama sebagai HAM. Ketiga prinsip tersebut merupakan tolok ukur serta
pedoman bagi negara untuk menetapkan peraturan perundang-undangan
sehubungan dengan kewajiban negara untuk melindungi HAM warga
negaranya.
2.
Dalam rangka melaksanakan perlindungan terhadap kebebasan beragama
sebagai HAM, negara harus dapat membedakan dimensi internal dan
eksternal kebebasan beragama. Negara harus dapat membedakan mana yang
merupakan hak absolut dan mana yang merupakan hak yang dapat dibatasi
dalam keadaan tertentu. Pemahaman negara terhadap konsepsi ini akan
mempengaruhi pola perlindungan negara terhadap hak terkait.
127
Download