F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic Epidemiologi, patogenesis dan gambaran klinis dari infeksi Meningokok Murad Lesmana Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti ABSTRACT Meningococcal disease which is caused by Neisseria meningitidis occurs worldwide as endemic infections. Strains of serogroups B and C cause the majority of infection in industrialized countries whereas strains of serogroups A and, to a lesser extent, C dominate in developing countries. The incidence of meningococcal disease during the last 30 years varies from 1-3/100,000 in most industrialized countries to 10-25/100,000 in some third-world countries. These differences reflect the different pathogenic properties of N. meningitidis strains and different socio-economic, environmental and climatological conditions.(J Kedokter Trisakti 2000;19(3):96-103) Key words : Meningicoccal disease, serogroups, N.meningitidis strains. ABSTRAK Penyakit meningokok yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis dijumpai di seluruh dunia sebagai infeksi endemik. Galur (strains) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan penyebab utama penyakit ini pada negara-negara maju, sedangkan serogrup A, dan sejumlah serogrup kecil serogrup C dijumpai di negara-negara berkembang.Insiden penyakit meningokok pada 30 tahun insidens terakhir bervariasi antara 1 sampai 3 per 100.000 penduduk di negara maju dan 10 sampai 25 per 100.000 di negara berkembang. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat patogenik kuman N.meningitidis serta perbedaan dalam segi sosio-ekonomis, lingkungan dan kondisi iklim. Kata kunci : infeksi menigokok, serogrup N. mengitidis. PENDAHULUAN Infeksi meningokok dijumpai di seluruh dunia sebagai infeksi endemik dan disebabkan oleh Neisseria meningitidi yang menyerang ter-utama anak-anak sehat dengan insidens dan angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu sekitar 10%. (1) Kuman ini secara eksklusif terdapat pada manusia, berbentuk bulat berpasangan (diplokok) seperti biji kopi, negatifgram dan diliputi oleh suatu membran (outer membrane) yang terdiri dari lemak, protein dan lipopolisakarida. Melalui pengujian serologik, kuman ini dibagi atas beberapa grup (serogup) yang kesemuanya berjumlah 13 dan 20 tipe (serotipe). Galur (strain) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan penyebab utama radang selaput otak (meningitis) di negaranegara maju sedangkan galur dari serogrup A dan sebagian kecil C banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Penentuan serotipe sangat penting dipandang dari segi strategi pengembangan vaksin, namun tidak memadai untuk tujuan epidemiologi modern. (2) Dengan menggunakan pendekatan genetik, terutama cara multilocus enzyme electrophoresis,dapat diperoleh suatu gambaran yang lebih baik mengenai epidemiologi dan ekspansi klonal penyakit yang disebabkan oleh N. meningitidis ini. J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 96 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic EPIDEMIOLOGI Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara memiliki pola epidemiologis yang khusus. Daerah ini yang sering disebut juga sebagai meningitis belt meliputi kurang lebih 10 negara di antaranya adalah Burkina Faso, Ghana, Togo, Benin, Niger, Nigeria, Chad, Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan Sudan. (3,4) Di daerah ini, infeksi meningokok yang disebabkan oleh serogrup A timbul secara berulang setiap tahun sebagai suatu gelombang. Derajat serangan penyakit meningkat pada akhir musim kering dan secara cepat menurun setelah musim hujan mulai. (4-6) Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens penyakit dapat mencapai 1000/100.000 penduduk. (7) Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang disebabkan oleh galurgalur N. meningitidis yang secara genetik saling berkaitan erat. (2) Wabah yang paling besar yang berasal dari Cina bagian utara dan meyebar ke selatan dan kemudian ke seluruh dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones) dari serogrup A yaitu subgrup I dan III). (2,5) Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen India pada tahun 1983 sampai 1987. Pada tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur Tengah, kemudian menyebar lebih jauh dan menimbulkan epidemi yang luas di jasirah Arab dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah ini bergerak kebagian lebih selatan dari daerah tradisional meningitis belt sampai mencapai Afrika Selatan di tahun 1996.(8) Pada tahun itu terdapat lebih dari 150.000 kasus dan sedikitnya 16.000 meninggal. (2,5,9) Di banyak negara maju, galur serogrup B bertahan selama lebih dari 30 tahun. Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET-37. (2) Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris dan Belanda), infeksi hiperendemik dengan derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan sejak pertengahan tahun 1970-an, (2,4,6) derajat serangan penyakit yang relatif tinggi dan persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B yang termasuk ET-5. Galur ini beredar di antara penduduk setempat dengan transmisibilitas rendah tetapi derajat virulensinya tinggi.(7,10) Galur grup B dengan karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada tahun 1974, dan pada tahun 1980-an juga di Jepang, Tahiland, Spanyol, Cuba, Cili dan Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini menyebar ke Afrika Utara dan Australia.(2) Di Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda dengan bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi wabah yang besar. Pada saat dilaporkan terjadinya wabah oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul di Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada tahun 1980-an, klon ini merupakan klon yang paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an (10) dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa.(2) Galur yang termasuk ET-37 menyebabkan wabah di antara personil militer di Amerika. Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15 muncul pada akhir tahun 1980-an di Amerika Utara dan menyebabkan meningkatnya angka serangan infeksi meningokokal di daerah ini. (11-13) Pada sebagian daerah di Amerika, serogrup Y, muncul sejak th 1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus endemis. Sekitar satu-per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan oelh serogrup Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh serogrup B. (14) Studi epidemiologis dengan metode molekuler telah menunjukan suatu gambaran yang kompleks mengenai kelompok klon meningokokal patogenik yang menyebabkan wabah yang menyebar ke seluruh dunia. Namun demikian, mekanisme dengan cara bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas di suatu daerah sedangkan daerah lain tidak terkenai, masih merupakan suatu pertanyaan . MEKANISME PATOLOGIS Ada 4 kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal yang sifatnya invasif ini, yaitu: (i) paparan tehadap galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi kuman J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 97 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya pasasi melalui mukosa, dan (iv) kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah. Naso-pharynx manusia adalah satu-satunya reservoir alamiah dari N. meningitidis. Kumankuman ini ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung secara droplet. Daya tahan hidup kuman di sini dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim yaitu suhu dan kelembaban. Pada periode infeksi endemik, sekitar 10% penduduk mengidap kuman ini dalam hidungnya. (15) Meskipun demikian, 9 dari 10 jenis kuman yang diisolasi dari carrier bukan termasuk kuman yang patogenik. Mengapa suatu jenis kuman dapat berkolonisasi di mukosa nasooropharyngeal sedangkan jenis yang lain tidak dapat, hal ini masih merupakan suatu pertanyaan.Kolonisasi bakteri terjadi pada bagian permukaan luar sel mukosa dan pada intra-atau sub-epitelial. Kerusakan pada epitel bersilia dari nasopharynx merupakan langkah pertama dari proses kolonisasi bakteri ini. Kerusakan fisik karena merokok dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit ini, demikian pula halnya dengan stres dan infeksi virus yang mendahului yang menyebabkan perubahan pada keutuhan dari permukaan mukosa atau mempengaruhi imunitas lokal atau sistemik. (16) Selanjutnya kuman-kuman meningokok menembus epitel mukosa dengan jalan melalui vakuol fagositik sebagai akibat endositosis dan mencapai aliran darah. Di dalam aliran darah ini kuman-kuman dapat berkembang biak karena adanya faktor virulen bakteri atau karena inkompetensi daya tahan tubuh penderita. Daya tahan pejamu setelah invasi meningokok ditentukan oleh respons seluler dan humoral yang merupakan sistem imun adaptif dari pejamu. Antibodi spesifik memberikan perlindungan penuh terhadap infeksi, akan tetapi oleh karena pembentukan antibodi memerlukan waktu sedikitnya seminggu setelah terjadinya kolonisasi, pertahanan awal sangat tergantung dari elemen-elemen imunitas yang memberikan reaksi cepat seperti misalnya complement-mediated bacteriolysis dan opsonophagocytosis. Pada individu normal, insidens penyakit meningokok berkaitan dengan titer spesifik antibodi. Insidens yang tertinggi dijumpai pada usia 6-24 bulan, pada saat antibodi maternal menghilang.(3) Sepanjang hidup manusia, antibodi spesifik ini secara terus menerus dan berkesinambungan diinduksi oleh adanya jenis-jenis lain dari kuman meningokok dan N. lactamica yang berada di naso-oropharynx. Kuman-kuman ini menimbulkan pembentukan antibodi yang bereaksi silang dengan meningokok.. Pada sisi lain, antibodi IgA yang tidak mengaktifkan komplemen, dapat melekat pada epitop yang penting dan menutup epitop ini dan memberi kesempatan pada antibodi seperti IgG dan IgM untuk mengaktivasikan komplemen. Obat-obat imunosupresif dan penyakit-penyakit auto-imun seperti lupus erythematosus adalah merupakan salah satu faktor risiko penyakit. Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman meningokok dalam darah dapat berlangsung karena adanya gangguan fungsi pertahanan intravaskuler, baik ini disebabkan oleh karena sifat-sifat khusus kuman itu sendiri maupun karena sistem imun yang defektif dari pejamu. GEJALA KLINIS DARI MENINGOKOKAL INVASIF INFEKSI Sekali kuman meningokok mencapai aliran darah, berbagai manifestasi penyakit dapat terjadi. Pada beberapa penderita, mungkin ditemukan demam berderajat rendah dan meningokok secara spontan hilang dari darah, meninggalkan keadaan yang disebut sebagai transient meningococcemia yang disifati oleh episode demam singkat mirip flu.(17) Apabila keadaan bakteremia ini menetap, tidak hilang maka timbullah gejalagejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang menonjol adalah gejala yang disebabkan oleh sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin dan repons tubuh penderita terhadap toksin tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari penderita dengan meningococcal septic shock melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar dari pada galur yang menyebabkan chronic J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 98 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic benign meningococcemia. (18) Pada hampir semua penderita yang mengalami shock dan pada kebayakan penderita-penderita meningitis, awal dari fase bakteremia ditandai dengan adanya serangan panas tinggi dan menggigil, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri paha, atau nyeri otot-otot dan sendi umum. Dalam waktu beberapa jam, keadaan dapat berkembang menjadi sepsis fulminan tanpa gejala meningitis. Keadaan ini disifati oleh adanya endotoksin dan sitokin dalam plasma dalam jumlah besar. Berdasarkan urut-urutan kejadian patofisiologis, penderita-penderita infeksi meningokok dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan: (i) penderita dengan bakteremia tanpa shock, (ii) penderita dengan bakteremia dan shock tanpa gejala meningitis, (iii) penderita dengan shock dan meningitis, dan (iv) penderita dengan hanya meningitis saja. Klasifikasi penderita pada salah satu dari kelompok klinis ini sangat membantu di dalam pengambilan keputusan terutama untuk perawatan intensif secara maksimal. Pada beberapa kasus dapat terjadi infeksi metastatik berupa arthritis atau pericarditis yang umumnya disebabkan oleh serogrup C dari N. meningitidis. (19) Selain gejala arthritis atau pericarditis pada penderita-penderita ini dapat ditemukan kemerahan kulit (rash) dan rekrudensi demam yang terjadi pada 10-20% penderita pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu konvaleseni dari penyakitnya. Sejumlah kecil penderita-penderita, mungkin kurang dari 1% dan terdiri terutama dari orang dewasa, dijumpai satu atau lebih episode kenaikan suhu badan yang tajam (spiking), arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit yang rekuren; sindrom ini dikenal sebagai chronic benign meningococcemia. (18) Di samping infeksi meningoccocemia ini, juga dilaporkan infeksi meningokok lain seperti meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia, adnexitis, atau pelvic inflammatory disease (PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini mudah terlewati karena secara klinis sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit primer dan penyakitnya sendiri mudah diobati dengan obat-obat standar. FULMINANT MENINGOCOCCAL SEPSIS (FMS) DAN DIC FMS disifati oleh adanya shock dan disseminated intravascular coagulation (DIC), dua proses yang saling berkaitan. Shock dan DIC memiliki kesamaan mekanisme kausal dan saling menguatkan. Misalnya, trombosis mikrovaskuler menyebabkan hipoperfusi (shock) dan sebaliknya shock menginduksi kerusakan endotel dan DIC. Shock disebabkan oleh bocornya kapiler, gangguan tonus vaskuler, mikrotrombosis intravaskuler dan disfungsi miokardial. Aktivator utama yang menimbulkan keadaan ini adalah endotoksin meningokok dan beratnya shock ini mempunyai korelasi dengan derajat endotoksemia. Perdarahan kulit merupakan ciri dari penyakit meningokok invasif. Secara mikroskopik, lesi ini mempunyai karakteristik berupa kerusakan endotel dan perdarahan di sekitar pembuluhpembuluh darah kecil serta adanya trombi di daerah tersebut. Keadaan ini sesuai dengan reaksi Sanarelli-Schartzman. Lesi ini mencerminkan vaskulitis dan sitokin– endotoksin. Meskipun DIC adalah suatu fenomena yang sistemik, tetapi terutama kelenjar adrenal adalah yang paling rentan. Perdarahan adrenal, yang secara post-mortal didiagnosis sebagai sindrom WaterhouseFriderichsen, dapat menimbulkan insufisiensi adrenal secara transitori. Pada keadaan ini, pembuluh-pembuluh intraserebral tetap utuh tidak mengalami kerusakan. DIC yang berat senantiasa berkaitan dengan progosis penyakit yang buruk. Angka mortalitas FMS cukup tinggi bervariasi antara 20-80% tergantung dari daerah studi. Keadaan ini sangat tergantung dari perjalanan penyakit pada daerah yang bersangkutan dan kualitas penangangan medis sebelum penderita mendapat perawatan darurat di rumah sakit. Selain itu perbedaan angka mortalitas tersebut tergantung pula pada perbedaan definisi penyakit. Studi klinis umumnya hanya memasukkan penderita-penderita dengan shock yang nyata ke dalam kriteria sepsis sedangkan banyak studi epidemiologis mendefinisikan sepsis dari adanya purpura di kulit atau biakan J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 99 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic darah yang positif. Jelas bahwa definisi yang seragam, pengobatan serta perawatan, dan hasilnya sangat diperlukan untuk mendapatkan perbandingan yang dapat dipercaya. Secara klinis, penyakit ini sangat cepat mengalami perubahan, sekitar setengah dari penderita-penderita yang meninggal terjadi pada 24 jam pertama setelah dijumpainya gejala-gejala. Dalam suatu laporan (20) dinyatakan bahwa satu-per-tiga dari penderita dengan penyakit yang fatal, meninggal pada waktu antara 6 dan 18 jam. Sering pula dijumpai komplikasi berupa perdarahanperdarahan, anuria, dan kegagalan organ secara mulitpel. Setelah 4-10 hari dan tidak meninggal, 10-20% (20) penderita dengan infeksi meningokok akan mengalami demam kembali yang umumnya diikuti dengan kemerajhan kulit dan kadangkadang arthritis steril atau perikarditis. Kelainan ini adalah suatu manifestasi imunokompleks semata dan akan menghilang secara spontan dengan terapi simtomatik. PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS Patofisiologi. Sebagian besar pengetahuan mengenai patofisiologi dari meningitis bakterial didasarkan pada eksperimen dengan menginokulasikan bakteri tersebut secara intrasiternal. Dengan sendirinya, model ini tidak memberikan gambaran efek imunologis dan endokrinologis dari keadaan bakteremia yang mendahului gejala yang terjadi. Studi yang relatif jarang adalah yang menggunakan percobaan inokulasi intranasal; studi ini memberikan gambaran yang mirip sekali dengan situasi penyakit pada manunsia. Mekanisme yang melatar-belakangi infeksi meningokok pada selaput otak dan perjalanannya menembus blood-brain barrier belum sepenuhnya dipahami. Sekali daya pertahanan humoral dan seluler pejamu di rongga subarachnoid menurun atau hilang, kuman-kuman meningokok dapat berkembang biak secara tidak terkendali dan menimbulkan berbagai gejala melalui endotoksin yang diproduksinya. Obat-obat antibiotika tidak dapat menghentikan dengan segera proses peradangan yang terjadi di selaput otak, bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk kondisi penderita karena mempercepat terjadinya pelepasan endotoksin. (21) Keadaan ini berbeda dengan keadaan sepsis di mana pelepasan endotoksin yang diinduksi antibiotika tidak terjadi di sini. Perbedaan ini disebabkan oleh karena mekanisme pembersihan (clearance) endotoksin dan/atau regulasi produksi sitokin di cairan serebrospinal berbeda dari proses yang terjadi di dalam darah. Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis meningokokal adalah: pada meningitis, respon peradangan terlokalisasi pada daerah ekstravaskuler yang tidak memiliki sistem komplemen dan koagulasi. Pada sepsis meningokokal, bentuk penyakitnya adalah paling berat dengan angka mortalitas yang tinggi dan terjadi sekuele yang berat karena terjadinya inflamasi endovaskuler dan trombosis, sedangkan pada meningitis meningokok angka kematian dan sekuele neurologisnya relatif rendah. Pada meningitis meningokok kadang-kadang terjadi hernia dari batang otak yang sifatnya fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat membesar dan terjadinya udem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial sehingga terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5% berkaitan dengan meningitis meningokok disebabkan karena komplikasi fatal yang tak teratasi ini. Pada otopsi tampak adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan dengan selaput otak yang meradang di samping tanda-tanda meningitis sendiri. Sekuele neurologis yang dilaporkan berkisar 820% dari penderita-penderita yang bertahan hidup (22-24) meliputi berbagai kelainan seperti tuli sensorineural, rertardasi mental, spastisitas dan/atau kejang-kejang. Diagnosis. Oleh karena penyakit meningokokal akut, terlebih FMS, dapat bersifat fatal dalam beberapa jam saja, maka diagnosis dini mempunyai arti yang sangat penting. Gejala dini yang tipikal adalah bilamana seorang anak yang sama sekali sebelumnya sehat mengeluh demam yang mendadak disertai menggigil dan nyeri otot J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 100 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic (mialgia). Setelah beberapa jam (4-6 jam) mungkin tampak perbaikan klinis secara sementara yang menutupi proses penyakit yang berlanjut. Pada stadium dini ini gejala dan tanda-tanda penyakit sangat membingungkan. Manifestasi kulit menyerupai kemerahan yang disebabkan virus, tak ada kaku kuduk dan pemeriksaan cairan serebrospinal dan gambaran mikroskopiknya (pewarnaan Gram) tidak memberikan kesimpulan apapun. Stadium awal dari meningitis meningokok menyerupai FMS oleh karena gejala-gejala awal penyakit ditentukan oleh masuknya kuman-kuman meningokok secara tiba-tiba ke dalam aliran darah. Akan tetapi secara umum gejala-gejala meningitis meningokok berjalan lebih lambat. Lesi hemoragis kulit yang karakteristik menjadi jelas 12-18 jam setelah gejala penyakit yang pertama timbul; pada 20% penderita tidak terdapat gejala kulit ini. (24-25) Apabila penderita menunjukkan adanya demam, sakit kepala, fotofobia, iritabilitas, muntah, kehilangan kesadaran, kaku kuduk, dan lesi kulit, maka hampir dapat dipastikan diagnosis meningitis meningokok dapat ditegakkan. Diagnosis bakteriologis FMS secara cepat dapat dibuat dengan melakukan pewarnaan Gram dari biopsi lesi kulit, buffy coat atau cairan serebrospinal. Pada meningitis meningokok, lesi kulit jarang menunjukkan adanya meningokok, hanya sampel cairan serebrospinal saja yang positif . Biakan kuman memberikan hasil positif setelah 12-24 jam. Pemberian antibiotika sebelum pengambilan sampel untuk biakan mikrobiologis dapat menyebabkan biakan darah dan cairan serebrospinal menjadi negatif, tetapi biakan dari biopsi kulit masih tetap dapat memberikan hasil positif. PENGOBATAN DAN PERAWATAN Pada jam-jam pertama, penderita harus diamati secara intensif karena shock dapat terjadi setelah penderita mendapat antibiotika. (26) Perlu diingat bahwa mengikuti perkembangan (monitor) tekanan darah sistolik pada penderita anak-anak tidaklah memadai untuk dapat mengawasi terjadinya shock. Indikator yang lebih baik adalah: tekanan darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler yang terlambat, ekstrimitas yang dingin, dan takikardia. Terapi antibiotika harus dimulai sedini mungkin. Keprihatinan bahwa pemberian antibiotika yang dini menyebabkan bertambah buruknya keadaan klinik penderita karena antibiotika (terutama dari golongan -lactam) menginduksi pelepasan endotoksin belum pernah terbukti secara klinis.(27) Sebaliknya, penundaan terapi antibiotika dapat berakibat meningkatnya proses-proses bakteriologis dan menyebabkan response peradangan yang berakibat buruk. Bilamana pemberian antibiotika dilakukan pada waktu penyakit telah berjalan lanjut misalnya pada saat lesi iskemik telah berjalan, lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek antibiotika. Penanganan shock perlu dilakukan sebaikbaiknya dan secepatnya. Oleh karena di samping terjadi kebocoran kapiler secara ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti oleh depresi kardiac yang berat sehingga dapat timbul kongesti pulmonal, maka jumlah pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara umum, suport inotropik dan vasopresif dibutuhkan sejak awal penyakit. Hipoglikemia mungkin ditemukan pada bayibayi, dan ini perlu segera dikoreksi. Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan FMS masih bersifat kontroversial. Sampai awal tahun 1980-an, pemakaian glukokortikoid secara luas diterima sebagai terapi baku yang dapat menurunkan angka kematian pada infeksi meningokok . Pada keadaan di mana tidak ada ancaman untuk terjadinya hernia serebral atau shock, pengobatan meningitis meningokok secara relatif lebih sederhana dan hanya membutuhkan antibiotik parenteral serta pengawasan yang intensif dari penderita. PENUTUP Gambaran meningeal yang disebabkan oleh infeksi meningokok membuat profesi J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 101 .d o m w o .c C m Epidemiologi infeksi meningokok o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic medis terpaku sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ekstrameningeal terlewatkan. Keadaan ini telah menimbulkan kegagalan umum dalam mengenali sifat-sifat dasar Daftar Pusataka. 1. Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease. J Med Microbiol 1993;39:3-25. 2. Caugant DA. Population genetics and molecular epidemiology of Neisseria meningitidis. APMIS 1998;106:505-25. 3. Van Deuren M, Brandtzaeg P, van der Meer JWM. Update on meningococcal disease with emphasis on pathogenesis and clinical management. Crit Microbiol Rev 2000;13:14466. 4. Moore PS. Meningococcal meningitis in subSahara Africa: a model for the epidemic process. Clin Infect Dis, 1992; 14:515-25. 5. Achtman M. Global epidemiology of meningococcal disease. In K. Cartwright.editor. Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.159-75. 6. Schwartz B, Moore PS, Broome CV. Global epidemiology of meningococcal disease. Clin Microbiol Rev 1989; 2(suppl): S118-S 24. 7. Riedo FX, Plikaytis BD, Broome CV. Epidemiology and prevention of meningococcal disease. Pediatr Infect Dis J 1995;14:643-57. 8. McGee L, Koornhof HJ, Caugant DA. Epidemic spread of subgroup III of Neisseria meningitidis serogroup A to South Africa in 1996. Clin Infect Dis 1998; 27:1214-20. 9. Guibourdenche M, Høiby EA, Riou JY, Varaine F, Joguet C, Caugant DA. Epidemics of serogroup A Neisseria meningitidis of subgroup III in Africa, 1989-994. Epidemiol Infect 1996;116:115 –20. 10. Scholten RJPM, Poolman JT, Valkenburg HA, Bijlmer HA, Dankert J, Caugant DA. Phenotype and genotype changes in a new clone complex of Neisseria meningitidis causing disease in the Netherlands, 1958-1990. J Infect Dis 1994; 169:673-76. 11. Jones D. Epidemiology of meningococcal disease in Europe and the USA. In K. Cartwright editor, Meningococcal disease. Chichester, United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.147-57. 102 J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 w penyakit seperti halnya sepsis meningokok yang pada akhirnya menyebabkan berbagai akibat dalam bidang diagnosis dan pengobatan. 12. Ashton FE, Ryan JA, Borczyk A, Caugant DA, Mancino L, Huang D. Emergence of a virulent clone of Neisseria meningitidis serotype 2a that is associated with meningococcal group C disease in Canada. J Clin Microbiol 1991; 29:2489-93. 13. Jackson LA, Schuchat A, Reeves MW, Wenger JD. Serogroup C meningococcal outbreaks in the United States, en emerging threat. JAMA 1995; 273:383-9. 14. Racoosin JA, Whitney CG, Conover CS, Diaz PS. Serogroup Y meningococcal disease in Chicago., 1991-1997. JAMA 1998; 280:209498. 15. Caugant DA, Høiby EA, Magnus P, Scheel O, Hoel T, Bjune G. Asymptomatic carriage of Neisseria meningitidis in a randomly sampled population. J Clin Microbiol 1994; 32:323-30. 16. Moore PS, Reeves MW, Schwartz B, Gellin G, Broome CV. Intercontinental spread of an epidemic group A Neisseria meningitidis strain. Lancet 1989; ii: 260-3. 17. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria meningitidis bacteremia in children: quantitation of bacteremia and spontaneous clinical recovery without antibiotic therapy. Pediatrics 1987; 80:63-7. 18. Ploysangam T, Sheth AP. Chronic meningococcaemia in childhood: case report and review of the literature. Pediatr Dermatol 1996; 13:483-7. 19. Wells M, Gibbons RB. Primary meningococcal arthritis: case report and review of the literature. Mil Med 1997;162:769-72. 20. Emparanza JL, Aldamiz-Echevarria L, PerezYarza EG, Larranaga P, Jiminez JL, Labiano M, et al. Progostic score in acute meningococcaemia. Crit Care Med 1988; 16:168-9. 21. Friedland IR, Jafari H, Ehrett S, Rinderknecht S, Paris M, Coulthard M, et al. Comparison of endotoxin release by different antimicrobial agents and the effect on inflammation in experimental Escherichia coli meningitis. J Infect Dis 1993; 168:657-62. 22. Baraff LJ, Lee SI, Schriger DL. Outcomes of bacterial meningitis in children: a metaanalysis. Pediatr Infect Dis J 1993; 12:389-94 .d o m Lesmana o .c C m o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c F -X C h a n ge F -X C h a n ge c u -tr a c k N y bu to k lic 23. Pomeroy SL, Holmes SJ, Dodge PR, Feigin RD. Seizures and other neurologic sequelae of bacterial meningitis in children. N Engl J Med 1990; 323:1651-7. 24. Schildkamp RL, Lodder MC, Bijlmer HA, Dankert J, Scholten RJ. Clinical manifestations and course of meningococcal disease in 562 patients. Scand J Infect Dis 1996; 28:47-51 25. Quagliarello V, Scheld WM. Bacterial meningitis: pathogenesis, pathophysiology, and progress. N Engl J Med 1992; 327:864-72. 103 J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 w 26. Kirsch EA, Barton RP, Kitchen Lgiroir BP. Pathophysiology, treatment and outcome of meningococcemia: a review and recent experience. Pediatr Infect Dis J 1996; 15:96778. 27. Granier S, Owen P, Pill R, Jacobson L. Recognizing meningococcal disease in primary care: qualitative study of how general practitioners process clinical and contextual information. Br Med J 1998; 316:276-9. .d o m Lesmana o .c C m o .d o w w w w w C lic k to bu y N O W ! PD O W ! PD c u -tr a c k .c