BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien menjalani proses perawatan lebih dari 48 jam, namun pasien tidak menunjukkan gejala sebelum proses perawatan (WHO, 2002). Infeksi nosokomial adalah masuknya patogen atau mikroorganisme ke dalam tubuh dan mampu menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi nosokomial didapat pasien dari rumah sakit pada saat menjalani proses perawatan di rumah sakit. Infeksi ini umumnya ditemukan pada pasien di ruang perawatan anak, perawatan penyakit dalam, perawatan intensif, dan perawatan isolasi (Darmadi, 2008). Menurut WHO (2002), cara penularan infeksi nosokomial meliputi: 1. Transmisi dari flora normal pasien (endogenous infection) Bakteri flora normal dapat mengakibatkan infeksi apabila sebagian dari flora normal pasien berubah dan menunjukkan pertumbuhan yang berlebihan, misalnya: infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter. 2. Transmisi dari flora antar pasien atau tenaga kesehatan (exogenous cross-infection) Infeksi bisa terjadi akibat bakteri dari lingkungan eksternal yang bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara pasien melalui tangan, tetesan air liur, atau cairan tubuh yang lain yang 4 5 mengandung bakteri patogen. Selain itu infeksi dapat terjadi melalui udara seperti debu, melalui petugas kesehatan yang terkontaminasi dari pasien lain, melalui media perantara meliputi peralatan, tangan tenaga kesehatan, pengunjung atau dari sumber lingkungan yang lain (air dan makanan). 3. Transmisi dari flora lingkungan layanan kesehatan (endemic or epidemic exogenous environmental infections). Ada beberapa jenis organisme yang dapat bertahan hidup pada lingkungan rumah sakit yaitu: dalam air, tempat yang lembab, kadang-kadang bakteri tertentu (Pseudomonas, Acinetobacter, Mycobacterium) ditemukan pada produk yang steril atau disinfektan. dalam barang-barang seperti linen, perlengkapan dan persediaan yang digunakan dalam perawatan atau perlengkapan rumah tangga. dalam makanan. dalam inti debu halus dan tetesan/percikan yang dihasilkan pada saat berbicara atau batuk. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial membutuhkan kerjasama, pemantauan, dan program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter, perawat, terapis, apoteker, dan lain-lain (WHO, 2002). Sasaran utama pencegahan infeksi nosokomial adalah : (1) Membatasi transmisi organisme antara pasien dalam melakukan perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan, menggunakan 6 sarung tangan, teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi dan teknik desinfektan. (2) Mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk infeksi. (3) Melindungi pasien dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang tepat, nutrisi, dan vaksinasi. (4) Membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous dengan meminimalkan prosedur invasif, dan mempromosikan penggunaan antimikroba yang optimal. (5) Surveilans infeksi, mengidentifikasi dan mengendalikan wabah. (6) Pencegahan infeksi pada tenaga kesehatan. (7) Meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus menerus dengan memberikan pendidikan. Darmadi (2008) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah: 1. Faktor ekstrinsik Faktor-faktor yang berasal dari luar yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis, peralatan, dan material medis. Selain itu lingkungan internal (ruangan perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah) dan lingkungan eksternal (pengelolaan limbah, pengelolaan makanan, dan pengunjung) bisa menjadi faktor infeksi nosokomial. 7 2. Faktor intrinsik Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya. 3. Faktor perawatan Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan. 4. Faktor mikroba Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita. 2.2. Mencuci Tangan Mencuci tangan merupakan kegiatan cuci tangan dengan air mengalir ditambah sabun atau sabun antiseptik yang bertujuan untuk membersihkan tangan dari kotoran dan mikroorganisme sementara dan flora yang tinggal di kulit tangan (Rohani & Hingawati, 2010). Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan memindahkan organisme-organisme bakteri patogen dari lingkungan ke pasien dan berpotensi menginfeksi. Sangat disarankan perawat mencuci tangan paling tidak sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan ke pasien (WHO, 2009). 8 Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum perawat memeriksa (kontak langsung) dengan pasien dan sebelum memakai sarung tangan bedah steril sebelum pembedahan ataupun sebelum memakai sarung tangan pemeriksaan untuk tindakan rutin, seperti pemeriksaan panggul. Mencuci tangan juga sebaiknya dilakukan setelah perawat melakukan kontak yang lama dan intensif dengan pasien, setelah memegang instrumen atau alat yang kotor, dan setelah menyentuh selaput lendir, darah serta setelah melepaskan sarung tangan. Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat dalam memberikan tindakan keperawatan. Prosedur ini dilakukan dengan tujuan membersihkan tangan dari segala kotoran, mencegah terjadinya infeksi silang melalui tangan dan mempersiapkan bedah atau tindakan pembedahan. Menurut WHO (2009), meskipun mencuci tangan terlihat sebagai sebuah tindakan yang sederhana, tetapi petugas medis sering mengabaikan dan tidak mematuhi prosedur tersebut. Ketidakpatuhan pada prosedur mencuci tangan telah menjadi faktor penentu timbulnya masalah infeksi nosokomial di kalangan penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia. Ada 10 langkah yang menjadi pedoman WHO untuk mensosialisasikan cuci tangan dengan sabun dan air. Langkah mencuci tangan yang benar adalah (WHO, 2009): 1. Basahi tangan dengan air. 2. Tuangkan sabun ke telapak tangan. 9 3. Ratakan sabun dengan kedua tangan sampai kedua telapak tangan terkena sabun. 4. Gosok punggung tangan kanan dengan tangan kiri sampai sela-sela jari-jari kemudian bergantian tangan kiri. 5. Telapak tangan saling bersentuhan dengan jari yang disilangkan pada sela-sela jari. 6. Letakkan punggung jari pada telapak satunya dengan jari saling mengunci. 7. Menggosok ibu jari dengan menggenggam ibu jari kiri dengan tangan kanan lalu diputar begitu pula sebaliknya. 8. Menggosok jari-jari tangan kanan pada telapak tangan kiri untuk membersihkan kotoran kuku tangan kanan, begitu pula sebaliknya. 9. Bilas dengan air yang mengalir. 10. Pakai handuk kering dan bersih atau tisu sekali pakai untuk mengeringkan tangan. 2.3. Stafilokokus Stafilokokus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,5-1,5 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak (Murray et al., 2013). Bakteri ini dapat tumbuh pada rentang suhu 18-40oC namun mencapai optimum pada suhu 37ºC. Sel-sel membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada 10 perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau (Brooks et al., 2007). Sebagian bakteri stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar (Murray et al., 2013). Infeksi bakteri stafilokokus dapat mengakibatkan bisul atau abses seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea. Kontaminasi stafilokokus pada makanan dapat mengakibatkan keracuanan makanan dengan gejala mual, muntah, dan diare tanpa disertai demam (Keyser et al., 2005). 1.4 Sabun Antiseptik Sabun antiseptik adalah sabun yang mengandung zat yang mampu membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme (James, 2008). Umumnya sabun antiseptik yang digunakan para tenaga kesehatan mengandung Chlorhexidine dan Iodin (Brooker, 2009). Sifat ideal sabun antiseptik adalah efektivitas germisid yang tinggi, bersifat membunuh bagi mikroorganisme, menimbulkan membunuh efek sistemik mikroorganisme dengan cepat, tidak jika secara topikal, tidak diberikan mengakibatkan alergi, dan tidak diabsorbsi oleh tubuh (Richard, 2013).