diagnosis dan penatalaksanaan meningitis tuberkulosis

advertisement
Referat
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN MENINGITIS
TUBERKULOSIS
Oleh:
Dr. Huldani
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARMASIN
MARET, 2012
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul......................................................................................
i
Daftar Isi...............................................................................................
ii
Daftar Gambar ......................................................................................
iii
Daftar Tabel ........................................................................................
iv
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................
1
1.3. Tujuan ..............................................................................
2
1.4. Manfaat ............................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................
3
2.1. Definisi ..............................................................................
3
2.2. Epidemiologi ....................................................................
4
2.3. Anatomi dan Fisiologi ......................................................
6
2.4. Tuberkulosis Ekstrapulmoner ..........................................
9
2.5. Diagnosis dan Suspek Meningitis Tuberkulosa ...............
12
2.6 Penatalaksanaan Meningitis TB .......................................
17
BAB III PENUTUP .........................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.3.1 Struktur meningen dari luar .......................................
7
Gambar 2.3.2 Struktur meningen dari luar ........................................
8
Gambar 2.4.1 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis ...............................
8
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.5.1
Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis
Meningitis TB (20) ......................................................
Tabel 2.6.1
Guideline pemberian obat anti TB untuk infrant
dan anak-anak ..............................................................
Tabel 2.6.2
18
Rekomendasi dosis obat TB lini pertama dari
WHO ...........................................................................
Tabel 2.6.4
17
Guideline pemberian obat anti TB untuk infrant
dan anak-anak lini kedua .............................................
Tabel 2.6.3
13
19
FDC untuk TB usia > 8 tahun dan berat
badan > 30 kg ..............................................................
iv
20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang
menutupi otak dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges (1). Inflamasi
dari meningen dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau mikroorganisme
lain dan penyebab paling jarang adalah karena obat-obatan (2). Meningitis dapat
mengancam jiwa dan merupakan sebuah kondisi kegawatdaruratan (1,3).
Klasifikasi meningitis dibuat berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis
bakterial, meningitis viral, meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis
non infeksius.
Meningitis bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri
dan merupakan kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan
menyebabkan kerusakan otak dan bahkan kematian (1,3). Berdasarkan penelitian
epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia
Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis
(4).
1.2.Rumusan masalah
Tingginya insidensi meningitis tuberkulosis di Indonesia mengharuskan
tingginya kontak pasien dengan tenaga medis sehingga diperlukan pembelajaran
agar kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana penanganan
v
penyakit lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan masalah pada
tinjauan pustaka ini adalah:
1. Bagaimana penegakkan diagnosis meningitis tuberkulosis?
2. Bagaimana penatalaksanaan meningitis tuberkulosis yang tepat?
1.3.Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan mengenai penegakkan dan
penatalaksanaan meningitis tuberkulosis.
1.4.Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kedokteran agar dapat menegakkan diagnosis
dan memberikan penanganan yang tepat pada kasus meningitis tuberkulosis.
vi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis
tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri
Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru (5).
Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan Cerebrospinal
Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu: meningitis
purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri Mycobacterium tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan
gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya.
Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan
penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik
spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan
meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer
tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru (10).
2.2. Epidemiologi
vii
Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering
ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia,
dimana insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) (18,19,20). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis
walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan
neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani (20,21,22).
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas
dan mortalitas penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis
TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Centers for Disease
Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990 morbiditas meningitis TB 6,2% dari
seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden meningitis TB sebanding dengan TB
primer, umumnya bergantung pada status sosio-ekonomi, higiene masyarakat,
umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang.
Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan
kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus.
Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih sering dibanding
dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan. Jarang ditemukan pada
usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan pada usia dibawah 3
bulan (6).
viii
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam
tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya
sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa
meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara
endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus
tuberkulosis (8). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan
karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat
menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah
yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan
sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan.
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis
yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara
10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan
kembali normal secara neurologis dan intelektual (9). Angka kejadian TB paru di
Indonesia dilaporkan terus meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara
dengan urutan ketiga dengan kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001,
dilaporkan perubahan dari tahun sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang
menjadi 43 oreng per 100.000 penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83
orang per 100.000 penduduk (11).
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5%
dari seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
ix
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila
meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya
dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (12,13,14).
2.3. Anatomi dan Fisiologi
Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (7):
1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan
sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke
dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini
piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis,
dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah
choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikelventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.
2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan
durameter.
3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal
dari jaringan ikat yang tebal dan kuat.
Dura
kranialis
atau
pachymeninx adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam
(meningen) dan lapisan luar (periosteal). Duramater lapisan luar
melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk
x
periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang
disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista
frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna,
tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang
meluas ke kedua sisi
Gambar 2.3.1 Struktur meningen dari luar
xi
Gambar 2.3.2 Struktur meningen dari luar
xii
Gambar 2.4.1 Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis
xiii
2.4 Tuberkulosis Ekstrapulmoner
Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang
persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan
penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah,
sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati dengan TB paru
juga dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (15).
Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk,
gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi
saluran napas akut, asma, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan
digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan
prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang
rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB (15).
Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik,
kesempatan mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan. Selain
gejala batuk, pada pasien anak penting mengevaluasi berat badan yang sulit naik
dalam kurun waktu 2 bulan terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan
bahwa tidak semua pasien dengan gejala respiratori menerima evaluasi yang
adekuat untuk TB. Kegagalan ini terjadi karena kurangnya deteksi dini TB
sehingga menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit pada pasien dan
meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis ke orang-orang
di sekitarnya (15).
xiv
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan
kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama apeks
dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang bisa
didapatkan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum (15).
Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak, dapat
ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara napas melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis TB
terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (15).
Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak terjadi
di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meningen,
peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner
diterangkan sebagai berikut (15):

Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan
supraklavikular).

Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil,
hingga efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu.
Pemeriksaan fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara
napas menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi
pleura. Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada
umumnya disebabkan oleh ruptur kavitas.
xv

Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis
paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring,
dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan
disfagia disertai dengan batuk produktif.

Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria,
nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.

Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan
patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan
penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai
vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Pott’s disease atau
spondilitis tuberkulosis).

Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma

Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal
atau hilus.
Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada
populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat
dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa
tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.
Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada
ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA
dengan hitung CD4 yang lebih rendah (16,17)
Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan
dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis
xvi
tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru.
Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M. tuberculosis pada
situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan
asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada
pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus,
dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini,
kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus
nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga
sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan
dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan dahak (15).
xvii
2.5. Diagnosis dan Suspek Meningitis Tuberkulosa
Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda
meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada
hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2
tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil My-cobacterium tuberculosis masuk
melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan
penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan
meningen atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa focisubependimal yang disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich
foci sampai kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan
meningitis (29).
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan
menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis
dan terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner
kelima yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus
tuberkulosis ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala
klinis saat akut adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan
perubahan status mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri
kepala, muntah, fotofobia, dan demam (29).
xviii
Tabel 2.5.1 Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB (20)
xix
Berdasarkan tabel di atas, diagnosis kemungkinan meningitis TB
(probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12. Diagnosis
mungkin bisa meningitis TB (possible) jika skor di atas 6 di bawah 10. Penilaian
cairan serebrospinalis pada pasien dengan meningitis TB dapat menunjukkan
warna yang jernih, pleocytosis sedang dengan peningkatan pada limfosit,
peningkatan kandungan protein dan konsentrasi glukosa yang sangat rendah.
Penemuan ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan penemuan meningitis
bakterial lain, yaitu pada meningitis bakterial tipikal penemuan pada cairan
serebrospinalis adalah berwarna keruh putih, pleocytosis yang sangat tinggi dan
dengan peningkatan pada neutrofil (20).
Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan serebrospinalis
di bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung jenis sel darah putih
menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50% atau lebih pada 50 sampai 500 per
µL sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis. Kandungan protein di atas 1
g/L dan glukosa kurang dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa
ditemukan hasil penemuan laboratorium yang berbeda. Untuk meyakinkan
diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-baru ini telah
dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase activity
(ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh limfosit,
deteksi antigen dan antibodi bakteri M.tuberculosis dan immunocytochemical
staining of mycobacterial antigens (ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF (20).
xx
Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cellmediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis (23,24). Aktivitas
ADA tidak dapat membedakan meningitis TB dengan meningitis bakterial lainnya,
tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi informasi tambahan yang berguna untuk
menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA
dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93% dan spesifitas <80%) dapat membantu
eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas
>96%) dapat membantu menegakkan diagnosis meningitis TB (p<0.001). Namun,
nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau mengeksklusi
diagnosis meningitis TB (p=0.07) (23). Hasil positif palsu juga bisa ditemukan
pada pasien dengan infeksi HIV (24).
Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh
antigen bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skintesting untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk
mendiagnosis TB ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi
menurut asal atau sumber infeksi primernya (25). Telah dilaporkan kegagalan tes
pengukuran IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika
distimulasi dengan antigen M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat
ditemukan negatif meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB (26).
Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF berdasarkan asumsi
bahwa pada stase inisial infeksi terjadi fagositosis basil TB oleh makrofag dan
pada stase selanjutnya basil TB tersebut berkembang dan bertambah di dalam
xxi
makrofag (27). Hasil tes yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat
bakteri TB di dalam CSF. Pada studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan
spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif dan negatif sebesar 52.9% dan 96%
berturut-turut (28).
Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah dilakukan pungsi
lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di sistem saraf pusat (defisit
neurologis), basil tahan asam positif dan atau atau M.tuberculosis terdeteksi
menggunakan metode molekular dan atau atau setelah dilakukan kultur cairan
serebrospinal (CSF) (20). Namun segala metode untuk memastikan sebuah
diagnosis meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi. Kultur
memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil. Deteksi mikroskopik
untuk basil tahan asam dan isolasi kultur memiliki sensitivitas rendah. Metode
molekular yang paling baru juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah
namun dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF
sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon terapi (20).
xxii
2.6. Penatalaksanaan Meningitis TB
Penatalaksanaan meningitis TB berdasarkan tiga komponen berbeda:
administrasi obat anti TB, modulasi respon imun dan manajemen atau
penatalaksanaan tekanan intrakranial yang meningkat. Berikut adalah guideline
dan dosis pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak baik lini pertama
dan lini kedua (20):
Tabel 2.6.1 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak
xxiii
Tabel 2.6.2 Guideline pemberian obat anti TB untuk infant dan anak-anak lini
kedua
Sebuah studi oleh Thwaites dkk. dilakukan secara acak pada 61 pasien
dewasa (usia >14 tahun) meningitis tuberkulosis. Pasien mendapat terapi
antituberkulosis standar saja atau kombinasi terapi antituberkulosis dengan
ciprofloxacin 750 mg tiap 12 jam (n=16), levofloxacin 500 mg tiap 12 jam (n=15),
atau gatifloxacin 400 mg tiap 24 jam (n=15) selama 60 hari pertama. Penetrasi
levofloxacin dalam cairan serebrospinal lebih besar dibandingkan gatifloxacin dan
ciprofloxacin, dengan nilai p < 0,001.
Simpulan studi ini adalah pasien meningitis tuberkulosis besar
kemungkinan mendapatkan manfaat dari terapi fluoroquinolone yang terlihat dari
xxiv
kaitan pajanan-respons yang berkaitan dengan perbaikan outcome.
Fluoroquinolone menambah aktivitas antituberkulosis pada terapi standar, tetapi
harus dimulai sesegera mungkin sebelum terjadi koma untuk mendapatkan
outcome lebih baik. Meningitis tuberkulosa merupakan penyakit tuberkulosis
ekstrapulmoner yang sifatnya fatal dan harus segera didiagnosis dan diterapi.
Kemungkinan besar pasien meningitis tuberkulosa mendapatkan manfaat dari
terapi fluoroquinolone (29).
Sedangkan rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk lini
pertama obat TB adalah sebagai berikut (30):
Tabel 2.6.3 Rekomendasi dosis obat TB lini pertama dari WHO
Fixed-dose drug combination (FDC) adalah obat yang mengandung dua
atau lebih jenis obat di dalam satu tablet atau kapsul. Keuntungan dari
xxv
penggunaan FDC adalah menurunkan resiko pembentukan resistensi terhadap obat
dan medication errors yang lebih sedikit sebab hanya sedikit obat yang perlu
diresepkan (31). Anak-anak di atas usia 8 tahun dengan berat badan lebih dari 30
kg dapat diberikan standard four-drug FDC atau FDC yang memiliki kandungan 4
jenis obat TB standar yang digunakan pada pasien dewasa selama fase intensif
(dua bulan) terapi (32).
Tabel 2.6.4 FDC untuk TB pada usia > 8 tahun dan berat badan > 30 kg
Ethambutol susah masuk ke dalam cairan serebrospinalis sehingga untuk
regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamide atau streptomycin.
Isoniazid 15-20 mg/kg/day (dosis harian maksimum 400 mg). Rifampicin 15-20
mg/kg/day (dosis harian maksimum 600 mg). Ethionamide 15-20 mg/kg/day
(dosis harian maksimum 1 g). Pyrazinamide 30-40 mg/kg/day (dosis harian
maksimum 2 g). Meningitis TB juga merupakan indikasi penggunaan
kortikosteroid, biasanya yang digunakan adalah prednisone oral yang diberikan
dosis 2 mg/kg/hari (maksimum 60 mg per hari) selama empat minggu sebagai
xxvi
tambahan obat TB dan dilakukan tapering off setelah dua minggu (total
penggunaan kortikosteroid 6 minggu) (32).
xxvii
BAB III
PENUTUP
Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari penyebaran
hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer
pada paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia masih banyak
sehingga diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB
merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat
karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB
memiliki gangguan neurologis walaupun telah di berikan antibiotik yang adekuat.
Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk
mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika
tidak ditangani.
xxviii
DAFTAR PUSTAKA
1. Susana Cha´vez-Bueno, MD, George H. McCracken, Jr, MD. Bacterial
Meningitis in Children. Department of Pediatrics, Division of Pediatric
Infectious Diseases, University of Texas Southwestern Medical Center of
Dallas. Pediatr Clin N Am 2005; 52: 795–810.
2. Ginsberg L. Difficult and recurrent meningitis. Journal of Neurology,
Neurosurgery and Psychiatry. 2004; 75: 16-21
3. Tunkel AR, Hartman BJ, Kaplan SL et al. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clinical Infectious Diseases 2004; 39: (9)
1267-84
4. T Ducomble, K Tolksdorf, I Karagiannis, B Hauer, B Brodhun, W Haas, L
Fiebig. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an
investigation of national surveillance data, Germany 2002 to 2009. Euro
Surveill. 2013; 18(12) 20436.
5. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. Nicola Principi*,
Susanna Esposito. Department of Maternal and Pediatric Sciences, Università
degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale Maggiore
Policlinico, Via Commenda 9, 20122 Milan, Italyen
6. Nofareni. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU.
2003; 1-13.
7. Yayan A. Israr. Meningitis. Faculty of Medicine – University of Riau, Arifin
Achmad General Hospital of Pekanbaru. 2008; 1-6.
8. Rahajoe N, Basir D, Makmuri, Kartasasmita CB, 2005, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta, halaman 54-56.
9. Hardiono D. Pusponegoro et al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
IDAI. 2004
10. Meningitis
tuberculosis.
http://www.mayoclinic.com/health/tuberculosis
Accessed September, 25th 2013.
11. Epidemiologi tbc Indonesia.
September, 25th 2013.
http://www.tbindonesia.or.id.
Accessed
12. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier
saunders; 2005. h. 106-13.
xxix
13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2.
Jakarta: Bagian Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
14. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2010. h. 189-96.
15. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for
Tuberculosis Care (ISTC). 2nd ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance, 2009.
16. Raviglione MC, O’Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s principles of internal
medicine. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2012
17. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada aids. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005
18. Bidstrup C, Andersen PH, Skinhøj P, Andersen AB. Tuberculous meningitis in
a country with a low incidence of tuberculosis: still a serious disease and a
diagnostic challenge.Scand J Infect Dis 2002;34:811e4.
19. Keane J. TNF-blocking agents and tuberculosis: new drugs illuminate an old
topic.Rheumatology (Oxford)2005;44:714e20
20. Nicola Principi, Susanna Esposito. Diagnosis and therapy of tuberculous
meningitis in children. Department of Maternal and Pediatric Sciences,
Università degli Studi di Milano, Fondazione IRCCS Ca’ Granda Ospedale
Maggiore Policlinico. Via Commenda 9, 20122 Milan, Italy. Tuberculosis
2012: 92; 377-383
21. Farinha NJ, Razali KA, Holzel H, Morgan G, Novelli VM. Tuberculosis of the
central nervous system in children: a 20-year survey.J Infect 2000;41:61e8
22. Saitoh A, Pong A, Waecker Jr NJ, Leake JA, Nespeca MP, Bradley JS.
Prediction of neurologic sequelae in childhood tuberculous meningitis: a
review of 20 cases and proposal of a novel scoring system.Pediatr Infect Dis
J2005;24:207e12.
23. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo L,
et al. Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review
with meta-analysis.Scand J Infect Dis2010;42:98e207.
24. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et
al.Adenosine deaminase activity in cerebrospinalfluid of HIV-infected
xxx
patients: limited value for diagnosis of tuberculous meningitis.Eur J Clin
Microbiol InfectDis2004;23:471e6
25. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. Diagnostic
perfor-mance of an enzyme-linked immunospot assay for interferon-gamma in
extrapulmonary tuberculosis varies between different sites of disease.J Infect
2009;59:402e8
26. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al.
The clinical benefit of adjunctive dexamethasone in tuberculous meningitis is
not associated with measurable attenuation of peripheral or local immune
responses.J Immunol 2005;175:579e90
27. Sumi MG, Mathai A, Reuben S, Sarada C, Radhakrishnan VV. Immunocytochemical method for early laboratory diagnosis of tuberculous meningitis.Clin
Diagn Lab Immunol2002;9:344e7
28. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. Sensitivity and
specificity of immunocytochemical staining of mycobacterial antigens in the
cytoplasm of cerebrospinalfluid macrophages for diagnosing tuberculous
meningitis.J ClinMicrobiol2011;49:3388e91
29. Thwaites GE, Bhavnani SM, Chau TTH, Hammel JP, Torok ME, Wart SAV,
et. al. A randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of fl
uo-roquinolones for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother
2011; doi:10.1128/AAC.00064-11.
30. European Medicines Agency. Anti-tuberculosis medicinal products containing
isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, rifabutin: posology in
children. 2012; EMA/227191/2012.
31. Guidelines for Tuberculosis Control in New Zealand 2010 Chapter 3:
Treatment of Tuberculosis Disease. 2010; Wellington: Ministry of Health.
32. DP Moore, HS Schaaf, J Nuttall, BJ Marais. Childhood tuberculosis guidelines
of the Southern African Society for Paediatric Infectious Diseases. South Afr J
Epidemiol Infect. 2009;24(3).
xxxi
Download