Epidemiologi, patogenesis dan gambaran klinis dari infeksi

advertisement
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
Epidemiologi, patogenesis dan gambaran klinis
dari infeksi Meningokok
Murad Lesmana
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
ABSTRACT
Meningococcal disease which is caused by Neisseria meningitidis occurs worldwide as endemic
infections. Strains of serogroups B and C cause the majority of infection in industrialized countries
whereas strains of serogroups A and, to a lesser extent, C dominate in developing countries. The
incidence of meningococcal disease during the last 30 years varies from 1-3/100,000 in most
industrialized countries to 10-25/100,000 in some third-world countries. These differences reflect the
different pathogenic properties of
N. meningitidis strains and different socio-economic,
environmental and climatological conditions.(J Kedokter Trisakti 2000;19(3):96-103)
Key words : Meningicoccal disease, serogroups, N.meningitidis strains.
ABSTRAK
Penyakit meningokok yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis dijumpai di seluruh dunia
sebagai infeksi endemik. Galur (strains) yang termasuk dalam serogrup B dan C merupakan penyebab
utama penyakit ini pada negara-negara maju, sedangkan serogrup A, dan sejumlah serogrup kecil
serogrup C dijumpai di negara-negara berkembang.Insiden penyakit meningokok pada 30 tahun
insidens terakhir bervariasi antara 1 sampai 3 per 100.000 penduduk di negara maju dan 10 sampai
25 per 100.000 di negara berkembang. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan sifat
patogenik kuman N.meningitidis serta perbedaan dalam segi sosio-ekonomis, lingkungan dan kondisi
iklim.
Kata kunci : infeksi menigokok, serogrup N. mengitidis.
PENDAHULUAN
Infeksi meningokok dijumpai di seluruh
dunia sebagai infeksi endemik dan disebabkan
oleh Neisseria meningitidi yang menyerang
ter-utama anak-anak sehat dengan insidens
dan angka mortalitas yang cukup tinggi yaitu
sekitar 10%. (1) Kuman ini secara eksklusif
terdapat pada manusia, berbentuk bulat berpasangan (diplokok) seperti biji kopi, negatifgram dan diliputi oleh suatu membran (outer
membrane) yang terdiri dari lemak, protein dan
lipopolisakarida.
Melalui pengujian serologik, kuman ini
dibagi atas beberapa grup (serogup) yang
kesemuanya berjumlah 13 dan 20 tipe
(serotipe). Galur (strain) yang termasuk dalam
serogrup B dan C merupakan penyebab utama
radang selaput otak (meningitis) di negaranegara maju sedangkan galur dari serogrup A
dan sebagian kecil C banyak ditemukan di
negara-negara berkembang. Penentuan serotipe
sangat penting dipandang dari segi strategi
pengembangan vaksin, namun tidak memadai
untuk tujuan epidemiologi modern. (2)
Dengan menggunakan pendekatan genetik,
terutama cara multilocus enzyme electrophoresis,dapat diperoleh suatu gambaran yang
lebih baik mengenai epidemiologi dan
ekspansi klonal penyakit yang disebabkan
oleh N. meningitidis ini.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 96
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
EPIDEMIOLOGI
Meningitis di daerah Afrika sub-Sahara
memiliki pola epidemiologis yang khusus.
Daerah ini yang sering disebut juga sebagai
meningitis belt meliputi kurang lebih 10
negara di antaranya adalah Burkina Faso,
Ghana, Togo, Benin, Niger, Nigeria, Chad,
Cameroon, Republik Afrika Tengah, dan
Sudan. (3,4) Di daerah ini, infeksi meningokok
yang disebabkan oleh serogrup A timbul
secara berulang setiap tahun sebagai suatu
gelombang. Derajat serangan penyakit
meningkat pada akhir musim kering dan secara
cepat menurun setelah musim hujan mulai. (4-6)
Pada saat puncak terjadinya epidemi, insidens
penyakit dapat mencapai 1000/100.000
penduduk. (7)
Sejak akhir tahun 1960-an, terjadi epidemi yang luas yang disebabkan oleh galurgalur N. meningitidis yang secara genetik
saling berkaitan erat. (2) Wabah yang paling
besar yang berasal dari Cina bagian utara dan
meyebar ke selatan dan kemudian ke seluruh
dunia, disebabkan oleh 2 jenis klon (clones)
dari serogrup A yaitu subgrup I dan III). (2,5)
Klon Subgrup III menyebar ke subkontinen
India pada tahun 1983 sampai 1987. Pada
tahun 1987, klon ini mencapai daerah Timur
Tengah, kemudian menyebar lebih jauh dan
menimbulkan epidemi yang luas di jasirah
Arab dan Afrika. Pada tahun 1990-an, wabah
ini bergerak kebagian lebih selatan dari daerah
tradisional meningitis belt sampai mencapai
Afrika Selatan di tahun 1996.(8) Pada tahun itu
terdapat lebih dari 150.000 kasus dan
sedikitnya 16.000 meninggal. (2,5,9)
Di banyak negara maju, galur serogrup B
bertahan selama lebih dari 30 tahun.
Kebanyakan galur ini termasuk kompleks
klonal yang dikenal sebagai ET-5 dan ET-37. (2)
Di bagian barat-laut Eropa (Norwegia, Inggris
dan Belanda), infeksi hiperendemik dengan
derajat serangan 4 sampai 50/100.000 bertahan
sejak pertengahan tahun 1970-an, (2,4,6) derajat
serangan penyakit yang relatif tinggi dan
persisten ini disebabkan oleh galur serogrup B
yang termasuk ET-5. Galur ini beredar di
antara
penduduk
setempat
dengan
transmisibilitas
rendah
tetapi
derajat
virulensinya tinggi.(7,10) Galur grup B dengan
karakteristik ET-5 ditemukan di Cina pada
tahun 1974, dan pada tahun 1980-an juga di
Jepang, Tahiland, Spanyol, Cuba, Cili dan
Brazilia. Pada tahun 1990-an galur ini
menyebar ke Afrika Utara dan Australia.(2) Di
Amerika, kasus-kasus dilaporkan dijumpai
pada imigran dari Kuba, tetapi berbeda dengan
bagian barat-laut Eropa, di sini tidak terjadi
wabah yang besar.
Pada saat dilaporkan terjadinya wabah
oleh ET-5 di seluruh dunia, galur yang
termasuk dalam klonal kompleks dari serogrup
B yang lain (ET-24 dan ET-25) timbul di
Eropa. Mula-mula ditemukan di Belanda pada
tahun 1980-an, klon ini merupakan klon yang
paling dominan menjelang akhir tahun 1990-an
(10)
dan kemudian menyebar ke seluruh
Eropa.(2)
Galur yang termasuk ET-37 menyebabkan
wabah di antara personil militer di Amerika.
Salah satu varian dari ET-37 yaitu ET-15
muncul pada akhir tahun 1980-an di Amerika
Utara dan menyebabkan meningkatnya angka
serangan infeksi meningokokal di daerah ini.
(11-13)
Pada sebagian daerah di Amerika, serogrup Y,
muncul sejak th 1990-an dan menjadi
penyebab penting dari kasus-kasus endemis.
Sekitar satu-per-tiga kasus-kasus di daerah
tertentu di Amerika disebabkan oelh serogrup
Y ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh
serogrup C dan sisanya oleh serogrup B. (14)
Studi epidemiologis dengan metode
molekuler telah menunjukan suatu gambaran
yang kompleks mengenai kelompok klon
meningokokal patogenik yang menyebabkan
wabah yang menyebar ke seluruh dunia.
Namun demikian, mekanisme dengan cara
bagaimana klon yang patogenik ini menimbulkan epidemi secara luas di suatu daerah
sedangkan daerah lain tidak terkenai, masih
merupakan suatu pertanyaan .
MEKANISME PATOLOGIS
Ada 4 kondisi yang memungkinkan
terjadinya penyakit meningokokal yang
sifatnya invasif ini, yaitu: (i) paparan tehadap
galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi kuman
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 97
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya
pasasi melalui mukosa, dan (iv) kemampuan
meningokok untuk dapat bertahan di darah.
Naso-pharynx manusia adalah satu-satunya
reservoir alamiah dari N. meningitidis. Kumankuman ini ditularkan dari satu orang ke orang
lain melalui kontak langsung secara droplet.
Daya tahan hidup kuman di sini dipengaruhi
oleh beberapa kondisi seperti misalnya iklim
yaitu suhu dan kelembaban. Pada periode
infeksi endemik, sekitar 10% penduduk
mengidap kuman ini dalam hidungnya. (15)
Meskipun demikian, 9 dari 10 jenis kuman
yang diisolasi dari carrier bukan termasuk
kuman yang patogenik. Mengapa suatu jenis
kuman dapat berkolonisasi di mukosa nasooropharyngeal sedangkan jenis yang lain tidak
dapat, hal ini masih merupakan suatu
pertanyaan.Kolonisasi bakteri terjadi pada
bagian permukaan luar sel mukosa dan pada
intra-atau sub-epitelial. Kerusakan pada epitel
bersilia dari nasopharynx merupakan langkah
pertama dari proses kolonisasi bakteri ini.
Kerusakan fisik karena merokok dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit ini,
demikian pula halnya dengan stres dan infeksi
virus yang mendahului yang menyebabkan
perubahan pada keutuhan dari permukaan
mukosa atau mempengaruhi imunitas lokal
atau sistemik. (16)
Selanjutnya
kuman-kuman
meningokok
menembus epitel mukosa dengan jalan melalui
vakuol fagositik sebagai akibat endositosis dan
mencapai aliran darah. Di dalam aliran darah
ini kuman-kuman dapat berkembang biak
karena adanya faktor virulen bakteri atau
karena inkompetensi daya tahan tubuh
penderita.
Daya tahan pejamu setelah invasi meningokok
ditentukan oleh respons seluler dan humoral
yang merupakan sistem imun adaptif dari
pejamu. Antibodi spesifik memberikan
perlindungan penuh terhadap infeksi, akan
tetapi oleh karena pembentukan antibodi
memerlukan waktu sedikitnya seminggu
setelah terjadinya kolonisasi, pertahanan awal
sangat tergantung dari elemen-elemen imunitas
yang memberikan reaksi cepat seperti misalnya
complement-mediated
bacteriolysis
dan
opsonophagocytosis.
Pada individu normal, insidens penyakit
meningokok berkaitan dengan titer spesifik
antibodi. Insidens yang tertinggi dijumpai pada
usia 6-24 bulan, pada saat antibodi maternal
menghilang.(3) Sepanjang hidup manusia,
antibodi spesifik ini secara terus menerus dan
berkesinambungan diinduksi oleh adanya
jenis-jenis lain dari kuman meningokok dan N.
lactamica yang berada di naso-oropharynx.
Kuman-kuman ini menimbulkan pembentukan
antibodi yang bereaksi silang dengan
meningokok..
Pada sisi lain, antibodi IgA yang tidak
mengaktifkan komplemen, dapat melekat pada
epitop yang penting dan menutup epitop ini
dan memberi kesempatan pada antibodi seperti
IgG dan IgM untuk mengaktivasikan
komplemen. Obat-obat imunosupresif dan
penyakit-penyakit auto-imun seperti lupus
erythematosus adalah merupakan salah satu
faktor risiko penyakit.
Dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan
perkembang-biakan kuman meningokok dalam
darah dapat berlangsung karena adanya
gangguan fungsi pertahanan intravaskuler, baik
ini disebabkan oleh karena sifat-sifat khusus
kuman itu sendiri maupun karena sistem imun
yang defektif dari pejamu.
GEJALA
KLINIS
DARI
MENINGOKOKAL INVASIF
INFEKSI
Sekali kuman meningokok mencapai
aliran darah, berbagai manifestasi penyakit
dapat terjadi. Pada beberapa penderita,
mungkin ditemukan demam berderajat rendah
dan meningokok secara spontan hilang dari
darah, meninggalkan keadaan yang disebut
sebagai transient meningococcemia yang
disifati oleh episode demam singkat mirip
flu.(17) Apabila keadaan bakteremia ini
menetap, tidak hilang maka timbullah gejalagejala klinis. Pada kasus-kasus ini yang
menonjol adalah gejala yang disebabkan oleh
sifat kuman seperti dilepaskannya endotoksin
dan repons tubuh penderita terhadap toksin
tersebut. Jenis kuman yang diisolasi dari
penderita dengan meningococcal septic shock
melepaskan endotoksin yang jauh lebih besar
dari pada galur yang menyebabkan chronic
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 98
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
benign meningococcemia. (18) Pada hampir
semua penderita yang mengalami shock dan
pada
kebayakan
penderita-penderita
meningitis, awal dari fase bakteremia ditandai
dengan adanya serangan panas tinggi dan
menggigil, nyeri pinggang bagian bawah, nyeri
paha, atau nyeri otot-otot dan sendi umum.
Dalam waktu beberapa jam, keadaan dapat
berkembang menjadi sepsis fulminan tanpa
gejala meningitis. Keadaan ini disifati oleh
adanya endotoksin dan sitokin dalam plasma
dalam jumlah besar.
Berdasarkan urut-urutan kejadian patofisiologis, penderita-penderita infeksi meningokok dapat dikelompokkan menjadi 4
golongan: (i) penderita dengan bakteremia
tanpa shock, (ii) penderita dengan bakteremia
dan shock tanpa gejala meningitis, (iii)
penderita dengan shock dan meningitis, dan
(iv) penderita dengan hanya meningitis saja.
Klasifikasi penderita pada salah satu dari
kelompok klinis ini sangat membantu di dalam
pengambilan keputusan terutama untuk
perawatan intensif secara maksimal.
Pada beberapa kasus dapat terjadi infeksi
metastatik berupa arthritis atau pericarditis
yang umumnya disebabkan oleh serogrup C
dari N. meningitidis. (19) Selain gejala arthritis
atau pericarditis pada penderita-penderita ini
dapat ditemukan kemerahan kulit (rash) dan
rekrudensi demam yang terjadi pada 10-20%
penderita pada hari ke-4 sampai ke-7 di waktu
konvaleseni dari penyakitnya.
Sejumlah kecil penderita-penderita, mungkin
kurang dari 1% dan terdiri terutama dari orang
dewasa, dijumpai satu atau lebih episode
kenaikan suhu badan yang tajam (spiking),
arthralgia, atau arthritis dan kemerahan kulit
yang rekuren; sindrom ini dikenal sebagai
chronic benign meningococcemia. (18)
Di samping infeksi meningoccocemia ini, juga
dilaporkan infeksi meningokok lain seperti
meningoccal conjunctivitis primer, pneumonia,
adnexitis, atau pelvic inflammatory disease
(PID). Diagnosis untuk keadaan-keadaan ini
mudah terlewati karena secara klinis sulit
dibedakan dengan penyakit-penyakit primer
dan penyakitnya sendiri mudah diobati dengan
obat-obat standar.
FULMINANT
MENINGOCOCCAL
SEPSIS (FMS) DAN DIC
FMS disifati oleh adanya shock dan
disseminated intravascular coagulation (DIC),
dua proses yang saling berkaitan. Shock dan
DIC memiliki kesamaan mekanisme kausal
dan saling menguatkan. Misalnya, trombosis
mikrovaskuler
menyebabkan
hipoperfusi
(shock) dan sebaliknya shock menginduksi
kerusakan endotel dan DIC.
Shock disebabkan oleh bocornya kapiler,
gangguan tonus vaskuler, mikrotrombosis
intravaskuler dan disfungsi miokardial.
Aktivator utama yang menimbulkan keadaan
ini adalah endotoksin meningokok dan
beratnya shock ini mempunyai korelasi dengan
derajat endotoksemia.
Perdarahan kulit merupakan ciri dari penyakit
meningokok invasif. Secara mikroskopik, lesi
ini mempunyai karakteristik berupa kerusakan
endotel dan perdarahan di sekitar pembuluhpembuluh darah kecil serta adanya trombi di
daerah tersebut. Keadaan ini sesuai dengan
reaksi
Sanarelli-Schartzman.
Lesi
ini
mencerminkan
vaskulitis
dan sitokin–
endotoksin. Meskipun DIC adalah suatu
fenomena yang sistemik, tetapi terutama
kelenjar adrenal adalah yang paling rentan.
Perdarahan adrenal, yang secara post-mortal
didiagnosis sebagai sindrom WaterhouseFriderichsen, dapat menimbulkan insufisiensi
adrenal secara transitori. Pada keadaan ini,
pembuluh-pembuluh intraserebral tetap utuh
tidak mengalami kerusakan. DIC yang berat
senantiasa berkaitan dengan progosis penyakit
yang buruk.
Angka mortalitas FMS cukup tinggi bervariasi
antara 20-80% tergantung dari daerah studi.
Keadaan ini sangat tergantung dari perjalanan
penyakit pada daerah yang bersangkutan dan
kualitas penangangan medis sebelum penderita
mendapat perawatan darurat di rumah sakit.
Selain itu perbedaan angka mortalitas tersebut
tergantung pula pada perbedaan definisi
penyakit. Studi klinis umumnya hanya
memasukkan penderita-penderita dengan shock
yang nyata ke dalam kriteria sepsis sedangkan
banyak studi epidemiologis mendefinisikan
sepsis dari adanya purpura di kulit atau biakan
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 99
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
darah yang positif. Jelas bahwa definisi yang
seragam, pengobatan serta perawatan, dan
hasilnya sangat diperlukan untuk mendapatkan
perbandingan yang dapat dipercaya.
Secara klinis, penyakit ini sangat cepat
mengalami perubahan, sekitar setengah dari
penderita-penderita yang meninggal terjadi
pada 24 jam pertama setelah dijumpainya
gejala-gejala. Dalam suatu laporan (20) dinyatakan bahwa satu-per-tiga dari penderita
dengan penyakit yang fatal, meninggal pada
waktu antara 6 dan 18 jam. Sering pula
dijumpai komplikasi berupa perdarahanperdarahan, anuria, dan kegagalan organ secara
mulitpel.
Setelah 4-10 hari dan tidak meninggal, 10-20%
(20)
penderita dengan infeksi meningokok akan
mengalami demam kembali yang umumnya
diikuti dengan kemerajhan kulit dan kadangkadang arthritis steril atau perikarditis.
Kelainan ini adalah suatu manifestasi
imunokompleks semata dan akan menghilang
secara spontan dengan terapi simtomatik.
PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS
Patofisiologi. Sebagian besar pengetahuan
mengenai patofisiologi dari meningitis
bakterial didasarkan pada eksperimen dengan
menginokulasikan bakteri tersebut secara
intrasiternal. Dengan sendirinya, model ini
tidak memberikan gambaran efek imunologis
dan endokrinologis dari keadaan bakteremia
yang mendahului gejala yang terjadi. Studi
yang relatif jarang adalah yang menggunakan
percobaan inokulasi intranasal; studi ini
memberikan gambaran yang mirip sekali
dengan situasi penyakit pada manunsia.
Mekanisme yang melatar-belakangi infeksi
meningokok pada selaput otak dan perjalanannya menembus blood-brain barrier
belum sepenuhnya dipahami. Sekali daya
pertahanan humoral dan seluler pejamu di
rongga subarachnoid menurun atau hilang,
kuman-kuman meningokok dapat berkembang
biak secara tidak terkendali dan menimbulkan
berbagai gejala melalui endotoksin yang
diproduksinya. Obat-obat antibiotika tidak
dapat menghentikan dengan segera proses
peradangan yang terjadi di selaput otak,
bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk
kondisi penderita karena mempercepat
terjadinya pelepasan endotoksin. (21) Keadaan
ini berbeda dengan keadaan sepsis di mana
pelepasan
endotoksin
yang
diinduksi
antibiotika tidak terjadi di sini. Perbedaan ini
disebabkan oleh karena mekanisme pembersihan (clearance) endotoksin dan/atau
regulasi
produksi
sitokin
di
cairan
serebrospinal berbeda dari proses yang terjadi
di dalam darah.
Perbedaan besar antara meningitis dan sepsis
meningokokal adalah: pada meningitis, respon
peradangan
terlokalisasi
pada
daerah
ekstravaskuler yang tidak memiliki sistem
komplemen dan koagulasi. Pada sepsis
meningokokal, bentuk penyakitnya adalah
paling berat dengan angka mortalitas yang
tinggi dan terjadi sekuele yang berat karena
terjadinya
inflamasi
endovaskuler
dan
trombosis, sedangkan pada
meningitis
meningokok angka kematian dan sekuele
neurologisnya relatif rendah.
Pada meningitis meningokok kadang-kadang
terjadi hernia dari batang otak yang sifatnya
fatal. Hal ini disebabkan oleh karena rongga
tengkorak tidak dapat membesar dan terjadinya
udem
serebral
akan
menyebabkan
meningkatnya tekanan intrakranial sehingga
terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang
besarnya 1-5% berkaitan dengan meningitis
meningokok disebabkan karena komplikasi
fatal yang tak teratasi ini. Pada otopsi tampak
adanya ensefalitis di daerah yang berdekatan
dengan selaput otak yang meradang di
samping tanda-tanda meningitis sendiri.
Sekuele neurologis yang dilaporkan berkisar 820% dari penderita-penderita yang bertahan
hidup (22-24) meliputi berbagai kelainan seperti
tuli sensorineural, rertardasi mental, spastisitas
dan/atau kejang-kejang.
Diagnosis.
Oleh
karena
penyakit
meningokokal akut, terlebih FMS, dapat
bersifat fatal dalam beberapa jam saja, maka
diagnosis dini mempunyai arti yang sangat
penting. Gejala dini yang tipikal adalah
bilamana seorang anak yang sama sekali
sebelumnya sehat mengeluh demam yang
mendadak disertai menggigil dan nyeri otot
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 100
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
(mialgia). Setelah beberapa jam (4-6 jam)
mungkin tampak perbaikan klinis secara
sementara yang menutupi proses penyakit yang
berlanjut. Pada stadium dini ini gejala dan
tanda-tanda penyakit sangat membingungkan.
Manifestasi kulit menyerupai kemerahan yang
disebabkan virus, tak ada kaku kuduk dan
pemeriksaan
cairan
serebrospinal
dan
gambaran mikroskopiknya (pewarnaan Gram)
tidak memberikan kesimpulan apapun.
Stadium awal dari meningitis meningokok
menyerupai FMS oleh karena gejala-gejala
awal penyakit ditentukan oleh masuknya
kuman-kuman meningokok secara tiba-tiba ke
dalam aliran darah. Akan tetapi secara umum
gejala-gejala meningitis meningokok berjalan
lebih lambat. Lesi hemoragis kulit yang
karakteristik menjadi jelas 12-18 jam setelah
gejala penyakit yang pertama timbul; pada
20% penderita tidak terdapat gejala kulit ini.
(24-25)
Apabila penderita menunjukkan adanya
demam, sakit kepala, fotofobia, iritabilitas,
muntah, kehilangan kesadaran, kaku kuduk,
dan lesi kulit, maka hampir dapat dipastikan
diagnosis meningitis meningokok dapat
ditegakkan.
Diagnosis bakteriologis FMS secara cepat
dapat dibuat dengan melakukan pewarnaan
Gram dari biopsi lesi kulit, buffy coat atau
cairan
serebrospinal.
Pada
meningitis
meningokok, lesi kulit jarang menunjukkan
adanya meningokok, hanya sampel cairan
serebrospinal saja yang positif . Biakan kuman
memberikan hasil positif setelah 12-24 jam.
Pemberian antibiotika sebelum pengambilan
sampel untuk biakan mikrobiologis dapat
menyebabkan biakan darah dan cairan
serebrospinal menjadi negatif, tetapi biakan
dari biopsi kulit masih tetap dapat memberikan
hasil positif.
PENGOBATAN DAN PERAWATAN
Pada jam-jam pertama, penderita harus
diamati secara intensif karena shock dapat
terjadi setelah penderita mendapat antibiotika.
(26)
Perlu
diingat
bahwa
mengikuti
perkembangan (monitor) tekanan darah sistolik
pada penderita anak-anak tidaklah memadai
untuk dapat mengawasi terjadinya shock.
Indikator yang lebih baik adalah: tekanan
darah diastolik yang rendah, pengisian kapiler
yang terlambat, ekstrimitas yang dingin, dan
takikardia.
Terapi antibiotika harus dimulai sedini
mungkin. Keprihatinan bahwa pemberian
antibiotika yang dini menyebabkan bertambah
buruknya keadaan klinik penderita karena
antibiotika (terutama dari golongan -lactam)
menginduksi pelepasan endotoksin belum
pernah terbukti secara klinis.(27) Sebaliknya,
penundaan terapi antibiotika dapat berakibat
meningkatnya proses-proses bakteriologis dan
menyebabkan response peradangan yang
berakibat buruk.
Bilamana pemberian antibiotika dilakukan
pada waktu penyakit telah berjalan lanjut
misalnya pada saat lesi iskemik telah berjalan,
lebih banyak kuman yang dapat lolos dari efek
antibiotika.
Penanganan shock perlu dilakukan sebaikbaiknya dan secepatnya. Oleh karena di
samping terjadi kebocoran kapiler secara
ekstensif, stadium awal FMS juga diikuti oleh
depresi kardiac yang berat sehingga dapat
timbul kongesti pulmonal, maka jumlah
pemberian cairan perlu diperhatikan. Secara
umum, suport inotropik dan vasopresif
dibutuhkan sejak awal penyakit.
Hipoglikemia mungkin ditemukan pada bayibayi, dan ini perlu segera dikoreksi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan
FMS masih bersifat kontroversial. Sampai
awal tahun 1980-an, pemakaian glukokortikoid
secara luas diterima sebagai terapi baku yang
dapat menurunkan angka kematian pada
infeksi meningokok .
Pada keadaan di mana tidak ada ancaman
untuk terjadinya hernia serebral atau shock,
pengobatan meningitis meningokok secara
relatif
lebih
sederhana
dan
hanya
membutuhkan antibiotik parenteral serta
pengawasan yang intensif dari penderita.
PENUTUP
Gambaran meningeal yang disebabkan
oleh infeksi meningokok membuat profesi
J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3 101
.d o
m
w
o
.c
C
m
Epidemiologi infeksi meningokok
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
medis terpaku sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ekstrameningeal terlewatkan.
Keadaan ini telah menimbulkan kegagalan
umum dalam mengenali sifat-sifat dasar
Daftar Pusataka.
1.
Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease.
J Med Microbiol 1993;39:3-25.
2. Caugant DA. Population genetics and
molecular
epidemiology
of
Neisseria
meningitidis. APMIS 1998;106:505-25.
3. Van Deuren M, Brandtzaeg P, van der Meer
JWM. Update on meningococcal disease with
emphasis on pathogenesis and clinical
management. Crit Microbiol Rev 2000;13:14466.
4. Moore PS. Meningococcal meningitis in subSahara Africa: a model for the epidemic
process. Clin Infect Dis, 1992; 14:515-25.
5. Achtman M. Global epidemiology of
meningococcal
disease.
In
K.
Cartwright.editor. Meningococcal disease.
Chichester, United Kingdom: John Wiley &
Sons, Ltd; 1995.p.159-75.
6. Schwartz B, Moore PS, Broome CV. Global
epidemiology of meningococcal disease. Clin
Microbiol Rev 1989; 2(suppl): S118-S 24.
7. Riedo FX, Plikaytis BD, Broome CV.
Epidemiology
and
prevention
of
meningococcal disease. Pediatr Infect Dis J
1995;14:643-57.
8. McGee L, Koornhof HJ, Caugant DA.
Epidemic spread of subgroup III of Neisseria
meningitidis serogroup A to South Africa in
1996. Clin Infect Dis 1998; 27:1214-20.
9. Guibourdenche M, Høiby EA, Riou JY,
Varaine F, Joguet C, Caugant DA. Epidemics
of serogroup A Neisseria meningitidis of
subgroup III in Africa, 1989-994. Epidemiol
Infect 1996;116:115 –20.
10. Scholten RJPM, Poolman JT, Valkenburg HA,
Bijlmer HA, Dankert J, Caugant DA.
Phenotype and genotype changes in a new
clone complex of Neisseria meningitidis
causing disease in the Netherlands, 1958-1990.
J Infect Dis 1994; 169:673-76.
11. Jones D. Epidemiology of meningococcal
disease in Europe and the USA. In K.
Cartwright editor, Meningococcal disease.
Chichester, United Kingdom: John Wiley &
Sons, Ltd; 1995.p.147-57.
102 J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3
w
penyakit seperti halnya sepsis meningokok
yang pada akhirnya menyebabkan berbagai
akibat dalam bidang diagnosis dan pengobatan.
12. Ashton FE, Ryan JA, Borczyk A, Caugant DA,
Mancino L, Huang D. Emergence of a virulent
clone of Neisseria meningitidis serotype 2a that
is associated with meningococcal group C
disease in Canada. J Clin Microbiol 1991;
29:2489-93.
13. Jackson LA, Schuchat A, Reeves MW, Wenger
JD. Serogroup C meningococcal outbreaks in
the United States, en emerging threat. JAMA
1995; 273:383-9.
14. Racoosin JA, Whitney CG, Conover CS, Diaz
PS. Serogroup Y meningococcal disease in
Chicago., 1991-1997. JAMA 1998; 280:209498.
15. Caugant DA, Høiby EA, Magnus P, Scheel O,
Hoel T, Bjune G. Asymptomatic carriage of
Neisseria meningitidis in a randomly sampled
population. J Clin Microbiol 1994; 32:323-30.
16. Moore PS, Reeves MW, Schwartz B, Gellin G,
Broome CV. Intercontinental spread of an
epidemic group A Neisseria meningitidis
strain. Lancet 1989; ii: 260-3.
17. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria
meningitidis bacteremia in
children:
quantitation of bacteremia and spontaneous
clinical recovery without antibiotic therapy.
Pediatrics 1987; 80:63-7.
18. Ploysangam
T,
Sheth
AP.
Chronic
meningococcaemia in childhood: case report
and review of the literature. Pediatr Dermatol
1996; 13:483-7.
19. Wells M, Gibbons RB. Primary meningococcal
arthritis: case report and review of the
literature. Mil Med 1997;162:769-72.
20. Emparanza JL, Aldamiz-Echevarria L, PerezYarza EG, Larranaga P, Jiminez JL, Labiano
M, et al. Progostic score in acute
meningococcaemia. Crit Care Med 1988;
16:168-9.
21. Friedland IR, Jafari H, Ehrett S, Rinderknecht
S, Paris M, Coulthard M, et al. Comparison of
endotoxin release by different antimicrobial
agents and the effect on inflammation in
experimental Escherichia coli meningitis. J
Infect Dis 1993; 168:657-62.
22. Baraff LJ, Lee SI, Schriger DL. Outcomes of
bacterial meningitis in children: a metaanalysis. Pediatr Infect Dis J 1993; 12:389-94
.d o
m
Lesmana
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
F -X C h a n ge
F -X C h a n ge
c u -tr a c k
N
y
bu
to
k
lic
23. Pomeroy SL, Holmes SJ, Dodge PR, Feigin
RD. Seizures and other neurologic sequelae of
bacterial meningitis in children. N Engl J Med
1990; 323:1651-7.
24. Schildkamp RL, Lodder MC, Bijlmer HA,
Dankert J, Scholten RJ. Clinical manifestations
and course of meningococcal disease in 562
patients. Scand J Infect Dis 1996; 28:47-51
25. Quagliarello V, Scheld WM. Bacterial
meningitis: pathogenesis, pathophysiology, and
progress. N Engl J Med 1992; 327:864-72.
103 J Kedokter Trisakti, September-Desember 2000-Vol.19, No.3
w
26. Kirsch EA, Barton RP, Kitchen Lgiroir BP.
Pathophysiology, treatment and outcome of
meningococcemia: a review and recent
experience. Pediatr Infect Dis J 1996; 15:96778.
27. Granier S, Owen P, Pill R, Jacobson L.
Recognizing meningococcal disease in primary
care: qualitative study of how general
practitioners process clinical and contextual
information. Br Med J 1998; 316:276-9.
.d o
m
Lesmana
o
.c
C
m
o
.d o
w
w
w
w
w
C
lic
k
to
bu
y
N
O
W
!
PD
O
W
!
PD
c u -tr a c k
.c
Download