BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Meningitis bakterial adalah

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak yang
mengenai lapisan piamater dan ruang subaraknoid (Gambar 2.1) termasuk cairan
serebrospinal (Gambar 2.2) yang dapat disebabkan oleh bakteri yang menyebar
masuk ke dalam darah dan berpindah ke cairan otak (Marvin, 2009; Sáez-Lorens dan
McCracken, 2003).
Gambar 2.1 Lapisan Meningens
(Dikutip tanpa modifikasi dari Rohkamm R, Color atlas of neurology, 2004 )
2.2 Gejala
Gejala pada anak kecil atau bayi tidak khas sehingga penegakan diagnosis
sering terlambat (Tabel 2.1). Gejala awal dapat serupa dengan infeksi virus biasa
seperti bayi demam tinggi dan terus-menerus rewel. Demam pada bayi dan anak
dapat berlangsung dengan masa inkubasi kurang lebih satu sampai tiga hari. Gejala
lain yang lebih spesifik tergantung pada port of entry bakteri (Gambar 2.3) seperti
infeksi saluran pernapasan atau otitis media dengan gejala nyeri telinga atau keluhan
diare. Keluhan meningitis berupa demam tinggi (94%), nyeri kepala hebat, mual,
muntah (82%), diare, leher kaku (77%) (Ashwal dkk., 1993).
Tabel 2.1 Manifestasi klinis meningitis
(Dikutip dengan modifikasi dari Tunkel AR., 2005)
Sakit kepala
Panas
Kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Muntah
Kejang
Gangguan Fokal neurologi
Papilledema
Frekuensi (%)
≥ 90
≥ 90
≥ 85
> 85
~ 35
~ 30
10 ~ 20
<5
Gambar 2.2 Cairan serebrospinal
(Dikutip tanpa modifikasi dari Rohkamm R, Color Atlas of neurology, 2004)
2.3 Patogenesis Meningitis Bakterial
Bakteri yang dapat menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu
melewati perlindungan yang dibuat oleh tubuh dan memiliki virulensi poten. Faktor
host yang rentan dan lingkungan yang mendukung memiliki peranan besar dalam
patogenesis infeksi (Fenichel, 2009).
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui: 1). Aliran darah (hematogen)
karena adanya infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis, endokarditis,
pneumonia, infeksi gigi (Gambar 2.3). Meningitis bakterial sebagian besar terjadi
akibat penyebaran hematogen melalui proses bakteri melekat pada sel epitel mukosa
port of entry, menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran
darah serta menimbulkan bakteremi. Bakteremi dapat berlanjut masuk ke dalam
cairan serebrospinal (melewati sawar darah otak) dan memperbanyak diri dalam
cairan serebrospinal, menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan
otak; 2). Perluasan langsung dari infeksi yang disebabkan oleh infeksi dari sinus
paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus kavernosus; 3). Implantasi langsung dapat
terjadi pada trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak atau pungsi lumbal; 4).
Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena (a) Aspirasi cairan amnion yang
terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman yang normal ada pada jalan
lahir. (b) Infeksi bakterial secara transplasenta terutama Listeria, sp. Insiden infeksi
maternal memiliki angka kejadian 1:2000 pada bayi cukup bulan dan 3:1000 pada
bayi prematur (Fenichel, 2009).
Gambar 2.3 Port of entry bakterial meningitis
Aliran cairan serebrospinal (berikutnya akan disebut CSS) dapat dilihat pada
Gambar 2.4. Cairan serebrospinal terutama dihasilkan pleksus koroid di ventrikel
lateral (Stefan dan Frorian, 2000). Proses meningitis bakterial dimulai dari masuknya
bakteri ke dalam susunan saraf pusat melalui tempat-tempat yang lemah yaitu di
makro vaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media yang baik bagi
bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi (Fenichel, 2009).
Sawar darah otak normal terdiri dari sel endotel dari kapiler darah otak (kecuali
pada hipofisis posterior, area postrema, pleksus koroid dan sirkumventrikular).
Astrosit akan membentuk tight junction yang padat yang menghalangi lewatnya zat
terlarut dalam darah (elektrolit dan protein) atau sel (Stefan dan frorian, 2000).
Dengan demikian lingkungan ekstrasel otak akan terpisah dari darah sehingga
mencegah terpajannya sel saraf terhadap perubahan elektrolit, transmitter, hormon,
faktor pertumbuhan, dan reaksi imun (Fenichel, 2009).
Bayi dan anak dengan meningitis tight junction terbuka sehingga bakteri masuk
dalam cairan serebrospinal, terjadi reaksi radang dan menyebabkan permeabilitas
sawar darah otak makin meningkat. Bakteri yang masuk akan memperbanyak diri,
tersebar secara pasif mengikuti aliran cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel ke
seluruh ruang subaraknoid (Hartwig dan Wilson, 2002; Saharso dan Hidayati, 1999).
Gambar 2.4 Aliran cairan serebrospinal
(Dikutip tanpa modifikasi dari Stefan S., Frorian L. Color atlas of pathophysiology,
2000). Cairan serebrospinal mengalir melalui foramina interventrikular (1) masuk ke
ventrikel ketiga, akan masuk ke ventrikel keempat melalui aquaduktus (2). Cairan
serebrospinal kemudian bersirkulasi melalui foramen Luschka dan Magendi (3)
menuju ruang subarakhnoid dan vili arakhnoid dari sinus dura mater (badan
Pacchionian), dan masuk ke dalam sinus venosus (4).
Bakteri yang berkembang biak ataupun mati (lisis) melepaskan dinding sel atau
komponen membran sel (endotoksin dan asam teikhoat) yang menyebabkan
kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput meningen (Saharso
dan Hidayati, 1999).
Komponen membran dari bakteri merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan mikroglia) memproduksi mediator inflamasi
seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) (Gambar 2.5). Mediator
inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, yang selanjutnya mengakibatkan menurunnya
aliran darah otak (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan Ramilo, 1990).
Toksik dari bakteri awalnya menimbulkan hiperemi pembuluh darah selaput otak
disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, selanjutnya merangsang timbulnya
kongesti dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, mempermudah adesi sel
fagosit dan sel polimorfonuklear untuk menembus pembuluh darah melalui tight
junction dan memfagosit bakteri. Debris sel dan eksudat yang terbentuk dalam ruang
subaraknoid cepat meluas dan cenderung terkumpul di daerah konveks otak tempat
cairan serebrospinal diabsorbsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii
serta sisterna basalis dan sekitar serebelum (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan
Ramilo, 1990).
Infeksi awal eksudat hampir seluruhnya adalah sel polimorfonuklear (PMN) yang
memfagosit bakteri. Secara berangsur-angsur sel polimorfonuklear digantikan oleh
sel limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak, dan
mengasilkan eksudat fibrinogen. Minggu ke dua infeksi, muncul sel fibroblast yang
berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada
selaput otak yang menyebabkan perlekatan yang terjadi di daerah sisterna basalis,
menimbulkan hidrosefalus komunikan, dan bila terjadi di aqueductus Sylvii, foramen
Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif (Hartwig dan Wilson,
2002; Saharso dan Hidayati, 1999).
Gambar 2.5 Patofisiologi molekuler meningitis bakterial
(Dikutip dengan modifikasi dari Liorens dan Ramilo dalam J Pediatri, 1990)
Arteri subaraknoid dalam empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua jam
pertama mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke
dalam lapisan adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang
kadang menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama juga terjadi di vena. Fokus
nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen
pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun,
dan dapat menyebabkan terjadinya infark (Saharso dan Hidayati, 1999).
Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegi, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama hari pertama
tidak mempengaruhi prognosis, namun lama kejang atau kejang yang sulit dikontrol,
kejang menetap lebih dari empat hari, kejang yang timbul pertama pada sakit yang
sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebabkan manifestasi sisa yang
menetap (Saharso dan Hidayati, 1999; Liorens dan Ramilo, 1990 ).
Infark dan trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat hipoksia, invasi kuman
mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik
berupa paresis yang sering timbul pada hari ketiga sampai keempat, selain itu juga
menimbulkan gangguan sensorik dan gangguan fungsi intelektual berupa retardasi
mental dan gangguan tingkah laku dan gangguan fungsi intelektual. Kerusakan
langsung pada selaput otak dan vena di durameter atau araknoid yang berupa
tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan
transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan
subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis
fokal, demam yang lama, kejang dan muntah (Stefan dan Florian, 2000).
Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan penurunan aliran darah otak.
Penurunan autoregulasi (penurunan tekanan darah <60 mmHg sistole) dan kejang
akan menurunkan tekanan perfusi serebral menyebabkan iskemi dan kerusakan pada
sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Gangguan aliran darah otak dan
peningkatan tekanan intrakranial akan menyebabkan ensefalopati toksik karena
peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan serebrospinal yang
disebabkan metabolisme anaerobik. Keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa
meningkat dan berakibat timbulnya glukosa CSS rendah (Saharso dan Hidayati,
1999).
Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, yang
menyebabkan kontraksi otot-otot tertentu untuk mengurangi rasa sakit yang tampak
sebagai tanda Kernig dan Brudzinski serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang
timbul akibat peradangan selaput otak dan peningkatan tekanan intrakranial adalah
muntah yang proyektil, nyeri kepala, irritable atau rewel sampai penurunan kesadaran
atau koma (Saharso dan Hidayati, 1999; Taylor dan Ashwal, 2001).
Bakteri jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi proses absorbsi dan
penetrasi toksin bakteri dapat terjadi dan menyebabkan edema otak dan vaskulitis.
Kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya
peradangan lokal pada perineurium dan turunnya aliran darah ke saraf kranial,
terutama saraf VI, III, dan IV. Ataksia ringan disebabkan paralisis saraf kranial VI
dan VII yang merupakan akibat infiltrasi kuman ke selaput otak di bagian basal,
sehingga menimbulkan gangguan pada batang otak (Saharso dan Hidayati, 1999).
Gangguan pendengaran timbul akibat perluasan peradangan ke mastoid, sehingga
timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif.
Kelainan saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan.
Kebutaan dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri sehingga
terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh
trombosis arteri dan vena di kortek serebri akibat edema dan peradangan yang
menyebabkan infark serebri. Manifestasi ini merupakan petunjuk prognosis buruk,
karena meninggalkan gejala sisa dan retardasi mental (Saharso dan Hidayati, 1999).
Meningtis bakterial dapat juga menyebabkan terjadi syndrome of inappropriate
anti diuretic hormon (SIADH) yang diduga disebabkan oleh proses peradangan yang
meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopresin endogen pada
sistim
supraoptikohipofisis
meskipun
dalam keadaan hipoosmolar. SIADH
menyebabkan terjadi hipervolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine
meskipun osmo-laritas serum menurun, sehingga timbul gejala mengantuk, rewel
atau irritable, dan kejang (Saharso dan Hidayati, 1999).
2.4 Diagnosis
2.4.1. Anamnesis
Anamnesis menunjukkan keluhan utama seperti panas tinggi, nyeri kepala,
dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Keluhan meningismus, letargi, malaise,
kejang, atau muntah proyektil karena peningkatan tekanan intrakranial tetapi keluhan
ini tidak sama pada satu penderita dengan yang lain (tidak khas). Anak umur kurang
dari tiga tahun belum dapat mengatakan nyeri kepala sedang pada bayi akan lebih
susah lagi karena hanya datang dengan keluhan demam, rewel, letargi, malas minum
dan high-pitched cry. Keluhan lain yang harus digali yaitu riwayat penyakit infeksi
sebelumnya (Graham dkk., 1996; Kohrman dkk., 2007) misal keluhan diare, batukpilek, rinorrhea, otorrhea sebagai port of entry dari meningitis (Saharso dan
Hidayati, 1999).
2.4.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik awal adalah Status present yaitu gangguan kesadaraan dapat
berupa hanya rewel sampai penurunan kesadaran yang dapat diukur sesuai dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) pediatri (Tabel 2.2). Pemeriksaan lingkar kepala
dilakukan untuk menilai apakah ada hidrosefalus atau peningkatan tekanan intra
kranial. Anak kurang dari satu tahun sering didapatkan ubun ubun yang membonjol.
Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan papil edema pada pemeriksaan mata.
Strabismus akibat penekanan pada saraf abdusen dan dilatasi pupil yang tidak
berespon terhadap cahaya terjadi karena penekanan saraf okulomotorik. Bradikardi
dan hipertensi arteri dapat terjadi karena tekanan pada batang otak (Stefan dan
Florian, 2000; Saharso dan Hidayati, 1999 ).
Tanda rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain
pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II.
Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity) dapat dilakukan dengan menekuk leher
secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk dikatakan positif bila terdapat tahanan
sehinggga dagu tidak dapat menempel pada dada. Tahanan juga terasa apabila leher
diposisikan hiperektensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kaku kuduk dapat
disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, disebut opistotonus. Tanda Kernig
diperiksa pada penderita dalam posisi telentang, dilakukan fleksi tungkai atas tegak
lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut (Gambar 2.6).
Tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap tungkai atas
dalam keadaan normal. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur
enam bulan (Martin dan Urs, 2006).
Tanda Brudzinski I (Brudzinski's Neck Sign) diperiksa dengan meletakkan satu
tangan pemeriksa di bawah kepala penderita dan tangan lainnya di dada penderita
untuk mencegah agar badan tidak terangkat. Kemudian kepala penderita difleksikan
ke dada secara pasif (tidak dipaksa). Rangsang meningeal dikatakan positif jika kedua
tungkai bawah fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Brudzinski II (Brudzinski's
Contralateral Leg Sign) diperiksa dengan cara fleksi tungkai penderita pada sendi
panggul secara pasif. Rangsang dikatakan positif bila terjadi fleksi tungkai lainnya
pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan tampak lebih jelas bila pada waktu
fleksi panggul dan sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi (Gambar 2.7)
(Griesemer, 2005; Haslam, 2007; Saharso dan Hidayati, 1999 ).
Tabel 2.2 Skala Glasgow Coma Pediatri
Tanda
Buka mata
Respon verbal terbaik
Respon motor terbaik
Respon
Spontan
Terhadap suara
Terhadap sakit
Tidak ada
Terorientasi
Kata-kata
Suara-suara
Menangis
Tidak ada
Mengikuti perintah
Lokalisasi sakit
Fleksi terhadap sakit
Ekstensi terhadap sakit
Tidak ada
Nilai
4
3
2
1
5
4
3
2
1
5
4
3
2
1
NILAI AGREGAT NORMAL
Lahir sampai 6 bulan
9
6 bulan sampai 12 bulan
11
1 sampai 2 tahun
12
2 sampai 5 tahun
13
lebih dari 5 tahun
14
Dikutip tanpa modifikasi dari Reilly, dkk. Child Nerv Syst., 1988; 4 : 30
Gambar 2.6 tanda kernig
Gambar 2.7 Brudzinski
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis meningitis
bakterial meliputi darah rutin dan kultur darah, juga dilakukan pemeriksaan gula
darah dan elektrolit terutama pada penderita dengan kejang untuk menyingkirkan
penyebab kejang yang lain (Martin dan Urs, 2006).
Pemeriksaan penunjang yang sangat penting untuk menegakkan diagnosis
meningitis bakterial. Pungsi lumbal dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu
penderita diposisikan untuk tindakan (Gambar 2.8), ditentukan lokasi dengan
membuat garis imajiner melalui titik tertinggi antara kedua ujung tulang spina iliaca
superior anterior (SIAS) melalui lumbal 4, palpasi garis tengah prosesus spinosus
lumbal 3 hingga lumbal 5, menentukan ruang antara lumbal 3 dan lumbal 4 atau
antara lumbal 4 dan lumbal 5. Lokasi penusukan pada bayi antara lumbal 2 dan
lumbal 3, sedangkan pada anak yang lebih besar di antara lumbal 3 dan lumbal 4 atau
lumbal 4 dan lumbal 5 (Kneen dkk., 2002; Michelson, 2006).
Tindakan dilakukan secara steril, pemeriksa mencuci tangan terlebih dahulu
kemudian menggunakan sarung tangan steril, melakukantindakan asepsis dengan
kassa steril yang dipegang dengan forsep dicelupkan ke dalam povidone iodine,
dioleskan ke daerah pungsi mulai dari tengah dan melingkar ke luar sekitar sepuluh
sampai lima belas sentimeter selanjutnya dibersihkan dengan kapas alkohol 70%
dengan cara yang sama yaitu melingkar mulai dari tengah ke luar dan pasang duk
steril yang berlubang (Kneen dkk., 2002: Michelson, 2006).
Lokasi ditandai oleh operator yang telah menggunakan sarung tangan steril
dengan menggoreskan jarum hipodermik atau menekan dengan menggunakan kuku
operator selama 15-30 detik selanjutnya dapat dilakukan anestesi menggunakan
lidokain 1%, tunggu 3-5 menit, masukkan jarum untuk lumbal pungsi dengan cara
pungsi median yaitu jarum ditusukkan di garis tengah dan dirasakan tahanan, yang
akan hilang bila jarum telah melalui ligamentum flavum. Perubahan resistensi juga
akan terjadi bila jarum melewati duramater. Setelah terasa perubahan resistensi, stylet
dikeluarkan dari jarum untuk melihat apakah cairan spinal telah dicapai. Jika tidak
didapatkan cairan, jarum diputar 900 ke sisi yang lain untuk menghindari obstruksi
oleh jaringan. Jika tetap tidak ditemukan cairan, pasang kembali stylet dan dorong
jarum lebih dalam dan evaluasi kembali seperti yang telah dijelaskan (Roos, 2003).
Cairan sudah keluar segera tampung untuk pemeriksaan sitologi dan analisis kimia,
serta kultur.
Volume cairan serebrospinal maksimal yang boleh diambil pada bayi adalah dua
mililiter, sedang pada anak dengan berat lebih dari sepuluh kilogram tanpa penurunan
kesadaran adalah sepuluh mililiter. Cairan serebrospinal ditampung dalam dua tabung
steril dan setelahnya jarum lumbal pungsi dapat dicabut dengan memasang kembali
stylet sebelumnya dan segera tutup tempat tusukan dengan kassa steril yang telah
diberi povidone iodine. Penderita diminta berbaring terlentang tanpa bantal selama
tiga puluh menit setelah pungsi lumbal (Kneen dkk., 2002; Michelson, 2006).
Meningitis bakterial didiagnosis apabila didapat CSS keruh dengan hasil
pemeriksaan analisis Nonne negatif atau positif dan pemeriksaan pandi yang positif.
Jumlah sel 100-10.000/mm3 dengan hitung jenis predominan polimofonuklear,
protein 100-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Baku emas untuk pemeriksaan meningitis
bakterial pewarnaan gram positif dengan, pertumbuhan bakteri dari biakan CSS serta
uji sensitivitas resistensi antibiotik sangat penting untuk pemberian terapi definitif.
Jumlah sel dapat normal dengan predominan limfosit bila telah mendapat terapi
antibiotik sebelumnya sehingga menyebabkan gambaran CSS tidak spesifik (Saharso
dan Hidayati, 1999 ).
Gambar 2.8 Pemeriksaan lumbal pungsi
2.5 Tatalaksana
Tatalaksana yang paling penting pada penderita meningitis adalah bantuan
hidup dasar yaitu mencegah kerusakan otak lebih lanjut dengan: 1). mempertahankan
jalan nafas yang adekuat adalah prinsip yang terpenting. Ventilasi mekanik bila
dibutuhkan terutama pada penderita dengan kejang atau penurunan kesadaran (Taylor
dan Ashwal, 1993); 2). Mempertahankan semua fungsi sistem vital (Martin dan Urs,
2006).
Sistem
kardiovaskular
dipertahankan
dengan
mempersiapkan
akses
intravaskular, terutama pada penderita yang datang dengan syok dapat diberikan
resusitasi cairan 20 ml/kg BB secepatnya dan dapat diulang dua kali (Pollard dkk.,
1999). Tatalaksana di unit gawat darurat mengacu pada periode emas yaitu resusitasi
enam puluh menit pertama. Fase hipovolemia dapat berlanjut ke fase syok yang
refrakter terhadap terapi cairan, merupakan indikasi pemberian inotropik (Hazinsky
dkk., 2002).
Pemeriksaan mikrobiologi membutuhkan waktu beberapa hari sehingga
apabila dicurigai meningitis bakterial, maka pemberian antibiotik harus segera (SaezLorens dan McCracken, 2003; Bernard dan James, 2006; Fenichel, 2009). Pemilihan
antibiotik empiris didasarkan pada data epidemiologi kultur atau pola kuman
setempat. Terapi definitif diberikan segera setelah ada hasil kultur dan tes kepekaan
antibiotik. Terapi meningitis bakterial bedasarkan Pedoman Pelayanan Medis Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah 2011 pada anak umur 1-3 bulan, lini pertama dapat
dipergunakan Ampisilin 200-400 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 6
jam dan sefotaksim 200 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 8 jam.
Diberikan empiris lini ke dua adalah Seftriakson 100 mg/kgbb/hari intravena setiap
12 jam. Antibiotik empiris lini pertama untuk anak umur lebih dari 3 bulan, adalah
Sefotaksim 200 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena setiap 6 atau 8 jam, dengan
antibiotik empiris lini kedua Seftriakson 100 mg/kgbb/hari diberikan secara intravena
setiap 12 jam. Kortikosteroid deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgbb/hari
diberikan secara intravena setiap 6 jam diberikan selama dua hari pertama, 30 menit
sebelum pemberian antibiotik (PPM RSUP Sanglah, 2011 ).
2.6
Prognosis
Faktor prognosis mayor yang memperburuk prognosis pada penderita meningitis
bakterial digambarkan dalam Tabel 2.3. (Algren dkk., 1993; Baraff dkk., 1993;
Kaaresen dan Flaegstad, 1995; Kornelisse dkk., 1995). Kepustakaan menunjukkan
faktor yang mempengaruhi prognosis meningitis bakterial, yaitu: 1). Umur penderita :
anak umur di bawah 1 tahun memiliki prognosis buruk dengan mortalitas sebesar 1530%. Bayi baru lahir memiliki angka kematian sebesar 20-40%, dari mereka yang
bertahan hidup akan mengalami gejala sisa neurologi yang permanen (Martin dan
Urs, 2006); 2). Jenis bakteri penyebab : bakteri penyebab berpengaruh prognosis,
dimana berdasarkan meta analisis memperlihatkan gejala sisa neurologi pada
meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae (15-30%) lebih tinggi dibanding H.
influenzae (5-20%) (Kaaresen dan
Flaegstad, 1995; Kornelisse dkk., 1995),
sedangkan angka kematian dari meningitis yang disebabkan N. meningitidis sebesar
7,5% (Martin dan Urs, 2006); 3). Berat ringannya infeksi : prognosis buruk bila
ditemukan penyakit penyerta atau sepsis, status gizi kurang (Rundels dkk., 2005),
gejala neurologi berat sebelum sakit, kejang > 30 menit, kejang yang tidak terkontrol
(Chin dkk., 2005; Farag dkk., 2005; Rivielloo dkk., 2006), koma, syok, leukosit CSS
<1000x 106 /L (Martin dan Urs, 2006); 4). Lamanya sakit sebelum mendapat
pengobatan : penderita yang didiagnosis meningitis dan mendapat terapi yang tepat
dalam 24 jam pertama setelah timbulnya gejala akan memiliki prognosis lebih baik
(gejala sisa 12%) dibanding penderita yang mendapat terapi setelah 3 hari atau lebih
(gejala sisa 59%) (Fenichel, 2009); 5). Manajemen terapi dan penanganan penyulit
(Marvin, 2009; Fenichel, 2009; Lorens, 2003).
Gejala sisa yang terjadi setelah meningitis bakterial meliputi tuli (15-30%), defisit
neurologi (5-30%), gangguan belajar (5-20%), serebral palsi (5-10%), buta (<5%),
dan hidrosefalus (2-3%) (Marvin, 2009; Fenichel, 2009; Lorens, 2003).
Tabel 2.3 Faktor-faktor prognosis mayor
Faktor resiko untuk prognosis buruk dari meningitis bakterial
Etiologi
Streptococcus pneumoniae
Gram-negative enteric bacteria
Jumlah bakteri
Penderita
Bayi baru lahir
Sistem imun yang menurun
Keadaan umun saat Penyakit kronis yang barat
penderita masuk rumah Kelainan neurologi
sakit
Koma
Keterlibatan kardiovakular
Tidak ada riwayat demam
Sel CSS <1000x106 /L
Management terapi
Indikasi ICU
Terapi antibiotic yang tidak adekuat
Terapi anti inflammatosi yang tidak
adekuat
Perjalanan
penyakit Respon antibiotik yang lambat
meningitis bakterial
Komplikasi yang berat
(Dikutip tanpa modifikasi dari Martin dan Urs, 2006)
Tabel 2.4 Penyakit penyerta
Bayi (N = 37)*
Infeksi saluran kencing
Asfiksia
Kelainan jantung bawaan
Gastroenteritis akut
Prematur
Hidrosefalus, Post VP Shunt
Lain-lain
N
5
4
3
3
2
1
27
Anak (N = 43)
Sepsis
Omfalitis
Otitis media akut
Asfiksia
Prematur
Trombositopeni idiopatik
Penyakit paru kronis
Neuroblastoma post kraniotomi
Kelainan imun bawaan
Infeksi saluran kencing
Lain-lain
*Delapan penderita dengan lebih dari satu faktor predisposisi
(Dikutip dari penelitian Chang, 2004)
N
3
2
2
1
1
1
1
1
1
1
29
Download