I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Nanas (Ananas comosus) merupakan komoditas andalan dalam perdagangan buah tropik yang menempati urutan kedua setelah pisang. Indonesia merupakan produsen terbesar kelima setelah Brazil, Thailand, Filipina dan Cina (Manuwoto et al., 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (2011), produksi buah nanas di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai 2009 yaitu 1.395.566 ton, 1.433.133 ton, dan 1.558.196 ton. Sejalan meningkatnya kesadaran masyarakat akan nilai gizi serta bertambahnya permintaan bahan baku industri pengolahan buah, maka permintaan pasar cenderung meningkat. Salah satu eksportir nanas terbesar di Indonesia yaitu PT. Great Giant Pineapple, Lampung. Namun salah satu kendala penting dalam upaya peningkatan produksi nanas pada perusahaan tersebut yaitu penyakit busuk hati dan akar (heart and root rot) serta adanya gulma. Penggunaan pestisida di lapangan cukup tinggi dan dapat mencemarkan lingkungan dan berbahaya bagi konsumsen. Oleh karena itu diperlukan suatu pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan untuk menekan perkembangan penyakit. Pengendalian jamur patogen tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan agensia pengendali hayati. Agens pengendali hayati mikroba lebih aman digunakan karena sedikit kemungkinan merugikan lingkungan dan mempunyai prospek yang baik (Soesanto, 2008). Menurut Baker and Cook (1974) pengendalian hayati dapat mereduksi populasi inokulum atau patogen yang menimbulkan penyakit dalam keadaan aktif atau dorman (tidak aktif), oleh satu atau beberapa organisme, secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang, atau dengan pengenalan satu atau beberapa antagonis. Selain itu, terdapat beberapa pengendalian penyakit dengan menggunakan mikroba bersifat antagonistik. Salah satu mikroba antagonistik yaitu bakteri pseudomonad fluoresen. Bakteri pseudomonad fluoresen sebagai agensia pengendali hayati dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit tersebut. Bakteri sebagai agen biokontrol mempunyai beberapa kelebihan yaitu merupakan mikroorganisme yang banyak terdapat di tanah dan produksi massa bakteri juga lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan mikroorganisme lainnya (Yuliar, 2008). Mikroorganisme yang mengkolonisasi dengan akar dapat 1 menghambat atau berkompetisi dengan patogen tular tanah yang berada di sekitar daerah perakaran tanaman, sehingga dapat menjaga akar tanaman tetap sehat. Secara alami, pada tanah terdapat mikroorganisme yang berpotensi untuk menekan perkembangan patogen tular tanah karena dapat bersifat antagonis (Baker and Cook, 1974). Penambahan mikroorganisme antagonis ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi mikroorganisme antagonis yang sudah ada, sehingga lebih efektif dalam menekan perkembangan patogen tular tanah. Antagonisme dapat berupa: 1) antibiosis dan lisis. Antibiosis dalam menghambat produk metabolisme salah satu organisme lain dan lisis merupakan istilah umum untuk merusak, menghancurkan, memutuskan, atau mendekomposisikan organel sel. 2) Kompetisi. Kompetisi nutrisi (sebagian besar karbohidrat dan nitrogen), serta kompetisi dalam faktor pertumbuhan. 3). Parasitisme dan predasi. Organisme yang bersifat antagonis terhadap patogen tumbuhan dikatakan ideal apabila organisme tersebut memenuhi kriteria, yaitu a) mampu hidup dan berkembang biak di rizosfer atau di dekat struktur istirahat patogen, b) mampu membentuk antibiotik berspektrum luas, namun tidak menghambat antagonis lain yang tidak menyebabkan kerusakan tanaman, c) agensia antagonis mampu beradaptasi terhadap kondisi untuk dapat diproduksi secara besar-besaran, d) agensia antagonis lebih adaptif daripada patogen terhadap faktor lingkungan, e) spora antagonis lebih cepat berkecambah daripada patogen (Baker and Cook, 1974). Pemanfaatan agens hayati untuk mengendalikan patogen masih populer dan memberikan harapan, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Di antara kelompok agens hayati, pseudomonad fluoresen dan Trichoderma spp. menempati urutan teratas dan paling banyak digunakan atau diteliti. Dalam makalah yang dipresentasikan pada Seminar Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI) ke-17 di Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2003, tercatat dari 54 makalah tentang pengendalian patogen, 22 di antaranya mengenai penggunaan agens hayati, 10 makalah masing-masing tentang ketahanan tanaman dan kultur teknik, dan 12 makalah tentang penggunaan pestisida botani (Suhardi et al., 2003). 2 2. Tujuan 1. Mempelajari antagonisme pseudomonad fluoresen dengan penyebab penyakit busuk hati dan akar pada nanas secara in vitro. 2. Mempelajari kisaran pH optimal terhadap perkembangan dan antagonisme pseudomonad fluoresen dalam mengendalikan penyebab penyakit busuk hati dan akar pada nanas. 3. Kegunaan 1. Mengurangi penggunaan pestisida yang menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan pengendalian busuk hati dan akar pada nanas yang ramah lingkungan. 3. Menyiapkan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan tanaman dan agens hayati. 3